Anda di halaman 1dari 8

Nama : Sisilia Pardjer

Npm : 173112420170135

Kelas : A1

Dalam AHA Guidelines For CPR and ECC, 2010

1. Respons Awal

Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar disebabkan
oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi
pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah
telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal
dapat menetap dalam waktu yang singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk
diobservasi adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi
benda asing atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat
mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara
kuat dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan
sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi
tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi
ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada
pasien yang dimonitor;rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons
inisial adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di dalam mulut
dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat indikasi mencurigakan adanya
benda asing yang terjepit di daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti
respirasi (respiratoryarrest ) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan prekordial
kedua dapat dilakukan setelah saluran napas dibersihkan.

2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar ( Basic Life Support )

Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner


(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan dasar yang
bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang definitive
dapat dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan untuk
menghasilkan serta mempertahankan fungsi ventilasi paru dan tindakan kompresi dada.
Respirasi mulut ke mulut dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang
khusus misalnya pipa napas orofaring yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu
bag dengan masker.

Langkah-langkah penting yang harus diperhatikan dalam resusitasi kardiopulmoner :

- Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.


- Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
- Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau kartilago
tiroid.
- Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung (Isselbacher: 228)

Langkah-Langkah Bantuan Hidup dasar :

1. Berikan ventilasi dengan 2 kali tiupan efektif


2. Lakukan tindakan Pijat jantung Luar pada pertengahan Sternum dengan kedalaman 4-5
cm sebanyak 30 kompresi setiap siklus (dilakukan dengan 1 atau 2 orang penolong) dan
dilakukan selama 4 siklus (kurang lebih 1 menit menjadi 100 kompresi) 2 kali ventilasi
setiap siklusnya dan pastikan saat memberikan ventilasi posisi kepala dalam keadaan
Head Til-Chin Lift.
3. Cek kembali denyut nadi karotis
4. Bila ada DC shock atau AED, bisa diberikan kejut jantung sebanyak 200 Joule (pada
VT/VF)
5. Untuk Henti jantung, pertimbangkan pemberian model Cardiac Tumb.

Lanjutkan tindakan RJP sampai :

a. Bila ada respon atau pasien menjadi sadar kembali


b. Penderita dinyatakan meninggal dunia (pupil dilatasi dan refleks cahaya negatif)
c. Penolong kelelahan dan tidak ada penolong lain
d. Sudah ada penolong lain yang lebih berkompeten

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan RJP :-

a. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun


b. Jangan menekan pada daerah Prosesus xifoideus karena dapat berakibat robeknya hati
c. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi tetap melekat pada sternum,
jari- jari jangan menekan iga korban
d. Hindari gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
e. Perhatikan komplikasi yang mungkin terjadi karena RJP, langkah penanganan pada
pasien Cardiac arrest adalah :
1. Pengenalan dini dari Sudden cardiac Arrest berdasarkan pengkajian terhadap
ketidaksadaran(un-responsiveness) dan tidak adanya nafas normal (tidak bernafas atau
hanya Gasping/agonal).
2. Teknik Look, Listen, Feel atau Lihat, Dengar, Rasakan untuk mengkaji Breathing korban,
pada Guidliness CPR menurut AHA tahun 2010 ini di tiadakan.Check nafas dilakukan
pada saat pengenalan dini keadaan emergency (terutama cardiac) satu paket dengan
pengkajian kesadaran(responsiveness / un-responsiveness )

3. Di dorong / dianjurkan untuk hanya melakukan Hand Only CPR (hanya melakukan
penekanandada saja, tanpa memberikan tiupan dua kali) bagi penolong awam yang tidak
terlatih.
4. Perubahan sequence atau urutan langkah-langkah CPR. Kalau di Guidelines tahun 2005
atauyang sebelumnya kita mengenal urutan ABC (Airway, Breathing, Circulation), maka
diGuidelines AHA tahun 2010 ini menjadi CAB (Circulation, Airway, Breathing), jadi
setelah callfor help dan di pastikan kondisi aman untuk menolong, lalu check response
korban termasuk mengkaji ada / tidak adanya nafas secara visual tanpa tehnik LLF. Kalau
ternyata korban tidak sadar dan tidak bernafas atau bernafas tapi Cuma gasping (nafas
abnormal), langsung ke C, yangartinya kalau untuk orang awam langsung lakukan
kompresi atau untuk Health Care provider (Paramedic, Nurse, Dokter) check nadi karotis
dulu dengan tidak lebih dari sepuluh detik. Kalauselama itu nadi tidak terasa atau tidak
yakin, jangan buang waktu, segera lakukan kompresi tiga puluh kali di ikuti dengan dua
tiupan yang mana durasi tiap tiupan tidak lebih dari satu detik, bagi yang tidak terlatih
bisa hanya melakukan kompresi saja tanpa di ikuti dengan tiupan atau disebut dengan
Hand Only CPR seperti yang sudah di jelaskan pada point diatas.
5. Seperti halnya Guidelines tahun 2005, guidelines 2010 ini pun menekankan pada focus
untuk melakukan High Quality CPR, yang mana hal itu bisa tercapai bila kita bisa
melakukan HighQuality Compression. Adapun factor-faktor yang mempengaruhi kualitas
kompresi adalah Rate(kecepatan), depth (kedalaman), dada re-coil sempurna antara
kompresi, minimal intrupsi padasaat melakukan kompresi dan menghindari pemberian
ventilasi (tiupan) yang berlebihan.
6. Pada guidelines 2005, term yang di gunakan untuk menggambarkan rate atau kecepatan
dari kompresi adalah “ approximately” 100 x/menit, yang artinya kecepatan kompresi
kurang lebih seratus kali per menit (kurang atau lebih dikit boleh lah-red). sedangkan
untuk
Guidelines 2010 ini di gunakan term “at least” 100 x/m, yang artinnya kecepatan
kompresi yang baik pada saatCPR tidak boleh kurang dari seratus kali per menit.
7. Pada guidelines 2005, kedalaman kompresi pada orang dewasa adalah 1.5- 2 inches (4-5
cm).tahun 2010 ini di tetapkan bahwa kedalaman kompresi untuk orang dewasa adalah 2
inches (5cm), anak-anak juga 2 inches dan 1.5 inches untuk infant
8. Untuk penggunaan AED, di guidelines terbaru ini tidak ada perbedaan dengan Guidelines
tahun2005

3. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut ( Advance Life Support )

Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan


aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung)
danmemulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini
mencakup:

a. Tindakan intubasi dengan endotracheal tube


b. Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
c. Pemasangan lini infuse.

Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia dengan segera,
dapatmemulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera. Kecepatan melakukan
defibrilasiatau kardioversi merupakan elemen penting untuk resusitasi yang berhasil. Kalau
mungkin,tindakan defibrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi dan pemasangna selang
infuse.Resusitasi kardiopulmoner harus dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan
arusnya.Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan, kejutan listrik
sebesar 200-J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan kekuatan yang lebih tinggi hingga
maksimal 360-J,dapat dicoba bila kejutan pertama tidak berhasil menghilangkan takikardia
atau fibrilasiventrikel. Jika pasien masih belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi,
atau bila 2 atau 3kali percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi segera,
ventilasi dan analisis gasdarah arterial harus segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3
intravena yang sebelumnyadiberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi sebagai
keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam jumlah yang lebih besar.
Namun, pasien yang tetap mengalamiasidosis setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil
harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 padaawalnya dan tambahan 50% dosis diulangi setiap
10-15 menit.

Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya ini berhasil
atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan pemberian ini diulang
dalam waktu 2menit pada pasien-pasien yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang
persisten atau tetapmenunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh
infuse lidokain dengantakaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil mengendalikan
keadaan tersebut, pemberianintravena prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga
tercapai dosis total 500800mg, diikutidengan pemberian lewat infuse yang kontinyu dengan
dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium tosilat(dosis awal 5-10mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis
pemeliharaan (maintanance) 0,5-2mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel yang per sisten, preparat epinefrin(0,5-1,0 mg) dapat diberikan intravena setiap 5
menit sekali selama resusitasi dengan upayadefibrilasi pada saat-saat diantara setiap
pemberian preparat tersebut. Obat tersebut dapatdiberikan secara intrakardial jika cara
pemberian intravena tidak dapat dilakukan. Pemberiankalsium glukonat intravena tidak lagi
dianggap aman atau perlu untuk pemakaian yang rutin.Obat ini yang hanya digunakan pada
pasien dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetusVF resisten, pada keadaan adanya
hipokalsemia yang diketahui, atau pada pasien yang menerimadosis toksik antagonis hemat
kalsium.

Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani dengan
carayang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki
peranan.Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus
diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau
atropine diberikanintravena atau dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing
eksternal kini sudahdapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur,
tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu
pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi
jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan
benda asing dengan maneuver Heimlichatau, pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yangmenyumbat di jalan napas.

4. Perawatan Pasca Resusitasi

Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung.Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat responsive
terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support ) dan mudah dikendalikan setelah
kejadian permulaan.Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit
selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator
biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi
hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi
ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi
predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya resusitasi
kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi,angka rekurensinya cukup
tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan,
hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik
dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan
bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara
hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap intervensi.

Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang menyertai
penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang berhasil diresusitasi,
perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti
jantungtersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan
infeksiterkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang
dari 10 persen setelah henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap
hasil akhir henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalannafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan dan gangguan
metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka
mendapat resusitasidengan cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.

5. Penatalaksanaan Jangka Panjang


Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi klinis
karena perkembangan system penyelamatan emergency berdasar-komunitas. Pasien yang
tidak menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas
hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang ekstensif untuk tuntutan
penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta
bahwa data statistik dari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti
jantung diluar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen pada 1 tahun,
45 persen pada 2 tahun dan angka mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun.
Perbandingan historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan
intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji
intervensi bersamaan yang terkendali.

Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah MI akut dan
transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang menderita henti jantung
selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun uji
diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional dan ketidakstabilan
elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang
mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa
Mi akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau ketidakstabilan
elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat
alasan untuk mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau Intervensi
medis (sepertiangiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan
elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris
terprogram untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika
ya, informasi ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas obat
untuk pencegahan kekambuhan.Informasi ini juga dapat digunakan untuk menentukan
kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan peta. Menggunakan teknik ini
untuk menegakkan terapi obat pada pasien dengan fraksi ejeksi 30 persen atau lebih, angka
henti jantung rekuren adalah kurang dari 10 persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil
akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap
lebih baik dibandingkan riwayat alami yang tampak dari kelangsungan hidup setelah henti
jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapiobat tidak dapat diidentifikasi dengan
teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron, penanaman defibrillator/kardioverter
(ICD, implantable cardioverter/defibrillator ) dalam tubuh,atau pembedahan antiaritmia
(seperti bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan.
Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup prosedur dan kembali
pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah lebih baik dari 90 persen bila
pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD juga
dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk kemampuan untuk memaculebih
baik dibandingkan mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih. Susunan
Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan pantas, menunjukkan perbaikan
perbaikanyang berlanjut pada hasil akhir jangka Panjang

Anda mungkin juga menyukai