Anda di halaman 1dari 19

PENATATALAKSANAAN INFEKSI Human Immunodeficiency Virus (HIV)

DALAM KEHAMILAN

1. PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus RNA yang dapat


menyebabkan penyakit klinis, yang kita kenal sebagai Acquired Immunodeficiency
1
Syndrome (AIDS). Penyakit AIDS merupakan suatu syndrome/kumpulan gejala penyakit
yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan
tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah
diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi
oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada
tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983.

Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia
(pandemi), termasuk diantaranya Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di
Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang
sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori "Gunung Es" dimana penderita yang
kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan
bahwa dibalik penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita
HIV yang belum diketahui.

Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang berat bagi
pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara-negara miskin yang sangat
dipengaruhi epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang ditimbulkannya.
Bagian terbesar orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang dewasa yang
berada dalam usia kerja dan hampir separuhnya adalah wanita, yang akhir-akhir ini
terinfeksi lebih cepat daripada laki-laki.

Transmisi dari ibu ke anak merupakan sumber utama penularan infeksi HIV pada
anak. Peningkatan transmisi dapat diukur dari status klinis, imunologis dan virologis
maternal. Menurut beberapa penelitian, kehamilan dapat meningkatkan progresi
imunosupresi dan penyakit maternal. Ibu hamil yang terinfeksi HIV juga dapat
1
1,2,3,4
meningkatkan resiko komplikasi pada kehamilan.

Pada tahun 2001, United Nations General Assembly Special Session untuk
HIV/AIDS berkomitmen untuk menurunkan 50% proporsi infeksi HIV pada bayi dan
anak pada tahun 2010. Program tersebut termasuk intervensi yang berfokus pada
pencegahan primer infeksi HIV pada wanita dan pasangannya, pencegahan kehamilan
yang tidak direncanakan pada wanita infeksi HIV, pencegahan transmisi dari ibu ke
anak, pengobatan, perawatan serta bantuan bagi wanita yang hidup dengan HIV/AIDS,
anak dan keluarga mereka. Oleh karena itu, untuk memberantas transmisi vertical HIV
yang terus meningkat diperlukan penatalaksanaan yang tepat pada ibu dan bayi selama
3
masa antepartum, intrapartum dan postpartum.

2. Definisi

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah Syndrome akibat defisiensi


immunitas selluler tanpa penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik
keganasan berakibat fatal. Munculnya Syndrome ini erat hubungannya dengan
berkurangnya zat kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah terjadi seketika melainkan
sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV.

Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2


kategori yaitu :
1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS
positif).
2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS
negatif).

Menurut Suensen et all terdapt 5-10 juta HIV positif yang dalam waktu 5-7 tahun
mendatang diperkirakan 10-30% diantaranya menjadi penderita AIDS. Pada tingkat
pandemi HIV tanpa gejala jauh lebih banyak dari pada penderita AIDS itu sendiri. Tetapi
infeksi HIV itu dapat berkembang lebih lanjut dan menyebabkan kelainan imunologis yang
luas dan gejala klinik yang bervariasi. AIDS merupakan penyakit yang sangat berbahaya

2
karena mempunyai case fatality rate 100% dalam 5 tahun setelah diagnosa AIDS
ditegakkan, maka semua penderita akan meninggal.

3. ETIOLOGI

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy
Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi
(HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah
menjadi HIV.

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya


yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan
keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.

Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan
bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA
(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian
selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan
dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan
panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan
seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan
seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten
terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata
dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan
sel glia jaringan otak.

3
4. MASA INKUBASI

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV
sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata- rata cukup
lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita tidak
menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita
HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan
pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal
dengan "masa wndow periode". Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi
untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi
virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak
menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada
fase inkubasi ini.

