Anda di halaman 1dari 34

Tugas individu

TEKNOLOGI KARBOHIDRAT

OLEH :
NAMA : KHULLATUN KHUMEROH
NIM : Q1A118083
KELAS : ITP (B) 2018

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
KELOMPOK 10 :
JUDUL JURNAL :
1. MODIFIKASI PATI SINGKONG (Manihot esculenta) DENGAN ENZIM α-
AMILASE SEBAGAI AGEN PEMBUIH SERTA APLIKASINYA PADA PROSES
PEMBUATAN MARSHMALLOW
2. Pemanfaatan Enzim Αlpha-amilase pada Modifikasi Pati Singkong

Sebagai Substitusi Gelatin Produk Marsmallow


JUDUL : “Pemanfaatan Enzim α-Amilase pada modifikasi pati singkong sebagai agen
pembuih serta aplikasinya pada pembuatan marshmellow”
TUJUAN :
1. Untuk mengetahui definisi pati singkong.
2. Untuk mengetahui cara modifkasi pati dengan alpha amilase.
3. Untuk mengetahui pengaplikasian Maltodekstrin sebagai Agen Pembuih pada Produk
Marsmallows.
METODE : “ Prosedur Kerja “
 Alat
Alat yang digunakan untuk pembuatan pati singkong yaitu pengering kabinet
otomatis, blender (philips), ayakan retsch 5657 100 mesh, dan neraca analitik (Denver
Instrument M-310). Alat yang digunakan untuk perlakuan modifikasi pati dengan enzim
αamilase yaitu spatula, erlenmeyer (pyrex), shaker waterbath (memmert), vortex (LW
Scientific), neraca analitik (Denver Instrument M-310), oven listrik (memmert), pH meter
(ezido), dan ayakan retsch 5657 80 mesh.
Alat yang digunakan untuk pembuatan marshmallow yaitu kompor, pengaduk, mixer
(Cosmos), termometer, panci, neraca analitik, dan wadah pencetak. Alat yang digunakan
untuk analisis yaitu neraca analitik (Denver Instrument M-310, desikator, mesin oven kering
(memmert), spektofotometer (Unico UV2100), bola hisap, pendingin balik, homoginizer,
serta alat-alat gelas, termometer, dan SEM (Scanning Electron Microscopy).
 Bahan
Bahan dasar yang digunakan untuk penelitian ini adalah umbi singkong yang
diperoleh dari Dusun Bumirejo, Kecamatan Wonosari, Wonorejo, Malang dan enzim
amylase (EC. 3.1.2.1) dari bakteri Bacillus sp yang diperoleh dari SigmaAldrich untuk
modifikasi pati singkong secara enzimatis.
Bahan kimia yang dibutuhkan untuk analisis yaitu aquades, etanol 80%, PE, alkohol
10%, aquades, HCl 25%, reagen Nelson, reagen Arsenomolibdat, etanol 95%, NaOH 1 N,
asam asetat 1 N, dan larutan iod. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pembuatan
marshmallow yaitu gelatin sapi komersial, sukrosa, sirup glukosa, air, dan flavor.
 Tahapan Penelitian

Ekstraksi Pati Singkong

Modifikasi Pati Singkong Secara Enzimatis

Aplikasi Maltodekstrin sebagai Agen Pembuih pada Produk Marshmallows

HASIL DAN PEMBAHASAN :

 Definisi pati singkong

Pati singkong adalah pati yang didapatkan dari umbi singkong (Manihot utilissima).
Sampai saat ini, pati singkong telah banyak dieksploitasi secara komersial dan masih
merupakan sumber utama kebutahan pati. Pati yang diperoleh dari ekstraksi umbi singkong
ini akan memberikan warna putih jika diekstraksi secara benar. Pati singkong memiliki
granula dengan ukuran 5-35 μm dengan rata-rata ukurannya di atas 17 μm (Samsuri, 2008).
Granula pati singkong akan pecah apabila dipanaskan pada suhu gelatinisasinya. Pati
singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi
bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi. Suhu gelatinisasi pada 62-73 OC,
sedangkan suhu pembentukan pasta pada 63OC. Menurut Santoso, Saputra, dan Pambayun
(2004), pati singkong relative mudah didapat dan harganya yang murah.
Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari pati
itu sendiri. Untuk pati dari ubi-ubian, proses utama dari ekstraksi terdiri perendaman,
disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH
yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia seperti perubahan warna dari ubi. Disintegrasi
dan sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Cui, 2005 dalam
Wahyu, 2008).
 MODIFIKASI PATI DENGAN α- AMILASE
Jumlah pati di alam sangat banyak akan tetapi penggunaannya di bidang industri
masih terbatas dikarenakan sifat fungsionalnya yang rendah. Modifikasi secara fisik, kimia,
dan enzimatis dapat meningkatkan sifat fungsional pati alami sehingga memperluas
penggunaannya terutama dalam bidang makanan (Moore et al. 2005).

Singkong merupakan sumber pati yang sebagian besar komponennya tersusun atas air
dan karbohidrat, sedangkan komponen lain seperti lemak, protein dan abu ada dalam jumlah
yang relatif sedikit. komponen air dalam singkong mencapai 59,88% bahan (bb), sementara
karbohidrat sebesar 37,77% (bb) dihitung berdasarkan by difference nilai karbohidrat hasil
perhitungan tersedia pada Tabel 1 dimana didalamnya termasuk pati dan serat kasar.
Sumber karbohidrat pada singkong berupa pati dan tersusun dari banyak ikatan
glikosidik yang stabil pH tinggi tetapi terhidrolisis pada pH rendah. Pati terdiri dari amilosa
dan amilopektin. Amilosa merupakan bentuk polimer rantai lurus panjang yang dapat
memiliki hingga 6000unit sukrosa, dengan ujung a, 1-4 gilosidik. Amilopektin merupakan
bentuk rantai pendek yang hanya tersusun dari 10 hingga 60 rantai pendek a 1-4 gilosidik dan
15 hingga 45 rantai a 1-6 gilosidik. Kandungan amilosa dan amilopetin pada bahan pangan
bervariasi, tetapi adanya amilosa dapat mengindikasi derajat polimerisasi pati suatu bahan
pangan atau DP (Amira et al. 2012).
Secara garis besar, modifikasi pati memiliki dua tahapan yaitu likuifikasi dan
sakarifikasi. Likuifikasi adalah tahap penambahan enzim α-amilase menghasilkan
maltodekstrin ataupun oligosakarida lain. Sakarifikasi adalah proses lebih lanjut dari hasil
likuifikasi dengan penambahan berbagai jenis enzim sesuai dengan jenis produk akhir yang
diinginkan (Howard 2015). Enzim yang ditambahkan dalam tahap likuifikasi adalah enzim
amilase atau glukoamilase. Glukoamilase atau amiloglukosidase adalah enzim yang dapat
memisahkan glukosa dari pati cair secara bertahap sehingga menghasilkan produk akhir
berupa glukosa. Enzim ini sering digunakan sebagai pengganti α-amilase. Glukoamilase
diperoleh dari Aspergillus niger dan digunakan untuk produksi sirup glukosa (NCBE 2016).
Amilase adalah enzim yang berfungsi memutus ikatan glikosidik untuk
menghidrolisis pati menghasilkan dekstrin dan oligosakarida. Jenis amilase ada tiga yaitu, α-
amilase, β- amilase, dan γ-amilase. Amilase yang sering digunakan pada hidrolisis pati adalah
α-amilase (Sundarram et al. 2014). Enzim α-amilase merupakan endoamilase yang membelah
ikatan α-1,4 glikosidik rantai amilosa atau amilopektin untuk menghasilkan produk dengan
konfigurasi α (Martinez et al. 2015). Aktivitas enzim ini dipengaruhi oleh keberadaan
kofaktor kalsium sehingga disebut juga sebagai metalloenzim. Meskipun dapat memutus
ikatan α-1,4 glikosidik, α-amilase tidak bisa memutus ikatan α-1,6 glikosidik. Enzim
αamilase untuk modifikasi pati dapat diperoleh dari Bacillus spp. (Junliang et al. 2010).
Daya kerja α-amilase sangat dipengaruhi oleh suhu dan pH. pH optimum α-amilase
adalah 7, akan tetapi nilai ini berbeda-beda untuk setiap sumber amilase. α-amilase dari
Bacillus amyloliquefaciens bekerja optimum pada pH 7 sedang α-amilase dari Thermococcus
profundus bekerja optimum pada pH 5. Enzim α-amilase juga memiliki sifat thermostability
yang berbeda bergantung pada sumber enzimnya. Bacillus amyloliquefaciens adalah salah
satu mikroba yang dapat menghasilkan α-amilase dengan thermostability yang baik.
Thermostability ini diperlukan pada pemilihan enzim untuk modifikasi pati singkong karena
proses likuifaksi pati singkong dilakukan pada suhu tinggi, yaitu sekitar 100–110°C.
(Sundarram et al. 2014).
Enzim α-amilase dapat diisolasi dari bakteri Bacillus subtilis, enzim yang diisolasi
melalui bakteri tersebut amat stabil pada suhu tinggi, dengan suhu optimum pemanfaatannya
berada pada suhu 70-90oC. Enzim ini masih cukup stabil dalam suhu rendah pada pH
dibawah 6, walaupun demikian enzim tersebut tidak dapat bekerja pada pH dibawah 5. Pada
suhu 70oC, enzim ini akan kehilangan aktivitasnya dengan cepat pada pH dibawah 6, namun
cukup stabil dikisaran pH 6-10 (Sutanto 2001). bakteri lain yang dapat menghasilkan enzim
αamilase adalah B. licheniformis. enzim yang terbentuk melalui bakteri tersebut bekerja
optimum pada suhu 60oC dan pada pH sekitar 6. dengan bertambahnya suhu, maka pH
optimum juga meningkat hingga berapa pada kisaran 7,0 (Sutanto 2001).
 Aplikasi Maltodekstrin sebagai Agen Pembuih pada Produk Marsmallows
Maltodekstrin adalah produk hidrolisis pati dengan kandungan unit α-Dglukosa yang
sebagian besar terikat dalam ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. kandungan
maltodextrin adalah campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida, dan dekstrin.
maltodekstrin biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose Equivalent).
Maltodekstrin yang memiliki nilai DE rendah akan memiliki sifat higroskopis
sedangkan maltodekstrin yang memiliki DE tinggi akan memiliki karakteristik mudah
menyerap air. Gambar 4.1 menunjukkan adanya hubungan lama inkubasi dan konsentrasi
ensim terhdaap nilai DE. Maltodekstrin yang dihasilkan melalui peningkatan konsentrasi
enzim a-amilase dan lama inkubasi, dapat menghasilkan maltodekstrin dengan nilai DE yang
semakin tinggi. Nilai DE yang tinggi dapat mengurangi kemampuan maltodekstrin dalam
pembentukan buih yang stabil. Kamampuan agen pembuih dipengaruhi oleh susunan
gelembung udara, selain itu kemampuan agen pembuih tidak dapat dapat stabil secara
termodinamikal dalam cairan murni. Susunan gelembung udara berbentuk dry pilyhedal akan
menghasilkan komponen buih yang lebih stabil dibandingkan susunan gelembung udara wet
sperichal. Hal ini menunjukkan bila maltodekstrin memiliki gelembung udara berbentuk wet
sperichal dan bila dicairkan dengan cairan murni akan menghasilkan buih yang kurang stabil
(Suryani dan fithri 2015).

Penggunaan maltodekstrin di bidang pangan tergolong luas dan masih terus


dikembangkan. Salah satu penggunaannya adalah sebagai alternatif gelatin dalam pembuatan
marshmallow (Suryani dan Fithri 2015) selain itu maltodekstrin juga merupakan bahan
pengisi dalam makanan, beberapa kelebihan maltodekstrin adalah memiliki rasa yang tidak
manis, atau tidak memiliki rasa serta mudah larut di dalam air sehingga mudah untuk
digunakan (Kuntz 1998).
Marshmallow merupakan kembang gula yang memiliki berat ringan, lembut, dan
berbentuk seperti spons. marshmallow dibuat dengan cara mengocok gula hingga berbuih
dengan bantuan gelatin. Komponen utama marshmallow adalah udara dan air. Udara
berfungsi untuk meningkatkan volume dan tekstur, sedangkan air berperan sebagai media
pelarut dan pembentuk sistem gel. Untuk meningkatkan stabilitas dari busa pada
marshmallow diperlukan adanya komponen bahan selain udara dan air, yaitu foaming agent
dan whipping agent (Suryani dan Fithri 2015).
A. Rendemen Maltodekstrin
Hasil rerata rendemen dari maltodekstrin perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan
lama inkubasi yaitu berkisar antara 58.24 – 60.73%. Rendemen maltodekstrin pada berbagai
kondisi perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan lama inkubasi dapat dilihat pada Gambar
1.

Konsentrasi enzim merupakan faktor penting untuk mempengaruhi aktivitas enzim.


Kecepatan suatu reaksi akan bertambah dengan bertambahanya konsentrasi enzim yang
berperan sebagai katalis pada reaksi tersebut. Aktivitas enzim berhubungan linier dengan
konsentrasi enzim. Beberapa penyimpangan linier aktivitas enzim dapat terjadi dan
disebabkan oleh beberapa faktor penghambat, yaitu inhibitor dalam preparasi enzim,
aktivator dalam preparasi enzim, habisnya substrat, dan inaktivator (adanya logam berat
dalam campuran reaksi). Amilosa pada pati lebih banyak dipecah oleh enzim α-amilase
dengan semakin bertambahnya lama inkubasi untuk menghasilkan maltodekstrin. Enzim α-
amilase mendegradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak dan
sangat cepat. Selain itu, enzim α-amilase bekerja pada molekul amilopektin untuk
menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jenis α-limit dekstrin, yaitu oligosakarida .
B. Kadar Air Maltodekstrin
Hasil Rerata kadar air dari maltodekstrin perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan
lama inkubasi yaitu berkisar antara 5.25 – 6.34 %. Kadar air maltodekstrin pada berbagai
kondisi perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan lama inkubasi dapat dilihat pada
Gambar 2. Kadar air mengalami peningkatan seiring dengan semakin meningkatnya
konsentrasi enzim dan lama inkubasi. Hal ini dikarenakan komponen maltodekstrin yang
masih mengandung glukosa, maltosa, oligosakarida, dan dekstrin. Peningkatan kadar air
yang tinggi berhubungan dengan komponen glukosa yang tinggi. Hal ini diperkuat oleh
literatur yang menyatakan bahwa jika retensi air di dalam sampel tinggi karena adanya
penyerapan atau reaksi kimia dengan sampel maka menghilangkan air dengan metode
penguapan akan menjadi sukar. Adanya senyawa glukosa, maltosa, laktosa, dan senyawa
hidrat lainnya serta senyawa polimer yang bersifat mengikat air dalam bahan dapat
menyebabkan air sulit keluar dari sampel tersebut.

Air dapat membentuk ikatan hidrogen dengan komponen bahan pangan yang
mempunyai gugus O seperti karbohidrat. Pembentukan ikatan hidrogen antara air dan
karbohidrat tertentu seperti dekstrosa, maltosa, dan laktosa dapat menghasilkan senyawa
hidrat yang bersifat stabil. Pembentukan hidrat antara air dengan makromolekul
menyebabkan air berubah sifatnya dari air murni, yaitu tidak dapat membeku dan sulit
dihilangkan selama proses pengeringan.
KESIMPULAN :
Modifikasi pati singkong dengan enzim α-amilase (EC. 3.2.2.1) menghasilkan
maltodekstrin yang mendekati sifat fungsional gelatin sebagai agen pembuih. Maltodekstrin
perlakuan terbaik diperoleh dari konsentrasi enzim α-amilase 5mg/100g dengan lama
inkubasi 10 menit dengan rendemen 58.77%, kadar air 5.95%, yang diaplikasikan pada
produk marshmallow Aplikasi marshmallow dilakukan uji organoleptik dengan hasil uji
penerimaan yaitu 14 panelis menerima produk marshmallow dan terdapat 17 panelis yang
menjawab benar pada uji segitiga.
KELOMPOK 9 :
JUDUL JURNAL :
1. PENGARUH CAMPURAN BAHAN KOMPOSIT DAN KONSENTRASI GLISEROL
TERHADAP KARAKTERISTIK BIOPLASTIK DARI PATI KULIT SINGKONG DAN
KITOSAN
2. PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP KARAKTERISTIK
KOMPOSIT PLASTIK BIODEGRADABLE DARI PATI KULIT SINGKONG DAN
KITOSAN
JUDUL : “Pencampuran Bahan Komposit dan Konsentrasi Gliserol Mempengaruhi Suhu dan
Lama Pengeringan Terhadap Karateristik Bioplastik dan Biodegradable Dari Pati
Kulit Singkong Dan Kitosan. Jurnal Rekayasa”
TUJUAN :
 Untuk mengetahui definisi bioplastik dan biodegradable
 Untuk mengetahui kekuatan Tarik (Tensile strength) Bioplastik dan Biodegradable
 Untuk mengetahui perpanjangan Saat Putus (Elongation At Break) Pada Bioplastik
dan Biodegradable Elastisitas (Modulus Young) Pada Bioplastik dan Biodegradable
 Untuk mengetahui diodegradasi Pada Bioplastik dan Biodegradable
 Untuk mengetahui uji Efektivitas Pada Bioplastik dan Biodegradable
METODE : “Prosedur Kerja”
 Alat dan Bahan

Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan yaitu pati kulit singkong dimana
singkong yang digunakan yaitu singkong putih yang diperoleh di pasar Tabanan, kitosan,
asam asetat (CH3COOH) 1%, gliserol (C3H8O3) 99%, dan aquades.

Peralatan yang digunakan yaitu baskom, kain saring, blender, saringan/ayakan 60 mesh, hot
plate strirer, magnetic strirer, oven Merk Labo Model DO 2116, cetakan Teflon (Maxim)
diameter 20cm, gelas beaker 100 ml dan 250 ml (Herma), timbangan analitik (ohaus pioneer),
desikator, pipet tetes, spatula, pot plastik, peralatan uji kadar air dan alat uji mekanik plastik
berdasarkan ASTM D695-90 dan mikroskop optik perbesaran 1000x.
 Preparasi Pati Kulit Singkong
Preparasi pati kulit singkong menggunakan metode Anita et al., 2013 yaitu
menggunakan kulit singkong (bagian putih dari kulit atau lapisan korteknya), kemudian
dicuci sampai bersih. Ditambahakan air secukupnya untuk mempermudah proses
penghancuran dengan blender sehingga diperoleh bubur/pulp kulit singkong basah.
Dilanjutkan dengan pemerasan dan penyaringan menggunakan kain saring dan cairan yang
diperoleh berupa air pati ditampung dalam baskom. Selanjutnya diendapkan selama 1 malam
untuk memperoleh endapan pati, setelah terdapat endapan pati, antara air dan endapan
dipisahkan. Endapan pati tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu 70oC selama 30 menit
setelah itu diayak dengan ayakan 60 mesh sehingga diperoleh pati halus.
 Pembuatan Bioplastik Komposit

 Pembuatan Plastik Biodegradable


Pembuatan plastik biodegradable dari pati kulit singkong dan kitosan sebagai berikut:
Penimbangan pati kulit singkong 3.5 g, kitosan 1.5 g, dan 1 g gliserol 99%. Pembuatan
plastik biodegradable dilakukan dengan menyiapkan 2 larutan yaitu larutan kitosan dan
larutan pati. Pembuatan larutan kitosan dengan cara mencampurkan larutan cuka (asam
asetat) 1% sebanyak 50 g ditambahkan 1.5 g kitosan selama 15 menit dengan suhu 100°C
pada magic stirrer sampai diperoleh gel kitosan. Penyiapan larutan pati dengan cara
mencampurkan aquades 44 g ditambah 3.5 g pati kulit singkong diaduk pada magic stirrer
selamat 10 menit (suspensi pati). Selanjutnya suspensi pati diaduk kembali dan dipanaskan
dengan suhu 65°C selama 5 menit pada magic stirrer sampai membentuk gel. Gel kitosan
dicampur dengan gel pati kemudian dipanaskan sambil diaduk dengan suhu 65°C selama 10
menit. Kemudian dicetak dengan teflon berdiameter 20 cm. Langkah selanjutnya dikeringkan
dengan oven sesuai perlakuan dan terbentuk plastik biodegradable pati kulit singkong.
HASIL DAN PEMBAHASAN :

 Definisi Bioplastik dan Biodegradable


Bioplastic adalah plastic atau polimer yang secara alamia dapat dengan mudah
terdegradasi baik melalui serangan mikroorganisme maupun oleh cuaca ( kelembapan dan
radiasi sinar matahari ). Bioplastic berbahan patih merupakan bioplastic yang paling banyak
digunakan saat ini. Pati murni memiliki karasteristik mampu menyerap kelembapan sehingga
sering digunakan juga untuk produk kapsul obat disektor Farmasi. Flexibiliser dan peliat
seperti sorbitol dan gliserin ditambahakan sehingga pati jua dapat diproses termoplastis.
Bioplastik dari pati memiliki sifat mekanik rendah. Anita et al (2013) menyatakan
bahwa nilai kuat tarik dan persen perpanjangan saat putus bioplastik dari pati kulit singkong
dengan penambahan pati lebih dari 5 gram dan 4 ml gliserol yaitu 0,02 MPa dan persen
perpanjangan saat putus 3,5 %., oleh karena itu dilakukan pencampuran pati dengan
biopolimer lain disebut komposit seperti kitosan. Kitosan baik digunakan karena kitosan
mempunyai sifat yang baik untuk dibentuk menjadi plastik dan mempunyai sifat
antimikrobakterial. Kitosan juga mudah terdegradasi dan mudah digabungkan dengan
material lainnya (Dutta et al.,2009), serta penggunaan gliserol sebagai plasticiziernya.
Gliserol merupakan salah satu plasticizer yang banyak digunakan karena cukup efektif
mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekuler.
Gliserol merupakan plastizicer yang bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan
pembentuk plastik yang bersifat hidrofilik seperti pati (Gontard et al., 1993).
Pengemasan merupakan hal terpenting untuk mempertahankan kualitas bahan pangan
karena pengemas mampu bertindak sebagai penahan migrasi uap air, gas, aroma, dan zat-zat
lain dari bahan ke lingkungan atau sebaliknya (Syamsir, 2008). Saat ini ada banyak jenis
bahan yang digunakan untuk mengemas makanan diantaranya adalah berbagai jenis plastik,
kertas, fibreboard, gelas, tinplate dan aluminium (Syamsir, 2008). Intensitas penggunaan
plastik sebagai kemasan pangan makin meningkat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
keunggulan plastik dibandingkan bahan kemasan yang lain. Plastik jauh lebih ringan
dibandingkan gelas atau logam dan tidak mudah pecah. Bahan ini bisa dibentuk lembaran
sehingga dapat dibuat kantong atau dibuat kaku sehingga bisa dibentuk sesuai yang
diinginkan (Darni, 2008).
Hasil penelitian pendahuluan penambahan kitosan 2,5 gram dan pati 2,5 gram
menghasilkan film plastik yang kaku dan memiliki warna cendrung kuning kecoklatan. Selain
itu dalam proses pencampuran kitosan dengan pati memerlukan waktu pencampuran yang
lama, karena campuran kitosan dan pati yang sangat kental. Hal ini disebabkan perbandingan
antara pati dan kitosan yang sama. Hartatik (2014) menyatakan penambahan kitosan untuk
menghasilkan sifat mekanik yang baik yaitu antara 1% sampai 2%. Penambahan gliserol 3g
pada campuran gel pati dan gel kitosan menghasilkan film plastik dengan kuat tarik masih
rendah, mudah sobek. Penambahan plasticizier yang terlalu banyak akan menurunkan nilai
kuat tarik dari film plastik (Gontard et al.,1993). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan
penelitian dengan penggunaan konsentrasi kitosan yang lebih rendah dari 2,5 gram dan
penggunaan konsentrasi pati yang lebih tinggi dari 2,5 gram serta penggunaan plasticizier
gliserol dengan konsentrasi kurang dari 3 gram.
Utomo et al. (2013) melakukan proses pengeringan komposit plastik biodegradable
dari pati lidah buaya, kitosan dan gliserol dengan suhu 80°C dan lama pengeringan 3 jam
menghasilkan nilai kuat tarik sebesar 104,659 MPa, persentase elongasi at break hanya 2,78
%, dan terdegradasi dalam waktu 7 hari. Hal serupa juga diteliti oleh Hartatik (2014), yang
menyatakan pengunaan suhu 45°C dan lama pengeringan 6 jam pada pembuatan komposit
plastik biodegradable dari pati ubi kayu, kitosan dan sorbitol hanya menghasilkan nilai kuat
tarik (tensile strength) sebesar 10,88 MPa dan terdegradasi hampir 75% dalam 15 hari.
 Kekuatan Tarik (Tensile strength) Bioplastik dan Biodegradable
 Berdasarkan hasil analisis keragaman pengaruh campuran bahan komposit (Pati :
Kitosan) dan konsentrasi gliserol serta interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat
nyata (p<0,01) terhadap kekuatan tarik. Nilai kekuatan tarik berkisar antara 0,27 –
0,59 MPa seperti terlihat pada Tabel 5.

 Berdasarkan hasil analisis keragaman terhadap kekuatan tarik (Tensile strength)


plastik biodegradable dari pati kulit singkong dan kitosan menunjukkan bahwa
perlakuan suhu dan lama pengeringan serta interaksi antar perlakuan berpengaruh
sangat nyata (p<0,01). Nilai kekuatan tarik plastik biodegradable dari pati kulit
singkong dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
 Perpanjangan Saat Putus (Elongation At Break) Pada Bioplastik dan
Biodegradable
 Berdasarkan hasil analisis keragaman pengaruh campuran bahan komposit (Pati :
Kitosan) dan konsentrasi gliserol berpengaruh sangat nyata (p<0,01) serta interaksi
antar perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap persen perpanjangan saat putus.
Nilai perpanjangan saat putus bioplastik komposit pati kulit singkong dan kitosan
berkisar antara 19,96% - 54,15%.

 Berdasarkan hasil analisis keragaman terhadap persen perpanjangan saat putus


(Elongation at berak) plastik biodegradable dari pati kulit singkong dan kitosan
menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama pengeringan serta interaksi antar
perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0,01). Persen perpanjangan saat putus
(Elongation at berak).

 Elastisitas (Modulus Young) Pada Bioplastik dan Biodegradable


 Berdasarkan hasil analisis keragaman pengaruh campuran bahan komposit (Pati :
Kitosan) dan konsentrasi gliserol, serta interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat
nyata (p<0,01) terahadap elastisitas bioplastik komposit. Nilai Modulus Young
bioplastik komposit pati kulit singkong dan kitosan berkisar antara 0,01 – 0,03 MPa.
 Berdasarkan hasil analisis keragaman terhadap nilai elastisitas (modulus young)
plastik biodegradable dari pati kulit singkong dan kitosan menunjukkan bahwa
perlakuan suhu dan lama pengeringan serta interaksi antar perlakuan berpengaruh
sangat nyata (p<0,01). Nilai elastisitas (modulus young) bioplastik dari pati kulit
singkong dan kitosan.

 Biodegradasi Pada Bioplastik dan Biodegradable


 Berdasarkan hasil analisis keragaman pengaruh campuran bahan komposit (pati :
Kitosan) dan konsentrasi gliserol berpengaruh sangat nyata (p<0,01), serta interaksi
antar perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kemampuan biodegradasi atau
persen kehilangan massa bioplastik komposit. Nilai persen kehilangan massa
(kemampuan biodegradasi) selama 1 minggu berkisar antara 13,26% - 82,5%.

 Berdasarkan hasil analisis keragaman terhadap kemampuan biodegradasi plastik


biodegradable dari pati kulit singkong dan kitosan menunjukkan bahwa perlakuan
suhu dan lama pengeringan serta interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata
(p<0,01). Kemampuan biodegradasi plastik biodegradable dari pati kulit singkong dan
kitosan.
 Uji Efektivitas Pada Bioplastik dan Biodegradable
Uji efektifitas pada bioplastik dilakukan untuk menentukan bioplastik dengan
karakteristik terbaik dari sifat mekanik dan kemampuan biodegradasinya. Variabel
yang diamati yaitu kekuatan tarik, elongasi, elastisitas/Modulus Young dan
kemampuan biodegradasi. Berdasarkan hasil perhitungan efektivitas (de Garmo, et al.,
1984), Perlakuan terbaik ditunjukkan dengan nilai Nh tertinggi, yaitu pada campuran
komposit pati: kitosan (4g: 1g) dan konsentrasi gilserol 1,5%, dengan nilai hasil
efektivitas yaitu 0,521.
Uji efektifitas pada biodegradable bertujuan untuk menentukan karakteristik
terbaik dari sifat mekanik dan kemampuan biodegradasi dari plastik biodegradable.
Dalam uji efektifitas digunakan nilai dari variabel yang diamati yaitu kekuatan tarik,
elongasi, elastisitas/modulus young dan kemampuan biodegradasi. Berdasarkan hasil
perhitungan efektivitas (de Garmo et al., 1984), perlakuan terbaik ditunjukkan dengan
nilai Nh tertinggi, yaitu pada perlakuan suhu 50°C dengan lama pengeringan 6 jam
dengan hasil nilai 0,83.
 Morfologi Bioplastik Pada Bioplastik dan Biodegradable
 Uji morfologi dilakukan pada sampel dengan perlakuan terbaik dari sifat mekanik dan
kemampuan biodegradasinya yang ditentukan dengan uji efektivitas yaitu pada
campuran bahan komposit pati : kitosan (4g : 1g) dan konsentrasi gliserol 1,5% dilihat
karakteristik morfologinya dengan menggunakan mikroskop. Adapun hasil dari
morfologi bioplastik tersebut sebagai berikut: bioplastik disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan hasil uji morfologi terlihat bahwa permukaan bioplastik komposit
berserat dan berpori. Hal ini karena serat polimer kitosan cukup besar yaitu 600-841µ,
sedangkan serat polimer pati yaitu 250µ sehingga menyebabkan permukaan yang kurang
rapat atau berpori. Hal ini sesuai dengan bentuk amorf bioplastik sehingga menyebabkan
air akan terserap lebih banyak (Setiani et al., 2013). Gambar tersebut juga menunjukkan
adanya flok-flok kecoklatan. Flok kecoklatan tersebut berasal dari pati kulit singkong
yang digunakan namun belum bercampur sempurna dengan kitosan.

 Uji morfologi dilakukan pada sampel dengan perlakuan terbaik dari sifat mekanik dan
kemampuan biodegradasinya yang ditentukan dengan uji efektivitas yaitu pada suhu
50°C dengan

Berdasarkan hasil uji morfologi terlihat bahwa permukaan plastik


biodegradable terlihat berserat dan terdapat flok – flok kecoklatan. Hal ini
disebabkan semakin tinggi suhu dan semakin lama pengeringan plastik biodegradable
mempengaruhi struktur permukaan plastik biodegradable yang dihasilkan. Semakin
tinggi suhu dan lama pengeringan, bahan akan menjadi semakin cepat kering dan uap
air yang terkandung dalam bahan akan semakin cepat menguap, sehingga dalam
proses penguapan air tersebut partikel-partikel bahan akan bergerak ke atas dan
menyebabkan lapisan antar sel menyatu. Dengan kurang rapatnya struktur atau
berpori dari serat-serat tersebut menyebabkan air akan terserap lebih banyak (Setiani
et al., 2013). Pada Gambar 3. juga terdapat flok-flok kecoklatan yang berasal dari pati
kulit singkong yang belum tercampur sempurna dengan kitosan.

KESIMPULAN :
Hasil Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Komposit plastik terbaik yaitu pada
campuran komposit pati : kitosan ( 4g: 1g) dan konsentrasi gilserol 1,5% dengan karakteristik
: nilai kuat tarik 0,39 MPa, elongation 44,06%, elastisitas 0,008 MPa, kemampuan
biodegradasi 66,61%. Hasil uji morfologi dihasilkan bioplastik berpori, karena ukuran serat
polimer kitosan yang lebih besar dari pati. Karakteristik plastik biodegradble terbaik
ditentukan dengan uji efektifitas yaitu pada perlakuan suhu 50°C dengan lama pengeringan 6
jam yang menghasilkan nilai kuat tarik sebesar 1,04 MPa, elongasi 54,99%, elastisitas 0,019
MPa, kemampuan biodegradasi sebesar 51,18% dan hasil uji morfologi plastik biodegradble
terlihat berserat dan terdapat flok- flok kecoklatan.

KELOMPOK 11

JUDUL : “Modifikasi Pati Sagu dan Pati Ubi Jalar Ungu Dengan Metode Heat Moisture
Treatment (HMT)”
TUJUAN : 1. Untuk mengetahui definisi sagu.

1. Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia modifkasi pati sagu menggunakan heat moisture

treatment (HMT).

2. Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia pada pati ubi jalar ungu dengan perlakuan heat

moisture treatment (HMT).

METODE: Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: timbangan analitik

“Denver Instrument M-310”, pisau stainless steel, sendok, baskom, electricgrater, kain saring,

cabinet dryer (pengering kabinet), parut, ayakan 80 mesh, refrigerator,kertas saring Whatman

No. 41, kantong plastik (¼ kg), cawan petri, beaker glass, labu ukur, gelas ukur, pipet tetes,

pipet ukur, bola hisap, corong, spatula, pengaduk, tabung reaksi, erlenmeyer, kertas saring

halus, termometer, kompor listrik, penyaring vakum, oven kering, desikator, viscometer,

colour reader “Minolta CR-100”, spektrofotometer “Spectro 20 D Plus”, vortex “LW

Scientific Inc”, kuvet, sentrifuse “Universal Model: PLC012E”, tube sentrifuse, pH meter

“Ezodo” dan Hand-Held Refractometer.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pati sagu (sagu Lapia Tuni dari

Saparua), tepung terigu, air, dan minyak. Sedangkan bahan kimia yang digunakan untuk
analisa adalah natrium sulfat, asam borat, asam klorida, natrium hidroksida, karbon aktif,

larutan phenol, asam sulfat, ubi jalar ungu (Ipomoea batatas Blackie) yang berasal dari

Parigi, HCl, Na2CO3, aquades, buffer KCl pH 1, buffer Asetat pH 4,5, etanol, alkohol,

NaOH, H2SO4, Kalium Bromida (KBr), glukosa anhidrat, reagen nelson, reagen

arsenomolibdat, Pb-asetat.

PROSEDUR KERJA:

Pembuatan pati sagu HMT


HASIL DAN PEMBAHASAN

. Definisi Sagu

Sagu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki potensi

yang besar namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian diperlukan

pengembangan produk berbasis sagu untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.

Kandungan kalori sagu relatif sama dengan kalori yang dikandung oleh ubi kayu yaitu 146

kal/100 g (Djoefrie, 1999), oleh karena itu sagu merupakan salah satu komoditas pangan

yang dapat menjawab tantangan di bidang ketersediaan pangan.

Indonesia memiliki sekitar 21 juta hektar lahan yang potensial dan memungkinkan

untuk tanaman sagu, tapi secara pastinya belum diketahui. Sekitar 95% pertumbuhan pohon
sagu terjadi secara alami (Bintoro, 2000). Menurut Sumaryono (2006), komposisi kimia

tepung sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat, sama halnya dengan tepung terigu,

tepung tapioka, dan tepung beras.

Modifkasi Pati Sagu dengan Heat Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fisik dan

Kimia

Modifikasi pati adalah cara mengubah struktur dan mempengaruhi ikatan hidrogen

dengan cara terkontrol untuk meningkatkan dan memperluas kegunaannya. Modifikasi pati

diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan fungsional dari pati alami. Salah satu

cara modifikasi pati yang dapat dilakukan untuk mengubah sifat-sifat patinya adalah dengan

cara Heat Moisture Treatment (HMT). Perlakuan HMT didefenisikan sebagai modifikasi pati

secara fisika yang dilakukan pada granula pati dengan kadar air kurang dari 35% selama 15

menit sampai dengan 16 jam, dan pada suhu 84°C sampai dengan 120°C atau di atas suhu

transisi tapi di bawah suhu gelatinisasi (Gunaratne & Hoover, 2002). Teknik modifikasi pati

HMT dilakukan dengan cara perlakuan pemanasan pati pada suhu tinggi (80120oC) dalam

kondisi kadar yang dikontrol (35% atau lebih rendah) (Collado et al., 2001). Metode

modifikasi HMT dapat menurunkan nilai viskositas maksimum, mengurangi viskositas

breakdown dan memiliki viskositas akhir yang tinggi serta menghasilkan pati dengan nilai

swelling power dan solubility yang terbatas (Collado & Corke 1999; Collado et al., 2001;

Gunaratne & Corke, 2007; Pukkahutta et al., 2008).

Modifikasi pati sagu dengan metode HMT untuk mengubah sifat fisik dan sifat kimia

dari pati sagu alami. Sesuai dengan pernyataan Fitriani & Budiyani (2010), perlakuan HMT

merupakan salah satu modifikasi pati secara fisik dengan menggunakan kombinasi

kelembaban dan suhu tanpa mengubah penampakan granulanya. Menurut Purwani et al.

(2006) dalam Fitriani & Budiyani (2010) perlakuan HMT membuat pati lebih stabil pada saat

pemasakan, akibatnya kualitas tanak yang dihasilkan menjadi lebih baik. Proses pembuatan
pati sagu HMT dilakukan dengan tiga taraf perlakuan yang berbeda, modifikasi pati sagu

dengan metode HMT pada penelitian ini dilakukan pada beberapa tingkatan suhu pemanasan

yaitu: suhu 90, 95, dan 100oC dengan lama pemanasan selama 4 jam. Hasil pati sagu

termodifikasi HMT yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisa sifat fisik dan kimia.

 Kadar Air

Gambar 1 menunjukan bahwa nilai kadar air berturut-turut tertinggi diperoleh pada

suhu pemanasan 90, 95, dan 100oC adalah 9%, 8,24%, dan 8%. Pati yang telah mengalami

modifikasi memiliki kadar air lebih kecil dibandingkan pati alami. Perlakuan suhu HMT

cenderung mengakibatkan kadar air pati menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pati

alaminya. Hal ini karena suhu yang tinggi menyebabkan air yang terikat pada pati menguap,

sehingga kadar air menjadi rendah.

Pengeringan berlangsung dengan memecahkan ikatan molekul-molekul air yang

terdapat didalam bahan. Apabila ikatan molekul-molekul air yang terdiri dari unsur-unsur

dasar oksigen dan hidrogen dipecahkan, maka molekul tersebut akan keluar dari bahan,

akibatnya bahan tersebut akan kehilangan air yang di kandungannya (Rosdaneli, 2005).

Kecepatan pengeringan juga tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan, luas permukaan

bahan, suhu pemanasan, kecepatan aliran udara dan tekanan udara. Kadar air sangat penting
dalam memperpanjang daya awet dari bahan pangan, karena mempengaruhi sifat-sifat fisik,

perubahan kimia, enzimatis dan mikrobiologis pangan (Buckle et al., 1987).

 Derajat Asam

pH adalah derajat keasaman yang penting sebab digunakan untuk menyatakan tingkat

keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Berdasarkan hasil analisis ragam

didapati bahwa derajat keasaman memberikan pengaruh yang nyata terhadap pati sagu HMT.

Perlakuan HMT dengan suhu pemanasan 90, 95, dan 100oC dengan nilai 5,7, 5,8, dan 5,8%.

Pengukuran pati sagu menunjukan bahwa pati sagu termodifikasi memiliki pH yang rendah

yaitu 5,7-5,8%. Pengukuran pH merupakan parameter kimiawi untuk mengetahui tepung

yang dihasilkan bersifat asam atau basa, rendahnya nilai pH yang dihasilkan kemungkinan

terjadi pada saat rangkaian proses pengolahan pati sagu tersebut banyak tahapan proses yang

tertunda sehingga memungkinkan adanya aktivitas mikroba pembentuk asam yang membuat

pati sagu yang dihasilkan mempunyai pH yang rendah.

Namun dapat dilihat bahwa perbandingan nilai yang diperoleh sangat kecil dengan

nilai rata-rata 5,7-5,8 saja. Hasil analisa derajat keasaman pada pati sagu yang termodifikasi

dapat dilihat pada Gambar 2. Semakin tinggi tingkat keasamannya maka semakin buruk

kualitas tepungnya, sebaliknya semakin rendah tingkat keasamannya maka kualitas tepung

akan baik.
Gambar 2. Rata-rata derajat asam pati sagu HMT.

 Viskositas

Gambar 3. Nilai rata-rata viskositas pati sagu HMT

Semakin tinggi suhu pemanasan yang dilakukan maka semakin cepat pati sagu

mengalami kekentalan dan semakin rendah pula ketahanannya terhadap aliran

(viskositasnya), begitu pula sebaliknya semakin rendah suhu pemanasan maka semakin lama

pati sagu mengalami kekentalan artinya semakin tinggi tingkat alirannya (viskositas).

Penurunan viskositas maksimum menurut Hoover & Gunaratne (2002) disebabkan karena

interaksi rantai amilosa–amilosa, dengan rantai amilosa-amilopektin yang terjadi selama

proses modifikasi, sehingga ikatan antar molekul menjadi lebih rapat dan lebih sulit untuk

berpenetrasi ke dalam granula.

Penurunan viskositas ini dikarenakan oleh granula pati yang telah mengalami

gelatinisasi dan pembengkakan maksimum akibat pemanasan suspensi pati, pecah dan

meluruhkan amilosa dari granula pati menjadi fraksi yang larut dalam air panas. Sesuai

dengan pernyataan Stute (1992) bahwa perlakuan HMT dapat mengakibatkan profil pasta pati

mengalami penurunan viskositas dan breakdown, serta peningkatan viskositas pasta dingin.

Penurunan viskositas pada pati sagu ini diduga adanya peningkatan suhu pemanasan pada

saat proses modifikasi berlangsung, terlihat pada Gambar 4 bahwa suhu pemanasan yang

lebih tinggi mempengaruhi penurunan nilai viskositas pati yang dihasilkan, hal ini diduga
karena pada saat pemanasan terjadi pembentukan komples antara amilosa-lemak yang

mampu menurunkan kapasitas pembengkakan granula dan mampu memperbaiki stabilitas

pasta selama pemanasan, hal ini juga diduga adanya perbedaan kadar amilosa pati yang

dihasilkan, kadar amilosa yang berbeda menyebabkan perbedaan karakteristik pati HMT dan

kadar amilosa yang rendah serta suhu pemanasan yang tinggi mampu menurunkan nilai

viskositas. Sesuai dengan pernyataan Collado & Corke (1999), bahwa pada pati ubi jalar

dengan kandungan amilosa yang berbeda, perlakuan HMT (oven) pada suhu 110oC dan

kadar air 25% selama 4-16 jam, pati dengan kadar amilosa yang lebih rendah menunujukan

penurunan viskositas yang lebih besar dan nilai setback yang lebih rendah.

 Derajat Putih

Derajat putih merupakan salah satu sifat fisik yang mengalami perubahan pada proses

modifikasi, hasil pengamatan menunjukan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan yang

dilakukan maka derajat putih pada bahan pangan akan meningkat. Terlihat bahwa pemanasan

pati sagu HMT dengan suhu 100oC memberikan nilai derajat putih yang lebih rendah jika

dibandingkan dengan suhu pemanasan 90oC. Naiknya nilai derajat putih pada pati sagu HMT

perlakuan pemanasan 90oC diduga dipengaruhi oleh rendahnya nilai pH, pati sagu dengan

perlakuan pemanasan 90oC memiliki pati yang bersifat asam, karena kenaikan pH sagu

menyebabkan pigmen alami yang terdapat pada sagu berubah dari tidak berwarna menjadi

berwarna pudar, proses modifikasi HMT yang dilakukan pada pati sagu tersebut membuat

warna pudar pati sagu semakin kuat yang menyebabkan penurunan derajat putih secara nyata.

Hal ini biasa juga disebabkan karena terjadi proses pencoklatan pada bahan-bahan yang

mengandung karbohidrat. Tingginya suhu pengeringan menyebabkan warna tepung menjadi

semakin gelap karena terjadi reaksi browning.


Gambar 4. Rata-rata derajat putih pati sagu HMT.

Menurut Poedjiadi (1994), Pencoklatan atau browning pada bahan yang mengandung

karbohidrat dapat terjadi secara enzimatik dan non enzimatik. Pencoklatan enzimatik banyak

terjadi pada bahan-bahan yang mengandung substrat senyawa fenolik. Sedangkan

pencoklatan secara non enzimatik umumnya ada tiga macam, yaitu karamelisasi, reaksi

Mailard dan pencoklatan akibat vitamin C. Dari kedua jenis pencoklatan tersebut, diduga

pencoklatan pada pati sagu yang telah dipanaskan, terjadi secara non enzimatik, yaitu akibat

reaksi Mailard.

 Kekuatan Gel

Sumber panas yang dihasilkan pada saat proses modifikasi berlangsung ternyata

mampu mempengaruhi nilai kekuatan gel, peningkatan nilai kekuatan gel ini dikarenakan

teraturnya kembali (rearrangement) molekul-molekul dalam granula pati sagu yang akan

berikatan semakin kuat selama proses modifikasi. Secara teori menurut (Hoover &

Vasanthan, 1994; Collado & Corke, 1999) peningkatan leaching amilosa akan meningkatkan

kekuatan gel. Dikutip oleh Miyoshi (2001), HMT dapat meningkatkan rekristalisasi

komponen molekul amiloa yang mengalami leaching sehingga kekuatan gel akan meningkat.

Kekuatan gel menurut Lii et al (1996) dikutip Elliasson (2004) berbanding terbalik dengan

swelling volume, semakin tinggi nilai swelling volume kekuatan gel semakin rendah.

Gambar 5. Nilai rata-rata kekuatan gel pati sagu HMT.


Gambar 5. Nilai rata-rata kekuatan gel pati sagu HMT.

Pati sagu yang telah dingin membentuk gel yang kuat. Gel pati merupakan sistem

padat-cair yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dimana fase cair terjebak di

dalam fase padatan. Molekul amilosa bebas dapat membentuk ikatan hidrogen tidak hanya

dengan molekul amilosa lainnya tetapi juga dengan rantai cabang amilopektin dari granula

yang mengembang sehingga menjadi bagian jaringan padat yang saling berhubungan.

Keberadaan amilosa dalam fase ini menyebabkan gel menjadi kuat (Collado & Corke, 1999).

Semakin tinggi nilai viskositas akhir, semakin kuat gel yang dihasilkan. Kemampuan

membentuk gel merupakan parameter pati sagu yang penting dalam proses produksi mi.

Karakter yang diinginkan adalah pati dengan kemampuan membentuk gel yang tinggi. Mi

sagu pada dasarnya adalah mi yang bahan dasarnya adalah tepung sagu dimana pati sagunya

telah mengalami proses gelatinisasi yang diperoleh dari hasil pengukusan. Kekuatan untaian

mi sangat ditentukan oleh kemampuan pati untuk membentuk gel.


Modifkasi Pati Ubi Jalar Ungu dengan Heat Moisture Treatment (HMT) Terhadap

Sifat Fisik dan Kimia

Dalam pengembangan program diversifikasi pangan untuk mendukung pelestarian

swasembada pangan, ubi jalar merupakan salah satu komoditas pangan yang mempunyai

keunggulan sebagai penunjang program tersebut. Memanfaatkan bahan pangan lokal, seperti

ubi jalar yang sangat kompetitif dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Ubi jalar

sebagai sumber pangan fungsional dan sumber karbohidrat, memiliki peluang sebagai

substitusi bahan pangan utama karena efisien dalam menghasilkan energi, vitamin, dan

mineral, sehingga bila diterapkan mempunyai peran penting dalam upaya penganekaragaman

pangan dan dapat mengurangi konsumsi beras.

Analisis Fisik

 Analisis Water Holding Capacity

Gambar 6. Grafik WHC (g/g) Pati Ubi Jalar Ungu Modifikasi.

Dilihat dari grafik rata-rata WHC pati ubi jalar ungu yang dimodifikasi (Gambar 6)

menunjukkan bahwa WHC pati ubi jalar ungu mengalami penurunan akibat perlakuan

temperatur dan lama pemanasan, walaupun pada temperatur 85ºC menghasilkan WHC yang
lebih rendah dibandingkan dengan temperatur 100ºC. Penurunan WHC dengan hasil yang

berbeda ini disebabkan karena terjadinya retrogradasi yang merupakan perubahan struktur

pada area berkristal (crystaline) dan area tak beraturan (amorphus) pada granula pati

mengakibatkan area amosphus pati mengembang, kemudian menekan keluar area berkristal

sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area berkristal granula pati. Penurunan WHC pati

ubi jalar ungu yang dimodikasi secara keseluruhan disebabkan karena lama pemanasan dan

suhu yang tinggi sehingga terjadi degradasi yang diakibatkan oleh ikatan hidrogen pati

terputus pada saat pemanasan dalam waktu relatif lama. Menurut Herawati (2009) bahwa

pada saat modifikasi HMT ikatan hidrogen pada pati terputus atau hilang pada saat

pemanasan HMT berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Dengan demikian, semakin

sedikit jumlah gugus hidroksil dari molekul pati semakin rendah kemampuan granula

menyerap air.

 Analisis Oil Holding Capacity

Gambar 7. Grafik OHC (g/g) Pati Ubi Jalar Ungu Modifikasi.

Dilihat dari grafik rata-rata OHC pati ubi jalar ungu yang dimodifikasi (Gambar 7)

menunjukkan bahwa OHC pati ubi jalar ungu mengalami penurunan akibat perlakuan HMT.

Nilai rata-rata menunjukkan perlakuan temperatur 70ºC merupakan perlakuan terbaik

terhadap kemampuan menahan minyak atau OHC. Perlakuan HMT menyebabkan granula

pati menjadi pecah sehingga granula meregang dan memudahkan minyak masuk ke dalam
granula yang terikat kuat oleh ikatan hidrogen. Penurunan nilai rata-rata OHC pati ubi jalar

ungu termodifikasi diduga karena semakin tinggi temperatur menyebabkan laju pemotongan

rantai lurus dari amilopektin dan pembentukan ikatan amilosa menyebabkan struktur lebih

kompak, sehingga berkurangnya daerah yang mudah dimasuki minyak. Hasil penelitian

Alsuhendra dan Ridawati (2008), menunjukkan bahwa daya serap minyak dipengaruhi oleh

adanya protein pada permukaan granula pati. Protein ini dapat membentuk kompleks dengan

pati, dimana kompleks pati-protein ini dapat memberikan tempat bagi terikatnya minyak.

 Analisis Kadar Air

Gambar 8. Grafik Kadar Air (%) Pati Ubi Jalar Ungu Modifikasi.

Dilihat dari grafik rata-rata kadar air pati ubi jalar ungu yang dimodifikasi (Gambar 8)

menunjukkan bahwa kadar air pati ubi jalar ungu meningkat dengan semakin tingginya

temperatur dan lama pemanasan. Semakin tinggi temperatur dan semakin lama pemanasan

membuat granula pati membuka sehingga terjadi imbibisi air ke dalam granula. Pembukaan

pada granula juga mengakibatkan semakin mudahnya air menguap saat pengeringan. Namum

kadar air pada temperatur 85oC justru lebih tinggi dibanding temperatur 100oC. Hal ini

disebabkan pada proses HMT, terjadi pengikatan kadar air oleh granula pati yang membuka

akibat panas tinggi. Proses HMT menyebabkan berubahnya penyusun granula pati sehingga

air yang masuk pada granula pati bisa diikat, sehingga proses pengeringan air tidak banyak

menguap. Menurut Meyer (2003), meningkatnya suhu pemanasan, molekul-molekul air


masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan molekulmolekul amilosa dan

amilopektin.

Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan air

mengimbibisi molekul pati. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya ikatan antara amilosa dan

amilopektin melalui ikatan hidrogen sehingga terjadi pengaturan kembali ikatan amilosa dan

amilopektin dan membentuk suatu daerah kristalin (beraturan) yang besar menghasilkan

bentuk granula pati yang lebih stabil dan teratur (Hoover dan Manuel, 1996).

 Analisis Kadar Pati

Gambar 9. Grafik Kadar Pati (%) Ubi Jalar Ungu Modifikasi

Dilihat dari grafik rata-rata kadar pati ubi jalar ungu yang dimodifikasi (Gambar 9)

diketahui kadar pati ubi jalar ungu semakin menurun dengan semakin meningkatnya

temperatur dan lama pemanasan. Hal ini disebabkan karena terjadi pembukaan granula pati

dan terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin dan

amilopektin-amilopektin. Ikatan antara molekul tersebut digantikan dengan ikatan hidrogen

dengan air. Amilosa yang terlepas tadi keluar ke luar granula. Akibatnya kadar pati

menurun. Kadar pati ubi jalar ungu termodifikasi menunjukkan kecenderungan menurun pada

lama pemanasan 3 jam (temperatur 85oC dan 100oC), 5 jam (temperatur 100oC), dan 7 jam

(temperatur 85oC dan 100oC), namun mengalami kenaikan pada lama pemanasan 3 jam
(temperatur 70oC), 5 jam (temperatur 70oC dan 85oC), dan 7 jam (temperatur 70oC). Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dicapai oleh Olayinka et al. (2008) bahwa

penurunan kelarutan diduga karena teurainya doublehelic dalam susunan kristalin dalam

granula serta meningkatnya interaksi rantai amilosa-amilosa dan amilopektin-amilopektin

selama proses HMT.

Modifikasi Heat Moisture Treatment dapat merubah karakteristik pati karena selama

proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan

struktur kristalin pada granula pati (Olayinka et al., 2008).


KESIMPULAN : Modifikasi pati dengan metode HMT menghasilkan kadar terendah pada

perlakuan suhu 100oC, pH 5,7 suhu 90oC, viskositas 3 cP suhu 100oC, derajat putih 75,27

suhu 90oC dan kekuatan gel 105,13 g/cm2 suhu 95oC. Modifikasi secara HMT dengan

perlakuan temperatur dan lama pemanasan pada pati ubi jalar ungu menghasilkan

karakteristik sifat fisikokimia yang berbeda, dimana memberikan pengaruh nyata terhadap

Oil Holding Capacity, kadar air, , kadar pati.

Anda mungkin juga menyukai