Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi paru masih merupakan penyebab kematian yang sangat penting di
Indonesia. Baik yang mengenai cabang-cabang pembuluh paru (bronkus, bronkiolus)
atau yang mengenai jaringan paru-paru (Rasyid, 2009).
Abses paru merupakan salah satu penyakit infeksi paru yang didefinisikan sebagai
kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang berisi sel-sel mati atau
cairan akibat infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir
sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu
lobus atau lebih (Kamangar, 2009).
Abses paru dapat diklasifikasikan berdasarkan perlangsungan dan penyebabnya.
Berdasarkan perlangsungannya abses paru diklasifikasikan menjadi akut dan kronik.
Disebut akut apabila perlangsungannya terjadi dalam waktu 4 minggu. Abses disebut
kronik apabila perlangsungannya terjadi dalam waktu > 4-6 minggu. Sedangkan
menurut penyebabnya abses paru dibagi menjadi abses primer dan sekunder. Abses
primer muncul karena nekrosis jaringan paru (akibat pnumonitis, infeksi dan neoplasma)
ataupun pneumonia pada orang normal. Disebut abses sekunder apabila disebabkan
kondisi sebelumnya seperti septik emboli (misalnya endokarditis sisi kanan), obstruksi
bronkus (misalnya aspirasi benda asing), bronkiektasis ataupun pada kasus
imunokompromis (Datin, 2008)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi Abses Paru ?


2. Bagaimana etiologi Abses Paru ?
3. Bagaimana manifestasi klinis Abses Paru ?
4. Bagaimana alur penegakan diagnosa Abses Paru?
5. Bagaimana tatalaksana Abses Paru ?

1
1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi Abses Paru ?


2. Mengetahui etiologi Abses Paru ?
3. Mengetahui manifestasi klinis Abses Paru ?
4. Mengetahui alur penegakan diagnosa Abses Paru ?
5. Mengetahui tatalaksana Abses Paru ?

1.4 Manfaat

Laporan kasus ini dibuat agar klinisi dapat menegakan diagnosis, menterapi
secara paripurna kasus abses paru dengan mengetahu definisi abses paru, gejala yang
ditimbulkan dari abses paru, mengetahui alur penegakan diagnosa dari abses paru serta
mengetahui tatalaksana abses paru.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material
purulent berisikan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses infeksi
(Rasyid, 2009).

2.2 Anatomi
Paru-paru sendiri dibagi menjadi dua, yakni : (Faiz, 2002)
1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru) yaitu
a. Lobus pulmo dekstra superior
b. Lobus medial
c. Lobus inferior
2. Paru-paru kiri, terdiri dari 2 lobus
a. pulmo sinister lobus superior
b. lobus inferior
Tiap lobus tersusun oleh lobules dan tiap-tiap lobus terdiri atas belahan-belahan
yang lebih kecil bernama segmen (Faiz, 2002).
Paru-paru kiri mempunyai 10 segment yaitu 5 buah segment pada lobus superior
dan 5 buah segment pada inferior. Sedangkan paru-paru kanan mempunyai 10 segmen
yakni 5 buah segmen pada lobus inferior, 2 buah segment pada lobus medialis dan 3
buah segmen pada lobus inferior (Premkumar, 2004).
Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama
lobulus. Diantara lobulus yang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus
terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak
sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir
pada alveolus yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm (Jardins, 2002)
Paru-paru terletak pada rongga dada, datarannya menghadap ke tengah rongga
dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk paru-paru atau hilus.

3
Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oeh selaput selaput yang
bernama pleura (Premkumar, 2004).
Pleura dibagi menjadi dua : (Jardins, 2002)
1. Pleura viseral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang
langsung membungkus paru-paru.
2. Pleura parietal, yaitu selaput paru yang melapisi bagian dalam
dinding dada.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada
keadaan normal kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna unuk
meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan
dinding dada dimana sewaktu bernafas bergerak (Premkumar, 2004).

Gambar 1. Sistem respirasi pada manusia dan struktur alveolus


(Sumber : Campbell et al, 1999)

2.3 Etiologi

Abses paru dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu karena bakteri anaerob (
staphylococcus aureus, pseudomonas aeruginosa, Nocardia asterodes), Mycobacteria
(Mycobacterium tuberculosis), bisa juga karena parasit ( entamoeba histolytical,
paragonymus westermani) (Rasyid, 2009).
4
2.4 Patofisiologi

Garry tahun 1993 dalam Datin tahun 2008 mengemukakan terjadinya abses paru
disebabkan sebagai berikut :

a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bacteria pada penderita dengan


faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multipikasi dan merusak parenkim paru
dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah
air fluid level bacteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa uga
dengan penyebaran hematogen (septic emboli) atau dengan perluasan langsung
dari proses abses ditempat lain (nesisatum) missal abses hepar.
b. Kavitas yang mengalami infeksi . pada beberapa penderita tuberculosis dengan
kavitas akibat inhalasi bakteri mengalami proses peradangan supurasi.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai proses abses
paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala
yang sama juga terlihat aspirasi benda asing yang belum keluar, kadang-
kadangan dijumpai pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limfe
peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker bronkogenik
yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah sehingga terjai
likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.