5. EPIDEMIOLOGI AIDS

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO)


pada tahun 2008, lebih dari 15,7 juta wanita dan 2,1 juta anak dibawah umur 15 tahun
5
hidup dengan AIDS. Di Amerika Serikat sendiri, tercatat 71% terinfeksi HIV terjadi
pada wanita berumur 25 sampai 44 tahun dan 20% dari kasus tersebut
mengidentifikasi wanita berkulit hitam. Sebanyak 80% kasus disebabkan oleh
hubungan heteroseksual, 20% akibat terkontaminasi jarum suntik dan sisanya
2,4,6
melalui transfusi darah dan transmisi perinatal.

CARA PENULARAN

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit
yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar
kuman dan tempat masuk kuman (port'd entree).

Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh.
4
Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan
kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan
diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita. Banyak cara yang
diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang
diketahui adalah melalui :

1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan
dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap
pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian
Darrow (1995) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung
naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang
berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

1.1. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual
menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan
seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV,
khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang
pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah
sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.11,12

1.2. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual
aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual


2.1 Transmisi Parentral
2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang
telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan
5
jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui
jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu.
Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

2.1.2. Darah/Produk Darah


Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat
sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular
infeksijHIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

2.2. Transmisi Transplasental


Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko
sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu
menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak


Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu
faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
1. Faktor Ibu
• Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah
virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi
penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika
kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di
atas 100.000 kopi/ml.
• Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya.
Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
• Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil
meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
• Penyakit infeksi selama hamil

6
Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi saluran reproduksi
lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
• Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di
puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.

2. Faktor Bayi
• Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular
HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang
dengan baik.
• Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
• Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.

3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik
yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan
adalah:
• Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui
bedah sesar (sectio caesaria).
• Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
• Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
• Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan
HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.

7
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak dilaksanakan melalui kegiatan
komprehensif yang meliputi empat pilar, yaitu :13,14
1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun)
2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya
4. Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu yang
terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya

6. PATOGENESIS

HIV adalah jenis virus RNA rantai tunggal dari keluarga lentivirus. Karakteristik
dari virus ini adalah panjangnya periode inkubasi yang diikuti dengan panjangnya durasi
penyakit. HIV tipe1 lebih kuat, mematikan dan mudah bertransmisi daripada HIV tipe2.
HIV masuk ke dalam makrofag dan sel T CD4+ melalui glikoprotein pada
permukaan sel menuju reseptor pada sel target. Keadaan ini diikuti oleh penggabungan
viral envelope dengan membran sel dan pelepasan capsid HIV ke sel. Virus ini
menggunakan virally-encoded enzyme reverse transcriptase untuk membentuk salinan
DNA yang akan disisipkan ke dalam DNA sel host dan direkam, menyebabkan lepasnya
virus baru dan penghancuran limfosit CD4. Proses reverse transcription ini mudah
tejadi kesalahan, mutasi dapat terjadi dan mengarah pada resistensi obat.

HIV mempunyai kemampuan khusus untuk menginfeksi sel imun dan


menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ melalui 3 mekanisme yaitu (1) membunuh
virus langsung dari sel yang terinfeksi, (2) meningkatkan apoptosis sel yang terinfeksi,
dan3 membunuh sel T CD4+ oleh limfosit CD8 sitotoksik. Apabila sel T CD4+
berada dibawah level kritis, tubuh lebih mudah terserang penyakit oportunistik,
6
mengarah ke diagnosis AIDS.

7. Manifestasi Klinis

Infeksi HIV dibagi menjadi 4 fase. Fase awal atau masa inkubasi terjadi 2-4
minggu pertama setelah terinfeksi, tidak ada gejala yang terjadi. Beberapa minggu
kemudian, pasien masuk ke fase infeksi akut yang ditandai oleh gejala mirip flu,
8
termasuk fatigue, demam, sakit kepala, limfadenopati. Karakteristik dari fase ini adalah
viral load tinggi, berlangsung selama 28 hari sampai beberapa minggu. Fase ini diikuti
oleh fase laten panjang yaitu 5 sampai 10 tahun, gejala hampir tidak ada tetapi virus tetap
aktif berkembang dan menghancurkan sistem imun tubuh. Seiring dengan
menurunnya jumlah CD4, penurunan imun juga terjadi dan AIDS terdiagnosis saat CD4
<200/ml. Pasien akan menghadapi ancaman hidup dari infeksi oportunistik, seperti
Pneumocystis Carinii pneumonia (PCP), Micobacterium avium complex (MAC),
tuberkulosis pulmonari, toksoplasmosis, kandidiasis, dan infeksi cytomegalovirus
1,2,4,6
(CMV) atau keganasan seperti sarkoma Kaposi dan limfoma non-Hodgkin.

Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan oleh transmisi perinatal.
Transmisi perinatal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen. Beberapa penelitian
melaporkan tingginya kasus terjadi akibat terpaparnya intrapartum terhadap darah
maternal seperti pada kasus episiotomi, laserasi vagina atau persalinan dengan forsep,
sekresi genital yang terinfeksi dan ASI. Frekuensi rata-rata transmisi vertikal dari ibu ke
2,3
anak dengan infeksi HIV mencapai 25-30%. Faktor lain yang meningkatkan resiko
transmisi ini, antara lain jenis HIV tipe 1, riwayat anak sebelumnya dengan infeksi HIV,
ibu dengan AIDS, lahir prematur, jumlah CD4 maternal rendah, viral load maternal
tinggi, anak pertama lahir kembar, korioamnionitis, persalinan pervaginam dan pasien
2,4
HIV dengan koinfeksi.

Interpretasi kasus sering menjadi kendala karena pasien yang terinfeksi HIV
1
adalah karier asimptomatik dan mempunyai kondisi yang memingkinkan untuk
memperburuk kehamilannya. Kondisi tersebut termasuk ketergantungan obat, nutrisi
buruk, akses terbatas untuk perawatan prenatal, kemiskinan dan adanya penyakit
menular seksual. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah bayi lahir prematur,
premature rupture of membran (PROM), berat bayi lahir rendah, anemia, restriksi
12
pertumbuhan intrauterus, kematian perinatal dan endometritis pospartum.

8. Diagnosis

Diagnosis infeksi HIV dapat dikonfirmasi melalui kultur virus langsung dari
9
limfosit dan monosit darah tepi. Diagnosis juga dapat ditentukan oleh deteksi antigen
virus dengan polymerase chain reaction (PCR). Terlihat penurunan jumlah CD4, ratio
CD4 dan CD8 terbalik dan level serum imunoglobulin meningkat pada HIV positif.
Enzyme- linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan tes skrining HIV yang paling
sering digunakan unruk mengidentifikasi antibodi spesifik virus, baik HIV tipe 1 maupun
HIV tipe 2. Tes ini harus dikonfirmasi dengan Western blot assay atau
immunoflourescent antibody assay (IFA), untuk mendeteksi antigen spesifik virus yaitu

p24, gp120/160 dan gp41.1,2,4,6 American Congress of Obstetrics and Gynecology


(ACOG) merekomendasikan wanita berumur 19-64 tahun untuk melakukan skrining HIV
6
secara rutin, khususnya wanita yang beresiko tinggi diluar umur tersebut. Pada
kunjungan prenatal pertama, ibu hamil harus melakukan skrining untuk infeksi HIV.
1,4,6
Apabila ibu menolak untuk melakukan tes, hal tersebut harus dicantumkan
kedalam rekam medisnya dan skrining bisa dilakukan lagi sebelum umur kehamilan 28
minggu. Apabila hasil tes negatif tetapi dokter memutuskan bahwa ibu adalah resiko
4,6,7
tinggi terinfeksi HIV, tes bisa diulang kembali pada trimester ketiga.

