Anda di halaman 1dari 95

A.

PENGERTIAN

Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum tulang
dan limfa nadi (Reeves, 2001). Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau
akumulasi ssel darah putih dalam sumusm tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal.
Juga terjadi proliferasi di hati, limpa dan nodus limfatikus, dan invasi organ non hematologis,
seperti meninges, traktus gastrointesinal, ginjal dan kulit.

B. ETIOLOGI

Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan
terjadinya leukemia yaitu :
1. Faktor genetik : virus tertentu meyebabkan terjadinya perubahan struktur gen ( T cell
leukemia-lymphoma virus/HTLV)
2. Radiasi ionisasi : lingkungan kerja, pranatal, pengobatan kanker sebelumnya
3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen anti
neoplastik.
4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
5. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot
6. Kelainan kromosom : Sindrom Bloom’s, trisomi 21 (Sindrom Down’s), Trisomi G (Sindrom
Klinefelter’s), Sindrom fanconi’s, Kromosom Philadelphia positif, Telangiektasis ataksia.

C. JENIS LEUKEMIA

1. Leukemia Mielogenus Akut


AML mengenai sel stem hematopeotik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel Mieloid:
monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena;
insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling
sering terjadi.

2. Leukemia Mielogenus Kronis


CML juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namun lebih banyak sel
normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. CML jarang menyerang
individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran AML tetapi tanda dan gejala
lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama bertahun-tahun, peningkatan leukosit
kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa membesar.

3. Luekemia Limfositik Akut


ALL dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak, laki-laki lebih
banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia 15 ALL jarang terjadi.
Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga
mengganggu perkembangan sel normal.

4. Leukemia Limfositik Kronis


CLL merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50 sampai 70 tahun. Manifestasi klinis
pasien tidak menunjukkan gejala, baru terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau penanganan
penyakit lain.

D. PATOFISIOLOGI

a.Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast. Adanya
proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan menimbulkan anemia
dan trombositipenia.
b.Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh dan menyebabkan gangguan sistem pertahanan
tubuh dan mudah mengalami infeksi.
c.Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ, sistem
saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang yangt akan
berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan tekanan
jaringan.
d.Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat terjadinya pembesaran hati, limfe, nodus
limfe, dan nyeri persendian.
(Suriadi, & Yuliani R, 2001: hal. 175)

E. TANDA DAN GEJALA

1. Aktivitas : kelelahan, kelemahan, malaise, kelelahan otot.


2. Sirkulasi :palpitasi, takikardi, mur-mur jantung, membran mukosa pucat.
3. Eliminsi : diare, nyeri tekan perianal, darah merah terang, feses hitam, penurunan haluaran
urin.
4. Integritas ego : perasaan tidak berdaya, menarik diri, takut, mudah terangsang, ansietas.
5. Makanan/cairan: anoreksia, muntah, perubahan rasa, faringitis, penurunan BB dan disfagia
6. Neurosensori : penurunan koordinasi, disorientasi, pusing kesemutan, parestesia, aktivitas
kejang, otot mudah terangsang.
7. Nyeri : nyeri abomen, sakit kepala, nyeri sendi, perilaku hati-hati gelisah
8. Pernafasan : nafas pendek, batuk, dispneu, takipneu, ronkhi, gemericik, penurunan bunyi nafas
9. Keamanan : gangguan penglihatan, perdarahan spontan tidak terkontrol, demam, infeksi,
kemerahan, purpura, pembesaran nodus limfe.
10. Seksualitas : perubahan libido, perubahan menstruasi, impotensi, menoragia.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hitung darah lengkap : menunjukkan normositik, anemia normositik


2. Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100ml
3. Retikulosit : jumlah biasaya rendah
4. Trombosit : sangat rendah (< 50000/mm)
5. SDP : mungkin lebih dari 50000/cm dengan peningkatan SDP immatur
6. PTT : memanjang
7. LDH : mungkin meningkat
8. Asam urat serum : mungkin meningkat
9. Muramidase serum : pengikatan pada leukemia monositik akut dan mielomonositik
10. Copper serum : meningkat
11. Zink serum : menurun
12. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan

G. PENATALAKSANAAN

1. Pelaksanaan kemoterapi
2. Irradiasi kranial
3. Terdapat tiga fase pelaksanaan keoterapi :
a. Fase induksi
Dimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikostreroid
(prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan behasil jika tanda-tanda
penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kurang
dari 5%.
b. Fase Profilaksis Sistem saraf pusat
Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan hydrocotison melaui intrathecal untuk
mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan hanya pada pasien
leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf pusat.
c. Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk mempertahankan remisis dan mengurangi
jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, mingguan atau bulanan
dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan.
Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat
dikurangi.

KONSEP KEPERAWATAN

H. PENGKAJIAN

1. Riwayat penyakit : pengobatan kanker sebelumnya


2. Riwayat keluarga : adanya gangguan hematologis, adanya faktor herediter misal kembar
monozigot)
3. Kaji adanya tanda-tanda anemia : kelemahan, kelelahan, pucat, sakit kepala, anoreksia,
muntah, sesak, nafas cepat
4. Kaji adanya tanda-tanda leukopenia : demam, stomatitis, gejala infeksi pernafasan atas, infeksi
perkemihan; infeksi kulit dapat timbul kemerahan atau hiotam tanpa pus
5. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia : ptechiae, purpura, perdarahan membran mukosa,
pembentukan hematoma, purpura; kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medula: limfadenopati,
hepatomegali, splenomegali.
6. Kaji adanya pembesaran testis, hemAturia, hipertensi, gagal ginjal, inflamasi di sekkitar rektal
dan nyeri.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Resiko tinggi infeksi berhubungn dengan menururnnya sistem pertahanan tubuh sekunder
gangguan pematangan SDP, peningkatan jumlah limfosit immatur, imunosupresi, peneknan
sumsum tulang.
Tujuan : pasien bebas dari infeksi
Kriteria hasil :
a. Normotermia
b. Hasil kultur negatif
c. Peningkatan penyembuhan

Intervensi :
a. Tempatkan pada ruangan yang khusus. Batasi pengunjung sesuai indikasi.
b. Cuci tangan untuk semua petugas dan pengunjung.
c. Awsi suhu, perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan pengobatan kemoterapi.
Observasi demam sehubungan dengan takikardia, hipotensi, perubahan mental samar.
d. Cegah menggigil : tingkatkan cairan, berikan mandi kompres
e. Dorong sering mengubah posisi, napas dalam dan batuk.
f. Auskultsi bunyi nafas, perhatikan gemericik, ronkhi; inspeksi sekresi terhadap perubahan
karakteristik, contoh peningktatan sputum atau sputum kental, urine bau busuk dengan berkemih
tiba-tiba atau rasa terbakar.
g. Inspeksi kulit unutk nyeri tekan, area eritematosus; luka terbuka. Besihkan kulit dengan
larutan antibakterial.
h. Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan sikat gigi halus.
i. Tingkatkan kebersihan perianal. Berikan rendam duduk menggunakan betadine atau Hibiclens
bila diindiksikan.
j. Berikan periode istirahat tanpa gangguan
k. Dorong peningkatan masukan makanan tinggi protein dan cairan.
l. Hindari prosedur invasif (tusukan jarum dan injeksi) bila mungkin.
m. Kolaborasi :
 Awasi pemeriksaan laboratorium misal : hitung darah lerngkap, apakah SDP turun atau tiba-
tiba terjadi perubahan pada neutrofil; kultur gram/sensitivitas.
Kaji ulang seri foto dada.
Berikan obat sesuai indikasi contoh antibiotik.
Hindari antipiretik yang mengandung aspirin.
et rendah bakteri misal makanan dimasak, diprosesBerikan di

2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan : muntah,
perdarahan,diare ; penurunan pemasukan cairan : mual,anoreksia ; peningkatan kebutuhan cairan
: demam, hipermetabolik
Tujuan : volume cairan terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Volume cairan adekuat
b. Mukosa lembab
c. Tanda vital stabil : TD 90/60 mmHg, nadi 100 x/menit, RR 20 x/mnt
d. Nadi teraba
e. Haluaran urin 30 ml/jam
f. Kapileri refill < 2 detik
Intervensi :
a. Awasi masukan/haluaran. Hitung kehilangan cairan dan keseimbangna cairan. Perhatikan
penurunan urin, ukur berat jenis dan pH urin.
b. Timbang berat badan tiap hari
c. Awasi TD dan frekuensi jantung
d. Evaluasi turgor kulit, pengisian kapiler dan kondisi membran mukosa.
e. Beri masukan cairan 3-4 L/hari
f. Inspeksi kulit/membran mukosa untuk petekie, area ekimosis; perhatikan perdarahan gusi,
darah warna karat atau samar pada feses dan urin; perdarahan lanjut dari sisi tusukan invsif.
g. Implementasikan tindakan untuk mencegah cedera jaringan/perdarahan.
h. Batasi perawatan oral untuk mencuci mulut bila diindikasikan
i. Berikan diet halus.
j. Kolaborasi :
Berikan cairan IV sesuai indikasi
Awasi pemeriksaan laboratorium : trombosit, Hb/Ht, pembekuan.
Berikan SDM, trombosit, faktor pembekuan.
Pertahankan alat akses vaskuler sentral eksternal (kateter arteri subklavikula, tunneld, port
implan)
Berikan obat sesuai indikasi : Ondansetron, allopurinol, kalium asetat atau asetat, natrium
biukarbonat, pelunak feses.

3. Nyeri berhubungan dengan agen fisikal seperti pembesaran organ/nodus limfe, sumsum tulang
yang dikemas dengan sel leukemia; agen kimia pengobatan antileukemik
Tujuan : nyeri teratasi
Kriteria hasil :
a. Pasien menyatakan nyeri hilang atau terkontrol
b. Menunjukkan perilaku penanganan nyeri
c. Tampak rileks dan mampu istirahat

Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan perubahan pada derajat dan sisi (gunakan skala 0-10)
b. Awasi tanda vital, perhatikan petunjuk non-verbal misal tegangan otot, gelisah.
c. Berikan lingkungan tenang dan kurangi rangsangan penuh stres.
d. Tempatkan pada posis nyaman dan sokong sendi, ekstremitas dengan bantal.
e. Ubah posisi secara periodik dan bantu latihan rentang gerak lembut.
f. Berikan tindakan kenyamanan ( pijatan, kompres dingin dan dukungan psikologis)
g. Kaji ulang/tingkatkan intervensi kenyamanan pasien sendiri
h. Evaluasi dan dukung mekanisme koping pasien.
i. Dorong menggunakan teknik menajemen nyeri contoh latihan relaksasi/nafas dalam, sentuhan.
j. Bantu aktivitas terapeutik, teknik relaksasi.
k. Kolaborasi :
Awasi kadar asam urat
Berika obat sesuai indikasi : analgesik (asetaminofen), narkotik (kodein, meperidin, morfin,
hidromorfon)
Agen antiansietas (diazepam, lorazepam)

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, peningkatan laju metabolik


Tujuan : pasien mampu mentoleransi aktivitas
Kriteria hasil :
a. Peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur
b. Berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai tingkat kemampuan
c. Menunjukkan penurunan tanda fisiologis tidak toleran misal nadi, pernafasan dan TD dalam
batas normal

Intervensi :
d. Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
aktivitas.berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa ganggaun
e. Implementasikan teknik penghematan energi, contoh lebih baik duduk daripada berdiri,
pengunaan kursi untuk madi
f. Jadwalkan makan sekitar kemoterapi. Berikan kebersihan mulut sebelum makan dan berikan
antiemetik sesuai indikasi
g. Kolaborasi : berikan oksigen tambahan

5. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan trombositopenia


Tujuan : pasien bebas dari gejala perdarahan
Kriteria hasil :
a. TD 90/60mmHg
b. Nadi 100 x/mnt
c. Ekskresi dan sekresi negtif terhadap darah
d. Ht 40-54% (laki-laki), 37-47% ( permpuan)
e. Hb 14-18 gr%
Intervensi :
f. Pantau hitung trombosit dengan jumlah 50.000/ ml, resiko terjadi perdarahan. Pantau Ht dan
Hb terhadap tanda perdarahan
g. Minta pasien untuk mengingatkan perawat bila ada rembesan darah dari gusi
h. Inspeksi kulit, mulut, hidung urin, feses, muntahan dan tempat tusukan IV terhadap
perdarahan
i. Pantau TV interval sering dan waspadai tanda perdarahan.
j. Gunakan jarum ukuran kecil
k. Jika terjadi perdarahan, tinggikan bagian yang sakit dan berikan kompres dingin dan tekan
perlahan.
l. Beri bantalan tempat tidur untuk cegh trauma
m. Anjurkan pada pasien untuk menggunakan sikat gigi halus atau pencukur listrik.
6. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan terhentinya aliran darah sekunder adanya
destruksi SDM
Tujuan : perfusi adekuat
Kriteria hasil :
a. Masukan dan haluaran seimbang
b. Haluaran urin 30 ml/jam
c. Kapileri refill < 2 detik
d. Tanda vital stabil
e. Nadi perifer kuat terpalpasi
f. Kulit hangat dan tidak ada sianosis
Intervensi :
a. Awasi tanda vital
b. Kaji kulit untuk rasa dingin, pucat, kelambatan pengisian kapiler
c. Catat perubahan tingkat kesadaran
d. Pertahankan masukan cairan adekuat
e. Evaluasi terjadinya edema
f. Kolaborasi :
Awasi pemeriksaan laboratorium ; GDA, AST/ALT, CPK, BUN
Elektrolit serum, berikan pengganti sesuai indikasi
Berikan cairan hipoosmolar

DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
2. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome.
Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998
3. Doenges, Marilynn E. Nursing Care Plans: Guidelines For Planning And Documenting Patient
Care. Alih Bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC; 1999
4. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih
Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
5. Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta :
Salemba Medika; 2001
Posted by Aku at 12:32 AM 0 comments

Monday, July 21, 2008


Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Marasmus ( MEP )

PENGERTIAN

• Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang
berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak
bawah kulit dan otot. (Dorland, 1998:649).
• Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori protein. (Suriadi,
2001:196).
• Marasmus adalah malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak cukup
atau higiene kurang. Sinonim marasmus diterapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan
satu ayau lebih tanda defisiensi protein dan kalori. (Nelson, 1999:212).
• Zat gizi adalah zat yang diperoleh dari makanan dan digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan,
pertahanan dan atau perbaikan. Zat gizi dikelompokkan menjadi karbohidrat, lemak, protein,
vitamin, mineral dan air. (Arisman, 2004:157).
• Energi yang diperoleh oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang
tersimpan dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita
konsumsi.
• Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, disamping membantu pengaturan
metabolisme protein. Protein dalam darah mempunyai peranan fisiologis yang penting bagi
tubuh untuk :
1. Mengatur tekanan air, dengan adanya tekanan osmose dari plasma protein.
2. Sebagai cadangan protein tubuh.
3. Mengontrol perdarahan (terutama dari fibrinogen).
4. Sebagai transport yang penting untuk zat-zat gizi tertentu.
5. Sebagai antibodi dari berbagai penyakit terutama dari gamma globulin.
Dalam darah ada 3 fraksi protein, yaitu : Albumin, globulin, fibrinogen.

