A. LATAR BELAKANG
Filsafat, yang berbeda dari teologi, dimulai dari Yunani pada abad ke 6 SM. Setelah memasuki zaman
kuno, filsafat kembali ditenggelamkan oleh teologi ketika agama Kristen bangkit dan Roma jatuh. Periode
kejayaan filsafat yang kedua, abad ke 11 – 14, didominasi oleh gereja Katolik,kecuali selama beberapa
pemberontak besar seperti Kaisar Frederick II (1195 – 1250). Periode ini diakhiri dengan kebingungan –
kebingungan yang berpuncak pada Reformasi. Periode ketiga, dari abad ke 17 sampai sekarang,
didominasi melebihi dua periode sebelumnya, oleh sains; kepercayaan – kepercayaan religious tradisional
masih tetap penting, tetapi rasanya membutuhkan justifikasi, dan dimodifasi ketika sains
mengharuskannya.
Sementara itu, Filsafat Timur berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain
yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat
dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad
Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama – nama
beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.Pemikiran filsafat timur sering dianggap
sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan pemikiran
timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti
dalam filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi
kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut (Takwin, 2001:
12). Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke filsafat timur, misalnya Fritjop Capra,
seorang ahli fisika yang mendalami taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan
yang sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir, 2005: 6). Skeptisisme terhadap
metafisika dan filsafat rene Descartes dan William Ockham.
Dan kemudian perspektif pemikiran filsafat dari kedua kutub tersebut dicoba untuk dikaitkan dengan
sebuah peradaban dan perkembangan ideologi Pancasila dalam negara Indonesia yang tentunya memiliki
nilai/value dan pengaruh dalam membentuk pola pikir pada masanya dalam pembentukan ideologi
Pancasila.
BAB II
ISI
2. FILSAFAT CINA
Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah
usaha sadar untuk memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari
keyakinan fundamental sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang
budaya dan tradisi kelompok tersebut. Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang
kedua, filsafat sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang
muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah tentang pengetahuan
yang benar, pemahaman asali, dan penghargaan yang wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah
secara individu ataupun sosial. Yang ketiga adalah lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai
hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok orang/masyarakat (Fung Yu-
Lian,2007:5) .
Filsafat Cina terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
Konfusius
Ulasan yang lebih detail tentang kehidupaan Confusius adalah biografi yang terangkum dalam
bab empat puluh tujuh Shih Chi atau Historical Records (sejarah dinasti Cina pertama, lengkap
ca. 86 SM). Dari riwayat hidupnya ini, bisa didiperoleh ide bahwa ajaran-ajaran Konfusius lahir
atas keprihatinannya akan situasi sosial dan politik pada saat itu. Bagi Konfusius kekacauan itu
timbul karena Li kehilangan jiwanya. Untuk menghidupkan kembali Li berarti menghidupkan
kembali ritual dan musik denngan pendasaran pada Ren. Seperti kita ketahui, Konfusiuslah yang
mengambil kitab klasik dinasti Zhou keluar dari tempat penyimpanannya dan membeberkannya
di depan umum. Konfusius pulalah yang mengubah aneka tata cara dan upacara serta kebiasaan
feudal menjadi suatu sistem etika. Konfusius berjuang tanpa kenal lelah sepanjang hidupnya
untuk membangun dan memelihara suatu masyarakat yang tertib dan teratur dengan terus
menerus menekankan pentingnya hubungan antara manusia atas dasar doktrin ren. Ren, adalah
gagasan sentral dari Konfusianisme yang juga merupakan kelanjutan yang lebih jernih dari
gagasan yang hidup sebelum jaman Konfusius. Ren bisa dipahami sebagai: kebaikan hati ataupun
kasih antar manusia. Kebaikan ini adalah hakikat terdalam manusia yang membuat unsur lain
(dalam hidupnya) menjadi mungkin. Menurut Konfusius ‘ren’ adalah sesuatu di dalam diri yang
membuat seseorang sungguh-sungguh manusia. Sedangkan Li mengandung arti ‘tatacara dan
upacara keagamaan’, tetapi Konfusianisme memberi arti lebih luas dari pada sekedar ritus dan
ritual, yaitu, segala sesuatu yang terkait pada tindakan tepat manusia, dan Xiao merujuk pada
tindakan antar manusia yang menumbuhkan ‘ren’ yang juga berarti “hormat bakti yang muda
terhadap yang lebih tua”.
Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan
Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang
merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang
bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan
ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak
tahu apa-apa tentang Tao (Abu Ahmad,1975: 157).
Mohisme
Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para
Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (Lǐ), tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi
moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa
menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara
khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung).
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa besar
keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna, dan semua
prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip
yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada manusia lain
untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan
idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan
seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih
memanfaatkan.
Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan
peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi
yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu surga kemudian hilang
karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan
pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali
kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang
dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala sesuatu di alam semesta
ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami dan spontan, Akan tetapi Yang
Tzu berpendapat bahwa Dao adalah suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia
tidak atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan.
Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistic Daoisme. Apapun
perbedaannya, ajaran ajaran mereka menekankan bahwa manusia harus cocok dan serasi dengan
kodratnya dan puas dengan apa adanya
Neo Konfusianisme
Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti
Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han Yu
dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis
dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi Zhou
Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai
diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi
masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks
dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang
Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab
Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’
dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren =
rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan
kecermatan, itulah segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan
tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada
akhirnya membentuk sekolah Lu wang (Fung Yu-Lian,2007:54-56).
3. Filsafat Islam
Islam berasal dari kata salam yang terutama berarti “damai” dan juga berarti “menyerahkan diri”, maka
keseluruhan pengertian yang dikandung nama ini adalah “kedamaian sempurna yang terwujud jika hidup
seseorang diserahkan kepada Allah”. Kata sifat yang berkenaan dengan ini adalah Muslim (Huston,
2004:254).
Filsafat Islam digolongkan ke dalam filsafat timur karena lebih dominan sifatnya yang menunjukkan
idealisme seperti umumnya filsafat-filsafat yang muncul di dunia timur, seperti Cina dan India. Filsafat
timur ini yang memiliki aliran idealisme utamanya bercirikan bersifat spiritual, esensinya adalah dengan
berfikir. Juhaya (2008:125) mengungkapkan bahwa kata idealis itu dapat mengandung beberapa
pengertian, antara lain:
· Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya.
· Orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Memang pada filsafat-filsafat yang lahir di dunia timur, kebanyakan lebih mengutamakan sisi spiritual,
dalam arti nilai-nilai keagamaan memang kerap mewarnai prinsip-prinsip dalam filsafat timur. Dalam
prinsip filsafat timur ini pada perilaku manusia adalah digerakkan oleh nilai dan norma sehingga manusia
memiliki tujuan dalam bertingkah laku. Begitu juga filsafat yang lahir dari pemikir-pemikir Islam yang
lebih menekankan pandangannya mengenai dunia dengan berlandaskan pada nilai-nilai dan norma-norma
yang harus ditaati oleh manusia. Filsafat Islam adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal
tentang hekekat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat
yang berorientasi kepada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan
wahyu Allah.
Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid naik tahta tahun 786 M, buku-buku pengetahuan Yunani
banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Orang-orang dikirim ke Romawi di Eropa untuk membeli
manuskrip. Pada mulanya penerjemah diutamakan dalam bidang ilmu kedokteran, tetapi kemudian ilmu
pengetahuan lain dan filsafat pun diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan
Mesopotamia waktu itu, kemudian baru dalam bahasa Arab. Tapi akhirnya diadakan penerjemahan
langsung dalam bahasa Arab. Melalui kegiatan penerjemahan inilah sebagian besar karya Aristoteles,
beberapa karangan Plato serta karangan-karangan mengenai neo-platoisme, Galen dan karangan di bidang
kedokteran serta ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama Islam. Karangan di
bidang filsafat banyak menarik perhatian Mu’tazilah sehingga mereka banyak dipengaruhi oleh pemujaan
daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. (Juhaya, 2008:194-195). Kemajuan Islam era pertengahan
tidak saja mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan
pengetahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil usaha kreatif cendikiawan muslim seperti al-
Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Razi dan setelahnya, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga
melahirkan teori dan pengetahuan orisinil yang sama sekali baru. Peradaban Yunani, Persia dan Romawi
jelas menyumbangkan peradaban yang sangat berharga bagi Islam. Peradaban Zoroastrian (Sassanian)
telah mencapai puncak renaisan kebudayaannya pada abad ke enam, sebelum Islam datang di tanah Arab.
