Raihan Fadillah
NIM : 1802111525
Mata Kuliah : Tata Kelola Perusahaan
a) Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas pengurusan
Perseroan dengan tetap memperhatikan keseimbangan kepentingan seluruh pihak yang
berkepentingan dengan aktivitas Perseroan
b) Direksi wajib tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Anggaran
Dasar dan keputusan RUPS dan memastikan seluruh aktivitas Perseroan telah sesuai dengan
ketentuan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, Anggaran Dasar,
keputusan RUPS serta peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Perseroan.
c) Direksi dalam memimpin dan mengurus Perseroan semata-mata hanya untuk kepentingan
dan tujuan Perseroan dan senantiasa berusaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas
Perseroan.
d) Direksi senantiasa memelihara dan mengurus kekayaan Perseroan secara amanah dan
transparan. Untuk itu Direksi mengembangkan system pengendalian internal dan system
manajemen resiko secara terstruktural dan komprehensif
e) Direksi akan menghindari kondisi dimana tugas dan kepentingan Perseroan berbenturan
dengan kepentingan pribadi.
1.2.3 Pertanggungjawaban Pribadi Direksi
Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan
apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.
Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab berlaku
secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat
membuktikan:
Dalam upaya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik maka Komisaris
Independen harus secara proaktif mengupayakan agar Dewan Komisaris melakukan
pengawasan dan memberikan nasehat kepada Direksi yang terkait dengan, namun tidak
terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
a. Memastikan bahwa perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif, termasuk di dalamnya
memantau jadwal, anggaran dan efektifitas strategi tersebut.
c. Memastikan bahwa perusahaan memiliki informasi, sistem pengendalian, dan sistem audit
yang bekerja dengan baik.
d. Memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku maupun
nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya.
e. Memastikan resiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan dikelola dengan baik.
1.5 Contoh kasus tanggung jawab dewan komisaris dan dewan direksi , komisaris
independen , struktur pengawasan terhadap Pt Kereta Api Indonesia
Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia
(PT. KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu
perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas didalam memastikan
penyajian laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan
perusahaan yang sebenarnya. Sebagai perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pelayanan
public, PT KAI memiliki business environment yang berbeda dengan perusahaan swasta
lainnya dan merupakan pembelajaran yang menarik bagi perusahaan lainnya terutama
mengenai bagaimana membangun pengawasan yang efektif.
Kasus ini juga dapat menjadi pembelajaran bagi departemen teknis maupun Kementrian
BUMN sebagai wakil pemegang daham untuk menerapkan public governance Kasus PT KAI
bermuara pada perbedaan pandangan antara manajemen dan komisaris, khususnya komisaris
yang merangkap sebagai ketua komite audit diaman komisaris tersebut menyetujui dan
mendatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor eksternal. Dan Komisaris
meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan dapat disajikan secara transparan dan
sesuai dengan fakta yang ada.
Perbedaan pandanganantara Manajemen dan Komisaris bersumber pada perbedaan pendapat
atas 4 hal, yaitu :
1) Masalah piutang PPN
Piutang PPN per 31 desember 2005 senilai Rp. 95,2 Milyar, menurut Komite Audit harus
dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi
tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak di koreksi oleh auditor. Manajemen menganggap
bahwa pemberian jasa yang dilakukan tidak kena PPN, namun karena dirjen pajak menagih
PPN atas jasa tersebut, PT KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.
2) Masalah beban ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan
penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus
dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha
3) Masalah persedian dalam perjalanan
Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp 104 milyar yang dialihkan dari satu
unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses
akuntansinya per 31 desember 2015 menururt Komite audit seharusnya telah menjadi beban
tahun 2016.
4) Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan Penyertaan
Modal Negara (PMN)
(BPYBDS) sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan
audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite
Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.
Menurut teori dan best practices dalam good corporate governance, dewan komisaris dalam
menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi, yaitu :
a) Advising, Memberi nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Oleh sebab itu,
sebaiknya dewan Komisaris terdiri dari beberapa latar belakang.
b) Protecting, Melindungi perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan. Misalnya,
memberikan argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas sesuatu yang dapat
merugikan perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip GCG.
c) Supervising. Mengawasi pengelolaan perusahaan agar mampu menciptakan value yang
optimal bagi stakeholders.
Peran vital yang dijalankan oleh komite audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam 3
hal tersebut diatas, yaitu advising, supervising, dan protecting (dengan cara memberikan
analisis bagaimana memproteksi perusahaan). Hal terpenting yang harus dipahami adalah
bahwa Komite audit tidak memiliki suara untuk mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak
diperkenankan berbicara di luar perusahaan. Karena komite audit merupakan tools Dewan
Komisaris dengan demikian yang berhak berbicara adalah dewan Komisaris.
1) Mereview audit plan
2) Mendiskusikan penunjukan auditor eksternal. Pada saat proses lelang, Komite Audit harus
sudah ikut untuk melihat apakah auditor eksternal layak dipilih dan melihat fairness proses
pemilihan. Yang akan bicara kepada Direksi adalah Dewan Komisaris, bukan Komite Audit.
Jangan sampai Komite Audit over duties (berlebih-lebihan).
3) Mereview transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris, kemudian
Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi.Agar pengawasan Dewan Komisaris dapat
berjalan dengan baik, Komite Audit dapat membantu Dewan Komisaris untuk memberikan
nasehat dengan cara :
Mereview sistem internal control, ada pemisahan fungsi atau tidak (internal control setting)
bagus atau tidak. Hal ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris.
Komunikasi antara Komite Audit, Dewan Komisaris dan manajemen. Seharusnya Komite
Audit membantu Dewan Komisaris dalam menelaah/mereview laporan manajemen karena
tidak selalu 100 % laporan keuangan dipahami oleh Dewan Komisaris, terutama karena latar
belakang yang bukan keuangan. Jadi fungsi Komite Audit adalah mentransformasikan angka-
angka kedalam suatu bentuk usulan kepada Dewan Komisaris agar Dewan Komisaris dapat
memberikan advise kepada Direksi.
SOLUSI DAN REKOMENDASI
Dengan pembahasan kasus audit umum PT. Kereta Api Indonesia, beberapa pelajaran
berharga dapat dipetik dari kasus tersebut, diantaranya adalah :
1) perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara
yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak capable memimpin
perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk mengganti
Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan tentunya mampu menghindarkan perusahaan dari
social cost yang tidak perlu. Social cost seringkali timbul karena public judgement yang
sudah terlanjur dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi perusahaan.
2) Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan
Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan
Komisaris sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara. Namun demikian bukan berarti
tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan
pendapat diakomodir dengan jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah
rapat. Untuk itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk
memilah-milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang
merupakan private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu
transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi perusahaan
kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan memberikan nilai tambah bagi
perusahaan.
3) sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan
faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan. Kasus PT. Kereta Api
merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite
Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT. Kereta Api salah
satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit.
Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum
anggota Komite Audit yang baru diangkat.
4) komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik
merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini. Sebagaimana
diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor dalam
menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional
perusahaan. Sebagai ilustrasi mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan
Auditor Internal, sejak Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum
pernah satu kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk
proses audit tahun buku 2006.
5) terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu ditekankan
bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan prinsip
akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti kebijakan akuntansi yang telah
dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten apabila tahun ini tetap dilakukan.