Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

FRACTURE VERTEBRA LUMBAL 1

NAMA : NIPRIYANTI
NIM : 2019040730

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS AN NUUR PURWODADI
2019/2020

TINJAUAN TEORI
I. Konsep Dasar Medis
A. Defenisi
Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan
(R.Syamsuhidayat,1997). Tanda-tanda khas terjadinya fraktur adanya krepitasi,
disfungsi serta dislokasi. Fraktur vertebra adalah terputusnya discus
invertebralis yang berdekatan dan berbagai tingkat perpindahan fragmen
tulang(Theodore, 1993) Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Lewis, 2000). Fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang normal yang terjadi
karena tekanan pada tulang yang berlebihan (Brunner and Suddarth 2002).
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, fraktur lumbal adalah
kerusakan pada tulang belakang berakibat trauma, biasanya terjadi pada orang
dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan.
B. Etiologi
Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai berikut:
1. Trauma langsung ( direct )
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan
tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan
benda keras oleh kekuatan langsung.
2. Trauma tidak langsung ( indirect )
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan
oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot, contohnya
seperti pada olahragawan yang menggunakan hanya satu tangannya untuk
menumpu beban badannya.

3. Trauma tidak langsung ( indirect )


Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteoporosis, penderita
tumor dan infeksi.
Penyebab pokok dari fraktur kompresi lumbal adalah osteoporosis. Pada
wanita, faktor risiko utama untuk osteoporosis adalah menopause, atau defisiensi
estrogen. Faktor risiko lain yang dapat memperburuk tingkat keparahan
osteoporosis termasuk merokok, aktivitas fisik, penggunaan prednison dan obat
lain, dan gizi buruk. Pada laki-laki, semua faktor risiko non-hormon di atas juga
berpengaruh. Namun, kadar testosteron rendah juga dapat berhubungan dengan
fraktur kompresi.
Gagal ginjal dan gagal hati keduanya terkait dengan osteopenia. Kekurangan
gizi dapat menurunkan remodeling tulang dan meningkatkan osteopenia.
Akhirnya, genetika juga memainkan peran dalam pengembangan fraktur
kompresi,risiko osteoporosis juga dapat dilihat dari riwayat keluarga dengan
keluhan serupa.
Keganasan dapat bermanifestasi awalnya sebagai fraktur kompresi. Kanker
yang paling umum di tulang belakang adalah metastasis. Keganasan khas yang
bermetastasis ke tulang belakang sel ginjal, prostat, payudara, paru-paru dan,
meskipun jenis lainnya dapat bermetastasis ke tulang belakang. 2 hal keganasan
tulang primer paling umum adalah multipel myeloma dan limfoma.
Infeksi yang menghasilkan osteomyelitis dapat juga mengakibatkan fraktur
kompresi. Biasanya, organisme yang paling umum dalam infeksi kronis adalah
stafilokokus atau streptokokus. Tuberkulosis bisa terjadi pada tulang belakang
dan disebut penyakit Pott.
C. Patofisologi
Menurut chairudin Rasjad (2012), menegaskan bahwa semua trauma tulang
belakang harus dianggap sebagai trauma yang hebat. Oleh karena itu, klien harus
diperlakukan secara hati – hati saat pertolongan pertama dan dibawa ke rumah sakit
dengan menggunakan transportasi. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai
jaringan lunak pada tulang belakang (ligamen dan diskus), tulang belakang dan
sumsum tulang belakang.
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, kecelakaan industri, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau
bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma kerana tali pengaman (fraktur chance),
kejatuhan benda keras. Sebagian besar trauma tulang belakang yang mengenai
tulang tidak disertai kelainan pada sumsum tulang belakang disertai kelainan pada
sumsum tulang belakang.
Mekanisme trauma yang terjadi pada trauma tulang belakang adalah:
a. Fleksi.
Trauma terjadi akibat fleksi dan diserta dengan sedikit kompresi pada vertebra.
Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat menyebabkan
kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan
ligamen posterior, fraktus bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.
b. Fleksi dan rotasi.
Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama – sama dengan rotasi.
