TEKNOLOGI KARBOHIDRAT
OLEH :
NAMA : KHULLATUN KHUMEROH
NIM : Q1A118083
KELAS : ITP (B) 2018
Pati singkong adalah pati yang didapatkan dari umbi singkong (Manihot utilissima).
Sampai saat ini, pati singkong telah banyak dieksploitasi secara komersial dan masih
merupakan sumber utama kebutahan pati. Pati yang diperoleh dari ekstraksi umbi singkong
ini akan memberikan warna putih jika diekstraksi secara benar. Pati singkong memiliki
granula dengan ukuran 5-35 μm dengan rata-rata ukurannya di atas 17 μm (Samsuri, 2008).
Granula pati singkong akan pecah apabila dipanaskan pada suhu gelatinisasinya. Pati
singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi
bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi. Suhu gelatinisasi pada 62-73 OC,
sedangkan suhu pembentukan pasta pada 63OC. Menurut Santoso, Saputra, dan Pambayun
(2004), pati singkong relative mudah didapat dan harganya yang murah.
Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari pati
itu sendiri. Untuk pati dari ubi-ubian, proses utama dari ekstraksi terdiri perendaman,
disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH
yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia seperti perubahan warna dari ubi. Disintegrasi
dan sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Cui, 2005 dalam
Wahyu, 2008).
MODIFIKASI PATI DENGAN α- AMILASE
Jumlah pati di alam sangat banyak akan tetapi penggunaannya di bidang industri
masih terbatas dikarenakan sifat fungsionalnya yang rendah. Modifikasi secara fisik, kimia,
dan enzimatis dapat meningkatkan sifat fungsional pati alami sehingga memperluas
penggunaannya terutama dalam bidang makanan (Moore et al. 2005).
Singkong merupakan sumber pati yang sebagian besar komponennya tersusun atas air
dan karbohidrat, sedangkan komponen lain seperti lemak, protein dan abu ada dalam jumlah
yang relatif sedikit. komponen air dalam singkong mencapai 59,88% bahan (bb), sementara
karbohidrat sebesar 37,77% (bb) dihitung berdasarkan by difference nilai karbohidrat hasil
perhitungan tersedia pada Tabel 1 dimana didalamnya termasuk pati dan serat kasar.
Sumber karbohidrat pada singkong berupa pati dan tersusun dari banyak ikatan
glikosidik yang stabil pH tinggi tetapi terhidrolisis pada pH rendah. Pati terdiri dari amilosa
dan amilopektin. Amilosa merupakan bentuk polimer rantai lurus panjang yang dapat
memiliki hingga 6000unit sukrosa, dengan ujung a, 1-4 gilosidik. Amilopektin merupakan
bentuk rantai pendek yang hanya tersusun dari 10 hingga 60 rantai pendek a 1-4 gilosidik dan
15 hingga 45 rantai a 1-6 gilosidik. Kandungan amilosa dan amilopetin pada bahan pangan
bervariasi, tetapi adanya amilosa dapat mengindikasi derajat polimerisasi pati suatu bahan
pangan atau DP (Amira et al. 2012).
Secara garis besar, modifikasi pati memiliki dua tahapan yaitu likuifikasi dan
sakarifikasi. Likuifikasi adalah tahap penambahan enzim α-amilase menghasilkan
maltodekstrin ataupun oligosakarida lain. Sakarifikasi adalah proses lebih lanjut dari hasil
likuifikasi dengan penambahan berbagai jenis enzim sesuai dengan jenis produk akhir yang
diinginkan (Howard 2015). Enzim yang ditambahkan dalam tahap likuifikasi adalah enzim
amilase atau glukoamilase. Glukoamilase atau amiloglukosidase adalah enzim yang dapat
memisahkan glukosa dari pati cair secara bertahap sehingga menghasilkan produk akhir
berupa glukosa. Enzim ini sering digunakan sebagai pengganti α-amilase. Glukoamilase
diperoleh dari Aspergillus niger dan digunakan untuk produksi sirup glukosa (NCBE 2016).
Amilase adalah enzim yang berfungsi memutus ikatan glikosidik untuk
menghidrolisis pati menghasilkan dekstrin dan oligosakarida. Jenis amilase ada tiga yaitu, α-
amilase, β- amilase, dan γ-amilase. Amilase yang sering digunakan pada hidrolisis pati adalah
α-amilase (Sundarram et al. 2014). Enzim α-amilase merupakan endoamilase yang membelah
ikatan α-1,4 glikosidik rantai amilosa atau amilopektin untuk menghasilkan produk dengan
konfigurasi α (Martinez et al. 2015). Aktivitas enzim ini dipengaruhi oleh keberadaan
kofaktor kalsium sehingga disebut juga sebagai metalloenzim. Meskipun dapat memutus
ikatan α-1,4 glikosidik, α-amilase tidak bisa memutus ikatan α-1,6 glikosidik. Enzim
αamilase untuk modifikasi pati dapat diperoleh dari Bacillus spp. (Junliang et al. 2010).
Daya kerja α-amilase sangat dipengaruhi oleh suhu dan pH. pH optimum α-amilase
adalah 7, akan tetapi nilai ini berbeda-beda untuk setiap sumber amilase. α-amilase dari
Bacillus amyloliquefaciens bekerja optimum pada pH 7 sedang α-amilase dari Thermococcus
profundus bekerja optimum pada pH 5. Enzim α-amilase juga memiliki sifat thermostability
yang berbeda bergantung pada sumber enzimnya. Bacillus amyloliquefaciens adalah salah
satu mikroba yang dapat menghasilkan α-amilase dengan thermostability yang baik.
Thermostability ini diperlukan pada pemilihan enzim untuk modifikasi pati singkong karena
proses likuifaksi pati singkong dilakukan pada suhu tinggi, yaitu sekitar 100–110°C.
(Sundarram et al. 2014).
Enzim α-amilase dapat diisolasi dari bakteri Bacillus subtilis, enzim yang diisolasi
melalui bakteri tersebut amat stabil pada suhu tinggi, dengan suhu optimum pemanfaatannya
berada pada suhu 70-90oC. Enzim ini masih cukup stabil dalam suhu rendah pada pH
dibawah 6, walaupun demikian enzim tersebut tidak dapat bekerja pada pH dibawah 5. Pada
suhu 70oC, enzim ini akan kehilangan aktivitasnya dengan cepat pada pH dibawah 6, namun
cukup stabil dikisaran pH 6-10 (Sutanto 2001). bakteri lain yang dapat menghasilkan enzim
αamilase adalah B. licheniformis. enzim yang terbentuk melalui bakteri tersebut bekerja
optimum pada suhu 60oC dan pada pH sekitar 6. dengan bertambahnya suhu, maka pH
optimum juga meningkat hingga berapa pada kisaran 7,0 (Sutanto 2001).
Aplikasi Maltodekstrin sebagai Agen Pembuih pada Produk Marsmallows
Maltodekstrin adalah produk hidrolisis pati dengan kandungan unit α-Dglukosa yang
sebagian besar terikat dalam ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. kandungan
maltodextrin adalah campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida, dan dekstrin.
maltodekstrin biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose Equivalent).
Maltodekstrin yang memiliki nilai DE rendah akan memiliki sifat higroskopis
sedangkan maltodekstrin yang memiliki DE tinggi akan memiliki karakteristik mudah
menyerap air. Gambar 4.1 menunjukkan adanya hubungan lama inkubasi dan konsentrasi
ensim terhdaap nilai DE. Maltodekstrin yang dihasilkan melalui peningkatan konsentrasi
enzim a-amilase dan lama inkubasi, dapat menghasilkan maltodekstrin dengan nilai DE yang
semakin tinggi. Nilai DE yang tinggi dapat mengurangi kemampuan maltodekstrin dalam
pembentukan buih yang stabil. Kamampuan agen pembuih dipengaruhi oleh susunan
gelembung udara, selain itu kemampuan agen pembuih tidak dapat dapat stabil secara
termodinamikal dalam cairan murni. Susunan gelembung udara berbentuk dry pilyhedal akan
menghasilkan komponen buih yang lebih stabil dibandingkan susunan gelembung udara wet
sperichal. Hal ini menunjukkan bila maltodekstrin memiliki gelembung udara berbentuk wet
sperichal dan bila dicairkan dengan cairan murni akan menghasilkan buih yang kurang stabil
(Suryani dan fithri 2015).
Air dapat membentuk ikatan hidrogen dengan komponen bahan pangan yang
mempunyai gugus O seperti karbohidrat. Pembentukan ikatan hidrogen antara air dan
karbohidrat tertentu seperti dekstrosa, maltosa, dan laktosa dapat menghasilkan senyawa
hidrat yang bersifat stabil. Pembentukan hidrat antara air dengan makromolekul
menyebabkan air berubah sifatnya dari air murni, yaitu tidak dapat membeku dan sulit
dihilangkan selama proses pengeringan.
KESIMPULAN :
Modifikasi pati singkong dengan enzim α-amilase (EC. 3.2.2.1) menghasilkan
maltodekstrin yang mendekati sifat fungsional gelatin sebagai agen pembuih. Maltodekstrin
perlakuan terbaik diperoleh dari konsentrasi enzim α-amilase 5mg/100g dengan lama
inkubasi 10 menit dengan rendemen 58.77%, kadar air 5.95%, yang diaplikasikan pada
produk marshmallow Aplikasi marshmallow dilakukan uji organoleptik dengan hasil uji
penerimaan yaitu 14 panelis menerima produk marshmallow dan terdapat 17 panelis yang
menjawab benar pada uji segitiga.
KELOMPOK 9 :
JUDUL JURNAL :
1. PENGARUH CAMPURAN BAHAN KOMPOSIT DAN KONSENTRASI GLISEROL
TERHADAP KARAKTERISTIK BIOPLASTIK DARI PATI KULIT SINGKONG DAN
KITOSAN
2. PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP KARAKTERISTIK
KOMPOSIT PLASTIK BIODEGRADABLE DARI PATI KULIT SINGKONG DAN
KITOSAN
JUDUL : “Pencampuran Bahan Komposit dan Konsentrasi Gliserol Mempengaruhi Suhu dan
Lama Pengeringan Terhadap Karateristik Bioplastik dan Biodegradable Dari Pati
Kulit Singkong Dan Kitosan. Jurnal Rekayasa”
TUJUAN :
Untuk mengetahui definisi bioplastik dan biodegradable
Untuk mengetahui kekuatan Tarik (Tensile strength) Bioplastik dan Biodegradable
Untuk mengetahui perpanjangan Saat Putus (Elongation At Break) Pada Bioplastik
dan Biodegradable Elastisitas (Modulus Young) Pada Bioplastik dan Biodegradable
Untuk mengetahui diodegradasi Pada Bioplastik dan Biodegradable
Untuk mengetahui uji Efektivitas Pada Bioplastik dan Biodegradable
METODE : “Prosedur Kerja”
Alat dan Bahan
Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan yaitu pati kulit singkong dimana
singkong yang digunakan yaitu singkong putih yang diperoleh di pasar Tabanan, kitosan,
asam asetat (CH3COOH) 1%, gliserol (C3H8O3) 99%, dan aquades.
Peralatan yang digunakan yaitu baskom, kain saring, blender, saringan/ayakan 60 mesh, hot
plate strirer, magnetic strirer, oven Merk Labo Model DO 2116, cetakan Teflon (Maxim)
diameter 20cm, gelas beaker 100 ml dan 250 ml (Herma), timbangan analitik (ohaus pioneer),
desikator, pipet tetes, spatula, pot plastik, peralatan uji kadar air dan alat uji mekanik plastik
berdasarkan ASTM D695-90 dan mikroskop optik perbesaran 1000x.
Preparasi Pati Kulit Singkong
Preparasi pati kulit singkong menggunakan metode Anita et al., 2013 yaitu
menggunakan kulit singkong (bagian putih dari kulit atau lapisan korteknya), kemudian
dicuci sampai bersih. Ditambahakan air secukupnya untuk mempermudah proses
penghancuran dengan blender sehingga diperoleh bubur/pulp kulit singkong basah.
Dilanjutkan dengan pemerasan dan penyaringan menggunakan kain saring dan cairan yang
diperoleh berupa air pati ditampung dalam baskom. Selanjutnya diendapkan selama 1 malam
untuk memperoleh endapan pati, setelah terdapat endapan pati, antara air dan endapan
dipisahkan. Endapan pati tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu 70oC selama 30 menit
setelah itu diayak dengan ayakan 60 mesh sehingga diperoleh pati halus.
Pembuatan Bioplastik Komposit
Uji morfologi dilakukan pada sampel dengan perlakuan terbaik dari sifat mekanik dan
kemampuan biodegradasinya yang ditentukan dengan uji efektivitas yaitu pada suhu
50°C dengan
KESIMPULAN :
Hasil Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Komposit plastik terbaik yaitu pada
campuran komposit pati : kitosan ( 4g: 1g) dan konsentrasi gilserol 1,5% dengan karakteristik
: nilai kuat tarik 0,39 MPa, elongation 44,06%, elastisitas 0,008 MPa, kemampuan
biodegradasi 66,61%. Hasil uji morfologi dihasilkan bioplastik berpori, karena ukuran serat
polimer kitosan yang lebih besar dari pati. Karakteristik plastik biodegradble terbaik
ditentukan dengan uji efektifitas yaitu pada perlakuan suhu 50°C dengan lama pengeringan 6
jam yang menghasilkan nilai kuat tarik sebesar 1,04 MPa, elongasi 54,99%, elastisitas 0,019
MPa, kemampuan biodegradasi sebesar 51,18% dan hasil uji morfologi plastik biodegradble
terlihat berserat dan terdapat flok- flok kecoklatan.
KELOMPOK 11
JUDUL : “Modifikasi Pati Sagu dan Pati Ubi Jalar Ungu Dengan Metode Heat Moisture
Treatment (HMT)”
TUJUAN : 1. Untuk mengetahui definisi sagu.
1. Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia modifkasi pati sagu menggunakan heat moisture
treatment (HMT).
2. Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia pada pati ubi jalar ungu dengan perlakuan heat
METODE: Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: timbangan analitik
“Denver Instrument M-310”, pisau stainless steel, sendok, baskom, electricgrater, kain saring,
cabinet dryer (pengering kabinet), parut, ayakan 80 mesh, refrigerator,kertas saring Whatman
No. 41, kantong plastik (¼ kg), cawan petri, beaker glass, labu ukur, gelas ukur, pipet tetes,
pipet ukur, bola hisap, corong, spatula, pengaduk, tabung reaksi, erlenmeyer, kertas saring
halus, termometer, kompor listrik, penyaring vakum, oven kering, desikator, viscometer,
Scientific Inc”, kuvet, sentrifuse “Universal Model: PLC012E”, tube sentrifuse, pH meter
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pati sagu (sagu Lapia Tuni dari
Saparua), tepung terigu, air, dan minyak. Sedangkan bahan kimia yang digunakan untuk
analisa adalah natrium sulfat, asam borat, asam klorida, natrium hidroksida, karbon aktif,
larutan phenol, asam sulfat, ubi jalar ungu (Ipomoea batatas Blackie) yang berasal dari
Parigi, HCl, Na2CO3, aquades, buffer KCl pH 1, buffer Asetat pH 4,5, etanol, alkohol,
NaOH, H2SO4, Kalium Bromida (KBr), glukosa anhidrat, reagen nelson, reagen
arsenomolibdat, Pb-asetat.
PROSEDUR KERJA:
. Definisi Sagu
Sagu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki potensi
yang besar namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian diperlukan
Kandungan kalori sagu relatif sama dengan kalori yang dikandung oleh ubi kayu yaitu 146
kal/100 g (Djoefrie, 1999), oleh karena itu sagu merupakan salah satu komoditas pangan
Indonesia memiliki sekitar 21 juta hektar lahan yang potensial dan memungkinkan
untuk tanaman sagu, tapi secara pastinya belum diketahui. Sekitar 95% pertumbuhan pohon
sagu terjadi secara alami (Bintoro, 2000). Menurut Sumaryono (2006), komposisi kimia
tepung sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat, sama halnya dengan tepung terigu,
Modifkasi Pati Sagu dengan Heat Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fisik dan
Kimia
Modifikasi pati adalah cara mengubah struktur dan mempengaruhi ikatan hidrogen
dengan cara terkontrol untuk meningkatkan dan memperluas kegunaannya. Modifikasi pati
diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan fungsional dari pati alami. Salah satu
cara modifikasi pati yang dapat dilakukan untuk mengubah sifat-sifat patinya adalah dengan
cara Heat Moisture Treatment (HMT). Perlakuan HMT didefenisikan sebagai modifikasi pati
secara fisika yang dilakukan pada granula pati dengan kadar air kurang dari 35% selama 15
menit sampai dengan 16 jam, dan pada suhu 84°C sampai dengan 120°C atau di atas suhu
transisi tapi di bawah suhu gelatinisasi (Gunaratne & Hoover, 2002). Teknik modifikasi pati
HMT dilakukan dengan cara perlakuan pemanasan pati pada suhu tinggi (80120oC) dalam
kondisi kadar yang dikontrol (35% atau lebih rendah) (Collado et al., 2001). Metode
breakdown dan memiliki viskositas akhir yang tinggi serta menghasilkan pati dengan nilai
swelling power dan solubility yang terbatas (Collado & Corke 1999; Collado et al., 2001;
Modifikasi pati sagu dengan metode HMT untuk mengubah sifat fisik dan sifat kimia
dari pati sagu alami. Sesuai dengan pernyataan Fitriani & Budiyani (2010), perlakuan HMT
merupakan salah satu modifikasi pati secara fisik dengan menggunakan kombinasi
kelembaban dan suhu tanpa mengubah penampakan granulanya. Menurut Purwani et al.
(2006) dalam Fitriani & Budiyani (2010) perlakuan HMT membuat pati lebih stabil pada saat
pemasakan, akibatnya kualitas tanak yang dihasilkan menjadi lebih baik. Proses pembuatan
pati sagu HMT dilakukan dengan tiga taraf perlakuan yang berbeda, modifikasi pati sagu
dengan metode HMT pada penelitian ini dilakukan pada beberapa tingkatan suhu pemanasan
yaitu: suhu 90, 95, dan 100oC dengan lama pemanasan selama 4 jam. Hasil pati sagu
termodifikasi HMT yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisa sifat fisik dan kimia.
Kadar Air
Gambar 1 menunjukan bahwa nilai kadar air berturut-turut tertinggi diperoleh pada
suhu pemanasan 90, 95, dan 100oC adalah 9%, 8,24%, dan 8%. Pati yang telah mengalami
modifikasi memiliki kadar air lebih kecil dibandingkan pati alami. Perlakuan suhu HMT
cenderung mengakibatkan kadar air pati menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pati
alaminya. Hal ini karena suhu yang tinggi menyebabkan air yang terikat pada pati menguap,
terdapat didalam bahan. Apabila ikatan molekul-molekul air yang terdiri dari unsur-unsur
dasar oksigen dan hidrogen dipecahkan, maka molekul tersebut akan keluar dari bahan,
akibatnya bahan tersebut akan kehilangan air yang di kandungannya (Rosdaneli, 2005).
Kecepatan pengeringan juga tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan, luas permukaan
bahan, suhu pemanasan, kecepatan aliran udara dan tekanan udara. Kadar air sangat penting
dalam memperpanjang daya awet dari bahan pangan, karena mempengaruhi sifat-sifat fisik,
Derajat Asam
pH adalah derajat keasaman yang penting sebab digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Berdasarkan hasil analisis ragam
didapati bahwa derajat keasaman memberikan pengaruh yang nyata terhadap pati sagu HMT.
Perlakuan HMT dengan suhu pemanasan 90, 95, dan 100oC dengan nilai 5,7, 5,8, dan 5,8%.
Pengukuran pati sagu menunjukan bahwa pati sagu termodifikasi memiliki pH yang rendah
yang dihasilkan bersifat asam atau basa, rendahnya nilai pH yang dihasilkan kemungkinan
terjadi pada saat rangkaian proses pengolahan pati sagu tersebut banyak tahapan proses yang
tertunda sehingga memungkinkan adanya aktivitas mikroba pembentuk asam yang membuat
Namun dapat dilihat bahwa perbandingan nilai yang diperoleh sangat kecil dengan
nilai rata-rata 5,7-5,8 saja. Hasil analisa derajat keasaman pada pati sagu yang termodifikasi
dapat dilihat pada Gambar 2. Semakin tinggi tingkat keasamannya maka semakin buruk
kualitas tepungnya, sebaliknya semakin rendah tingkat keasamannya maka kualitas tepung
akan baik.
Gambar 2. Rata-rata derajat asam pati sagu HMT.
Viskositas
Semakin tinggi suhu pemanasan yang dilakukan maka semakin cepat pati sagu
(viskositasnya), begitu pula sebaliknya semakin rendah suhu pemanasan maka semakin lama
pati sagu mengalami kekentalan artinya semakin tinggi tingkat alirannya (viskositas).
Penurunan viskositas maksimum menurut Hoover & Gunaratne (2002) disebabkan karena
proses modifikasi, sehingga ikatan antar molekul menjadi lebih rapat dan lebih sulit untuk
Penurunan viskositas ini dikarenakan oleh granula pati yang telah mengalami
gelatinisasi dan pembengkakan maksimum akibat pemanasan suspensi pati, pecah dan
meluruhkan amilosa dari granula pati menjadi fraksi yang larut dalam air panas. Sesuai
dengan pernyataan Stute (1992) bahwa perlakuan HMT dapat mengakibatkan profil pasta pati
mengalami penurunan viskositas dan breakdown, serta peningkatan viskositas pasta dingin.
Penurunan viskositas pada pati sagu ini diduga adanya peningkatan suhu pemanasan pada
saat proses modifikasi berlangsung, terlihat pada Gambar 4 bahwa suhu pemanasan yang
lebih tinggi mempengaruhi penurunan nilai viskositas pati yang dihasilkan, hal ini diduga
karena pada saat pemanasan terjadi pembentukan komples antara amilosa-lemak yang
pasta selama pemanasan, hal ini juga diduga adanya perbedaan kadar amilosa pati yang
dihasilkan, kadar amilosa yang berbeda menyebabkan perbedaan karakteristik pati HMT dan
kadar amilosa yang rendah serta suhu pemanasan yang tinggi mampu menurunkan nilai
viskositas. Sesuai dengan pernyataan Collado & Corke (1999), bahwa pada pati ubi jalar
dengan kandungan amilosa yang berbeda, perlakuan HMT (oven) pada suhu 110oC dan
kadar air 25% selama 4-16 jam, pati dengan kadar amilosa yang lebih rendah menunujukan
penurunan viskositas yang lebih besar dan nilai setback yang lebih rendah.
Derajat Putih
Derajat putih merupakan salah satu sifat fisik yang mengalami perubahan pada proses
modifikasi, hasil pengamatan menunjukan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan yang
dilakukan maka derajat putih pada bahan pangan akan meningkat. Terlihat bahwa pemanasan
pati sagu HMT dengan suhu 100oC memberikan nilai derajat putih yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan suhu pemanasan 90oC. Naiknya nilai derajat putih pada pati sagu HMT
perlakuan pemanasan 90oC diduga dipengaruhi oleh rendahnya nilai pH, pati sagu dengan
perlakuan pemanasan 90oC memiliki pati yang bersifat asam, karena kenaikan pH sagu
menyebabkan pigmen alami yang terdapat pada sagu berubah dari tidak berwarna menjadi
berwarna pudar, proses modifikasi HMT yang dilakukan pada pati sagu tersebut membuat
warna pudar pati sagu semakin kuat yang menyebabkan penurunan derajat putih secara nyata.
Hal ini biasa juga disebabkan karena terjadi proses pencoklatan pada bahan-bahan yang
Menurut Poedjiadi (1994), Pencoklatan atau browning pada bahan yang mengandung
karbohidrat dapat terjadi secara enzimatik dan non enzimatik. Pencoklatan enzimatik banyak
pencoklatan secara non enzimatik umumnya ada tiga macam, yaitu karamelisasi, reaksi
Mailard dan pencoklatan akibat vitamin C. Dari kedua jenis pencoklatan tersebut, diduga
pencoklatan pada pati sagu yang telah dipanaskan, terjadi secara non enzimatik, yaitu akibat
reaksi Mailard.
Kekuatan Gel
Sumber panas yang dihasilkan pada saat proses modifikasi berlangsung ternyata
mampu mempengaruhi nilai kekuatan gel, peningkatan nilai kekuatan gel ini dikarenakan
teraturnya kembali (rearrangement) molekul-molekul dalam granula pati sagu yang akan
berikatan semakin kuat selama proses modifikasi. Secara teori menurut (Hoover &
Vasanthan, 1994; Collado & Corke, 1999) peningkatan leaching amilosa akan meningkatkan
kekuatan gel. Dikutip oleh Miyoshi (2001), HMT dapat meningkatkan rekristalisasi
komponen molekul amiloa yang mengalami leaching sehingga kekuatan gel akan meningkat.
Kekuatan gel menurut Lii et al (1996) dikutip Elliasson (2004) berbanding terbalik dengan
swelling volume, semakin tinggi nilai swelling volume kekuatan gel semakin rendah.
Pati sagu yang telah dingin membentuk gel yang kuat. Gel pati merupakan sistem
padat-cair yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dimana fase cair terjebak di
dalam fase padatan. Molekul amilosa bebas dapat membentuk ikatan hidrogen tidak hanya
dengan molekul amilosa lainnya tetapi juga dengan rantai cabang amilopektin dari granula
yang mengembang sehingga menjadi bagian jaringan padat yang saling berhubungan.
Keberadaan amilosa dalam fase ini menyebabkan gel menjadi kuat (Collado & Corke, 1999).
Semakin tinggi nilai viskositas akhir, semakin kuat gel yang dihasilkan. Kemampuan
membentuk gel merupakan parameter pati sagu yang penting dalam proses produksi mi.
Karakter yang diinginkan adalah pati dengan kemampuan membentuk gel yang tinggi. Mi
sagu pada dasarnya adalah mi yang bahan dasarnya adalah tepung sagu dimana pati sagunya
telah mengalami proses gelatinisasi yang diperoleh dari hasil pengukusan. Kekuatan untaian
swasembada pangan, ubi jalar merupakan salah satu komoditas pangan yang mempunyai
keunggulan sebagai penunjang program tersebut. Memanfaatkan bahan pangan lokal, seperti
ubi jalar yang sangat kompetitif dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Ubi jalar
sebagai sumber pangan fungsional dan sumber karbohidrat, memiliki peluang sebagai
substitusi bahan pangan utama karena efisien dalam menghasilkan energi, vitamin, dan
mineral, sehingga bila diterapkan mempunyai peran penting dalam upaya penganekaragaman
Analisis Fisik
Dilihat dari grafik rata-rata WHC pati ubi jalar ungu yang dimodifikasi (Gambar 6)
menunjukkan bahwa WHC pati ubi jalar ungu mengalami penurunan akibat perlakuan
temperatur dan lama pemanasan, walaupun pada temperatur 85ºC menghasilkan WHC yang
lebih rendah dibandingkan dengan temperatur 100ºC. Penurunan WHC dengan hasil yang
berbeda ini disebabkan karena terjadinya retrogradasi yang merupakan perubahan struktur
pada area berkristal (crystaline) dan area tak beraturan (amorphus) pada granula pati
mengakibatkan area amosphus pati mengembang, kemudian menekan keluar area berkristal
sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area berkristal granula pati. Penurunan WHC pati
ubi jalar ungu yang dimodikasi secara keseluruhan disebabkan karena lama pemanasan dan
suhu yang tinggi sehingga terjadi degradasi yang diakibatkan oleh ikatan hidrogen pati
terputus pada saat pemanasan dalam waktu relatif lama. Menurut Herawati (2009) bahwa
pada saat modifikasi HMT ikatan hidrogen pada pati terputus atau hilang pada saat
pemanasan HMT berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Dengan demikian, semakin
sedikit jumlah gugus hidroksil dari molekul pati semakin rendah kemampuan granula
menyerap air.
Dilihat dari grafik rata-rata OHC pati ubi jalar ungu yang dimodifikasi (Gambar 7)
menunjukkan bahwa OHC pati ubi jalar ungu mengalami penurunan akibat perlakuan HMT.
terhadap kemampuan menahan minyak atau OHC. Perlakuan HMT menyebabkan granula
pati menjadi pecah sehingga granula meregang dan memudahkan minyak masuk ke dalam
granula yang terikat kuat oleh ikatan hidrogen. Penurunan nilai rata-rata OHC pati ubi jalar
ungu termodifikasi diduga karena semakin tinggi temperatur menyebabkan laju pemotongan
rantai lurus dari amilopektin dan pembentukan ikatan amilosa menyebabkan struktur lebih
kompak, sehingga berkurangnya daerah yang mudah dimasuki minyak. Hasil penelitian
Alsuhendra dan Ridawati (2008), menunjukkan bahwa daya serap minyak dipengaruhi oleh
adanya protein pada permukaan granula pati. Protein ini dapat membentuk kompleks dengan
pati, dimana kompleks pati-protein ini dapat memberikan tempat bagi terikatnya minyak.
Gambar 8. Grafik Kadar Air (%) Pati Ubi Jalar Ungu Modifikasi.
Dilihat dari grafik rata-rata kadar air pati ubi jalar ungu yang dimodifikasi (Gambar 8)
menunjukkan bahwa kadar air pati ubi jalar ungu meningkat dengan semakin tingginya
temperatur dan lama pemanasan. Semakin tinggi temperatur dan semakin lama pemanasan
membuat granula pati membuka sehingga terjadi imbibisi air ke dalam granula. Pembukaan
pada granula juga mengakibatkan semakin mudahnya air menguap saat pengeringan. Namum
kadar air pada temperatur 85oC justru lebih tinggi dibanding temperatur 100oC. Hal ini
disebabkan pada proses HMT, terjadi pengikatan kadar air oleh granula pati yang membuka
akibat panas tinggi. Proses HMT menyebabkan berubahnya penyusun granula pati sehingga
air yang masuk pada granula pati bisa diikat, sehingga proses pengeringan air tidak banyak
amilopektin.
Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan air
mengimbibisi molekul pati. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya ikatan antara amilosa dan
amilopektin melalui ikatan hidrogen sehingga terjadi pengaturan kembali ikatan amilosa dan
amilopektin dan membentuk suatu daerah kristalin (beraturan) yang besar menghasilkan
bentuk granula pati yang lebih stabil dan teratur (Hoover dan Manuel, 1996).
Dilihat dari grafik rata-rata kadar pati ubi jalar ungu yang dimodifikasi (Gambar 9)
diketahui kadar pati ubi jalar ungu semakin menurun dengan semakin meningkatnya
temperatur dan lama pemanasan. Hal ini disebabkan karena terjadi pembukaan granula pati
dengan air. Amilosa yang terlepas tadi keluar ke luar granula. Akibatnya kadar pati
menurun. Kadar pati ubi jalar ungu termodifikasi menunjukkan kecenderungan menurun pada
lama pemanasan 3 jam (temperatur 85oC dan 100oC), 5 jam (temperatur 100oC), dan 7 jam
(temperatur 85oC dan 100oC), namun mengalami kenaikan pada lama pemanasan 3 jam
(temperatur 70oC), 5 jam (temperatur 70oC dan 85oC), dan 7 jam (temperatur 70oC). Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dicapai oleh Olayinka et al. (2008) bahwa
penurunan kelarutan diduga karena teurainya doublehelic dalam susunan kristalin dalam
Modifikasi Heat Moisture Treatment dapat merubah karakteristik pati karena selama
proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan
perlakuan suhu 100oC, pH 5,7 suhu 90oC, viskositas 3 cP suhu 100oC, derajat putih 75,27
suhu 90oC dan kekuatan gel 105,13 g/cm2 suhu 95oC. Modifikasi secara HMT dengan
perlakuan temperatur dan lama pemanasan pada pati ubi jalar ungu menghasilkan
karakteristik sifat fisikokimia yang berbeda, dimana memberikan pengaruh nyata terhadap