Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SOL (SPACE


OCCUPYING LESION) DI RUANG RAWAT INAP
ICU (INTENSIVE CARE UNIT)
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU

OLEH:

CLARA WULANDA, S.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
2020
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SOL
(SPACE OCCUPYING LESION)

A. Konsep Dasar
1. Definisi
SOL (Space Occupying Lesion) merupakan generalisasi masalah mengenai
adanya lesi pada ruang intracranial khususnya yang mengenai otak (Suzanne dan
Brenda G Bare, 1997).
SOL disebut juga tumor otak atau tumor intracranial yaitu proses desak ruang
yang timbul didalam rongga tengkorak baik (Satyanegara dalam aplikasi asuhan
keperawatan).
Sol dapat didefinisikan sebagai tumor yang jinak atau ganas baik bersifat
primer atau sekunder, dan juga sebagai massa inflamatorik maupun parasitic yang
berletak pada rongga cranium. Sol juga berupa hematoma, berbagai jenis kista dan
malformasi vaskuler ( Ejaz dkk, 2005).
2. Etiologi
Penyebab tumor sampai saat ini belum diketahui secara pasti, walaupun
telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau
yaitu:
a. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat
mengalami perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu
terjadinya suatu glioma.
b. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus dengan maksud untuk
mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi hingga
saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan
tumor  pada sistem saraf pusat.
c. Substansi-substansi karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogenik sudah lama dan luas dilakukan.
Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
Selain itu, penyebab penyakit SOL ini antara lain sebagai berikut:
a. Riwayat trauma kepala
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma selaput
otak). Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf pusat belum
diketahui gejala klinis.
b. Faktor genetik
Tujuan susunan saraf pusat primer merupakan komponen besar dari beberapa
gangguan yang diturunkan sebagai kondisi autosomal, dominan termasuk
sklerasis tuberose, neurofibromatosis.
c. Paparan zat kimia yang bersifat karsinogenik dan virus.
Pada binatang telah ditemukan bahwa karsinogen kimia dan virus menyebabkan
terbentuknya neoplasma primer susunan saraf pusat tetapi hubungannya dengan
tumor pada manusia masih belum jelas.
d. Defisisensi imunologi dan congenital.

3. Patofisiologi
Peningkatan tekanan intracranial adalah suatu mekanisme yang diakibatkan
oleh beberapa kondisi neurologi. Isi dari cranial adalah jaringan otak, pembuluh
darah dan cairan serebrospinal. Bila terjadi peningkatan satu dari isi cranial
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, sebab ruang cranial keras, tertutup
tidak bisa berkembang.
Peningkatan satu dari beberapa isi cranial biasanya disertai dengan pertukaran
timbale balik dalam satu volume yang satu dengan yang lain. Jaringan otak tidak
dapat berkembang, tanpa berepengaruh serius pada aliran dan jumlah cairan
serebrospinal dan sirkulasi serebral. Space Occupaying Lesion (SOL) menggantikan
dan merubah jaringan otak sebagai suatu peningkatan tekanan. Peningkatan tekanan
dapat secara lambat (sehari/seminggu) atau secara cepat, hal ini tergantung pada
penyebabnya. Pada pertama kali satu hemisphere akan dipengaruhi.
Peningkatan tekanan intracranial dalam ruang kranial pada pertama kali dapat
dikompensasi dengan menekan vena dan pemindahan cairan serebrospinal. Bila
tekanan makin lama makin meningkat, aliran darah ke serebral akan menurun dan
perfusi menjadi tidak adekuat, maka akan meningkatkan PCO2 dan menurunkan PO2
dan PH. Hal ini akan mnyebabkan vasodilatasi dan edema serebri.

Program Studi Profesi Ners


Clara Wulanda
UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU S.Kep
Edema lebih lanjut akan meningkatkan tekanan intracranial yang lebih berat dan
akan meyebabkan kompresi jaringan saraf. Pada saat tekanan melampaui
kemampuan otak untuk berkompensasi, maka untuk meringankan tekanan, otak
memindahkan ke bagian kaudal atau herniasi kebawah. Sebagian akibat dari herniasi,
batang otak akan terkena pada berbagai tingkat, yang mana penekanannya bisa
mengenai pusat vasomotor, arteri serebral posterior, saraf okulomotorik, traktus
kortikospinal, dan serabut-serabut saraf ascending reticular activating system.
Akibatnya akan mengganggu mekanisme kesadaran, pengaturan tekanan darah,
denyut nadi pernafasan dan temperature (Ningrum, 2013).

Pathway

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
4. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala umum:


a. Nyeri kepala
Nyeri bersifat dalam, terus-menerus, tumpul dan kadang-kadang bersifat hebat
sekali, biasanya paling hebat pada pagi hari dan diperberat saat beraktifitas yang
menyebabkan peningkatan TIK, yaitu batuk, membungkuk dan mengejan.
b. Kejang.
c. Perubahan kepribadian.
d. Gangguan memori dan alam perasa.
e. Tanda-tanda peningkatan TIK: nyeri kepala, papil edema, muntah.
f. Nausea dan muntah
Akibat rangsangan pada medual oblongata
g. Papil edema
Statis vena menimbulkan pembengkakan papila saraf optikus (Ngatisyah, 2002).

5. Klasifikasi
Menurut lokasi tumor:
a. Lobus frontalis
Gangguan mental/ gangguan kepribadian ringan: depresi, bingung, tingkah laku
aneh, sulit memberi argumentasi, gangguan bicara.
b. Lobus oksipital
Kejang, gangguan penglihatan.
c. Lobus temporalis
Tinnitus, halusinasi pendengaran, afasia sensorik, kelumpuhan otot wajah.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
d. Lobus parietalis
Hilang fungsi sensorik, gangguan penglihatan.
e. Cerebellum
Papil edema, nyeri kepala, gangguan motorik, hiperekstremitas sendi, hipotonia.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan
Memberi informasi spesifik mengenal jumlah, ukuran, kepadatan, jejas tumor,
dan meluasnya edema serebralsekunder serta member informasi tentang sistem
vaskuler.
b. MRI
Membantu dalam mendeteksi jejas yang kecil dan tumor didalam batang otakdan
daerah hiposisis, dimana tulang menggangudalam gambaran yang menggunakan
CT Scan.
c. Biopsi stereotaktik
Dapat mendiagnosa kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberi dasar
pengobatan seta informasi prognosisi.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
d. Angiografi
Memberi gambaran pembuluh darah serebal dan letak tumor.
e. Elektroensefalografi (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormal (Doengoes, 2000).

7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan tergantung pada penyebab lesi:
1) Untuk tumor primer, jika memungkinkan dilakukan eksisi sempurna, namun
umumnya sulit dilakukan sehingga pilihan pada radioteraphi dan
kemoteraphi, namun jika tumor metastase pengobatan paliatif yang
dianjurkan.
2) Hematom membutuhkan evakuasi
3) Lesi infeksi membutuhkan evakuasi dan terapi antibiotic
4) Pengobatan lain yang diperlukan meliputi:
a) Dexamatason, yang dapat menurunkan edema serebral.
b) Manitiol, untuk menurunkan peningkatan TIK.
c) Antikoonfulsan, sesuai dengan gejala yang timbul (Sudarwo, 2004).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Head up 30-45˚
Berfungsi untuk mengoptimalkan venous return dari kepala, sehingga akan
membantu mengurangi TIK.
2) Menghindari Terjadinya Hiperkapnia
PaCO2 harus dipertahankan dibawah 40 mmHg, karena hiperkapnia dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otak sehingga terjadi
peningkatan TIK, dengan cara hiperventilasi ringan disertai dengan analisa
gas darah untuk menghindari global iskemia pada otak .
3) ROM (Range of Motion)
Untuk pasien tirah baring lama.
4) Diet makanan cair melalui NGT.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
Adapun penatalaksanaan lainnya yang bisa dilakukan antara lain:
a. Terapi antibiotik. Kombinasi antibiotik dengan antibiotik spektrum luas.
Antibiotik yang dipakai: Penicilin, chlorampenicol (chloramyetin) dan nafacillen
(unipen). Bila telah diketahui bakteri anaerob, metrodiazelo (flagyl) juga dipakai.
b. Surgery: aspirasi atau eksisi lengkap untuk evaluasi abses (Long,1996).

8. Komplikasi
a. Gangguan fungsi neurologis
b. Gangguan kognitif
c. Gangguan tidur dan mood
d. Disfungsi seksual (Doengoes, 2000).

9. Prognosis
Tergantung pada lokasi dan kemungkinan tumor untuk diangkat, umur pasien,
histology tumor, dan metastasis tumor.
a. Bila lokasi memungkinkan tumor untuk diangkat, maka prognosis baik. Lokasi
seperti hipotalamus dan batang otak sulit diakses, dapat menyebabkan kematian,
meskipun tidak ada bukti histologik adanya keganasan.
b. Semakin lanjut usia pasien, maka semakin buruk prognosisnya, karena semakin
menurunnya kemampuan sel-sel tubuh untuk beregenerasi. Tumor yang ganas
juga memperburuk prognosis akibat cepatnya perkembangan tumor yg dapat
semakin meningkatkan TIK dan memperburuk kondisi pasien.
c. Pada pasien dengan tumor otak sebagai metastasis dari keganasan di organ lain,
maka pasien umumnya meninggal bukan disebabkan karena kerusakan pada otak,
namun akibat keganasan tersebut (Vinay Kumar, 2003).

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
B. Asuhan Keperawatan
1. Data fokus pengkajian
a. Identitas klien : nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit dan askes.
b. Keluhan utama : nyeri kepala disertai penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang : demam, anoreksi dan malaise peninggian tekanan
intrakranial serta gejala nerologik fokal.
d. Riwayat penyakit dahulu : pernah, atau tidak menderita infeksi telinga (otitis
media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis, abses paru, empiema),
jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit).
2. Pengkajian kegawatdaruratan
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
1) Chin lift / jaw trust
2) Suction / hisap
3) Guedel airway
4) Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi, whezing, sonor,
stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, dan sianosis pada tahap lanjut.
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau
atau sama sekali tidak sadar, tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang
cukup jelas dan cepat adalah dengan metode AVPU:
Awake : A, Respon bicara :V, Respon nyeri : P, Tidak ada respon : U.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi inline harus dikerjakan.
3. Pemeriksaan fisik
a. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis
Tanda : TD : meningkat
Nadi : Menurun (berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada
vasomotor).
b. Pernapasan
Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru
Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (episode awal). Perubahan mental (letargi
sampai koma) dan gelisah.
c. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, timbul kejang, gangguan penglihatan.
Tanda : Penurunan status mental dan kesadaran. Kehilangan memori, sulit dalam
keputusan, afasia, mata : pupil unisokor (peningkatan TIK), nistagmus, kejang
umum lokal.
d. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan, leher / pungung
kaku.
Tanda : Tampak terus terjaga, menangis / mengeluh.
e. Nutrisi
Gejala : Kehilangan nafsu makan, disfagia (pada periode akut)
Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa kering.
f. Eliminasi
Gejala : Tidak ada, dan Tanda : adanya inkonteninsia dan atau retensi.
g. Hygiene
Gejala : -) , dan Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan, perawatan
diri (pada periode akut).

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
h. Aktivitas / istirahat
Gejala : malaise
Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.
i. Keamanan
Gejala : adanya riwayat ISPA / infeksi lain meliputi : mastoiditis, telinga tengah,
sinus abses gigi, infeksi pelvis, abdomen ataukulit, fungsi lumbal, pembedahan,
fraktur pada tengkorak / cedera kepala.
4. Pemeriksaan Fisik Neurologis
Tingkat Kesadaran dibagi menjadi dua yaitu kualitatif dan kuantitatif
a. Kualitatif
1) Komposmentis (kesadaran yang normal)
2) Somnolen: keadaan mengantuk.
Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.Biasa disebut juga letargi.
Penderita mudah dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan
menangkis rangsang nyeri
3) Sopor (stupor): kantuk yang dalam.
4) Masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya
segera menurun kembali.Masih mengikuti suruhan singkat, terlihat gerakan
spontan.Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna.
Tidak diperoleh jawaban verbal dari penderita tetapi gerak motorik untuk
menangkis rangsang nyeri masih baik
5) Koma ringan
Tidak ada respon terhadap rangsang verbal.Reflek kornea, pupil masih
baik.Gerakan timbul sebagai respon dari rangsang nyeri tetapi tidak
terorganisasi. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan
6) Koma dalam atau komplit
Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang
nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
b. Kuantitatif (Skala Koma Glasgow)
1) Membuka Mata
 Spontan 4
 Dengan perintah/ di goyang 3

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
 Dengan rangsang nyeri 2
 Tidak ada reaksi 1
2) Respon verbal (bicara)
 Baik, tidak ada disorientasi                       5
 Bingung/ ragu (bisa membentuk kalimat tapi kacau) 4
 Bisa membentuk kata tapi tidak sesuai 3
 Bisa bicara tapi tidak berarti 2
 Tidak ada respon 1
3) Respon Motorik
 Menuruti perintah 6
 Dapat melokalisir adanya rangsangan nyeri 5
 Reaksi menghindar 4
 Tidak tau dimana rangsangan 3
 Reaksi abnormal 2
 Reaksi tidak ada 1
c. Kekuatan Otot
(1) Paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot
(2) Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang dapat
diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi.
(3) Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya tidak dapat
melawan pengaruh gravitasi.
(4) Selain dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh gravitasi
tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa.
(5) Kekuatan otot seperti pada tingkat 3 disertai dengan kemampuan otot terhadap
tahanan yang ringan
(6) Kekuatan otot normal
d. Rangsangan Meningeal
1) Kaku kuduk
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sbb:
Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,
kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai
dada.Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat
mencapai dada.Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat.
2) Kernig sign    
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada
persendian panggul sampai membuat sudut 90°.Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135°
terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari
sudut 135°, maka dikatakan Kernig sign positif.
3) Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu
lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan
kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini
adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi
lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
4) Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada
sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila
timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada
sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.
5) Lasegue sign 
Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua
tungkai diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus,
dibengkokkan (fleksi) persendian panggulnya.Tungkai yang satu lagi harus
selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus).Pada keadaan normal dapat
dicapai sudut 70° sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul
rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70° maka disebut tanda Lasegue
positif.Namun pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60°.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
e. Pemeriksaan Refleks
1) Refleks Fisiologis
a) Reflek Tendon Patella
Minta pasien duduk dan tungkai menggantung di tempat tidur, rilekskan
pasien dan alihkan perhatian untuk menarik kedua tangan di depan dada
dan pukul tendon patella.
b) Reflek bisep
Fleksikan lengan pasien pada bagian siku smpai 45 0 dengan posisi tangan
pronasi, letakkan ibu jari pemeriksa pada dasar tendon bisep dan jari-jari
lain di atas tendon bisep dan pukul ibu jari dengan reflek hammer
c) Reflek trisep
Pegang lengan bawah penderita yang disemifleksikan , kemudian
ketuklah tendon insersio m.triceps pada atas olecranon atau topang lengan
yang berada dalam keadaan abduksi dengan lengan bawah yang
tergantung bebas kemudian lakukan ketukan. Respon : terjadi gerakan
ekstensi elbow.
2) Reflek patologis
a) Babynski Test
Tes ini dilakukan dengan menggoreskan ujung palu reflex pada telapak
kaki pasien mulai dari tumit menuju ke atas bagian lateral telapak kaki
setelah sampai di kelingking goresan dibelokkan ke medial dan berakhir
dipangkal jempol kaki. Tanda positif responnya berupa dorso fleksi ibu
jari kaki disertai pemekaran atau abduksi jari-jari lain. Tanda ini spesifik
untuk cedera traktus piramidalis atau upper motor neuron lesi. Tanda ini
tidak bias ditimbulkan pada orang sehat kecuali pada bayi yang berusia di
bawah satu tahun. Tanda ini merupakan reflex patologis.
b) Oppenheim Test
Tanda atau reflex patologis ini dapat dibangkitkan dengan mengurut
tulang tibia dari atas ke bawah menggunakan ibu jari dan jari telunjuk.
Tanda ini positif responnya sama babinski tes yang mengindikasikan
upper motor neuron lesi.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
c) Chaddock Test
Memberikan rangsangan dengan jalan menggores pada bagian lateral
malleolus lateralis.
d) Gordon Test
Cara : memencet atau mencubit otot betis.
e) Refleks Schaefer
Cara: memencet/mencubit tendon achilles.
Semua pemeriksaan Reflex patologis diatas memiliki respon yang sama
dengan Babynski ketika ada kelainan pada upper motor neuron.
f. Pemeriksaan Saraf Kranial
1) Nervus I (Olfaktorius) penciuman
Anjurkan pasien mengidentifikasi berbagai macam jenis bau-bauan dengan
memejamkan mata, gunakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi,
tembakau, parfum atau rempah-rempah
2) Nervus II (Opticus)penglihatan
Meminta pasien untuk membaca bahan bacaan dan mengenali benda-benda
sekitar, jelas atau tidak.
3) Nervus III (Okumularis) kontriksi dan dilatasi pupil
Kaji arah pandangan, ukur reaksi pupil terhadap pantulan cahaya dan
akomodasinya
4) Nervus IV (Trokhlear) gerakan mata ke atas dan ke bawah
Kaji arah tatapan, minta pasien melihat ke atas dan ke bawah
5) Nervus V (Trigeminal) sensori kulit wajah, penggerak otot rahang
Sentuh ringan kornea dengan usapan kapan untuk menguji refleks
kornea/reflek negatif (diam)/ positif (ada gerakan).
Ukur sensasi dari sentuhan ringan sampai kuat pada wajah, kaji nyeri
menyilang pada wajah
6) Nervus VI (Abdusen) gerakan bola mata mnyamping
Kaji arah tatapan, minta pasien melihat kiri kanan
7) Nervus VII (Facial)ekspresi wajah dan pengecapan
Minta pasien tersenyum, mengencangkan wajah, menggembungkan pipi,
menaikkan dan menurunkan alis mata.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
8) Nervus VIII (Auditorius) pendengaran
Kaji pasien terhadap kata-kata yang dibicarakan, suruh pasien mengulangi
kata atau kalimat
9) Nervus IX (Glasofaringeal) pengecapan, kemampuan menelan, gerakan lidah
Meminta pasien mengidentifikasi rasa asam, asin pada bagian pangkal lidah.
Gunakan penekan lidah untuk menimbulkan reflek gag.
10) Nervus X (Vagus) sensasi faring, gerakan pita suara
Suruh pasien mengucapkan “ah” kaji gerakan palatum dan faringeal. Periksa
kerasnya suara pasien
11) Nervus XI (Asesorius) gerakan kepala dan bahu
Meminta pasien mengangkat bahu dan memalingkan kepala ke arah yang
ditahan oleh pemeriksa, kaji dapatkah klien melawan tahanan yang ringan
12) Nervus XII (Hipoglasus) posisi lidah
Minta pasien untuk menjulurkan lidah kearah garis tengah dan menggerakan
ke berbagai sisi
Dari anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan seperti ada
tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik
neurologik ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan defisit lapangan
pandang (Meagher & Lutsep, 2013). Perubahan tanda vital pada kasus SOL
intrakranial meliputi:
1) Denyut nadi
Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan TIK, terutama
pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme yang mungkin terjadi
untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol oleh tekanan pada
mekanisme refleks vagal yang terdapat dimedulla.
2) Pernapasan
3) Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada
batang otak pada pasien dewasa, perubahan pernapasan ini normalnya akan
diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.
Perubahan pola pernapasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang
otak.

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
4) Tekanan darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan tekanan intrakranial, terutama pada anak-anak.
Dengan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah akan
meningkat sebagai mekanisme kompensasi, sehingga terjadi penurunan dari
denyut nadi disertai dengan perubahan pola pernapasan. Apabila kondisi ini
terus berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun.
5) Suhu tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan TIK, suhu tubuh akan tetap
stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningkatan suhu tubuh
akan muncul akibat dari disfungsi dari hipotalamus atau edema pada traktus
yang menghubungkannya.
6) Reaksi pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil yang
lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang menyebabkan
penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau lesi pada otak.

5. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d kurangnya darah ke jaringan otak, adanya
perdarahan intraventrikel
b. Gangguan rasa nyeri b.d peningkatan TIK.
c. Gangguan kebutuhan nutrisi b.d kurang nutrisi.
d. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan (infark
serebri pada batang otak etcause tumor intrakranial temporoparietal dextra
e. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya akumulasi secret
di jalan napas
f. Kerusakan integritas kulit b.d tirah baring lama, imobilisasi

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
6. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Perencanaan
keperawatan
Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)

1. Gangguan Setelah dilakukan a. Memantau status


perfusi jaringan
perawatan selama 3x24 neurologis dengan teratur
cerebral
berhubungn jam diharapkan perfusi dan bandingkan dengan
dengan
jaringan kembali normal keadaan normalnya seperti
kurangnya
darah ke dengan kriteria hasil: GCS
jaringan otak
a. TTV normal b. Memantau frekuensi dan
b. Kesadaran pasien irama jantung
kembali seperti c. Memantau suhu juga atur
sebelum sakit suhu lingkungan sesuai
c. Gelisah hilang kebutuhan. Batasi
d. Ingatanya kembali penggunaan selimut dan
seperti sebelum sakit lakukan kompres hangat
jika terjadi demam
d. Memantau masukan dan
pengeluaran, catat
karakteristik urin, tugor
kulit dan keadaan
membrane mukosa
e. Mengunakan selimut
hipotermia
f. Kolaborasi
pemberian obatse suai
indikasi seperti steroid,
klorpomasin,
asetaminofen

2. Gangguan rasa Setelah dilakukan a. Menurunkan reaksi


nyeri perawatan selama 3x24 terhadap stimulus dari luar
berhubung-an jam nyeri hilang dengan dan meningkatkan
dengan kriteria hasil : istirahat
peningkatan a. Nyeri hilang b. Menurunkan gerakan yang
TIK
b. Pasien tenang dapat meningkatkan nyeri
c. Tidak terjadi mual c. Meningkatkan
muntah vasokontriksi,
d. Pasien dapat penumpukan resepsi
beristirahat dengan sensori yang akan
tenang menurunkan nyeri
d. Menurun kaniritasi
meningeal dan resultan
ketidaknyamanan lebih
lanjut
e. Membantu merelaksasi
ketegangan otot yang
meningkatkan reduksi
nyeri
f. Meningkatkan relaksasi
otot dan menurunkan rasa
sakit
g. Untuk menghilangkan
nyeri yang hebat

3. Gangguan Setelah dilakukan a. Mengkaji kemampuan


kebutuhan perawatan selama 3 x 24 pasien untuk mengunyah,
nutrisi jam diharapkan kebutuhan menelan
berhubungan pasien menjadi adekuat b. Memberi makanan dalam
dengan kurang dengan kriteria hasil: jumlah kecil dan sering
nutrisi a. Mual muntah hilang c. Menimbang berat badan
b. Nafsu makan d. Kolaborasi dengan ahli
meningkat gizi
c. BB kembali seperti
sebelum sakit

4. Pola napas Setelah dilakukan tindakan a. Monitor keadaan umum


tidak efektif keperawatan selama 3x 24 dan vital sign klien
berhubungan jam diharapkan pola napas b. Pantau status pernapasan
dengan depresi klien dapat efektif dengan klien
pusat kriteria hasil : c. Pantau adanya retraksi
pernapasan. otot intercosta
a. Napas adekuat spontan
d. Pertahankan head of bed
(16-24x/menit)
(30-45⁰)
b. Tidak ada bunyi nafas
e. Monitor hasil AGD pasien
tambahan
f. Kolaborasi :
Pertahankan penggunaan
ventilator dan observasi
setting ventilator dengan
status pernapasan klien
5. Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan a. Monitor adanya akumulasi
napas tidak keperawatan selama 3x 24 secret dan warnanya di
efektif jam diharapkan jalan napas jalan napas (ET dan
berhubungan klien dapat efektif adekuat mulut)
dengan adanya dengan kriteria hasil : b. Auskultasi suara napas
akumulasi klien
a. Sekret di ETT dan
secret di jalan c. Monitor status pernapasan
mulut berkurang atau
napas klien
tidak ada
d. Monitor adanya suara
b. RR dalam batas
gargling
normal(16-24x/menit)
e. Pertahankan posisi head of
c. Suara ronkhi
bed (30-45⁰)
berkurang atau hilang
f. Lakukan suction sesuai
indikasi
g. Kolaborasi : Berikan
nebulizer tiap 8 jam
6. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan a. Identifikasi tahap
integritas kulit keperawatan 3x24 jam, perkembangan luka
b.d tirah baring diharapkan terjadi - Grade I :
lama, perbaikan pada integritas Eritema yang tidak
imobilisasi kulit yang luka, dengan memutih dari kulit yang
kriteria hasil; utuh.
- Grade II :
 Memperlihatkan
Ulserasi pada epidermis
kemajuan penyembuhan
dan/atau dermis.
luka
- Grade III :
 Terbebas dari tanda-
Ulserasi meliputi lemak
tanda infeksi
sub kutan
- Grade IV :
Ulserasi menembus
otot rangka atau
struktur penunjang.
b. Kaji status luka
(warna, bau, jumlah
drainase dari luka dan
sekeliling kulit)
c. Lakukan perawatan
luka denganmencuci dasar
luka dengan cairan salin
steril dan tutup luka
dengan balutan steril
sehingga
d. Masase dengan
lembut kulit sehat
disekitar area lukauntuk
merangsang sirkulasi
(back rub)
e. Pantau tanda-tanda
klinis dari adanya infeksi
pada luka.
f. Membantu latihan
ROM dan mobilisasi
minimal (mika/miki) jika
kondisi memungkinkan
setiap minimal 2 jam

7. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah kategori dari
prilaku keperawatan di mana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan
hasil yang diperkirakan dari asukahan keperawatan dilakukan dan diselesaikan.
Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen
perencanaan dari proses keperawatan.
8. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah tindakan
keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi suatu masalah.
Berikut evaluasi yang diharapkan muncul dalam kasus SOL dari diagnosa dan
intervensi setelah dilakukan implementasi sebagai berikut:
a. Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan cerebral
b. Nyeri berkurang/hilang
Program Studi Profesi Ners
UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep
c. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
d. Pola nafas efektif
e. Bersihan jalan nafas efektif
f. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit

Daftar Pustaka
Batticaca, Fransisca. 2008.  Asuhan Keperawatanpada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan system Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Ningrum, F.Y., 2013. Space Occupaying Lesion (SOL).
http://www.scribd.com/doc/123949291/referat-SOL (diakses pada 9 April 2020).
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 3. Jogjakarta: Mediaction Jogja.

Sari,Yulia. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Ny. Su Dengan Post Craniotomi Tumor
Removal A/I Sol Regio Temporoparietal Dextra Di Ruang General Intensive Care
Unit (Gicu) Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang. Palembang: Universitas
Sriwijaya.

Wulandari, A., 2012. Space Occupaying Lesion (SOL).


http://www.scribd.com/doc/181664046/Sol (diakses pada 9 April 2020).
Program Studi Profesi Ners
UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep

Program Studi Profesi Ners


UNIVERSITAS PAHLAWANTUANKU Clara Wulanda
TAMBUSAI S.Kep

Anda mungkin juga menyukai