5
Bagan 1. Patofisiologi Abses Paru (Sumber : Ashari, 2018)

2.5 Penegakan Diagnosa

Diagnosa abses paru ditegakkan dengan manifestasi klinik yang mungkin mirip
dengan gejala awal pneumonia atau kondisi penyakit dasar yang lain. Secara perlahan-
lahan akan muncul gejala demam, batuk produktif, kehilangan berat badan, nyeri dada,
rasa berat di dada dan malaise. Gejala paling spesifik dan petanda patognomonik infeksi
kuman anaerob adalah nafas berbau atau sputum berbau busuk meskipun hanya
ditemukan pada 50-60% pasien. Hemoptosis didaptkan pada 25% pasien. Infeksi oleh
jamur, Nocardia dan Mycobacteria perjalanan penyakit cenderung lambat dan secara
perlahan terjadi perburukan gejala (Kumar, 2007).

6
Hasil pemeriksaan fisik dapat bervariasi dan berhubungan dengan kondisi
penyakit sekunder yang mendasari misalnya pneumonia atau efusi pleura. Juga
bergantung pada mikroorganisme yang terlibat, berat dan perluasan penyakit serta
kondisi komorbid yang ada. Demam yang terjadi pada 60-90% pasien. Suhu badan
rendah ditemukan pada infeksi anaerob sedang suhu yang tinggi (>38,5 oC) terjadi pada
infeksi mikroorganisme lainnya dan biasanya terdapat bukti penyakit gusi. Apabila
terjadi konsolidasi akan ditemukan penurunan suara nafas, perkusi paru redup, suara
nafas bronchial dan ronki saat inspirasi. Setelah kavitas terbentuk dapat muncul suara
nafas amforik pada daerah paru yang terkena. Pada abses paru kronik akan
memperlihatkan clubbing finger, efusi pleura dan kakeksia (Alsagaff, 2005).

Laboratorium

Pada laboratorium lekositosis dapat mencapai 20.000 – 30.000/µm. Anemia


ditemukan pada 80% kasus. Pemeriksaan mikrobiologik sering ditemukan campuran
infeksi. Pada abses paru dengan bau busuk ditemukan spirochaeta, fusiform basil dan
kuman anaerob serta aerob. Pada yang tidak berbau biasanya karena Stafilokokus,
Streptokokus dan Friedlander's bacilli. Bakteri gram negatif yang sering ditemukan
adalah Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa (Campbell, 2009).

Pemeriksaan Radiologis Tuberkulosis Paru (Mizra, 2007)

Kelainan pada foto toraks bisa sebagai usul tetapi bukan sebagai diagnosa utama
pada TB. Namun, Foto toraks bisa digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan TB
paru pada orang-orang yang dengan hasil tes tuberkulin ( +) dan tanpa menunjukkan
gejala.

1. Bila klinis ditemukan gejala tuberkulosis paru, hampir selalu ditemukan kelainan
pada foto roentgen.
2. Bila klinis ada dugaan terhadap penyakit tuberkulosis paru, tetapi pada foto roentgen
tidak terlihat kelainan, maka ini merupakan tanda yang kuat bukan tuberkulosis.
3. Sebaliknya, bila tidak ada kelainan pada foto toraks belum berarti tidak ada
tuberkulosis, sebab kelainan pertama pada foto toraks baru terlihat sekurang
-kurangnya 10 minggu setelah infeksi oleh basil tuberkulosis.

7
4. Sesudah sputum positif pada pemeriksaan bakteriologi, tanda tuberkulosis yang
terpenting adalah bila ada kelainan pada foto toraks.
5. Ditemukannya kelainan pada foto toraks belum berarti bahwa penyakit tersebut
aktif.
6. Dari bentuk kelainan pada foto roentgen memang dapat diperoleh kesan tentang
aktivitas penyakit, namun kepastian diagnosis hanya dapat diperoleh melalui
kombinasi dengan hasil pemeriksaan klinis/laboraturis.
7. Pemeriksaan roentgen penting untuk dokumentasi, menentukan lokalisasi, proses
dan tanda perbaikan ataupun perburukan dengan melakukan perbandingan dengan
foto-foto terdahulu.
8. Pemeriksaan roentgen juga penting untuk penilaian hasil tindakan terapi seperti
Pneumotoraks torakoplastik, torakoplastik dsb
9. Pemeriksaan roentgen tuberculosis paru saja tidak cukup dan dewasa ini bahkan
tidak boleh dilakukan hanya dengan fluoroskopi. Pembuatan foto roentgen adalah
suatu keharusan, yaitu foto posterior anterior (PA), bila perlu disertai proyeksi-
proyeksi tambahan seperti foto lateral, foto khusus puncak AP-lordotik dan tekhnik-
tekhnik khusus lainnya.
2.6 Gambaran Radiologis TB

Klasifikasi TB paru berdasarkan gambaran radiologis :

1. Tuberkulosis Primer (Wallis, 2018)


Hampir semua infeksi TB primer tidak disertai gejala klinis, sehingga paling sering
didiagnosis dengan tuberkulin test. Pada umumnya menyerang anak, tetapi bisa terjadi
pada orang dewasa dengan daya tahan tubuh yang lemah. Pasien dengan TB primer
sering menunjukkan gambaran foto normal. Pada 15% kasus tidak ditemukan kelainan,
bila infeksi berkelanjutan barulah ditemukan kelainan pada foto toraks.

Lokasi kelainan biasanya terdapat pada satu lobus, dan paru kanan lebih sering terkena,
terutama di daerah lobus bawah, tengah dan lingula serta segmen anterior lobus atas.
Kelainan foto toraks pada tuberculosis primer ini adalah adalah limfadenopati,
parenchymal disease, miliary disease, dan efusi pleura.. Pada paru bisa
dijumpai infiltrat dan kavitas.Salah satu komplikasi yang mungkin timbul adalah

8
Pleuritis eksudatif, akibat perluasan infitrat primer ke pleura melalui penyebaran
hematogen. Komplikasi lain adalah atelektasis akibat stenosis bronkus karena perforasi
kelenjar ke dalarn bronkus. Baik pleuritis maupun atelektasis pada anak-anak mungkin
demikian luas sehingga sarang primer tersembunyi dibelakangnya.

9
Foto 1. Tuberculosis dengan komplek primer (hanya hilus kiri membesar). Foto
toraks PA dan lateral (Sumber : Wallis, 2018)

Foto 2. Tuberculosis disertai komplikasi pleuritis eksudativ dan atelektasis-


Pleuritis TB (Sumber : Wallis, 2018)

10
2.7 Tuberkulosis sekunder atau tuberkulosis reinfeksi (Wallis, 2018)

Tuberkulosis yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa atau timbul
reinfeksi pada seseorang yang semasa kecilnya pernah menderita tuberculosis primer,
tetapi tidak diketahui dan menyembuh sendiri. Kavitas merupakan ciri dari tuberculosis
sekunder

Foto 3. Tuberculosis dengan cavitas (Sumber : Wallis, 2018)

11
Bercak infiltrat yang terlihat pada foto roentgen biasanya dilapangan atas dan
segmen apikal lobi bawah. Kadang-kadang juga terdapat di bagian basal paru yang
biasanya disertai oleh pleuritis. Pembesaran kelenjar limfe pada tuberkulosis sekunder
jarang dijumpai (Howlett, 2004).

Klasifikasi tuberkulosis sekunder (Muller, 2007)

Klasifikasikasi tuberkulosis sekunder menurut American Tuberculosis Association


( ATA ).

1. Tuberculosis minimal : luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah


yang dibatasi oleh garis median, apeks dan iga 2 depan, sarang-sarang soliter dapat
berada dimana saja. Tidak ditemukan adanya kavitas
2. Tuberkulosis lanjut sedang ( moderately advance tuberculosis ) : Luas sarang
-sarang yang berupa bercak infiltrat tidak melebihi luas satu paru. Sedangkan bila
ada kavitas, diameternya tidak melebihi 4 cm. Kalau bayangan sarang tersebut
berupa awan - awan menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya
tidak boleh melebihi 1 lobus paru .
3. Tuberkulosis sangat lanjut (far advanced tuberculosis ) : Luas daerah yang
dihinggapi sarang-sarang lebih dari 1 paru atau bila ada lubang -lubang, maka
diameter semua lubang melebihi 4 cm.
Ada beberapa bentuk kelainan yang dapat dilihat pada foto rontgen, antara lain :
(Muller, 2007)

1. Sarang eksudatif, berbentuk awan atau bercak-bercak yang batasnya tidak tegas
dengan densitas rendah.
2. Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya tegas dan
densitasnya sedang.
3. Sarang induratif atau fibrotik, yaitu berbentuk garis-garis berbatas tegas, dengan
densitas tinggi.
4. Kavitas atau lubang
5. Sarang kapur ( kalsifikasi)

12
Foto 4. Tuberculosis dengan cavitas (Sumber : Wallis, 2018)

Cara pembagian yang lazim di Amerika Serikat adalah : (Muller, 2007)

1. Sarang-sarang berbentuk awan atau bercak infiltrat dengan densitas rendah hingga
sedang dengan batas tidak tegas. Sarang -sarang ini biasanya menunjukan suatu
proses aktif.
2. Lubang ( kavitas ). Berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat kecil, yang
dinamakan residual cavity .
3. Sarang-sarang seperti garis ( fibrotik ) atau bintik - bintik kapur ( kalsifikasi, yang
biasanya menunjukkan proses telah tenang ( fibrocalcification)

Foto 4. Tuberculosis dengan cavitas (Sumber : Wallis, 2018)

Tuberkuloma (Budjang, 2005)

Kelainan ini menyerupai tumor. Bila terdapat di otak, tuberkuloma juga bersifat suatu
lesi yng menempati ruangan ( space occupying lesion / SOL ). Tuberkuloma adalah
suatu sarang keju (caseosa) dan biasanya menunjukkan penyakit yang tidak begitu

13
virulen bahkan biasanya tuberkuloma bersifat tidak aktif lebih-lebih bila batasnya licin,
tegas dan dipinggirnya ada sarang perkapuran, sesuatu yang dapat dilihat jelas pada
tomogram. Diagnostik diferensialnya dengan suatu tumor sejati adalah bahwa didekat
tuberkuloma sering ditemukan sarang kapur (Budjang, 2005).

Kemungkinan - kemungkinan kelanjutan suatu sarang tuberkulosis

Penyembuhan (Wallis, 2018)

1. Penyembuhan tanpa bekas


Sering terjadi pada anak-anak (tuberkulosis primer dan pada orang dewasa apabila
diberikan pengobatan yang baik.

2. Penyembuhan dengan memninggalkan cacat.


Penyembuhan ini berupa garis - garis berdensitas tinggi / fibrokalsifikasi di kedua
lapangan atas paru dapat mengakibatkan penarikan pembuluh -pembuluh darah
besar di kedua hilli ke atas. Pembuluh darah besar di hilli terangkat ke atas, seakan-
akan menyerupai kantung celana (broekzak fenomen). Sarang-sarang kapur kecil
yang mengelompok di apeks paru dinamakan Sarang - sarang Simon ( Simon's foci).

Secara roentgenologis, sarang baru dapat dinilai sembuh ( proses tenang ) bila
setelah jangka waktu selama sekurang-kurangnya 3 bulan bentuknya sama.

Sifat bayangan tidak boleh berupa bercak-bercak, awan atau lubang, melainkan
garis-garis atau bintik-bintik kapur dan harus didukung oleh hasil pemeriksaan klinik
- laboratorium, termasuk sputum.

Perburukan ( perluasan ) penyakit (Wallis, 2018)

1. Pleuritis
Terjadi karena meluasnya infiltrat primer langsung ke pleura atau melalui
penyebaran hematogen. Pada keadaan normal rongga pleura berisi cairan 10-15 ml.
Efusi pleura bias terdeteksi dengan foto toraks PA dengan tanda meniscus sign/ellis
line, apabila jumlahnya 175 ml. Pada foto lateral dekubitus efusi pleura sudah bias
dilihat bila ada penambahan 5 ml dari jumlah normal. Penebalan pleura di apikal
relative biasa pada TB paru atau bekas TB paru. Pleuritis TB bias terlokalisir dan

14
membentuk empiema. CT Toraks berguna dalam memperlihatkan aktifitas dari
pleuritis TB dan empiema.

2. Penyebaran miliar
Akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sebesar l-2mm atau sebesar
kepala jarum (milium), tersebar secara merata di kedua belah paru. Pada foto toraks,
tuberkulosis miliaris ini menyerupai gambaran 'badai kabut’ (Snow storm
apperance). Penyebaran seperti ini juga dapat terjadi pada Ginjal, Tulang, Sendi,
Selaput otak /meningen, dsb.

3. Stenosis bronkus
Stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau segmen paru yang
bersangkutan sering menempati lobus kanan ( sindroma lobus medius )

4. Kavitas (lubang)
Timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju. Dinding lubang sering tipis
berbatas licin atau tebal berbatas tidak licin. Di dalamnya mungkin terlihat cairan,
yang biasanya sedikit. Lubang kecil dikelilingi oleh jaringan fibrotik dan bersifat
tidak berubah-ubah pada pemeriksaan berkala (follow up) dinamakan lubang sisa
(residual cavity) dan berarti suatu proses lama yang sudah tenang.

Pemeriksaan laboratorium (Budjang, 2005)

 Darah : Leukosit sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri, jumlah
limfosit masih di bawah normal, laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
Anemia ringan, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun
 Sputum : ditemukan kuman BTA , diagnosis TB sudah dapat dipastikan.
 Tes Tuberkulin. Biasanya dipakai tes Mantoux. Tes tuberculin hanya menyatakan
apakah seseorang sedang atau pernah mengalami infeksi M.tuberculosae.

 Diagnosis banding TB paru secara radiologis


1. TB paru primer (Budjang, 2005)
 Pembesaran KGB pada TB paru primer : Limfoma, sarkoidosis Pada TB paru
primer, pembesaran KGB dimulai dari hilus, baru ke paratrakea, dan pada

15
umumnya unilateral. Sedangkan pada limfoma biasa dimulai dari paratrakea
dan bilateral. Pada sarkoidosis pembesaran KGB hilus bilateral,
 Infiltrat unilateral lapangan bawah paru
TB anak: Pneumonia

Untuk membedakan pneumonia TB dengan pneumonia bukan karena TB,


pada pneumonia bukan TB umumnya tidak disertai pembesaran KGB dan
pada evaluasi foto cepat terjadi resolusi

TB dewasa : pneumonia non TB, karsinoma (bronchioloalveolar cell ca),


sarkoidosis, non tuberculous mycobacteria (NTM)

2. TB post primer (Budjang, 2005)


1. Non Tuberculosis Mycobacteria
2. Silikosis
3. Respiratory bronchiolitis interstitial lung disease (RB ILD)
4. Kavitas pada usia tua, kemungkinan karena tumor paru
5. kavitas multiple bisa dijumpai juga pada wegener granulomatosis dan jamur.

2.8 Komplikasi Abses Paru

Komplikasi yang sering terjadi adalah empiema dengan atau tanpa fistel
bronkopleura. Pecahnya abses mengakibatkan tumpahnya pus ke dalam saluran napas
mengakibatkan penyebaran infeksi lebih luas dan bahkan dapat berakibat asfiksia
(Ashari, 2018).
2.9 Tatalaksana Abses Paru

Non-Farmakologi

1. Makanan dan cairan yang cukup


2. O2 bila sesak nafas
3. Fisioterapi : postural drainage
Farmakologi
Terapi antimikroba Pada saat kita mencurigai adanya keterlibatan Stafilococcus
aureus maka antibiotik pilihan utamanya adalah sefalosporin generasi pertama atau

16
kedua ataupun klindamisin. Jika adanya ditemukan bakteri gram negative maka
aminoglikosida ataupun sefalosporin menjadi pilihan. Antibiotik pada abses paru dapat
diberikan selama 2-4 minggu. Dapat diberikan antibiotik spektrum luas Levofloxacin 1
x 750 mg dan diberikan ambroxol 3x1 tablet @ 30 mg (Ashari, 2018).
Bedah
1. Operasi : Bila antibiotik yang optimal tidak berhasil
2. Lobektomi jarang diperlukan kecuali bila terjadi ekspansi masif abses yang
mengakibatkan kompresi jaringan sekitarnya.

17
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesis
 Identitas Pasien
Nama pasien : Tn. I
Umur : 41 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai swasta
Status Perkawinan : Sudah Menikah
No RM : 050471
Tgl. Masuk : 21 Januari 2020

 Keluhan Utama
Batuk berdahak bercampur bercak darah sejak 7 hari sebelum masuk rumah
sakit.
 Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan batuk bercampur bercak darah sejak 7 hari
sebelum masuk rumah sakit. Batuk dirasakan sejak lebih kurang 2 minggu yang
lalu, batuk produktif. Pasien mengaku batuk tidak dipengaruhi aktivitas dan tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan tidak mengenal waktu tertentu. Dahak menurut
pasien berwarna putih namun tidak seperti nanah dan tidak berbau. Sesak
dirasakan sejak 2 hari yang lalu, sesak hilang timbul. Demam sejak 2 hari yang
lalu, demam yang dirasakan naik turun. Tidak diketahui adanya penurunan berat
badan. Sering berkeringat dingin di malam hari disangkal. Pasien mengeluhkan
lemas dan nafsu makannya turun.
 Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat sakit paru (-), Riwayat batuk darah (-),
Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Asma (-), riwayat konsumsi OAT (-),
riwayat keganasan (-), riwayat abses gigi (-).
 Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal

18
 Riwayat Pengobatan : Pasien lupa nama obat, obat batuk dibeli di apotik
 Riwayat Sosial : Pasien merokok sejak lulus usia 18 tahun dan berhenti
setelah batuk, aktivitas pasien sebagai koki di salah satu resort.

3.2 Pemeriksaan Fisik


 KU : Baik, tampak sakit sedang
 GCS : 456 (Compos Mentis)
 Vital Sign :
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 126 x/menit
RR : 26 x/ menit
S : 38,2 °C
Spo2 : 98 %

 Kepala :
Normal tidak ada kerontokan rambut, Conjunctiva tidak anemis, Sklera ikterik +/
+, Pupil bulat, isokor (3 mm/3 mm), refleks cahaya langsung / tidak langsung +/
+
 Hidung
Bentuk hidung normal, simetris,napas cuping hidung (-), sekret (- / -).
 Telinga
Bentuk telinga normal, serumen (-/-)
 Mulut
Bibir kering (-), bibir sianosis (-)
 Leher
Simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-)
 Thorax

Dinding Dada : Simetris

Jantung :

19
- Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi ictus cordis
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Dalam Batas Normal
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur(-), gallop(-), friction
rub (-)

Paru – paru :

- Inspeksi : Dinding dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi,


retraksi (-)
- Palpasi : Fremitus taktil: Normal Ki=Ka
- Perkusi : Sonor paru kanan, sonor dan meredup pada RIC VI
- Auskultasi : SN Vesikuler paru kanan dan SN vesikuler menurun
pada paru kiri, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-/-)
 Abdomen
- Inspeksi : Distensi (-), venektasi -, vena kolateral -
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani (+) pada empat kuadran abdomen
- Palpasi : Turgor kembali cepat, hepar dan lien dalam batas normal
 Kulit
Sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), edema (-)
 Ekstremitas

Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-

Akral sianosis -/- -/-


CRT <2’’ <2’’

20
3.3 Pemeriksaan Penunjang Rutin
Tanggal 24/08/2018
Jenis Hasil Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 11.7 gr/dl 13.2-17.3
Eritrosit 5.21 Juta/uL 4.4-5.9
Leukosit 10.28 Ribu/uL 3.8-10.6
Trombosit 259 Ribu/mm3 150-440
Hematokrit 35.3 % 40-51
Index Eritrosit
MCV 67.8 fL 70-96
MCH 22.5 Pg 26-34
MCHC 33.1 % 30-36
LED 71 mm/jam 0-20
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0.4 % 0-1
Neutrofil 70.9 % 40-70
Limfosit 18.2 % 22-40
Eosinofil 0.8 % 2-4
Monosit 9.7 % 4-8
Fungsi Hati
SGOT 41 U/L 0-37
SGPT 69 U/L 0-42
Imuno Serologis
HIV Non Reaktif Reaktif/Non Reaktif Non Reaktif
HbsAg Reaktif Reaktif/Non Reaktif Non Reaktif

3.4 Diagnosis Kerja


Hemaptoe ec Suspect TB Paru
Hepatitis B Akut
3.5 Diagnosa Banding
 Abses Paru
 Ca bronkogenik
 Pneumonia
Foto Thorax

21
Hasil Bacaan Foto Thorax
Cor : Besar dan bentuk normal
Pulmo : Tampak cavitas dinding tebal dengan air fluid level
Efusi pleura sinistra minimal
Pneumonia sinistra

Elektrokardiogram

22
Kesan : Sinus Takikardi HR : 126 kali permenit, P wave 0,08, QRS kompleks 0,08,
Normo axis, RV5 + S V1 = 16 LVH (-), R/S V1 < 1 RVH (-).
3.6 Diagnosis
Abses Paru
Hemaptoe
Community Acquired Pneumonia
3.7 Tatalaksana
Farmakologis
IVFD Asering 20 tpm
Asam tranexamat 3x500 mg IV
Codein 3x1 tab PO
Norages 1 ampul k/p IV
Non Farmakologis
Makanan dan cairan yang cukup

23
Oksigen 3 lpm bila sesak nafas
Fisioterapi : postural drainage
3.8 FOLLOW UP
Tanggal S O A P
22 Januari Batuk(+), KU : Sakit Abses Paru  IVFD
2020 dahak sedang, Hemaptoe Asering 20
bercampur compos mentis Hepatitis B tpm
darah (-), lemas TD: 120/60 akut  O2 Nasal 3
(+), sesak (–), mmhg LPM
demam (–) N: 128 x/menit  Injeksi Asam
P: 26 x/menit tranexamat 3
S: 36,2 0C x500mg
SpO2 : 98 %  Injeksi
Kepala: Norages 1
anemis (-), amp k/p
ikterus (+/+)  Curcuma 3x2
Thorax: tab
Vesikuler; Rh  Codein 3x1
basah kasar tab
+/+, Wh -/-
 Levofloxacin
BJ dalam batas
1x750 mg
S1S2 regular
Abdomen:
Peristaltik (+)
kesan normal
Hepar/lien
tidak teraba
Ekstremitas:
edema -/-
23 Januari Batuk (+), KU : Sakit Abses Paru  IVFD
2020 nyeri dada (–), sedang, Hemaptoe Asering 20
lemas (-),sesak compos mentis Hepatitis B

24
(–), demam (–) TD: 100/60 akut tpm
mmhg  O2 Nasal 3
N: 101 x/menit LPM
P: 24 x/menit  Drip
S: 36 0C Metronidazol
SpO2 : 97 % e 500 mg/8
Kepala: Jam
anemis (-/-),  Injeksi Asam
ikterus (-/-) tranexamat 3
Thorax: x500mg
Vesikuler, Rh  Injeksi
basah kasar Norages 1
+/+, Wh -/- amp k/p
BJ I/II dalam  Curcuma 3x2
batas normal tab
regular  Codein 3x1
Abdomen: tab
Peristaltik (+)
 Levofloxacin
kesan normal
1x750 mg
Hepar/lien
tidak teraba
Ekstremitas:
edema -/-
24 Januari Batuk (+) KU : Sakit Abses Paru  IVFD
2020 sudah sedang, Hemaptoe Asering 20
berkurang, compos mentis Hepatitis B tpm
sesak (–), TD: 110/70 akut  O2 Nasal 3
demam (–) mmhg LPM
N: 90 x/menit  Drip
P: 28 x/menit Metronidazol
0
S: 36,3 C e 500 mg/8

25
SpO2 : 98 % Jam
Kepala:  Injeksi Asam
anemis (-/-), tranexamat 3
ikterus (-/-) x500mg
Thorax:  Injeksi
Vesikuler, Rh Norages 1
+/+ paru kanan, amp k/p
rhonki basah  Curcuma 3x2
kasar +/+, Wh tab
-/-  Codein 3x1
BJ I/II dalam tab
batas normal,  Levofloxacin
regular 1x750 mg
Abdomen:  Meropenem
Peristaltik (+) 2gr/12 jam IV
kesan normal
Hepar/lien
tidak teraba
Ekstremitas:
edema -/-

PP:
TCM: MTB
not detected

2.8 Prognosis
Dubia ad Bonam
2.9 Komplikasi

 Empiema
 Abses otak 
 Atelektasis 

26
 Sepsis
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Dasar Diagnosa


Penegakan diagnosis abses paru pada pasien ini berdasarkan dari anamnesis
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keadaan
pasien dengan keluhan sebelum masuk rumah sakit mengalami batuk berdahak dengan
bercampur bercak darah dan juga merasa sesak pada saat batuk disertai dengan demam.
Pada anamnesis ini mendukung dengan kesamaan gejala yang timbul pada abses paru.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada auskultasi adanya ronki basah kasar
pada kedua paru-paru sedangkan pada paru-paru sebelah kiri ditemukan suara paru
vesikuler yang menurun. Sedangkan pada inspeksi didapatkan dada simetris dan dalam
batas normal. Pada palpasi tidak didapatkan tanda-tanda kelainan. Pada perkusi
didapatkan pekak pada paru-paru sebelah kiri. Hal ini mendukung dengan teori bahwa
pada konsolidasi yang terdapat di paru mempunyai gejala suara nafas menurun.
Pada pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap
didapatkan angka leukosit yang meningkat hal ini berarti didapatkan adanya proses
infeksi yang terjadi. Pada foto thorax, gambaran radiologis berupa kavitas dengan air
fluid level dan konsolidasi hal ini mendukung dengan gejala yang ditimbukan oleh
penyakit abses paru.
Menurut Rasyid Ahmad dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam pada tahun
2011, Abses paru Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut Disebut
abses akut bila terjadinya penyakit kurang dari 4-6 minggu. Dengan gejala awal adalah
badan terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, batuk kering, keringat
malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4ºC
atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan adanya abses paru. Setelah beberapa
hari dahak bisa menjadi purulen dan bisa mengandung darah.
Sputum yang berbau amis dan berwarna anchopy menunjukkan penebabnya
bakteri anaerob dan disebut dengan putrid abscesses, tetapi tidak didapatkannya sputum
dengan ciri diatas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat

27
nyeri dada menunjukkan keterlibatan pleura. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan
tetapi ada yang massif.
Pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah suhu badan dapat meningkat sampai
40ºC, pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan local, pada daerah terbatas
perkusi terdengar redup dengan suara napas bronchial. Bila abses luas dan letaknya
dekat dengan dinding dada kadang2 terdengar besar dan karena bronkus masih tetap
dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya konslidasi sekitar abses dan drainase abses
yang baik (Ashari, 2018).
Biasanya juga akan terdengar ronkhi. Bila abses paru letaknya dekat pleura dan
pecah akan terjadi piothraks (empiema torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik
ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vokal
menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi nafas menghilang dan terdapat tanda
pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung ke arah kontra lateral tempat
lesi (Ashari, 2018).
Banyak faktor risiko yang menyebabkan terjadinya abses paru, salah satunya
dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu karena bakteri anaerob (staphylococcus
aureus, pseudomonas aeruginosa, Nocardia asterodes), Mycobacteria (Mycobacterium
tuberculosis), bisa juga karena parasit (entamoeba histolytical, paragonymus
westermani). Pada kasus ini abses paru dapat disebabkan oleh bakteri-bakteri anaerob
(staphylococcus aureus, pseudomonas aeruginosa, Nocardia asterodes) karena tidak
ditemukannya Mycobacterium tuberculosis pada sputum. Namun untuk memastikannya
perlu dilakukan kultur dahak.
Hepatitis B pada pasien ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dimana didapatkan kondisi pasien tampak kuning, namun
riwayat transfusi, penggunaan jarum suntik bersama disangkal. Dari pemeriksaan
imunoserologis didapatkan antibodi HbSAg reaktif. Dikatakan akut karena gejala tidak
lebih dari 6 bulan.
4.2 Dasar Pemberian Terapi

Terapi yang diberikan pada abses paru dapat bersifat suportif dan simptomatik.
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit. merupakan cairan
elektrolit yang digunakan untuk rehidrasi karena mengandung elektrolit seperti Na+,

28
K+,Ca++, Cl- yang dapat menyeimbangkan kekurangan elektrolit pada pasien. Pada
perhitungan jumlah pemberian per hari didasarkan dengan kebutuhan cairan maintance
pada dewasa yaitu 48 ml/kgbb/hari.
Untuk terapi pada pasien ini diberikan Drip Metronidazole 500 mg/8 Jam dan
Levofloxacin 750 mg/24 Jamperoral . Pemberian antibiotik pada pasien ini sesuai
dengan indikasi dimana indikasi pemberian antibiotik pada abses paru adalah sebagai
bakterisidal untuk mencurigai adanya keterlibatan Stafilococcus aureus maka antibiotik
pilihan utamanya. Jika adanya ditemukan bakteri gram negative maka aminoglikosida
ataupun sefalosporin menjadi pilihan. Antibiotik pada abses paru dapat diberikan selama
2-4 minggu. Pemberian injeksi asam trabexamat adalah untuk menghentikan perdarahan
karena sebelumnya pasien mengeluh batuk berdahak disertai adanya darah.

Pasien juga mengalami hepatitis B akut. Tidak ada langkah penanganan khusus
untuk mengobati hepatitis B akut, karena penyakit dan gejala yang muncul dapat hilang
setelah 2-3 minggu. Namun jika cukup parah, akan diberikan antivirus seperti
lamivudine. Pasien dianjurkan untuk banyak istirahat, serta mengkonsumsi banyak
cairan dan makanan bernutrisi untuk mempercepat masa penyembuhan dan pemberian
hapatoprotektor seperti curcuma dapat membantu fungsi hati membaik. Edukasi paling
penting jika hepatitis B menjadi kronik adalah menurunkan risiko komplikasi seperti
sirosis hepatis dan tumor hati.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasyid, Ahmad. Abses Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. 2009. Hal 2323-8
2. Kamangar, Nadar. Lung Abscess. Updated on [Aug 9, 2009] cited on Aug 25,
2018. Available at URL: http://www.emedicine.medscape.com/article/299425-
overview
3. Datin, Abhijit. Lung Abscess. Updated on [May 2, 2008] cited on Aug 25, 2018.
Available at URL: http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess
4. Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru.
Surabaya: Airlangga University Press. 2005. Hal 136-40
5. Kumar, Vinay. Abbas, Abul. Robbins Basic Pathology, 8th edition. Philadelphia:
Saunders. 2007. Hal 515
6. Muller, Nestor. Franquet, Thomas. Soo Lee, Kyung. Imaging of Pulmonolgy
Infection, 1st edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
Chapter 1
7. Bhimji, Sabir. Lung Abscess, Surgical Perspective. Updated on [Oct 22, 2010]
cited on Aug 25, 2018. Available at URL:
http://www.emedicine.medscape.com/article/428135-overview
8. Faiz, Omar. Moffat, David. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2002. Hal 12-3
9. Ellis, Harold. Clinical Anatomy. Oxford: Blackwell Publishing. 2006. Hal 23-5
10. Premkumar, Kalyani. The Massage Connection Anatomy and Fisiology.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2004. Hal 543
11. Porth, Carol Mattson. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States.
Piladelpiha: Lippincott Williams & Wilkins.2004. Unit VII
12. Jardins, Terry Des. Cardiopulmonary Anatomy and Phisiology. Colombia:
Delmar. 2002. Hal 43
13. Eng, Philip. Cheah, Foong Koon. Interpreting Chest X-Rays. Cambridge:
Cambridge University Press. 2005. Hal 101, 199

30
14. Howlett, David. Ayers, Brian. The hands-on Guide to Imaging. Blackwell
Publishing. 2004. Hal 48-9
15. Grainger, Ronald. Allison, David. Grainger & Allison's Diagnostic Radiology: A
Textbook of Medical Imaging, 4th ed. London: Churchill Livingstone. 2001.
Chapter 8
16. Budjang N. Radang. Radang Paru Yang Tidak Spesifik. Dalam: Ekayuda I,
editor. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2005.
Hal. 100-5
17. Mizra, Rakesh. Planner Andrew. A-Z of Chest Radiology. Cambridge:
Cambridge University Press.2007. hal 35-7
18. Wallis, R.S., J.L.Johnson: Adult tuberculosis in the 21st century: pathogenesis,
clinical features, and management. Cited on Aug 25, 2018. Available at URL:
http://www.mevis-research.de/~hhj/Lunge/Tb.html
19. Ashari, Irwan. Tuberkulosis paru dengan kavitas. Cited on Aug 25, 2018
Available at URL:www.irwanashari.com
20. Hisberg, Boaz, dkk. Factor Predicting Mortality of Patient with Lung Abscess.
Available at: www.chestjournal.chestpubs.org
21. Stauffer, John L. Lung. Dalam: McPhee S, penyunting. Current Medical
Diagnosis and Treatment. Edisi ke-37. Stamford: Appleton &1997. 2.
22. Campbell PW. Lung abscess. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric
respiratory disease diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Sounders co;
1999. h. 257-262
23. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker paru: pedoman diagnosis &
penatalaksanaan di Indonesia; 2003.

31

Anda mungkin juga menyukai