Anda di halaman 1dari 17

A.

Definisi
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru)
oleh suatu embolus secara tiba-tiba terjadi. (Perisai Husada-klinik specialis
penyakit dalam dan syaraf).
Emboli paru adalah obstruksi salah satu atau lebih arteri pulmonalis
oleh trombus yang berasal dari suatu tempat. (brunner dan suddarth, 2001)
Emboli Paru (Pulmonary Embolism) adalah penyumbatan arteri
pulmonalis ( arteri paru – paru ) oleh suatu embolus, yang terjadi secara tiba –
tiba. Kelainan ini ditandai dengan adanya pembendungan pada ateri pulmonalis
( atau salah satu cabangnya ) oleh bekuan darah, lemak, udara atau sel tumor,
emboli yang sering terjadi adalah trombo emboli, yang terjadi ketika bekuan
darah ( trombosis vena ) menjadi berpindah dari tempat pembentukan dan
menyumbat suplai darah arteri pada salah satu (Saryono, 2009).
Emboli Paru adalah sumbatan arteri pulmonalis yang disebabkan oleh
trombus pada trombosis vena dalam di tungkai bawah yang terlepas dan
mengikuti sirkulasi menuju arteri di paru. Setelah sampai diparu, trombus yang
besar tersangkut di bifurkasio arteri pulmonalis atau bronkus lobaris dan
menimbulkan gangguan hemodinamik, sedangkan trombus yang kecil terus
berjalan sampai ke bagian distal, menyumbat pembuluh darah kecil di perifer
paru ( Goldhaber, 1998; Sharma, 2005 ).
Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam
jumlah yang memadai ke jaringan paru-paru yang terkena sehingga kematian
jaringan bisa dihindari. Tetapi bila yang tersumbat adalah pembuluh yang
sangat besar atau orang tersebut memiliki kelainan paru-paru sebelumnya,
maka jumlah darah mungkin tidak mencukupi untuk mencegah kematian paru
– paru. Sekitar 10 persen penderita emboli paru mengalami kematian jaringan
paru – paru, yang disebut infark paru. Jika tubuh bisa memecah gumpalan
tersebut, kerusakan dapat diminimalkan. Gumpalan yang besar membutuhkan
waktu lebih lama untuk hancur sehingga lebih besar kerusakan yang
ditimbulkan. Gumpalan yang besar bisa menyebabkan kematian mendadak.

B. Etiologi
1
Berdasarkan hasil – hasil penelitian dari autopsy paru pasien yang
meninggal karena penyakit ini menunjukkan dengan jelas disebabkan oleh
trombos pada pembuluh darah, terutama vena ditungkai bawah atau dari
jantung kanan. Sumber Emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah
menginvasi sirkulasi vena ( Emboli tumor ), udara, lemak, sumsum tulang dan
lain-lain. Kemudian material Emboli beredar dalam peredaran darah sampai
disirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang – cabang arteri pulmonal,
memberi akibat timbulnya gejala klinis.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru menurut virchow
1856 atau sering disebut sebagai physiological risk factors meliputi :
1. Adanya aliran darah lambat (statis).
2. Kerusakan dinding pembuluh darah vena.
3. Keadaan darah mudah membeku (hiperkoagulasi).
Kebanyakan kasus emboli paru menurut brunner & suddarth (1996)
disebabkan oleh :
1. Bekuan darah.
2. Gelembung udara.
3. Lemak.
4. Gumpalan parasit.
5. Sel tumor.
Sumber Emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi
sirkulasi vena (Emboli tumor), dan lain-lain. Kemudian material Emboli
beredar dalam peredaran darah sampai disirkulasi pulmonal dan tersangkut
pada cabang-cabang arteri pulmonal, memberi akibat timbulnya gejala klinis
Kebanyakan kasus disebabkan oleh bekuan darah dari vena, terutama
vena di tungkai atau panggul. Penyebab yang lebih jarang adalah gelembung
udara, lemak, cairan ketuban atau gumpalan parasit maupun sel tumor.
Penyebab yang paling sering adalah bekuan darah dari vena tungkai, yang
disebut trombosis vena dalam. Gumpalan darah cenderung terbentuk jika darah
mengalir lambat atau tidak mengalir sama sekali, yang dapat terjadi di vena
kaki jika seseorang berada dalam satu posisi tertentu dalam waktu yang cukup
lama. Jika orang tersebut bergerak kembali, gumpalan tersebut dapat hancur,

