Anda di halaman 1dari 34

MODUL 4

KELAINAN KORTEKS ANDRENAL

SKENARIO 4

Lutut Lemah
Tn S 27 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utama kelemahan pada kedua
tungkai yang dialami sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien dalam keadaan
sadar, tidak ada kelemahan pada satu sisi tubuh, sakit kepala, atau kejang sebelumnya. Pasien
memiliki riwayat menderita hipertensi sejak tahun 2013, serta mengonsumsi candesartan 1 x
16 mg dan spironolakton 1 x 25 mg. Pasien juga memiliki riwayat mengalami kelumpuhan
pada kedua tungkai enam bulan yang lalu, serta riwayat sering masuk rumah sakit dan
dirawat dengan hipokalemia berulang sejak dua tahun terakhir. Pasien rutin mengonsumsi K
L-aspartate 300 mg 2 x 1 tablet. Pada pemeriksaan fisis, tampak pasien sakit sedang, gizi
cukup, dan sadar. Tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 90 kali/menit, dan pernapasan 20 kali/
menit. Pada pemeriksaan neurologi tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukosit 15.700 u/L; hemoglobin 14,9 g/dL; trombosit 368.000 u/L;
ureum 41 mg/dl; kreatinin 1,0 mg/dl; natrium 146; kalium 1,1; klorida 102; natrium urin 190
mmol/24 jam; kalium urin 27 mmol/24 jam; serta klorida urin 200 mmol/24 jam. Gambaran
EKG menunjukkan sinus ritme dengan hipertrofi ventrikel kiri. Pada pemeriksaan MRI
abdomen didapatkan gambaran tumor adrenal kiri berukuran 1,7 x 1,5 cm.
Bagaimana Anda menjelaskan kasus diatas?

JUMP 1
1. Candesartan: golongan obat penghambat reseptor angiotensin II / ARB untuk
menurunkan tekanan darah atau hipertensi
2. Spironolacton : golongan obat diuretik yang bekerja menghambat absorbsi garam,
tetapi tetap menjaga kadar kalium dalam darah agar tetap normal.
3. K L-aspartat : suatu kandungan dari obat Aspar K, didalamnya terdapat bahan aktif
yang biasa digunakan untuk menjaga volume cairan tubuh, serta asam basa dan juga
elektrolit.

JUMP 2 & 3
1. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisis & lab pada Tn.S?
TD: 180/100 mmHg: hipertensi derajat 2
Nadi: 90x/menit: normal:60-100x/menit
Pernafasan:20x/menit: normal:16-20x/menit

* pemeriksaan laboratorium
Leukosit:15.700 u/l: Nilai normal : 3200 – 10.000/mm3: leukositosis
Hemoglobin:14,9 g/dl:normal: Nilai normal : Pria : 13 - 18 g/dL ,Wanita: 12 - 16 g/dL
Trombosit:368.000 u/L:normal: Nilai normal : 170 – 380. 103/mm3
Ureum:41 mg/dl: normal: nilai normal ureum 10 – 50 mg/dl
Kreatinin:1,0 mg/dl: normal: nilai normal kreatinin < 1,5 mg/dl
Natrium:146: normal: nilai normal:135-145 mEq/l
Kalium:1,1: hipokalemia: nilai normal:3,5-5,3 mEq/l
Klorida:102: normal: nilai normal:100-106 mEq/l
Natrium urin:190 mmol/24 jam: normal: nilai normal:40-220 mmol/24 jam
Kalium urin:27 mmol/24 jam: normal: nilai normal:25-125 mmol/24 jam

2. Apakah terdapat Efek dari Konsumsi Obat Candesartan dan Spironolakton


dengan kondisi tubuh Tn.S yang mengalami Kelemahan pada kedua tungkai
kakinya ?
Tn.S Mengkonsumsi Candesartan sudah tentunya menimbulkan Efek samping
di antaranya adalah menyebabkan bengkak yang dapat di temukan pada kedua tungkai
ini dapat di sebabkan karna kadar kalium yang tinggi terkandung pada Candesartan
ini,kemudian Sprironolakton ini mempunyai efek samping yang dapat menyebabkan
dan menimbulkan kram pada kaki dan berdampak dengan terjadinya kelemahan pada
kedua ekstremitas tungkai kaki pada Tn.S Tersebut.

3. Adakah hubungan hipertensi dengan penyakit yang diderita tuan S sekarang ?


Ada, karena pada peningkatan hormone kortisol sendiri terjadi dua mekanisme
yang berhubungan dengan hipertesi yaitu:
1.tubuh akan memperkuat efek katekolamin pada pembuluh darah
2.kortisol mulai bereaksi silang dengan rseptor mineralkortikoid yang biasanya hanya
mengikat hormone steroid yang berikatan-mineralocorticoids yang diekresikan dari
zona glomerulosa lapisan korteks adrenal,dengan kata lain karena kortisol yang secara
structural mirip dengan mineralkortikoid dapat mengikat reseptor itu dan itu dapat
memicu mineralokortikoid efek yang utama meningkatkan tekanan darah dengan
menahan cairan.

4. Apa diagnosa dan diagnosa banding dari kasus Tn.S?


Dx: Hiperaldosteronisme primer/ Conn’s Syndrome type APA
DD:

5. Kenapa pada px EKG dan px MRI abdomen didapatkan hasil seperti pada
skenario tsb ?
Pada px EKG : Kita ketahui pada skenario bahwa Tn. S mengalami hipertensi yang
tidak terkendali. Dimana LVH akibat dari menurunnya jumlah darah yang mengalir
dari ventrikel kiri ke aorta sehingga kondisi ini akan memicu ventrikel kiri untuk
bekerja lebih keras agar dapat menyediakan pasokan darah ke seluruh tubuh.
Pada px MRI : didapatkan tumor yang hanya terdapat di salah satu bagian, tidak di
keduanya, dimana itu menunjukan bahwa terdapat tumor dengan type adenoma
(Aldosteron Producing Adenoma/APA).

6. Kenapa Tn. S bisa mengalami hipokalemia?


Sel kelenjar adrenal yang mengalami adenoma akan menghasilkan hormon
aldosteron secara berlebihan. Hal ini akan merangsang penambahan jumlah kanal natrium
yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari duktus kolektikus bagian korteks
ginjal, sehingga terjadi reabsorbsi natrium. Absorbsi natrium juga membawa air, sehingga
tubuh menjadi cenderung hipervolemia. Lumen duktus kolektikus akan menjadi
bermuatan lebih negatif, sehingga ion kalium keluar dari sel duktus kolektikus masuk ke
dalam lumen tubuli. Peningkatan ekskresi kalium di urin ini mengakibatkan kadar kalium
darah menjadi berkurang.