Pada trauma ini terdapat strain dan ligamen dan kapsul serta ditemukan fraktur
faset. Pada kejadian ini terjadi pergerakan ke depan atau dislokasi vertebra
diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.
c. Kompresi vertikal (aksial).
Trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra akan menyebabkan
kompresi aksial. Nukleus polposus akan memecahkan permukaan serta badan
vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan
menyebabkan vertebra bisa menjadi rekah (pecah). Pada trauma jenis ini elemen
posterior masih utuh sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil.
d. Hiperekstensi atau retroekstensi.
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi.
Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikalis dan jarang pada vertebra
torakolumbalis. Ligammen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau
terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.
e. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra dan
sendi laser.
f. Fraktur dislokasi
Trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan dislokasi pada
tulang belakang.
Pada pasien dengan fraktur vertebra datang dengan nyeri tekan akut,
pembengkakan, spasme otot paravertebralis dan perubahan lengkungan normal atau
adanya gap antara prosesus spinosus. Nyeri akan memberat saat bergerak, batuk atau
pembebanan berat badan (Brunner dan Suddarth, 2001; 2387). Trauma pada sumsum
tulang belakang dapat terjadi perdarahan pada sumsum tulang belakang yang disebut
hematomiela. Gejala yang penting adalah tetap adanya sensibilitas di bawah trauma
(pinprick perianal). Gejala yang paling sering terjadi adalah sindrom sentral berupa
paralisis layu yang diikuti paralisis lower motor neuron anggota gerak atas dan
paralisis upper motor neuron (spastik) dari anggota gerak bawah disertai kontrol
kandung kemih dan sensibilitas perianal yang tetap baik. Trauma tulang belakang
jika mengenai:
a. Vertebra servikalis. Jika terjadi trauma pada vertebra servikalis, maka dapat
terjadi kelumpuhan otot pernapasan karena blok saraf simpatis sehingga klien
dapat mengalami gagal napas. Trauma vertebra servikalis juga dapat
menyebabkan quadiplegik dengan disfungsi kedua lengan, kedua kaki, defekasi
dan berkemih.
b. Vertebra torakolumbalis. Dapat terjadi paraplegi dan gangguna dalam menelan.
c. Vertebra sakralis. Jika trauma terjadi pada vertebra ini akan terjadi disfungsi
bladder dan bowel. Trauma pada sakralis juga dapat menyebabkan penis erection.
D. Manifestasi Klinis
Fraktur kompresi biasanya bersifat insidental, menunjukkan gejala nyeri
tulang belakang ringan sampai berat. Dapat mengakibatkan perubahan postur
tubuh karena terjadinya kiposis dan skoliosis. Pasien juga menunjukkan gejala-
gejala pada abdomen seperti rasa perut tertekan, rasa cepat kenyang, anoreksia
dan penurunan berat badan. Gejala pada sistem pernafasan dapat terjadi akibat
berkurangnya kapasitas paru.
Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala. Pada
saat fraktur terasa nyeri, biasanya dirasakan seperti nyeri yang dalam pada sisi
fraktur. Jarang sekali menyebabkan kompresi pada medulla spinalis, tampilan klinis
menunjukkan gejala nyeri radikuler yang nyata. Rasa nyeri pada fraktur
disebabkan oleh banyak gerak, dan pasien biasanya merasa lebih nyaman dengan
beristirahat.Banyak pasien yang mengalami fraktur kompresi vertebra akan
menjadi tidak aktif, dengan berbagai alasan antara lain rasa nyeri akan berkurang
dengan terlentang, takut jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga
kurang aktif atau malas bergerak pada akhirnya akan mengakibatkan semakin
buruknya kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Apabila kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan
sindrom konus medullaris.Konus medullaris adalah ujung berbentuk kerucut dari
sumsum tulang belakang. Normalnyaterletak antara ujung vertebra torakalis (T-12)
dan awal dari vertebra lumbalis (L-1),meskipun kadang-kadang konus medullaris
ditemukan antara L-1 dan L-2. Saraf yangmelewati konus medullaris mengontrol
kaki, alat kelamin, kandung kemih, dan usus.Gejala umum termasuk rasa sakit di
punggung bawah, anestesi di paha bagian dalam, pangkal paha; kesulitan berjalan,
kelemahan di kaki, kurangnya kontrol kandung kemih; inkontinensia alvi, dan
impotensi.

a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan
sel-sel saraf pada medulla spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan
flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medulla
spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan mengalami spinal shock yang
berlangsung sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam
minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Lesi yang
terjadi di lumbal menyebabkan beberapa otot-otot anggota gerak bawah mengalami
flacid paralisis.
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain
dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu
sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami gangguan. Selain itu kulit dibawah level
kerusakan akan mengalami anaestesi, karena terputusnya serabut-serabut saraf
sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitkan kontraksi otot polos
sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter internus. Kontraksi otot polos
sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan
oleh ganglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan,
karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan
volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat
dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di
rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya rectum
kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan
secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut
dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah
dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh
keinginan.
d. Gangguan fungsi seksual
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah
cidera. Seluruh bagian dari fungsi seksual mengalami gangguan pada fase spinal
shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya
lesi. Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflek pada konus, otomatisasi ereksi
terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas
seksual. Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai
reflex ereksi dan ereksi psikogenik jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan,
biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian
keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter. Kemampuan
fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung
seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis
sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan lokomotor
dan aktivitas otot secara volunter.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu :9
a. Roentgenography : pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra
untuk melihat fraktur dan pergeseran tulang vertebra
Fraktur Kompresi Vertebra Lumbal 1
b. Magnetic Resonance Imaging : pemeriksaan ini memberi informasi detail
mengenai jaringan lunak di daerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan
adalah 3 dimensi. MRI sering digunakan untuk mengetahui kerusakn jaringan
lunak pada ligament dan diskus intervertebralis dan menilai cedera medulla
spinalis

MRI Fraktur Kompresi Lumbal 1

c. CT- Scan
CT scan sangat berguna dalam menggambarkan adanya fraktur dan dapat
memberikan informasi jika tentang adanya kelainan densitas tulang. CT scan
danMRI juga sangat penting dalam menentukan diferensial diagnosis karena
adanyapenyempitan kanalis spinal, dan komposisi spesifik vertebra dapat
digambarkan.
d. Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
Dapat juga digunakan dalam menentukan adanya fraktur dan tingkat
adanyaosteoporosis karena kemampuannya dalam menggambarkan densitas
tulang.
e. Scintigraphy
Merupakan suatu metode diagnostik yang menggunakan deteksi radiasi sinar
gamma untuk menggambarkan kondisi dari jaringan atau organ, juga
merupakancmetode yang penting untuk memprediksikan hasil (outcome) dari
beberapa teknik operasi.
F. Penatalaksanaan
a. Nyeri akut fraktur kompresi vertebra
Jika pada pasien tidak ditemukan kelainan neurologis, pengobatan pada pasien
dengan akut fraktur harus menekankan pada pengurangan rasa nyeri, dengan
pembatasan bedrest, penggunaan analgetik, brancing dan latihan fisik.
1) Menghindari bedrest terlalu lama
Bahaya dari bedrest yang terlalu lama pada orang tua adalah, meningkatkan
kehilangan densitas tulang, deconditioning, thrombosis, pneumonia, ulkus
dekubitus, disorientasi dan depresi.
2) Analgetik
Analgetik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, biasa diberikan sebagai
terapi awal untuk menghindari dari bedrest yang terlalu lama.
3) Calcitonin, diberikan secara subkutan, intranasal, atau perrektal mempunyai
efek analgetik pada fraktur kompresi yang disebabkan oleh osteoporosis dan
pasien dengan nyeri tulang akibat metastasis.
4) Bracing
Bracing merupakan terapi yang biasa dilakukan pada manegemen akut non
operatif. Ortose membantu dalam mengontrol rasa nyeri dan membantu
penyembuhan dengan menstabilkan tulang belakang. Dengan
mengistirahatkan pada posisi fleksi, maka akan mengurangi takanan pada
kolumna anterior dan rangka tulang belakang.Bracing dapat digunakan
segera, tetapi hanya dapat digunakan untuk dua sampai tiga bulan. Terdapat
beberapa tipe ortose yang tersedia untuk pengobatan.
5) Vertebroplasty
Vertebroplasty dilakukan dengan menempatkan jarum biopsy tulang
belakang kedalam vertebra yang mengalami kompresi dengan bimbingan
fluoroscopy atau computed tomography. Kemudian diinjeksikan
Methylmethacrylate kedalam tulang yang mengalami kompresi. Prosedur ini
dapat menstabilkan fraktur dan megurangi rasa nyeri dengan cepat yaitu pada
90% 100% pasien. Tetapi prosedur ini tidak dapat memperbaiki deformitas
yang terjadi pada tulang belakang.

Teknik Vertebroplasty
6) Kypoplasty
Prosedur ini dilakukan dengan menyuntikkan jarum yang berisikan tampon
kedalam tulang yang mengalami fraktur. Insersi jarum tersebut akan
membentuk suatu kavitas pada tulang vertebra. Kemudian kavitas tersebut
diisi dengan campuran methylmetacrylate dibawah tekanan rendah.

Gambar 2.13. Teknik Kypoplasty


b. Penatalaksanaan nyeri kronis
Nyeri kronis umumnya biasa dialami oleh pasien dengan multipel
fraktur, penurun tinggi badan, dan kehilangan densitas tulang. Pada pasien-
pasien ini, sangat dianjurkan untuk tetap aktif melakukan pelemasan otot dan
program peregangan, seperti program yang berdampak ringan seperti berjalan
dan berenang. Sebagai tambahan obat penghilang rasa sakit, pemeriksaan
nonfarmakologis seperti stimulasi saraf listrik transkutaneus, aplikasi panas
dan dingin, atau penggunaan bracing, dapat menghilangkan rasa sakit sementara.
Aspek psikologis dari rasa nyeri yang kronis dan kehilangan fungsi fisiologis
harus diterangkan dalam konseling, jika perlu, dapat diberikan antidepresan.
c. Pencegahan fraktur tambahan
1) Sebagian besar pasien dengan fraktur akibat osteoporosis akut harus
diberikan terapi osteoporosis secara agresif.
2) Pemeriksaan bone densitometry sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
fraktur kompresi dan sebelumnya diduga mengalami kehilangan massa tulang.
3) National Osteoporosis Foundation menganjurkan semua wanita yang
mengalami fraktur spiral dan densitas mineral tulang harus diberikan
terapi seperti osteoporosis.
4) Diet suplemen vitamin D dan kalsium harus optimal. Bisphosponates
(alendronate, risendronate) mengurangi insidensi terjadinya fraktur vertebra
baru sampai lebih dari 50%.
5) Raloxifene, merupakan modulator estrogen selektif, menunjukkan dapat
mengurangi terjadi fraktur vertebra 65% pada tahun pertama dan sekitar
50% pada tahun ketiga.
6) Kalsitonin menunjukkan penurunan resiko terjadinya fraktur vertebra baru
sekitar 1 dari 3 wanita yang mengalami fraktur vetebra.
7) Teriparatide (fortoe), merupakan preparat hormon paratiroid rekombinan
diberikan secara subkutan. Obat ini juga menunjukkan rendahnya resiko
terjadinya fraktur vertebra dan meningkatkan densitas tulang pada wanita
postmenopause dengan osteoporosis. Obat ini bekerja pada osteoblast
untuk menstimulasi pembentukan tulang baru.
G. Komplikasi
Apakah fraktur kompresi vertebra menunjukkan gejala atau tidak,
komplikasijangka panjangnya sangat penting. Konsekuensinya dapat
dikategorikan sebagai biomekanik, fungsional, dan psikologis.9
a. Biomekanik
Pada beberapa pasien yang mengalami pemendekan segmen torakolumbal yang
signifikan, costa bagian terbawah akan bersandar padapevis, menyebabkan
terjadinya abdominal discomfort. Gejala-gejala pada gangguanabdomen dapat
berupa anoreksia yang dapat mengakibatkan penurunan berat badan,terutama
pada pasien yang berusia lanjut. Konsekuensi pada paru akibat adanyafraktur
kompresi pada vertebra dan kyposis umumnya ditandai dengan penyakit
parurestriktif dengan penurunan kapasitas vital paru. Dalam persamaan, setiap
frakturmenurunkan kapasitas vital 9%. Meningkatkan resiko terjadinya
fraktur. Karenaterjadinya kyposis, maka beban berlebih akan ditopang oleh
tulang disekitarnya,ditambah lagi dengan adanya osteoporosis semakin
meningkatkan resiko terjadinyafraktur. Adanya satu atau lebih vertebra
mengalami fraktur kompresi semakinmeningkatkan adanya fraktur tambahan
lima kali lipat dalam satu tahun.
b. Fungsional
Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih rendahdalam
performa fungsional dibandingkan dengan kontrol, lebih
banyakmembutuhkan pembantu, pengalaman lebih sering mengalami sakit saat
bekerja, danmengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Penelitian
terbaru padapasien-pasien ini memiliki nilai yang rendah pada indeks
kulalitas hidup yangberhubungan dengan kesehatan berdasarkan fungsi fisik,
status emosi, gejala klinisdan keseluruhan performa fungsional. Oleh karena
itu, banyak pasien yangmengalami fraktur kompresi vertebra akan menjadi
tidak aktif, dengan berbagaialasan antara lain rasa nyeri akan berkurang dengan
terlentang, takut jatuh sehinggaterjadi patah tulang lagi. Sehingga kurang aktif
atau malas bergerak pada akhirnyaakan mengakibatkan semakin buruknya
kemampuan dalam melakukan aktifitassehari-hari.
c. Psikologis
Kejadian depresi meningkat sampai 40% pada pasien yang menderita
frakturkompresi vertebra, akibat nyeri kronis, perubahan bentuk tubuh,
detorientasi dalamkemampuan untuk merawat diri sendiri, dan akibat bedrest
yang lama. Pasien yangmengalami depresi biasanya yang mengalami lebih
dari satu fraktur dan akanmenjadi cepat tua dan terisolasi secara sosial
H. Pencegahan
a. Hindari aktifitas fisik berat
b. Olah raga seperti jogging dan berjalan cepat
c. Jaga asupan kalsium (sayuran hijau, susu tinggi kalsium dll)
d. Hindari defisiensi vitamin D
e. Nutrisi dengan diet tinggi protein
f. Berjemur pada pagi dan sore hari
g. Diperlukan pendamping untuk usia lanjut
h. Memperhatikan lingkungan dan berbagai penyebab untuk menghindari
berulangnya jatuh
II. Konsep Dasar Keperawatan
A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Respon
Cek respon, dengan memanggil nama klien, menggoyangkan badan, dan
member rangsang nyeri.
b. Airways
- Bagaimana jalan nafas
- bisa berbicara secara bebas
- Adakah sumbatan jalan nafas (darah, lendir, makanan, sputum)
c. Breathing
- Bagaimana frekuensi pernafasan, teratur atau tidak, kedalamannya
- Adakah sesak nafas, bagaimana bunyi nafas
- Apakah menggunakan otot tambahan
- Apakah ada reflek batuk
d. Circulation
- Bagaimana nadi, frekuensi, teratur atau tidak, lemah atau kuat Berapa
tekanan darah
- Akral dingin atau hangat
- capillary refill < 3 detik atau > 3 detik, warna kulit, produksi urin

2. Pengkajian Sekunder
 Pemeriksaan fisik:
a. Keadaan umum
b. Kepala : bagaimana bentuk kepala, rambut mudah dicabut/tidak,
kulit kepala bersih/tidak
c. Mata : konjungtiva anemis +/-, sclera icterik +/-, besar pupil,
refleks cahaya +/-
d. Hidung :bentuk simetris atau tidak, discharge +/-, pembauan baik
atau tidak.
e. Telinga : simetris atau tidak, discharge +/-
f. Mulut : sianotik +/-, lembab/kering, gigi caries +/-
g. Leher : pembengkakan +/-, pergeseran trakea +/-
h. Dada
- Paru
Inspeksi : simetris atau tidak, jejas +/-, retraksi intercostal
Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama atau tidak
Perkusi : sonor +/-, hipersonor +/-, pekak +/-
Auskultasi : vesikuler +/-, ronchi +/-, wheezing +/-, crekles +/
- Jantung
Inspeksi : ictus cordis tampak atau tidak
Palpasi : dimana ictus cordis teraba
Perkusi : pekak +/-
Auskultasi : bagaimana BJ I dan II, gallops +/-, mur-mur +/-
i. Abdomen
Inspeksi : datar +/-, distensi abdomen +/-, ada jejas +/-
Auskultasi : bising usus +/-, berapa kali permenit
Palpasi : pembesaran hepar / lien
Perkusi : timpani +/-, pekak +/-
j. Genetalia : bersih atau ada tanda – tanda infeksi
k. Ekstremitas :
- Adakah perubahan bentuk: pembengkakan, deformitas, nyeri,
pemendekan tulang, krepitasi
- Adakah nadi pada bagian distal fraktur, lemah/kuat
- Adakah keterbatasan/kehilangan pergerakan
- Adakah spasme otot, ksemutan
- Adakah sensasi terhadap nyeri pada bagian distal fraktur
- Adakah luka, berapa luasnya, adakah jaringan/tulang yang keluar
 Psikologis :
a. Cemas
b. Denial
c. Depresi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
C. Intervensi Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
NOC
a. Respiratory status : Ventilation
b. Respiratory status : Airway patency
c. Vital sign Status
Dengan kriteria hasil:
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada pursed lips)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan
NIC
a. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
b. Berikan oksigen dengan cara yang tepat
c. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik
sekret.
d. Kaji fungsi pernapasan.
e. Auskultasi suara napas.
f. Observasi warna kulit.
g. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.
h. Pantau analisa gas darah.
Kaji tanda-tanda vital
2. Nyeri akut/kronis b.d agen cidera: fisik
NOC
a. Pain level
b. pain control
c. comfort level dengan criteria:
Kriteria hasil:
a. Menggunakan skala nyeri untuk mengidentifikasi nyeri yang dirasakan
b. Mendiskripsikan cara manajemen nyeri
c. Mengungkapkan kemampuan tidur dan istirahat
d. Mendiskripsikan terapi non farmakologi untuk mengontrol nyeri
NIC
a. Kaji karakteristik nyeri yang dialami klien
b. Observasi ketidak nyamanan non verbal terhadap nyeri
c. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
d. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
e. Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk klien
f. Berikan analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
g. Ajarkan tehnik nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri
h. Kaji tipe dan sumber nyeri
i. Monitor ttv sebelum dan sesudah pemberian analgetik
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
NOC
a. Joint Movement : active
b. Mobility level
c. Self care : ADls
d. Transfer performance
Kriteria hasil:
a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
c. Menverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
d. Memperagakan penggunaan alat
e. Bantu untuk mobilisasi(walker)
NIC
a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat
latihan
b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap
cedera
d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
e. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADls secara mandiri sesuai
kemampuan
g. Dampingindan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADls
h. Berikan alat bantu jika klien memerlukan
i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

DAFTAR PUSTAKA

1. Jong WD, Samsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005.

2. Andrew L Sherman, MD, MS; Chief Editor: Rene Cailliet, MD. Lumbar Compression
Fracture. (diakses tanggal 17 Juli 2014). Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/309615-overview

3. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta : PT. Yarsif Watampone. 2007.
4. Young W. Spinal cord injury level and classification (serial online) 2000 (diakses 10
April 2012); Diunduh dari: URL:
http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml

5. Hanna J, Letizia M. Kyphoplasty: A treatment for osteoporotic vertebral


compression fractures. nursing journal center (serial online) 2007 ( diakses 10 April
2012); Dunduh dari: URL: http://www.nursingcenter.com/library/journalarticle.asp?
article_id=755899.

6. Pearce, Evelyn C., Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 2006. Hal 89

7. Philips W. Ballinger, M.S., R.T.(R). (1995), Merrill’s Atlas of Radiographic Positions


and Radiologic Prosedures. Ohio : Mosby-Year Book.

8. Apley graham and Solomon Louis. Ortopedi Fraktur System Apley; edisiketujuh. Jakarta:
Widya medika, 1995.

9. Aron B, Walter CO. Vertebral compreesion fractures : treatment and evaluation


(serial online) 2006 ( diakses 10 April 2012); Diunduh dari: URL:
http://bjr.birjournals.org/cgi/reprint/75/891/207.pdf.

Anda mungkin juga menyukai