Anda di halaman 1dari 21

RIB AND STERNAL FRACTURES & EVIDENCE BASED NURSING

Oleh:

KELOMPOK I

Desi Holifatus S ( 196070300111002 )


Zenita Habibatul I ( 196070300111019 )

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2020
FRAKTUR TULANG RUSUK DAN STERNUM

1. Latar Belakang
Fraktur merupakan gangguan dari kontinuitas yang normal dari tulang. Jika terjadi
fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu (Blackdan Hawks, 2014).
Patah tulang rusuk sering disebabkan trauma dada yang disebabkan oleh benda tumpul atau
kecelakaan lalu lintas. Fraktur tulang rusuk tidak mengancam jiwa, tetapi dapat mengakibatkan
terjadinya cedera pada paru-paru. Pada tulang dada, tulang rusuk pertama dan kedua jarang
terjadi fraktur, namun tulang rusuk yang pertama dan kedua sering dikaitkan dengan terjadinya
cedera pada paru-paru, lengkungan aorta, atau tulang belakang.
Mayoritas cedera dada yang ditemukan di Inggris adalah akibat trauma tumpul setelah
kecelakaan kendaraan bermotor. Patah tulang rusuk menyebabkan lebih dari setengah dari cedera
dada yang terjadi di Inggris. Insiden pada fraktur tulang rusuk sebanyak 40% dapat menyebabkan
kematian yang di akibatkan oleh luka terbuka (laserasi) atau mengenai vena subklavia. Insiden
pada fraktur tulang rusuk kiri bawah sebanyak 20% karena dapat menyebabkan cedera pada
limpa. Sedangkan pada tulang rusuk kanan bawah sebanyak 10% yang dapat menyebabkan
cedera pada hati. Fraktur sternum berhubungan dengan cedera pada jantung.
Mortalitas dan morbiditas fraktur tulang rusuk dan sternum berhubungan dengan cedera
yang mendasarinya. Oleh karena itu identifikasi potensi cedera yang mengancam sangat
diperlukan. Fraktur tulang rusuk dan sternum dapat mengganggu ventilasi. Nyeri hebat akibat
cedera ini memengaruhi kemampuan untuk batuk dan bernafas dalam. Ini merupakan predisposisi
untuk retensi dahak dan insufisiensi pernapasan. Oleh karena itu pereda nyeri pada pasien ini
tidak hanya mengurangi nyeri tetapi mencegah komplikasi pernafasan sekunder.
Penatalaksanaan fraktur tulang rusuk dan sternum dengan tepat sangat dipelukan
sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang mungkin terjadi. Manajemen
fraktur tulang rusuk dan sternum terutama terdiri dari identifikasi, perawatan terkait cedera,
perawatan pernapasan yang tepat, dan mengurangi gejala.