Penyebab lain:

a. Mengkonsumsi obat yang dapat menyebabkan hipokalemia


b. Kehilangan cairan tubuh akibat muntah yang berlebihan, diare dan
berkeringat.
c. Terjadinya peningkatan hormon aldosteron yang mengatur kadar
pontasium
d. Disfungsi ginjal, seperti Asidosis Tubular Ginjal

7. Bagaimana tata laksana pada kasus Tn.S?


Tujuan terapi hiperaldosteronisme primer :adalah menormalkan tekanan darah,
serum kalium, dan kadar serum aldosteron.
Pasien dengan hiperaldosteronisme primer unilateral ditata laksana dengan
adrenalektomi unilateral. Untuk pasien dengan hiperaldosteronisme primer bilateral,
pilihan pertama terapinya yaitu dengan pemberian antagonis mineralokortikoid. Total
adrenalektomi unilateral adalah pilihan terapi pada APA dan PAH. Pada APA,
keadaan hipokalemia cepat terkoreksi setelah dilakukan adrenalektomi.
Adrenalektomi pada adenoma adrenal akan menormalkan kadar aldosteron
plasma serta menormalkan tekanan darah tanpa membutuhkan spironolakton,
suplementasi kalium, atau obat antihipertensi yang lain.
Penatalaksanaan hiperaldosteronisme primer pada pasien ini mengarah kepada
terapi medikamentosa dengan antagonis mineralokortikoid, yaitu dengan pemberian
spironolakton. Selain itu, diberikan pula suplementasi kalium dan obat antihipertensi
lainnya, seperti captopril untuk mengontrol tekanan darah pasien dan menjaga kadar
kalium tetap normal sampai ditemukan dosis yang sesuai. Dengan demikian,
diharapkan tidak terjadi hipokalemia, serta tekanan darah tetap terkontrol. Setelah
pulang dari perawatan, pasien masih melakukan kontrol ke poliklinik dan tidak
ditemukan hipokalemia setelah pemberian spironolakton. Hasil ini semakin
menguatkan bahwa terapi medikamentosa saja sudah cukup untuk mengatasi kondisi
hiperaldosteronisme primer pada pasien tersebut.

JUMP 4

Kelainan korteks adrenal



Krisis adrenal -------- Cushing syndrome -------- Addison disease

Epidemiologi

Etiologi

Patofisiologi & patogenesis

Manifestasi klinis

Px lab & Px penunjang

Diagnosis & diagnosis banding

Tatalaksana

Komplikasi & prognosis

JUMP 5
Mahasiswa mampu menjelaskan :
1. Epidemiologi dan etiologi kelainan kelenjar adrenal dan kelenjar endokrin lainnya
2. Patofisiologi dan patagonesis kelainan kelenjar adrenal dan kelenjar endokrin lainnya

3. Manifestasi klinis dan pemeriksan fisik & penunjang kelainan kelenjar adrenal dan
kelenjar endokrin lainnya

4. Tatalaksana farmakologi dan nonfarmakologi pada pasien dengan kelainan kelenjar


adrenal dan kelenjar endokrin lainnya
5. Edukasi promotif dan preventif pada pasien dengan kelainan kelenjar adrenal dan
kelenjar endokrin lainnya

6. Prognosis dan komplikasi pada kelainan kelenjar adrenal dan kelenjar endokrin
lainnya

7. Tatalaksana Rujukan pada pasien denga kelainan kelenjar adrenal dan kelenjar
endokrin lainnya
1. Epidemiologi dan etiologi kelainan kelenjar adrenal dan kelenjar endokrin
lainnya

 Cushing Sindrome
Etiologi
1. Sindrom cushing disebabkan oleh sekresi kortisol atau kortikosteron yang
berlebihan, kelebihan stimulasi ACTH mengakibatkan hiperplasia korteks
anal ginjal berupa adenoma maupun carsinoma yang tidak tergantung ACTH
juga mengakibatkan sindrom cushing. Demikian juga hiperaktivitas hipofisis,
atau tumor lain yang mengeluarkan ACTH. Syindrom cuhsing yang
disebabkan tumor hipofisis disebut penyakit cusing.
2. Sindrom cusing dapat diakibatkan oleh pemberian glukortikoid jangka
panjang dalam dosis farmakologik (latrogen) atau oleh sekresi kortisol yang
berlebihan pada gangguan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (spontan) pada
sindrom cusing spontan, hiperfungsi korteks adrenal terjadi akibat ransangan
belebihan oleh ACTH atau sebab patologi adrenal yang mengakibatkan
produksi kortisol abnormal.
Epidemiologi
o Wanita : pria = 4:1
o Kebanyakan terjadi di dekade ke 3 hingga 4 kehidupan
o Jarang terjadi pada anak-anak
o Ditemukan 700.000-2.400.000 kasus/tahun

 Penyakit Addison
Etiologi
a. Proses autoimun

Penyakit Addison karena proses autoimun didapatkan pada 75% dari

penderita. Secara histologik tidak didapatkan 3 lapisan korteks adrenal,

tampak bercak-bercak fibrosis dan infiltrasi limfosit korteks adrenal. Pada

serum penderita didapatkan antibodi adrenal yang dapat diperiksa dengan

cara Coonstest, ANA test, sertaterdapat peningkatan imunoglobulin G.

b. Tuberkulosis (Penyebaran hematogen infeksi tuberculosis sistemik)

Kerusakan kelenjar Adrenal akibat tuberkulosis didapatkan pada 21% dari

penderita . Tampak daerah nekrosis yang dikelilingi oleh jaringan ikat dengan

serbukan sel-sel limfosit, kadang kadang dapat dijumpai tuberkel serta

kalsifikasi Seringkali didapatkan proses tuberkulosis yang aktif pada organ-


organ lain, misalnya tuberkulosis paru, tuberkulosis genito-urinari,

tuberkulosis vertebrata (Pott s disease), hati, limpa serta kelenjar limpa.

c. Infeksi lain

Penyebab kerusakan kelenjar adrenal karena infeksi yang lebih jarang ialah

karena : histoplasmosis, koksidioid omikosis, serta septikemi karena kuman

stafilokok atau meningokok yang sering menyebabkan perdarahan dan

nekrosis.

d. Bahan-bahan kimia

Obat-obatan yang dapat menyebabkan hipofungsi kelenjar adrenal dengan

menghalangi biosintesis yaitu metirapon; sedang yang membloking enzim

misalnya amfenon, amino- glutetimid dll.

e. Iskemia

Embolisasi dan trombosis dapat menyebabkan iskemia korteks adrenal,

walaupun hal ini jarang terjadi.

f. Infiltrasi

Hipofungsi korteks adrenal akibat infiltrasi misalnya metastasis tumor,

sarkoidosis, penyakit amiloid dan hemokromatosis.

g. Perdarahan

Perdarahan korteks adrenal dapat terjadi pada penderita yang mendapat

pengobatan dengan antikoagulan, pasca operasi tumor adrenal.

h. Lain-lain

Akibat pengobatan radiasi, adrenalektomi bilateral dan kelainan kongenital.

Epidemiologi
Penyakit Adison merupakan penyakit yang jarang terjadi di dunia. Di Amerika

Serikat tercatat 0,4 per 100.000 populasi. Frekuensi pada laki-laki dan wanita
hampir sama. laki-laki 56% dan wanita 44% penyakit Addison dapat dijumpai

pada semua umur, tetapi lebih banyak ter- dapat pada umur 30 – 50 tahun . 50%

pasien dengan penyakit addison, kerusakan korteks adrenalnya merupakan

manifestasi dari proses atoimun.

Di Amerika Serikat, penyakit addison terjadi pada 40-60 kasus per satu juta

penduduk.Secara global, penyakit addison jarang terjadi. Bahkan hanya negara-

negara tertentu yang memiliki data prevalensi dari penyakit ini.Prevalensi di

Inggris Raya adalah 39 kasus per satu juta populasi dan di Denmark mencapai 60

kasus per satu juta populasi.