Skrining untuk penyakit seksual lainnya, seperti herpes dan sifilis, juga
dianjurkan pada kehamilan. Pemeriksaan dengan spekulum vagina dikerjakan untuk
mendapatkan hapusan sitologi servikal dan assays untuk gonore dan klamidia. Skrining
ini juga bisa dipakai untuk rubela, hepatitis B dan C, varisella zoster, measles, CMV
dan toksoplasmosis. Apabila tes tuberkulin kulit positif, torak foto sebaiknya dikerjakan
setelah umur kehamilan >12minggu untuk mengidentifikasi penyakit paru aktif. Ibu
hamil dengan HIV positif harus mendapat vaksin hepatitis A, hepatitis B, Pneumovax,
1,2,6,7
untuk mencegah infeksi pneumokokal dan virus influenza, termasuk vaksin H1N1.

Selama kehamilan, status viral load (HIV RNA-PCR) harus diperiksa setiap bulan
sampai virus tidak terdeteksi, dan dilanjutkan 3 bulan sekali setelahnya. Pengobatan yang
tepat dapat menurunkan viral load sebanyak 1 sampai 2 log dalam bulan pertama dan
menghilang setelah 6 bulan pengobatan. Evaluasi jumlah CD4 juga sangat diperlukan
untuk mengetahui derajat imunodefisiensi, perencanaan terapi ARV, terapi antibiotik
2,4,5
profilaksis dan metode persalinan yang akan dilakukan.

10
9. Penatalaksanaan dalam Kehamilan

Tata Laksana Prenatal

Sebelum konsepsi, wanita yang terinfeksi sebaiknya melakukan konseling


dengan dokter spesialis. Program ini membantu pasien dalam menentukan terapi yang
optimal dan penanganan obstetrik, seperti toksisitas ARV yang mungkin terjadi,
diagnosis prenatal untuk kelainan kongenital (malformasi atau kelainan kromosomal) dan
7,8
menentukan cara persalinan yang boleh dilakukan. Wanita yang terinfeksi disarankan
untuk melakukan servikal sitologi rutin, menggunakan kondom saat berhubungan
seksual, atau menunggu konsepsi sampai plasma viremia telah ditekan. Profilaksis
terhadap PCP tidak diperlukan, tetapi infeksi oportunistik yang terjadi harus tetap
7
diobati. Status awal yang harus dinilai pada ibu hamil dengan infeksi HIV adalah
riwayat penyakit HIV berdasarkan status klinis, imunologis (jumlah CD4 <400/ml) dan
4,6
virologis (viral load tinggi). Riwayat pengobatan, operasi, sosial, ginekologi dan
obstetrik sebelumnya harus dilakukan pada kunjungan prenatal pertama. Pemeriksaan
fisik lengkap penting untuk membedakan proses penyakit HIV dengan perubahan fisik
6
normal pada kehamilan.

Intervensi untuk Mencegah Progresifitas Penyakit Pada Ibu Hamil.

Highly active anti-retroviral therapy (HAART) adalah kemoterapi antivirus


yang disarankan oleh WHO untuk ibu hamil sebagai pengobatan utama HIV selama
masa kehamilan dan postpartum. Selain memperbaiki kondisi maternal, HAART terbukti
dapat mencegah transmisi perinatal yaitu dengan mengurangi replikasi virus dan
2,3,4,5,6,8
menurunkan jumlah viral load maternal.

Obat pilihan pertama yang boleh digunakan untuk ibu hamil adalah lamivudine
(3TC) 150 mg dan zidovudine (ZDV) 250 mg untuk golongan nucleoside reverse

11
transcriptase inhibitors (NRTIs), nevirapine (NVP) 200 mg untuk golongan non-NRTIs
(NNRTIs), indinavir 800 mg dan nelfinavir 750 mg untuk golongan protease inhibitors
2
(PI). Obat-obatan ini terbukti memiliki potensi teratogenik dan efek samping maternal
yang sanagt minimal. Sasaran terapi ARV pada kehamilan adalah untuk menjaga viral
load dibawah 1000 kopi/ml. Kombinasi terapi ARV dianjurkan untuk semua kasus yaitu
3,5
2 NRTIs/NNRTIs dengan 1 PI. Berhubung ZDV merupakan satu-satunya obat yang
menunjukkan penurunan transmisi perinatal, obat ini harus digunakan kapan saja
memungkinkan sebagai bagian dari HAART. Apabila viral load <10,000 kopi/mL,
monoterapi ZDV 250 mg dapat diberikan secara oral 2x sehari, dimulai antara umur
kehamilan 20 sampai 28 minggu. Jika wanita yang terinfeksi HIV ditemukan pada
proses kelahiran, baik dengan status HIV positif sebelumnya atau dengan hasil rapid
test, lebih dari satu pilihan pengobatan tersedia, tetapi semua harus termasuk infus
3,4,6,9
ZDV.

Ibu hamil yang terinfeksi HIV dan tidak pernah mendapatkan terapi ARV,
HAART harus dimulai secepat mungkin, termasuk selama trimester pertama. Pada
kasus dimana ibu hamil yang sebelumnya mengkonsumsi HAART untuk kesehatannya
sendiri, harus melakukan konseling mengenai pemilihan obat yang tepat. Efek samping
obat terlihat meningkat pada ibu hamil dengan jumlah sel T CD4+ <250/mL. Misalnya
pada ibu dengan CD4 <200/ml yang sebelumnya mendapat pengobat single dose NVP,
ritonavir-boosted lapinavir ditambah tenofovir-emtricitabine, diganti dengan NVP
ditambah tenofovir-emtricitabine sebagai terapi awal. Oleh karena itu, NVP sebaiknya
bukan single dose karena berpotensi menimbulkan hepatotoksik yang fatal pada ibu
6
hamil. Ibu hamil juga membutuhkan antibiotik profilaksis terhadap infeksi oportunistik

yang dideritanya. Apabila CD4 <200/ml, profilaksis pilihan untuk PCP adalah
Trimetrophine/sulJamethoxazole (TMX/SMX). Pada trimester pertama, sebaiknya obat
ini diganti dengan pentamidine aerosol karena obat berpotensi teratogenik. TMX/SMX
juga digunakan untuk mencegah toksoplasmik ensefalitis dan diberikan saat level CD4
<100/ml. Azithromycin menggantikan clarithromycin sebagai profilaksis MAC. Dosis
seminggu sekali jika jumlah CD4 <50/ml. Wanita yang sebelumnya mengkonsumsi
obat-obatan tersebut sebelum hamil sebaiknya tidak menghentikan

12
1,2,3,6,7
pengobatannya.

Intervensi untuk Mencegah Transmisi Perinatal (PMTCT).

Selain terapi ARV dan profilaksis, pemilihan susu formula dibandingkan ASI
terbukti dapat menurunkan transmisi HIV dari ibu ke anak dari 15-25% sampai kurang
dari 2%. Persalinan dengan elektif seksio sesaria ternyata juga dapat menurunkan
transmisi perinatal. Persalinan ini dinilai dapat meminimalkan terpaparnya janin
terhadapa darah maternal, akibat pecahnya selaput plasenta dan sekresi maternal, saat
janin melewati jalan lahir. Indikasi persalinan dengan elektif seksio sesaria adalah wanita
tanpa pengobatan antiviral, wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load
>50kopi/mL, wanita yang hanya mengkonsumsi monoterapi ZDV, wanita dengan
2,4,5,6,7,9
HIV positif dan koinfeksi virus hepatitis, termasuk HBV dan HCV.

HIV dengan koinfeksi dapat meningkatkan resiko transmisi HBV dan HCV para
perinatal. Oleh sebab itu, kombinasi 3 obat antivirus sangat direkomendasikan tanpa
memperdulikan level viral load. Misalnya pada wanita dengan koinfeksi HBV/HIV,
obat yang digunakan adalah kombinasi dual NRTI tenofovir dengan 3TC/emitricitabine.
Pasien juga harus sadar akan gejala dan tanda dari toksisitas hati dan pemeriksaan
transamninase dilakukan setiap 2-4 minggu. Selain ibu, bayi juga harus menerima
imunoglobulin hepatitis B dan memulai vaksinnya pada 12 jam pertama kelahiran.
Seperti HIV, PROM juga dapat meningkatkan transmisi HCV pada perinatal. Persalinan
dengan elektif seksio sesaria merupakan indikasi pada kasus ini. Bayi harus dievaluasi
dengan tes HCV RNA pada umur 2 dan 6 tahun atau HCV antibodi setelah umur 15
bulan.

Tata Laksana Komplikasi Obstetrik.

Wanita dengan HIV positif yang menjadi lemah mendadak pada masa
kehamilannya, harus segera dievaluasi oleh tim multidisiplin (dokter obstetrik, pediatrik
13
dan penyakit dalam) untuk mencegah kegagalan diagnostik. Komplikasi yang
berhubungan dengan HIV sebaiknya dianggap sebagai penyebab dari penyakit akut pada
ibu hamil dengan status HIV tidak diketahui. Pada keadaan ini, tes diagnostik HIV harus
segera dikerjakan.

HAART dapat meningkatkan resiko lahir prematur. Oleh sebab itu, pemilihan
dan penggunaan terapi ARV yang tepat berperan penting dalam hal ini. Wanita yang
terancam lahir prematur baik dengan atau tanpa PROM harus melakukan skrining infeksi,
khususnya infeksi genital sebelum persalinan. Bayi prematur <32 minggu tidak dapat
mentoleransi medikasi oral, sehingga pemberian terapi ARV pada ibu sesudah dan saat
persalinan akan memberikan profilaksis pada janinnya. Apabila terjadi persalinan
prematur dengan PROM pada umur kehamilan >34 minggu, persalinan harus dipercepat.
Augmentation dapat dipertimbangkan jika viral load <50 kopi/mL dan tidak ada
kontraindikasi obstetrik. Pertimbangan tersebut termasuk pemberian antibiotik intravena
spektrum luas, jika pasien terbukti ada infeksi genital atau korioamnionitis. Lain halnya
pada umur kehamilan <34 minggu, penatalaksanaannya sama tetapi obat antibiotik oral
7
yang diberikan adalah eritromisin. Semua ibu hamil, baik yang terinfeksi HIV maupun
tidak sangat memungkinkan untuk menderita anemia. Untuk itu pemeriksaan darah
6
lengkap wajib dikerjakan.

Tata Laksana Persalinan.

Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu untuk


meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load dan jumlah
CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART harus mendapatkan
4,5,7
obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan, sesudah persalinan. Semua ibu hamil
dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria. Infus
ZDV diberikan secara intravena selama persalinan elektif seksio sesaria dengan dosis 2
mg/kg selama 1 jam, diikuti dengan 1 mg/kg sepanjang proses kelahiran. Pada
persalinan ini, infus ZDV dimulai 4 jam sebelumnya dan dilanjutkan sampai tali pusar
sudah terjepit. British National Guidelines menyarankan pemberian antibiotik peripartum
3,4,6,7,9
pada saat persalinan untuk mencegah terjadinya infeksi.
14
Ruangan operasi juga harus dibuat senyaman mungkin untuk mencegah PROM
sampai kepala dilahirkan melalui operasi insisi. Kelompok meta-analisis Internasional
Perinatal HIV, menemukan bahwa resiko transmisi vertikal meningkat 2% setiap
penambahan 1 jam durasi PROM. Jika persalinan sesaria dikerjakan setelah terjadi
PROM, keuntungan operasi jelas tidak ada. Pada kasus ini, pemilihan jalan lahir harus
disesuaikan secara individu. Oleh karena itu, usahakan agar membran tetap intak selama

6,7
mungkin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ACOG pada tahun 2000, pasien
HAART dengan viral load >1000 kopi/mL, harus konseling berkenaan dengan
keuntungan yang didapat dari persalinan dengan elektif seksio sesaria dalam
menurunkan resiko transmisi vertikal pada perinatal.

Persalinan pervaginam yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh wanita


yang mengkonsumsi HAART dengan viral load <50 kopi/mL. Jika pasien ini tidak
ingin melakukan persalinan lewat vagina, seksio sesaria harus dijadwalkan pada umur
kehamilan 39+ minggu, untuk meminimalkan resiko transient tachypnea of the newborn
7
(TTN). Prosedur invasif seperti pengambilan sampel darah fetal dan penggunaan
2,7
eletrode kulit kepala fetal merupakan kontraindikasi. Pada persalinan pervaginam,
amniotomi harus dihindari, tetapi tidak, jika proses kelahiran kala 2 memanjang. Jika
terdapat indikasi alat bantu persalinan, forsep rendah lebih disarankan untuk janin karena
6,7
insiden trauma fetal lebih kecil.

Tata Laksana Postnatal

Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi.


Dosis terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa kembali.
Regimen yang digunakan adalah kombinasi single dose NVP 200 mg dengan 3TC 150 mg
tiap 12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama 7 hari pospartum untuk
mencegah resistensi NVP. Imunisasi MMR dan varicella zoster juga diindikasikan, jika
jumlah limfosit CD4 diatas 200 dan 400. Ibu disarankan untuk menggunakan
1,2,4,6,7
kontrasepsi pada saat berhubungan seksual.

15
Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi
perinatal. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu
2,3,5
dengan HIV positif, meskipun mereka mendapatkan terapi ARV. Saran suportif
mengenai susu formula pada bayi sangat diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada
bayi. Menurut penelitian yang dilakukan di Eropa, semua wanita dengan HIV positif
direkomendasikan untuk mengkonsumsi kabergolin 1 mg oral dalam 24 jam setelah
7
melahirkan, untuk menekan laktasi.

Tata Laksana Neonatus

Semua bayi harus diterapi dengan ARV <4 jam setelah lahir. Kebanyakan bayi
diberikan monoterapi ZDV 2x sehari selama 4 minggu. Jika ibu resisten terhadap ZDV,
obat alternatif bisa diberikan pada kasus bayi lahir dari ibu HIV positif tanpa indikasi
terapi ARV. Tetapi untuk bayi beresiko tinggi terinfeksi HIV, seperti anak lahir dari ibu
yang tidak diobati atau ibu dengan plasma viremia >50 kopi/mL, HAART tetap menjadi
3,5,7
pilihan utama.

Pemberian antibiotik profilaksis, cotrimoxazole terhadap PCP wajib dilakukan.


Tes IgA dan IgM, kultur darah langsung dan deteksi antigen PCR merupakan
serangkaian tes yang harus dijalankan oleh bayi pada umur 1 hari, 6 minggu dan 12
minggu. Jika semua tes ini negatif dan bayi tidak mendapat ASI, orang tua dapat
menyatakan bahwa bayi mereka tidak terinfeksi HIV. Konfirmasi HIV bisa dilakukan
1,7
lagi saat bayi berumur 18 sampai 24 bulan.

KESIMPULAN

AIDS merupakan masalah kesehatan internasional yang perlu segera


ditanggulangi. AIDS berkembang secara pandemi hampir di setiap negara di Dunia,
termasuk Indonesia. Epidemi yang terjadi meliputi penyakit (AIDS), virus (HIV)
dan epidemi reaksi atau dampak negatif diberbagai bidang seperti kesehatan, sosial,
ekonomi, politik, kebudayaan, dan demografi. Sampai saat ini obat dan vaksin untuk
16
menaggulangi AIDS belum ditemukan. Untuk itu alternatif lain yang lebih mendekati
dalam upaya pencegahan. Upaya pencegahan dapat dilakukan oleh semua pihak asal
mengetahui cara-cara penularan AIDS.

Di negara berkembang, lebih dari 10 juta wanita hamil hidup dengan HIV/AIDS.
Sebanyak 80% kasus disebabkan oleh hubungan heteroseksual, 20% akibat
terkontaminasi jarum suntik dan sisanya melalui transfusi darah dan transmisi perinatal.
Frekuensi rata-rata transmisi vertikal dari ibu ke anak dengan infeksi HIV mencapai
30%. Kasus tertinggi terjadi akibat terpaparnya intrapartum terhadap darah maternal,
sekresi saluran genital yang terinfeksi dan ASI. ACOG merekomendasikan wanita
berumur 19-64 tahun untuk melakukan skrining HIV secara rutin, khususnya wanita
yang beresiko tinggi diluar umur tersebut. Kombinasi terapi ARV yang tepat dan
pemilihan cara persalinan, yaitu persalinan dengan elektif seksio sesaria terbukti dapat
menurunkan prevalensi transmisi HIV dari ibu ke anak dan mencegah komplikasi
obstetrik secara signifikan. Konseling dan Fo l low up dengan dokter spesialis dari awal
kehamilan sampai persalinan juga sangat dianjurkan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Berita AIDS III No.3/2004. Berita AIDS III No. 4/2004. Departemen Kesehatan RI
"Petunjuk Pengembangan Program Nasional Pemberantasan dan Pencegahan AIDS,
Jakarta 2004.
2. Gabbe SG, Nielbyl JR, Simpson JL. Maternal and Perinatal Infection. Dalam:
Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. Edisi ke-4. Philadelphia: Churchill
Livingstone, 2002; h.1320-25.
3. Department of HIV/AIDS, Department of Reproductive Health and Research.
Antiretroviral Drugs For Treating Pregnant Women and Preventing HIV
Infection in Infants. Dalam: Guidelines on Care, Treatment and Support for Women
Living With HIV/AIDS and Their Children in Resource-Constrained Settings.
Geneva: WHO. 2004; h. 1-41.
4. Minkoff HL. Human Immunodeficiency Virus. Dalam: Creasy RK, Resnik R,
Iams JD, penyunting. Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. Edisi ke-5.
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2010; h. 803-14.
5. Zorilla CD, Tamayo-Agrait V. Pharmacologic and Non-Pharmacologic Options for
The Management of HIV Infection During Pregnancy. HIV/AIDS Research and
Palliative Care in Review. 2009;1:41-53.
6. Marino T. HIV in Pregnancy. Emedicine, 2010.
7. Green-top Guideline No.39. Management of HIV in Pregnancy. Royal College of
Obstetricians and Gynecologists. 2010; h. 1-28.
8. Coll O, Suy A, Hernandez S, Pisa S, Lonca M, Thorne C, Borrell A. Prenatal
Diagnosis in HIV-Infected Women: A New Screening Program For Chromosomal
Anomalies. American Journal of Obstetricians and Gynecologists.2006;194:192-8.

18
9. Chasela CS, Hudgens MG, Jaimeson DJ, Kayira D, etc. Maternal or Infant
Antiretroviral Drugs to Reduce HIV-1 Transmission. N Engl J Med.
2010;362:2271-81.
10. James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B. Human Immunodeficiency Virus.
High Risk Pregnancy: Management Options. Edisi ke-1. London: W. B. Saunders
Company Ltd, 2004; h. 498-502.
11. Health Care Without Harm. http://www.noharm.org .
12. Partnership for Quality Medical Donations. http://pqmd.org .
13. Soemarsono "Patogenesis, Gejala klinis dan Pengobatan Infeksi HIV" AIDS;
Petunjuk Untuk Petugas Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta 2008.
14. Syarifuddin Djalil "Pelayanan Laboratorium Kesehatan Untuk Pemeriksaan
Serologis AIDS" AIDS; Petunjuk Untuk Petugas Kesehatan, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta 2008.

19

Anda mungkin juga menyukai