2. Konsep Penyakit
a. Definisi
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang dosebabkan oleh trauma dan non trauma. Fraktur juga
dapat diakbitakan oleh cedera, stress yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal
atau disebut juga fraktur patologis (Solomon et al, 2010). Patah tulang rusuk adalah
cedera umum yang terjadi ketika salah satu tulang rusuk mengalami patah atau retak.
Penyebab yang paling sering adalah benturan (trauma) dada, jatuh dari ketinggian,
kecelakaan kendaraan bermotor, atau benturan saat olahraga (Bamelman, et al. 2017).
Sedangkan trauma dada adalah trauma yang mengenai dinding thoraks dan organ inti
dada, disebabkan oleh trauma tumpul dan trauma tajam (Mattox, et al, 2013).
b. Etiologi trauma dada dan patah tulang rusuk
Trauma dada tumpul anterior adalah penyebab fraktur sternum yang paling sering terjadi.
Kasus traumatis seperti resusitasi kardiopulmoner, cedera atletik, jatuh, kasus ini sebagaian
besar yang menyebabkan trauma dada. Pasien dengan kyphosis thoracis yang parah,
osteoporosis, atau osteopenia dapat mengalami fraktur sternum dan pasien yang menjalani
terapi steroid jangka panjang, wanita pascamonopouse dan pasien lanjut usia lanjut beresiko
lebih tinggi. Orang yang berolahraga seperti angkat besi dan golf juga bisa mengalami fraktur
stress sternum karena olahraga ini menggunakan tubuh bagian atas.
c. Epidemiologi
Pada kasus fraktur sternum sekitar 60% hingga 90% merupakan kecelakaan bermotor.
Fraktur sternum biasanya dialami banyak wanita dari pada laki-laki dan fraktur sternum lebih
sering terjadi pada pasien yang lebih tua, diduga Karena dinding dada lebih elastis pada
pasien yang lebih muda. Pasien yang lebih muda cenderung mengalami cedera intrathoraks
karena energy benturannya tidak diserap oleh sternum. Kejadian fraktur sternum meningkat
tiga kali lipat dengan penggunaan pengekangan bahu kendaraan, kemungkinan sekunder
akibat dari kekuatan deselerasi yang terkonsentrasi langsung ke sternum.
Insiden dan prevalensi fraktur tulang rusuk tergantung pada cedera dan keparahan saat
terjadinya trauma. Dengan mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi anak-anak lebih kecil
kemungkinannya mengalami patah tulang rusuk dari pada orang dewasa karena tulang
rusuknya lebih elastis. Sedangkan lansia cenderung lebih rentan patah tulang rusuk dari pada
individu yang lebih muda.
d. Patofisiologi
- Fraktur costae (tulang rusuk)
Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan,
samping, ataupun dari belakang. Walaupun kontruksi tulang iga sangat kokoh dan kuat
namun tulang iga adalah tulang yang sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak
memiliki pelindung. Apabila terjadi trauma tajam dan trauma tumpul dengan kekuatan
yang cukup besar saja yang mampu menimbulkan cedera pada alat / organ dalam yang
vital yang ada di dalamnya. Cedera pada organ tersebut tergantung pada bagian tulang iga
yang mana yang mengalami fraktur.
Cedera pada tiga iga pertama jarang terjadi karena ditunjang pula oleh tulang-
tulang dari bahu seperti skapula, kalvikula, humerus dan seluruh otot. Namun dapat
mengakibatkan kematian yang tinggi karena fraktur tersebut berkaitan dengan laserasi
arteri atau vena subkalvia. Cedera pada iga keempat hingga kesembilan merupakan
tempat fraktur yang paling umum dapat terjadi kemungkinan cedera jantung dan paru.
Dapat mengakibatkan kerusakan ventilasi paru, meningkatkan stimulasi saraf sehingga
pasien akan mengalami nyeri yang sangat hebat, nyeri tekan, dan spasme otot di atas area
fraktur, yang diperburuk dengan batuk, napas dalam, dan gerakan.
Sehingga terjadi masalah keperawatan yaitu Nyeri akut.  Untuk mengurangi nyeri
tersebut pasien melakukan kompensasi dengan bernapas dangkal sehingga masalah
keperawatan yang akan timbul adalah Ketidakefektifan pola pernapasan  dan
menghindari untuk menghela napas, napas dalam, batuk, dan bergerak. Keengganan
untuk bergerak atau bernapas ini sangat mengakibatkan penurunan ventilasi dan juga
dapat terjadi masalah keperawatan yaitu Inefektif bersihan jalan napas dan Gangguan
mobilitas fisik, selanjutnya dapat terjadi kolaps alveoli yang tidak mendapatkan udara
(atelektasis) sehingga terjadi hipoksemia bahkan dapat terjadi gagal napas. Apabila
melukai otot jantung dapat mengakibatkan tamponade jantung dengan tertimbunnya
darah dalam rongga perikardium yang akan mampu meredam aktivitas diastolik jantung.
Sedangkan iga 10-12 agak jarang terjadi  fraktur, karena iga 10-12 ini bisa mobilisasi,
apabila terjadi fraktur kemungkinan cedera organ intraabdomen seperti pada limpa dan
hepar karena tergores oleh patahan tulang iga.
e. Komplikasi
Komplikasi dari fraktur sternum sering karena cedera yang terkait. Fraktur sternum yang
tidak stabil mengakibatkan peningkatan resiko cedera paru, efusi pericardial, fraktur tulang
rusuk, dan fraktur kompresi tulang belakang.
Nyeri dada setelah cedera dapat bertahan selama 8-12 minggu. Nyeri dengan inspirasi
dapat menyebabkan atelectasis, pneumonia, dan komplikasi paru lainnya.
Fraktur sternum non-union, tulang melayang dan deformitas jarang terjadi. Komplikasi
ini mungkin memerlukan perbaikan bedah. Usia lanjut, osteoporosis, penggunaan steroid
yang berkepanjangan, dan diabetes meningkatkan penyatuan tulang akan tertunda.
Komplikasi yang paling parah terkait dengan patah tulang rusuk adalah fraktur terbuka
dan terjadi kerusakan pada struktur yang mendasarinya. Cedera organ yang terkait akibat
patah tulang rusuk adalah cedera hati dan cedera limpa. Semakin dalam patah tulang rusuk di
dalam thoraks, maka semakin besar kemungkinan dapat menyebabkan cedera hati atau limpa.
Pada patah tulang rusuk dapat menyebabkan susah bernafas sehingga memerlukan ventilasi
mekanik dan proses pembedahan.
f. Evaluasi
Pemeriksaan radiografi thoraks sering dilakukan pada pasien dengan dugaan cedera sternum.
Radiografi anteroposterior telah terbukti hanya 50% untuk mendeteksi fraktur sternum. Pada
radiografi lateral dapat meningkatkan sensivitas dan diagnostic, karena sebagain besar fraktur
strernum melintang, dan setiap perpindahan terjadi pada bidang sagital.
g. Treatment and Management Fraktur Sternum and Rib
Pasien dengan fraktur sternum akut harus di pantau menggunakan pedoman
ATLS. Jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi pada pasien harus dievaluasi. Survey
primer untuk menilai segala kondisi yang mengancam jiwa harus dilakukan. Cedera
terkait tension pneumothorakx, hemothorax, temponade jantung dan flail chest harus
segera diobati. Setelah dilakukan stabilisasi, survey sekunder harus dilakukan. Patah
tulang rusuk, kontusio paru, dan cedera pada miokard tumpul adalah cedera yang
banyak terjadi pada fraktur sternum.
Elektrokardiografi dan pemantauan jantung harus dilakukan pada pasien dengan
fraktur sternum. Pasien dengan tanda-tanda kontusio miokard harus dirawat untuk di
evaluasi dan mendapatkan penanganan lebih lanjut. Pasien dengan cedera
intrathoraks, ketidakstabilan hemodinamik, nyeri yang tidak terkontrol juga harus di
lakukan observasi. Pada pasien lanjut usia harus di lakukan observasi karena beresiko
lebih tinggi dalam masalah pernafasan. Untuk fraktur yang bergeser atau tidak stabil
dapat dilakukan fiksasi operatif. Namun, fraktur sternum yang paling terisolasi akan
sembuh secara spontan selama < 10 minggu.
Ada dua kategori utama dengan patah tulang rusuk. Ketegori pertama adalah
pesian dengan fail chest, didefinisikan sebagai cedera dada dengan 3 atau lebih,
berturut-turut, ipsilateral, patah tulang rusuk. Kategori kedua adalah pasien dengan
fraktur tulang rusuk multiple tanpa komponen flail. Fail chest dan fraktur tulang
rusuk multiple sama-sama dilakukan operasi menggunakan berbagai jenis bahan
osteosintesis.