Mortalitas/morbiditas terkait dengan penyakit addison biasanya karena kegagalan

atau keterlambatan dalam penegakkan diagnosis atau kegagalan untuk melakukan

terapi pengganti glukokortikoid dan mineralokortikoid yang adekuat.Jika tidak

tertangani dengan cepat, krisis addison akut dapat mengakibatkan kematian. Ini

mungkin terprovokasi baik secara de novo, seperti oleh perdarahan kelenjar

adrenal, maupun keadaan yang menjadi penyerta pada insufisiensi adenokortikal

kronis atau yang tidak terobati secara adekuat.

Penyakit addison predileksinya tidak berkaitan dengan ras tertentu. Sedangkan

penyakit addison idiopatik autoimun cenderung lebih sering pada wanita dan

anak-anak.Usia paling sering pada penderita addison disease adalah orang dewasa

antara 30-50 tahun. Tapi, penyakit ini tidak dapat timbul lebih awal pada pasien

dengan sindroma polyglanduler autoimun, congenital adrenal hyperplasia (CAH),

atau jika onset karena kelainan metabolisme rantai panjang asam lemak.
 Precocius Puberty
Etiologi
- Pubertas biasanya dipicu oleh hypothalamus (yaitu suatu area dalam otak yang
membantu mengontrol fungsi kelenjar pituitary) hypothalamus ini
memberikan sinyal pada kelenjar pituitary (yaitu kelenjar yang berukuran
kecil yang terletak pada dasar otak) untuk melepaskan hormone dan
memberikan stimulasi pada indung telur, ovari (pada anak perempuan) atau
testis (pada anak laki-laki) untuk menghasilkan hormon sex.
- Kadang, puber dini juga bisa dipicu oleh masalah struktural pada otak (seperti
tumor), luka pada otak karena pernah terjadi trauma (benturan dan lainnya
yang mengakibatkan luka di otak), infeksi (seperti meningitis) atau masalah
dalam indung telur (ovarium) atau kelenjar tiroid yang memicu pada mulainya
tanda-tanda pubertas lebih awal dibanding yang umumnya terjadi.
- Yang umumnya terjadi pada anak perempuan, bahwa puber dini tidak dipicu
oleh gangguan medis, mereka hanya memperlihatkan tanda-tanda pubertas
tanpa diketahui sebabnya. Akan tetapi hal ini tidak sering terjadi pada anak
laki-laki, dimana kasus puber dini pada anak laki-laki biasanya disertai karena
adanya masalah kesehatan.
- Sekitar 5% anak laki-laki, masalah puber dini adalah karena faktor keturunan.
Bisa jadi anak mengalami puber dini karena keturunan dari ayahnya atau dari
keturunan pihak ibu dari kakeknya (yang mana sang ibu tidak mengalami
kelainan puber dini). Akan tetapi pada anak perempuan kasus puber dini yang
di sebabkan karena keturunan hanya 1% dibandingkan dengan anak laki-laki.

 Phaeochromocytoma
Etiologi
 Banyak faktor yang dapat menyebabkan pheochromocytoma. Pada
kebanyakan kasus, yang paling berperan adalah faktor genetik dan
lingkungan. 25% dari pheochromocytomas karena faktor keluarga . Mutasi
gen VHL , RET, NF1, SDHB dan SDHD semua diketahui menyebabkan
pheochromocytoma keluarga /-adrenal paraganglioma ekstra.
Pheochromocytoma adalah tumor dari neoplasia endokrin multipel sindrom,
tipe IIA dan IIB (juga dikenal sebagai MEN IIA dan IIB MEN , masing-
masing). Komponen lainnya neoplasma sindrom yang mencakup paratiroid
adenoma, dan kanker tiroid meduler . Mutasi di autosomal RET proto-
onkogen drive keganasan ini. mutasi umun onkogen RET juga dapat
mencakup ginjal spons meduler.
 Pheochromocytoma terkait dengan MEN II dapat disebabkan oleh mutasi
onkogen RET. Kedua sindrom dicirikan oleh pheochromocytoma serta
kanker tiroid (karsinoma meduler tiroid). MEN IIA juga disebabkan oleh
hiperparatiroidisme, sedangkan MEN IIB juga disebabkan oleh neuroma
mukosa. Kesimpulannya bahwa Lincoln di sebabkan oleh MEN IIB, bukan
Sindrom Marfan seperti yang diduga sebelumnya, meskipun ini tidak pasti.
Pheochromocytoma juga berhubungan dengan neurofibromatosis.
 Phaeochromositoma juga bisa terjadi pada penderita penyakit von Hippel-
Lindau, dimana pembuluh darah tumbuh secara abnormal dan membentuk
tumor jinak (hemangioma); dan pada penderita penyakit von Recklinghausen
(neurofibromatosis, pertumbuhan tumor berdaging pada saraf). Penyakit ini
juga dapat timbul dan atau tanpa gejala.

 Hiperaldosteronisme Primer (Sindrom Conn)

Etiologi
 80% kasus adenoma penghasil aldosteron pada satu kelenjar adrenal
(sindrom conn)
 Pada sebagian besar kasus, adenoma berupa lesi soliter, kecil ( < 2 cm),
berkapsul dan kadang ditemukan multiple
 Berbeda dengan sindrom cushing, tumor pada hiperaldosteronisme
biasanya tidak menekan sekresi ACTH15% kasus hiperplasia adrenokorteks
primer bilateral (idiopatik)
 Sebagian besar kasus, korteks adrenal mengalami hiperplasia difus/ireguler
akibat proliferasi sel di zona glomerulosa.
Epidemiologi
 Paling sering terjadi pada wanita usia pertengahan akibat sekresi berlebih
aldosteron autonom menyebabkan penekanan sistem renin-angiotensin serta
penurunan aktivitas renin plasma
 Wanita : Pria = 2 : 1

2. Patofisiologi dan patagonesis kelainan kelenjar adrenal dan kelenjar


endokrin lainnya
1) Patofisiologi Cushing
Akibat aktivitas hormone yang berlebihan dari korteks adrenal mengakibatkan
peningkatan hormone lainnya, yaitu:
1. Kortisol Peningkatan kortisol menyebabkan :
 Glukoneogenesis meningkat menyebabkan hiperglikemia dimana pada
hiperglikemia menyebabkan keadaan insulin yang tinggi. y Lipolisis asam
lemak bebas dihati sehingga terjadi lipolisis. Pada cushing syndrome
terjadi distribusi jaringan lemak yang abnormal yang bersifat sentripental
sehingga menyebabkan penumpukkan lemak di muka (moonface) dan
punduk (buffalo hump).
 Pemecahan protein atau proteolisis yang menyebabkan pemecahan
protein perifer sehingga terjadinya osteoporosis, pada kulit penurunan
serat kolagen jaringan subkutan menyebabkan jaringan subkutan mudah
robek atau pecah ( strie ungu dan kemerahan ), pada otot terjadi
kelemahan otot karena proses pemecahan protein yang menyebabkan
badan lemas,akibat penurunan kolagen juga jaringan ikat sehingga
proliferasi dan pembentukan fibrin terganggu sehingga luka suli sembuh,
di pembuluh darah terjadi penurunan pemecahan protein structural yang
mengakibatkan dinding pembuluh darah lemah sehingga mudah lebam
dan ekismosis, juga mempengaruhi proses imun yang menurun sehingga
mudah terjadinya infeksi.
2. Aldosteron Peningkatan aldosteron menyebabkan :
 Peningkatan retensi Na+ sehingga terjadi hipernatremia dan peningkatan
eksresi K+ yang disebut hipokalemia sehingga terjadi gangguan pada
elektrolit.
 Sensitisasi sirkulasi terhadap ketokelamin yang menyebabkan
meningkatnya kontraktilitas jantung dab vasokontriksi perifer yang
menyebabkan hipertensi.
3. Androgen Peningkatan androgen menyebabkan :
 Merangsang sekresi minyak dari kelenjar sebasea yang menyebabkan
timbulnya jerawat.
 Maskulinisasi yang mengakibatkan hirtuism pada wanita.
 Umpan balik negative meningkat sehingga GnRH terhambat dan kadar
estrogen yang dihasilkan terganngu yang menyebabkan gangguan
menstruasi.

2) Patofisiologi Penyakit Addison

Hipofungsi adrenokortikal menghasilkan penurunan level

mineralokortikoid (aldosteron), glukokortikoid (cortisol), dan androgen.

Penurunan aldosteron menyebabkan kebanyakan cairan dan

ketidakseimbangan elektrolit.Secara normal, aldosteron mendorong

penyerapan Sodium (Na+) dan mengeluarkan potassium (K+). Penurunan

aldosteron menyebabkan peningkatan ekskresi sodium, sehingga hasil

dari rantai dari peristiwa tersebut antara lain: ekskresi air meningkat,

volume ekstraseluler menjadi habis (dehidrasi), hipotensi, penurunan

kardiak output, dan jantung menjadi mengecil sebagai hasil berkurangnya

beban kerja. Akhirnya, hipotensi menjadi memberat dan aktivitas

kardiovaskular melemah, mengawali kolaps sirkulasi, shock, dan

kematian. Meskipun tubuh mengeluarkan sodium berlebih, dan

menyebabkan penurunan natrium, mempertahankan kelebihan potassium

dan menyebabkan peningkatan kalium. Level potassium lebih dari 7

mEq/L hasil pada aritmia, memungkinkan terjadinya kardiak arrest.


Penurunan glukokortikoid menyebabkan meluasnya gangguan

metabolic.Ingat bahwa glukokortikoid memicu glukoneogenesis dan

memiliki efek anti-insulin.Sehingga, ketika glukokortikoid menurun,

glukoneogenesis menurun, sehingga hasilnya hipoglikemia dan

penurunan glikogen hati.Klien menjadi lemah, lelah, anorexia, penurunan

BB, mual, dan muntah.Gangguan emosional dapat terjadi, mulai dari

gejala neurosis ringan hingga depresi berat.Di samping itu, penurunan

glukokortikoid mengurangi resistensi terhadap stress.Pembedahan,

kehamilan, luka, infeksi, atau kehilangan garam karena diaphoresis

berlebih dapat menyebabkan krisi Addison (insufisiensi adrenal

akut).Akhirnya, penurunan kortisol menghasilkan kegagalan unruk

menghambat sekresi ACTH dari pituitary anterior.

MSH menstimulasi melanosit epidermal, yang menghasilkan melanin,

pigmen warna gelap.Penurunan sekresi ACTH menyebabkan peningkatan

pigmentasi kulit dan membrane mukosa.Sehingga klien dengan penyakit

Addison memiliki peningkatan level ACTH dan warna keperakan atau

kecokelatan pun muncul. Defisiensi androgen gagal untuk menghasilkan

beberapa macam gejala pada laki-laki karena testes meningkatan produksi

jumlah hormone seksual. Namun, pada perempuan tergantung pada

korteks adrenal untuk mensekresi androgen secara adekuat.Hormone-

hormon tersebut disekresi oleh korteks adrenal yang penting bagi

kehidupan. Orang dengan penyakit Addison yang tidak diobati akan

berakhir fatal.
Penyakit addison, atau insufisiensi adrenokortikal, terjadi bila fungsi

korteks adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan

hormon-hormon korteks adrenal. Atrofi otoimun atau idiopatik pada

kelenjar adrenal merupakan penyebab pada 75% kasus penyakit

Addison.Penyebab lainnya mencakup operasi pengangkatan kedua

kelenjar adrenal atau infeksi pada kedua kelenjar

tersebut.Tuberkolosis(TB) dan histoplamosis merupakan infeksi yang

paling sering ditemukan dan menyebabkan kerusakan pada kedua kelenjar

adrenal. Meskipun kerusakan adrenal akibat proses otoimun telah

menggantikan tuberkolosis sebagai penyebab penyakit Addison, namun

peningkatan insidens tuberkolosis yang terjadi akhir-akhir ini harus

mempertimbangkan pencantuman penyakit infeksi ini ke dalam daftar

diagnosis. Sekresi ACTH yang tidak adekuat dari kelenjar hipopisis juga

akan menimbulkan insufiensi adrenal akibat penurunan stimulasi korteks

adrenal.

Gejala Addison dapat pula terjadi akibat penghentian mendadak terapi

hormon adrenokortikal yang akan menekan respon normal tubuh terhadap

keadaan stres dan mengganggu mekanisme umpan balik normal. Terapi

dengan pemberian kortikosteroid setiap hari selama 2 hingga 4 minggu

dapat menekan fungsi korteks adrenal, oleh sebab itu kemungkinan

penyakit Addison harus diantifasi pada pasien yang mendapat pengobatan

kostikosteroid.(Wicaksono, 2013)

3) Patofisiologi Penyakit Phaeochromositoma


Phaeochromositoma suatu penyebab hipertensi sekunder yang jarang
terjadi atau sangat langka, merupakan tumor medullar adrenal atau tumor
rantai simpatis (paraganglioma) yang melepaskan katekolamin dalam
jumlah besar (epinefrin, norepinefrin, dan dopamine) secara terus-
menerus atau dengan jangka waktu. Feokromositoma menyerang 0.1%
hingga 0.5% penderita hipertensi dan dapat menyebabkan akibat yang
fatal bila tidak terdiagnosis atau diobati. phaeochkromositoma dapat
menyerang laki-laki dan perempuan dalam perbandingan yang sama dan
mempunyai insiden puncak antara usia 30 dan 50 tahun.
Sekitar 90% tumor ini berasal dari sel kromafin medulla adrenalis, dan
10% sisanya dari ekstra-adrenal yang terletak di area retroperitoneal
(organ Zuckerkandl), ganglion mesenterika dan seliaka, dan kandung
kemih. Pasien dengan neoplasia endokrin multiple (MEN II), telah
meningkatkan sekresi katekolamin dengan manifestasi klinis
phaeochromositoma akibat hyperplasia medulla adrenal bilateral.
Beberapa penderita memiliki penyakit keturunan yang disebut sindroma
endokrin multipel, yang menyebabkan mereka peka terhadap tumor dari
berbagai kelenjar endokrin (misalnya kelenjar tiroid, paratiroid dan
adrenal).

