LP Fraktur Lumbal 1 NIP
LP Fraktur Lumbal 1 NIP
NAMA : NIPRIYANTI
NIM : 2019040730
TINJAUAN TEORI
I. Konsep Dasar Medis
A. Defenisi
Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan
(R.Syamsuhidayat,1997). Tanda-tanda khas terjadinya fraktur adanya krepitasi,
disfungsi serta dislokasi. Fraktur vertebra adalah terputusnya discus
invertebralis yang berdekatan dan berbagai tingkat perpindahan fragmen
tulang(Theodore, 1993) Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Lewis, 2000). Fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang normal yang terjadi
karena tekanan pada tulang yang berlebihan (Brunner and Suddarth 2002).
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, fraktur lumbal adalah
kerusakan pada tulang belakang berakibat trauma, biasanya terjadi pada orang
dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan.
B. Etiologi
Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai berikut:
1. Trauma langsung ( direct )
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan
tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan
benda keras oleh kekuatan langsung.
2. Trauma tidak langsung ( indirect )
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan
oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot, contohnya
seperti pada olahragawan yang menggunakan hanya satu tangannya untuk
menumpu beban badannya.
a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan
sel-sel saraf pada medulla spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan
flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medulla
spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan mengalami spinal shock yang
berlangsung sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam
minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Lesi yang
terjadi di lumbal menyebabkan beberapa otot-otot anggota gerak bawah mengalami
flacid paralisis.
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain
dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu
sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami gangguan. Selain itu kulit dibawah level
kerusakan akan mengalami anaestesi, karena terputusnya serabut-serabut saraf
sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitkan kontraksi otot polos
sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter internus. Kontraksi otot polos
sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan
oleh ganglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan,
karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan
volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat
dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di
rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya rectum
kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan
secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut
dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah
dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh
keinginan.
d. Gangguan fungsi seksual
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah
cidera. Seluruh bagian dari fungsi seksual mengalami gangguan pada fase spinal
shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya
lesi. Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflek pada konus, otomatisasi ereksi
terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas
seksual. Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai
reflex ereksi dan ereksi psikogenik jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan,
biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian
keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter. Kemampuan
fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung
seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis
sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan lokomotor
dan aktivitas otot secara volunter.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu :9
a. Roentgenography : pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra
untuk melihat fraktur dan pergeseran tulang vertebra
Fraktur Kompresi Vertebra Lumbal 1
b. Magnetic Resonance Imaging : pemeriksaan ini memberi informasi detail
mengenai jaringan lunak di daerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan
adalah 3 dimensi. MRI sering digunakan untuk mengetahui kerusakn jaringan
lunak pada ligament dan diskus intervertebralis dan menilai cedera medulla
spinalis
c. CT- Scan
CT scan sangat berguna dalam menggambarkan adanya fraktur dan dapat
memberikan informasi jika tentang adanya kelainan densitas tulang. CT scan
danMRI juga sangat penting dalam menentukan diferensial diagnosis karena
adanyapenyempitan kanalis spinal, dan komposisi spesifik vertebra dapat
digambarkan.
d. Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
Dapat juga digunakan dalam menentukan adanya fraktur dan tingkat
adanyaosteoporosis karena kemampuannya dalam menggambarkan densitas
tulang.
e. Scintigraphy
Merupakan suatu metode diagnostik yang menggunakan deteksi radiasi sinar
gamma untuk menggambarkan kondisi dari jaringan atau organ, juga
merupakancmetode yang penting untuk memprediksikan hasil (outcome) dari
beberapa teknik operasi.
F. Penatalaksanaan
a. Nyeri akut fraktur kompresi vertebra
Jika pada pasien tidak ditemukan kelainan neurologis, pengobatan pada pasien
dengan akut fraktur harus menekankan pada pengurangan rasa nyeri, dengan
pembatasan bedrest, penggunaan analgetik, brancing dan latihan fisik.
1) Menghindari bedrest terlalu lama
Bahaya dari bedrest yang terlalu lama pada orang tua adalah, meningkatkan
kehilangan densitas tulang, deconditioning, thrombosis, pneumonia, ulkus
dekubitus, disorientasi dan depresi.
2) Analgetik
Analgetik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, biasa diberikan sebagai
terapi awal untuk menghindari dari bedrest yang terlalu lama.
3) Calcitonin, diberikan secara subkutan, intranasal, atau perrektal mempunyai
efek analgetik pada fraktur kompresi yang disebabkan oleh osteoporosis dan
pasien dengan nyeri tulang akibat metastasis.
4) Bracing
Bracing merupakan terapi yang biasa dilakukan pada manegemen akut non
operatif. Ortose membantu dalam mengontrol rasa nyeri dan membantu
penyembuhan dengan menstabilkan tulang belakang. Dengan
mengistirahatkan pada posisi fleksi, maka akan mengurangi takanan pada
kolumna anterior dan rangka tulang belakang.Bracing dapat digunakan
segera, tetapi hanya dapat digunakan untuk dua sampai tiga bulan. Terdapat
beberapa tipe ortose yang tersedia untuk pengobatan.