h. Konsep Dasar Keperawatan


Pengkajian
1. Biodata
 Identitas klien: nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnostik
medik, alamat.
 Identitas penanggung jawab: penanggung jawab selama perawatan, data yang
terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan
klien dan alamat.
2. Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama: keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri pada dada dan
gangguan bernafas.
 Riwayat kesehatan sekarang: pengembangan dari keluhan utama melalui
metode PQRST
 Riwayat kesehatan yang lalu: perlu dikaji apakah klien pernah menderita
penyakit sama atau pernah terdapat riwayat sebelumnya.
3. Pemeriksaan fisik
1. Sistem pernafasan: Sesak napas, nyeri, batuk-batuk, terdapat retraksi
klavikula/dada, pengambangan paru tidak simetris, fremitus menurun
dibandingkan dengan sisi yang lain. Pada perkusi ditemukan adanya suara
sonor/hipersonor/timpani, hematotraks. Pada asukultasi suara nafas menurun,
bising napas yang berkurang/menghilang. Pekak dengan batas seperti garis
miring/tidak jelas. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat. Gerakan dada
tidak sama waktu bernapas.
2. Sistem Kardiovaskuler: Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
Takhikardia, lemah. Pucat, Hb turun /normal. Hipotensi.
3. Sistem Persyarafan: Tidak ada kelainan.
4. Sistem Perkemihan: Tidak ada kelainan
5. Sistem Pencernaan: Tidak ada kelainan
6. Sistem Muskuloskeletal – Integumen: Ada luka bekas tusukan benda tajam,
terdapat kelemahan, kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub
kutan.
7. Sistem Endokrin: Terjadi peningkatan metabolism; Kelemahan.
8. Sistem Sosial / Interaksi: Tidak ada hambatan.
9. Spiritual: Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
4. Pemeriksaan Diagnostik :
 Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
 Pa Co2 kadang-kadang menurun.
 Pa O2 normal / menurun.
 Saturasi O2 menurun (biasanya).
 Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
 Toraksentesis: menyatakan darah/cairan.
Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi cairan/udara
2. ketidakefektifan kebersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan sekresi
sekret dan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
3. Perubahan kenyamanan: nyeri akut berhubungan dengan ketidakcukupan
kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal
4. Resikolaboratif: atelektasis dan penggeseran mesiatinum
5. Kerusakan integritas kulit berhubngan dengan trauma mekanik terpasang bullow
drainage
6. Resiko terdapatnya infeksi berhubungan tempat masuknya infeksi sekunder
terhadap trauma
Intervensi keperawatan
Diagnosa Rencana keperawatan
Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Masalah Kolaborasi

1. Pola Nafas tidak NOC: NIC:


efektif berhubungan  Respiratory status :  Membuka jalan napas
dengan : Ventilation  Memposisikan pasien untuk
- Hiperventilasi
 Respiratory status : mendaptkan ventilasi maksimal
- Penurunan
Airway patency  Mengeluarkan sekret dengan
energi/kelelahan
 Vital sign Status batuk efektif atau suction
- Perusakan/pelema
 Mengajarkan batuk efektif
han muskulo-
Setelah dilakukan tindakan
skeletal  Auskultasi suara napas
keperawatan selama
- Kelelahan otot ………..pasien  Memonitor status respiratori daan
menunjukkan keefektifan
pernafasan
- Hipoventilasi pola nafas, dibuktikan oksigenasi
sindrom dengan kriteria hasil:  Terapi oksigen
 Mendemonstrasikan
- Nyeri  Memebersihkan sekresi pada
batuk efektif dan suara
- Kecemasan mulut, hidung dan trakea
nafas yang bersih, tidak
- Disfungsi  Memelihara kepatenan jalan
ada sianosis dan
Neuromuskuler napas
dyspneu (mampu
- Obesitas  Memberikan suplemen oksigen
mengeluarkan sputum,
- Injuri tulang  Memonitor aliran oksigen
mampu bernafas dg
belakang
mudah, tidakada  Memonitor kemampuan pasien