2
tetapi ada juga gumpalan darah yang menyebabkan penyakit berat bahkan
kematian.
Menurut Sylvia A. Price, 2005, ada tiga faktor utama yang
menyebabkan timbulnya trombosis vena dan kemudian menjadi emboli paru
yaitu sebagai berikut :
a. Stasis atau melambatnya aliran darah
b. Luka dan peradangan pada dinding vena
c. Hiperkoagulasibilitas 
Trias klinis klasik yang merupakan predisposi trombo emboli paru
dideskripsikan oleh Rudolph Virchow tahun 1856, yaitu
a. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah
Kedaan ini dapat terjadi karena adanya cedera pada dinding pembuluh
darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan tromboflebitis
sebelumnya.
b. Hiperkoagulabilitas darah
Dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu termasuk kontrasepsi oral,
hormone replacement therapy dan steroid.
c. Stasis darah
Dapat disebabkan oleh immobilsasi yang berkepanjangan atau katup vena
yang inkompeten dan terjadi oleh karena proses tromboemboli sebelumnya.
Sebagian besar pasien dengan emboli paru memiliki kondisi klinis yang
berkaitan dengan faktor-faktor predisposisi ini, seperti trauma mayor,
pembedahan dalam waktu dekat sebelumnya, obesitas dan imobilitas,
merokok, peningkatan usia, penyakit  keganasan, pil kontrasepsi oral,
kehamilan, terapi insulin hormon, dan keadaan lain yang lebih jarang
(misalnya sindrom nefrotik) (Huon H. Gray,  2003).

C. Manifestasi klinis
Gambaran klinis emboli paru bervariasi tergantung pada beratnya
obstruksi pembuluh darah, jumlah emboli paru, ukurannya, lokasi emboli,
umur pasien dan penyakit kordiopulmonal yang ada. Emboli yang kecil
mungkin tidak menimbulkan gejala, tetapi sering menyebabkan sesak napas.

3
Tanda dan gejala emboli paru sangat berfariasi bergantung pada besar
bekuan. Gambaran klinis dapat berkisar dari keadaan tanpa tanda sama sekali
sampai kematian mendadak akibat embolus pelana yang masif pada
percabangan ateri pulmonalis utama yang mengakibatkan sumbatan pada
saluruh aliran darah ventrikel kanan. Emboli ukuran sedang berupa awitan
mendadak dipsnoe yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, takepnue,
takikardia, dan gelisah.nyeri pleuritik, suara gesekan pleura, hemoptisis dan
demam jarang ditemukan kecuali bila terjadi infark (Sylvia A. Price, 2005).
Kecurigaan emboli paru merupakan dasar dalam menentukan test
diagnostik. Dipsnoe gejala paling sering muncul dan takipnoe adalah tanda
emboli paru yang paling khas. Pada umumnya dipsnoe berat, sinkop dan
sianosis merupakan tanda emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri
pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru yang paling kecil dan terletak
diarteri pulmonal distal berdekatan dengan garis pleura (Goldhaber, 1998;
Sharma, 2005).

D. Klasifikasi
1. Embolus besar
 Tersangkut di arteri pulmonalis besar atau dari percabangan arteri
pulmonali.
 Dapat menyebabkan kematian seketika
 Dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan gangguan hemodinamik.
2. Embolus Kecil
 Tidak menimbulkan gejala klinis pada penderita tanpa kelemahan
kardiovaskuler.
 Dapat menyebabkan nyeri dadasepintas dankadang-kadang hemoptisi
karena pendarahan paru
 Pada penderita dengan kelemahan sirkulasi pulmoner (payah jantung)
dapat menyebabkan infark.

E. Patofisiologi

4
Thrombus dapat terbentuk dari bekuan darah, lemak, udara atau sel
tumor, emboli. Bila thrombus lepas dari tempatnya, emboli ini akan mengikuti
aliran sistem vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi pulmonal. Ketika
trombus menghambat sebagian atau seluruh arteri pulmonal, ruang mati
alveolar membesar. Selain itu, keadaan ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan arteri pulmonalis yang akan melepaskan sejumlah substansi
vasokonstriktor seperti serotonin, reflex vasokonstriksi arteri pulmonalis dan
hipoksemia yang pada akhirnya menimbulkan hipertensi pulmonal. Hal ini
juga menyebabkan bronkhiolus berkonstriksi. Reaksi ini dibarengi dengan
ketidak seimbangan ventilasi – perfusi menyebabkan sebagian darah terpirau
( tidak ada pertukaran gas yang terjadi ) yang mengakibatkan penurunan kadar
O2 dan peningkatan CO2. Konsekuensi hemodinamik adalah peningkatan
tahanan vaskuler paru akibat penurunan jaringan-jaringan vaskuler pulmonal,
mengakibatkan peningkatan tekanan arteri pulmonal dan pada akirnya
meningkatkan kerja ventrikel kanan untuk mempertahankan aliran darah
pulmonal.
Efek klinis Emboli Paru tergantung pada derajat obtruksi vaskuler paru,
pelepasan agen humoral vasoaktif dan bronkokonstriksi dari pratelet teraktivasi
(misalnya serotonin, tromboksan A2), penyakit kardiopulmonal sebelumnya,
usia dan kesehataan umum pasien.
Afterload RV meningkat secara bermakna bila lebih dari 25% sirkulasi
paru mengalami obstruksi. Awalnya hal ini mengakibatkan peningkataan
tekanan RV, kemudiaan diikuti oleh dilatasi RV dan regurgitasi trikuspid, dan
dengan mulai gagalnya ventrikel kanan, terjadi penurunan tekanan RV.
Ventrikel kanan yang normal tidak mampu meningkatkan tekanan ateri
pulmonalis lebih banyak di atas 50 – 60 mmHg  sebagai respons terhadap
obstruksi mayor mendadak pada sirkulasi paru, sementara pada trombus
emboli kronis atau PH primer tekanan RV dapat  meningkat secara bertahap
hingga tingkat suprasistemik ( >100 mmHg ). Kombinasi dari penurunan aliran
darah paru dan pergeseran septum interventrikel keruangan ventrikel kiri
akibat ventrikel kanan yang mengalami dilatasi, menurunya pengisian ventrikel
kiri. Maka dispnoe pada pasien dengan obstruksi berat akut sirkulasi paru dapat
dikurangi manuver yang meningkatkan aliran balik vena sistemik dan preload
5
ventrikel kiri, seperti berbaring datar, mendongak dengan kepala kebawah, dan
infus koloid intravena. Hal ini berlawanan dengan dispnue pada pasien dengan
gagal ventrikel kiri, yang gejalanya berkurang dengan manuver yang
menurunkan preload ventrikel kiri, seperti duduk tegak dan terapi duduk (
Huon H. Gray,  2003 ).
Menurut ( Goldhaber, 2005 dan Sunu, 2006 ), secara garis besar emboli
paru akan membentuk efek patofisiologi sebagai berikut:
a. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi,
neurohormonal, atau baroreseptor arteri pulmonal atau peningkatan tekanan
arteri pulmonalis
b. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari
dampak obstruksi vaskuler dan hipoksemia karena hipoventilasi alveolar,
rendahnya unit ventilasi – perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga
gangguan transfer karbonmonoksida
c. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi reflex oleh iritasi resptor
d. Peningkatan resistensi jalan napas oleh karena bronkokonstriksi
e. Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru, perdarahan
dan hilangnya surfaktan

6
F. Pathway
Trombus Emboli

Penyumbatan aliran darah

Penurunan aliran darah ke paru-paru Penurunan aliran


darah ke jantung

Oksigen ke jaringan tubuh menurun Hipoksia jaringan


tubuh

Hipoksia jaringan paru-paru Gangguan pertukaran gas,kerusakan

Gangguan pertukaran gas,kerusakan


Sianosis
Infark jaringan paru2 tempat emboli paru
penurunan oksigen

Intoleransi aktivitas
Pola Nafas Tidak Efektif

7
H. Komplikasi
Komplikasi meliputi disfungsi ventrikel, gagal nafas, kegagalan multi
organ, dan kematian (Greenberg, 2005).
Nekrosis iskemik lokal (infark) merupakan komplikasi emboli paru
yang jarang terjadi karena paru memiliki suplai darah ganda. Infark paru
biasanya dikaitkan dengan penyumbatan ateria lobaris atau lobularis ukuran
sedang dan isufisiensi aliran kolateral dari sirkulasi bronkus. Suara gesekan
pleura dan sidikit efusi pleura merupakan tanda yang sering ditemukan (Sylvia
A. Price, 2005).

I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Huon H, Gray (2003) pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi:
1. Elektrokardiografi
Kelainan yang ditemukan pada elektrokardiografi juga tidak spesifik
untuk emboli paru, tetapi paling tidak dapat dipakai sebagai pertanda
pertama dugaan adanya emboli paru, terlebih kalau digabungkan dengan
keluhan dan gambaran klinis lainnya.
Mungkin memperlihatkan sinus takikardia dan normal pada emboli
paru minor, namun memperlihatkan abnormalitas khas pada sekitar 30%
pasien dengan Emboli Paru masif.
2. Ekokardiografi
Bisa terlihat dilatasi jantung kanan dan perkiraan tekan RV mungkin
dilakukan bila dideteksi regusitasi trikuspid. Kadang trombus bisa dilihat
jantung kanan.
3. Radiografi Toraks
Dilatasi arteri pulmonal proksimal mayor, dan area oligemia paru dapat
menandakan adanya obstruksi arteri mayor.
4. Pemindaian Paru
Biasanya dilaporkan sebagai kemungkinan Emboli Paru rendah,
sedang, atau tinggi. Bila sugestif Emboli Paru, pemindaian cenderung
untuk menilai rendah derajat keparahan angiografi dan gangguan
hemodinamik Emboli Paru.
5. MRI dan pemindaian CT
8
Terutama CT spiral diperkuat kontras, semakin banyak digunakan dan
dapat mendeteksi emboli paru yang tidak diduga secara klinis. Pemidain
CT merupakan pemeriksaan pilihan pasien dengan dugaan emboli Paru
yang juga memiliki penyakit paru sebelumnya.
6. Analisa Gas Darah
Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 akibat ventilasi yang
berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau sedikit menurun
disebabkan hiperventilasi. PO2 rendah (Hipoksemia), menurunnya PCo2
atau dibawah 40 mmHg. Gas darah arteri (GDA)menunjukkan hipoksemia
(PaO2 kurang dari 80MmHg)dan alkalosis respiratori (PaCO2 kurang dari
35MmHg dan pH lebih tinggi dari 7,45).Alkalosis respiratori dapat di
sebabkan oleh hiperventilasi.
7. D-dimer
Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan
oleh fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan.
D-dimer secara ELISA dapat memprediksi emboli paru bila ratio D-
dimer/fibrinogen > 1000.
8. Scanning ventilasi-perfusi
Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non-invaisif suspect
emboli paru. Keterbatasan alat ini adalah adanya alergi kontras,
insufisiensi ginjal atau kehamilan.
9. Spiral pulmonary CT Scan
Pemeriksaan ini dapat diberikan pada klien yang tidak dapat menjalani
pemeriksaan scanning ventilasi – perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan memberikan injeksi kontras medium melalui vena perifer dan
dapat mencapai arteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi
arteri pulmonal sampai ke cabang segmentalnya.
10. Pulmonary scintigraphy
Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu
tekhnik yang cukup sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Deficit
perfusi dapat dikarenakan oleh ketidakseimbangan aliran darah ke bagian
paru atau disebabkan masalah paru seperti efusi atau kolaps paru. Untuk

9
menambah spesifisitasnya, tekhnik ini selalu dikombinasi dengan
ventilation scan dengan menggunakan radioaktif xenon.
11. Pulmonary angiography
Untuk melihat terdapatnya defek atau arteri cutoff dengan tidak adanya
darah pada distal aliran darah.
12. Pemeriksaan untuk trombosis vena dalam (sebagai penyebab tersering):
1. USG Doppler pada aliran darah anggota gerak
2. Venografi tungkai
3. Pletsimografi tungkai
13. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah tepi: Kadang – kadang ditemukan leukositosis dan
laju endap darah yang sedikit tinggi.
b. Kimia darah: Peningkatan kadar enzim SGOT, LDH

J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Kebanyakan pasien
emboli paru merupakan keadaan gawat darurat, tindakan pertama pada
pasien ini adalah memperbaiki keadaan umum pasien untuk
mempertahankan fungsi – fungsi vital tubuh:
a. Memberikan Oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksimia.
b. Memberikan cairan infus untuk mempertahankan kesetabilan keluaran
ventrikel kanan dan aliran darah pulmonal.
c. Tirah baring
d. Pemberian bantuan oksigen
e. Pemantauan TD
f. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg, bila tidak ditoleransi
gunakan 20-30 mmHg)
2. Penatalaksanaan medis
Pengobatan utama terhadap emboli paru
a. Pengobatan anti koagulan dengan heparin dan warfarin.
b. Pengobatan trombolitik.
Tujuan pengobatan utama ini adalah:
10
a. Segera menghambat pertumbuhan tromboemboli.
b. Melarutkan tromboemboli.
c. Mencegah terjadinya emboli ulang
Anamnesis gejala dan faktor resiko pasien dan harus didapatkan dengan
jelas. Dengan sedikit pengecualian, pasien yang diduga mengalami emboli
paru harus mendapatkan pemeriksaan radiodrafi thoraks dan EKG dan
dirujak untuk pemidaian V/Q paru. Bila indeks kecurigaan klinis tinggi,
antikougulan harus dimulai, tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang,
selain terapi suportif misalnya analgesik dan oksigen, tiga pilihan terapi
segera untuk emboli paru adalah antikoagulasi dengan heparin, terapi
trombolitik, embolektomi paru (Huon H. Gray,  2003).
Pengobatan utama untuk emboli paru terdiri dari terapi dengan terapi
fibronolitik untuk pasien emboli paru masif atau tidak menetap. Regimen
fibronolitik biasa digunakan untuk emboli paru, termasuk juga dua bentuk
aktifaktor plasminogen jaringan rekombinan t-PA (altelpalse) dan r-PA
(retelplase) yang digunakan dengan urokinase dan setretokinase. Bedah
embolektomi dilakukan bila terapi dengan fibronolitik merupakan
kontraindikasi. Tindakan tambahan yang penting juga penting adalah
menghilangkan nyeri dengan agen antiinflamasi nonsteroid, suplemen
oksigen, pemantauan perawatan intensif, dan stock-stacking penekanan
sebesar 30 hingga 40 mmhg, dobutamin digunakan untuk mengobati gagal
jantung karena dan syok kardiogenik. Pencegahan sekunder emboli paru
dengan menggunakan heparin,. Heparin adalah antikoagulan yang penting
karena menghambat pembesaran bekuan tapi tidak mampu menghancurkan
bekuan yang sudah ada (Sylvia A. Price, 2005).
Antikoagulan heparin merupakan pilar utama terapi segera, dengan
pemberian antikoagulan jangka panjang sebagai komponen penting
perawatan, filter vena kava dapat dipertimbangan pada beberapa untuk
mengurangi kemungkinan emboli tambahan ke paru, trombolisis dapat
dipertimbangkan pada beberapa kasus tetapi saat ini masih kontroversial.
Emboliktomi secara bedah atau dengan panduan kateter dapat
dipertimbangkan pada pasien tertentu ( Greenberg, 2005 ).

11
K. Pencegahan
 Mencegah pembentukan trombus merupakan tanggung jawab keperawatan
yang utama. Ambulasi dan latihan tungkai aktif serta pasif dianjurkan
untuk mencegah stasis vena pada pasien tirah baring. Pasien diintruksikan
untuk menggerakan tungkai dalam latihan gerakan memompa sehingga
otot-otot tungkai dapat membantu aliran vena. Pasien juga disarankan
untuk tidak duduk atau berbaring untuk waktu yang lama, menyilangkan
tungkai atau mengenakan pakaian yang ketat. Tungkai tidak boleh
dijuntaikan tidak juga diletakan dalam posisi tergantung sementara pasien
duduk ditepi tempat tidur. Sebaliknya, kaki pasien harus diletakkann diatas
lantai atau di atas kursi, kateter intravena (untuk terapi parental atau
pengukuran tekanan vena sentral) tidak boleh terpasang untuk waktu yang
lama ( Smeltzer Suzanne C, 2002 ).
 Pencegahan emboli paru menurut dr. Rosfanty adalah:
Pada orang-orang yang memiliki resiko menderita emboli paru,
dilakukan berbagai usaha untuk mencegah pembentukan gumpalan darah di
dalam vena. Untuk penderita yang baru menjalani pembedahan ( terutama
orang tua ), disarankan untuk:
 Menggunakan stoking elastis
 Melakukan latihan kaki
 Bangun dari tempat tidur dan bergerak aktif sesegera mungkin untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya pembentukan gumpalan.
Stoking kaki dirancang untuk mempertahankan aliran darah,
mengurangi kemungkinan pembentukan gumpalan, sehingga
menurunkan resiko emboli paru. Terapi yang paling banyak digunakan
untuk mengurangi pembentukan gumpalan pada vena tungkai setelah
pembedahan adalah heparin. Dosis kecil disuntikkan tepat di bawah
kulit sebelum operasi dan selama 7 hari setelah operasi. Heparin bisa
menyebabkan perdarahan dan memperlambat penyembuhan, sehingga
hanya diberikan kepada orang yang memiliki resiko tinggi mengalami
pembentukan gumpalan, yaitu:
 Penderita gagal jantung atau syok
 Penyakit paru menahun
12
 Kegemukan
 Sebelumnya sudah mempunyai gumpalan
Heparin tidak digunakan pada operasi tulang belakang atau otak karena
bahaya perdarahan pada daerah ini lebih besar. Kepada pasien rawat inap yang
mempunyai resiko tinggi menderita emboli paru bisa diberikan heparin dosis
kecil meskipun tidak akan menjalani pembedahan. Dekstran yang harus
diberikan melalui infus, juga membantu mencegah pembentukan gumpalan.
Seperti halnya heparin, dekstran juga bisa menyebabkan perdarahan. Pada
pembedahan tertentu yang dapat menyebabkan terbentuknya gumpalan,
( misalnya pembedahan patah tulang panggul atau pembedahan untuk
memperbaiki posisi sendi ), bisa diberikan warfarin per-oral. Terapi ini bisa
dilanjutkan untuk beberapa minggu atau bulan setelah pembedahan
( Winoviyanto, 2011 ).

13
ASUHAN KEPERAWATAN EMBOLI PARU

1. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NANDA NOC NIC
Pola nafas tidak efektif  Domain II : Physiological  Domain II : Physiological
b.d dyspnea penurunan Health complex cont’d
fungsi paru.  Class E : cardiopilmonary  Class K : Respiratory
 Domain IV :  0415 : Respiratory status Management
activity/rest Setelah dilakukan tindakan  3302 : Oxygen therapy
 Class 4 keperawatan selama
:Cardiopulmonary/pul Kriteria hasil yang diharapkan Aktivitas :
mo responses :  Bersihkan mulut, hidung dan
 00032 : Ineffective  041501 : Nilai Respirasi (2-3) trakea dari sekresi, senyawa
breathing pattern  041502 : Ritme respirasi (2-3)  Pertahankan kepatenan jalan
 041503 : Kedalaman respirasi nafas
(2-3)  Mengatur & mengelola O2,
 Auskultasi suara nafas (2-3) lembutkan kelembaban sistem
 Dyspnea saat istirahat (1-3)  Perhatikn flow meter O2
 Dyspnea saat aktivitas (2-3)

Gangguan pertukaran gas  Domain II : Physiologic  Domain II : Physiological


b.d emboli parutrombus. Health complex cont’d
 Domain 3 :  Class E : Cardiopulmonary  Class K : Respiratory
elimintion  0402 : Respiratory Status : Management
exchange Gas Exchange  4106 : Embolus Care :
 Class 4 : fungsi Setelah dilakukan tindaan Pulmonary
respiratory keperawatan selama
 00030 : impaired Aktivitas :
gas exchange Kriteria hasil yang diharapkan :  Persiapkan terapi trombolitik,
 040208 : tekanan parsial sesuai indikasi ( seperti :
oxygen di arteri ( PaO2 ) streptokinase, urokinase, aktivase
(2–3) )
 040209 : PCO2 ( 1 – 3 )  Peroleh riwayat kesehatan pasien
 040210 : pH arteri ( 1 – untuk melakukan pencegahan
3) saat ini dan selanjutnya
 040211 : saturasi oxygen  Evaluasi perubahan pada status
(1–3) respirasi dan jantung ( seperti :
 040203 : dyspnea at rest skala, whezing baru, hemoptisis,
(2–3) dyspnea, takipnea, takikardia,
 040204 : dyspnea with sinkop )
miltexertion ( 2 – 3 )  Membantu dengan tes diagnostik
dan ketetapan untuk menunjang
dan menyingkirkan kondisi
dengan tanda serupa ( seperti :
infark miokrd, perikarditis,
pneumonia, pneumotorax )
14
 Instruksikan pasien atau keluarga
mengenai prosedur diagnostik
( v/q scan, CT – Scan, USG )
 Auskultasi bunyi paru
Nyeri  Domain IV : Health  Domain 1 : Physiological
 Domain 12 : knowledge & Behavior Basic
comfort  Class Q : Health Behavior  Class E : Physical comfort
 Class 1 :  1605 : Pain control promotion
physicalcomfort Setelah dilakukan tindakan  1400 : pain management
 00132 : acute keperawatan selama Aktivitas :
pain Kriteria hasil yang diharapkan :  Lakukan penilaian
 160501 : komprehensif terhadap
mendeskripsikan faktor nyeri
penyebab ( 2 – 4 )  Observasi tanda – tanda
 160502 : mengetahui non verbal dari
onset / skala nyeri ( 2 – ketidaknyamanan, terutama
3) pada klien yang bisa
 160504 : gunakan berkomunikasi surefektif
prosedur non analgesik (  Perhatikan penuh
2–3) perawatan analgesik pasien
 160505 : gunakan  Gunakan komunikasi
analgesik jika perlu ( 2 – terapeutik, untuk
3) memberitahu sakit dan
 160510 : membuat menyampaikan penerimaan
catatan atau monitoring ( respon pasien terhada nyeri
1–3)  Batasi faktor lingkungan
 160513 : laporkan yang dapat mempengaruhi
perubahan gejala nyeri pasien ( seperti suhu
hingga ke tenaga medis ruangan, penerangan dan
lain ( dokter ) ( 1 – 3 ) kebisingan

2. Implementasi & Evaluasi Keperawatan


No Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi
1 Senin, 17  Membersihkan mulut, hidung dan S : Pasien sudah tidak terlihat dyspnea
November 2014 trakea dari sekresi, senyawa O:
 Mempertahankan kepatenan jalan  RR = 21x/menit
nafas  N = 98x/menit
 Mengatur & mengelola O2,  TD = 120/80
lembutkan kelembaban sistem  S = 36,5oC
 Memperhatikn flow meter O2 A : Masalah Teratasi
P : Hentikan intervensi
 Mempersiapkan terapi trombolitik, S : -
sesuai indikasi ( seperti : O :
streptokinase, urokinase, aktivase ) - analisa gas darah normal ,
 Memperoleh riwayat kesehatan - tingkat kesadaran
pasien untuk melakukan komposmentis
15
pencegahan saat ini dan selanjutnya A : masalah teratasi
 Mengevaluasi perubahan pada P : intervensi dihentikan
status respirasi dan jantung ( seperti
: skala, whezing baru, hemoptisis,
dyspnea, takipnea, takikardia,
sinkop )
 Membantu dengan tes diagnostik
dan ketetapan untuk menunjang
dan menyingkirkan kondisi dengan
tanda serupa ( seperti : infark
miokrd, perikarditis, pneumonia,
pneumotorax )
 Menginstruksikan pasien atau
keluarga mengenai prosedur
diagnostik ( v/q scan, CT – Scan,
USG )
 Mengauskultasi bunyi paru
 Melakukan penilaian komprehensif S : Nyeri dada pasien berkurang
terhadap nyeri O:
 Mengobservasi tanda – tanda non - Pasien tampak membaik
verbal dari ketidaknyamanan, - Pasien terlihat tenang
terutama pada klien yang bisa
berkomunikasi surefektif A : Masalah teratasi
 Memperhatikan penuh perawatan P : Intervensi dihentikan
analgesik pasien
 Menggunakan komunikasi
terapeutik, untuk memberitahu
sakit dan menyampaikan
penerimaan respon pasien terhada
nyeri
 Mematasi faktor lingkungan yang
dapat mempengaruhi pasien
( seperti suhu ruangan, penerangan
dan kebisingan

16
DAFTAR PUSTAKA

Fedullo PF. 2003. The evaluation of suspected pulmonary embolism. N Engl J Med.
Gruber MP, Bull TM. Pulmonary embolism. Dalam: Albert RK, Spiro SG, Jett JR,
2008. Texbook of Clinical Respiratory Medicine. Edisi ke-3. Philadelphia:
Mosby Elsevier,
Klok FA, Mos IC, Nijkeuter M. 2008. Simplification of the revised Geneva score for
assessing clinical probability of pulmonary embolism. Archives of Internal
Medicine.
Konstantinides S, et al. 2002. Importance of cardiac troponin I and T in risk
stratification of patients with acute pulmonary embolism. Circulation.
Kucher N, et al. 2005. Percutaneous catheter thrombectomy device for acute
pulmonary embolism: in vitro and in vivo testing. Radiology.
Lopez CA, Edelman K, Candales MD. 2010. Right ventricular apical contractility in
acute pulmonary embolism: the McConnell sign revisited. Echocardiography.
Puls M, Dellas C, et al. 2007. Heart-type fatty acidbinding protein permits early
risk stratification of pulmonary embolism. Eur Heart J.
Torbicki A, Perrier A, Konstantinides S, Agnelli G, Galie N, Pruszczyk P, et al. 2008.
Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism.
European Heart Journal.
Perrier A, Roy PM, Aujesky D, Chagnon I, Howarth N, Gourdier AL, et al. 2004.
Diagnosing pulmonary embolism in outpatients with clinical assessment, D-
dimer measurement, venous ultrasound, and helical computed tomography: a
multicenter management study. Am J Med.
Van SMJ, DeMonye W, Kieft GJ, Pattynama PM, Prins MH, Huisman MV. 2005.
Accuracy of singledetector spiral CT in the diagnosis of pulmonary
embolism: a prospective multicenter cohort study of consecutive patients with
abnormal perfusion scintigraphy. J Thromb Haemost.
Van de WF, et al. 2003. Management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. The Task Force on the Management of
Acute Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Eur
Heart J.

17

Anda mungkin juga menyukai