3. Manifestasi klinis dan pemeriksan fisik & penunjang kelainan kelenjar


adrenal dan kelenjar endokrin lainnya

1. Manifestasi Klinis Cushing Syndrom


1) Gejala hipersekresi kortisol (hiperkortisisme)
yaitu :
- Obesitas yang sentrifetal dan “moon face”.
- Kulit tipis sehingga muka tampak merah,
timbul strie dan ekimosi
- Otot-otot mengecil karena efek katabolisme
protein.
- Osteoporosis yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis.
- Aterosklerosis yang menimbulkan hipertensi.
- Diabetes melitus.
- Alkalosis, hipokalemia dan hipokloremia
2) Gejala hipersekresi ketosteroid :
- Hirsutisme ( wanita menyerupai laki-laki )
- Suara dalam.
- Timbul akne.
- Amenore atau impotensi
- Pembesaran klitoris.
- Otot-otot bertambah (maskuli nisasi)
3) Gejala hipersekresi aldosteron.
- Hipertensi
- Hipokalemia
- Hipernatremia
- Diabetes insipidus nefrogenik
- Edema (jarang)

2. Manifestasi Klinis Phaeochromositoma


- Takikardi
- Palpitasi jantung
- Sakit kepala
- Berat badan menurun, nafsu makan normal
- Pertumbuhan lambat
- Mual
- Muntah
- Sakit perut

3. Manifestasi Klinis Conn Syndrom


- hypokalemia
- hypernatremia
- hipertensi
- Rasa lemas,
- kesemutan,
- kram otot,
- periode lumpuh sementara,
- sangat haus
- sering berkemih.

4. Manifestasi Klinis Hiperaldosterinemia Sekunder


 Hipertensi esensial benigna disertai sakit kepala, jarang ditemui edema
 Hipokalemia (K < 3,0 mMol/L) tanpa suatu sebab yang jelas atau
karena muntah-muntah
 Kadang pasien mengalami symptom :
- Hypokalemia
- poliuria
- noktauria
- parestesia
- kelemahan otot
- hiporefleksi episodik atau paralis

5. Manifestasi Klinis Androgenital Syndrome


 Pertumbuhan rambut di wajah dan tubuh
 Kebotakan
 Jerawat
 Suara menjadi lebih berat
 Otot membesar.
 Pada wanita Rahim mengisut
 Klitoris membesar
 Payudara mengecil
 Siklus menstruasi berhenti.
 Pria dan wanita bisa mengalami peningkatan gairah seksual
6. Manifestasi Klinis Insufisiensi Adrenokorteks sekunder
 Gejala neurologik atau optalmologik.
 Hipotensi, lemah, fatique, anorexia
 Kehilangan berat badan, mual dan muntah.
 Eosinofilia dan anemia normositik umum terjadi
 Terkadang dapat disertai dengan hiperkalsemia

6. Manifestasi Klinis Insufisiensi Penyakit Addison


Menurut Elizabeth Corwin, 2009, Penyakit Addison ditandai oleh

a. Gejala yang berhubungan dengan kekurangan kortisol

korteks adrenal mempengaruhi insufisiensi kortisol yang menyebabkan hilangnya

glukoneogenesis, glikogen hati menurun akan berakibat: Lemah badan, cepat lelah,

anoreksia, mual, muntah, diare, hipoglikemi, hipertensi ortostatik ringan,

hiponatremi, eosinophilia.

b. Gejala yang berhubungan dengan kekurangan aldosterone

Defisiensi aldosteron dimanifestasikan dengan peningkatan kehilangan natrium

melalui ginjal dan peningkatan reabsorpsi kalium oleh ginjal kekurangan garam dapat

dikaitkan dengan kekurangan air dan volume sehingga mengakibatkan Hipertensi

ortostatik, hiperkalemia, hiponatremia

c. Gejala yang berhubungan dengan kekurangan androgen

Kehilangan bulu bulu axilla dan pubis

d. Gejala yang berhubungan dengan kelebihan ACTH

Insufisiensi kortisol mengakibatkan ACTH dan sehingga merangsang sekresi

melanin meningkat sehingga timbul MSH hiperpigmentasikortikotropin juga

merangsang produksi melanin, sehingga pada kulit dan mukosa penderita

sering terbentuk pigmentasi yang gelap (hiperpigmentasi). Kulit yang lebih

gelap mungkin nampak seperti akibat sinar matahari, tetapi terdapat pada area

yang tidak merata.Hiperpigmentasi paling jelas terlihat pada jaringan parut


kulit, lipatan-lipatan kulit, tempat-tempat yang sering mendapat penekanan,

seperti siku, lutut, ibu jari, bibir, dan membran mukosa.

1. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Penyakit Addison


Pemeriksaan penunjang
- Pemerisaan laboratorium
1) Penurunan konsentrasi glukosa darah dan natrium (hipoglikemia dan
hiponatremia)
2) Peningkatan kosentrasi kalium serum (hiperkalemia)
3) Peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis)
4) Penurunan kadar kortisol serum
5) Kadar kortisol plasma rendah
- Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukan adanya kalsifikasi diadrenal
- CT Scan
Detektor kalsifikasi adrenal dan pembesaran adrenal yang sensitive hubungannya
dengan insufisiensi pada tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltratif malignan
dan non malignan, dan haemoragik adrenal
- Gambaran EKG
Tegangan rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal
sekunder akibat adanya abnormalitas elektrolit.

1. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Hiperaldosteronisme Sekunder


 Diagnosis didasarkan pada pengukuran peningkatan kadar aldosteron dalam
plasma dan urin serta pengukuran renin plasma.
 Renin plasma akan rendah pada hiperaldosteronisme primer tetapi tinggi pada
hiperaldosteronisme sekunder
 CT scan dan photoscanning inti  menemukan dan melokalisasi lesi adrenal
pada pasien hiperaldosteronisme primer

1. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Cushing Syndrom

1. Pemeriksaan kadar kortisol plasma


Dalam keadaan normal kadar kortisol plasma sesuai dengan irama sirkadian
atau periode diurnal, yaitu pada pagi hari kadar kortisol plasma mencapai 5 –
25 Ug/dl (140 – 160 mmol/l) dan pada malam hari akan menurun menjadi
kurang dari 50%. Bila pada malam hari kadarnya tidak menurun atau tetap
berarti irama sirkadian sudah tidak ada. Dengan demikian sindrom Cushing
sudah dapat ditegakkan. Namun pemeriksaan ini tidak dapat digunakan pada
anak berusia kurang dari 3 tahun sebab irama sirkadian belum dapat
ditentukan pada usia kurang dari 3 tahun.

2. Pemeriksaan kadar kortisol bebas atau 17-hidroksikortikosteroid dalam urin


24 jam Pada sindrom Cushing kadar kortisol bebas dan 17-
hidroksikortikosteroid dalam urin 24 jam meningkat.
3. Tes supresi adrenal (tes supresi deksametason dosis tunggal) Deksametason
0,3 mg/m2 diberikan per oral pada pukul 23.00, kemudian pada pukul 08.00
esok harinya kadar kortisol plasma diperiksa. Bila kadar kortisol plasma <5
Ug/dl maka telah terjadi penekanan terhadap sekresi kortisol plasma dan
kesimpulannya normal. Pada sindrom Cushing kadar kortisol plasma >5
Ug/dl.

Langkah kedua dalam pemeriksaan ini adalah menelusuri kemungkinan


penyebabnya. Banyak macam pemeriksaan yang dapat digunakan, dan di
bawah ini merupakan salah satu rangkaian pemeriksaan yang bisa dipakai.

1. Pemeriksaan supresi deksametason dosis tinggi Pemeriksaan ini ditujukan


untuk membedakan sindrom Cushing yang disebabkan oleh kelainan hipofisis
atau nonhipofisis. Deksametason per oral diberikan dengan dosis 20 mg/kg
setiap 6 jam selama 2 hari berturut-turut. Kemudian diperiksa kadar kortisol
plasma, kadar kortisol bebas, dan kadar 17-hidrosikortikosteroid dalam urin 24
jam. Bila kadar kortisol plasma <7 Ug/dl, dan kadar kortisol bebas serta kadar
17-hidroksikortikosteroid menurun sampai di bawah 50% maka telah terjadi
penekanan dan berarti terdapat kelainan pada hipofisis.

2. Pemeriksaan kadar ACTH plasma Pemeriksaan ini menggunakan alat yang


dikenal sebagai immunoradiometric assay (IRMA). Pemeriksaan ini ditujukan
untuk membedakan sindrom Cushing yang tergantung ACTH dengan yang
tidak tergantung ACTH. Bila kadar ACTH plasma <5 pg/ml maka
penyebabnya adalah tipe tidak tergantung ACTH. Bila kadar ACTH plasma
>10 pg/ml, maka penyebabnya adalah tipe tergantung ACTH.

3. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Androgenital Syndrom


 Pemeriksaan kadar steroid androgenik dalam urin
 Jika kadarnya tinggi pemeriksaan penekanan deksametason untuk membantu
menentukan penyebabnya, apakah suatu kanker, tumor jinak (adenoma) atau
pembesaran korteks adrenal (hiperplasia adrenal)
 scan atau MRI gambaran mengenai kelenjar adrenal
4. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Insufisiensi Adrenokorteks
sekunder
 Pemeriksaan hormon basal
 Tes autoantibodi adrenal
 Tes stimulasi kortikotropin
 Tes yang melibatkan hipoglikemia yang diinduksi insulin
 Tes metirapon
 Tes corticotropin releasing hormone (CRH)

5. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Feokromositoma


 Pemeriksaan Laboratorium: meningkatnya ekskresi katekolamin bebas dan
metabolitnya, seperti asam vanililmandelat dan metanefrin di urin
 Feokromositoma jinak diterapi dengan eksisi bedah, setelah pemberian obat
penghambat andregenik pra- dan intra-operasi

6. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Krisis Adrenal


 Pemeriksaan Fisik
- Hiperpigmentasi dapat ditemukan, terutama pada bagian yang sering
terpapar sinar matahari atau gesekan atau tekanan
- Takikardia, hipotensi ortostatik (disebabkan oleh deplesi cairan dan
sodium)
- Mual, muntah, nyeri perut atau punggung bawah
- Hipertermia atau hipotermia
 Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
- Hitung darah rutin (Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)
- Serum elektrolit
- Level BUN (Blood Urea Nitrogen)
- Kreatinin
- Jumlah kortisol/ACTH
- Serum kalsium
- Fungsi tiroid

 Pencitraan
- Foto X-ray dada
- Foto CT scan:
o Kepala – dapat terlihat kelainan pada pituitari (empty sella
syndrome) atau massa pituitari pada krisis atau insufisiensi
adrenal sekundero
o Abdomen – dapat terlihat kelainan pada kelenjar adrenal,
kalsifikasi adrenal (pada kasus tuberkulosis), atau metastasis
 Lain-lain
- Tes stimulasi ACTH:
- Catatan: dalam keadaan gawat darurat, jangan tunda
penanganandengan asumsi insufisiensi adrenal. Penanganan dengan
deksametasontidak mengganggu tes stimulasi ACTH ataupun
pengukuran levelkortisol serumo Tentukan nilai dasar serum
kortisol dan ACT
- Berikan 0.25 mg kosintropin (ACTH sintesis) secara intravenus
atauintramuskularo Hitung level kortisol setiap 30 menit setelah
pemberian kosintropino Respons normal ditandai ketika level
kortisol mencapai 18 mg/dLsetelah pemberian ACTH
- Pada insufisiensi adrenal, level kortisol serum tidak dapat
meningkatwalaupun telah diberikan ACTH
- Tes rekam jantung/elektrokardiografio Dapat ditemukan
peningkatan gelombang T yang menunjukkanhiperkalemia
- Kortisol urin 24 jam
- Hanya dilakukan pada kondisi tidak gawat darurat

4. Tatalaksana farmakologi dan nonfarmakologi pada pasien dengan kelainan


kelenjar adrenal dan kelenjar endokrin lainnya

1) Tatalaksana Precocius Puberty


- Jika dokter anda mencurigai bahwa anak anda menunjukkan tanda-tanda
puber dini, dia mungkin akan menganjurkan anda untuk berkonsultasi pada
dokter endocrinologist (dokter dengan spesialisasi pada pertumbuhan anak
dan kelainan hormon pada anak) untuk evaluasi lebih lanjut sekaligus
terapinya.
- Setelah dilakukan diagnosa, terapi untuk anak dengan pertumbuhan puber
dini ini ditujukan untuk menghambat proses perkembangan seksual dan
untuk menghentikan pesatnya pertumbuhan tulang anak yang mungkin
nantinya pada usia dewasa anak akan menjadi lebih pendek tingginya
dibanding normalnya.
- Terapi puber dini tergantung pada sebab puber dini itu sendiri, dimana ada
dua pendekatan terapi untuk anak dengan diagnosa puber dini, antara lain:
1. Memberi terapi pada sebab dari puber dini itu sendiri, misalnya tumor.
2. Merendahkan tingginya level hormon sex dengan proses pengobatan yang
tujuannya untuk menghambat prosesperkembangan seksual yang terlalu
pesat.
- Pada beberapa kasus, terapi pada gangguan kesehatan penyebab puber dini
dapat menghentikan proses puber dini itu sendiri, akan tetapi pada
kebanyakan kasus, karena puber dini tidak dipicu oleh gangguan kesehatan,
terapi biasanya terdiri dari terapi hormon yang bertujuan untuk
menghentikan laju pesatnya perkembangan seksual.
- Pada saat ini terapi hormon yang diperbolehkan dalam bentuk obat
disebut LHRH analogs- yaitu hormon sintetik yang menghambat
pertumbuhan hormon sex pada tubuh, yang menjadi penyebab puber dini.
Hasil memuaskan biasanya muncul selama kurang lebih satu tahun setelah di
konsumsinya LHRH, yang mana umumnya aman dan tidak mengakibatkan
efek samping pada anak-anak.
- Pada anak perempuan, ukuran payudara akan mengecil, atau paling tidak
nantinya tidak akan berkembang secara pesat. Sementara pada anak laki-
laki, ukuran penis dan testis akan kembali pada umumnya anak seusianya.
Petumbuhan tinggi badan akan melambat para rata-rata pertumbuhan tinggi
badan anak pada umumnya dan perilaku anak biasanya menjadi seperti
anak-anak pada umumnya usia sebayanya.

2) Tatalaksana Phaeochromocytoma
Farmakologi

- Alpha-adrenergic blocking agents.- eg. Phentolamine (Regitine)


- Smooth muscle relaxants. eg. Na nitroprusside (Nipride)
Pada kehamilan

- Diagnosis dengan pemeriksaan urin 24 jam dan MRI


- Trimester 1 dan 2 (<24 minggu):
- Phenoxybenzamine + beta blocker
- Tumor direseksi ASAP laprascopically
- Trimester 3 :
Phenoxybenzamine + beta blocker
Ketika janin cukup besar: dilakukan secsio diikuti dengan reseksi tumor

3) Tatalaksana Testicular Feminization Syndrome

Jika testis ditemukan dalam abdomen maka ketika mencapai masa pubertas dn

pertumbuhan sudah lengkap, testis dapat diangkat karena dapat menyebabkan

kanker. Setelah itu dlakukan pelebaran vagina. Kemudian dilakukan

penggantian estrogen setelah masa pubertas dan dilakukan psikoterapi.