pursed lips) dalam memelihara oksigen


DS:
- Dyspnea  Menunjukkan jalan  Mengobservasi tanda terjadinya

- Nafas pendek nafas yang paten (klien hipoventilasi

DO: tidak merasa tercekik,  Memonitor kecemasan pasien


- Penurunan  Mngajarkan pada pasoen dan
irama nafas, frekuensi
tekanan keluarga bagaimana
pernafasan dalam
inspirasi/ekspirasi menggunakan oksigen dirumah
rentang normal, tidak
- Penurunan  Posisikan pasien untuk
ada suara nafas
pertukaran udara memaksimalkan ventilasi
abnormal)
per menit  Pasang mayo bila perlu
 Tanda Tanda vital dalam
- Menggunakan otot
rentang normal (tekanan  Lakukan fisioterapi dada jika
pernafasan
darah, nadi, pernafasan) perlu
tambahan
 Keluarkan sekret dengan batuk
- Orthopnea
atau suction
- Pernafasan
 Auskultasi suara nafas, catat
pursed-lip
adanya suara tambahan
- Tahap ekspirasi
 Berikan bronkodilator :
berlangsung
sangat lama -…………………..
- Penurunan …………………….
 Berikan pelembab udara Kassa
kapasitas vital
basah NaCl Lembab
- Respirasi: < 11 –
24 x /mnt  Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
 Monitor respirasi dan status O2
 Bersihkan mulut, hidung dan
secret trakea
 Pertahankan jalan nafas yang
paten
 Observasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
 Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
 Monitor vital sign
 Informasikan pada pasien dan
keluarga tentang tehnik relaksasi
untuk memperbaiki pola nafas
 Ajarkan bagaimana batuk efektif
 Monitor pola nafas

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Bersihan Jalan NOC: NIC: Bantuan ventilasi


Nafas tidak efektif  Respiratory status :
Aktivitas:
berhubungan Ventilation
 Memelihara kepatenan jalan
dengan:  Respiratory status : Airway
nafas
- Infeksi, disfungsi patency
 Memonitor eek perubahan
neuromuskular,  Aspiration Control
oksigenasi
hiperplasia dinding  Setelah dilakukan tindakan
bronkus, alergi jalan keperawatan selama  Membantu bernafas dalam
nafas, asma, trauma …………..pasien  Mengauskultasi suara nafas
- Obstruksi jalan nafas : menunjukkan
keefektifan  Mengajarkan teknik bernafas
spasme jalan nafas, jalan nafas dibuktikan lewat mulut
sekresi tertahan, dengan kriteria hasil :  Mengajarkan teknik bernafas
banyaknya mukus,  Mendemonstrasikan batuk dengan baik
adanya jalan nafas efektif dan suara nafas yang  Memonitor kelemahan otot
buatan, sekresi bersih, tidak ada sianosis respirasi
bronkus, adanya dan dyspneu (mampu
eksudat di alveolus, mengeluarkan sputum,
 Pastikan kebutuhan oral /
adanya benda asing di bernafas dengan mudah,
tracheal suctioning.
jalan nafas. tidak ada pursed lips)
 Berikan O2 ……l/mnt,
DS:  Menunjukkan jalan nafas
- Dispneu metode………
yang paten (klien tidak
DO:  Anjurkan pasien untuk istirahat
merasa tercekik, irama
- Penurunan suara nafas dan napas dalam
nafas, frekuensi pernafasan
- Orthopneu  Posisikan pasien untuk
dalam rentang normal,
- Cyanosis memaksimalkan ventilasi
tidak ada suara nafas
- Kelainan suara nafas  Lakukan fisioterapi dada jika
abnormal)
(rales, wheezing) perlu
 Mampu
- Kesulitan berbicara  Keluarkan sekret dengan batuk
mengidentifikasikan dan
- Batuk, tidak efekotif atau suction
mencegah faktor yang
atau tidak ada  Auskultasi suara nafas, catat
penyebab.
- Produksi sputum adanya suara tambahan
 Saturasi O2 dalam batas
- Gelisah  Berikan bronkodilator :
normal
- Perubahan frekuensi - ………………………
 Foto thorak dalam batas
dan irama nafas - ……………………….
normal
- ………………………
 Monitor status hemodinamik
 Berikan pelembab udara Kassa
basah NaCl Lembab
 Berikan antibiotik :
…………………….
…………………….
 Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
 Monitor respirasi dan status O2
 Pertahankan hidrasi yang
adekuat untuk mengencerkan
sekret
 Jelaskan pada pasien dan
keluarga tentang penggunaan
peralatan : O2, Suction,
Inhalasi.

Implementasi Keperawatan
Dilakukan sesuai dengan intervensi
Evaluasi Keperawatan
1. Menunjukkan ketidakefektifan pola pernapasan
2. menunjukkan inefektif bersihan jalan napas
3. Adanya perubahan kenyamanan : Nyeri akut
4. Tidak adanya gangguan mobilitas fisik
5. Tidak adanya kerusakan integritas kulit
Discharge Planning
1. Hilangkan nyeri interkosta yang mungkin terjadi dengan menggunakan pemanasan
lokal dan nalgesia oral
2. Selingi berjalan dan aktivitas lain dengan periode istirahat yang sering. Sadari bahwa
kelemahan dan keletihan adalah umum untuk 3 minggu pertama.
3. Praktikkanlah latihan pernapasan beberapa kali sehari selama beberapa minggu
pertama di rumah
4. Hindari mengangkat beban lebih dari 10 kg sampai terjadi penyembuhan sempurna;
otot-otot dada dan insisi mungkin lebih lemah dari normal selama 3 sampai 6 bulan
setelah operasi
5. Berjalan dengan jarak sedang, secara bertahap tingkatkan waktu dan jarak berjalan.
Jaga tetap persisten.
6. Dengan segera hentikan semua aktifitas yang dapat menyebabkan keletihan,
peningkatan sesak nafas, atau nyeri dada
7. Hindari iritan bronkhial (merokok, asap, polusi udara, semprot aerosol)
8. Cegah kedinginan atau infeksi paru
9. Dapatkan vaksin influenza tahunan. Juga bahas vaksinasi terhadap pneumonia
dengan dokter
10. Melapor untuk tindak lanjut perawatan oleh ahli bedah atau kllinik sesuai kebutuhan

3. ASUHAN KEPERAWATAN (ENA)


Pengkajian
a. Pengumpulan Data Subjektif
1) Riwayat cedera/keluhan utama saat ini
a) Nyeri: nyeri terlokalisasi, diperburuk oleh gerakan dinding dada, palpasi, atau inspirasi
b) Onset dapat dikaitkan dengan batuk parah
c) Dispnea
d) Mekanisme cedera
2) Riwayat kesehatan masa lalu
a) Penyakit / penyakit saat ini atau yang sudah ada sebelumnya
 Penyakit paru-paru
 Proses osteodegeneratif
b) Obat-obatan
c) Alergi
d) Status imunisasi
b.Pengumpulan data yang objektif
1) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
 Posisi yang dimaksudkan untuk membalut area yang cedera
 Ekspresi wajah sakit saat bergerak
 Kesusahan / ketidaknyamanan (sedang)
b) Inspeksi
 Kontusio dinding dada atau ekimosis
 Hipoventilasi
c) Auskultasi
 Bunyi nafas: berkurang
d) Palpasi
 Kelunakan titik local
 Krepitus atau deformitas tulang
 Emfisema subkutan jika mendasari pneumotoraks atau cedera trakea
2) Prosedur diagnostik
a) ABG
b) Rontgen dada
c) EKG
Analisis: diagnosis keperawatan diferensial / masalah kolaboratif
a. Pola pernapasan tidak efektif
b. Nyeri akut
c. Intoleransi aktivitas
Perencanaan dan implementasi / intervensi
a. Pertahankan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
b. Berikan oksigen tambahan
c. Menetapkan akses IV untuk pemberian cairan kristaloid / obat sesuai kebutuhan
1) Lakukan pemantauan oksimetri jantung dan nadi
2) Insentif spirometri untuk membantu mencegah atelektasis selama pemulihan
3) Membantu pengumpulan dan pemeliharaan bukti fisik dan forensik seperti yang
ditunjukkan
4) Membantu kemungkinan rawat inap jika salah satu dari yang berikut:
a) Fraktur lebih dari tiga tulang rusuk yang berdekatan
b) Fraktur tulang rusuk pertama atau kedua
c) Diduga cedera visceral yang mendasari, fraktur sternum, atau hipoksia
d. Berikan terapi farmakologis seperti yang diperintahkan
1) Analgesik non-narkotika
2) Narkotika
3) Anestesi untuk blok saraf interkostal
4) Imunisasi tetanus jika luka terbuka.
e. Mendidik pasien dan orang-orang penting lainnya missal keluarga atau yang merawat pasien
1) Pentingnya analgesia
2) Teknik splinting yang tepat
3) Latihan hidrasi dan pernapasan, termasuk spirometri insentif
4) Karung pasir, pengikat, atau iga saat ini tidak digunakan
Evaluasi dan pemantauan yang sedang berlangsung
a. Status hemodinamik
b. Bunyi nafas dan oksimetri nadi
c. Laju dan irama jantung
d. Nyeri berkurang
4. EVIDENCE BASED NURSING
1. Artikel Jurnal 1
- Judul: Plating versus wiring for fixation of traumatic rib and sternal fractures
- Penulis: Mostafa kamel Abd-Elnaim, Ahmed El-Minshawy, Mohamed Abd-Elkader Osman,
Mohamed Mahmoud Ahmed
- Tahun: 2017
- Published: Journal of the Egyptian Society of Cardio-Thoracic Surgery xxx (2017) 1e6
- Latar Belakang: Fraktur tulang rusuk adalah cedera yang paling umum yang datang ke pusat
trauma dan rumah sakit. Trauma tumpul pada dada merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas, terutama jika mengakibatkan flail chest yang paradoksal (gerakan ke dalam
segmen flail saat inspirasi). Selama bertahun-tahun, banyak metode telah diperkenalkan
untuk menstabilkan tulang rusuk dan fraktur sternum. Terlepas dari sejumlah besar metode
untuk fiksasi diperkenalkan, tidak ada yang pasti dari metode telah disajikan. Dalam
penelitian ini menguji bahwa hasil fiksasi pada fraktur tulang rusuk menggunakan plates
lebih baik dari pada menggunakan stainless steel wire.
- Metode
 Penelitian ini berlangsung di trauma unit Rumah Sakit Assiut University di Assiut,
Mesir, dari Juli 2015 sampai November 2016.
 Unit Assiut universitas rumah sakit trauma yang menerima sekitar 3550-4000 pasien
trauma per tahun
 Kriteria inklusi:
Pesertanya adalah orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih dengan satu dari kriteria
berikut:
a. Flail chest dengan memburuknya fungsi paru meskipun sudah dilakukan
fisioterapi agresif, kontrol nyeri yang memadai, memerlukan ventilasi mekanis
dan tidak diserta memar pada paru-paru yang masif.
b. Pasien dengan flail chest berventilasi, gagal menyapih dari ventilasi mekanis..
c. Memiliki patah tulang sternum.
 Kriteria Ekslusi:
a. Flail chest posterior (mis. Fraktur di samping tulang belakang).
b. Fraktur tulang rusuk mengambang (tulang rusuk 11, 12).
c. Kontusi paru masif (Didefinisikan sebagai PaO2 / FIO2 rasio <200 dengan tanda
radiologis infiltrat paru dalam waktu 24 jam setelah cedera dada).
d. Cedera otak traumatis (skala koma Glasgow (GCS) 8 pada 48 jam pasca trauma.
Jika GCS tidak dapat dihitung dengan benar seperti untuk pasien yang diintubasi,
GCS motorik 4 pada 48 jam pasca trauma).
 Analisa data menggunakan software SPSS versi 22.0.0 (IBM Corporation-.http:
//www.spss.com). menggunakan statistik komparatif dan tes signifikansi termasuk uji
t berpasangan, uji Mann-Whitney, uji Chi-square atau uji pasti Fischer. Nilai P
dianggap signifikan secara statistik ketika (<0,05) dan sangat signifikan ketika
(<0,001). Data kuantitatif dilaporkan sebagai mean (standar deviasi).
- Hasil
 perbandingan skala intensitas nyeri pasca operasi untuk kedua kelompok. Grup A:
1,79 ± 0,71 sedangkan grup B: 3,43 ± 0,98 dengan perbedaan yang signifikan secara
statistik (p <0,001).
 Perbandingan antara kedua kelompok dalam keselarasan radiologis pasca operasi
tulang rusuk ditemukan signifikan perbedaan dengan nilai p> 0,001. Pada grup A ada
17 pasien (100%) memiliki keselarasan radiologis pasca operasi tulang rusuk
sementara di grup B ada pasien yang mencapai keselarasan radiologis pasca operasi
tulang rusuk yang tidak berubah.
 Pada grup A terdapat 4 pasien (20%) dipersulit oleh infeksi luka superfisial,
sedangkan pada grup B, terdapat 4 pasien (40%).
 Menurut angka kematian, ada satu pasien (5%) di grup A dan 3 pasien (30%) pada
grup B.
- Pembahasan
Pada penelitian ini, di antara pasien grup A stabilitas dinding dada dapat dicapai semua
pasien (100%), dan ini sesuai dengan hasil penelitian Reber dan rekan-rekannya pada tahun
1993. Mereka melakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal menggunakan 3,5 mm pelat
rekonstruksi, yang dilakukan pada semua pasien fraktur dinding dada yang dipertimbangkan
untuk fiksasi operatif. Dalam sebuah studi Granetzny et al pada tahun 2005, fiksasi internal
fraktur tulang rusuk dilakukan untuk 20 pasien, dari mana 14 pasien diperbaiki oleh kawat
stainless steel dan kabel Kirschner, dan 6 pasien diperbaiki oleh kawat stainless steel saja.
Dari 6 pasien hanya 3 pasien yang memiliki stabilitas dinding dada (50%). Pada 2013
Mohamed Abul-Dahab, et al. menggunakan 2 case (20%) dengan kabel stainless, kabel
stainless steel dan vicryl pada 1 case (10%) dan pelat dengan circlage dalam 7 case (70%)
untuk fiksasi bagian flail, mereka mengamati bahwa penggunaan pelat dengan atau tanpa
kabel memberikan stabilitas terbaik jika dibandingkan dengan hanya menggunakan kabel
atau jahitan yang dapat diserap saja
- Kesimpulan
Karena lebih sedikit rasa sakit pasca operasi, stabilitas dinding dada yang lebih baik, insiden
deformitas dinding dada yang lebih sedikit dan ICU yang lebih pendek, perawatan di rumah
sakit lebih pendek dan penggunaan ventilator lebih singat pada grup A. penelitian ini
menganggap bahwa stabilisasi tulang rusuk dan sternum dengan pelat menjadi pilihan terapi
yang lebih baik untuk fiksasi dinding dada daripada kabel atau stainless steel wire.
2. Jurnal 2
- Judul: Management of Rib and Sternal Fraktur
- Penulis: NJ Howell, AM Ranasinghe and TR Graham
- Tahun: 2005
- Published: Edward Arnold (Publishers) Ltd
- Latar belakang: mortalitas dan morbiditas sternum dan tulang rusuk fraktur berhubungan
dengan cedera yang mendasarinya. Oleh karena itu identifikasi potensi kehidupan cedera
yang mengancam sangat penting. Baik tulang rusuk dan sternum fraktur dapat mengganggu
ventilasi. Nyeri hebat akibat cedera ini memengaruhi kemampuan untuk batuk dan bernafas
dalam. Ini merupakan predisposisi untuk retensi dahak dan insufisiensi pernapasan. Oleh
karena itu pereda nyeri pada pasien ini tidak hanya mengurangi nyeri tetapi mencegah
komplikasi pernafasan sekunder. Manajemen fraktur tulang rusuk dan sternum terutama
terdisi dari identifikasi, perawatan terkait cedera, perawatan pernapasan yang tepat, dan
mengurangi gejala.
- Pembahasan:
1. Identifikasi pasien dengan fraktur tulang rusuk dan sternum
Pedoman yang ditetapkan oleh American College of Surgeons in the Advanced Trauma
and Life Support protokol manajemen ini menyediakan platform untuk penatalaksanan
pasien yang memiliki trauma toraks tumpul yang berkelanjutan (Komite ACS Trauma,
1997). Pengkajian dilakukan segera kemudian mengidentifikasi dan mengobati kondisi
yang menganca jiwa (obstruksi jalan nafas, tension pneumothorax, pneumothorax,
hamothorax, flail chest, dan tamponade jantung). Kemudian harus di kaji (pulmonary
contusion, myocardial contusion, aortic disruption, rupture trakeobronchial, rupture
diagfragma, rupture esofagus,). Kemudian riwayat cedera perlu diperhatikan. Pasien
harus diperiksa secara detail, termasuk pemeriksaan darah lengkap terutama untuk
mengetahui adanya hipoksemia, elektrolit, dan memonitor ECG.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiogfrafi harus dilakukan 10 menit pertama setelah pasien datang namun
tidak boleh menunda intervensi untuk keadaan yang mengancam jiwa. Interpretasi hasil
yang akurat sangat diperlukan. Pendekatan ABC manajemen klinis (transeksi aorta,
gangguan pada bronkhial, cedera tulang belakang, rupture diagfragma, rupture esofagus,
fraktur dan kontusio) harus tetap di diperhatikan. Rontgen dada rutin memiliki
sensitivitas hanya 20-50% untuk mendeteksi patah tulang rusuk (Groskin, 1996).
Pemeriksaan rib radiografi dan ultrasonografi adalah metode pencitraan yang lebih
sensitif. Namun tidak direkomendasikan, karena manajemen tulang rusuk yang patah
didasarkan pada perawatan gejala dan manajemen cedera yang mendasarinya. patah
tulang rusuk sendiri bukanlah suatu indikasi untuk pemeriksaan thorax lebih lanjut.
3. Indikasi pemeriksaan CT thorax pada trauma tumpul
Hal ini tidak di indikasikan untuk penegakan diagnose namun lebih kepada alat penting
untuk manajemen cedera terkait pulmonary contusion. Pemeriksaan Computed
tomography (CT) toraks secara signifikan lebih sensitif dalam mendeteksi patologi toraks
dibandingkan dengan foto polos dada (Wagner dan Jamieson, 1989).
4. Fraktur tulang rusuk
Cedera dinding dada umum terjadi setelah trauma tumpul. Di Inggris hal ini hampir
secara eksklusif disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas jalan baik sebagai penumpang
atau pejalan kaki dengan fraktur tulang rusuk terjadi pada 40-60% kasus (Ziegler dan
Agarwal, 1994; Westaby dan Brayley, 1990). Kehilangan darah rata-rata per tulang rusuk
yang retak telah dilaporkan 100-150 mL (Greaves et al., 1995). Morbiditas dan mortalitas
dari fraktur tulang rusuk berkaitan dengan cedera yang mendasarinya dan juga terkait
dengan jumlah tulang rusuk yang patah. Fraktur tulang rusuk bagian bawah berhubungan
dengan cedera pada organ perut daripada parenkim paru-paru. Fraktur sisi kiri
berhubungan dengan fraktur limpa dan sisi kanan dengan cedera hati. Fraktur tulang iga
kesebelas dan kedua belas mengambang mungkin berhubungan dengan cedera ginjal.
Kematian yang terkait dengan patah tulang rusuk akan meningkat dengan jumlah tulang
rusuk patah dan usia. Fraktur multipel pada anak-anak adalah tanda yang tidak baik
karena dapat menyebabkan peningkatan kematian 20 kali lipat (Sirmali et al., 2003).
5. Komplikasi fraktur tulang rusuk
Komplikasi utama yang terkait dengan patah tulang rusuk adalah paru-paru dan tingkat
komplikasi telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian untuk meningkatkan secara
proporsional dengan jumlah tulang rusuk yang patah (Sirmali et al., 2003).

6. Sternal fraktur
Sternal fraktur lebih umum pada wanita dan orang tua (Brookes et al., 1993). Keluhan
yang muncul adalah nyeri sternum akut yang berhubungan dengan nyeri tekan lokal dan
tanda-tanda insufisiensi pernapasan termasuk takipnea, penggunaan otot tambahan untuk
ventilasi dan sianosis.
7. Komplikasi sternal fraktur
Nyeri yang berhubungan dengan fraktur sternum dapat menjadi masalah. Ini dapat
menyebabkan insufisiensi pernapasan dan retensi dahak seperti fraktur tulang rusuk.
analgesik harus diberikan kepada pasien untuk mencegah komplikasi pernapasan.
- Myocardial contusion
Kejadian kontusio miokard setelah fraktur sternum bervariasi dan sangat sulit untuk
didiagnosis. Ekokardiografi dapat mengungkapkan efusi perikardial yang tidak
terduga hingga 25% pasien, tetapi ini tidak terkait dengan hasil yang merugikan dan
mungkin merupakan respons terhadap cedera lokal atau perikard daripada kerusakan
miokard (Bu'Lock et al., 1994). Abnormalitas EKG sering terjadi tetapi tidak spesifik
dan tidak berkorelasi dengan adanya kerusakan miokard (Potkin et al., 1982). Ini
termasuk sinus takikardia, inversi gelombang T asimetris. Sebagian kecil pasien
dapat mengalami episode fibrilasi atrium transien, atau kelainan konduksi
atrioventrikular (Hills et al., 1993). Analisis isoenzim kardiak termasuk CK-MB atau
troponin jantung tidak spesifik dan memiliki nilai terbatas (Bu'Lock et al., 1994; Hills
et al., 1993; Mayfield dan Hurley, 1984); namun, kombinasi peningkatan Troponin I
dan EKG abnormal adalah indikasi untuk rawat inap (Ranasinghe et al., 2004).
Pasien-pasien berisiko yang memerlukan pemantauan dan investigasi rawat inap
termasuk mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung iskemik, mereka yang
menggunakan terapi antiaritmia dan pasien yang berusia lebih dari 65 memiliki
resiko tinggi. Pasien yang tidak berisiko dan yang rasa sakitnya dikendalikan oleh
analgesia sederhana seharusnya tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit
(Brookes et al., 1993; Bu’Lock et al., 1994; Hills et al., 1993; Velissaris et al., 2003).
Dalam sebuah tinjauan praktik manajemen fraktur sternum di Inggris oleh Munsch
dan rekannya, mereka menyimpulkan bahwa pasien yang sehat dengan hasil EKG
dan CXR normal dapat pulang dengan aman selama analgesia oral dapat efektif
(Sadaba et al., 2000).
8. Kesimpulan
Fraktur Tulang rusuk dan sternum sering terjadi setelah trauma tumpul. Kecurigaan yang
tinggi terkait hal yang mengancam jiwa harus diperhatikan, oleh karena itu kegagalan
untuk mendiagnosis dari pada manajemen akan menyebabkan tingginya angka mortalitas.
Perawatan utama adalah analgesia yang memadai dan dukungan pernapasan yang tepat,
karena akan mengakibatkan komplikasi paru, terutama pada orang tua, yang bertanggung
jawab atas meningkatnya angka morbiditas.

DAFTAR PUSTAKA

Abd-Elnaim, M. K., El-Minshawy, A., Osman, M. A. E., & Ahmed, M. M. (2017). Plating versus
wiring for fixation of traumatic rib and sternal fractures. Journal of the Egyptian Society of
Cardio-Thoracic Surgery, 25(4), 356-361.
Bemelman, M., Kruijf, D., Baal, V. M., & Leenan, L.(2017) Rib Fractures: To Fix or
Not to Fix? An Evidence-Based Algorith. The Korean Journal of Thoracic and
Cardiovascular Surgery.
Bentley, P. T. & Journey, D., J. (2020). Sternal Fracture. StarPearls Publishing, Treasure Island
(FL).
Emergency Nurse Assosiation. (2007). Emergency Nurse Core Curiculum 6 th. Ed. Saunders:
Elsevier
NJ Howell, AM Ranasinghe, & TR Graham. (2005). Management of Rib and Sternal Fraktur.
Edward Arnold (Publishers) Ltd
Solomo, et al. (2010) Orthopedi dan Fraktur system Apley, Jakarta: Widya Medika.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC
dan Kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai