Bab Ii

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Recurrent Aphthous Stomatitis

2.1.1 Pengertian

RAS juga dikenal dengan nama aphthae / canker sores / recurrent aphthous

ulcerations (RAU) (Scully 2012). RAS merupakan suatu peradangan jaringan

lunak mulut yang ditandai oleh ulkus yang rekuren tanpa disertai gejala penyakit

lain (Pindborg 2009). Secara klinis, RAS ditandai oleh ulser rekuren yang nyeri,

secara khas muncul pada mukosa vestibular dan bukal, lidah, langit-langit lunak,

fauces, dan dasar mulut (Regezi dkk. 2012). Ulkus rekuren berbentuk bulat atau

oval, memiliki batas jelas, lingkaran eritematosa, dan dasar kuning atau abu-abu

(Scully 2008). RAS mempengaruhi setidaknya 10% dari populasi dan prevalensi

tertinggi, hingga 25% berada di kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi. Recurrent

Aphthous Stomatitis merupakan penyakit yang menyerang berbagai kalangan usia,

baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun lansia dan sering timbul pada mukosa

mulut yang tidak berkeratin (Preeti dkk.2011).

2.1.2 Klasifikasi Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS)

RAS secara klinis dibagi menjadi tiga tipe, yaitu recurrent aphthous

stomatitis minor, mayor dan herpetiformis (Lewis & Lamey 1998).

8
9

a. Recurrent Aphthous Stomatitis Minor (RAS Minor)

RAS minor merupakan bentuk ulser rongga mulut yang sering

dijumpai. RAS minor memiliki persentase 80% dari kasus RAS (Cawson

& Odell 2008). Gambaran klinis tipe minor adalah ulser berbentuk bulat

kecil atau oval dengan diameter 2-4mm, dangkal dan dikelilingi oleh

pinggiran yang eritematus halo (Scully 2004). Ulserasi pada RAS minor

cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial,

mukosa bukal, dan dasar mulut. Ulserasi bisa tunggal atau merupakan

kelompok yang terdiri atas empat atau lima RAS minor (Lewis & Lamey

1998). Tipe minor sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan

jaringan parut (Cawson & Odell 2008).

Gambar 2.1 RAS minor.


(Neville dkk. 2002)

b. Recurrent Aphthous Stomatitis Mayor (RAS Mayor)


10

RAS mayor sebelumnya dianggap sebagai entitas yang terpisah dan

dikenal sebagai periadenitis mukosa nekrotik kambuh atau penyakit

Sutton (Regezi dkk. 2012). Jenis RAS ini terjadi sekitar 10-15% dari kasus

RAS. Ukuran ulkus dapat mencapai 1 cm atau lebih. Tempat terjadinya

RAS ini yang paling umum adalah pada bagian bibir dan langit-langit

lunak, tetapi dapat terjadi juga pada bagian mulut yang merupakan daerah

berkeratin. Mukosa pengunyahan seperti dorsum lidah atau gingiva

mungkin kadang-kadang terlibat. Durasi ulkus ini biasanya menetap

hingga 6 minggu dan sembuh dengan meninggalkan jaringan parut (Preeti

dkk. 2011). Terkadang ditemukan peningkatan laju sedimentasi eritrosit

atau viskositas plasma (Scully 2004).

Gambar 2.2 RAS mayor.


(Neville dkk. 2002)

c. Herpetiform Ulcer (HU)

Istilah “herpetiformis” digunakan karena bentuk klinis dari HU yang

dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu, mirip dengan

gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes tidak


11

mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi

aftosa. RAS ini berukuran kecil, ukurannya 2–3 mm. Lesi dapat bergabung

dan membentuk ulkus besar yang tidak beraturan. Durasi dari ulkus ini

biasanya berlangsung sekitar 10-14 hari. Tidak seperti ulkus herpes, ini

tidak didahului oleh vesikula dan tidak mengandung sel yang terinfeksi

virus (Preeti dkk. 2011).. HU lebih sering terjadi pada wanita

dibandingkan varian klinis RAS lainnya. Ditemukan pada kelompok umur

yang sedikit lebih tua daripada RAS lainnya (Scully 2004).

Gambar 2.3 Herpetiform ulcer.


(Laskaris 2006)

2.1.3 Etiologi

Faktor etiologi penyebab RAS belum diketahui dengan pasti, tetapi

ada beberapa faktor predisposisi yang sering dikaitkan dengan RAS, antara

lain trauma, genetik, perubahan hormon, stres, dan defisiensi nutrisi.

Demikian pula dengan ulkus traumatikus (UT) yang disebabkan oleh


12

trauma mekanis, sering ditemukan pada praktik sehari-hari (Preeti dkk.

2011). Faktor-faktor terjadinya RAS sebagai berikut :

a. Faktor genetik

Pada penelitian Jurge 2006 menunjukkan bahwa sebuah

kecenderungan genetik ditemukan, 20% dari pasien yang mengalami

RAS memiliki riwayat keluarga positif RAS. Faktor genetik dianggap

mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita

RAS. Faktor ini diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah

Human Leucocyte Antigen (HLA), namun beberapa ahli masih

menolak hal tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme

sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epithelium.

Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia

muda dan lebih berat dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat

keluarga RAS (Porter dkk. 1998). Scully dkk (2004) menemukan

bahwa kemungkinan RAS adalah 90% ketika kedua orang tua

terpengaruh, tetapi hanya 20% ketika tidak ada orang tua yang

memiliki RAS.

b. Hormon

Pada wanita, sering terjadinya RAS dimasa pra menstruasi bahkan

banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga

berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap

berperan penting adalah estrogen dan progesterone. Terjadinya RAS

selama fase luteus dari siklus haid serta hilangnya ulserasi pada
13

kehamilan telah ditemukan pada beberapa wanita (Lewis & Lamey

1998). Pada penelitian Soetiarto dkk. (2009) menunjukkan bahwa

rendahnya kadar progesteron dari normal beresiko tinggi terjadinya

RAS. Pada penderita RAS yang disebabkan kadar progesteron yang

rendah maka efek self limiting process berkurang, polimorphonuclear

leucocytes menurun, permeabilitas vaskuler menurun sehingga mudah

terbentuknya RAS yang muncul secara periodik sesuai siklus

menstruasi.

c. Stres

Menurut Hernawati (2013), faktor etiologi RAS sampai saat ini

belum diketahui, hanya ada beberapa faktor predisposisi, salah satu

faktor predisposisi adalah stres. Rasa terbakar adalah keluhan awal

diikuti dengan sakit hebat selama beberapa hari. Seringkali kelenjar

submandibular, servical anterior dan parotis terasa nyeri, terutama jika

ulkus tersebut terkena infeksi sekunder. Apthae, kambuhan dan pola

terjadinya bervariasi, ulkus bisa tunggal maupun kelompok.

RAS sering terjadi pada mahasiswa yang sedang ujian dan orang–

orang yang mempunyai pikiran berat, hal ini kemungkinan disebabkan

saat stres terjadi penurunan sistem imun dan menyebabkan destruksi

jaringan. Stres sebagai jalur untuk terjadinya penyakit, karena stres

dapat meregulasi fungsi neuroendokrin dalam sistem

psikoneuroimunologi. Stres dialami oleh hampir setiap orang, reaksi

setiap individu berbeda tergantung pada tipe kepribadian individu.

Penanggulangan stres yang tidak baik, akan dirasakan oleh susunan


14

saraf pusat (Hipotalamus) sebagai respons yang mengakibatkan

dikeluarkan Corticotropic Releasing Hormone (CRH) dan berjalan

kronis. Corticotropic Releasing Hormone (CRH) menstimulasi

kelenjar pituitari, mensekresi hormon adreno-kortikotropik (ACTH),

ACTH menstimulasi korteks adrenal mengeluarkan kortisol, kortisol

menurunkan fungsi imun termasuk SigA, IgG dan neutrofil. Akibatnya

mudah terjadi infeksi.

d. Defisiensi nutrisi

Defisiensi hematinik, yaitu zat besi, asam folat, vitamin B1, B2,

B6, B12 kemungkinan dua kali lebih berisiko terkena RAS

dibandingkan orang yang sehat. Sekitar 20% penderita RAS yang

mengalami defisiensi hematinik. Pada suatu penelitian di Jepang,

ditemukan hubungan RAS dengan menurunnya asupan makanan yang

mengandung zat besi dan vitamin B1. Defisiensi vitamin B1, B2, dan

B6 telah ditemukan pada 28% penderita RAS. Defisiensi vitamin

tersebut menyebabkan menurunnya kualitas mukosa sehingga bakteri

menjadi mudah melekat pada mukosa dan menurunnya sintesis protein

menyebabkan terhambatnya metabolisme sel (Putri 2015). Recurrent

Aphthous Stomatitis yang dikarenakan kekurangan vitamin C sangat

mungkin terjadi, karena bagi pasien yang kekurangan vitamin C dapat

mengakibatkan jaringan dimukosa mulut dan jaringan penghubung

antara gusi dan gigi mudah robek yang akhirnya mengakibatkan RAS.

Penyakit yang menjangkit ini biasanya dapat menyerang siapa saja dan
15

tidak mengenal umur maupun jenis kelamin, termasuk pada bayi yang

masih berusia 6-24 bulan (Mahmudah dkk. 2018).

e. Trauma

Trauma ke mulut adalah pemicu yang paling umum. Trauma

fisik, seperti yang disebabkan oleh abrasi sikat gigi, laserasi yang

tajam atau makanan kasar seperti roti panggang, keripik kentang atau

benda lain, tidak sengaja tergigit (yang umum dengan gigi taring),

setelah kehilangan gigi, atau kawat gigi dapat menyebabkan aphthous

ulcers dengan memecah membran mukosa (Sridhar dkk. 2013). Gigi

tiruan yang dipasang secara tidak tepat dapat mengiritasi dan melukai

jaringan yang ada di dalam rongga mulut. Banyak jenis makanan yang

dapat menggores atau melukai jaringan-jaringan yang ada di dalam

rongga mulut dan menyebabkan RAS seperti keripik dan benda

lainnya (Wardiningsih 2011). Komponen-komponen alat ortodonsi

cekat dapat menimbulkan iritasi dalam rongga mulut apalagi ketika

terjadi trauma. Luka yang terjadi akibat trauma dapat berkembang

menjadi ulkus RAS (Mintjelungan dkk. 2013). Trauma yang sering

dialami yaitu trauma karena terbentur sikat gigi saat menyikat gigi dan

tidak sengaja tergigit bagian tertentu dari mukosa mulut. Cedera yang

disebabkan mekanis dari mukosa mulut dapat menyebabkan ulserasi

pada orang rentan terhadap stomatitis aftosa rekuren (Widyastutik

2017).
16

f. Imunologis

Penelitian yang dilakukan Bazrafshani dkk (2002), terdapat

pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya RAS.

Menurut Martinez dkk (2007), pada RAS terdapat adanya hubungan

dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran saliva. Terdapat

karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita RAS. Para peneliti

telah membuktikan bahwa ada kelainan pada sistem humoral dan

selular pada pasien yang menderita RAS. Kedua sistem imun itu

memegang peranan penting dalam terjadinya RAS. Pada sistem imun

humoral yang banyak berperan adalah sistem antibody seperti IgA,

IgG dan IgM. Sedangkan pada sistem imun selular yang banyak

berperan adalah sel T, sel NK, sel TNF alfa dan sitokin. Menurut

penelitian yang paling banyak berperan dalam terjadinya RAS adalah

sistem imun selular. Hal ini terjadi karena sistem selular memegang

peranan penting dalam sistem imunitas di dalam tubuh walaupun

sistem imun humoral juga memiliki peranan dalam proses terjadinya

RAS (Haikal 2009).

g. Faktor mikroorganisme

Beberapa mikroorganisme memiliki peran penting dalam

pathogenesis terjadinyaRAS. Streptococusoral, Helicobacter pylori

dan virus merupakan beberapa contoh mikroorganisme yang dapat

menyebabkan RAS. Streptococus oral merupakan antigen yang dapat

menyebabkan lesi pada rongga mulut termasuk RAS. Helicobacter

pylori merupakan bakteri gram negatif yang kebanyakan berada pada


17

plak dan juga dapat menyebabkan lesi pada rongga mulut (Gohan

2014).

h. Faktor penyakit sistemik

RAS ditemukan pada penderita penyakit sistemik seperti

inflammatory bowl disease, chorn disease, HIV dan AIDS serta celiac

sprue. Celiac sprue atau sprue topical yang merupakan sindroma

malabsorpsi yang tidak diketahui penyebabnya, yang sering terjadi di

Asia dan Karibia. Penyakit ini berhubungan dengan kekurangan folat

dan malabsorbsi vitamin B12, lemak, dan nutrisi lainnya. Dengan

adanya kelainan malabsorbsi tersebut maka akan semakin memicu

terjadinya defisiensi nutrisi yang merupakan faktor predisposisi

timbulnya RAS (Ship 1996).

2.1.4 Fase perkembangan RAS

Perkembangan RAS dibagi menjadi 5 tahap yaitu tahan pertama adalah

sensasi rasa terbakar pada tempat dimana ulser akan muncul tetapi tidak

ada tanda-tanda klinis terlihat. Tahap kedua yaitu tahap pre-ulserasi, pada

tahap ini biasanya terdapat eritema dan sedikit edema, dan ketiga adalah

tahap ulseratif yang merupakan tahap pembentukan epitel yang rusak.

Tahap selanjutnya adalah tahap penyembuhan, dimana pada tahap ini

gejala pengurangan dan penyembuhan ulser terjadi secara cepat dan yang
18

terakhir adalah tahap remisi dimana pada tahap ini ulser hilang (Boras &

Savage 2007).

2.1.5 Diagnosis

Untuk dapat menegakkan diagnosis yang tepat dari RAS dapat dengan

cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Biasanya pada

anamnesis pasien merasakan sakit pada mulutnya, tempat ulser sering

berpindah-pindah dan biasanya kejadiannya selalu berulang. Pada

pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada mukosa mulut dengan

bentuk oval dengan lesi +1cm yang jumlahnya 2-6. Biasanya pasien dalam

keadaan demam ringan (Haikal 2009). Biopsi jarang diindikasikan dan

hanya diperlukan jika terdapat differential diagnosis (Scully 2008).

2.1.6 Perawatan

Sariawan dapat diobati dengan berbagai cara, baik secara tradisional

maupun modern. Secara medis obat sariawan yang sering digunakan

adalah anti histamin, steroid, anti jamur, antibakteri, dan vitamin C (Tyas

dkk. 2011). Kasus RAS yang ringan dapat menggunakan obat golongan

kortikosteroid yaitu triamcinolone acetonide dengan sediaan topikal

(Guallar dkk. 2014). Selain menggunakan obat berbahan kimia, RAS juga

dapat diobati dengan menggunakan obat tradisional salah satunya dengan

ekstrak daun binahong yang memiliki sifat antiinlamasi, antioksidan,

antibakteri dan analgesik (Prasiska 2017).

2.2 Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

2.2.1 Klasifikasi Tumbuhan Binahong


19

Binahong merupakan tumbuhan merambat dengan klasifikasi sebagai

berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)

Sub Kelas : Hamamelidae

Ordo : Caryophyllales

Familia : Basellaceae

Genus : Anredera

Spesies : Anredera cordifolia (Ten) Steenis (Mus 2008)

Gambar 2.4 Tanaman Binahong.

(Anonim 2008)

2.2.2 Deskripsi Tumbuhan Binahong

Tanaman binahong berasal dari Cina dan menyebar ke Asia Tenggara

(Umar 2012). Tanaman ini berasal dari dataran cina dengan nama asalnya
20

adalah dheng shanchi dan di negara inggris di sebut madeira vine

(Fitriyah 2013). Binahong merupakan tanaman menjalar bisa mencapai

lebih dari 6m. Batang lunak, silindris, saling membelit, berwarna merah,

bagian dalam solid, permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi

yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tidak beraturan dan bertekstur

kasar. Daun tunggal, bertangkai sangat pendek, tersusun berseling,

berwarna hijau, bentuk jantung, panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm, helaian

daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk, tepi rata, permukaan

licin. Bunga majemuk berbentuk tandan, bertangakai panjang, muncul di

ketiak daun, mahkota berwarna krem keputihan berjumlah 5, berbau

harum. Akar berbentuk rimpang, berdaging lunak (Anonim 2008).

2.2.3 Kandungan Daun Binahong

Binahong memiliki akar, umbi, batang, bunga, daun yang

mengandung senyawa aktif yaitu flavonoid, alkanoid, terpenoid dan

saponin (Rimporok dkk. 2015). Daun binahong mengandung flavonoid,

asam oleanolik, asam askorbat, alkaloid, saponin dan minyak atsiri.

Mekanisme anti inflamasi terjadi melalui efek penghambatan pada jalur

metabolisme asam arakhidonat. Hambatan pada jalur siklooksigenase akan

menyebabkan penurunan produksi prostaglandin sehingga akan

mengurangi permeabilitas vaskuler, vasodilatasi pembuluh darah, dan

aliran darah lokal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan kadar

sel radang neutrofil pada area radang. Sedangkan hambatan pada jalur

lipooksigenase akan berpengaruh terhadap produksi leukotrien yang

dikenal sebagai mediator aktivitas leukosit, berperan dalam menstimulasi


21

agregasi dan kemotaksis neutrofil. Oleh karena itu, penghambatan pada

produksi leukotrien dapat menekan proses inflamasi dengan mencegah

penumpukan neutrofil yang berlebihan (Susanti 2017). Flavonoid berguna

untuk melindungi struktur sel, antiinflamasi, analgesik (Syamsul dkk. 2014).

2.2.4 Manfaat Daun Binahong

Manfaat tanaman ini sangat besar dalam dunia pengobatan, secara

empiris binahong dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Bagian

tanaman binahong yang bermanfaat sebagai obat pada umumnya

adalah daun (Fitriyah 2013). Manfaat dari daun binahong yaitu :

a. Membantu Penyembuhan Luka

Daun binahong dapat mempercepat proses penyembuhan luka.

Pernyataan ini sesuai dengan penelitian Ariani dkk. (2013)

menyatakan bahwa penyembuhan luka yang diberi daun binahong

pembentukan jaringan granulasi lebih banyak dan reepitelisasi terjadi

lebih cepat. Zat flavonoid bertanggung jawab melalui mekanisme

antiinflamasi, penghambatan aktivitas radikal bebas, dan

meningkatkan kecepatan epitelisasi, kandungan asam askorbat

menunjang pembentukan kolagen, dimana segera setelah luka, paparan

kolagen fibriler ke darah akan menyebabkan agregasi dan aktivasi

trombosit dan melepaskan faktor-faktor kemotaksis yang memulai

proses penyembuhan luka

b. Menangkal Radikal Bebas


22

Daun binahong memiliki kandungan antioksidan yang tinggi

(Kurniasih dkk. 2015). Radikal bebas mampu mengganggu integritas,

struktur dan fungsi sel sehingga dibutuhkan antioksidan untuk

menetralisir dampak negatif dari radikal bebas tersebut (Mutiara dkk.

2015).

c. Terapi Acne Vulgaris

Menurut penelitian yang dilakukan Anwar dan Soleha (2016) daun

binahong dapat digunakan sebagai terapi nonfarmakologis dalam

menyembuhkan acne vulgaris. Daun binahong telah terbukti

mengandung flavonoid, akoloid dan antioksidan tinggi. Ekstrak etanol

daun binahong memiliki antioksidan total sebesar 4,25 mmol/100g

(segar) dan 3,68 mmol/100g (kering). Kandungan ini membuat fungsi

permebilitas bakteri terganggu dan akhirnya sel bakteri menjadi

kehilangan aktivitas biologisnya. Sehingga menghambat pertumbuhan

bakteri yang menimbulkan acne vulgaris.

2.3 Triamcinolone Acetonide

Pemberian obat-obatan sintetik bisa digunakan untuk mempercepat

proses penyembuhan luka. Salah satu golongan obat antiinflamasi yang

berperan dalam penyembuhan luka ialah kortikosteroid. Triamcinolone

acetonide merupakan kortikosteroid sintetik yang digunakan dalam bidang

kedokteran gigi. Triamcinolone acetonide memiliki efek antiinflamasi,


23

antipruritic, serta dapat mengurangi rasa nyeri pada luka sehingga obat ini

sering menjadi pilihan dalam pengobatan luka pada mukosa rongga mulut

(Hupp dkk. 2014).

2.3.1 Sediaan

Sediaan kortikosteroid dapat diberikan oral parenteral (IV, IM,

intrasinovial dan intralesi) dan topikal pada kulit dan mata (dalam bentuk

salep, krem, losion) atau aerosol melalui jalan napas. Pada semua cara

pemberian topikal kortikosteroid dapat diabsopsi dalam jumlah yang

cukup untuk menimbulkan efek sistemik dan menyebabkan penekanan

adrenokortikosteroid (Amir dkk. 2004).

Gambar 2.5 Sediaan topikal


(Anonim 2019)

2.3.2 Indikasi

Mempunyai kemampuan menekan inflamasi atau peradangan dengan

cara menghambat fosfolipase A dan menekan IL-1α (Johan 2015).

Penggunaan klinis kortikosteroid adalah sebagai terapi substitusi terapi

supressi reaksi host versus graft pada transplantasi, kelainan-kelainan

neoplastik jaringan limfoid dan terutama sebagai anti inflammasi sehingga

diharapkan akan menghambat semua proses peradangan (Azis 2011).


24

Kortikosteroid atau dikenal juga sebagai glukokortikoid adalah obat yang

digunakan sebagai anti inflamasi poten. Penggunaan kortikosteroid paling

sering adalah untuk terapi asma, dimana kortikosteroid inhalasi adalah anti

inflamasi lini pertama digunakan untuk terapi. Telah ditemukan

mekanisme kerja kortikosteroid sebagai antiinflamasi pada asma maupun

penyakit inflamasi lain melalui mekanisme transkripsi gen maupun signal

sel pada proses inflamasi (Barnes 2005).

2.3.3 Kontraindikasi

Triamcinolone acetonide memiliki beberapa kontraindikasi dalam

penggunaannya, meliputi pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap

golongan kortikosteroid, dan menghindari penggunaannya pada ibu hamil.

Penggunaan kortikosteroid secara topikal memiliki beberapa efek samping

lokal seperti atrofi, striae, rosacea, dermatitis perioral dan purpura

(Khaled dkk. 2012). Banyak efek samping yang dapat ditimbulkan dari

penggunaan triamcinolone acetonide, maka dari itu saat ini terdapat

banyak penelitian mengenai khasiat herbal yang dapat digunakan untuk

menggantikan obat-obatan sintetik (Budi 2017).

2.3.4 Efek Samping

Efek samping pemberian glukokortikoid menurut Azis (2011) :

a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu edema,

hipokalemiaalkalosis, hipertensi, hiperglikemia.


25

b. Infeksi, pada penderita-penderita dengan infeksi, pemberian

glukokortikoid hanya diberikan bila sangat dibutuhkan dan harus dengan

perlindungan pemberian antibiotika yang cukup.

c. Ulkus Peptikum, merupakan suatu luka yang terjadi pada dinding bagian

dalam lambung. Hubungan antara glukokortikoid dan terjadinya ulkus

pepticum ini masih belum diketahui. Mungkin melalui efek glukokortikoid

yang menurunkan perlindungan oleh selaput lendir lambung (mucous

barrier), mengganggu proses penyembuhan jaringan dan meningkatkan

produksi asam lambung dan pepsinogen dan mungkin oleh karena

hambatan penyembuhan luka oleh sebab lain.

d. Myopatiatau penyakit otot, dimana serabut otot tidak dapat berfungsi

dengan normal, yang terjadi karena pemecahan protein otot-otot rangka

yang dipakai sebagai substrat pembentukan glukosa. Ditandai dengan

kelemahan otot-otot bagian proksimal tangan dan kaki atau sebaliknya,

otot mengalami kekakuan,kram atau tegang.

e. Perubahan tingkah laku, dengan gejala yang bisa timbul bervariasi seperti

nervous, insomnia, euphoria, psychosis.

f. Katarak,efek glukokortikoid terhadap terjadinya katarak ini paralel dengan

dosis dan lama pemberian dan proses dapat terus berlangsung meskipun

dosis sudah dikurangi atau dihentikan.

g. Osteoporosis dan fraktura kompressif sering terjadi pada penderita-

penderita yang mendapat terapiglukokortikoid dalam jangka lama,

terutama terjadi pada tulang dengan struktur trabeculae yangluas seperti

tulang iga dan vertebra.


26

h. Dapat menimbulkan Osteonecrosis atau terdapat area-area kematian

tulang. Terjadi nekrosis aseptik tulang sesudah pemakaian glukokortikoid

yang lama meskipun osteonecrosis juga dilaporkan terjadi pada pemberian

jangka pendek dengan dosis besar. Osteonecrosis sering terjadi pada caput

femoris.

Anda mungkin juga menyukai