Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah politik telah menyebabkan umat Islam berpecah-belah dalam berbagai


kelompok dan golongan. Perpecahan politik juga mempengaruhi perselisihan di bidang Akidah,
Syariah, dan tidak ketinggalan juga perkembangan Hadith, Tafsir, Tasawuf, dan sebagainya. Dari
sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang teologi. Selain persoalan
politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda mengenai Alquran
(makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaiamana awal perpecahan umat islam?
2. Bagaimana persoalan politik mepengaruhi perpecahan aqidah?

C. Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dalam karya ilmiah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui awal perpecahan umat islam
2. Untuk mengetahui pengaruh politik dalam perpecahan aqidah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Awal Munculnya Perselisihan

Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini
memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem
pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku
yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat. Tetapi, pada saat Nabi
SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok
pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya,
Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke

1
Yatsrib (sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M. Ketika masih di Makkah, Nabi SAW
hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda,
yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem
pemerintahan Islam pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah. Ketika Nabi SAW
wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu saja, tetapi meliputi
seluruh Semenanjung Arabia.
Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam
bukunya yang bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas
berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW
dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk Keberhasilan kaum muslimin membangun
imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang kuat bahwa, mengutip kata-kata
Nurcholish Madjid, “salahsatu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya,
ialah kejayaan dibidang politik”.[i] “Kendati demikian…”, lanjut Nurcholish, “sejarah mencatat
dengan penuh kesedihan bahwa perpecahan, pertentangan dan bahkan penumpahan darah dalam
tubuh ummat Islam terjadi karena persoalan politik”.[ii]. Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul
persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu.
Masalah imamah adalah masalah politik, masalah menentukan siapa yang akan memimpin umat.
Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu
untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar
digantikan oleh Umar bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan. Dari
sinilah, mulai bermunculan berbagai pandangan umat Islam.

Sejak terbunuhnya Usman bin Affan (tahun 35 H) umat Islam tidak lagi memiliki
pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya sendiri dan
tidak mengakui pemimpin dari kelompok lain. Terbunuhnya Usman itu sendiri sebenarnya
disebabkan oleh masalah politik juga. Kelompok pemberontak yang tidak senang dengan para
gubernur yang diangkat oleh Usman dan kebijaksanaannya menuntut agar khalifah ketiga itu
meletakkan jabatan, tetapi Usman enggan melakukannya. Keengganan Usman melakukan
tuntutan kelompok tersebut membuat mereka marah dan akhirnya Usman terbunuh di rumah
ketika sedang membaca Al-Qur`an. [3]
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami
suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali
merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit
perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman.

B. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan

Di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat) ini, perang secara fisik
beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-
peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat,
paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi
antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang
Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan. Faktor
penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para pembunuh
Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara
damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah
terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke

2
Madinah. Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah
juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu
Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi--di masa pemerintahan Khalifah
Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Perselisihan yang terjadi antara Ali
dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah,
Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah,
dan Kadariah.Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang
terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan
(aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul
mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan. ''Kelompok
khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak melaksanakan
keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena itu,
mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,'' kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi
Kartanegara, kepada Republika. Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan
keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan
berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang teologi. Selain persoalan politik dan akidah
(keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda mengenai Alquran (makhluk atau
kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya.

Hasan Langgulung di dalam bukunya asas-asas pendidikan Islam mengutip dari John
Dewey menjelaskan, bahwa filsafat merupakan teori umum, sebagai landasan dari semua
pemikiran umum mengenai pendidikan. Dalam kaitanya dengan ini Hasan Langgulung
berpendapat bahwa filsafat pendidikan adalah penerapan metode dan pandangan filsafat dalam
bidang pengalaman manusia yang kemudiaan disebut dengan pendidikan.[11]

Sedangkan John S. Brubachen, seorang guru besar filsafat asal Amerika mengatakan,
bahwa hubungan antara filsafat dan pendidikan sangat erat sekali antara satu dengan yang
lainnya. Kuatnya hubunga tersebut disebabkan karena kedua disiplin tersebut menghadapi
problema-problema filsafat secara bersama.[12] Selanjutnya Noor Syam di dalamnya bukunya
Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila mengutip dari Kilpatrik menjelaskan bahwa
berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha, berfilsafat ialah memikirkan dan
mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik ialah uasaha
merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu di dalam kehidupan dalam kepribadian manusia.[13]
[7] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002) cet. ke-2, hlm. 13.
[8] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002) cet. ke-2, hlm. 13.
[9] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014) cet. ke-7, Ed. Rev., hlm. 5.
Selain itu Jalaluddin dan Said di dalam bukunya “Filsafat Pendidikan Islam” mengutip
[10] Redja Mudyahardjo, Pendidikan Ilmu Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 2004), hlm. 3-4.
dariHasan
[11] Prof.Langgulung,
DR. Oemar Muhammad
Asas-asas PendidikanAt-Toumy Asy-Syaibani
Islam (Jakarta: secara
Al-Husna, 1987), hlm. rinci
40. menjelaskan, bahwa
[12]
filsafat pendidikan merupakan usaha mencari konsep-konsep di antara2002)
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, cet. yang
gejala ke-2, hlm. 18.
bermacam-
[13] M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm. 43.
macam, yang meliputi;

3
 Proses pendidikan sebagai rancangan terpadu dan menyeluruh.

 Menjelaskan berbagai makna yang mendasar tentang semua istilah pendidikan.

 Pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam kaitannya dengan bidang
kehidupan manusia.[14]
Dari sini dapat kita pahami bahwa filsafat dan filsafat penddikan merupakan dua istilah
yang berbeda tetapi sangat berhubungan antara satu dengan yang lain, karena pendidikan
merupakan realisasi dari filsafat. Dalam kaitanya hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan
ini Jalaluddin dan Said menjelaskan, bahwa hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan
menjadi sangat penting sekali, sebab ia menjadi dasar, arah, dan pedoman suatu sistem
pendidikan. Filsafat pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat
sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan dan mengharmoniskan
dan menerangkan nilai-nilai dan tujuanyang ingin dicapai. Jadi terdapat kesatuan yang utuh
antara filsafat, filsafat pendididkan, dan pengalaman manusia.[15]

Dari beberapa Uraian di atas dapat kita tarik suatu kesimpulan, bahwa hubungan antara
filsafat dan filsafat pendidikan itu sangat erat sekali dan tak bisa dipisahkan, karena filsafat
memberi arah dan pedoman dasar bagi usaha-usaha perbaikan, pengembangan, dan
meningkatkan kemajuan dan landasan yang kokoh bagi tegaknya sistem pendidikan yang
diharapkan.

C. Manfaat Belajar Filsafat Pendidikan

Mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di lembaga pendidikan tenaga keguruan dituntut
untuk memikirkan masalah-masalah hakiki terkait pendidikan. Dengan begitu, pemikiran
mahasiswa menjadi lebih terasah terhadap persoalan-persoalan pendidikan baik dalam lingkup
mikro maupun makro. Hal ini menjadikan mahasiswa lebih kritis dalam memandang persoalan
pendidikan.

Di samping itu, mahasiswa yang mempelajari dan merenungkan masalah- masalah


hakiki pendidikan akan memperluas cakrawala berpikir mereka, sehingga dapat lebih arif dalam
memahami problem pendidikan. Sebagai intelektual muda yang kelak menjadi pendidik atau
tenaga kependidikan, sudah sewajarnya bila mereka dituntut untuk berpikir reflektif dan bukan
sekedar berpikir teknis di dalam memecahkan problem-problem dasar kependidikan, yaitu
dengan menggunakan kebebasan intelektual dan tanggung jawab sosial yang melekat padanya.[16]

[14] Jalaluddin dan Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 11-12.
[15] Jalaluddin dan Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 22.
[16] http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/dr-rukiyati-mhum/bpk-mengenal-filsafat-pendidikan.pdf,
hal. 11-12
D. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan

Jalaluddin dan Sa’id di dalam bukunya mengutip dari Tim Dosen IKIP Malang
menjelaskan, bahwa Secara makro (umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat yaitu
dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan

4
alam sekitarnya adalah juga merupakan obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi seara mikro
(khusus) yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi;
 Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (The Nature Of Education).
 Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subjek dan objek pendidikan (The Nature Of
Man).
 Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama, dan
kebudayaan.
 Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori pendidikan.
 Merumuskan hubungan antara negara (ideologi), filsafat pendidikan, dan politik pendidikan
(sistem pendidikan).
 Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pedidikan.
[17]

Berbeda dengan yang di atas, Drs. Anas Salahudin, M.Pd. di dalam bukunya “Filsafat
Pendidikan” merumuskan, bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan adalah sebagai berikut;

1) Pendidik, Para pendidik adalah guru, orang tua, tokoh masyarakat, dan siapa saja yang
memfungsikan dirinya untuk mendidik. siapa saja dapat menjadi pendidik dan melakukan
upaya untuk mendidik secara formal maupun nonformal. Para pendidik haruslah orang yang
patut diteladani. Dan pendidik itu harus membina, mengarahkan, menuntun, dan
mengembangkan minat, serta bakat anak didik, agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik.
[18]

Para pendidik adalah subjek yang melaksanakan pendidikan. Pendidik mempunyai peran
penting dalam berlngsungnya pendidikan. baik atau tidaknya pendidikan berpengaruh besar
terhadap hasil pendidikan. Para pendidik memikul tanggung jawab yang berat untuk
memaajukan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, negara bertanggungjawab untuk
meningkatkan kinerja para pendidik melalui berbagai peningkatan. Misalnya, peningkatan
kesejahteraan para pendidik, menaikkan tunjangan fungsional para pendidik, membantu dana
pendidikan lanjutan hingga meraih gelar doktor, dan memberikan beasiswa untuk berbagai
penelitian.[19]

2) Murid atau anak didik, Anak Didik secara filosofis merupakan objek para pendidikan dalam
melakukan tindakan yang bersifat medidik. Dikaji dari beberapa segi, seperti usia anak didik,
kondisi ekonomi keluarga, minat dan bakat anak didik, serta tingkat intelegensinya, itu
membuat seorang pendidik mengutamakan fleksibilitas dalam mendidik. Anak didik
merupakan subjek pendidika, yaitu orang yang menjalankan dan mengamalkan materi
pendidikan yang diberikan oleh pendidik. Agar pendidikan dapat berhasil dengan sebaik-
baiknya, maka jalan pendidikan yang ditempuh harus sesuaai dengan perkembangan
psikologis anak didik.[20]

3) Materi pendidikan, Materi Pendidikan, yaitu bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman


belajar yang disusun sedemikian rupa (dengan susunan yang lazim dan logis) untuk disajikan
atau disampaikan kepada anak didik.[21]
[17] Jalaluddin dan Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 17.
4)[18]
Perbuatan mendidik,
Anas Salahudin, FilsafatPerbuatan
Pendidikan,mendidik adalah Setia,
(Bandung: Pustaka seluruh kegiatan,
2011), cet. ke-10,tindakan,
hlm. 24. perbuatan, dan
sikap
[19] yang dilakukan
Nur Uhbiyati, oleh pendidikan
Ilmu Pendidikan sewaktu
Islam, (Bandung: Pustakamenghadapi atau14.mengasuh anak didiknya
Setia, 2005), hlm.
[20] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. ke-10, hlm. 24-25.
disebut dengan tahzib. Mendidik artinya meningkatkan pemahaman anak didik tentang
[21] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. ke-10, hlm. 25.

5
kehidupan, medalami pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan manfaatnya untuk
diterapkan dalam kehidupan nyata dan sebagai pandangan hidup.[22]

5) Metode pendidikan, Metode pendidikan, yaitu strategi yang relevan yang dilakukan oleh
dunia pendidikan pada saat menyampaikan materi pendidikan kepada anak didik. metode
berfungsi mengolah, menyusun, dan menyajikan materi pendidikan, agar materi pendidikan
tersebut dapat dengan mudah diterima dan dimiliki oleh anak didik.[23]

6) Evaluasi pendidikan , Evaluasi dan Tujuan Pendidikan. Evaluasi yaitusistem penilaian yang
diterapkan kepada peserta didik, untuk mengetahui keberhasilan pendidikan yang
dilaksanakannya. Evaluasi pendidikan sangat bergantung pada tujuan pendidikan. jika
tujuannya membentuk siswa yang kreatif, cerdas, beriman, dan bertakwa, maka sistem
evaluasi ynag dioperasionalkan harus mengarah pada tujuan yang dimaksud.[24]

7) Tujuan pendidikan,

8) Alat-alat pendidikan, Alat-alat Pendidikan dan Lingkungan Pendidikan merupakan fasilitas


yang digunakan untuk mendukung terlaksananya pendidikan. Sedangkan lingkungan
pendidikan adalah segala seusuatu yang terdapat disekitar lingkungan pendidikan yang
mendukung terealisasinya pendidikan.[25]

9) Lingkungan pendidikan.[26]

[22] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. ke-10, hlm. 25.
[23] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. ke-10, hlm. 26.
[24] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. ke-10, hlm. 26.
[25] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. ke-10, hlm. 26
BAB
[26] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: III Setia, 2011), cet. ke-10, hlm. 26
Pustaka

PENUTUP

6
A. Kesimpulan

Filsafat adalah suatu kegiatan berpikir secara mendalam dan menyeluruh dengan disertai
tindakan sadar, teliti, dan teratur agar hakikat dari sebuah kebenaran dapat ditemukan.

Filsafat pendidikan adalah suatu kegiatan berpikir kritis, bebas, teliti, dan teratur tentang
masalah-masalah yang terdapat di dalam dunia pendidikan agar masalah-masalah tersebut dapat
diatasi dengan cepat dan tepat.

Hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan itu sangat erat sekali dan tak bisa dipisahkan,
karena filsafat memberi arah dan pedoman dasar bagi usaha-usaha perbaikan, pengembangan,
dan meningkatkan kemajuan dan landasan yang kokoh bagi tegaknya sistem pendidikan yang
diharapkan.

Mahasiswa yang mempelajari dan merenungkan masalah- masalah hakiki pendidikan akan
memperluas cakrawala berpikir mereka, sehingga dapat lebih arif dalam memahami problem
pendidikan. Sebagai intelektual muda yang kelak menjadi pendidik atau tenaga kependidikan,
sudah sewajarnya bila mereka dituntut untuk berpikir reflektif dan bukan sekedar berpikir teknis
di dalam memecahkan problem-problem dasar kependidikan, yaitu dengan menggunakan
kebebasan intelektual dan tanggung jawab sosial yang melekat padanya.

Ruang lingkup filsafat pendidikan adalah:

1) Pendidik,

2) Murid atau anak didik,

3) Materi pendidikan,

4) Perbuatan mendidik,

5) Metode pendidikan,

6) Evaluasi pendidikan,

7) Tujuan pendidikan,

8) Alat-alat pendidikan,

9) lingkungan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

7
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam), (Jakarta:
Kalam Mulia, 2015), cet. ke-4.

Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014) cet. ke-7, Ed. Rev.

Mudyahardjo, Redja, Pendidikan Ilmu Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 2004).

Abdullah Idi dan Jalaluddin, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002) cet. ke-2.

Salahudin, Anas, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. ke-10.

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al-Husna, 1987).

Noor Syam, M., Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional,
1988).

Jalaluddin dan Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/dr-rukiyati-mhum/bpk-mengenal-filsafat-
pendidikan.pdf, hal. 21. dikutip pada hari Jum’at, 29 September 2017, pukul 22.14 WIB.

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 14.

Anda mungkin juga menyukai