Hal ini yang kemudian menjadi pembawa obor bagi peradaban Barat, bersama-sama membawa sebuah
sinkronisme kreatif baru pemikiran ilmiah dan filosofis Yunani, Hebrew, India (Hindu), Syirian, dan
Zoroaster.
Mengenai kebangkitan bangsa Arab tersebut dengan agama Islamnya, Huston Smith (2004:254-255)
mengutip juga dari Philip Hitti yang menyatakan sekitar nama orang Arab bersinarlah lingkaran cahaya
dari kegemilangan yang dimiliki oleh para penakluk dunia. Dalam waktu satu abad setelah bangsa ini
muncul, mereka telah menjadi tuan dari suatu daerah kekuasaan yang terbentang dari pantai Samudra
Atlantik sampai ke perbatasan Cina, yang merupakan suatu daerah kekuasaan yang lebih besar dari
kekaisaran Romawi pada zaman puncak kejayaannya. Dalam masa perluasan wilayah yang luar biasa ini
mereka “merangkul berbagai unsure asing ke dalam kepercayaan, bahasa dan bahkan bentuk fisik mereka,
lebih daripada yang pernah atau sesudahnya, tidak terkecuali orang Yunani, Romawi, Anglo-Sakson, atau
Rusia”. Tentu saja periode yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah saat pemerintahan Harun al-
Rasyid.
Filsafat Islam memiliki karakteristik sekaligus sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya, terdapat tiga
karakteristik yang dapat kita temukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysya’iyyah), iluminasi
(Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Ketiga karakteristik tersebut sudah sering
dikaji oleh para sarjana muslim.
Filsafat peripatetisme adalah paham kelanjutan dari pengaruh ide-ide Aristotelian yang bersifat diskursif-
demontrasional. Corak dari Aristotelian yaitu hylomorfisme, suatu paham yang cenderung bersifat
material. Peripatetisme dimulai sejak al-Kindi, yang melewati antara lain, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Thufail
dan Ibn Bajjah hingga Ibn Rusyd. Mungkin, hanya Ibn Rusyd saja yang agak berani membersihkan
Aristotelianisme dari Neo-Platonisme.
Filsafat iluminasi (Israqiyyah) berbicara mengenai suatu kilatan-mendadak dalam bentuk pemahaman
atau ilham sebagai suatu arus cahaya. Asal mulanya, teori ini berakar dari pola-pola Platonik, yang
selama periode Hellenistik dan Romawi aliran ini diserap dan tergabungkan dalam pikiran Kristiani dan
Yahudi. Tokoh yang ternama dalam corak filsafat iluminasi yaitu Surawardi. Sebagai pencetus paham
iluminasi, dia telah membuka jalan suatu dialog dengan wacana-wacana dan upaya-upaya religius atau
mistis dalam dunia ilmiah. Dia juga termasuk filosof yang meyakini adanya perennial wisdom. Sebuah
jalan kebenaran yang dijadikan ukuran adalah pengalaman “intuitif” yang kemudian mengelaborasi dan
memverifikasinya secara logis-rasional.
Sementara filsafat hikmah di perkenalkan oleh Mulla Shadra. Dia membangun aliran baru filsafat dengan
semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum muslim.
