Dosen Pengampu :
Aulya Syaff, S.Psi., M.Psi,Psikolog
Ditulis oleh:
Akundra : (1873201086)
Suhaylah : (1873201074)
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penggunaan internet belakangan ini menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh seluruh
dunia termasuk Indonesia. Kemudahan mengakses internet membuat suatu informasi sangat
mudah untuk didapatkan orang lain. Pengguna internet disarankan untuk berhati-hati dalam
penggunaan internet, khususnya sosial media seperti facebook, twitter, whatsapp, dan
sebagainya. Beberapa pengguna telah menyalahgunakan media sosial sebagai lahan penipuan
bohong atau hoax yang tersebar melalui internet ini biasanya mengandung provokasi,
informasi yang salah, SARA, pencemaran nama baik bahkan yang bersifat menakut- nakuti.
Menurut Milhorn (2007) usaha untuk menipu hingga membuat percaya bahwa
sesuatu yang salah itu adalah benar disebut dengan “hoax”. Menurut filologi Inggris Robert
Nares, asal kata hoax berasal dari kata hocus yang artinya untuk menipu. Berita hoax yang
tersebar luas di media sosial cukup meresahkan publik karena hal tersebut menimbulkan
kecemasan bagi mereka. Ketika seseorang percaya pada informasi baru yang ia dapat dari
individu lainnya, individu tersebut percaya bahwa mereka tidak akan memberikan suatu hal
yang merugikan. Adanya hoax dalam interaksi melalui media sosial ini menunjukkan bahwa
terdapat tindakan oleh pembuat atau penyebar berita yang memanfaatkan kepercayaan yang
perkembangan media sosial yang ada menjadi salah satu faktor penyebab semakin banyak
penyebaran berita hoax. Reskrimsus mendeteksi adanya ribuan akun media sosial dan media
online yang menyebarkan informasi hoax, provokasi hingga SARA. Generasi milenial
merupakan generasi dengan diikuti perkembangan teknologi dan internet, sehingga sangat
rentan dalam menerima dan membaca berita hoax. Terutama apabila hoax tersebut memuat
lebih banyak tekanan dan kurang mampu mengelolanya dari pada generasi lainnya. Lebih
dari separuh dari mereka mengaku terbangun di malam hari selama bulan lalu karena stres.
Tidak mengherankan, generasi milenial juga lebih cemas daripada orang Amerika yang lebih
tua. APA melaporkan bahwa 12% generasi milenial memiliki gangguan kecemasan yang
didiagnosis hampir dua kali persentase generasi Baby Boomer, kelahiran tahun 1946 – 1964
(forbes.com).
Assistance Program (EAP) menemukan bahwa generasi milenial memiliki tingkat kecemasan
paling tinggi dibandingkan dengan generasi yang lain terutama pada wanita. Michael Snell
dalam Sebagian besar kasus ini umumnya disebabkan oleh stress. Sejumlah penelitian terbaru
menunjukkan bahwa generasi milenial menderita kecemasan pada tingkat yang jauh lebih
tinggi daripada generasi yang mendahului mereka dan wanita hampir dua kali lebih mungkin
menderita kecemasan dibandingkan pria. Menurut kajian literatur ilmiah yang ada, yang
dilakukan oleh para peneliti di Cambridge University, juga menemukan bahwa kecemasan
yang diberikan berdampak baik bagi orang lain, bukan menyebabkan kemarahan, kebencian,
dendam, atau permusuhan. Karena dengan adanya berita bohong yang bersifat negatif berupa
provokasi, SARA, dan sebagainya dapat menimbulkan kecemasan serta emosi yang sulit
untuk dikendalikan. Sebagai contoh kasus Hoaks Konspirasi Imunisasi dan Vaksin. Imunisasi
tak jarang mendapatkan penolakan dari beberapa kelompok masyarakat karena adanya
informasi yang tidak lengkap, tidak benar atau hoaks. Salah satu hoaks tentang vaksin
imunisasi yang cukup viral adalah isu konspirasi penyebaran virus atau penyakit melalui
vaksin. Dikabarkan vaksin yang digunakan imunisasi mengandung sel-sel hewan, virus,
bakteri, darah, dan nanah. Isu yang tidak benar itu menimbulkan dampak yang luar biasa
terhadap stigma masyarakat Indonesia tentang Imunisasi. Imbasnya masyarakat menjadi ragu
bahkan takut untuk memberikan imunisasi pada anak-anak mereka. (http:// liputan6.com).
Berita negatif yang diterima oleh pengguna internet, dapat memperkuat atau
mengubah persepsi dari pembacanya yang dapat mengubah jalan pikiran mereka. Hasil dari
penelitian Szabo (2007) menunjukkan bahwa berita yang disiarkan atau disebarkan dapat
menjadi pemicu peningkatan emosi negatif yang dimunculkan dalam bentuk kecemasan yang
tinggi. Begitu pula dalam penelitian Harrel (2000) dalam Szabo (2007) yang melihat efek
dari berita positif dan negatif dari berbagai suasana hati. Hasilnya menunjukkan bahwa
ketika seseorang melihat berita yang berisi negatif dapat meningkatkan kecemasan secara
signifikan dan memberikan pengaruh negatif dibandingkan orang yang melihat berita yang
berisi positif.
Berita negatif yang tersebar di internet yang bersifat provokasi, menakut-nakuti dan
perasaan yang tidak menentu, panik, takut tanpa mengetahui sesuatu yang ditakutkan dan
tidak dapat menghilangkan perasaan gelisah serta mencemaskan tersebut (Susanti, 2011).
Sedangkan menurut Post (1978), kecemasan adalah kondis emosional yang tidak
ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan aktifnya sistem syaraf pusat. Berdasarkan
definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah perasaan yang tidak
Kecemasan terhadap hoax dapat dikatakan sebagai state anxiety karena terjadi ketika
seseorang menerima stimulus berupa berita bohong. Spielberger (1972) mendefinisikan state
stimulus atau situasi yang memiliki potensial membahayakan, gawat, atau mengancam
umumnya mencakup pada kemampuan individu dalam pengaturan tingkah laku serta emosi
yang baik. Oleh karena itu, untuk mengatasi kecemasan terhadap hoax diperlukan regulasi
emosi yang baik sehingga millennial mom tidak mudah cemas ketika menerima berita hoax.
Regulasi emosi adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk menilai, mengatasi,
mengelola dan mengungkapkan emosi yang tepat untuk mencapai keseimbangan emosional
(Gross, 2007).
ekspresi yang dapat mengkomunikasikan perasaan emosionalnya dengan cara yang baik serta
dapat diterima secara sosial. Setiap individu dituntut untuk dapat mengekspresikan emosi
secara sehat, adaptif dan dapat diterima oleh lingkungan. Keberhasilan mengungkapkan
emosi secara adaptif ditentukan oleh kemampuan regulasi emosi yang memadai yang akan
mengarahkan manusia untuk dapat mengatasi masalah-masalah emosi yang dialami sehingga
dapat berperilaku adaptif dan terhindar dari perilaku maladaptif. Regulasi emosi merupakan
strategi yang dilakukan untuk mempertahankan emosi yang seimbang. Hal tersebut sesuai
dengan pengertian dari regulasi emosi yaitu strategi yang dilakukan secara sadar ataupun
tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari
respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi
dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun
negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif
(Gross, 2007).
kecemasan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Mayangsari & Ranakusuma
(2014), mengenai hubungan regulasi emosi dan kecemasan yang dilakukan pada 311 petugas
penyidik kepolisian dan pegawai negeri sipil. Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
strategi regulasi emosi cognitive reappraisal memiliki hubungan yang signifikan dengan
kecemasan sesaat (state anxiety) Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Hoffman, dkk.
(2009) mengenai strategi regulasi emosi suppression, reappraisal dan acceptance sebagai cara
mengatasi kecemasan. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 202 relawan yang diminta
memberikan pidato secara spontan di depan kamera yang kemudian diminta untuk
suppression menunjukkan kecemasan yang lebih tinggi dari awal dibandingkan kelompok
Reapp- raisal and Acceptance. Kemudian reappraisal dinilai lebih efektif untuk memoderasi
Berdasarkan fakta-fakta yang ada sekarang ini, penelitian mengenai regulasi emosi
dan kecemasan terhadap berita hoax pada milleneal menjadi penting untuk dilakukan,
mengingat belum ada judul penelitian tersebut di Indonesia serta untuk mengetahui lebih
lanjut hubungan dari kedua variabel tersebut. Dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai
Hubungan Antara Regulasi Emosi Dengan Kecemasan Pada Milleneal Mom Dalam
Menanggapi Berita Hoax yang akan berfokus pada Millenial Mom yaitu ibu yang dibesarkan
pada era berkembangnya teknologi dan internet. Pemilihan subjek tersebut ditentukan
berdasarkan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa wanita pada generasi milenial
lebih cemas dibandingkan laki- laki. Penelitian ini juga dianggap penting dilakukan pada
variabel regulasi emosi dan kecemasan terhadap pembaca berita hoax pada millennial mom,
permasalahan- permasalahan dalam emosi yang akan menyebabkan permasalahan lain bagi
2. Rumusan Masalah
menjadikannya sebuah penelitian lebih lanjut. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini
adalah : “Apakah ada hubungan antara regulasi emosi dengan kecemasan pada milleneal
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji secara ilmiah hubungan antara regulasi
emosi dan kecemasan pada milleneal mom dalam menanggapi berita hoax. Sementara
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana
4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Ilmiah Penelitian ini berguna untuk mengetahui aspek-aspek psikologis yang
terdapat pada milleneal mom, terutama mengenai hubungan antara regulasi emosi dengan
b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini salah satunya dapat dijadikan masukan bagi ibu ibu
dalam menanggapi berita hoax, agar dapat mengembangkan regulasi emosi dalam
menghadapi dan melalui masa era globalisasi yang terus berkembang pada saat ini. Lebih
lanjut regulasi emosi penting bagi setiap individu yang bertujuan untuk mengontrol
tingkah laku sehingga individu dapat menghadapi peristiwa hidup dengan bijaksana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan
1. Pengertian
maladaptif tertentu seperti keadaan takut, tegang, dan khawatir. Gejala tersebut mencolok
dengan ketakutan yang tidak dapat diidentifikasi dengan suatu sebab khusus (Atkinson,
1999).
Definisi kecemasan menurut Davison (2006) juga berarti perasaan takut dan khawatir
yang tidak menyenangkan yang disertai dengan meningkatnya ketegangan fisiologis. Dalam
Kamus Lengkap Psikologi karangan Chaplin (2005), kecemasan adalah perasaan takut,
keprihatinan terhadap masa depan, dorongan sekunder yang mencakup reaksi penghindaran
yang dipelajari, sedangkan Menurut Nevid (2005), kecemasan adalah keadaan khawatir yang
Menurut Stuart dan Sundeen (1998), kecemasan adalah perasaan yang tidak pasti dan
tidak berdaya karena keadaaan emosi yang tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi yang
suasana perasaan (mood) yang ditandai oleh gejala-gejala jasmaniah seperti ketegangan fisik
dan kekhawatiran tentang masa depan. Selain itu kecemasan merupakan keadaan suasana hati
yang ditandai dengan efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah ketika seseorang
mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang
berhubungan dengan sirkuit otak dan sistem neurotransmiter tertentu. Daerah otak yang
paling sering berhubungan dengan kecemasan adalah sistem limbik yang bertindak sebagai
mediator antara batang otak dan korteks. Batang otak yang lebih primitif, memonitor dan
merasakan perubahan dalam fungsi jasmaniah kemudian menyalurkan sinyal berupa bahasa
potensial ke proses kortikal yang lebih tinggi melalui sistem limbik. Bila BIS (Behavioral
Inhibition System) aktif yang muncul dari batang otak atau cenderung dari korteks,
dialami ketika ‘aku’ (ego) atau ‘diri’ (self) terancam, dan menunjukkan suatu kondisi atau
suasana psikis yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa atau stimulus yang diamati akan
Jadi dapat disimpulkan, kecemasan adalah suatu keadaan tegang, ketakutan, khawatir,
terancam, dan waspada dengan kemungkinan datangnya bahaya di masa yang akan datang.
Reaksi penginderaan menyebabkan sesuatu yang buruk akan terjadi, seperti gangguan pada
a) Faktor Kognitif
Kecemasan menurut perspektif kognitif adalah suatu peran dari cara kita berpikir
yang terdistorsi dan disfungsional yang mungkin memegang peran pada pengembangan
kognitif, seperti; prediksi berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang irasional, sensitif
yang berlebihan terhadap ancaman, self-efficacy yang rendah, dan salah mengartikan
b) Faktor Biologis
Faktor biologis lebih sering dikaitkan dengan faktor genetis, karena faktor genetis
memiliki peran penting dalam perkembangan gangguan kecemasan. Selain itu sejumlah
seronotin dan norepinefrine di otak juga memegang peran dalam gangguan kecemasan.
lain:
1) Faktor Individu
Adanya rasa kurang percaya diri pada individu, masa depan tanpa tujuan dan
Hubungan individu dengan orang lain. Perasaan cemas muncul karena individu
merasa tidak dicintai orang lain, tidak memiliki kasih sayang, tidak memiliki dukungan dan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sumber faktor dari kecemasan meliputi faktor
kognitif, faktor biologis, dan faktor lingkungan. Faktor kognitif yaitu faktor yang
mempelajari cara individu berpikir bagaimana sikap individu dalam menghadapi kecemasan
sebagai reaksi akan adanya bahaya. Faktor biologis adalah faktor yang mempelajari respon
stimulus yang berhubungan erat dengan saraf-saraf yang ada di otak, dan faktor lingkungan
3. Tingkat Kecemasan
Stuart & Sundeen (1998) membagi tingkatan kecemasan dalam beberapa tingkatan,
a) Kecemasan Ringan.
waspada dan meningkatkan persepsinya, selain itu kecemasan memiliki nilai positif
b) Kecemasan Sedang.
Pemusatan pemikiran pada hal yang penting dan mengenyampingkan yang lain.
c) Kecemasan Berat.
Individu akan cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang spesifik atau
terperinci dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku menunjukkan
Beberapa faktor penyebab kecemasan menurut Stuart & Sundeen (1998), antara
lain:
a. Psikoanalitik, yaitu konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian
b. Interpersonal, yaitu perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan
d. Kajian keluarga, yaitu suatu hal yang biasa dalam suatu keluarga. Adanya tumpang
tindih dalam gangguan kecemasan dan antara gangguan kecemasan dengan depresi.
Selain itu stresor pencetus kecemasan menurut Stuart dan Sundeen (1998), adalah ;
akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
b) Ancaman terhadap sistem diri individu, yang dapat membahayakan identitas, harga
tetapi jika berlangsung pada tingkat tidak sadar dan melibatkan penipuan diri dan
a. Threat (ancaman) baik ancaman terhadap tubuh, jiwa atau psikisnya (seperti
b. Conflict (pertentangan) yaitu karena adanya dua keinginan yang keadaannya bertolak
belakang, hampir setiap dua konflik, dua alternatif atau lebih yang masing-masing
a. Konflik emosional yang bertolak belakang antara pertahanan ego dan kecenderungan
penolakan interpersonal .
tumpang tindih karena adanya kecenderungan sesuatu hal yang terhalang dan
5. Gejala-Gejala Kecemasan
Fisik, merasa sensitif, mudah marah, sering buang air kecil, sakit perut, mual, merasa
berperilaku terguncang.
b. Kognitif, mengkhawatirkan sesuatu, berkeyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan
akan terjadi dengan alasan yang tidak jelas, terpaku pada sensasi kebutuhan, merasa
terancam, sangat waspada, takut akan kehilangan kontrol, takut karena tidak mampu
Menurut Haber dan Runyon (1984), kecemasan terbagi dalam empat hal, yaitu :
a). Kognitif, kecemasan kognitif terdiri dari kecemasan yang ringan sampai pada
keadaan panik. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau
b). Motorik, kecemasan yang mengabungkan antara seluruh aksi atau tindakan.
Hal ini bisa menyebabkan menjadi tidak berdaya, gemetar, dan gugup.
c). Somatik, reaksi kecemasan pada fisik, seperti seringnya buang air kecil, keringat
yang banyak, gangguan pencernaan, ketengangan pada otot dibagian kepala, leher,
d). Afektif, kecemasan yang tegang dan kuat, perasaan yang gelisah dan tidak menentu
lain :
1). Ada saja hal-hal yang mencemaskan hati, hampir setiap kejadian menyebabkan
2). Disertai dengan emosi yang kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah (irritable) dan
sering dalam keadaan heboh (excited) yang memuncak, akan tetapi juga sering
dihinggapi depresi.
Dari beberapa gejala kecemasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan gejala
a) Kognitif, kecemasan ringan sampai pada keadaan panik. Hal ini karena
mengerikan akan terjadi dengan alasan yang tidak jelas, merasa terancam, sangat
waspada, takut tidak dapat menyelesaikan masalah, khawatir akan hal- hal yang
b) Somatik, reaksi pada fisik seperti; sering buang air kecil, gangguan pencernaan,
ketengangan pada otot bagian kepala, leher, bahu, dan dada, jantung berdebar dan
bernafas pendek.
c) Afektif, berperilaku menghindar, dependen, perasaan gelisah, emosi yang kuat dan
d) Motorik, kecemasan yang mengabungkan antara aksi dan tindakan yang dapat
Regulasi emosi adalah strategi yang digunakan individu untuk mengubah jalan
dan pengalaman dalam mengungkapkan emosi (Gross dalam Dennis, 2007). Menurut
Reivich dan Shatte (dalam Gross & Jhon 2004) regulasi emosi adalah kemampuan untuk
tetap tenang dibawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi
dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas,
sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan masalah. Defenisi regulasi
emosi memiliki arti lain juga, yaitu pengelolaan keterampilan berupa ketenangan dan
kedua keterampilan ini dapat membantu dalam meredakan emosi dan memfokuskan
Menurut Jermann (2006), regulasi emosi adalah strategi emosi yang melibatkan
Menurut Gross (2007) regulasi emosi adalah suatu proses, luar dan dalam, kesadaran
Selain itu pengertian regulasi emosi secara teori reflek adalah terdiri dari ekstrinsik dan
intriksik sebagai proses untuk memantau tanggung jawab, evaluasi, dan mengubah
reaksi emosi, perlakuan khusus dan dari segi sementara untuk mencapai suatu tujuan
(Dennis, 2007).
Jadi dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah proses yang terdiri dari
dan mengubah reaksi emosi, khususnya bagi mereka yang intensif dan memiliki
suatu aspek penilaian kembali dari sebuah peristiwa yang menjelaskan bagaimana
berpotensi merubah jalan yang positif atau mengurangi efek negatif yang secara
Pendapat dari Gross dan Jhon (2004) mengenai permasalahan pokok dalam
regulasi emosi pada penilaian kembali (reappraisal) dan BAS (behavioral approach
sensitivity) berhubungan dengan perasaan sedih dan murung, sedangkan BIS (behavioral
kecemasan.
Menurut Dennis (2007), komponen regulasi emosi ada dua, yaitu cognitive
kembali) adalah sebuah perubahan kognitif yang menjelaskan dampak negatif dari
emosi untuk menjelaskan aspek peristiwa emosi positif untuk kedepannya, sedangkan
expressive suppression (penekanan perasaan), yaitu bentuk dari modulasi respon yang
menghambat tingkah laku penindasan emosi. Dua tipe regulasi emosi menurut Frijda
(dalam Gross, 2007) dari kronfontasi dengan peristiwa emosional adanya reapprasisal
(penilaian kembali) setiap peristiwa emosi mereka yang memicu suppression (tekanan)
atau pengerasan pada perasaan dan sebab untuk memeriksa, membentuk, atau
Selain itu, Denollet (2003) menjelaskan bahwa penekanan emosi adalah bentuk
strategi emosi yang lain. Biasanya digunakan setiap hari dalam kehidupan. Penekanan
emosi terus-menerus yang berhubungan dengan tingkah laku. Penekanan emosi yang
berhubungan dengan kognitif membuat individu merasa tidak jelas dan beranggapan
buruk tentang diri mereka, dengan demikian hal tersebut mempermudah mendapatkan
pengalaman emosi yang negatif dengan perasaan tertekan. Penekanan sosial akan
Jadi dapat disimpulkan komponen dari regulasi emosi terdiri dari dua komponen,
yaitu
menjelaskan bagaimana penilaian dari sebuah peristiwa penting yang berdampak pada
pemikiran seseorang.
3. Proses Regulasi Emosi
Gross dan John (dalam Jermann, 2006), menunjukkan bahwa strategi regulasi
emosi akan memiliki efek dalam proses emosi sama artinya seperti penilaian kembali
dalam bekerja sama dengan banyak emosi yang positif, fungsi individu yang lebih baik
dan penekanan untuk strategi tingkah laku yang lebih baik setelahnya.
Proses regulasi emosi yang lain menurut Masters (dalam Thompson, 1993) terdiri
regulasi emosi dibutuhkan untuk mengatasi reaksi emosi yang negatif. Tujuannya
yang negatif.
b. Regulasi emosi tidak hanya mencakup strategi manajemen diri tetapi juga
emosi.
dan temporal dari emosi tersebut. Artinya aspek dari manajemen emosi yaitu
serta kualitas reaksi emosi. Regulasi emosi berkaitan erat dengan peningkatan
regulator pada situasi-situasi tertentu. Artinya tujuan regulasi emosi khusus untuk
situasi tertentu tujuan dan regulasi emosi bervariasi yang senantiasa berubah.
Jadi dapat disimpulkan proses regulasi emosi menunjukkan bahwa penekanan emosi
dapat mengakibatkan sikap emosional yang diperoleh dalam pengelolaan diri. Strategi yang
mengabungkan proses situasi untuk mengelola emosi dan dari hasil proses tersebut menjadi
sebuah pengalaman untuk penilai hasil akhir sebuah tingkah laku berdasarkan pemahaman dan