Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
SLE (systemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit radang multi sistem yang
sebabnya belum ketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminant
atau kronik dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam
tubuh.
Penyebab diduga terjadi karena berbagai faktor multi faktoral antara lain : genetic,
hormonal, sistem imun dan faktor genetic (HLA yang berperan adalah HLA DR3) HLA
D2 menimbulkan gejala lupus nepritis HLA DR3 menunjukkan gejala musculoskeletal.
Pada SLE peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
Supresor yang abdormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan inflamasi akan menstimulasikan antigen selanjutnya serangan antibody
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan penyakit SLE?
2. Apa penyebab penyakit SLE?
3. Apa tanda dan gejala penyakit SLE?
4. Apa klasifikasi dari penyakit SLE?
5. Apa komplikasi dari penyakit SLE?
6. Apa patofisiologi dari penyakit SLE?
7. Apa pathway dari penyakit SLE?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostic dari penyakit SLE?
9. Bagaimana pelaksanaan medis dari penyakit SLE?
10. Bagaimana pengkajian dari Penyakit SLE?
11. Apa saja diagnose dari penyakit SLE?
12. Apa saja intervensi dari penyakit SLE?
13. Apa saja implementasi dari penyakit SLE?
14. Bagaimana evaluasi dari penyakit SLE?
C. Tujuan

1
1. Untuk mengetahui pengertian dari penyakit SLE
2. Untuk mengetahui penyebab dari penyakit SLE
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit SLE
4. Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit SLE
5. Untuk mengetahui komplikasi dari penyakit SLE
6. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit SLE
7. Untuk mengetahui pathway dari penyakit SLE
8. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit SLE
9. Untuk mengetahui pelaksanaan medis dari penyakit SLE

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi
yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi
dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ
tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem
pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh.
Jika penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan
pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun,
artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh
sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang mengganggu sistem kekebalan, sehingga banyak
sistem atau jaringan tubuh lain yang mengalami gangguan.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang selsel jaringan
organ tubuh yang sehat. sistem imun yang terbentuk berlebihan. kelainan ini dikenal
dengan autoimunitas. pada kasus satu penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah
yang rasanya terbakar (lupus DLE). pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan
itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE). SLE (Sistemics
lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam.
2. Etiologi
Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES. Kecenderungan terjadinya LES
dapat berhubungan dengan perubahan gen MHC spesifik dan bagaimana antigen sendiri
ditunjukkan dan dikenali. Wanita lebih cenderung mengalami LES dibandigkan pria,
karena peran hormon seks. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan

3
kehamilan atau menyususi. Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang
berlebihan dapat mencetuskan penyakit. Penyakit ini biasanya mengenai wanita muda
selama masa subur. Penyakit ini dapat bersifat ringan selama bertahn-tahun, atau dapat
berkembang dan menyebabkan kematian (Elizabeth, 2009).
 Faktor risiko genetic
Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada
pria dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor
keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga di mana terdapat
anggota dengan penyakit tersebut).
 Faktor risiko hormone
Estrogen menambah risiko LES, sedang androgen mengurangi risiko ini.
 Sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif,
sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran di pemuluh darah.
 Imunitas
Pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
 Obat
Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE).
 Infeksi
Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi.
 Stres
Stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini (Arif Mansjoer, 2000).

3. Manifestasi Klinis√
Pada dasarnya gejala penyakit lupus dapat berbeda-beda pada setiap orang
tergantung usia, keparahan penyakit, riwayat medis, serta kondisi pasien secara
menyeluruh. Selain itu, gejala penyakit lupus juga biasanya dapat berubah-ubah setiap
waktu. Namun ada beberapa tandan dan gejala khas dari penyakit lupus yang mungkin
biasa Anda amati dan waspadi. Berikut beberapa tanda dan gejala SLE adalah:
 Lemas, lesu dan tidak bertenaga
 Nyeri sendi dan bengkak atau kekakuan, biasanya ditangan, pergelangan tangan dan
lutut

4
 Memiliki bintil merah pada bagian tubuh sering terkena matahari pada wajah, pipi
dan hidung
 Jari berubah warna dan menjadi terasa sakit ketika terkena dingin
 Sakit kepala
 Rambut rontok
 Pleurisy (radang selaput paru-paru) yang membuat bernapas terasa menyakitkan,
disertai sesak napas
4. Klasifikasi
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit
Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di
dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan
system saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus
Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu.
Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
5. Komplikasi
Infeksi. Dikarenakan penderita lupus memiliki sistem imun yang lebih
lemah akibat obat dan penyakit lupus itu sendiri, maka mereka rentan terkena
infeksi. Infeksi yang sering terjadi pada penderita lupus biasanya meliputi infeksi
saluran kemih, infeksi saluran pernapasan yang dapat disebabkan oleh bakteri,
virus atau jamur
Kematian jaringan tulang (nekrosis avaskular). Komplikasi ini terjadi
pada saat aliran darah ke jaringan tulang berkurang, sehingga menyebabkan
kerusakan tulang.
6. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan

5
(cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidrakazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di
samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi
autoimun diperkirakan terjadi akibat sel T-supresor yang abnormal sehingga
timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibody tambahan dan siklus
tersebut berulang kembali.
7. Pathway

Genetic, kuman/virus, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu

Pr autoimun berlebihan↓↓↓

Perubahan Autoimun meyerang organ-organ tubuh (sel, jaringan)

perfusi jaringan Penyakit lupus

Prod antibody secara terus menerus

Mencetus penyakit inflamasi

Kerusakan sendi paru-paru hati

Integritas atritis efusi pleura terjadi keusakan

Kulit intoleransi tdk efektif sintesa zat2 di

Aktivitas pola napas butuhkan tubuh

Perubahan nutrisi
dari kebutuhan tubuh

6
8. Pemeriksaan Diagnostik√
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
 Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi
antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini
juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi
antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA
rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk
lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah
untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem
kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan
untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
 Ruam kulit atau lesi yang khas
 Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
 Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura
atau jantung.
 air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau ++
+.
 Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
 Biopsi ginjal.
 Pemeriksaan saraf.
9. Penatalaksanaan Medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:
1. Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang
dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian penderita
SLE juga mengalami gangguan pada hati. Penderita LES juga memiliki risiko
tinggi terhadap efek samping obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal
sehingga pemberian harus dipantau secara seksama.
2. Kortikosteroid

7
3. Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak dapat
mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan
dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit
merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis.
4. Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk
menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika:
a. Diagnosis pasti sudah ditegakkan
b. Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
c. Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian
steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan
karena adanya efek samping
d. Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan Lorraine,
1995).

8
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan√
1) Anamnesis
a. Penyakit lupus ertitematosus sistemis bias terjadi pada wanita maupun
pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan
wanita dan pria 8:1
b. Biasanya di temukan pada ras-rasa tertentu seperti negro, cina dan
filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu usia produktif
2) Keluhan utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra dari pasien.
3) Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah menderita pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang
lain.
4) Riwayat penyakit sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam
malar-fotoseintesi, ruam discoid bitnik-bintik eritematosis menimbulkan :
artalagia?arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuretik, pericarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan
d. Keluhan-keluhan lain yang menyertai
5) Riwayat pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid dan isoniazid.

9
6) Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga pernah mengalami penyakit yang sama atau
autoimun lainnya.

2. Diagnosa Keperawatan√
1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa zat-zat penting
untuk tubuh
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel
4. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret
5. Intoleren aktifitas b/d peradangan pada sendi
3. Intervensi Keperawatan
1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisa kulit
a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan. R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status
dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim. R/: mempertahankan kebersihan karena kulit yang
kering dapat menjadi barier infeksi.
c. Gunting kuku secara teratur. R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan
risiko kerusakan dermal.
d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk. R/: dapat mengurangi kontaminasi
bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
e. Kolaborasi gunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi R/: digunakan
pada perawatan lesi kulit.
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan mual/ muntah.

10
a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan. R/: lesi mulut,
tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan
pasien mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.
b. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan
sekresi. Hindari obat kumur yang mengandung alcohol. R/: Mengurangi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan mual/muntah, lesi oral, pengeringan
mukosa dan halitosis. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
c. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi
pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi. R/:
lambung yang penuh akan akan mengurangi napsu makan dan pemasukan
makanan.
d. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin. R/: dapat meningkatkan napsu
makan dan perasaan sehat. e. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari
prosedur yang melelahkan saat mendekati waktu makan. R/: mengurangi rasa
lelah; meningkatkan ketersediaan energi untuk aktivitas makan.
f. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.R/: mempermudah proses
menelan dan mengurangi resiko aspirasi.
g. Catat pemasukan kalori R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen atau
alternative metode pemberian makanan.
h. Kolaborasi Konsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi. R/:
Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat.
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel
a. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas, catat laporan kelelahan,
keletihan dan kesulitan menyelesaikan tugas. R/: Mempengaruhi pilihan
intervensi/bantuan
b. Kaji kehilangan/gangguan keseimbangan gaya jalan, kelemahan otot. R/:
Menunjukkan perubahan neurologi karena defisiensi vitamin B12
mempengaruhi keamanan pasien/risiko cedera.

11
c. Awasi TD, nadi, pernapasan, selama dan sesudah aktivitas, catat respons
terhadap tingkat aktivitas. R/: Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung
dan paru untuk membawah jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
d. Berikan lingkuan tenang. Pertahankan tirah baring. Pantau dan batasi
pengunjung. R/: Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen
tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru
e. Ubah posisi pasien dengan perlahan da pantau terhadap pusing. R/: Hipotensi
postural atau hipoksi serebral dapat menyebabkan pusing dan peningkatan
resiko cedera.
f. Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat. Pilih
periode istirahat dengan periode aktivitas. R/: Mempertahankan tingkat energy
dan meningkatkan regangan pada sistem jantung dan pernapasan.
g. Berikan bantuan aktivitas/ambulasi bila perlu memungkinkan pasien untuk
melakukannya sebanyak mungkin. R/: Membantu bila perlu, harga diri
ditingkatkan bila pasien melakukan sesuatu sendiri.
h. Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, termasuk aktivitas yang pasien
pandang perlu. Tingkatkan tingkat aktivitas sesuai intoleransi. R/:
meningkatkan secara bertahap tingkat aktivitas sampai normal dan
memperbaiki tonus otot/stamina tanpa kelemahan. Meningkatkan harga diri
dan rasa terkontrol.
i. Gunakan teknik penghematan enegi, mis, mandi dengan duduk untuk
melakukan tugas-tugas. R/: Mendorong pasien melakukan banyak dengan
membatasi penyimpangan energy dan mencegah kelemahan.
j. Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, napas
pendek, kelemahan dan pusing. R/: Regangan/stress kardiopulmonal
berlebihan dapat menimbulkan dekompensasi/kegagalan
4. Ketidakefektifan pola napas b/d peningkatan produksi secret
a. Auskultasi bunyi napas.catat adanya bunyi napas. R/: Beberapa derajat spasme
bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak dimanifestasikan
adanya bunyi napas adventius.

12
b. Kaji/pantau frekuensi pernapasa. Catat rasio inspirasi/ekspirasi. R/: Takipnea
biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan
atau selama stress atau adanya proses infeksi akut.
c. Catat adanya derajat dyspnea. R/: Disfungsi pernapasan adalah variable yang
tergantung pada ahap proses kronsis selain proses akut yang menimbulkan
perawatan di rumah sakit.
d. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman. R/: Peninggian kepala tempat tidur
mempermudah fungsi pernapasan dengan gravitasi. Namun, pasien dengan
disters berat akan mencari posisi yang paling mudah bernapas.
e. Pertahankan polusi lingkungan. R/: Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan
yang dapat menriger episode akut.
f. Observasi karakteristik batuk. R/: Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif,
khususnya bila pasien lansia, sakit akut atau kelemahan. Batuk paling efektif
pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.
g. Tingkatkan masukan cairan sampai 300 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan sebagai peganti makan. R/:
Hidrasi membantu menurunkan kekentalan secret , mempermudah
pengeluaran. Penggunan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
Cairan selama makan meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada
diafragma.
5. Intoleransi Aktifitas b/d nyeri pada persendian
a. Tingkatkan tirah baring/duduk. Berikan lingkungan tenang; batasi
pengunjung sesuai keperluan. R/: Meningkatkan istirahat dan ketenangan.
Menyediakan energy yang digunakan untuk penyembuhan. Aktivitas dan
posisi duduk tegak diyakini menurunkan aliran darah ke kaki yang mencegah
sirkulasi optimal ke sel hati.
b. Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik. R/:
Meningkatkn fungsi pernapasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu
untuk menurunkan risiko kerusakan jaringan.
c. Lakukan tugas dengan cepat dan sesuai toleransi. R/: Memungkinkan periode
tambahan istirahat tanpa gangguan.

13
d. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi. Bantu melakukan latihan rentang gerak
sendi pasif/aktiv. R/: Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan, ini
dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode
istirahat.\
e. Dorong penggunaan teknik manajemen stress. Contoh relaksasi progresif.
Berikan aktivitas hiburan dengan menonton TV, radio dan membaca. R/:
Meningkat relaksasi dan penghematan energy, memusatkan kembali perhatian
dan dapat meningkat koping.
f. Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan pembesaran hati. R/:
Menunjukkan kurangnya resolusi penyakit, memerlukan istirahat lanjut atau
mengganti program terapi.
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan, dimana
perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan Implementasi keperawatan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan
kriteria hasil yang diharapkan
Implementasi keperawatan adalah kegiatan mengkoordinasikan aktivitas pasien,
keluarga, dan anggota tim kesehatan lain untuk mengawasi dan mencatat respon pasien
terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan (Nettina, 2002).
Jadi, implemetasi keperawatan adalah kategori serangkaian perilaku perawat yang
berkoordinasi dengan pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan lain untuk membantu
masalah kesehatan pasien yang sesuai dengan perencanaan dan kriteria hasil yang telah
ditentukan dengan cara mengawasi dan mencatat respon pasien terhadap tindakan
keperawatan yang telah dilakukan.

Jenis implementasi keperawatan

Sedangkan dalam melakukan implementasi keperawatan, perawat dapat


melakukannya sesuai dengan rencana keperawatan dan jenis implementasi keperawatan.
Dalam pelaksanaannya terdapat tiga jenis implementasi keperawatan, antara lain:

14
a. Independent implementations.
Adalah implementasi yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu klien
dalam mengatasi masalahnya sesuai dengan kebutuhan, misalnya: membantu dalam
memenuhi activity daily living (ADL), memberikan perawatan diri, mengatur posisi
tidur, menciptakan lingkungan yang terapeutik, memberikan dorongan motivasi,
pemenuhan kebutuhan psiko-sosio-spiritual, perawatan alat invasive yang
dipergunakan klien, melakukan dokumentasi, dan lain-lain.
b. Interdependen/ Collaborative implementations
Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerjasama sesama tim keperawatan atau
dengan tim kesehatan lainnya, seperti dokter. Contohnya dalam hal pemberian obat
oral, obat injeksi, infus, kateter urin, naso gastric tube (NGT), dan lain-lain.
Keterkaitan dalam tindakan kerjasama ini misalnya dalam pemberian obat injeksi,
jenis obat, dosis, dan efek samping merupakan tanggungjawab dokter tetapi benar
obat, ketepatan jadwal pemberian, ketepatan cara pemberian, ketepatan dosis
pemberian, dan ketepatan klien, serta respon klien setelah pemberian merupakan
tanggung jawab dan menjadi perhatian perawat.
c. Dependent implementations.
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain, seperti ahli gizi,
physiotherapies, psikolog dan sebagainya, misalnya dalam hal: pemberian nutrisi
pada klien sesuai dengan diit yang telah dibuat oleh ahli gizi, latihan fisik (mobilisasi
fisik) sesuai dengan anjuran dari bagian fisioterapi
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi, yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa
jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari pengkajian,
diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri. (Ali, 2009). Evaluasi dilakukan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencanaan,
membandingkan hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap
pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan. (Mubarak, dkk., 2011)
Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana: (Suprajitno dalam Wardani, 2013)

15
S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga
setelah diberikan implementasi keperawatan.

O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan


yang objektif.

A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.

P: Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.

Tugas dari evaluator adalah melakukan evaluasi, menginterpretasi data sesuai dengan
kriteria evaluasi, menggunakan penemuan dari evaluasi untuk membuat keputusan dalam
memberikan asuhan keperawatan. (Nurhayati, 2011)

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang kami sampaikan dalam makalah ini, maka dapat disimpulan
bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang
melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan,
yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel
B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody polispesifik.Selain itu, pada
banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Sehingga sering terjadi
keterlambatan diagnosis penyakit LES.
B. Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena
penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena,
apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya
bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah
timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk
penyakit ini ketika masih ringan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Mrdikal-Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.
Gusti Pandi Liputo. 2012. “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan  Sistem Imunologi
Lupus”, (Online), (http://gustinerz.wordpress.com/2012/04/06/pdf-asuhan-keperawatan-lupus-les/,
diakses 25 Oktober 2012).
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Buku 2
Edisi 4. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.

18

Anda mungkin juga menyukai