Yakni tradisi Aristotelian cum Neo platonis yang diwakili figur-figur al-Farabi dan Ibn Sina, filsafat
Israqiyyah, pemikiran Irfani Ibn ‘Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis). Filsafat hikmah cenderung
berbicara masalah esensi (wujud), sehingga sering disebut-sebut sebagai eksistensialisme Islam. Aliran ini
mempercayai bahwa pengetahuan diperoleh tidak melalui penalaran rasional, tetapi hanya melalui sejenis
intuisi, yakni penyaksian bathin (syuhud, inner witnessing), cita rasa (dzauq, tasting), pencerahan
(hudhur, presence) (Haidar Bagir dalam Mujtahid, 2011:uin-malang.ac.id). Begitulah perkembangan
filsafat Islam yang telah mendapat pengaruh dari beberapa filosof Romawi dan Yunani yang kemudian
diserap menjadi beberapa pandangan baru dari kacamata Islam. Hanya saja sedikit pengaruh-pengaruh
baik dari Aristoteles, Plato maupun Sokrates terakulturasi dalam filsafat ini.
Dalam pembahasan ini akan diulas mengenai pemikiran dua tokoh filosofi Islam yakni Al-Kindi dan Al-
Ghazali sebagai contoh gambaran konkrit dari filsafat Islam.
Al-Kindi (196-873 M)
Nama lengkap filsuf ini adalah Ya’kub bin Ishaq bin al-Kindi yang lahir di Kufah dan bertempat
tinggal di Kindah, Yaman. Orangtuanya adalah Gubernur Basrah. Menurut keterangan Ibnu al-
Nadim buku-buku yang ditulisnya itu berkisar 241 buah dalam bidang filsafat, logika, ilmu
hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik, musik, matematika, dan sebagainya.
Dalam The Legacy of Islam dapat kita jumpai informasi yang menjelaskan bahwa buku Al-Kindi
tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan banyak mempengaruhi Roger
Bacon.Pengetahuan menurut al-Kindi terbagi menjadi dua, yakni Pertama pengetahuan Illahi atau
ilm ila’hiy (devine science) seperti yang tercantum dalam al-Qur’an, yaitu pengetahuan langsung
yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan itu adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan
manusiawi atau ilm insaniyy (human science) atau filsafat yang didasarkan atas pemikiran (ration
reason). Filsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar atau baths an al-haqq
(knowledge of the truth). Dari sinilah kita bisa melihat persamaan antara filsafat dan agama.
Tujuan agama dan tujuan filsafat adalah sama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang
baik. Agama, disamping wahyu, juga menggunakan akal. Adapun kebenaran pertama, menurut
al-Kindi, ialah Tuhan (Allah). Dialah al-haqq al-awwal, the first Truth. Dengan demikian filsafat
membahas soal Tuhan, agama pun yang menjadi dasarnya Tuhan. Oleh karena itu, bagi al-Kindi,
filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan.
Al-Kindi memandang jiwa sebagai intisari dari manusia. Para filsuf Islam banyak
memperbincangkan hal ini, karena Al-Qur’an atau Hadist Nabi tidak menjelaskan hakikat jiwa
atau ruh. Jiwa menurut al-Kindi, seperti halnya menurut al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah,
mempunyai tiga macam daya, yaitu daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir/berakal.
Namun demikian, pendapat al-Kindi berbeda dengan keduanya ketika ia mengatakan ada tiga
macam akal, yaitu: (a) Akal yang bersifat potensial, (b) Akal yang telah keluar dari sifat potensial
menjadi actual, dan (c) Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (Juhaya, 2008:
1986-201).
Al-Ghazali (1059-1111 M)
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di tahun 1059 M, di Ghazaleh, suatu kota kecil yang
terletak di dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran dewasa ini. Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam
dikenal pada mulanya sebagai syak (skeptis) terhadap gejala-gejalanya. Perasaan syak ini
kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari al-
Juwaini. Pada mulanya pengetahuan seperti dalam ilmu pasti itu dijumpai al-Ghazali dalam hal-
hal yang ditangkap dengan panca indera, tetapi baginya kemudian ternyata bahwa panca indera
juga berdusta. Sebagai upama, ia sebut bayangan (rumah) kelihatannya tak bergerak, tetapi
akhirnya ternyata berpindah tempat. Bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi
perhitungan enyatakan bahwa bintang-bintang iu lebih besar dari bumi. Karena al-Ghazali tidak
percaya pada apanca indera lagi,ia kemudian meletakkan kepercayaannya pada akal. Tetapi akal
juga ternyata tak dapat dipercayai. “Sewaktu bermimpi”, demikian kata al-Ghazali,”orang melihat
hal-hal yang kebenarannya diyakni betul-betul, tetapi setelah bangun, ia sadar bahwa apa yang ia
lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.” Tidaklah mungkin apa yang sekarang dirasa benar
menurut pendapat akal, nanti kalau kesadaran yang lebih dalam timbul akan ternyata tidak benar
pula, sebagaimana halnya dengan orang yang telah bangun dan sadar dari tidurnya.
Al-Ghazali mempelajari filsafat, kelihatannya untuk menyelidiki apakaha pendapat-pendapat
yang diajukan filsuf-filsuf itulah yang merupakan kebenaran. Baginya ternyata bahwa argument-
argumen yang mereka ajukan tidak kuat dan menurut keyakinannnya ada yang ada yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Tasawuflah yang dapat menghilangan rasa syak (keragu-raguan) yang lama mengganggu dirinya.
Dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang dicari-crinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya
yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya, itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh
keyakinannya kembali (Juhaya, 2008:202-204) Dengan demikian satu-satunya pengetahuan yang
menimbulkan keyakianan akan kebenarannya bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh
secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf.
D. SEJARAH FILSAFAT HUKUM
Zaman Kuno
Zaman (Yunani) kuno bermula pada abad ke-6 SM – abad ke-5 SM, tatkala Kekaisaran Romawi
runtuh. Pada zaman kuno ini, rakyat yunani sudah hidup dalam polis-polis yang satu sama lain
memiliki kekuasaan penguasa, sistem pemerintahan dan sistem hukum tersendiri. Semua
penguasa polis memegang kekuasaan tunggal pada abad ke-5 SM, dimana setelah munculnya
kaum sofisme yang menerapkan prinsip demokrasi yang kepercayaannya masih sangat besar
terhadap kekuatan supranatural. Proses pematangan itu berlanjut pada masa keemasan filsafat
yunani (zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles).
Jika hukum ada sebelum masyarakat ada, maka filsafat hukum pun secara embrional sudah ada
jauh sebelum zaman yunani kuno. Sama halnya keberadaan filsafat pun sudah ada jauh sebelum
itu. Hanya saja, sepanjang dapat ditelusuri secara historis, saat kemunculan para filsuf alam inilah
dapat diasumsikan sebagai awal kebangkitan filsafat. Masa itu berkembang bahwa manusia diatas
dunia ini hanya sebagai pemain sandiwara dengan lakon yang sudah ditentukan oleh para dewa.
Untuk itu manusia harus menyesuaikan dengan keharusan yang telah digariskan oleh para dewa
itu.
Zaman Abad Pertengahan
Abad pertengahan muncul setelah romawi jatuh pada abad ke-5 SM. Masa ini ditandai dengan
kejayaan agama Kristen di Eropa, sehingga pemikiran hukum alam pada zaman kuno mengalami
perubahan motivasi. Pada abad pertengahan ini, muncul tentang pemikiran adanya hukum abadi
yang berasal dari rasio Tuhan, yang disebut lex aeterna. Melalui lex aeterna ini tuhan membuat
rencananya terhadap alam semesta ini. Selanjutnya, pada hukum abadi dari tuhan ini
mengejawantahkan pula dalam diri manusia, sehingga manusia dapat merasakan, misalnya, apa
yang disebut keadilan itu. Inilah yang disebut dengan hukum alam. Pada tingkat lebih lanjut,
dibedakan pula adanya hukum positif, yang dibentuk oleh penguasa. Sampai di sini, kemudian
muncul persoalan tentang dasar kekuatan mengikat dari hukum positif itu. Permasalahan ini dapat
dikatakan sebagai pertanyaan abadi dalam sejarah filsafat hukum. Augustinus sendiri, menurut
Huijubers, memberikan pandangan yang kurang jelas. Kadang – kadang dikatakannya bahwa
hukum itu harus berdasarkan hukum alam. Kadang – kadang dikatakan juga bahwa hukum
bergantung pada pengesahan negara.
Hubungan antara penguasa negara dengan gereja juga menjadi isu hangat pada abad pertengahan
ini. Hal ini juga tampak takala muncul dua aliran filsafat masa Skolasti, yaitu via antiqua dan via
moderna. Aliran pertama dapat dikatakan berpihak pada gereja. Di abad kegelapan filsafat ini,
hanya yang berhasil memadukan filsafat dan agamalah yang berhasil bertahan dan diakui
ajarannya. Dan filsuf tersebut salah satunya adalah Thomas Aquinas dengan teorinya yang paling
terkenal; lima argumentasi pembuktian kebaradaan Tuhan.
Zaman Abad Modern
Berawal dari abad 16 hingga abad ke 19. Filsafat Abad Modern didahului oleh pergerakan filsuf
yang menentang dominasi gereja pada pertengahan abad ke 16. Lahirlah gerakanRenaissance di
Prancis dan Italia, Enlightment di Inggris dan Aufklarung di Jerman. Intinya, Eropa berada pada
zaman pencerahan. Filsafat kemudian memisahkan diri dari kungkungan agama versi gereja. Di
sinilah berawal istilah sekularisasi atau pemisahan kewenangan antara keilmuan atau sains
(materi) dan agama (nonmateri). Sekularisme inilah yang membawa filsafat barat pada
perkembangan dan penyebaran yang sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya lahir filsuf-
filsuf baru pada zaman ini diantaranya; Francis Bacon, Thomas Hobbes, Rene de Cartes,
Immanuel Kant, John Locke, Baruch Spinoza, Soren Kierkegaard, Auguste Comte, Karl Marx,
Nietzsche dan masih banyak lagi.
Zaman Sekarang
Di mulai sejak abad ke 20 hingga sekarang ini (abad 21). Filusuf pada zaman ini melahirkan
paham-paham baru, diantaranya Fenomenologi, Filsafat perempuan atau Feminisme, filsafat
hidup atau eksistensialisme dan paham-paham lainnya. Pada abad ini pula, para filsuf kemudian
mengkhususkan diri pada obyek kajian filsafat tertentu. Di sisi lain, para filsuf tersebut
mengumumkan atau mengeneralisasi gerakan mereka ke dalam bentuk komunitas tertentu.
Perbedaan paling mencolok pada filsafat zaman kita ini adalah banyaknya beredar jurnal filsafat
(kumpulan beberapa tulisan oleh penulis berbeda). Para filsuf zaman ini di antaranya; Edmun
Husserls, Henri Bergson, Ernst Cassirer, Bertrand Russell, Thomas Kuhn, Martin Heidegger, Jean
Paul Sartre, Jurgen Habermas dan lainnya.
E. KETERKAITAN FILSAFAT TIMUR DAN BARAT DENGAN KEDUDUKAN PANCASILA
SEBAGAI FILOSOFI BANGSA INDONESIA
Gagasan pancasila yang diutarakan oleh Soekarno, menawarkan Pancasila sebagai filosofi dasar, atau
jiwa dari Indonesia merdeka. Teks yang dijadikan rujukan merupakan naskah pidato Soekarno yang
ditemukan pada 1 Juni 1945. Pancasila adalah filsafat negara yang lahir dari cita – cita bersama seluruh
bangsa Indonesia. Pancasila dikatakan sebagai filsafat karena hasil perenungan jiwa yang mendalam yang
dilakukan oleh parapendahulu kita, yang kemudian dituangkan dalam suatu sistem yang tepat.
Notonagoro berpendapat bahwa Filsafat Pancasila ini memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah
yaitu tentang hakikat Pancasila.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia merupakan suatu
nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental dan menyeluruh. Dasar pemikiran filosofis terkandung
dalam setiap sila, karena mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan,
bermasyarakat, dan bernegara harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan dan Keadilan.
Jika dilihat dari tempat, filsafat yang terkandung dalam Pancasila merupakan filsafat timur. Hal ini
dikuatkan dengan ada banyak nilai filsafat timur yang termuat dalam pancasila, misalnya soal pengakuan
akan adanya tuhan, kerakyatan, keadilan yang diidentikan dengan paham ratu adil dan seterusnya. Akan
tetapi pancasila juga memuat paham – pahan filsafat barat, seperti demokrasi, kemanusiaan dan
seterusnya. Dalam filsafat Pancasila juga tunduk kepada formulasi barat yang sudah mapan sejak dulu.
Pancasila juga memuat dimensi metafisis (ontologis), epistemologis dan aksiologis.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Filsafat Yunani Klasikbermula pada abad ke 6 SM hingga abad ke 5 SM atau sekitar500 – 600
tahun sebelum lahirnya Yesus Kristus di dunia ini. Sebelum trio filsuf Yunani yang paling terkenal
(Socrates, Plato, dan Aristoteles), telah ada filsuf alam Yunani yang terkenal, yaitu Thales,
Anaximandros, dan Anaximenes.
2. Filsafat Abad Pertengahanbermula pada abad ke 4 sampai abad ke 15. Filsafat Baratpada pasca
kelahiran Yesus Kristus ini ditandai dengan berpadunya filsafat dan agama. Filsafat pada abad – abad ini
juga disebut sebagai abad kegelapan filsafat. Filsafat Barat mengalami stagnansi atau keterhambatan.
3. Filsafat Abad Modernberawal dari abad ke 16 hingga abad ke 19. Filsafat AbadModern didahului
oleh pergerakan filsufyang menentang dominasi gereja pada pertengahan abad ke 16. Lahirlah gerakan
Renaissance di Perancis dan Italia, Enlightment di Inggris, dan Aufklarung di Jerman. Intinya, Eropa
berada pada zaman pencerahan. Filsafat kemudian memisahkan diri dari kungkungan agama versi gereja.
Disini lah berawal istilah sekularisasi atau pemisahan kewenangan antara keilmuan atau sains (materi)
dan agama (non materi).
4. Filsafat Kontemporer dimulai sejak abad ke 20 hingga abad ke 21 (sekarang). Filsuf pada zaman ini
melahirkan paham – paham baru, diantaranya yaitu Fenomenologi, filsafat perempuan atau Feminisme,
filsafat hidup atau eksistensialisme, dan lainnya. Pada abad ini pula, para filsuf kemudian mengkhususkan
diri pada obyek kajian filsafat tertentu.
5. Filsafat India mengusung keyakinan akan kesatuan fundamental antara manusia (individu) dengan
alam (kosmos). Dengan demikian, tidaklah mustahil jika filsafat India bisa menjadi solusi bagi krisis
spiritual dan alam saat ini. Menurut filsafat India, harmoni yang terjalin akan mengantarkan seseorang
menjadi waskita (arif bijaksana) terhadap hidup. Tidak terasing dari kehidupan dunia (alam semesta) dan
mampu beramah-tamah dengan semua benda di sekelilingnya. Bagaikan bersahabat dengan gemericiknya
air, kesuburan tanah yang menumbuhkan segalanya, dan sinar matahari yang menghangatkan semesta
raya.
6. Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk
memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan fundamental
sekelompok orang. kedua, filsafat sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang
sebagai sesuatu yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah
tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asali, dan penghargaan yang wajar atas berbagai masalah
kehidupan, entah secara individu ataupun sosial. ketiga adalah lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis
sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok orang/masyarakat (Fung
Yu-Lian,2007:5) .
7. Filsafat Islam digolongkan ke dalam filsafat timur karena lebih dominan sifatnya yang menunjukkan
idealisme seperti umumnya filsafat-filsafat yang muncul di dunia timur, seperti Cina dan India. Filsafat
timur ini yang memiliki aliran idealisme utamanya bercirikan bersifat spiritual, esensinya adalah dengan
berfikir.