5) Vertebroplasty
Vertebroplasty dilakukan dengan menempatkan jarum biopsy tulang
belakang kedalam vertebra yang mengalami kompresi dengan bimbingan
fluoroscopy atau computed tomography. Kemudian diinjeksikan
Methylmethacrylate kedalam tulang yang mengalami kompresi. Prosedur ini
dapat menstabilkan fraktur dan megurangi rasa nyeri dengan cepat yaitu pada
90% 100% pasien. Tetapi prosedur ini tidak dapat memperbaiki deformitas
yang terjadi pada tulang belakang.
Teknik Vertebroplasty
6) Kypoplasty
Prosedur ini dilakukan dengan menyuntikkan jarum yang berisikan tampon
kedalam tulang yang mengalami fraktur. Insersi jarum tersebut akan
membentuk suatu kavitas pada tulang vertebra. Kemudian kavitas tersebut
diisi dengan campuran methylmetacrylate dibawah tekanan rendah.
2. Pengkajian Sekunder
Pemeriksaan fisik:
a. Keadaan umum
b. Kepala : bagaimana bentuk kepala, rambut mudah dicabut/tidak,
kulit kepala bersih/tidak
c. Mata : konjungtiva anemis +/-, sclera icterik +/-, besar pupil,
refleks cahaya +/-
d. Hidung :bentuk simetris atau tidak, discharge +/-, pembauan baik
atau tidak.
e. Telinga : simetris atau tidak, discharge +/-
f. Mulut : sianotik +/-, lembab/kering, gigi caries +/-
g. Leher : pembengkakan +/-, pergeseran trakea +/-
h. Dada
- Paru
Inspeksi : simetris atau tidak, jejas +/-, retraksi intercostal
Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama atau tidak
Perkusi : sonor +/-, hipersonor +/-, pekak +/-
Auskultasi : vesikuler +/-, ronchi +/-, wheezing +/-, crekles +/
- Jantung
Inspeksi : ictus cordis tampak atau tidak
Palpasi : dimana ictus cordis teraba
Perkusi : pekak +/-
Auskultasi : bagaimana BJ I dan II, gallops +/-, mur-mur +/-
i. Abdomen
Inspeksi : datar +/-, distensi abdomen +/-, ada jejas +/-
Auskultasi : bising usus +/-, berapa kali permenit
Palpasi : pembesaran hepar / lien
Perkusi : timpani +/-, pekak +/-
j. Genetalia : bersih atau ada tanda – tanda infeksi
k. Ekstremitas :
- Adakah perubahan bentuk: pembengkakan, deformitas, nyeri,
pemendekan tulang, krepitasi
- Adakah nadi pada bagian distal fraktur, lemah/kuat
- Adakah keterbatasan/kehilangan pergerakan
- Adakah spasme otot, ksemutan
- Adakah sensasi terhadap nyeri pada bagian distal fraktur
- Adakah luka, berapa luasnya, adakah jaringan/tulang yang keluar
Psikologis :
a. Cemas
b. Denial
c. Depresi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
C. Intervensi Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
NOC
a. Respiratory status : Ventilation
b. Respiratory status : Airway patency
c. Vital sign Status
Dengan kriteria hasil:
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada pursed lips)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan
NIC
a. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
b. Berikan oksigen dengan cara yang tepat
c. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik
sekret.
d. Kaji fungsi pernapasan.
e. Auskultasi suara napas.
f. Observasi warna kulit.
g. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.
h. Pantau analisa gas darah.
Kaji tanda-tanda vital
2. Nyeri akut/kronis b.d agen cidera: fisik
NOC
a. Pain level
b. pain control
c. comfort level dengan criteria:
Kriteria hasil:
a. Menggunakan skala nyeri untuk mengidentifikasi nyeri yang dirasakan
b. Mendiskripsikan cara manajemen nyeri
c. Mengungkapkan kemampuan tidur dan istirahat
d. Mendiskripsikan terapi non farmakologi untuk mengontrol nyeri
NIC
a. Kaji karakteristik nyeri yang dialami klien
b. Observasi ketidak nyamanan non verbal terhadap nyeri
c. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
d. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
e. Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk klien
f. Berikan analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
g. Ajarkan tehnik nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri
h. Kaji tipe dan sumber nyeri
i. Monitor ttv sebelum dan sesudah pemberian analgetik
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
NOC
a. Joint Movement : active
b. Mobility level
c. Self care : ADls
d. Transfer performance
Kriteria hasil:
a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
c. Menverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
d. Memperagakan penggunaan alat
e. Bantu untuk mobilisasi(walker)
NIC
a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat
latihan
b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap
cedera
d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
e. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADls secara mandiri sesuai
kemampuan
g. Dampingindan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADls
h. Berikan alat bantu jika klien memerlukan
i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong WD, Samsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005.
2. Andrew L Sherman, MD, MS; Chief Editor: Rene Cailliet, MD. Lumbar Compression
Fracture. (diakses tanggal 17 Juli 2014). Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/309615-overview
3. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta : PT. Yarsif Watampone. 2007.
4. Young W. Spinal cord injury level and classification (serial online) 2000 (diakses 10
April 2012); Diunduh dari: URL:
http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml
6. Pearce, Evelyn C., Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 2006. Hal 89
8. Apley graham and Solomon Louis. Ortopedi Fraktur System Apley; edisiketujuh. Jakarta:
Widya medika, 1995.