ETIOLOGI

• Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang
tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti yang hubungan dengan orangtua-anak
terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasi kongenital. (Nelson,1999).
• Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang
tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang diare.
Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain seperti infeksi, kelainan bawaan
saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan
juga gangguan pada saraf pusat. (Dr. Solihin, 1990:116).

PATOFISIOLOGI

Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya
tidak tercukupi oleh diet. (Arisman, 2004:92). Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu
berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi.
Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang
sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh
seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan
karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya
katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera
diubah jadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Selam puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam
lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak dan keton bodies
sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan
mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi seteah kira-kira kehilangan separuh
dari tubuh. (Nuuhchsan Lubis an Arlina Mursada, 2002:11).

MANIFESTASI KLINIK

Pada mulanya ada kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan
sampai berakibat kurus,dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut dan
longgar karena lemak subkutan hilang dari bantalan pipi, muka bayi dapat tetap tampak relatif
normal selama beberaba waktu sebelum menjadi menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat
kembung dan datar. Terjadi atropi otot dengan akibat hipotoni. Suhu biasanya normal, nadi
mungkin melambat, mula-mula bayi mungkin rewe, tetapi kemudian lesu dan nafsu makan
hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan,
dengan buang air besar sering, tinja berisi mukus dan sedikit. (Nelson,1999).

Selain itu manifestasi marasmus adalah sebagai berikut :


1. Badan kurus kering tampak seperti orangtua
2. Lethargi
3. Irritable
4. Kulit keriput (turgor kulit jelek)
5. Ubun-ubun cekung pada bayi
6. Jaingan subkutan hilang
7. Malaise
8. Kelaparan
9. Apatis

PENATALAKSANAAN

1. Keadaan ini memerlukan diet yang berisi jumlah cukup protein yang kualitas biologiknya
baik. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin.
2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit.
3. Penatalaksanaan segera setiap masalah akut seperti masalah diare berat.
4. Pengkajian riwayat status sosial ekonomi, kaji riwayat pola makan, pengkajian antropometri,
kaji manifestasi klinis, monitor hasil laboratorium, timbang berat badan, kaji tanda-tanda vital.

Penanganan KKP berat


Secara garis besar, penanganan KKP berat dikelompokkan menjadi pengobatan awal dan
rehabilitasi. Pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa,
sementara fase rehabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan gizi.
Upaya pengobatan, meliputi :
- Pengobatan/pencegahan terhadap hipoglikemi, hipotermi, dehidrasi.
- Pencegahan jika ada ancamanperkembangan renjatan septik
- Pengobatan infeksi
- Pemberian makanan
- Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain, seperti kekurangan vitamin, anemia berat dan
payah jantung.

Menurut Arisman, 2004:105


- Komposisi ppemberian CRO (Cairan Rehidrasi Oral) sebanyak 70-100 cc/kg BB biasanya
cukup untuk mengoreksi dehidrasi.
- Cara pemberian dimulai sebanyak 5 cc/kg BB setiap 30 menit selama 2 jam pertama peroral
atau NGT kemudian tingkatkan menjadi 5-10 cc/kg BB/ jam.
- Cairan sebanyak itu harus habis dalam 12 jam.
- Pemberian ASI sebaiknya tidak dihentikan ketika pemberian CRO/intravena diberikan dalam
kegiatan rehidrasi.
- Berika makanan cair yang mengandung 75-100 kkal/cc, masing-masing disebut sebagai F-75
dan F-100.
Menurut Nuchsan Lubis
Penatalaksanaan penderita marasmus yang dirawat di RS dibagi dalam beberapa tahap, yaitu :
1. Tahap awal :24-48 jam pertama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk menyelamatkan
jiwa, antara lain mengoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan IV.
- cairan yang diberikan adalah larutan Darrow-Glukosa atau Ringer Laktat Dextrose 5%.
- Mula-mula diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama.
- Kemudian 140ml sisanya diberikan dalam 16-20 jam berikutnya.
- Cairan diberikan 200ml/kg BB/ hari.
2. Tahap penyesuaian terhadap pemberian makanan
- Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/ kg BB/ hari atau
rata-rata 50 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 1-1,5 gr/ kg BB/ hari.
- Kemudian dinaikkan bertahap 1-2 hari hingga mencapai 150-175 kalori/ kg BB/ hari, dengan
protein 3-5 gr/ kg BB/ hari.
- Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet TKTP ini lebih kurang 7-10 hari.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan Fisik
a. Mengukur TB dan BB
b. Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram) dibagi dengan TB (dalam meter)
c. Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan trisep) ditarik
menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dangan
menggunakan jangka lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari
lemak tubuh. Lipatan lemak normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada
wanita.
d. Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk memperkirakan jumlah otot
rangka dalam tubuh (lean body massa, massa tubuh yang tidak berlemak).
2. Pemeriksaan laboratorium : albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit, Hb, Ht, transferin.

FOKUS INTERVENSI

1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan tidak
adekuat (nafsu makan berkurang). (Wong, 2004)
Tujuan :
Pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil :
meningkatkan masukan oral.
Intervensi :
a. Dapatkan riwayat diet
b. Dorong orangtua atau anggota keluarga lain untuk menyuapi anak atau ada disaat makan
c. Minta anak makan dimeja dalam kelompok dan buat waktu makan menjadi menyenangkan
d. Gunakan alat makan yang dikenalnya
e. Perawat harus ada saat makan untuk memberikan bantuan, mencegah gangguan dan memuji
anak untuk makan mereka
f. Sajikan makansedikit tapi sering
g. Sajikan porsi kecil makanan dan berikan setiap porsi secara terpisah
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan diare. (Carpenito, 2001:140)
Tujuan :
Tidak terjadi dehidrasi
Kriteria hasil :
Mukosa bibir lembab, tidak terjadi peningkatan suhu, turgor kulit baik.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda vital dan tanda-tanda dehidrasi
b. Monitor jumlah dan tipe masukan cairan
c. Ukur haluaran urine dengan akurat

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan nutrisi/status metabolik. (Doengoes,


2000).
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan integritas kulit
Kriteria hasil :
kulit tidak kering, tidak bersisik, elastisitas normal
Intervesi :
a. Monitor kemerahan, pucat,ekskoriasi
b. Dorong mandi 2xsehari dan gunakan lotion setelah mandi
c. Massage kulit Kriteria hasilususnya diatas penonjolan tulang
d. Alih baring

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh


Tujuan :
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
Kriteria hasil:
suhu tubuh normal 36,6 C-37,7 C,lekosit dalam batas normal

Intervensi :
a. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b. Pastikan semua alat yang kontak dengan pasien bersih/steril
c. Instruksikan pekerja perawatan kesehatan dan keluarga dalam prosedur kontrol infeksi
d. Beri antibiotik sesuai program

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang nya informasi (Doengoes, 2004)


Tujuan :
pengetahuan pasien dan keluarga bertambah
Kriteria hasil:
Menyatakan kesadaran dan perubahan pola hidup,mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala.
Intervensi :
a. Tentukan tingkat pengetahuan orangtua pasien
b. Mengkaji kebutuhan diet dan jawab pertanyaan sesuai indikasi
c. Dorong konsumsi makanan tinggi serat dan masukan cairan adekuat
d. Berikan informasi tertulis untuk orangtua pasien
6. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan melemahnyakemampuan
fisik dan ketergantungan sekunder akibat masukan kalori atau nutrisi yang tidak adekuat.
(Carpenito, 2001:157).
Tujuan :
Anak mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya.
Kriteria hasil :
Terjadi peningkatan dalam perilaku personal, sosial, bahasa, kognitif atau aktifitas motorik
sesuai dengan usianya.
Intervensi :
a. Ajarkan pada orangtua tentang tugas perkembangan yang sesuai dengan kelompok usia.
b. Kaji tingkat perkembangan anak dengan Denver II
c. Berikan kesempatan bagi anak yang sakit memenuhi tugas perkembangan
d. Berikan mainan sesuai usia anak.

7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen sekunder akibat
malnutrisi. (Carpenito, 2001:3)
Tujuan :
Anak mampu beraktifitas sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil :
Menunjukkan kembali kemampuan melakukan aktifitas.
Intervensi :
a. Berikan permainan dan aktifitas sesuai dengan usia
b. Bantu semua kebutuhan anak dengan melibatkan keluarga pasien

8. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan rendahnya masukan protein (malnutrisi).


(Carpenio, 2001:143).
Tujuan :
Kelebihan volume cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Menyebutkan faktor-faktor penyebab dan metode-metode pencegahan edema, memperlihatkan
penurunan edema perifer dan sacral.
Intervensi :
a. Pantau kulit terhadap tanda luka tekan
b. Ubah posisi sedikitnya 2 jam
c. Kaji masukan diet dan kebiasaan yang dapat menunjang retensi cairan.
Posted by Aku at 9:21 PM 0 comments

Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Atrium Septal Defact ( ASD )

Pengertian

Atrial Septal Defect adalah adanya hubungan (lubang) abnormal pada sekat yang memisahkan
atrium kanan dan atrium kiri. Kelainan jantung bawaan yang memerlukan pembedahan jantung
terbuka adalah defek sekat atrium. Defek sekat atrium adalah hubungan langsung antara serambi
jantung kanan dan kiri melalui sekatnya karena kegagalan pembentukan sekat. Defek ini dapat
berupa defek sinus venousus di dekat muara vena kava superior, foramen ovale terbuka pada
umumnya menutup spontan setelah kelahiran, defek septum sekundum yaitu kegagalan
pembentukan septum sekundum dan defek septum primum adalah kegagalan penutupan septum
primum yang letaknya dekat sekat antar bilik atau pada bantalan endokard. Macam-macam defek
sekat ini harus ditutup dengan tindakan bedah sebelum terjadinya pembalikan aliran darah
melalui pintasan ini dari kanan ke kiri sebagai tanda timbulnya sindrome Eisenmenger. Bila
sudah terjadi pembalikan aliran darah, maka pembedahan dikontraindikasikan. Tindakan bedah
berupa penutupan dengan menjahit langsung dengan jahitan jelujur atau dengan menambal defek
dengan sepotong dakron.
Tiga macam variasi yang terdapat pada ASD, yaitu
1. Ostium Primum (ASD 1), letak lubang di bagian bawah septum, mungkin disertai kelainan
katup mitral.
2. Ostium Secundum (ASD 2), letak lubang di tengah septum.
3. Sinus Venosus Defek, lubang berada diantara Vena Cava Superior dan Atrium Kanan.

Patofisiologi

Pada kasus Atrial Septal Defect yang tidak ada komplikasi, darah yang mengandung oksigen dari
Atrium Kiri mengalir ke Atrium Kanan tetapi tidak sebaliknya. Aliran yang melalui defek
tersebut merupakan suatu proses akibat ukuran dan complain dari atrium tersebut. Normalnya
setelah bayi lahir complain ventrikel kanan menjadi lebih besar daripada ventrikel kiri yang
menyebabkan ketebalan dinding ventrikel kanan berkurang. Hal ini juga berakibatvolume serta
ukuran atrium kanan dan ventrikel kanan meningkat. Jika complain ventrikel kanan terus
menurun akibat beban yang terus meningkat shunt dari kiri kekanan bisa berkurang. Pada suatu
saat sindroma Eisenmenger bisa terjadi akibat penyakit vaskuler paru yang terus bertambah
berat. Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan kekiri sehingga sirkulasi darah sistemik
banyak mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya terjadi hipoksemi dan sianosis.

Etiologi

Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga
mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.
Faktor-faktor tersebut diantaranya :
1. Faktor Prenatal
a. Ibu menderita infeksi Rubella
b. Ibu alkoholisme
c. Umur ibu lebih dari 40 tahun
d. Ibu menderita IDDM
e. Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu
2. Faktor genetik
a. Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
b. Ayah atau ibu menderita PJB
c. Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down
d. Lahir dengan kelainan bawaan lain

Gangguan hemodinamik
Tekanan di Atrium kiri lebih tinggi daripada tekanan di Atrium Kanan sehingga memungkinkan
aliran darah dari Atrium Kiri ke Atrium Kanan.

Manifestasi Klinik

1. Bising sistolik tipe ejeksi di daerah sela iga dua/tiga pinggir sternum kiri.
2. Dyspnea
3. Aritmia

Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium
2. Foto thorax
3. EKG ; deviasi aksis ke kiri pada ASD primum dan deviasi aksis ke kanan pada ASD
Secundum; RBBB,RVH
4. Echo
5. Kateterisasi jantung ; prosedur diagnostik dimana kateter radiopaque dimasukan kedalam
serambi jantung melalui pembuluh darah perifer, diobservasi dengan fluoroskopi atau
intensifikasi pencitraan; pengukuran tekanan darah dan sample darah memberikan sumber-
sumber informasi tambahan.
6. TEE (Trans Esophageal Echocardiography)

Komplikasi

1. Gagal Jantung
2. Penyakit pembuluh darah paru
3. Endokarditis
4. Aritmia

Terapi medis/pemeriksaan penunjang

1. Pembedahan penutupan defek dianjurkan pada saat anak berusia 5-10 tahun. Prognosis sangat
ditentukan oleh resistensi kapiler paru, dan bila terjadi sindrome Eisenmenger, umumnya
menunjukkan prognosis buruk.
2. Amplazer Septal Ocluder
3. Sadap jantung (bila diperlukan).

Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Lakukan pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan yang mendetail terhadap jantung.


b. Lakukan pengukuran tanda-tanda vital.
c. Kaji tampilan umum, perilaku, dan fungsi:
- Inspeksi :
Status nutrisi¬¬ – Gagal tumbuh atau penambahan berat badan yang buruk berhubungan dengan
penyakit jantung.
Warna – Sianosis adalah gambaran umum dari penyakit jantung kongenital, sedangkan pucat
berhubungan dengan anemia, yang sering menyertai penyakit jantung.
Deformitas dada – Pembesaran jantung terkadang mengubah konfigurasi dada.
Pulsasi tidak umum – Terkadang terjadi pulsasi yang dapat dilihat.
Ekskursi pernapasan – Pernapasan mudah atau sulit (mis; takipnea, dispnea, adanya dengkur
ekspirasi).
Jari tabuh – Berhubungan dengan beberapa type penyakit jantung kongenital.
Perilaku – Memilih posisi lutut dada atau berjongkok merupakan ciri khas dari beberapa jenis
penyakit jantung.

- Palpasi dan perkusi :


Dada – Membantu melihat perbedaan antara ukuran jantung dan karakteristik lain (seperti thrill-
vibrilasi yang dirasakan pemeriksa saat mampalpasi)
Abdomen – Hepatomegali dan/atau splenomegali mungkin terlihat.
Nadi perifer – Frekwensi, keteraturan, dan amplitudo (kekuatan) dapat menunjukkan
ketidaksesuaian.

- Auskultasi
Jantung – Mendeteksi adanya murmur jantung.
Frekwensi dan irama jantung – Menunjukkan deviasi bunyi dan intensitas jantung yang
membantu melokalisasi defek jantung.
Paru-paru – Menunjukkan ronki kering kasar, mengi.
Tekanan darah – Penyimpangan terjadi dibeberapa kondisi jantung (mis; ketidaksesuaian antara
ekstremitas atas dan bawah)
Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian – mis; ekg, radiografi, ekokardiografi,
fluoroskopi, ultrasonografi, angiografi, analisis darah (jumlah darah, haemoglobin, volume sel
darah, gas darah), kateterisasi jantung.

Rencana asuhan keperawatan

1. Diagnosa keperawatan : Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan defek
struktur.
Tujuan :
Klien akan menunjukkan perbaikan curah jantung.
Kriteria hasil :
a. Frekwensi jantung, tekanan darah, dan perfusi perifer berada pada batas normal sesuai usia.
b. Keluaran urine adekuat (antara 0,5 – 2 ml/kgbb, bergantung pada usia )
Intervensi keperawatan/rasional
a. Beri digoksin sesuai program, dengan menggunakan kewaspadaan yang dibuat untuk
mencegah toxisitas.
b. Beri obat penurun afterload sesuai program
c. Beri diuretik sesuai program
2. Diagnosa keperawatan : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan sistem transport
oksigen
Tujuan :
Klien mempertahankan tingkat energi yang adekuat tanpa stress tambahan.
Kriteria hasil :
a. Anak menentukan dan melakukan aktivitas yang sesuai dengan kemampuan.
b. Anak mendapatkan waktu istirahat/tidur yang tepat.
Intervensi keperawatan/rasional
a. Berikan periode istirahat yang sering dan periode tidur tanpa gangguan.
b. Anjurkan permainan dan aktivitas yang tenang.
c. Bantu anak memilih aktivitas yang sesuai dengan usia, kondisi, dan kemampuan.
d. Hindari suhu lingkungan yang ekstrem karena hipertermia atau hipotermia meningkatkan
kebutuhan oksigen.
e. Implementasikan tindakan untuk menurunkan ansietas.
f. Berespons dengan segera terhadap tangisan atau ekspresi lain dari distress.

3. Diagnosa keperawatan : Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan


ketidakadekuatan oksigen dan nutrien pada jaringan; isolasi sosial.
Tujuan :
Pasien mengikuti kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan.
Anak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang sesuai dengan usia
Kriteria hasil :
a. Anak mencapai pertumbuhan yang adekuat.
b. Anak melakukan aktivitas sesuai usia
c. Anak tidak mengalami isolasi sosial

Intervensi Keperawatan/rasional
a. Beri diet tinggi nutrisi yang seimbang untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat.
b. Pantau tinggi dan berat badan; gambarkan pada grafik pertumbuhan untuk menentukan
kecenderungan pertumbuhan.
c. Dapat memberikan suplemen besi untuk mengatasi anemia, bila dianjurkan.
d. Dorong aktivitas yang sesuai usia.
e. Tekankan bahwa anak mempunyai kebutuhan yang sama terhadap sosialisasi seperti anak
yang lain.
f. Izinkan anak untuk menata ruangnya sendiri dan batasan aktivitas karena anak akan
beristirahat bila lelah.

4. Diagnosa keperawatan : Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan status fisik yang lemah.
Tujuan :
Klien tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi
Kriteria hasil :
Anak bebas dari infeksi.
Intervensi Keperawatan/rasional
a. Hindari kontak dengan individu yang terinfeksi
b. Beri istirahat yang adekuat
c. Beri nutrisi optimal untuk mendukung pertahanan tubuh alami.
5. Diagnosa Keperawatan : Risiko tinggi cedera (komplikasi) berhubungan dengan kondisi
jantung dan terapi
Tujuan :
Klien/keluarga mengenali tanda-tanda komplikasi secara dini.
Kriteria hasil :
a. Keluarga mengenali tanda-tanda komplikasi dan melakukan tindakan yang tepat.
b. Klien/keluarga menunjukkan pemahaman tentang tes diagnostik dan pembedahan.
Intervensi Keperawatan/rasional
a. Ajari keluarga untuk mengenali tanda-tanda komplikasi :
Gagal jantung kongestif :
- Takikardi, khususnya selama istirahat dan aktivitas ringan.
- Takipnea
- Keringat banyak di kulit kepala, khususnya pada bayi.
- Keletihan
- Penambahan berat badan yang tiba-tiba.
- Distress pernapasan
Toksisitas digoksin
- Muntah (tanda paling dini)
- Mual
- Anoreksia
- Bradikardi.
Disritmia
Peningkatan upaya pernapasan – retraksi, mengorok, batuk, sianosis.
Hipoksemia – sianosis, gelisah.
Kolaps kardiovaskular – pucat, sianosis, hipotonia.
b. Ajari keluarga untuk melakukan intervensi selama serangan hipersianotik
- Tempatkan anak pada posisi lutut-dada dengan kepala dan dada ditinggikan.
- Tetap tenang.
- Beri oksigen 100% dengan masker wajah bila ada.
- Hubungi praktisi
c. Jelaskan atau klarifikasi informasi yang diberikan oleh praktisi dan ahli bedah pada keluarga.
d. Siapkan anak dan orang tua untuk prosedur.
e. Bantu membuat keputusan keluarga berkaitan dengan pembedahan.
f. Gali perasaan mengenai pilihan pembedahan.

6. Diagnosa Keperawatan : Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak


dengan penyakit jantung (ASD)
Tujuan :
Klien/keluarga mengalami penurunan rasa takut dan ansietas
Klien menunjukkan perilaku koping yang positif
Kriteria hasil :
Keluarga mendiskusikan rasa takut dan ansietasnya
Keluarga menghadapi gejala anak dengan cara yang positif
Intervensi Keperawatan/rasional :
a. Diskusikan dengan orang tua dan anak (bila tepat) tentang ketakutan mereka dan masalah
defek jantung dan gejala fisiknya pada anak karena hal ini sering menyebabkan ansietas/rasa
takut.
b. Dorong keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan anak selama hospitalisasi untuk
memudahkan koping yang lebih baik di rumah.
c. Dorong keluarga untuk memasukkan orang lain dalam perawatan anak untuk mencegah
kelelahan pada diri mereka sendiri.
d. Bantu keluarga dalam menentukan aktivitas fisik dan metode disiplin yang tepat untuk anak.

Evaluasi

Proses : langsung setalah setiap tindakan


Hasil : tujuan yang diharapkan
1. Tanda-tanda vital anak berada dalam batas normal sesuai dengan usia
2. Anak berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang sesuai dengan usia
3. Anak bebas dari komplikasi pascabedah

Daftar Pustaka

Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM (1996), Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Buku Ajar KEPERAWATAN KARDIOVASKULER (2001), Pusat Kesehatan Jantung dan
Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita, Jakarta.
Buku Saku Keperawatan Pediatrik (2002), Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.
Posted by Aku at 9:16 PM 0 comments

Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Kejang Demam Sementara ( KDS )


teritis )

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian

Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan
suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and
Gallo,1996).

Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam
(Walley and Wong’s edisi III,1996).

Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°
c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang
demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini
disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri
atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi
karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.

2. Patofisiologi

a. Etiologi

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk tumor otak, trauma, bekuan
darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat
gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia serebral. Sebagian kejang
merupakan idiopati (tidak diketahui etiologinya).

1) Intrakranial

Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik

Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau intra ventrikular

Infeksi : Bakteri, virus, parasit

Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith – Lemli –
Opitz.

2) Ekstra kranial

Gangguan metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomognesemia, gangguan elektrolit (Na


dan K)

Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.

Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan kekurangan
produksi kernikterus.

3) Idiopatik

Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)
b. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari
metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu
adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system
kardiovaskuler.

Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan
dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida.

Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan
didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion
didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran
dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang
extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena
penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh
dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+
melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.

Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun
membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga
mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.

Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat,
kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan
menimbulkan terjadinya asidosis.
c. Manifestasi klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya
tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama
sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.

Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan
sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy.

untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu :

1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)

2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever

Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah dimanifestasikan
di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun

2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit.


3. Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali

4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam

5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan
kelainan.
3. Klasifikasi kejang

Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat
diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.

a. Kejang Tonik

Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis
kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di
bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi
selaput otak atau kernikterus

b. Kejang Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal
yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi
dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar
dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.

c. Kejang Mioklonik

Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota
gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini
merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada
kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.

4. Diagnosa banding kejang pada anak

Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal
benigna.

a. Gemetar
Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama bagi
yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal dalam keadaan lapar
seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas neuromuskular, bayi dengan
ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah gerakan tremor cepat dengan irama
dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik .

b. Apnea

Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik dan sering
diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan tidak disertai dengan
perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut
pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua
bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup bulan.

Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai adanya
perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera
dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah apabila disertai dengan bentuk
serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.

c. Mioklonus Nokturnal Benigna

Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur. Biasanya
timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari persendian tangan dan
siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung lama dapat dapat disalahartikan
sebagai bentuk kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat
dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di
stimulasi dan pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan

5. Penatalaksanaan

Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang merupakan tanda
adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang memerlukan tindakan segera untuk
mencegah kerusakan otak lebih lanjut.
Penatalaksanaan Umum terdiri dari :

a. Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-hati

b. Memonitor pernafasan dan denyut jantung

c. Usahakan suhu tetap stabil

d. Perlu dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain

e. Pemeriksaan EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena

Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat
hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan
perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara
intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat
menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara
intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap
sebelum minum susu.

Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg
SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-
hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat
muncul.

Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia
atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah
Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki
sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital
dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.

Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk memberantas kejang pada BBL
dengan alasan

a. Efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya

b. Pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan

c. Zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan
bilirubin dalam darah.

6. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik, pemeriksaan ini
dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut :

1) hakan lihat sendiri manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.

2) Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas,
kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya
kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.

3) Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang disebabkan
oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian
tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada
bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala
atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.

4) Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin
disertai gangguan perkembangan kortex serebri.

5) Pemeriksaan fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang
merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya korioretnitis dapat
terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan
pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.

6) Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau
kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.

7) Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung,
yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.

b. Pemeriksaan laboratorium

Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara
dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan
hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.

Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu

1) Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala
penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.

2) Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas
darah.

3) Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan
serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna
kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma pada fungsi
lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro
spinal

4) Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia

5) Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk
menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang
abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion atau bentuk
isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai /
menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan
lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.

6) Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti
yaitu mencakup :
a) Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic
b) Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella, citomegalovirus dan virus
herpes.
c) Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih besar dari aturan baku
d) USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal, pervertikular, dan vertikular
e) Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan intrakranial, klasifikasi dan
kelainan bawaan otak
e) Top coba subdural, dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi positif dengan ubun –
ubun besar tegang, membenjol dan kepala membesar.

7. Tumbuh kembang pada anak usia 1 – 3 tahu

1. Fisik

f. Ubun-ubun anterior tertutup.

g. Physiologis dapat mengontrol spinkter

2. Motorik kasar

a. Berlari dengan tidak mantap

b. Berjalan diatas tangga dengan satu tangan

c. Menarik dan mendorong mainan

d. Melompat ditempat dengan kedua kaki

e. Dapat duduk sendiri ditempat duduk

f. Melempar bola diatas tangan tanpa jatuh

3. Motorik halus

a. Dapat membangun menara 3 dari 4 bangunan

b. Melepaskan dan meraih dengan baik

c. Membuka halaman buku 2 atau 3 dalam satu waktu

d. Menggambar dengan membuat tiruan

4. Vokal atau suara

a. Mengatakan 10 kata atau lebih


b. Menyebutkan beberapa obyek seperti sepatu atau bola dan 2 atau 3 bagian tubuh

5. Sosialisasi atau kognitif

a. Meniru

b. Menggunakan sendok dengan baik

c. Menggunakan sarung tangan

d. Watak pemarah mungkin lebih jelas

e. Mulai sadar dengan barang miliknya

8. Dampak hospitalisasi

Pengalaman cemas pada perpisahan, protes secara fisik dan menangis, perasaan hilang kontrol
menunjukkan temperamental, menunjukkan regresi, protes secara verbal, takut terhadap luka dan
nyeri, dan dapat menggigit serta dapat mendepak saat berinteraksi.

Permasalahan yang ditemukan yaitu sebagai berikut :

a) Rasa takut

1) Memandang penyakit dan hospitalisasi

2) Takut terhadap lingkungan dan orang yang tidak dikenal

3) Pemahaman yang tidak sempurna tentang penyakit

4) Pemikiran yang sederhana : hidup adalah mesin yang menakutkan

5) Demonstrasi : menangis, merengek, mengangkat lengan, menghisap jempol, menyentuh tubuh


yang sakit berulang-ulang.

b. Ansietas

1) Cemas tentang kejadian yang tidakdikenal

2) Protes (menangis dan mudah marah, (merengek)

3) Putus harapan : komunikasi buruk, kehilangan ketrampilan yang baru tidak berminat

4) Menyendiri terhadap lingkungan rumah sakit


5) Tidak berdaya

6) Merasa gagap karena kehilangan ketrampilan

7) Mimpi buruk dan takut kegelapan, orang asing, orang berseragam dan yang memberi
pengobatan atau perawatan

8) Regresi dan Ansietas tergantung saat makan menghisap jempol

9) Protes dan Ansietas karena restrain

c. Gangguan citra diri

1) Sedih dengan perubahan citra diri

2) Takut terhadap prosedur invasive (nyeri)

3) Mungkin berpikir : bagian dalam tubuh akan keluar kalau selang dicabut

B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Pengkajian

Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang adalah observasi kejangnya dan
gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang mempunyai karakteristik yang berbeda misal
adanya halusinasi (aura ), motor efek seperti pergerakan bola mata , kontraksi otot lateral harus
didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya kejang.

Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk mengidentifikasi faktor pencetus
kejang untuk pengobservasian sehingga bisa meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh
kejang.

1. Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan
involunter

2. Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan
nadi dan pernafasan

3. Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau
penanganan, peka rangsangan.

4. Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter

5. Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi
6. Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra

7. Riwayat jatuh / trauma

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

1. Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi
otot.

2. Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular

3. Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

4. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

5. Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

3. INTERVENSI

Diagnosa 1

Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.

Tujuan

Cidera / trauma tidak terjadi

Kriteria hasil

Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan


lingkungan

Intervensi

Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang. Observasi keadaan umum, sebelum,
selama, dan sesudah kejang. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi. Lakukan
penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang. Lindungi klien dari trauma atau kejang.

Berikan kenyamanan bagi klien. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti
compulsan

Diagnosa 2

Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular
Tujuan

Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

Kriteria hasil

Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam
batas normal

Intervensi

Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler. Lakukan penghisapan
lendir, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi

Diagnosa 3

Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

Tujuan

Aktivitas kejang tidak berulang

Kriteria hasil

Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal

Intervensi

Kaji factor pencetus kejang. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien. Observasi
tanda-tanda vital. Lindungi anak dari trauma. Berikan kompres dingin pda daerah dahi dan
ketiak.

Diagnosa 4

Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

Tujuan

Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

Kriteria hasil

Mobilisasi fisik klien aktif , kejang tidak ada, kebutuhan klien teratasi

Intervensi
Kaji tingkat mobilisasi klien. Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien. Bantu klien dalam
pemenuhan kebutuhan. Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien. Libatkan keluarga
dalam pemenuhan kebutuhan klien.

Diagnosa 5

Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

Tujuan

Pengetahuan keluarga meningkat

Kriteria hasil

Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam, keluarga klien tidak bertanya lagi
tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.

Intervensi

Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien. Jelaskan pada
keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes. Beri kesempatan pada keluarga
untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada
klien.

6. EVALUASI

1. Cidera / trauma tidak terjadi

2. Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

3. Aktivitas kejang tidak berulang

4. Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

5. Pengetahuan keluarga meningkat


Posted by Aku at 9:11 PM 0 comments

Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Demam Thypoid ( Tifus )

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian

Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan
urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (
Arief Maeyer, 1999 ).

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi
dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid
abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).

Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever, enteric
fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).

Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang
disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).

Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah suatu
penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat
menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
2. Etiologi

Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua sumber
penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier
adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi
dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.

3. Patofisiologi

Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu
Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.

Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada
orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap
dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke
dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.

Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia.
Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena
membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi
dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang.

4. Manifestasi Klinik

Masa tunas typhoid 10 – 14 hari

a. Minggu I

pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan keluhan dan
gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare,
perasaan tidak enak di perut.

b. Minggu II

pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas (putih, kotor,
pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan kesadaran.

5. Komplikasi

a. Komplikasi intestinal

1) Perdarahan usus

2) Perporasi usus

3) Ilius paralitik

b. Komplikasi extra intestinal

1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis,


tromboplebitis.

2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.

3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.

4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.

5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.

6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.

7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer,


sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.
6. Penatalaksanaan
a. Perawatan.

1) Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah komplikasi
perdarahan usus.

2) Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi
perdarahan.
b. Diet.

1) Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.

2) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.

3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.

4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
c. Obat-obatan.

1) Klorampenikol

2) Tiampenikol

3) Kotrimoxazol

4) Amoxilin dan ampicillin


7. Pencegahan

Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari toilet dan
khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang
belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan hindari makanan
pedas

8. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang
terdiri dari :

a. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan
kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.

b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT


SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah
sembuhnya typhoid.

c. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif
tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah
tergantung dari beberapa faktor :

1) Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan
oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik
adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.

2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang
pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

3) Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah
klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.

4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

d. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada
orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa,
makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :

a. Faktor yang berhubungan dengan klien :

1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah
klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.

3. Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid
yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma
lanjut.

4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat
menghambat pembentukan antibodi.

5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat


terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.

6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer
aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu
titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat
mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.

8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella
thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah
tertular salmonella di masa lalu.

b. Faktor-faktor Teknis

1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada
spesies yang lain.

2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.

3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat
bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi
dari strain lain.
9. Tumbuh kembang pada anak usia 6 – 12 tahun

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan
masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat
badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex
sekundernya.

Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan
sosial dan emosi.
a. Motorik kasar

1) Loncat tali

2) Badminton

3) Memukul

4) motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama
dan keleluasaan.
b. Motorik halus

1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan

2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
c. Kognitif

1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi

2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah

3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal

4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang


d. Bahasa

1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak

2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung
dan kata depan

3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan


10. Dampak hospitalisasi

Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan
tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap
kerusakan penyakit dan pengobatan.

Penyebab anak stress meliputi ;

a. Psikososial

Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran

b. Fisiologis

Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri

c. Lingkungan asing

Kebiasaan sehari-hari berubah

d. Pemberian obat kimia

Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)

a. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya

b. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri

c. Selalu ingin tahu alasan tindakan

d. Berusaha independen dan produktif

Reaksi orang tua

a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan
dampaknya terhadap masa depan anak

b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya
peraturan Rumah sakit
B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Faktor Presipitasi dan Predisposisi

Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang tercemar oleh
salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang ditularkan melalui makanan,
jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat bila klien makan tidak teratur. Faktor
predisposisinya adalah minum air mentah, makan makanan yang tidak bersih dan pedas, tidak
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari wc dan menyiapkan makanan.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhoid adalah :

a. Resti ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b.d hipertermi dan muntah.

b. Resti gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak
adekuat.

c. Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypi.

d. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik.

e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi atau


informasi yang tidak adekuat.

3. Perencanaan

Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan keperawatan pada
klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut :
Diagnosa. 1

Resti gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan hipertermia dan muntah.

Tujuan

Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi

Kriteria hasil

Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas normal, tanda-
tanda dehidrasi tidak ada

Intervensi

Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis dan peningkatan
suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam 24 jam, ukur BB tiap hari pada waktu dan jam
yang sama, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah nyeri dan distorsi lambung. Anjurkan
klien minum banyak kira-kira 2000-2500 cc per hari, kolaborasi dalam pemeriksaan
laboratorium (Hb, Ht, K, Na, Cl) dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan
tambahan melalui parenteral sesuai indikasi.
Diagnosa. 2

Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat

Tujuan

Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi

Kriteria hasil

Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai bising usus/peristaltik usus
normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal, konjungtiva dan membran mukosa bibir
tidak pucat.

Intervensi

Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak disukai klien, anjurkan tirah
baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat badan tiap hari. Anjurkan klien
makan sedikit tapi sering, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan distensi
lambung, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet, kolaborasi dalam pemeriksaan
laboratorium seperti Hb, Ht dan Albumin dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
antiemetik seperti (ranitidine).
Diagnosa 3

Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi

Tujuan

Hipertermi teratasi

Kriteria hasil

Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan tidak terjadi
komplikasi yang berhubungan dengan masalah typhoid.

Intervensi

Observasi suhu tubuh klien, anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien, beri kompres
dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi panas, anjurkan
keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti katun, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik.
Diagnosa 4

Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik

Tujuan

Kebutuhan sehari-hari terpenuhi


Kriteria hasil

Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan otot.

Intervensi

Berikan lingkungan tenang dengan membatasi pengunjung, bantu kebutuhan sehari-hari klien
seperti mandi, BAB dan BAK, bantu klien mobilisasi secara bertahap, dekatkan barang-barang
yang selalu di butuhkan ke meja klien, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin
sesuai indikasi.
Diagnosa 5

Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive

Tujuan

Infeksi tidak terjadi

Kriteria hasil

Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi purulen/drainase serta
febris.

Intervensi

Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan infus, monitor
tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan infus, dan kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian obat anti biotik sesuai indikasi.
Diagnosa 6

Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau informasi
yang tidak adekuat

Tujuan

Pengetahuan keluarga meningkat

Kriteria hasil

Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup dan ikut serta
dalam pengobatan.

Intervensinya

Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya, Beri pendidikan
kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien, beri kesempatan keluaga untuk bertanya bila
ada yang belum dimengerti, beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat, pilih
berbagai strategi belajar seperti teknik ceramah, tanya jawab dan demonstrasi dan tanyakan apa
yang tidak di ketahui klien, libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien

4. Evaluasi

Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan untuk klien dengan
gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil, kebutuhan cairan
terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari secara mandiri, infeksi tidak terjadi dan keluaga klien mengerti tentang
penyakitnya.
Posted by Aku at 9:10 PM 0 comments

Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan DHF

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis
virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk
aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa
dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF
sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan
nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman , 1990).

DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain yang
menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick
manson,2001).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang
ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty (Seoparman, 1996).

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue haemorhagic fever
(DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong
arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty yang
terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi
yang disertai ruam atau tanpa ruam.
2. Etiologi

a. Virus dengue sejenis arbovirus.

b. Virus dengue tergolong dalam family Flavividae dan dikenal ada 4 serotif, Dengue 1 dan 2
ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4
ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat
termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70
oC.

Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan
serotif yang paling banyak.
3. Patofisiologi

Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan kemudian akan
bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan
mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua
peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor
meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel
dinding itu.

Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi


(protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama
perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh


darah , menurunnya volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia dan diathesis
hemorrhagic , renjatan terjadi secara akut.

Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding
pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak
diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.
4. Tanda dan gejala

a. Demam tinggi selama 5 – 7 hari

b. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.

c. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.

d. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.

e. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.

f. Sakit kepala.

g. Pembengkakan sekitar mata.

h. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.

i. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah,
capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).

5. Komplikasi

Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :

a. Perdarahan luas.

b. Shock atau renjatan.

c. Effuse pleura

d. Penurunan kesadaran.

6. Klasifikasi

a. Derajat I :

Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi, trombositopeni dan
hemokonsentrasi.

b. Derajat II :

Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit seperti
peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.

c. Derajat III :

Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system
sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab, dingin dan
penderita gelisah.

d. Derajat IV :

Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi renjatan
yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.

7. Pemeriksaan penunjang

a. Darah

1) Trombosit menurun.

2) HB meningkat lebih 20 %

3) HT meningkat lebih 20 %
4) Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3

5) Protein darah rendah

6) Ureum PH bisa meningkat

7) NA dan CL rendah

b. Serology : HI (hemaglutination inhibition test).

1) Rontgen thorax : Efusi pleura.

2) Uji test tourniket (+)

8. Penatalaksanaan

a. Tirah baring

b. Pemberian makanan lunak .

c. Pemberian cairan melalui infus.

Pemberian cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan cairan intra
vena yang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter , K+ 4 mEq/liter, korekter
basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3 mEq/liter.

d. Pemberian obat-obatan : antibiotic, antipiretik,

e. Anti konvulsi jika terjadi kejang

f. Monitor tanda-tanda vital ( T,S,N,RR).

g. Monitor adanya tanda-tanda renjatan

h. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut

i. Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.

9. Tumbuh kembang pada anak usia 6-12 tahun

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan
masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat
badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex
sekundernya.
Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan
sosial dan emosi.
a. Motorik kasar

1) Loncat tali

2) Badminton

3) Memukul

4) Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama
dan kehalusan.

b. Motorik halus

1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan

2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
c. Kognitif

1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi

2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah

3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal

4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang


d. Bahasa

1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak

2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung
dan kata depan

3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan


10. Dampak hospitalisasi

Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan
tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap
kerusakan penyakit dan pengobatan.

Penyebab anak stress meliputi ;

a. Psikososial
Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran

b. Fisiologis

Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri

c. Lingkungan asing

Kebiasaan sehari-hari berubah

d. Pemberian obat kimia

Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)

e. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya

f. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri

g. Selalu ingin tahu alasan tindakan

h. Berusaha independen dan produktif

Reaksi orang tua

a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan
dampaknya terhadap masa depan anak

b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya
peraturan Rumah sakit.

B. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan perawat untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan . pengkajian pada pasien dengan “DHF”
dapat dilakukan dengan teknik wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan fisik. Adapun tahapan-
tahapannya meliputi :

a. Mengkaji data dasar, kebutuhan bio-psiko-sosial-spiritual pasien dari berbagai sumber (pasien,
keluarga, rekam medik dan anggota tim kesehatan lainnya).

b. Mengidentifikasi sumber-sumber yang potensial dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan


pasien.
c. Kaji riwayat keperawatan.

d. Kaji adanya peningkatan suhu tubuh ,tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu
makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda syok (denyut nadi cepat dan lemah,
hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan
kesadaran).

2. Diagnosa keperawatan .

Penyusunan diagnosa keperawatan dilakukan setelah data didapatkan, kemudian dikelompokkan


dan difokuskan sesuai dengan masalah yang timbul sebagai contoh diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul pada kasus DHF diantaranya :

a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler,


perdarahan, muntah dan demam.

b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada
nafsu makan.

d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya


informasi

e. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.

f. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

3. Intervensi

Perumusan rencana perawatan pada kasus DHF hendaknya mengacu pada masalah diagnosa
keperawatan yang dibuat. Perlu diketahui bahwa tindakan yang bisa diberikan menurut tindakan
yang bersifat mandiri dan kolaborasi. Untuk itu penulis akan memaparkan prinsip rencana
tindakan keperawatan yang sesuai dengan diagnosa keperawatan :

a. Gangguan volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan , muntah dan demam.

Tujuan :

Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi

Kriteria hasil :

Volume cairan tubuh kembali normal


Intervensi :

1) Kaji KU dan kondisi pasien

2) Observasi tanda-tanda vital ( S,N,RR )

3) Observasi tanda-tanda dehidrasi

4) Observasi tetesan infus dan lokasi penusukan jarum infus

5) Balance cairan (input dan out put cairan)

6) Beri pasien dan anjurkan keluarga pasien untuk memberi minum banyak

7) Anjurkan keluarga pasien untuk mengganti pakaian pasien yang basah oleh keringat.

b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

Tujuan

Hipertermi dapat teratasi

Kriteria hasil

Suhu tubuh kembali normal

Intervensi

1) Observasi tanda-tanda vital terutama suhu tubuh

2) Berikan kompres dingin (air biasa) pada daerah dahi dan ketiak

3) Ganti pakaian yang telah basah oleh keringat

4) Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti terbuat
dari katun.

5) Anjurkan keluarga untuk memberikan minum banyak kurang lebih 1500 – 2000 cc per hari

6) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi, obat penurun panas.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada
nafsu makan.

Tujuan
Gangguan pemenuhan nutrisi teratasi

Kriteria hasil

Intake nutrisi klien meningkat

Intervensi

1) Kaji intake nutrisi klien dan perubahan yang terjadi

2) Timbang berat badan klien tiap hari

3) Berikan klien makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi sering

4) Beri minum air hangat bila klien mengeluh mual

5) Lakukan pemeriksaan fisik Abdomen (auskultasi, perkusi, dan palpasi).

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi anti emetik.

7) Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet.

d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya


informasi

Tujuan

Pengetahuan keluarga tentang proses penyakit meningkat

Kriteria hasil

Klien mengerti tentang proses penyakit DHF

1) Kaji tingkat pendidikan klien.

2) Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit DHF

3) Jelaskan pada keluarga klien tentang proses penyakit DHF melalui Penkes.

4) beri kesempatan pada keluarga untuk bertanya yang belum dimengerti atau diketahuinya.

5) Libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien

e. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trobositopenia.

Tujuan
Perdarahan tidak terjadi

Kriteria hasil

Trombosit dalam batas normal

Intervensi

1) Kaji adanya perdarahan

2) Observasi tanda-tanda vital (S.N.RR)

3) Antisipasi terjadinya perlukaan / perdarahan.

4) Anjurkan keluarga klien untuk lebih banyak mengistirahatkan klien

5) Monitor hasil darah, Trombosit

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi ,pemberian cairan intra vena.

f. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

Tujuan

Shock hipovolemik dapat teratasi

Kriteria hasil

Volume cairan tubuh kembali normal, kesadaran compos mentis.

Intervensi

1) Observasi tingkat kesadaran klien

2) Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR).

3) Observasi out put dan input cairan (balance cairan)

4) Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi

5) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan.

4. Evaluasi.

Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan
keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses
yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan
evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria
hasil yang diharapkan.

Evaluasi :

a. Suhu tubuh dalam batas normal.

b. Intake dan out put kembali normal / seimbang.

c. Pemenuhan nutrisi yang adekuat.

d. Perdarahan tidak terjadi / teratasi.

e. Pengetahuan keluarga bertambah.

f. Shock hopovolemik teratasi


Posted by Aku at 9:05 PM 0 comments

Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Hirscprung ( Mega Colon )

A. Pengertian

Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang
disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus
sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam
rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau
tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000
). Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase
usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi 3 Kg, lebih banyak laki – lakipada bayi
aterm dengan berat lahir dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ).

B. Etiologi

Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi
karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan
sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik
dan sub mukosa dinding plexus.

C. Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan
tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir
selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya
evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah
keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily
& Sowden, 2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan
relaksasi peristaltik secara normal.
Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan
terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).

D. Manifestasi Klinis

Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir.
Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi
abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit
Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan
muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi
meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi
selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan
entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas
pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi
distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ).
1. Anak – anak
a Konstipasi
b Tinja seperti pita dan berbau busuk
c Distenssi abdomen
d Adanya masa difecal dapat dipalpasi
e Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ).
2. Komplikasi
a Obstruksi usus
b Konstipasi
c Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
d Entrokolitis
e Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi ) ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 )

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :
a Daerah transisi
b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c Entrokolitis padasegmen yang melebar
d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 )
2. Biopsi isap
Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada
daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 )
3. Biopsi otot rektum
Yaitu pengambilan lapisan otot rektum
4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini khas
terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 )
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus
( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 )
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot.
Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada
usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.

F. Penatalaksanaan

1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk
membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga
fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi
dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran
normalnya.
b Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar
9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama ( Betz Cecily & Sowden 2002 :
98 )
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave.
Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan
usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah ( Darmawan K
2004 : 37 )
2. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan
terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
b Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
d Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang ( FKUI, 2000 :
1135 )
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi
tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali
melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat,
tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )

Konsep Tumbuh Kembang Anak

Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 – 3 tahun bisa juga
dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur 2 – 7 tahun. Menurut Yupi. S ( 2004 )
berdasarkan teori peaget bahwa masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang
dunia luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap merupakan suatu
masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu menggunakan simbul melalui kata – kata,
mengingat sekarang dan akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek
dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan egesenterisme, ia tidak
mahu menguasai ide persamaan terutama berkaitan dengan masalah–masalah secara logis, tetapi
dalam situasi bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan berakal sehat
pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi
tingkat sel, organ maupun individu yang dapat diukur dengan ukuran berat ( gram, pounnd,
kilogram ). Ukuran panjang ( cm, meter ). Umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi
kalium dan nitrogen tubuh ). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur
dan fungsi yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari
proses pematangan ( Soetjiningsih, 1998: 1 ).
Pada pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2 Kg/ tahun dan tinggi
badan akan bertambah kira – kira 7,5 cm/ tahun. Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki
tumbuh lebih cepat dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis kurang
terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok. Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/
tahun dan fontanella anterior menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua
serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden, 2002: 546 ).

1. Strategi Pengurangan Dampak Hospitalisasi Pada Usia Todler


Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan prosedur dalam hubungan
dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar, bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak
apa- apa menangis atau gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman.
Pada usia ini juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering
menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana menggunkan contoh
peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang peralatan ) menggunakan permainan.
Pada usia ini menjadikan hubungan yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua
pada keadaan ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan pertimbangan pertama.
Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit mengunjungi anaknya sesering mungkin
( Yupi, S 2004).

2. Fokus Intervensi
a. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feces
( Wong, Donna, 2004 : 508 )
Tujuan :
1. anak dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adaptasi sampai fungsi eliminasi secara
normal dan bisa dilakukan
Kriteria Hasil
1. Pasien dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adapatasi
2. Ada peningkatan pola eliminasi yang lebih baik
Intervensi :
1. Berikan bantuan enema dengan cairan Fisiologis NaCl 0,9 %
2. Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali
3. Observasi pengeluaran feces per rektal – bentuk, konsistensi, jumlah
4. Observasi intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses
5. Anjurkan untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan
b. Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual
dan muntah
Tujuan :
1. Pasien menerima asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan
Kriteria Hasil
1. Berat badan pasien sesuai dengan umurnya
2. Turgor kulit pasien lembab
3. Orang tua bisa memilih makanan yang di anjurkan
Intervensi
1. Berikan asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan
2. Ukur berat badan anak tiap hari
3. Gunakan rute alternatif pemberian nutrisi ( seperti NGT dan parenteral ) untuk mengantisipasi
pasien yang sudah mulai merasa mual dan muntah
c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang (Betz, Cecily &
Sowden 2002:197)
Tujuan :
1. Status hidrasi pasien dapat mencukupi kebutuhan tubuh
Kriteria Hasil
1. Turgor kulit lembab.
2. Keseimbangan cairan.
Intervensi
1. Berikan asupan cairan yang adekuat pada pasien
2. Pantau tanda – tanda cairan tubuh yang tercukupi turgor, intake – output
3. Observasi adanay peningkatan mual dan muntah antisipasi devisit cairan tubuh dengan segera
d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya. ( Whaley & Wong,
2004 ).
Tujuan : pengetahuan pasien tentang penyakitnyaa menjadi lebih adekuat
Kriteria hasil :
1. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnyaa, perawatan dan obat – obatan. Bagi
penderita Mega Colon meningkat daan pasien atau keluarga mampu menceritakanya kembali
Intervensi
1. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal – hal yang ingn diketahui
sehubunagndengan penyaakit yang dialami pasien
2. Kaji pengetahuan keluarga tentang Mega Colon
3. Kaji latar belakang keluarga
4. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan serta obat – obatan pada keluarga pasien
5. Jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi pasien.
Posted by Aku at 8:53 PM 0 comments

Asuhan Keperawatan Pada Klien Hiperbilirubinemia

Pendahuluan

Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir
(BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi
cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan.
Perawatan Ikterus berbeda diantara negara tertentu, tempat pelayanan
tertentu dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan pada
BBL, seperti pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan
beberapa propilaksi pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi pengganti. Asuhan
keperawatan pada klien selama post partum juga terlalu singkat, sehingga klien dan
keluarga harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan,
cara merawat bayi dan dirinya sendiri selama di rumah sakit dan perawatan di
rumah.
Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan mempunyai peranan
dalam memberikan asuhan keperawatan secara paripurna.
Tulisan ilmiah ini bertujuan untuk :
1. Agar perawat memiliki intelektual dan mampu menguasai pengetahuan dan
keterampilan terutama yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pada klien
dan keluarga dengan bayi Ikterus (Hiperilirubinemia),
2. Agar Perawat mampu mempersiapkan klien dan keluarga ikut serta dalam proses
perawatan selama di Rumah Sakit dan perewatan lanjutan di rumah.
Atas dasar hal tersebut diatas maka penulis menyusun tulisan ilmiah dengan
judul ”Asuhan Keperawatan dan Aplikasi Discharge Planing pada klien dengan Bayi
Hiperbilirubinemia”

KONSEP DASAR

A.Definisi

1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus
yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
Timbul pada hari kedua-ketiga
Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

2. Ikterus Patologis / Hiperbilirubinemia


Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12
mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak
terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus,
Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

B. Etiologi

1. Peningkatan produksi :
Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus
dan ABO.
Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik
yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).
Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.

2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya


pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.

3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau


toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi
, Toksoplasmosis, Siphilis.

4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.

5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

C. Metabolisme Bilirubin

Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah


Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam
air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya
hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin
binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah
matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai
sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.

D. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein
Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20
mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata
tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan
mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan
Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( Markum, 1991).

E. Penatalaksanaan Medis

Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan


Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi
Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.

Fototherapi

Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan


Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada
cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs or
bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi
Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi
jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang
disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah
melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan
diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk
ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar
Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis
dapat menyebabkan Anemia.
©2003 Digitized by USU digital library 5
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek
4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram
harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa
ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam
pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Tranfusi Pengganti

Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :


1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim
yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif
baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu
sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi
pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine
sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:

1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.


Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sbb:
Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang
Bakteri)
Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
Kadar Bilirubin Serum berkala.
Darah tepi lengkap.
Golongan darah ibu dan bayi.
Test Coombs.
Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar
bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
Biasanya Ikterus fisiologis.
Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau
golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat
misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
Polisetimia.
Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis,
pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan
yang perlu dilakukan:
Pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama.
Sepsis.
Dehidrasi dan Asidosis.
Defisiensi Enzim G6PD.
Pengaruh obat-obat.
Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
Karena ikterus obstruktif.
Hipotiroidisme
Breast milk Jaundice.
Infeksi.
Hepatitis Neonatal.
Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
Pemeriksaan Bilirubin berkala.
Pemeriksaan darah tepi.
Skrining Enzim G6PD.
Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.

ASUHAN KEPERAWATAN

Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses


keperawatan yang meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan,
Pelaksanaan dan Evaluasi.

A. Pengkajian

1. Riwayat orang tua :


Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui
yang lemah, Iritabilitas.
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)

B. DiagnosaKeperawatan , Tujuan , dan Intervensi

Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang


memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun
perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai
diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.

1. Diagnosa Keperawatan : Kurangnya volume cairan berhubungan dengan tidak


adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat
Intervensi : Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake
output, beri air diantara menyusui atau memberi botol.

2. Diagnosa Keperawatan : Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan


dengan efek fototerapi
Tujuan : Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan
- 37Intervensi : Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5
C, cek tanda-tanda vital tiap 2 jam.

3. Diagnosa Keperawatan : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan


hiperbilirubinemia dan diare
Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan
Intervensi : Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah
posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan
kelembabannya.
4. Diagnosa Keperawatan : Gangguan parenting berhubungan dengan pemisahan
Tujuan : Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua
dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi : Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk
stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya,
libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua
mengekspresikan perasaannya.

5. Diagnosa Keperawatan : Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi


yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejalagejala
untuk menyampaikan pada tim kesehatan
Intervensi :
Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning,
proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara
perawatan bayi dirumah.

6. Diagnosa Keperawatan : Risiko tinggi trauma berhubungan dengan efek


fototherapi
Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat
fototherapi
Intervensi :
Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam
keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan
kain yang dapat memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tida
menutupi hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji
adanya konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak
bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.

7. Diagnosa Keperawatan : Risiko tinggi trauma berhubungan dengan tranfusi


tukar
Tujuan : Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan
NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam
sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan
Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tandatanda
vital; selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati
adanya ganguan cairan dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor
pemeriksaan laboratorium sesuai program.

C. Aplikasi Discharge Planing.

Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan


hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi
tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan
gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan
dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik
dalam perawatan bayi hiperbilirubinimea (Whaley &Wong, 1994):
1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguangangguan
kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui
menurun.
2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk
mempertahankan kelancaran air susu.
3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk
menurunkan kadar bilirubin bayi.
4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal
mencegah peningkatan bilirubin.
5. Mengajarkan tentang perawatan kulit :
Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.
©2003 Digitized by USU digital library 9
Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah
sekitar kulit yang rusak.
Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan
kelembaban kulit.
Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat
mengakibatkan lecet karena gesekan
Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti
penekanan yang lama, garukan .
Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena
bab dan bak.
Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor
kulit, capilari reffil.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
celsius)1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38
2. Perawatan tali pusat / umbilikus
3. Mengganti popok dan pakaian bayi
4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak
dengan sesuatu yang baru
5. Temperatur / suhu
6. Pernapasan
7. Cara menyusui
8. Eliminasi
9. Perawatan sirkumsisi
10. Imunisasi
11. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
letargi ( bayi sulit dibangunkan )
demam ( suhu > celsius)37
muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
diare ( lebih dari 3 x)
tidak ada nafsu makan.
12. Keamanan
Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau,
gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.
Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan
mobil atau sarana lainnya.
Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara - saudaranya.

DAFTAR PUSTAKA
Bobak, J. (1985). Materity and Gynecologic Care. Precenton.
Cloherty, P. John (1981). Manual of Neonatal Care. USA.
Harper. (1994). Biokimia. EGC, Jakarta.
Hazinki, M.F. (1984). Nursing Care of Critically Ill Child. , The Mosby Compani
CV,
Toronto.
Markum, H. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.
Mayers, M. et. al. ( 1995). Clinical Care Plans Pediatric Nursing. Mc.Graw-Hill.
Inc.,
New York.
Pritchard, J. A. et. al. (1991). Obstetri Williams. Edisi XVII. Airlangga University
Press,
Surabaya.
Susan, R. J. et. al. (1988). Child Health Nursing. California,
Posted by Aku at 8:33 PM 0 comments

Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Diare ( Gastro Enteritis )

A. PENGERTIAN

1. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cairan,
dengan demikian kandungan air pada tinja lebih banyak dari keadaan normal yakni 100-200 ml
sekali defekasi (Hendarwanto, 1999).

2. Menurut WHO (1980) diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari.

3. Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali
pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat bercampur lendir dan
darah (Ngastiyah, 1997).

4. Diare Infeksius adalah suatu keadaan dimana anak sering buang air besar dengan tinja yang
encer sebagai akibat dari suatu infeksi. (www.medicastore,2007)

B. ETIOLOGI

1. Faktor infeksi
· Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare, meliputi
infeksi bakteri (Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb),
infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi parasit (E. hystolytica,
G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).
· Infeksi parenteral; merupakan infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat menimbulkan diare
seperti: otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.

2. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida
(intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang
terpenting pada bayi dan anak. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.

3. Faktor Makanan:
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi terhadap jenis
makanan tertentu.

4. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas)

C. PATOFISIOLOGI

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:

1. Gangguan osmotic
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam
lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus. Isi
rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare.

2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi,
air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare kerena peningkatan isi lumen
usus.

3. Gangguan motilitas usus


Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan
sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri
tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare pula.
D. MANIFESTASI KLINIS

· Muntah.
· Demam.
· Nyeri Abdomen
· Membran mukosa mulut dan bibir kering
· Fontanel Cekung
· Kehilangan berat badan
· Tidak nafsu makan
· Lemah
Pada anak yang mengalami diare tanpa dehidrasi (kekurangan cairan).Tanda-tandanya: - Berak
cair 1-2 kali sehari - Muntah tidak adaB - Haus tidak ada - Masih mau makan - Masih mau
bermain
Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi ringan/sedang.
Tanda-tandanya: - Berak cair 4-9 kali sehari - Kadang muntah 1-2 kali sehari - Kadang panas -
Haus - Tidak mau makan - Badan lesu lemas

Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi berat.Tanda-tandanya: - Berak cair terus-
menerus - Muntah terus-menerus - Haus sekali - Mata cekung - Bibir kering dan biru - Tangan
dan kaki dingin - Sangat lemah - Tidak mau makan - Tidak mau bermain - Tidak kencing 6 jam
atau lebih - Kadang-kadang dengan kejang dan panas tinggi
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri
perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi
yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseoran yang kekurangan
cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak
lebih menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini
disebabkan oleh deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam karbonat berkurang
mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi
pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul)
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai tidak terukur.
Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan
kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul
oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal
akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.

E. KOMPLIKASI.

· Dehidrasi
· Renjatan hipovolemik
· Kejang
· Bakterimia
· Mal nutrisi
· Hipoglikemia
· Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus.
Dari komplikasi Gastroentritis,tingkat dehidrasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Dehidrasi ringan
Kehilangan cairan 2 – 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit kurang elastis,
suara serak, penderita belum jatuh pada keadaan syok.
Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5 – 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit jelek, suara
serak, penderita jatuh pre syok nadi cepat dan dalam.
Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan 8 - 10 % dari bedrat badan dengan gambaran klinik seperti tanda-tanda
dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis sampai koma, otot-otot kaku
sampai sianosis.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.


Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui kadar elektrolit dan jumlah sel darah putih.
Untuk mengetahui organisme penyebabnya, dilakukan pembiakan terhadap contoh tinja.
Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan tinja.
Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah astrup,bila memungkinkan dengan
menentukan PH keseimbangan analisa gas darah atau astrup,bila memungkinkan.
Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin untuk mengetahui pungsi ginjal.
pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau parasit secara
kuantitatif,terutama dilakukan pada penderita diare kronik.

G. PENATALAKSANAAN

· Pada anak yang mengalami diare tanpa dehidrasi (kekurangan cairan).


Tindakan: - Untuk mencegah dehidrasi, beri anak minum lebih banyak dari biasanya - ASI (Air
Susu Ibu) diteruskan - Makanan diberikan seperti biasanya - Bila keadaan anak bertambah berat,
segera bawa ke Puskesmas terdekat

· Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi ringan/sedang


Tindakan: - Berikan oralit - ASI (Air Susu Ibu) diteruskan - Teruskan pemberian makanan -
Sebaiknya yang lunak, mudah dicerna dan tidak merangsang - Bila tidak ada perubahan segera
bawa kembali ke Puskesmas terdekat.
· Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi berat
Tindakan: - Segera bawa ke Rumah Sakit / Puskesmas dengan fasilitas Perawatan - Oralit dan
ASI diteruskan selama masih bisa minum

Takaran Pemberian Oralit.


Umur
Jumlah Cairan
Di bawah 1 thn
3 jam pertama 1,5 gelas selanjutnya 0.5 gelas setiap kali mencret
Di bawah 5 thn (anak balita)
3 jam pertama 3 gelas, selanjutnya 1 gelas setiap kali mencret
Anak diatas 5 thn
3 jam pertama 6 gelas, selanjutnya 1,5 gelas setiap kali mencret
Anak diatas 12 thn & dewasa
3 jam pertama 12 gelas, selanjutnya 2 gelas setiap kali mencret (1 gelas : 200 cc)

Prinsip Penatalaksanaan

a.Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas:

Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.


Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
Memberikan terapi simtomatik
Memberikan terapi definitif.

Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.


Ada 4 hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat,
yaitu:

1) Jenis cairan yang hendak digunakan.


Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup banyak di
pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah bila dibandingkan dengan kadar kalium tinja. Bila
RL tidak tersedia dapat diberiakn NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya ditambahkan dengan 1
ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl isotonik. Pada keadaan diare akut awal yang
ringan dapat diberikan cairan oralit untuk mencegah dehidrasi dengan segala akibatnya.

2) Jumlah cairan yang hendak diberikan.


Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak diberikan harus sesuai dengan jumlah
cairan yang keluar dari badan. Jumlah kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan
cara/rumus:
Mengukur BJ Plasma
Kebutuhan cairan dihitung dengan rumus:
BJ Plasma - 1,025
———————- x BB x 4 ml
0,001
Metode Pierce
Berdasarkan keadaan klinis, yakni:
· diare ringan, kebutuhan cairan = 5% x kg BB
· diare sedang, kebutuhan cairan = 8% x kg BB
· diare ringan, kebutuhan cairan = 10% x kg BB
Metode Daldiyono
Berdasarkan skoring keadaan klinis sebagai berikut:
· Rasa haus/muntah = 1
· BP sistolik 60-90 mmHg = 1
· BP sistolik <60 mmHg = 2
· Frekuensi nadi >120 x/mnt = 1
· Kesadaran apatis = 1
· Kesadaran somnolen, sopor atau koma = 2
· Frekuensi napas >30 x/mnt = 1
· Facies cholerica = 2
· Vox cholerica = 2
· Turgor kulit menurun = 1
· Washer women’s hand = 1
· Ekstremitas dingin = 1
· Sianosis = 2
· Usia 50-60 tahun = 1
· Usia >60 tahun = 2
Kebutuhan cairan =
Skor——– x 10% x kgBB x 1 ltr

3) Jalan masuk atau cara pemberian cairan


Rute pemberian cairan pada orang dewasa meliputi oral dan intravena. Larutan orali dengan
komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g NaBik dan 1,5 g KCl stiap liternya diberikan
per oral pada diare ringan sebagai upaya pertama dan juga setelah rehidrasi inisial untuk
mempertahankan hidrasi.

4) Jadual pemberian cairan


Jadual rehidrasi inisial yang dihitung berdasarkan BJ plasma atau sistem skor diberikan dalam
waktu 2 jam dengan tujuan untuk mencapai rehidrasi optimal secepat mungkin. Jadual
pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3 didasarkan pada kehilangan cairan selama 2
jam fase inisial sebelumnya. Dengan demikian, rehidrasi diharapkan lengkap pada akhir jam ke-
3.

b.Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.

Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan dengan keadaan klinis diare
tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui pemeriksaan biakan tinja disertai dengan
pemeriksaan urine lengkap dan tinja lengkap.Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan
asam basa diperjelas melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum,
kreatinin dan BJ plasma.Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi sistemik
pemeriksaan biakan empedu, Widal, preparat malaria serta serologi Helicobacter jejuni sangat
dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi amuba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul
setelah melihat hasil pemeriksaan penyaring.
Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:
1) Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.
2) Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan kadang-kadang darah.
Pemeriksaan penunjang yang telah disinggung di atas dapat diarahkan sesuai manifestasi klnis
diare.

c.Memberikan terapi simtomatik


Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan keuntungannya.
Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh bakteri
entero-invasif karena memperpanjang waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang seyogyanya
cepat dieliminasi.

d.Memberikan terapi definitif.


Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
1) Kolera-eltor: Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.
2) V. parahaemolyticus,
3) E. coli, tidak memerluka terapi spesifik
4) C. perfringens, spesifik
5) A. aureus : Kloramfenikol
6) Salmonellosis: Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan Quinolon seperti Siprofloksasin7)
Shigellosis: Ampisilin atau Kloramfenikol
8) Helicobacter: Eritromisin
9) Amebiasis: Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol
10) Giardiasis: Quinacrine atau Chloroquineitiform atau Metronidazol
11) Balantidiasis: Tetrasiklin
12) Candidiasis: Mycostatin
13) Virus: simtomatik dan suportif
Penyakit Diare dapat ditularkan melalui: - Pemakaian botol susu yang tidak bersih -
Menggunakan sumber air yang tercemar - Buang air besar disembarang tempat - Pencemaran
makanan oleh serangga (lalat, kecoa, dll) atau oleh tangan yang kotor.

KONSEP ASUHAN KEPERTAWATAN PADA ANAK DENGAN DIARE

PENGKAJIAN.

Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data,analisa data dan penentuan masalah.
Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi,observasi,psikal assessment. Kaji data
menurut Cyndi Smith Greenberg,1992 adalah :

Identitas klien.

Riwayat keperawatan.

Awalan serangan : Awalnya anak cengeng,gelisah,suhu tubuh meningkat,anoreksia kemudian


timbul diare.

Keluhan utama : Faeces semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air dan elektrolit terjadi
gejala dehidrasi,berat badan menurun. Pada bayi ubun-ubun besar cekung,tonus dan turgor kulit
berkurang,selaput lendir mulut dan bibir kering,frekwensi BAB lebih dari 4 kali dengan
konsistensi encer.

Riwayat kesehatan masa lalu.

Riwayat penyakit yang diderita,riwayat pemberian imunisasi.

Riwayat psikososial keluarga.


Dirawat akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi keluarga,kecemasan meningkat
jika orang tua tidak mengetahui prosedur dan pengobatan anak,setelah menyadari penyakit
anaknya,mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.
Kebutuhan dasar.

Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali sehari,BAK sedikit atau
jarang.

Pola nutrisi : diawali dengan mual,muntah,anopreksia,menyebabkan penurunan berat badan


pasien.

Pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang akan menimbulkan
rasa tidak nyaman.

Pola hygiene : kebiasaan mandi setiap harinya.

Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lamah dan adanya nyeri akibat distensi
abdomen.

Pemerikasaan fisik.

Pemeriksaan psikologis : keadaan umum tampak lemah,kesadran composmentis sampai


koma,suhu tubuh tinggi,nadi cepat dan lemah,pernapasan agak cepat.

Pemeriksaan sistematik :
Inspeksi : mata cekung,ubun-ubun besar,selaput lendir,mulut dan bibir kering,berat badan
menurun,anus kemerahan.

Perkusi : adanya distensi abdomen.

Palpasi : Turgor kulit kurang elastis

Auskultasi : terdengarnya bising usus.

Pemeriksaan tinglkat tumbuh kembang.


Pada anak diare akan mengalami gangguan karena anak dehidrasi sehingga berat badan
menurun.
Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan tinja,darah lengkap dan doodenum intubation yaitu untuk mengetahui penyebab
secara kuantitatip dan kualitatif.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

· Kekurangan volume cairan b.d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta intake
terbatas (mual).
· Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien dan peningkatan
peristaltik usus.
· Nyeri (akut) b.d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.
· Kecemasan keluarga b.d perubahan status kesehatan anaknya
· Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b.d pemaparan
informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.
· Kecemasan anak b.d perpisahan dengan orang tua, lingkungan yang baru

3. RENCANA KEPERAWATAN

Dx.1 Kekurangan volume cairan b/d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta intake
terbatas (mual)

Tujuan : Kebutuhan cairan akan terpenuhi dengan kriteria tidak ada tanda-tanda dehidrasi

Intervensi
Rasional
Berikan cairan oral dan parenteral sesuai dengan program rehidrasiPantau intake dan output.
Sebagai upaya rehidrasi untuk mengganti cairan yang keluar bersama feses.Memberikan
informasi status keseimbangan cairan untuk menetapkan kebutuhan cairan pengganti.
Kaji tanda vital, tanda/gejala dehidrasi dan hasil pemeriksaan laboratorium
Menilai status hidrasi, elektrolit dan keseimbangan asam basa
Kolaborasi pelaksanaan terapi definitif
Pemberian obat-obatan secara kausal penting setelah penyebab diare diketahui

Dx.2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien dan
peningkatan peristaltik usus.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria terjadi peningkatan bera badan

Intervensi
Rasional
Pertahankan tirah baring dan pembatasan aktivitas selama fase akut.
Menurunkan kebutuhan metabolik
Pertahankan status puasa selama fase akut (sesuai program terapi) dan segera mulai pemberian
makanan per oral setelah kondisi klien mengizinkan
Pembatasan diet per oral mungkin ditetapkan selama fase akut untuk menurunkan peristaltik
sehingga terjadi kekurangan nutrisi. Pemberian makanan sesegera mungkin penting setelah
keadaan klinis klien memungkinkan.
Bantu pelaksanaan pemberian makanan sesuai dengan program diet
Memenuhi kebutuhan nutrisi klien
Kolaborasi pemberian nutrisi parenteral sesuai indikasi
Mengistirahatkan kerja gastrointestinal dan mengatasi/mencegah kekurangan nutrisi lebih lanjut

Dx.3 : Nyeri (akut) b/d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.

Tujuan : Nyeri berkurang dengan kriteria tidak terdapat lecet pada perirektal

Intervensi
Rasional
Atur posisi yang nyaman bagi klien, misalnya dengan lutut fleksi.
Menurunkan tegangan permukaan abdomen dan mengurangi nyeri
Lakukan aktivitas pengalihan untuk memberikan rasa nyaman seperti masase punggung dan
kompres hangat abdomen
Meningkatkan relaksasi, mengalihkan fokus perhatian kliendan meningkatkan kemampuan
koping
Bersihkan area anorektal dengan sabun ringan dan airsetelah defekasi dan berikan perawatan
kulit
Melindungi kulit dari keasaman feses, mencegah iritasi
Kolaborasi pemberian obat analgetika dan atau antikolinergik sesuai indikasi
Analgetik sebagai agen anti nyeri dan antikolinergik untuk menurunkan spasme traktus GI dapat
diberikan sesuai indikasi klinis
Kaji keluhan nyeri dengan Visual Analog Scale (skala 1-5), perubahan karakteristik nyeri,
petunjuk verbal dan non verbal
Mengevaluasi perkembangan nyeri untuk menetapkan intervensi selanjutnya

Dx.4 : Kecemasan keluarga b/d perubahan status kesehatan anaknya.

Tujuan : Keluarga mengungkapkan kecemasan berkurang.

Intervensi
Rasional
Dorong keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik tentang
mekanisme koping yang tepat.
Membantu mengidentifikasi penyebab kecemasan dan alternatif pemecahan masalah
Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang
anaknya mengalami masalah yang sama
Membantu menurunkan stres dengan mengetahui bahwa klien bukan satu-satunya orang yang
mengalami masalah yang demikian
Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu
klien.
Mengurangi rangsang eksternal yang dapat memicu peningkatan kecemasan
Dx.5 : Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d
pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.

Tujuan : Keluarga akan mengerti tentang penyakit dan pengobatan anaknya, serta mampu
mendemonstrasikan perawatan anak di rumah.

Intervensi
Rasional
Kaji kesiapan keluarga klien mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan tentang penyakit
dan perawatan anaknya.
Efektivitas pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental serta latar belakang
pengetahuan sebelumnya.
Jelaskan tentang proses penyakit anaknya, penyebab dan akibatnya terhadap gangguan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari aktivitas sehari-hari.
Pemahaman tentang masalah ini penting untuk meningkatkan partisipasi keluarga klien dan
keluarga dalam proses perawatan klien
Jelaskan tentang tujuan pemberian obat, dosis, frekuensi dan cara pemberian serta efek samping
yang mungkin timbul
Meningkatkan pemahaman dan partisipasi keluarga klien dalam pengobatan.
Jelaskan dan tunjukkan cara perawatan perineal setelah defekasi
Meningkatkan kemandirian dan kontrol keluarga klien terhadap kebutuhan perawatan diri
anaknya

Dx. 6 : Kecemasan anak b.d Perpisahan dengan orang tua, lingkugan yang baru

Tujuan : Kecemasan anak berkurang dengan kriteria memperlihatkan tanda-tanda kenyamanan

Intervensi
Rasional
Anjurkan pada keluarga untuk selalu mengunjungi klien dan berpartisipasi dalam perawatn yang
dilakukan
Mencegah stres yang berhubungan dengan perpisahan
Berikan sentuhan dan berbicara pada anak sesering mungkin
Memberikan rasa nyaman dan mengurangi stress
Lakukan stimulasi sensory atau terapi bermain sesuai dengan ingkat perkembangan klien
Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan secara optimun

4. EVALUASI

Evaluasi merupakan pengukuran keberhasilan sejauhmana tujuan tersebut tercapai. Bila ada yang
belum tercapai maka dilakukan pengkajian ulang, kemudian disusun rencana, kemudian
dilaksanakan dalam implementasi keperawatan lalau dievaluasi, bila dalam evaluasi belum
teratasi maka dilakukan langkah awal lagi dan seterusnya sampai tujuan tercapai.
Volume cairan dan elektrolit kembali normal sesuai kebutuhan.
Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhantubuh.
Integritas kulit kembali normal.
Rasa nyaman terpenuhi.
Pengetahuan kelurga meningkat.
Cemas pada klien teratasi.
Posted by Aku at 8:06 PM 0 comments

Sunday, July 20, 2008


Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Broncho Pneumonia

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat (Whalley and
Wong, 1996).
Bronchopneumina adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang
lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan
meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh
bakteri,virus, jamur dan benda asing.

2. Etiologi
Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus
Aureus, Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander (Klebsial
Pneumoni), Mycobacterium Tuberculosis.
Virus : Respiratory syntical virus, virus influenza, virus sitomegalik.
Jamur : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas, Blastomices
Dermatides, Cocedirides Immitis, Aspergillus Sp, Candinda Albicans,
Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah daya tahan
tubuh yang menurun misalnya akibat malnutrisi energi protein (MEP), penyakit
menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.

3. Patofisiologi

Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus


penyebab Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi
peradangan broncus dan alveolus. Inflamasi bronkus ditandai adanya penumpukan sekret,
sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Bila penyebaran
kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli,
fibrosis, emfisema dan atelektasis.
Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan
napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan
produksi surfaktan sebagai pelumas yang berpungsi untuk melembabkan rongga
fleura. Emfisema (tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru) adalah tindak
lanjut dari pembedahan. Atelektasis mngakibatkan peningkatan frekuensi napas,
hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan
yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas. Secara singkat patofisiologi
dapat digambarkan pada skema proses.
4. Manifestasi klinis
Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas. Penyakit ini
umumnya timbul mendadak, suhu meningkat 39-40O C disertai menggigil, napas
sesak dan cepat, batuk-batuk yang non produktif “napas bunyi” pemeriksaan paru
saat perkusi redup, saat auskultasi suara napas ronchi basah yang halus dan
nyaring.
Batuk pilek yang mungkin berat sampai terjadi insufisiensi pernapasan dimulai dengan
infeksi saluran bagian atas, penderita batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia dan
kesulitan menelan.
5. Pemeriksaan penunjang
1. Pengambilan sekret secara broncoscopy dan fungsi paru untuk preparasi langsung,
biakan dan test resistensi dapat menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini
tidak rutin dilakukan karena sukar.
2. Secara laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000 – 40.000 / m dengan pergeseran
LED meninggi.
3. Foto thorax bronkopeumoni terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau beberapa
lobus, jika pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau
beberapa lobus.
6. Penatalaksanaan

Kemotherapi untuk mycoplasma pneumonia, dapat diberikan Eritromicin 4 X 500 mg


sehari atau Tetrasiklin 3 – 4 mg sehari.
Obat-obatan ini meringankan dan mempercepat penyembuhan terutama pada kasus yang
berat. Obat-obat penghambat sintesis SNA (Sintosin Antapinosin dan Indoksi Urudin)
dan interperon inducer seperti polinosimle, poliudikocid pengobatan simtomatik seperti :
1. Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat dirumah.
2. Simptomatik terhadap batuk.
3. Batuk yang produktif jangan ditekan dengan antitusif
4. Bila terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan
broncodilator.
5. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat.
Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebab yang
mempunyai spektrum sempit.

7. Komplikasi

Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :


a. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
b. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
d. Infeksi sitemik
e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
f. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
8. Tumbuh kembang anak usia 6 – 12 tahun
Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik
berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat
sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai
mengembangkan ciri sex sekundernya.
Perkembangan menitikberatkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi
termasuk perubahan sosial dan emosi.

a. Motorik kasar
1. Loncat tali
2. Badminton
3. Memukul
4. Motorik kasar dibawah kendali kognitif dan secara bertahap meningkatkan irama
dan kehalusan.

b. Motorik halus
1. Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan
2. Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat
musik.

c. Kognitif
1. Dapat berfokus pada lebih dari satu asfek dan situasi
2. Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah
3. Dapat membalikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal
4. Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang

d. Bahasa
1. Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak
2. Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata
penghubung dan kata depan
3. Menggunakan bahasa sebagai alat komuniukasi verbal
4. Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan

7. Dampak hospitalisasi
Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan
menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada
persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.
Penyebab anak stress meliputi ;
1. Psikososial
Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran
2. Fisiologis
Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri
3. Lingkungan asing
Kebiasaan sehari-hari berubah
4. Pemberian obat kimia
Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)
1. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya
2. Dapat mengekpresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri
3. Selalu ingin tahu alasan tindakan
4. Berusaha independen dan produktif
Reaksi orang tua
1. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan
dampaknya terhadap masa depan anak
2. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak
familiernya peraturan Rumah sakit

B. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
1) Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan sebelumnya : batuk, pilek, demam.
2) Anorexia, sukar menelan, mual dan muntah.
3) Riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti malnutrisi.
4) Anggota keluarga lain yang mengalami sakit saluran pernapasan
5) Batuk produktif, pernafasan cuping hidung, pernapasan cepat dan dangkal, gelisah,
sianosis
b. Pemeriksaan fisik
1) Demam, takipnea, sianosis, pernapasan cuping hidung
2) Auskultasi paru ronchi basah
3) Laboratorium leukositosis, LED meningkat atau normal
4) Rontgent dada abnormal (bercak, konsolidasi yang tersebar pada kedua paru)

c. Factor fsikologis / perkembangan memahami tindakan


1) Usia tingkat perkembangan
2) Toleransi / kemampuan memahami tindakan
3) Koping
4) Pengalaman terpisah dari keluarga / orang tua
5) Pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya

d. Pengetahuan keluarga / orang tua


1) Tingkat pengetahuan keluarga tentang penyakit saluran pernapasan
2) Pengalaman keluarga tentang penyakit saluran pernafasan
3) Kesiapan / kemauan keluarga untuk belajar merawat anaknya

2. Diagnosa keperawatan
1) Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sekret.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan kapiler alveoli.
3) Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan.
4) Resti pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang tidak adekuat.
5) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi
6) Kurang pengetahuan orang tua tentang perawatan klien berhubungan dengan
kurangnya informasi.
7) Cemas anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi

3. Intervensi

a.Diagnosa 1
Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali efektif.
KH : sekret dapat keluar.
Rencana tindakan :
1. Monitor status respirasi setiap 2 jam, kaji adanya peningkatan pernapasan dan bunyi
napas abnormal.
2. Lakukan suction sesuai indikasi.
3. Beri terapi oksigen setiap 6 jam
4. Ciptakan lingkungan / nyaman sehingga pasien dapat tidur dengan tenang
5. Beri posisi yang nyaman bagi pasien
6. Monitor analisa gas darah untuk mengkaji status pernapasan
7. Lakukan perkusi dada
8. Sediakan sputum untuk kultur / test sensitifitas

b.Diagnosa 2
Tujuan : pertujaran gas kembali normal.
KH : Klien memperlihatkan perbaikan ventilasi, pertukaran gas secara optimal dan
oksigenisasi jaringan secara adekuat
Rencana tindakan :
1. Observasi tingkat kesadaran, status pernafasan, tanda-tanda cianosis
2. Beri posisi fowler sesuai program / semi fowler
3. Beri oksigen sesuai program
4. Monitor AGD
5. Ciprtakan lingkungan yang nyaman
6. Cegah terjadinya kelelahan
c.Diagnosa 3.
Tujuan : Klien akan mempertahankan cairan tubuh yang normal
KH : Tanda dehidrasi tidak ada.
Rencana tindakan :
1. Catat intake dan output cairan (balanc cairan)
2. Anjurkan ibu untuk tetap memberikan cairan peroral
3. Monitor keseimbangan cairan , membran mukosa, turgor kulit, nadi cepat, kesadaran
menurun, tanda-tanda vital.
4. Pertahankan keakuratan tetesan infus
5. Observasi tanda-tanda vital (nadi, suhu, respirasi)
d.Diagnosa 4.
Tujuan : Kebuituhan nutrisi terpenuhi.
KH : Klien dapat mempertahankan/meningkatkan pemasukan nutrisi..
Rencana tindakan :
1. Kaji status nutrisi klien
2. Lakukan pemeriksaan fisik abdomen klien (auskultasi, perkusi, palpasi, dan inspeksi)
3. Timbang BB klien setiap hari.
4. Kaji adanya mual dan muntah
5. Berikan diet sedikit tapi sering
6. Berikan makanan dalam keadaan hangat
7. kolaborasi dengan tim gizi

e.Diagnosa 5
Tujuan : Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.
KH : Hipertermi/peningkatan suhu dapat teratasi dengan proses infeksi hilang
Rencana tindakan :
1. Observasi tanda-tanda vital
2. Berikandan anjurkan keluarga untuk memberikan kompres dengan air pada daerah dahi
dan ketiak
3. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan
4. Berikan minum per oral
5. Ganti pakaian yang basah oleh keringat
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat penurun panas.

f.Diagnosa 6
Tujuan : Pengetahuan orang tua klien tentang proses penyakit anaknya meningkat setelah
dilakukan tindakan keperawatan
KH : Orang tua klien mengerti tentang penyakit anaknya.
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua klien tentang proses penyakit anaknya
2. Kaji tingkat pendidikan orang tua klien
3. Bantu orang tua klien untuk mengembangkan rencana asuhan keperawatan dirumah
sakit seperti : diet, istirahat dan aktivitas yang sesuai
4. Tekankan perlunya melindungi anak.
5. Jelaskan pada keluarga klien tentang Pengertian, penyebab, tanda dan gejala,
pengobatan, pencegahan dan komplikasi dengan memberikan penkes.
6. Beri kesempatan pada orang tua klien untuk bertanya tentang hal yang belum
dimengertinya

g.Diagnosa 7
Tujuan : Cemas anak hilang

KH : Klien dapat tenang, cemas hilang, rasa nyaman terpenuhi setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat kecemasan klien
2. Dorong ibu / keluarga klien mensufort anaknya dengan cara ibu selalu didekat klien.
3. Fasilitasi rasa nyaman dengan cara ibu berperan serta merawat anaknya
4. Lakukan kunjungan, kontak dengan klien
5. Anjurkan keluarga yang lain mengunjungi klien
6. Berikan mainan sesuai kesukaan klien dirumah

4. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan Brochopneumonia dalah :
a. Pertukaran gas normal.
b. Bersihan jalan napas kembali efektif
c. Intake dan output seimbang
d. Intake nutrisi adekuat
e. Suhu tubuh dalam batas normal
f. Pengetahuan keluarga meningkat
g. Cemas teratasi
Posted by Aku at 11:49 PM 0 comments
Friday, July 18, 2008
Nursing research

Nursing research is the term used to describe the evidence used to support nursing practice.
Nursing, as an evidence based area of practice, has been developing since the time of Florence
Nightingale to the present day, where many nurses now work as researchers based in universities
as well as in the health care setting.

Nurse education places emphasis upon the use of evidence from research in order to rationalise
nursing interventions. In England and Wales courts may determine whether or not a nurse acted
reasonably based upon whether or not their intervention was supported by research.

Nursing research falls largely into two areas:

 Quantitative research, is based in the paradigm of logical positivism and is focused upon
outcomes for clients that are measurable, generally using statistics. The dominant
research method is the randomised controlled trial.
 Qualitative research, is based in the paradigm of phenomenology, grounded theory,
ethnography and others, and examines the experience of those receiving or delivering the
nursing care, focusing, in particular, on the meaning that it holds for the individual. The
research methods most commonly used are interviews, case studies, focus groups and
ethnography

Recently in the UK, action research has become increasingly popular in nursing.

References
 Hamer S. & Collinson G. (1999). Achieving Evidence-Based Practice. Ballière Tindall.
ISBN 0-7020-2349-3.
 Parahoo K. (1997). Nursing Research: Principles, Process and Issues. Macmillan. ISBN
0-333-69918-1.

Posted by Aku at 2:21 AM 0 comments

Nursing theory

Nursing theory is the term given to the body of knowledge that is used to support nursing
practice. In their professional education nurses will study a range of interconnected subjects
which can be applied to the practice setting. This knowledge may be derived from experiential
learning, from formal sources such as nursing research or from non-nursing sources. To speak of
nursing theory is often difficult. Nursing is many things to many people. Most universally agreed
upon is that Nursing is a science involving people, environment and process fueled by a vision of
transcendence in the context of healthcare. It is interesting to note that 90% of all Nursing
theories have been generated in the last 20 years. Many schools encourage students to formulate
personal philosophies or mid-range theories of Nursing as part of their curriculum. Some might
argue that this multiplicity of theory is detrimental to the practice and undermines common
vision. Others would say that the nature of the young science is sufficiently far reaching to
require such tactics in order to elicit true consensus.

Nursing models are conceptual models, constructed of theories and concepts. They are used to
help nurses assess, plan, and implement patient care by providing a framework within which to
work. They also help nurses achieve uniformity and seamless care.

Universal features of nursing models


Unlike most sciences, Nursing theories seem primarily concerned with what "Nursing" is or
should do, rather than a phenomenon wt Nursing". All nursing models involve some method of
assessing a patient's individual needs and implementing appropriate patient care. An essental
portion of each nursing model is meaurable goals in order that the process can be evaluated in
order to provide bet is used to dtermine a patient's treatment by nurses, doctors nd other halthcare
professionals and auxiliary workes. These documentsare consideed o be living documents —
they are changed and evaluated on a daily basis as the patientscondition an abilities cange.
Theories of Nursingfall intoeories. “Neuman’s model focuses on the person a a compete system,
the subparts of which are interrelated physiological, psychological, scicultural, spiritual, and
developmental factors.” Polit & Henderson p. 103

History of nursing models


The original role of the nurse was primarily to care for the patient as prescribed by a physician.
This evolved into the biomedical model of nursing care which still strongly influences nursing
practice today. The biomedical model focuses heavily upon pathophysiology and altered
homeostasis but fails to identify individual differences and whilst it works well for traditional
medical and physical care, it focuses solely on the treatment of disease, making little account of
psychological, sociocultural, or politcoeconomic differences between individuals. The
Biomedical Model essentially views all patients with the same disease as the same problem
regardless of their religion, culture, or ethnicity. This is in contrast to the social model of
healthcare that places emphasis on changes that can be made in society and in people's own
lifestyles to make the population healthier.

The first theorist to clearly articulate a role of nurses distinct from the medical profession was
Florence Nightingale. Her theories were developed during the Crimean War and published in
Notes on Nursing:What It Is, and What It Is Not in 1859. Nightingale's model is based on the
idea that the nurse manipulates the environment to promote the patient's well-being.
Nurses quickly realised that treating patients based upon their disease rather than making a
holistic assessment was not a satisfactory way of attending patient care.

Presently, some of today contributing theorist include Roy (Kansas), Newman (Harvard), Waga
(Rutgers), and Johnson (Yale)

Further information may be found in ANA (American Nursing Association).

Major nursing theorists


 Helen Erickson
 Virginia Henderson
 Imogene King
 Madeleine Leininger
 Betty Neuman
 Dorothea Orem
 Ida Jean Orlando (Pelletier)
 Hildegard Peplau
 Rosemarie Rizzo-Parse
 Isabel Hampton Robb
 Martha E. Rogers
 Callista Roy
 Katherine Kolcaba
 Katie Eriksson

Purposely left off this list is that most famous of all nurses, Florence Nightingale. Nightingale
never actually formulated a theory of nursing science but was posthumously accredited with
same by others who categorized her personal journaling and communications into a theoretical
framework.

Also left off are the many nurses who improved on these theorists' ideas without developing their
own theoretical vision.

Examples of nursing models


The models used vary greatly between institutions and countries. However, different branches of
nursing have different "preferred" nursing models. These are summarized below:
Psychiatric nursing

 Roy's model of nursing


 Tidal Model

Children's nursing

 Casey's model of nursing

Perinatal nursing
 Ramona T Mercer maternal role attainment

Adult nursing

 Nightingale's model of nursing


 Roper, Logan and Tierney
 Orem's Model of Nursing

Community and rehabilitation nursing

 Orem's Model of Nursing

Critical care nursing

 Synergy model of nursing

Holistic nursing

 Rogers: Science of Unitary Human Beings


 McGill Model of Nursing
 Parse: Human Becoming
 Erickson, Tomlin & Swain: Modeling and Role-Modeling
 Newman: Health as Expanding Consciousness

Future of nursing models


Nursing models have been criticised for failing to provide holistic care, and preventing nurses
from thinking "outside of the box". This has been compounded by many hospitals who have
developed "pre-printed" care plans that have been misused by nurses who have failed to
customise these generic care plans to the patient. An example of this would be using a standard
care plan for appendectomy for an elderly patient with multiple pathology (for instance diabetes,
angina pectoris and a history of myocardial infarction). Evidently, the patient's care needs would
be very different from a fit-and-healthy 20 year old male with no previous medical history who
neither smokes nor drinks. It is up to the professional to tailor the care plan to suit the individual
patient.

Models of nursing have always been accused of being "out of touch" with the harsh reality of
patient care, and creating yet more unnecessary paperwork for nurses to complete.

Technological advances may produce client specific nursing models.

Posted by Aku at 2:15 AM 0 comments

Nursing Outcomes Classification

The Nursing Outcomes Classification (NOC) is a classification system which describes patient
outcomes sensitive to nursing intervention. The NOC is a system to evaluate the effects of
nursing care as a part of health care. The NOC containes 190 outcomes, and each with a label, a
definition, and a set of indicators and measures to determine achievement of the nursing
outcome.

References
 Donahue, M.P. & Brighton, V., Nursing outcome classification: Development and
implementation, Journal of Nursing Care Quality, 1998, 12(5).
 S. Moorhead, M. Johnson, M. Maas, E. Swanson, Nursing Outcomes Classification
(NOC), Elsevier, Fourth Edition, 936 pages, 2007, ISBN-10: 0-323-05408-0

Posted by Aku at 2:11 AM 0 comments

Nursing Interventions Classification

The Nursing Interventions Classification (NIC) is a careclassification system which describes the
treatments that nurses perform. The NIC consists of a standardized list which contains 433
different interventions. Each intervention is defined and the definition describes a set of activities
a nurse preforms in order to perform one of the interventions. Each of the 433 interventions is
coded into a three-level taxonomic structure consisting of 27 classes and 6 domains. The
taxonomic struture allows for easy selection of an intervention and to classify them by means of
a computer. The NIC also allows for the implementation of a Nursing Minimum Data Set
(NMDS).

References
 Iowa Intervention Project (1996). Nursing Interventions Classification (NIC) (2nd ed.),
St. Louis: Mosby-Year Book
 Henry SB, Warren JJ, Lange L, Button P., A review of major nursing vocabularies and
the extent to which they have the characteristics required for implementation in
computer-based systems, J Am Med Inform Assoc. 1998 Jul-Aug;5(4):321-8
 Henry SB, Mead CN., Nursing classification systems: necessary but not sufficient for
representing "what nurses do" for inclusion in computer-based patient record systems, J
Am Med Inform Assoc. 1997 May-Jun;4(3):222-32

Posted by Aku at 2:06 AM 0 comments

Nursing process

The nursing process is a process by which nurses deliver care to patients, supported by nursing
models or philosophies. The nursing process was originally an adapted form of problem-solving
and is classified as a deductive theory.

Characteristics of the nursing process


The nursing process is a cyclical and ongoing process that can end at any stage if the problem is
solved. The nursing process exists for every problem that the patient has, and for every element
of patient care, rather than once for each patient. The nurse's evaluation of care will lead to
changes in the implementation of the care and the patient's needs are likely to change during their
stay in hospital as their health either improves or deteriorates. The nursing process not only
focuses on ways to improve the patient's physical needs, but also on social and emotional needs
as well.

 Cyclic and dynamic


 Goal directed and client centered
 Interpersonal and collaborative
 Universally applicable
 Systematic

The nursing process is not something foreign or unusually complex. On the contrary, we use the
nursing process method on a daily basis without even realizing it. For example, a trip to the gas
station to get fuel requires Assessing the various prices and the number of people waiting to get
gas among other things. A subsequent decision, or Diagnosis, is made based on the former
criteria. This may include pulling into the gas station to fuel up or going down the road for better
prices and/or less of a crowd. The price is right and there's not much of a crowd, we're pulling in.
Now the Planning can take place. This may include which pump to use, how much gas to put in
the tank, whether or not to clean the windows along with other things. We're at the pump and
ready to fuel up. We must now Implement what we planned prior to pulling up to the pump.
We've pulled up on the passenger side because the gas tank resides on this side, part of our plan.
We've also given ourselves enough room to exit without getting blocked in by another vehicle,
part of our plan also. We now unscrew the gas cap and begin fueling or Implementing what we
planned. Things went well. We are fueled up and have exited the gas station without
complication. Our Evaluation of the trip to the gas station would be a good one. We may choose
to use this method in the future. The Nursing process is that simple in theory. However, as a
nurse, the nursing process tool will be used for more complex and difficult situations but is
applied the same way as the gas station analogy.

Posted by Aku at 2:03 AM 0 comments

Nursing practice

Nursing practice is the actual provision of nursing care. In providing care, nurses are
implementing thenursing care plan which is based on the client's initial assessment. This is based
around a specific nursing theory which will be selected as appropriate for the care setting. In
providing nursing care the nurse uses both nursing theory and best practice derived from nursing
research.
Posted by Aku at 1:57 AM 0 comments

Nursing Assessment

Nursing assessment is the gathering of information about a patient's physiological,


psychological, sosciological and spiritual status.

Stage one of the nursing process


Assessment is the first stage of the nursing process in which the nurse should carry out a
complete and holistic nursing assessment of every patient's needs, regardless of the reason for the
encounter. Usually, an assessment framework, based on a Nursing theory nursing model is used.

The purpose of this stage is to identify the patient's nursing problems. These problems are
expressed as either actual or potential. For example, a patient who has been rendered immobile
by a road traffic accident may be assessed as having the "potential for impaired skin integrity
related to immobility".

Components of a nursing assessment


Nursing history

Taking a nursing history prior to the physical examination allows a nurse to establish a rapport
with the patient and family. Elements of the history include:

 health status
 course of present illness including symptoms
 current management of illness
 past medical history including family's medical history
 social history
 perception of illness

Psychological and social examination

The psychological examination may include;

 Client’s perception (why they think they have been referred/are being assessed; what they
hope to gain from the meeting)
 Emotional health (mental health state, coping styles etc)
 Social health (accommodation, finances, relationships, genogram, employment status,
ethnic back ground, support networks etc)
 Physical health (general health, illnesses, previous history, appetite, weight, sleep pattern,
diurinal variations, alcohol, tobacco, street drugs; list any prescribed medication with
comments on effectiveness)
 Spiritual health (is religion important? If so, in what way? What/who provides a sense of
purpose?)
 Intellectual health (cognitive functioning, hallucinations, delusions, concentration,
interests, hobbies etc)

Physical examination

A nursing assessment includes a physical examination : the observation or measurement of signs,


which can be observed or measured, or symptoms such as nausea or vertigo, which can be felt by
the patient.

The techniques used may include Inspection,Palpation, Auscultation and Percussion in addition
to the "vital signs" of temperature, blood pressure, pulse and respiratory rate, and further
examination of the body systems such as the cardiovascular or musculoskeletal systems.

Documentation of the assessment


The assessment is documented in the patient's medical or nursing records , which may be on
paper or as part of the electronic medical record which can be accessed by all members of the
healthcare team.

Assessment tools
A range of instruments has been developed to assist nurses in their assessment role. These
include:

 the index of independence in activity daily living


 the Barthel index
 the Crighton Royal behaviour rating scale
 the Clifton assessment procedures for the elderly
 the general health questionnaire
 the geriatric mental health state schedule

Other assessment tools may focus on a specific aspect of the patient's care. For example
waterlow score deals with a patient's risk of developing a bedsore (decubitus ulcer), the Glasgow
Coma Scale measures the conscious state of a person, and various pain scales exist to assess the
"fifth vital sign".

Posted by Aku at 1:36 AM 0 comments

Nursing Care

Patient care is part of a nurse's role. Nurses use the nursing process to assess, plan, implement
and evaluate patient care. Patient care is founded in critical thinking and caring in a holistic
framework. Nursing care is increasingly framed in best practice, which is the application of
evidence-based concepts to patient problems in a particular setting. Florence Nightingale is
recognized as the first nurse researcher.

Infection control
Nurses must observe the principles of asepsis at all times to prevent the spread of infection. They
wash their hands thoroughly with soap and warm water before and after caring for patients, after
handling any waste, before and after eating and drinking, after smoking, coughing, touching
clothes, and after wearing gloves. Alcohol gel has come into common use to sanitize the hands in
place of washing hands that are not visably soiled. Infection control regulations states, hand
washing must be done after the third instance of using hand sanitizer. Gloves are generally worn
when patient care is given, especially when exposure to patient bodily fluids is likely.

Nurses also observe aseptic technique. This speciality is used for procedures such as wound
cleaning and any insertion or removal of appliances into or out of the patient's body. Examples
are insertion of an intravenous or urinary catheter, or feeding (nasogastric) tube.

Surgical scrub techniques are also taught to nurses. This speciality is used for operating room
technique, where nurses are an important part of any procedure.
Records
Nurses keep accurate records of all care and observations for many purposes. The patient's
record is how the different members of the health care team communicate with each other. The
chart is a legal document that serves as evidence of care provided. Since the maintenance of
records is a legal responsibility, the charts have to meet certain standards, e.g. records must be
permanent, accurate, complete, and kept for years after the care was given.

Vital Signs
Nurses may take a person's vital signs several times a day. Vital signs include taking and
recording a patient's temperature, blood pressure, respirations, pulse, and pain level. Other things
recorded in vital signs may be weight (especially for renal patients), bowel movements, and
blood pressure measurements which are taking in different positions (in heart patients, for
example, it is common to do a lying then standing measurement to assess the cardiovascular
system's ability to compensate).

Vital signs are usually done with an electronic machine (commonly called a Dynamap) in
modern first world countries, however all nurses are usually trained to also use manual
equipment. These include a sphygmomanometer for blood pressure and a thermometer for
temperature. Nurses are also trained in use of a stethoscope to hear heart, lung and bowel sounds
on patients of all ages.

Medication
Medications are typically dispensed during nursing care. In some countries a nurse is only
responsible to administer medication as prescribed by a doctor. In other countries nurses are
legally responsible to ensure that the medication is appropriate for the patient and have the
authority to interpret the order. Administration of medication by nurses generally requires the
nurse to apply advanced knowledge and critical thinking to determine the safety of the
administered medication. Advanced practice nurses (Nurse Practitioners, Nurse Midwives,
Clinical Nurse Specialists and Certified Registered Nurse Anesthetists) prescribe medications as
regulated by the state boards of nursing. Advanced practice nursing requires additional
education, generally at the master's level. Advanced practice nurses, depending on specialty and
state regulations may assess, order and interpret diagnostic tests, diagnose and treat medical
conditions and evaluate the results. Advance practice varies in the different states from
supervised (by a physician) to completely independent practice. Multiple research studies
indicate patients treated by advanced practice nurses have the same outcomes as patients treated
by physicians. Patient satisfaction has been equal to treatment by physicians. Advanced practice
nurses may be part of the solution to an overburdened and costly health care system. Advanced
practice nurses retain the holistic and preventative framework of nursing, and are ideally suited
to wellness care.

Diet
Diet is important for people to stay healthy. Dietitian or physician may place the patient on a
regular, light, soft, or liquid diet. A person on a regular diet can eat any type of food; on a light
diet the patient may have such foods as ground meat, chicken, fish, potatoes, rice, strained
vegetables, custards, and puddings. Raw fruit and vegetables, rich, spicy or fried foods are not
allowed on this diet. A soft diet includes such foods as bread, cereal, eggs, potatoes, custards,
and ice cream. A liquid diet may consist only of clear liquids, such as soup, tea, and juices.
People with certain illnesses may have other diet restrictions for example people with diabetes or
on dialysis.
Posted by Aku at 1:09 AM 0 comments

Nursing Care Plan

Definition
A nursing care plan outlines the nursing care to be provided to a
patient.It is a set of actions the nurse will implement to resolve
nursing problemsidentified by assessment. The creation of the plan
is an intermediate stageof the nursing process. It guides in the
ongoing provision of nursing careand assists in the evaluation of that care.

Characteristics of the nursing care plan


1. It focuses on actions which are designed to solve or minimize the existing problem.
2. It is a product of a deliberate systematic process.
3. It relates to the future.
4. It is based upon identifiable health and nursing problems.
5. Its focus is holistic.
6. It focuses to meet all the needs of the service user.

Elements of the plan


In the USA, the nursing care plan may consist of a NANDA nursing
diagnosis with related factors and subjective and objective data that
support the diagnosis, nursing outcome classifications with specified
outcomes (or goals) to be achieved including deadlines, and nursing
intervention classifications with specified interventions.

The nursing process


Care plans are formed using the nursing diagnosis. First the nurse collects subjective data and
objective data, then organizes the data into a systematic pattern, such as Marjory Gordon's,
functional health patterns. This step helps identify the areas in which the client needs nursing
care. Based on this, the nurse makes a nursing diagnosis. As mentioned above, the full nursing
diagnosis also includes the relating factors and the evidence that supports the diagnosis. For
example, a nurse may give the following diagnosis to a patient with pneumonia that has
difficulty breathing: Ineffective Airway Clearance related to tracheobronchial infection
(pneumonia) and excess thick secretions as evidenced by abnormal breath sounds; crackles,
wheezes; change in rate and depth of respiration; and effective cough with sputum.

After determining the nursing diagnosis, the nurse must state the expected outcomes, or goals. A
common method of formulating the expected outcomes is to reverse the nursing diagnosis,
stating what evidence should be present in the absence of the problem. The expected outcomes
must also contain a goal date. Following the example above, the expected outcome would be:
Effective airway clearance as evidenced by normal breath sounds; no crackles or wheezes;
respiration rate 14-18/min; and no cough by 01/01/01.

After the goal is set, the nursing interventions must be established. This is the plan of nursing
care to be followed to assist the client in recovery. The interventions must be specific, noting
how often it is to be performed, so that any nurse or appropriate faculty can read and understand
the care plan easily and follow the directions exactly. An example for the patient above would
be: Instruct and assist client to TCDB (turn, cough, deep breathe) to assist in loosening and
expectoration of mucous every 2 hours.

The evaluation is made on the goal date set. It is stated whether or not the client has met the goal,
the evidence of whether or not the goal was met, and if the care plan is to be continued,
discontinued or modified. If the care plan is problem-based and the client has recovered, the plan
would be discontinued. If the client has not recovered, or if the care plan was written for a
chronic illness or ongoing problem, it may be continued. If certain interventions are not helping
or other interventions are to be added, the care plan is modified and continued.

There are also care plans written for "at risk" problems, as well as "wellness" care plans. These
follow a similar format, only designed to prevent problems from happening and continue or
promote healthy behavior.

Anda mungkin juga menyukai