4) Tatalaksana Hiperaldosteronisme
- Adrenalektomi unilateral dibutuhkan untuk adenoma yang

memproduksi aldosteron.

- Diuretik penyerap kalium mengontrol hiperaldosteronisme

- Penanganan sebaiknya juga mengoreksi penyebab

(hiperaldosteronisme sekunder).

5) Tatalaksana Hipersekresi Aldosteron

1. Eksisi bedah

2. Aldosteron antagonis

a. Spironolakton

Sediaan dan Dosis

 Dalam bentuk tablet 25, 50, dan 100 mg.

 Dosis efektif sehari-hari 100 mg dalam dosis tunggal.

Farmakokinetik

Merupakan obat steroid sintetik yang bekerja sebagai antagonis dari

aldosteron. Mula dan lama kerja obat ini ditentukan oleh respon

aldosteron dijaringan target.

Farmakodinamik

Mengikat reseptor mineralokortikoid sitoplasma dan mencegah

translokasi reseptor kompleks terhadap inti di sel target.

6) Tatalaksana Hipersekresi Kortisol


1. Eksisi bedah
2. Penghambat sintetis dan antagonis glukokortoid
 Mitotan
Diberikan per oral dalam dosis 6-12 g/hari 3-4 kali. Menimbulkan efek
toksik yang cukup berat sehingga memerlukan pengurangan dosis.
 Amfenon B
Menghambat hidroksilasi pada posisi 11, 17 dan 21. Terlalu toksik

untuk digunakan pada manusia.

 Metirapon

Menghambat kerja enzim 11-beta-hidroksilase sehingga reaksi

berhenti pada pembentukan 11-desoksikortisol. Sediaan tersedia dalam

bentuk tablet oral 250 mg.

Pada dosis 250 mg 2x sehari ± 1 g 4x sehari, dapat mengurangi

produksi kortisol sampai kadar normal pada penderita tumor adrenal,

sindrom ACTH ektopik, dan hiperplasia.

 Aminoglutetimid

Menghambat konversi kolesterol menjadi pregnolon dan menyebabk an

suatu pengurangan dalam sintesis semua hormon steroid. Tersedia

dalam bentuk tablet oral 250 mg.

 Ketokonazol

 Menghambat pemecahan rantai kolesterol, C17, 21 liase, 3-

betahidroksisteroid dehidrogenase. Dosis 200-1200 mg/hari 3x sehari.

7) Tatalaksana Krisis Adrenal

Diberikan Glukokortikoid pengganti :

(1) Berikan kortisol (dalam bentuk hidrokortison fosfat atau homosuksinat),

100 mg IV setiap 6 jam selama 24 jam pertama (

(2) Bila keadaan pasien stabil, dosis dikurangi menjadi 50 mg setiap 6 jam

pada hari kedua

(3) Turunkan berangsur-angsur sampai sekitar 10 mg 3x sehari pada hari ke-

4 dan ke-5

Terapi Rumatan
(1) Kortisol 15-20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada pukul 4-5 sore (dengan

dosis total biasanya 25-30 mg / hari per oral)

(2) Glukokortikoid lain seperti kortisol asetat per oral (37, 5 mg / hari) yang

akan cepat diabsorpsi dan di konversi menjadi kortisol

(3) Fludrokortison 0,05-0,2 mg per oral di pagi hari

(4) Follow up untuk mempertahankan BB, TD dan elektrolit yang normal

disertai regresi gambaran klinis

(5) Mendidik pasien disertai dengan pemberian gelang atau kartu identifikasi

(6) Meningkatkan dosis kortisol selama terjadi stress

8) Tatalaksana Androgenital Sindrom

 Adenoma penghasil androgen dan kanker adrenal  mengangkat

kelenjar adrenal.

 Hiperplasia adrenal  sejumlah kecil kortikosteroid (misalnya

deksametason), mengurangi pembentukan steroid androgenik

(dosis >>  sindroma Cushing)

9) Talalaksana Penyakit Addison

Terapi Medis

 Kortikosteroid : dimulai dengan pemberian prednison per-oral

 Berat  kortisol intravena  tablet prednison

 Fludrokortison  membantu mengembalikan ekskresi natrium

dan kalium yang normal  diganti dengan prednison setiap hari

sepanjang hidup

Operasi
 Pasien ketidakcukupan adrenal yang kronis yang memerlukan operasi

dengan pembiusan umum dirawat dengan suntikan-suntikan

hydrocortisone dan saline (mulai pada malam hari sebelum operasi 

sadar dan mampu minum obat oral)

 Dosis disesuaikan -- dosis pemeliharaan yang diberikan sebelum operasi

tercapai.

Kehamilan

 terapi penggantian standar

 Jika mual dan muntah pada awal kehamilan menggangu pengobatan oral,

suntikan-suntikan hormon mungkin diperlukan

 Sewaktu melahirkan, perawatan adalah serupa pada yang dari pasien -

pasien yang memerlukan operasi

 setelah melahirkan  dosis dikurangi dan dosis pemeliharaan

Pendidikan Pasien

 Pasien harus memakai gelang tanda medis darurat

 Pasien harus diinstruksikan untuk memakai 2/3 x pengganti dosis steroid

dalam situasi stres (flu biasa atau pencabutan gigi)

 Pasien harus diinstruksikan untuk menghubungi dokter / ke bagian

gawat darurat dalam keadaan darurat

 Pasien harus diinstruksikan tentang cara memberikan suntikan IM diri.

Mereka harus diberi resep untuk parenteral hidrokortison untuk

digunakan pada saat-saat ketika asupan oral tidak mungkin dilakukan

atau ketika ditandai muntah atau diare terjadi. Tidak ada penyesuaian

perlu dibuat pada penggantian mineralokortikoid dosis dalam situasi

stres.
5. Edukasi promotif dan preventif pada pasien dengan kelainan kelenjar

adrenal dan kelenjar endokrin lainnya.

Saat ini banyak obat obatan yang beredar di masyarakat sehingga kita
harus lebih waspada karena banyak dari obat obatan tersebut digunakan tanpa
melihat efek samping yang di timbulkan. Salah satu obat yang paling banyak
penyalah gunaannya yaitu obat corticosteroid. Karena efek kebugarannya yang
di timbulkan maka obat ini banyak dari masyarakat yang mengkonsumsi obat
obatan ini secara bebas tanpa resep dokter. Di lain sisi obat ini sangat
berbahaya jika di konsumsi tanpa aturan yang jelas dan dapat mengakibatkan
timbulnya penyakit penyakit yang sebelumnya tidak pernah di temukan akibat
efeknya yaitu imunosupresan. Oleh karena ini sebaga tenaga medis kita perlu
memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak mengkonsumsi secara
bebas obat obatan ini sehingga dampat negative yang irreversible tidak
muncul. Terdapat tiga langkah yang dapat kita lakukan untuk mengontrol
penggunaan obat obatan ini yaitu :

a. Memberikan edukasi tentang dampak negatif penggunaan kortikosteroid

b. Membuat iklan layanan public bahaya penggunaan obat

c. Bekerja sama dengan pihak apoteker untuk mengontrol penjualan bebas


obat cortikosteroid

Penggunaan Obat Secara Rasional

Penggunaan Obat secara Rasional (POR) atau Rational Use of


Medicine (RUM) merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh
dunia, juga di Indonesia. Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi
Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai
dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan,
dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh
dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu
kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya
intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif.
Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang
bertolak belakang. Kondisi pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih dari
50% obat-obatan di dunia diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak
efektif, dan tidak efisien. Bertolak belakang dengan kondisi kedua yaitu
kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk dunia ternyata kesulitan
mendapatkan akses memperoleh obat esensial.

Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan


menggunakan Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1
Waspada tersebut adalah Tepat diagnosis, Tepat Pemilihan Obat, Tepat
Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis, Tepat cara dan lama pemberian, Tepat
harga, Tepat Informasi dan Waspada terhadap Efek Samping Obat. Beberapa
pustaka lain merumuskannya dalam bentuk 7 tepat tetapi penjabarannya tetap
sama. Melalui prinsip tersebut, tenaga kesehatan dapat menganalisis secara
sistematis proses penggunaan obat yang sedang berlangsung. Penggunaan obat
yang dapat dianalisis adalah penggunaan obat melalui bantuan tenaga
kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien.
Berikut ini adalah penjabaran dari Indikator Rasionalisasi Obat yaitu 8 Tepat
dan 1 Waspada:

1. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat.


Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan
karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis
penyakit pasien. Contohnya misalnya pasien diare yang disebabkan
Ameobiasis maka akan diberikan Metronidazol. Jika dalam proses penegakkan
diagnosisnya tidak dikemukakan penyebabnya adalah Amoebiasis, terapi tidak
akan menggunakan metronidazol.

Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja


dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien, Apoteker mempunyai peran
sebagai second opinion untuk pasien yang telah memiliki self-diagnosis.

2. Tepat pemilihan obat

Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat ya ng


tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi
dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, Obat juga harus
terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang
paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga
seharusnya jumlahnya seminimal mungkin.

3. Tepat indikasi

Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter.
Misalnya Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena
penyakit akibat bakteri.

4. Tepat pasien

Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu


yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan
ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita,
dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya Pemberian
obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan
meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari.

5. Tepat dosis

Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat
mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan
mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga
harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, bobot badan, maupun
kelainan tertentu.

6. Tepat cara dan lama pemberian

Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan


keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk
sediaan dan saat pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu
menelan tablet parasetamol dapat diganti dengan sirup.

Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai
karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan
kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi. Contohnya
penggunaan antibiotika Amoxicillin 500 mg dalam penggunaannya diberikan
tiga kali sehari selama 3-5 hari akan membunuh bakteri patogen yang ada.
Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama
pemberian harus tepat.

7. Tepat harga

Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama
sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat
membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian
antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia dan diare non spesifik yang
sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta dapat
menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.l

8. Tepat informasi

Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien
akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan.
Misalnya pada peresepan Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat
berubah menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak akan berhenti minum
obat walaupun urinnya berwarna merah.

9. Waspada efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak


diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Contohnya
Penggunaan Teofilin menyebabkan jantung berdebar.

Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada diharapkan dapat menjadi indikator untuk


menganalisis rasionalitas dalam penggunaan Obat. Kampanye POR
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja obat dan
mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga
terjangkau. POR juga dapat mencegah dampak penggunaan obat yang tidak
tepat sehingga menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan
kesehatan.

6. Prognosis dan komplikasi pada kelainan kelenjar adrenal dan kelenjar


endokrin lainnya

 Prognosis dan Komplikasi Penyakit Addison

 Prognosis

Sebelum terapi glukokortikoid dan mineralokortikoid

dilakukan, insufisiensi adrenokortikal primer akan fatal yang

akan menyebabkan dengankematian biasanya terjadi dalam 2

tahun setelah onset. Mereka yang bertahanhidup sekarang

tergantung pada penyebab insufisiensi adrenal. Pada pasien

yangmemiliki penyakit autoimun, kelangsungan hidupnya

dapat mencapai normal, dan sebagian besar pasien dapat

hidup secara normal. Secara umum, kematian dariinsufisiensi


adrenal terjadi hanya pada pasien yang didiagnosa menderita

penyakitisufisiensi adrenal namun tidak segera dilakukan

pengobatan (Alfin dkk, 2011)

 Komplikasi

- Krisis addisonian, atau ketidakcukupan adrenal yang akut

(fatal)

- Nyeri menembus yang tiba-tiba pada punggung bawah, perut,

atau kaki-kaki

- Muntah dan diare yang berat

- Dehidrasi

- Tekanan darah rendah

- Kehilangan kesadaran

 Prognosis dan Komplikasi Sindrom Cushing

 Prognosis

- Sindrom cushing yang tidak diobati akan fatal dalam beberapa tahun

oleh karena gangguan vaskuler dan sepsis

- 5-10% penderita yang kedua kelenjar adrenalnya telah diangkat 

sindroma Nelson

- Sindrom nelson : Kelenjar hipofisa membesar  kortikotropin dan

hormon lain (misalnya melanocyte-stimulating hormone 

mempergelap warna kulit)

- Tergantung pada efek jangka lama kelebihan kortisol sebelum

pengobatan (aterosklerosis & osteoporosis)


- Adenoma adrenal yang diobati dengan pembedahan: prognosis baik,

tidak ada kekambuhan

- Karsinoma adrenal memiliki prognosis jelek. Survival 5 tahun

sebesar 22 %

- Usia < 40 thn dan jauhnya metastasis berhubungan dengan

prognosis jelek

 Komplikasi

Komplikasi

- Osteoporosis

- Peningkatan kerentanan terhadap infeksi

- Hirsutism

- Diabetes mellitus

- Hipertensi

- Risiko krisis adrenal

- Panhypopituitarism

- Diabetes insipidus

 Prognosis dan Komplikasi Insufisiensi Adrenokorteks

Sekunder

 Komplikasi

- Hiponatremia yang muncul pada pasien insufisiensi adrenal

sekunder dapat mengancam nyawa

- Hiponatremia dapat mengakibatkan delirium, koma dan kejang.

7. Tatalaksana Rujukan pada pasien denga kelainan kelenjar adrenal dan kelenjar
endokrin lainnya
1. Penyakit Addison

Rujuk ke pelayanan social, konseling dan kelompok pendukung sesuai kebutuhan.


Pendektan secara komprehensif dapat membantu memenuhi kebutuhan pasien untuk
memelihara tingkahlaku koping.

Kolaborasi untuk melakukan rujukan ke ahli gizi. Mengawasi masukan kalori atau
kualitas kekurangan konsumsi makanan.

Rujuk pada system penyokong sesuai dengan kebutuhan seperti konseling,ahli


agama,dan pelayanan social. Terapi penyokong yang terus menerus mungkin
dimamfaatkan/dibutuhkan pasien atau orang terdekat jika krisis itu menimbulkan
perubahan gaya hidup pada pasien itu sendiri.

DAFFTAR PUSTAKA

Greenstein, ben.2010. at glance system endokrin. Jakarta: Erlangga

Isselbacher, Kurt J. 2000. Harrison : Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta : EGC

Kumar, R, et al. 2007. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC

Monica Ester, Skp. 2009. Klien Gangguan Endokrin : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta :
EGC

Price, Sylvia A.2001.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed 4 Buku


2.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai