Anda di halaman 1dari 6

Meneropong Tragedi Pembagian Palestina, 29 Nopember ‘47

 
Pembacaan terhadap tragedi pembagian Palestina secara lebih komprehensif mengungkap beberapa hal
penting, diantaranya: resolusi PBB 181, peran PBB, manuver Zionis, sikap Arab, sikap Liga Arab, sikap
PLO, respon Yahudi dan perjuangan rakyat Palestina.
 
Rancangan Pembagian Palestina
 
Keputusan untuk membagi Palestina ditetapkan pada tahun 1947 oleh Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB). Hal ini berdasarkan Resolusi PBB no.181 yang dikeluarkan pada tanggal 29 November 1947.
 
Keputusan pembagian ini diambil setelah melewati voting yang dilakukan oleh 56 negara anggota PBB.
Dengan rincian; 33 negara mendukung, 13 negara menolak dan 10 negara abstain. Dengan
disepakatinya Resolusi Pembagian Palestina ini maka secara otomatis mandat Inggris atas Palestina
berakhir dan berdirilah negara Israel.
 
Isi dari resolusi tersebut adalah membagi Palestina ke dalam 3 wilayah. Wilayah pertama ditempati oleh
warga Arab Palestina, wilayah kedua diberikan kepada Yahudi dan wilayah ketiga meliputi dua kota Al-
Quds dan Baet Lahem berada dibawah kendali Internasional.
 
PBB mengklaim bahwa idenya untuk membagi-bagi Palestina ini adalah solusi jitu untuk mengakhiri
konflik yang terjadi antara Arab dan Yahudi di Palestina.                         
 
 
 
Latar Belakang Sejarah
 
Ide dari pembagian Palestina kedalam tiga wilayah; negara Arab, Yahudi dan Al-Quds sebagai Zona
Internasional tidak bisa dipisahkan dari laporan Komite Peel tahun 1937 dan 1938. Dinamakan Peel
karena Komite ini dipimpin oleh Earl Peel. Komite tersebut bertugas melakukan investigasi terhadap
peristiwa revolusi rakyat Palestina terhadap penjajah Inggris di tahun 1936 dan 1939 sekaligus
mencarikan solusinya.
 
Setelah meletusnya Perang Dunia II dan berdirinya lembaga PBB, PBB melakukan pengkajian ulang
terhadap mandat Inggris di Palestina. Dan sejak saat itu perhatian dunia interasional sangat besar untuk
mengakhiri konflik Arab-Yahudi di Palestina yang semakin memanas.
 
 
 
Langkah Pembagian Palestina
 
PBB berupaya maksimal untuk mengakhiri konflik Arab-Yahudi di Palestina. PBB membentuk komite
khusus Palestina yang bernama UNSCOP yang beranggotakan sejumlah negara kecuali negara anggota
berstatus tetap. Dengan harapan komite tersebut dapat bersikap netral dalam mencarikan solusi
terhadap konflik di Palestina.
 
Dari pertemuan yang digelar UNSCOP, mengerucutlah dua usulan sebagai solusi. Solusi pertama,
mendirikan dua negara berstatus merdeka, yaitu negara Israel dan Palestina. Sedangkan kota Al-Quds
akan menjadi wilayah Internasional. Solusi kedua, membentuk negara Federal yang didalamnya meliputi
dua negara bagian yaitu negara Yahudi dan Arab.
 
Mayoritas anggota komite UNSCOP mendukung usulan pertama yaitu membentuk dua
negara merdeka secara berdampingan. PBB lalu menerima hasil dari usuluan komite
khusus tersebut dan menyetujui untuk membagi-bagi Palestina ke dalam tiga wilayah.
Kemudian diberlakukan batas teritorial bagi keduabelah pihak; Palestina dan Yahudi.
Bersamaan dengan diterimanya usulan ini, maka berakhir pula mandat Inggris atas
Palestina.
 
Secara rinci hasil resolusi itu adalah: Palestina dipaksa menyerahkan 55% tanahnya kepada Yahudi
untuk dijadikan negara Israel. Berdasarkan resolusi ini maka tanah yang diberikan kepada Yahudi dimulai
dari Usdud hingga Haifa, tidak termasuk kota Yafa. Kemudian seluruh bagian dari padang pasri Negev,
tidak termasuk kota Beersheba. Lalu sebagian kecil dari wilayah yang berbatasan dengan Mesir. Pada
saat itu kondisi padang pasir Negev masih tandus, belum bisa ditanami dan tak layak ditempati. Adapun
wilayah yang sudah diduduki Yahudi sebelum pemberlakuan resolusi ini, tetap dijadikan wilayah teritorial
Yahudi. Berbeda dengan pemberlakuan terhadap warga Palestina yang harus menghadapi pengusiran.
 
 
 
Pembagian Palestina-Resolusi Pembagian Palestina 1947 
 
Pada Nopember 1947, saat Negara anggota PBB masih berjumlah 57 Negara, 56 negara ikut
memberikan suara, kecuali 1 yaitu Thailand.
 
Negara-negara super power saat itu; Uni Soviet, USA dan Prancis menyetujui resolusi pembagian
Palestina, kecuali Britania yang mengendalikan kekuasaan mandat atas Palestina. Diantara negara-
negara yang menolak resolusi adalah: negara-negara Arab, Yunani, India dan Kuba.
 
Pimpinan Zionis saat itu bekerja keras melalui jalur diplomasi di PBB untuk bisa menunda waktu
pemungutan suara, agar mereka bisa meyakinkan negara-negara yang ragu menyetujui resolusi. Negara-
negara Arab menolak penundaan tersebut, namun delegasi Amerika bersikukuh untuk menunda sessi
pengambilan suara sampai setelah perayaan Hari Thanksgiving Amerika pada 27 Nopember.
 
Upaya lobi yang dilakukan pimpinan Zionis mampu menggiring Liberia, Pilipina dan Haiti untuk ikut
mendukung resolusi, dan akhirnya membuahkan dukungan 2/3 Negara anggota terhadap resolusi.
 
Sore Hari, 29 Nopember 1947, dilakukan voting, 33 suara menyetujui resolusi, 13 menolak, dan 10
Negara abstain, 1 tidak hadir. 33 negara yang menyetujui tersebut adalah: Australia, Belgia, Bolivia,
Brazil, Belorusia, Kanada, Costarica, Yugoslovia, Denmark, Dominica, Equador, Prancis, Guatemala
Haiti, Islndia, Liberia, Luksemburg, Belanda, New Zeland, Nikaragua, Norwegia, Panama, Paraguay,
Peru, Pilipina, Polonia, Swedia, Ukraina, Afrika Selatan, Uni Soviet, USA, Uruguay, Venezuela.
 
13 Negara yang menolak resolusi: Afganistan, Kuba, Mesir, Yunani, India, Iran, Irak, Libanon, Pakistan,
Saudi, Suria,Turki, Yaman.
 
10 Negara yang abstain: Argentina, Chili, Cina, Colombia, Salfador, Etiopia, Honduras, Meksiko, Inggris,
Yugoslafia.
 
1 negara tidak hadir: Thailand.
 
Usai pengumuman hasil voting, para delegasi Arab walk out dari forum dan menyampaikan penolakan
bersama terhadap resolusi.
 
 
 
Respon dan Reaksi
 
Respon Zionis
 
Selain para Yahudi eksteremis yang menantang keras resolusi 181 seperti Manachem Begin yang saat
itu memimpin Organisasi Irgun Zionis, mayoritas Yahudi, terutama pihak Jewish Agency merespon baik
resolusi 181. Momentum menggembirakan bagientitas Yahudi ini mendorong Zionis untuk mencatat
tebal-tebal peristiwa 29 Nopember 1947 dalam buku sejarah mereka.
 
 
 
Respon Negara-negara Arab
 
Terkecuali pimpinan partai komunis, para pimpinan Negara-negara Arab menolak resolusi, mereka
menyebutnya sebagai perampokan terhadap Bangsa Arab sebagai pihak mayoritas (67% orang
Palestina, 33% orang Yahudi), 56,5% dari wilayah Palestina dilimpahkan untuk Yahudi yang saat itu
hanya menduduki 7%.
 
Sikap para pimpinan Negara Arab tersebut juga didasari kekhawatiran di masa yang akan datang.
Menurut mereka, resolusi 181 menjadi langkah awal untuk memperluas kekuasaan di wilayah Arab.
 
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Pada Juni 1938, 10 tahun sebelum rancangan resolusi, Ben
Gorion, perdana menteri Israel pertama, pernah mengatakan di hadapan pimpinan Jewish Agency,
tentang keinginannya untuk menghapus proyek pembagian antara Yahudi dan Palestina, agar bisa
menguasai seluruh tanah Palestina saat Yahudi memiliki power untuk itu. Fakta lain, sehari usai deklarasi
resolusi 181, pada 30 Nopember 1947, Manachem Begin yang saat itu sebagai pimpinan oposisi Zionis,
menolak proyek pembagian dan menegaskan bahwa setiap tanah Palestina milik Yahudi. Untuk
selamanya.
 
 
 
Reaksi Liga Arab
 
Adapun reaksi Liga Arab terhadap pengesahan resolusi 181 memunculkan beberapa kebijakan
diantaranya:
 
1. Pernyataan kecaman keras terhadap Amerika dan Inggris
 
2. Mendirikan kamp latihan militer bagi rakyat Palestina di Qatanna dekat Damaskus.
 
3. Membentuk pasukan Arab yang disebut Pasukan Penyelamat
 
4. Menggalang donasi untuk perjuangan Palestina
 
 
 
Saat kebijakan tersebut mulai dijalankan, Britania menyatakan protes dan menilai latihan militer di
Qatanna merupakan langkah yang bisa merusak hubungan persahabatan antar Negara. Akhirnya, Liga
Arab mengeluarkan kebijakan baru untuk menutup kamp latihan militer, dan cukup dengan
mempersiapkan pasukan penyelamat yang dibatasi jumlahnya sebanyak 7700 prajurit, dengan
persenjataan secukupnya. Adapun dana yang telah terkumpul, hanya sebagian kecil yang sampai ke
Palestina.
 
 
 
Perjuangan Rakyat dan Jihad Sang Mufti
 
Mufti Palestina, Amin Al-Husaini, yang saat itu tinggal di Libanon, kembali ke negerinya. Sang Mufti
memimpin jihad melawan Yahudi bersama Abdul Qadir Al-Husaini. Rakyat Palestina bergabung dalam
barisan jihad Mufti. Agar mendapat dukungan Negara-negara Arab, ia bertolak ke Liga Arab untuk
menyampaikan proposal rencana pembentukan Pemerintahan Nasional Palestina yang dipimpin
langsung olehnya berdasarkan aspirasi rakyat. Liga Arab menolak proposal tersebut tanpa alasan jelas.
 
Pihak Zionis terus menggalang kekuatan dengan meminta bantuan kepada Amerika, Inggris dan
sejumlah negara. Mereka mengirimkan kapal berisi senjata perang dari Amerika, Inggris dan Eropa
Timur. Para panglima tentara Amerika, Cekoslowakia dan Rusia dikirim untuk melatih pasukan Yahudi
menggunakan senjata terbaru dan tercanggih saat itu. Maka, pasukan Yahudi terlatih berjumlah 70 ribu
personel telah disiapkan untuk berperang.
 
Di medan perang, pasukan Palestina pimpinan mufti melawan dengan gagah berani, namun pasukan
penyelamat menolak bergabung. Di beberapa lokasi pasukan palestina memenangkan peperangan,
seperti di Zohrul Hujjah, Ain Bahil, Sya'fath dan Dahisyah. Namun begitu minimnya persenjataan pasukan
Palestina melawan kecanggihan persenjataan Yahudi, manjadikan yahudi lebih menguasai pertempuran.
 
Maka, para pemuda dari negara-negara Arab, terutama Mesir dan Suria bersiap menuju Palestina untuk
bergabung dengan pasukan jihad. Pada mulanya, segenap pemerintah Negara Arab melarang, namun
desakan rakyat memaksa mereka untuk membuka jalan. Bergabungnya para pemuda tersebut
menambah kekuatan pasukan jihad. Mereka memenangkan pertempuran di tahap awal dan berhasil
mengepung Al-Quds. Namun sejumlah lokasi dikuasai Yahudi, satu persatu, hingga terjadi peristiwa
pambantaian Dir Yasin. Dalam kondisi itu, negara-negara Arab mencegah pengiriman logistik dan
persenjataan bagi para mujahidin, akhirnya kondisi berbalik, hingga terjadi perang 1948.
 
 
 
Pasca Resolusi
 
Pasca resolusi, wilayah kekuasaan Israel semakin luas. Terlepas dari gencarnya upaya dan manuver
Zionis Israel, sikap PLO semakin membuat Israel leluasa untuk menguasai tanah Palestina.
 
Pada tahun 1968, PLO telah menetapkan fasal 19 piagam nasional Palestina yang berbunyi: Meski telah
berlangsung sekian tahun, proyek pembagian Palestina tahun 1947 dan berdirinya Negara Israel adalah
tidak sah, karena bertolak belakang dengan keinginan rakyat palestina dan haknya juga prinsip yang
ditetapkan PBB, utamanya prinsip dalam menentukan nasib.
 
Namun, pada piagam deklarasi kemerdekaan oleh PLO pada Nopember 1988, terungkap semacam
pengakuan yang melegitimasi proyek pembagian tahun 1947: Di tengah fakta kejahatan sejarah yang
telah membuat Bangsa Palestina terusir dan terhalang dari hak menentukan nasib sendiri pasca
penetapan resolusi 181 tahun 1947, resolusi tersebut telah memenuhi persayaratan legitimasi
Internasional yang menjamin Bangsa Palestina untuk memiliki kekuasaan dan kemeredekaan nasional.
 
Dalam surat Yasir Arafat kepada Ishak Rabin perihal pengakuan terhadap PLO dan Negara Israel, Arafat
menegaskan sikap konsisten PLO terhadap dua resolusi Dewan Keamanan PBB 242 dan 338, dan
menyatakan bahwa pasal-pasal dalam piagam nasional Palestina yang menafikan hak Negara Israel
telah habis masa berlakunya.
 
Dan pada kesepakatan Oslo, September 1993, dijelaskan bahwa wilayah yang menjadi hak
kemerdekaan bangsa Palestina hanya Tepi Barat dan Jalur Gaza.
 
 
Deklarasi ini ditandatangani oleh David Ben-Gurion yang kemudian menjadi
Perdana Menteri Israel pertama. Gairah Ben-Gurion untuk Zionisme, yang
dimulai sejak awal kehidupan, membawanya menjadi seorang pemimpin
Zionis besar, dan sebagai kepala Badan Yahudi, ia menjadi de facto
pemimpin komunitas Yahudi di Palestina, dan sebagian besar memimpin
kemerdekaan negara Yahudi di Palestina.

Pendirian Israel ini berakar dari konsep Tanah Israel (Eretz Yisrael), sebuah
konsep pusat Yudaisme sejak zaman kuno, yang juga merupakan pusat
wilayah Kerajaan Yehuda kuno. Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa
menyetujui Mandat Britania atas Palestina sebagai "negara orang Yahudi".
Pada tahun 1947, PBB menyetujui pembagian Palestina menjadi dua negara,
yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab. Puncaknya pada 14 Mei
1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya dan ini segera diikuti oleh
peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana
pembagian ini.

Israel kemudian memenangkan perang ini dan mengukuhkan


kemerdekaannya. Akibat perang ini, Israel berhasil memperluas batas wilayah
negaranya melebihi batas wilayah yang ditentukan oleh Rencana Pembagian
Palestina. Sejak saat itu, Israel terus menerus ingin meluaskan wilayahnya ke
negara-negara Arab tetangganya. Hal inilah yang menyebabkan peperangan
dan kekerasan yang berlanjut sampai saat ini. Sejak awal pembentukan
Negara Israel, batas negara Israel beserta hak Israel untuk berdiri telah
dipertentangkan oleh banyak pihak, terutama oleh negara Arab dan para
pengungsi Palestina. Israel telah menandatangani perjanjian damai dengan
Mesir dan Yordania, namun usaha perdamaian antara Palestina dan Israel
sampai sekarang belum berhasil.

Anda mungkin juga menyukai