Anda di halaman 1dari 30

1.

Menjelaskan patofisiologi sepsis (sepsis campaign)


2. Menjelaskan Early Goal Directed Therapy
3. Mengetahui kriteria pasien perawatan ICU
4. Memahami interpretasi Analisa Gas Darah

Skenario 1
Seorang perempuan usia 44 tahun diantar keluaga ke IGD RS terdekat dengan
keluhan sesak nafas. Saat autoanamnesis pasien masih bisa menjawab pertanyaan tapi
dengan nada lemah, terengah-engah disertai batuk.
Hasil aloanamnesis, bahwa pasien mengalami:
 demam sejak 7 hari yang lalu, tidak membaik dengan Parasetamol maupun
antipiretik yang lain.
 Batuk diderita sejak 2 minggu yang lalu atau beberapa hari setelah menjenguk
tetangga yang sakit serupa, batuk kadang disertai sesak nafas sejak 3 hari
terakhir.
 Riwayat asma, alergi, hipertensi dan diabetes disangkal.
 Riwayat pengobatan batuk lama dan berpergian keluar daerah juga disangkal.
Hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan:
 TD 100/65,  MAP : (2x65)+100 / 3 = 76,67
 Nadi 116 x/menit,  takikardi
 frekuensi nafas 28 x/menit,  takipneu
 suhu 39 C,  febris
EKG memperlihatkan gambaran sinus takikardi, regular, rate 120 x/menit.

Sinus Takikardi merupakan aritmia  kelainan pada frekuensi, regularitas, lokasi asal,
atau kondisi listrik jantung. Irama sinus yang lebih cepat dari 100 x/menit (biasanya
tidak lebih dari 170x/menit). Irama sinus normal  irama yang dicetuskan oleh SA
Node, yang diteruskan ke AV Node, berkas hiss, cabang berkas kanan dan kiri, serabut
purkinje, kemudian ke ventrikel dengan irama yang reguler dan frek 60 – 100x/menit,
selain itu disebut aritmia.
- irama berasal dari SA Node (SinoArtial Node)
- dipengaruhi oleh sistem simpatis
- Frek > 60x/menit
- Yg namanya sinus itu: Gel P diikuti kompleks QRS
- PR interval < 0,2 detik 
- Kompleks QRS < 0,12 detik  sempit
Masalah
1. Mengapa demam tidak membaik dengan paracetamol atau antipiretik lain?
2. Apa yang menyebabkan sinus aritmia?
3.
PNEUMONIA  klasifikasi : Pnemonia Komuniti, Nosokomial, Aspirasi, pada penderita
Immunokompromais.

Pneumonia  peradangan jaringan parenkim paru yang disebabkan oleh


mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit).

Pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP) merupakan


pneumonia yang didapat di masyarakat, di mana infeksinya terjadi di luar rumah sakit.

Keluhan:
 Demam
 Menggigil
 Suhu tubuh dapat mencapai > 40 C
 Batuk dengan dahak purulen / mukoid kadang disertai darah, sesak, nyeri dada
Px Fisik:
 Bagian sakit tertinggal saat bernafas
 Fremitus mengeras
 Perkusi redup
 Auskultasi suara bronkovesikuler sampai bronkhial, ronkhi basah halus hingga
ronkhi basah kasar
Px Penunjang:
 Ro Thorax : konsolidasi / infiltrat dengan air bronkhogram, biasanya lobaris. Pada
bronkopneumonia tampak infiltrat bilateral.
 Leukositosis (AL > 10.000)
TTx:
 Antibiotik Gol Penisilin, beta laktam, sefalosporin, fluorokuinolon

Patofisiologi Pneumonia
Patofisiologi pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP)
melibatkan peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus,
jamur, dan parasit).
 Proliferasi mikroba patogen pada alveolus dan respon imun tubuh terhadap
proliferasi tersebut menyebabkan peradangan.
 Mikroorganisme masuk ke saluran napas bagian bawah melalui beberapa cara:
- secara aspirasi dari orofaring,
- inhalasi droplet,
- penyebaran melalui pembuluh darah,
- penyebaran dari pleura dan ruang mediastinum.
 Dalam keadaan normal, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada paru
karena mekanisme pertahanan tubuh.
 Mekanisme pertahanan saluran napas dan paru antara lain:
- Pertahanan mekanis oleh bulu hidung dan konka untuk menyaring partikel
besar agar tidak mencapai saluran napas bawah
- Refleks muntah dan batuk untuk mencegah aspirasi
- Struktur trakeobronkial yang bercabang-cabang untuk menjebak
mikroorganisme yang kemudian akan dibersihkan oleh mukosiliar dan
faktor antibakteri yang membunuh patogen yang berhasil masuk
- Flora normal yang menghalangi pertumbuhan bakteri yang virulensinya
lebih kuat
- Mikroorganisme yang berhasil lolos dan mencapai alveolus akan
disingkirkan oleh makrofag alveolar atau sel Langhans. Makrofag alveolar
selanjutnya memicu respon inflamasi untuk membantu proses pertahanan
tubuh.

Bila kapasitas makrofag alveolar tidak cukup untuk mengeliminasi patogen, maka dapat
terjadi kaskade yang menyebabkan gejala-gejala klinis pneumonia, yaitu:

 Proliferasi patogen memicu respon imun tubuh


 Pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1 dan TNF (tumor necrosis factor)
memicu terjadinya demam.
 Kemokin seperti IL-8 dan GSF (granulocyte colony-stimulating factor)
merangsang pelepasan neutrofil dan memanggil leukosit lebih banyak menuju
jaringan paru.

Pada pneumonia bakterial, infeksi umumnya berawal di trakea yang kemudian


mencapai parenkim paru. Selain itu, infeksi juga dapat berasal dari bakteremia yang
kemudian menjalar ke parenkim paru.
Sedangkan pada pneumonia viral, awal infeksi adalah infeksi di sepanjang jalan
napas yang disertai lesi pada epitel saluran napas.
Akibat infeksi, baik bakteri maupun viral, terjadi obstruksi akibat:
- pembengkakan,
- sekresi,
- debris selular.
FAKTOR RISIKO
Faktor gaya hidup dan beberapa kondisi medis berhubungan dengan peningkatan
risiko terjadinya CAP pada orang dewasa, antara lain:
 Umur di atas 65 tahun
 Merokok
 Peminum alkohol
 Kondisi imunosupresif
 Status nutrisi underweight
 Kurangnya kebersihan gigi
 Kondisi penyakit kronis seperti:
- PPOK,
- penyakit kardiovaskular,
- penyakit serebrovaskular,
- penyakit hepar atau ginjal kronis,
- diabetes melitus,
- demensia.

DIAGNOSIS PNEUMONIA
Diagnosis pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP)
ditegakkan berdasarkan adanya gejala yang mengarah, ditemukan kelainan paru pada
pemeriksaan fisik, dan gambaran infiltrat pada rontgen thoraks.

Anamnesis
Keluhan pasien sesuai dengan gejala pneumonia antara lain:

- Demam, dapat disertai menggigil atau berkeringat dan takikardi


- Riwayat batuk pilek beberapa hari sebelumnya.
- Batuk, batuk produktif atau non-produktif dimana sputum dapat mukoid,
purulen, atau dengan bercak darah. Bila terdapat batuk darah atau hemoptisis
dapat dicurigai penumonia komuniti MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus)
- Sesak napas, tergantung beratnya penyakit, dapat disertai dengan retraksi
subkosta, interkosta, suprasternal dan penggunaan otot bantu napas
- Nyeri dada pleuritik, bila telah gangguan telah mencapai pleura
- Pada anak, infeksi berat menyebabkan letargi dan sianosis
- Keluhan lainnya seperti nyeri kepala, mialgia, atralgia, kelelahan, mual, dan
muntah
Pemeriksaan Fisik

Temuan hasil pemeriksaan fisik bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit. Dapat
ditemukan:
- peningkatan laju pernapasan dan pemakaian otot bantu napas
- Stem fremitus dapat meningkat atau melemah pada pemeriksaan palpasi dada.
- Pada pemeriksaan perkusi bisa didapati dullness.
- Pada pemeriksaan auskultasi ditemukan ronki, suara pernapasan bronkial, dan
friction rub  bunyi terdengar kering akibat gesekan pleura yang meradang,
bunyi ini biasanya terdengar pada akhir inspirasi atau awal ekspirasi, suara
seperti gosokan amplas.
- Temuan pada pemeriksaan auskultasi bervariasi tergantung pada beratnya
infeksi.
- Bila sudah terjadi empiema, suara pernapasan dapat melemah.

Diagnosis pneumonia tidak cukup hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja.
Pemeriksaan fisik hanya memiliki sensitifitas rata-rata 58% dan spesifisitas 67%.
Pemeriksaan foto X-ray toraks dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dan
membedakan dari kondisi penyakit lainnya.

Diagnosis Banding

Gejala-gejala CAP dapat mirip dengan gambaran penyakit lainnya. Berikut diagnosis
banding CAP yang dibedakan menurut ada atau tidaknya abnormalitas pada hasil foto X-
ray toraks.

Foto X-Ray Toraks Abnormal - Cedera paru akibat pemakaian


kokain
- Congestive Heart Failure (CHF)
- Tuberkulosis paru Foto X-Ray Toraks Normal
- Pneumonitis aspirasi - Penyakit paru obstruktif kronis
- Infark paru (PPOK) eksaserbasi akut
- Fibrosis paru - Influenza
- Bronkiektasis - Bronkitis akut
- Pneumonia eosinofilik akut - Pertussis
- Pneumonitis hipersensitif - Asma
- Vaskulitis paru
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan adalah pemeriksaan laboratorium dan


radiologi.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium berguna untuk membantu penegakan diagnosis,


diagnosis etiologi, serta untuk penilaian prognosis pasien. Pemeriksaan tersebut antara
lain:

 Pemeriksaan darah rutin, didapati leukositosis yang bermakna dan pergeseran ke


kiri (shift to the left) pada hitung jenis leukosit terutama pada infeksi oleh S.
pneumoniae, H. influenzae, dan bakteri batang gram negatif. Leukopenia dapat
terjadi pada infeksi masif oleh pneumokokus dan bakteri batang gram negatif.
 Biomarker, acute phase reactant meningkat akibat respon inflamasi terutama
akibat infeksi bakteri. Biomarker tersebut adalah prokalsitonin dan C-reactive
protein.

 Peningkatan prokalsitonin dapat digunakan untuk penanda kebutuhan


pemberian antibiotik dan penghentian antibiotik bila kadarnya telah menurun di
bawah ambang batas bawah.

 Pemeriksaan mikrobiologis, sampel yang diperiksa harus berkualitas dan tidak


terkontaminasi oleh sediaan lain misalnya sediaan sputum tidak boleh
terkontaminasi cairan dari orofaring. Pengambilan sampel harus dilakukan
sebelum terapi empiris dilakukan. Pengambilan sampel juga dapat dilakukan
dengan cara invasif yakni pengambilan cairan bilasan bronkus (bronchoalveolar
lavage) pada saat bronkoskopi dan aspirasi cairan pleura.

 Pewarnaan sputum dan kultur sputum, pewarnaan gram pada sputum berguna
untuk mengidentifikasi spesies bakteri yang menjadi etiologi infeksi, sementara
kultur sputum untuk mengidentifikasi patogen dalam jumlah yang lebih besar
serta dilanjutkan dengan uji resistensi dan uji sensitivitas terhadap antibiotik.

 Kultur darah, hasil positif pada kultur darah pada umumnya rendah

 Kultur cairan pleura


 Pemeriksaan serologis, peningkatan IgM spesifik pada serum menunjukkan
infeksi pada fase akut dan fase konvalesen

 Tes antigen urin, pemeriksaan untuk mendekteksi antigen Legionella dan


pneumokokus pada urin. Pemeriksaan masih bisa menunjukkan positif walaupun
terapi antibiotik telah dimulai

 Polymerase Chain Reaction (PCR), PCR mengamplifikasi DNA dan RNA patogen.
Standar untuk diagnosis pneumonia viral adalah PCR apusan nasofaring.
Peningkatan bacterial load pada hasil pemeriksaan PCR pada darah merupakan
risiko terjadinya syok sepsis
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto x-ray toraks sangat
diperlukan untuk menyingkirkan kelainan yang
lainnya. Foto toraks tidak dapat dijadikan acuan untuk
etiologi pneumonia tertentu. Gambaran yang dapat
ditemukan pada foto x-ray toraks antara lain:

 Infiltrat
 Konsolidasi dengan air bronchogram
 Gambaran kavitas
 Infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia
(CAP) didasarkan pada keputusan mengenai rawat inap dan rawat jalan terlebih dahulu.

Prinsip Penatalaksanaan

Biaya rawat inap CAP dapat 20 kali lebih besar dibandingkan dengan rawat jalan.
Kebutuhan untuk rawat inap harus benar-benar dipertimbangkan karena kebanyakan
kasus CAP dapat diobati dengan berobat jalan. Selain pertimbangan rawat inap atau
rawat jalan, pertimbangan yang juga penting adalah pemilihan anti mikroba.
Keputusan untuk rawat inap atau rawat jalan kadang-kadang sulit dilakukan.
Beberapa prediktor telah dikembangkan namun tidak ada yang dianggap paling superior
untuk digunakan secara luas. Indeks PSI (Pneumonia Severity Index), merupakan model
prognostik untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko kematian yang rendah namun
cukup rumit bila diaplikasikan di instalasi gawat darurat yang cukup sibuk.

British Thoracic Society mengeluarkan skor CURB-65 yang lebih simpel dengan
pemberian skor 1 poin pada setiap temuan aspek yang dinilai. Aspek yang dinilai adalah:

 C : Confusion / konfusi
 U : Urea > 7 mmol/L atau setara Blood Urea Nitrogen (BUN) > 20 mg/dL
 R : Respiratory rate (laju pernapasan) 30 x/menit atau lebih
 B : Blood pressure (tekanan darah) sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg
 65 : usia 65 tahun atau lebih

Skor 0 – 1 : Rawat Jalan


Skor 2 : Rawat Jalan dengan supervisi / Rawat Inap singkat
Skor > 3 : Rawat Inap
Skor 4 – 5 : Pertimbangkan rawat di ICU

Kriteria perawatan pada unit rawatan intensif atau ICU adalah:

Kriteria mayor
- Kebutuhan untuk ventilasi mekanik
- Syok sepsis

Kriteria minor
- Rasio PaO2 : FiO2 < 250
- Laju pernapasan > 30 kali per menit
- Konfusi
- Infiltrat multilobar
- Tekanan darah sitolik < 90 mmHg walapun telah dilakukan resusitasi cairan
- Blood Urea Nitrogen (BUN) > 20 mg/dl
- Leukopenia (< 4000 sel/mm3)
- Trombositopenia (< 100.000 per mm3)
- Hipotermia (< 36 0C)
- Hiponatremia (< 130 mEq/L)
- pH arterial < 7,3
Medikamentosa

- Tata laksana simtomatik terhadap CAP adalah mengatasi demam, batuk, dan
gejala lainnya.
- Pertimbangkan pemberian oksigen, ventilasi, terapi cairan sesuai kebutuhan.
- Bila pneumonia akibat virus, maka tidak diperlukan antimikroba karena virus
dianggap sebagai self-limited diseases. Namun, kebanyakan infeksi viral dapat
tumpang tindih dengan infeksi bakteri, sehingga pemberian antibiotik juga harus
dipertimbangkan.

Tata laksana definitif adalah pemberian antimikroba sesuai etiologi. Namun pada saat
awal pemeriksaan dan diagnosis, etiologi sangat jarang dapat diketahui sehingga perlu
diberikan terapi empiris. Terapi empiris diberikan sembari menunggu hasil kultur dan uji
sensitivitas dan uji resistensi antibiotik. Terapi antibiotik empiris pada CAP dibedakan
berdasarkan pasien rawat inap ataupun rawat jalan.

Rawat Jalan

Bila tidak ada riwayat penyakit dan pemakaian antibiotik dalam 3 bulan terakhir:

- Makrolida terbaru: klaritromisin 500 mg/12 jam per oral atau azitromisin 500 mg
diikuti selanjutnya 250 mg/hari per oral selama 5 hari, atau
- Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam per oral selama 10 hari

Pasien dengan komorbid atau riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir:

- Fluorokuinolon: moksifloksasin 400 mg/hari per oral, levofloksasin 750 mg/hari


per oral selama 5 hari
- Beta-laktam: sebaiknya amoksisilin dosis tinggi (1 g/8 jam) atau amoksisilin-
klavulanat (2 g/12 jam per oral), alternatif lainnya seftriakson (1-2 g/hari IV),
sefuroksim (500 mg/12 jam) ditambah makrolida selama 3-5 hari

Pertimbangkan alternatif antibiotik pada daerah dengan angka resistensi makrolid yang
tinggi
Rawat Inap

- Fluorokuinolon: moksifloksasin 400 mg/hari per oral atau intravena, levofloksasin


750 mg/hari per oral atau intravena
- Betalaktam: misalnya seftriakson (1–2 g IV tiap hari), ampisilin (1–2 g IV tiap 4–6
jam), sefotaxime (1–2 g IV tiap 8 jam), ertapenem (1 g IV tiap hari) ditambah
makrolida

Rawat Inap Di Ruangan Rawatan Intensif (ICU)

- Betalaktam, seftriakson (2 g IV tiap hari), ampisilin-sulbaktam (2 g IV tiap 8 jam)


atau sefotaksim (1–2 g IV tiap 8 jam) ditambah azitromisin atau fluorokuinolon

Pertimbangan khusus

Bila dicurigai infeksi Pseudomonas pilihannya:


- Betalaktam, antara lain: piperasilin/tazobaktam (4,5 g IV tiap 6 jam), sefepime (1–
2 g IV tiap 12 jam), imipenem (500 mg IV tiap 6 jam), meropenem (1 g IV tiap 8
jam) ditambah siprofloksasin (400 mg IV tiap 12 jam) atau levofloksasin (750 mg
IV tiap hari)
- Betalaktam ditambah aminoglikosida; amikacin (15 mg/kg tiap hari) atau
tobramisin (1,7 mg/kg tiap hari) ditambah azitromisin
- Betalaktam ditambah aminoglikosida ditambah fluorokuinolon

Bila dicurigai infeksi CA-MRSA ditambahkan linezolid (600 mg IV tiap 12 jam) atau
vankomisin (15 mg/kg tiap 12 jam dosis inisial)

Tindakan Invasif
Tindakan invasif pada pneumonia bersifat diagnostik dan tidak mutlak
diperlukan. Tindakan invasif dapat berupa bronkoskopi untuk menilai kondisi bronkus,
mengekstraksi benda asing, dan untuk bilasan bronkoalveolar untuk sampel
pemeriksaan. Aspirasi cairan pleura bila terdapat efusi pleura atau kecurigaan adanya
empiema.

Rujukan
Kebanyakan pasien CAP dapat ditangani dengan rawat jalan tergantung beratnya
penyakit. Pasien harus dirujuk ke fasilitas yang memiliki ICU bila ada kemungkinan
kebutuhan perawatan intensif.
KOMPLIKASI

Komplikasi paling berat akibat pneumonia komunitas atau community-acquired


pneumonia (CAP) adalah sepsis, sepsis berat hingga syok sepsis dan kematian.
Ancaman gagal napas lebih rentan terutama pada bayi dan anak-anak akibat
hipoksemia. Komplikasi akibat penyebaran hematogen adalah meningitis, artritis
supuratif, dan osteomielitis walaupun jarang.
Pasien yang lebih tua rentan mengalami komplikasi jantung terutama pasien yang
memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya terutama riwayat gagal jantung. Insidensi
komplikasi jantung sering terjadi dalam 7 hari sejak didiagnosis dengan CAP, namun
dapat juga terjadi dalam 24 jam pertama setelah mengalami CAP. Insidensi komplikasi
jantung antara lain perburukan gagal jantung, aritmia, dan infark miokardium.
Komplikasi pada paru antara lain efusi pleura dan empiema. Bakteremia dapat
terjadi dan paling sering pada pasien yang mengalami empiema dan efusi pleura.

PROGNOSIS

- Pasien CAP tanpa komplikasi menunjukkan respon terhadap terapi dan


perbaikan gejala (demam, batuk, takipnea, dan nyeri dada) dalam 48-96 jam
sejak pemberian antibiotik. Perubahan pada hasil pemeriksaan radiologis dapat
lebih lambat dibandingkan dengan perbaikan klinis.
- Pada pasien yang tidak mengalami perbaikan harus dipertimbangkan apakah
mengalami komplikasi seperti empiema, resistensi antibiotik, etiologi non-
bakterial (misalnya virus, jamur atau aspirasi benda asing), obstruksi bronkus, dan
etiologi non-infeksius seperti bronkitis obliterans, pneumonitis hipersensitif, dan
pneumonia eosinofilik.
- Pasien CAP yang membutuhkan perawatan di ruangan rawat intensif atau ICU
memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi yakni angka mortalitasnya 19-27%
dalam 6 bulan setelah didiagnosis CAP.
- Kebutuhan pemakaian ventilasi mekanik merupakan prediktor yang kuat untuk
hasil keluaran yang buruk.
TIU

1. Menjelaskan patofisiologi sepsis (sepsis campaign)


 Sepsis adalah suatu sindrom klinis sebagai respon sistemik tubuh terhadap
adanya infeksi.
 Sepsis dapat menyebabkan terjadinya:
- gagal organ,
- hipotensi,
- peningkatan morbiditas dan mortalitas.
 Patofisiologi sepsis adalah adanya gangguan koagulasi, disfungsi seluler, dan
gangguan metabolik.
 Diagnosis sepsis dapat ditegakkan melalui kriteria diagnosis, dimana sepsis dibagi
menjadi 4 klasifikasi yaitu:
- systemic inflammatory response syndrome (SIRS),
- sepsis,
- sepsis berat,
- syok sepsis.

PATOFISIOLOGI
a. Gangguan Koagulasi
Dalam keadaan tubuh yang normal, terjadi homeostasis yang baik
sehingga darah dapat mengalir dalam tubuh dan pembekuan darah dapat terjadi
pada saat yang diperlukan untuk mengontrol perdarahan.
Namun, pada sepsis terjadi perubahan pada sistem koagulasi dan sel yang
mengatur sistem tersebut.
 Terjadi peningkatan penggunaan trombosit & Clotting Time (waktu
pembekuan darah) akan meningkat  N = ?.
 Homeostasis menjadi terganggu sehingga terjadi penyumbatan pembuluh
darah.
 Produksi faktor-faktor prokoagulan pun akan meningkat sehingga
sumsum tulang akan menghasilkan leukosit ke dalam sirkulasi. Efek lokal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya koagulopati sistemik 
kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan.
Akibat adanya gangguan koagulasi, trauma sel endothelial, dan
abnormalitas aliran darah, terjadi gangguan perfusi jaringan dan akhirnya
jaringan mengalami hipoksia.

b. Disfungsi Seluler
Terdapat beberapa aspek seluler yang mengalami gangguan fungsi pada
saat kondisi sepsis, yaitu adanya apoptosis limfosit, hiperaktivitas neutrofil, dan
kegagalan sel endotelial.

Apoptosis Limfosit
 Limfosit merupakan sel penting dalam tubuh dalam melawan infeksi.
 Pada pasien sepsis terdapat apoptosis yang signifikan pada limfosit ,
terutama pada limpa dan timus.
 Adanya apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab terjadinya penurunan
fungsi limfosit pada pasien sepsis sehingga terjadi kegagalan produksi
sitokin.

Hiperaktivitas Neutrofil
 Neutrofil juga merupakan komponen penting dalam Innate Immune
(sistem imun bawaan) sebagai respon terhadap adanya infeksi.
 Dalam keadaan normalnya, neutrofil dalam sirkulasi memiliki waktu hidup
yang singkat, sekitar 24 jam.
 Namun, pada pasien sepsis terdapat penundaan apoptosis neutrofil 
Shg menyebabkan neutrofil lebih lama beredar dalam sirkulasi dan
menyebabkan aktivasi faktor nuklear kB serta penurunan level caspase 3.
 Hal ini mengakibatkan pertambahan jumlah sel teraktivasi yang berlebih
dan dapat berpotensi menimbulkan trauma pada organ.

Kegagalan Sel Endotel


 Gangguan endotelial terjadi akibat adanya peningkatan ekspresi molekul
adhesi pada sel endotel.
 Hal ini menyebabkan leukosit cenderung menempel pada dinding sel dan
terjadi gangguan sistem koagulasi.
c. Gangguan Metabolik
Pada pasien sepsis, terjadi kerusakan dan disfungsi pada mitokondria. Hal
ini menyebabkan energi yang dihasilkan menurun. Akibatnya,
 terjadi disfungsi organ secara perlahan, dan
 viabilitas sel dalam menjalankan fungsinya menurun.
Dapat terjadi :
 Gagal ginjal akut,
 depresi miokard,
 disfungsi liver,
 ensefalopati, dan
 kegagalan paru akut.

 Selain itu, terjadi peningkatan katabolisme pada sepsis tingkat lanjut.


 Dapat terjadi penurunan substansi massa otot pada pasien dengan MOF
(Multiple Organ Failure) atau kegagalan multi organ.
 Penurunan sensitivitas insulin dan hiperglikemia juga dapat terjadi pada pasien
dengan sepsis lanjut.

DIAGNOSIS
Px Penunjang : dibutuhkan terutama utk melihat penanda inflamasi dan mencari
sumber infeksi
PX LAB:
 Leukositosis > 12.000/mm3 atau leukopenia < 4000/mm3
 Hitung jenis sel darah putih dengan > 10% bentuk imatur
 Peningkatan C-reactive protein (CRP) plasma
 Peningkatan prokalsitonin
 Thrombositopenia < 100.000/mm3
 Anemia yang ditandai penurunan Hb
PX KIMIA DARAH:
Pemeriksaan kimia darah diperlukan untuk melihat adanya gangguan atau
disfungsi organ seperti,
 gangguan fungsi liver (SGOT, SGPT),
 gangguan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin),
 hiperbilirubinemia.

ANALISA GAS DARAH:


 Analisis gas darah diperlukan terutama pada pasien dengan sepsis akibat infeksi
pada saluran pernapasan.
 Adanya hiperlaktatemia dapat mengindikasikan adanya hipoperfusi jaringan.
 Pasien dengan hiperlaktatemia memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi.

PX MIKROSKOPIK / KULTUR BAKTERI:


Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram dan kultur bakteri
diperlukan pada setiap pasien.

PX URINE:
Pada pasien dengan kecurigaan urosepsis, dapat dilakukan:
 pemeriksaan urinalisis,
 pewarnaan gram urine, dan
 kultur urine.

PX RONTGEN:
 Pemeriksaan rontgen dada diperlukan pada pasien dengan kecurigaan sepsis
akibat pneumonia.
 Pemeriksaan rontgen abdominal dengan posisi supine atau lateral decubitus
juga diperlukan pada pasien yang dicurigai terdapat infeksi pada abdomen.
USG:
USG diperlukan apabila pasien dicurigai mengalami infeksi pada traktus biliaris
atau infeksi pada abdomen.
CT-SCAN:
 CT Scan diperlukan untuk menyingkirkan adanya abses abdominal atau infeksi
pada retroperitoneal.
 CT Scan kepala diperlukan apabila pasien mengalami perubahan status mental,
atau dicurigai mengalami infeksi pada daerah kepala, seperti:
- otitis,
- sinusitis,
- riwayat operasi intrakranial

Diagnosis sepsis terbagi menjadi 4 klasifikasi, yaitu :

1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)


Pasien didiagnosis dengan SIRS apabila terdapat dua atau lebih keadaan berikut:
 Suhu tubuh > 38,5 C atau < 35,0 C
 Denyut nadi > 90 kali per menit
 Frekuensi napas > 20 kali per menit, atau tekanan CO2 arteri < 32 mmHg
atau membutuhkan ventilasi mekanis
 Jumlah leukosit > 12.000/mm3 atau < 4000/mm3 atau bentuk yang
imatur >10%.

2. Sepsis
Sepsis didiagnosis apabila terdapat SIRS dan bukti/kemungkinan infeksi
dari pemeriksaan mikroskopik atau kultur dari darah, sputum, urine, atau
terdapat fokus infeksi yang dapat diidentifikasi, seperti ruptur usus dengan
udara bebas / luka dengan discharge purulen.

3. Sepsis Berat
Sepsis berat ditandai dengan adanya sepsis dan salah satu tanda
hipoperfusi atau disfungsi organ, seperti :
 Terdapat area mottled skin / LIVEDO RETICULARIS  kulit berbintik-bintik
dan memiliki warna yang tidak merata dan tidak teratur.
 CRT / Waktu pengisian kapiler ≥ 3 detik
 Urine output < 0,5 mL/kg setidaknya dalam 1 jam atau riwayat terapi
pengganti renal
 Kadar laktat > 2 mmol/L
 Perubahan pada status mental atau adanya abnormalitas pada EEG
(elektroensefalogram)
 Hitung trombosit < 100.000/mL atau terjadinya DIC (disseminated
intravascular coagulation)
 Gagal paru atau ARDS sindrom distress pernapasan akut
 Disfungsi kardiak (berdasarkan EKG)

4. Syok Sepsis
Ditandai dengan adanya sepsis berat dan salah satu dari keadaan berikut :
 Tekanan darah rerata sistemik < 60 mmHg atau < 80 mmHg jika
sebelumnya terdapat riwayat hipertensi, setelah pemberian 20-30 mL/kg
starch (Amilum) atau 40-60 mL/kg cairan salin normal, atau tekanan
kapiler pulmonal antara 12-20 mmHg.
 Membutuhkan dopamine > 5 mcg/menit atau norepinephrine/ epinefrin
<0,25 mcg/kg per menit untuk menjaga tekanan darah > 60 mmHg atau >
80 mmHg jika sebelumnya terdapat riwayat hipertensi.

2. Menjelaskan Early Goal Directed Therapy


EGDT adalah protokol resusitasi 6 jam untuk pemberian:
 cairan intravena,
 vasopresor,
 inotrop, dan
 transfusi sel darah merah
untuk mencapai target yang ditentukan sebelumnya untuk tekanan vena sentral,
tekanan darah arteri, output urin, dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2).

Cairan intravena diberikan dalam 6 jam pertama menggunakan target fisiologis


untuk memandu manajemen.
 Penerimaan yang meluas tetapi target terbaik tidak diketahui (bukti yang
bertentangan)
 MAP > 65 (dan mungkin > 80)
 Urine Output > 0,5 ml/kg/ jam
 Denyut nadi menunjukkan variasi pernapasan
 CVP 8 - 12 (jika ditempatkan di tengah)  Tekanan Vena Sentral
 ScvO2 (> 70 (jika ditempatkan di tengah)  Saturasi Oksigen Vena Sentral
 Ikuti level laktat q6 jam hingga menurun (mungkin sebagus ScvO2)
 Setelah perfusi pulih, tidak membantu kecuali ia mulai meningkat lagi

Indeks Dinamis – Eksperimental


 Target potensial baru untuk memandu manajemen cairan
- Perubahan pernapasan dalam diameter vena cava
- Tekanan nadi arteri radialis
- Kecepatan puncak aliran darah aorta
- Kecepatan aliran darah arteri brakialis
 Harus dalam irama sinus dan berventilasi mekanis
 Jika aktif bernapas, dapat mengukur perubahan curah jantung melalui gema
dengan mengangkat kaki pasif

Protocol Directed Therapy (EGDT)


 ScvO2, CVP, MAP, output urin, dan laktat
- Panduan resusitasi cairan
 Pemberian antibiotik sejak dini
 Panduan pertama 6 jam presentasi
 Bukti yang saling bertentangan
- Garis sentral awalnya diperlukan (komplikasi)
- Studi asli didanai oleh perusahaan yang membuat jalur utama
- Beberapa penelitian tidak menunjukkan perbedaan dari perawatan normal
Bottom Line
 Apakah protokol, tujuan awal langsung terapi, atau perawatan biasa diberikan
- Resusitasi cairan harus dimulai dalam 6 jam
Dihentikan atau dikurangi ketika perfusi dipulihkan
 Antibiotik diberikan secara cepat ketika tampaknya infeksi ada / bekerja
 Jika defisit perfusi / kegagalan organ berkembang
- Kaji ulang kecukupan cairan, antibiotik, kebutuhan perawatan bedah,
ketepatan diagnosis, komplikasi
 Ketika pasien merespons, mundurlah dari dukungan tetapi pantau penanda
untuk sepsis (BP, UO, laboratorium, dll.)
- Evaluasi kembali jika memburuk atau tidak terus membaik
Discussion
 Apakah protokol, tujuan awal langsung terapi, atau perawatan biasa diberikan
- Resusitasi cairan harus dimulai dalam 6 jam
Dihentikan atau dikurangi ketika perfusi dipulihkan
Catatan:
Mencapai nilai target dalam 1 jam (bukan 6 jam) mungkin memerlukan pengembangan
EGDT versi baru (EGDT termodifikasi) yang tidak hanya memilih indeks dinamis dan
bukan CVP untuk memprediksi respon cairan tetapi juga menghindari kelebihan cairan
setelah resusitasi awal.

3. Mengetahui kriteria pasien perawatan ICU


Kriteria perawatan pada unit rawatan intensif atau ICU adalah:

Kriteria mayor
- Kebutuhan untuk ventilasi mekanik
- Syok sepsis
Kriteria minor
- Rasio PaO2 : FiO2 < 250
- Laju pernapasan > 30 kali per menit
- Konfusi
- Infiltrat multilobar
- Tekanan darah sitolik < 90 mmHg walapun telah dilakukan resusitasi cairan
- Blood Urea Nitrogen (BUN) > 20 mg/dl
- Leukopenia (< 4000 sel/mm3)
- Trombositopenia (< 100.000 per mm3)
- Hipotermia (< 36 0C)
- Hiponatremia (< 130 mEq/L)
- pH arterial < 7,3
4. Memahami interpretasi Analisa Gas Darah

 Analisis gas darah diperlukan terutama pada pasien dengan sepsis akibat infeksi
pada saluran pernapasan.
 Adanya hiperlaktatemia dapat mengindikasikan adanya hipoperfusi jaringan.
 Pasien dengan hiperlaktatemia memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi.
 AGD meliputi pemeriksaan PO2, PCO2, pH, HCO3, dan SaO2 (+ BE  N -2 s/d +2
mEq/L, asam: minus, basa: positif)
- Tekanan parsial oksigen  ukuran tenaga oksigen terlarut dalam darah
yang menentukan seberapa baik oksigen bisa mengalir dari paru-paru ke
dalam darah
 Normal : 75 – 100 mmHg
- Tekanan parsial karbon dioksia  ukuran tekanan karbon dioksia terlaur
dalam darah yang menentukan seberapa baik karbon dioksida dapat
mengalir keluar dari tubuh
 Normal : 35 – 45 mmHg
 Asam : > 45 (Tinggi)
 Basa : < 35 (Rendah)
- pH darah arteri menunjukkan jumlah ion hidrogen dalam darah
 Normal : 7,35 – 7,45
 Asam :<7
 Basa :>7
- Bikarbonat  bahan kimia yang membantu mencegah pH darah menjadi
terlalu asam atau terlalu basa
 Normal : 22 – 26 mEq/L
 Asam : < 22 (Rendah)
 Basa : > 26 (Tinggi)
- Saturasi oksigen  ukuran dari jumlah oksigen yang dibawa oleh
hemoglobin dalam eritrosit (sel darah merah)
 Normal : 94 – 100%
Perhatikan nilai CO2 dan HCO3 mana yang cocok dengan pH

 Misal jika pH 6  Asidosis, maka lihat mana yang juga asidosis dari CO2 dan
HCO3.
 CO2 menunjukkan respiratorik, sedangkan HCO3 menunjukan metabolik.
 Nah tadi misal pH 6, PCO2 tinggi (Asam)  Asidosis Respiratorik
 Kalau pH 6, HCO3 rendah (Asam)  Asidosis Metabolik
 Begitu juga dengan Alkalosis, kalau pH 8, PCO2 rendah  Alkalosis Respiratorik
 Kalau pH 8, HCO3 tinggi  Alkalosis Metabolik

Interpretasi Analisis Gas Darah

Kondisi pH Bikarbonat PaCO2 Penyebab Umum


Asidosis Metabolik < 7,4 Rendah Rendah Gagal Ginjal, Syok, KAD
Alkalosis Metabolik > 7,4 Tinggi Tinggi Muntah kronis,
hipokalemia
Asidosis Respiratorik < 7,4 Tinggi Tinggi Penyakit paru,
pneumonia, PPOK
Alkalosis Respiratorik > 7,4 Rendah Rendah Nyeri, cemas

Terkompensasi? Intinya misalnya dia asam, lawannya antara PaCo2 atau HCO3
membuat dia menjadi basa.

Tubuh akan selalu melakukan mekanisme kompensasi apabila terdapat gangguan


keseimbangan asam basa. Apabila pH asidosis (< 7. 35) dan CO2 juga asidotik (> 45
mmHg) maka kondisi ini kita sebut asidosis respiratorik, yang mana gangguan
keseimbangan asam basa nya disebabkan oleh masalah pada fungsi paru. Dalam kondisi
seperti ini, tubuh akan melakukan kompensasi untuk menyeimbangkan kadar asam basa
dengan menaikkan kadar HCO3- atau menaikkan kadar basa didalam tubuh. Karena itu,
apabila kita menerima hasil AGD yang menunjukkan pH asidotik dan CO2 asidotik, kita
juga harus melihat apakah HCO3- sudah alkalotik (sudah mulai naik menjadi > 26
mmEq).
Step 5 LO
1. kondisi pasien saat ini
2. berapa score sofa kasus ini
3. patofisiologi sepsis

d. Gangguan Koagulasi
Dalam keadaan tubuh yang normal, terjadi homeostasis yang baik
sehingga darah dapat mengalir dalam tubuh dan pembekuan darah dapat terjadi
pada saat yang diperlukan untuk mengontrol perdarahan.
Namun, pada sepsis terjadi perubahan pada sistem koagulasi dan sel yang
mengatur sistem tersebut.
 Terjadi peningkatan penggunaan trombosit & Clotting Time (waktu
pembekuan darah) akan meningkat  N = ?.
 Homeostasis menjadi terganggu sehingga terjadi penyumbatan pembuluh
darah.
 Produksi faktor-faktor prokoagulan pun akan meningkat sehingga
sumsum tulang akan menghasilkan leukosit ke dalam sirkulasi. Efek lokal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya koagulopati sistemik 
kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan.
Akibat adanya gangguan koagulasi, trauma sel endothelial, dan
abnormalitas aliran darah, terjadi gangguan perfusi jaringan dan akhirnya
jaringan mengalami hipoksia.

e. Disfungsi Seluler
Terdapat beberapa aspek seluler yang mengalami gangguan fungsi pada
saat kondisi sepsis, yaitu adanya apoptosis limfosit, hiperaktivitas neutrofil, dan
kegagalan sel endotelial.

Apoptosis Limfosit
 Limfosit merupakan sel penting dalam tubuh dalam melawan infeksi.
 Pada pasien sepsis terdapat apoptosis yang signifikan pada limfosit ,
terutama pada limpa dan timus.
 Adanya apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab terjadinya penurunan
fungsi limfosit pada pasien sepsis sehingga terjadi kegagalan produksi
sitokin.

Hiperaktivitas Neutrofil
 Neutrofil juga merupakan komponen penting dalam Innate Immune
(sistem imun bawaan) sebagai respon terhadap adanya infeksi.
 Dalam keadaan normalnya, neutrofil dalam sirkulasi memiliki waktu hidup
yang singkat, sekitar 24 jam.
 Namun, pada pasien sepsis terdapat penundaan apoptosis neutrofil 
Shg menyebabkan neutrofil lebih lama beredar dalam sirkulasi dan
menyebabkan aktivasi faktor nuklear kB serta penurunan level caspase 3.
 Hal ini mengakibatkan pertambahan jumlah sel teraktivasi yang berlebih
dan dapat berpotensi menimbulkan trauma pada organ.

Kegagalan Sel Endotel


 Gangguan endotelial terjadi akibat adanya peningkatan ekspresi molekul
adhesi pada sel endotel.
 Hal ini menyebabkan leukosit cenderung menempel pada dinding sel dan
terjadi gangguan sistem koagulasi.
f. Gangguan Metabolik
Pada pasien sepsis, terjadi kerusakan dan disfungsi pada mitokondria. Hal
ini menyebabkan energi yang dihasilkan menurun. Akibatnya,
 terjadi disfungsi organ secara perlahan, dan
 viabilitas sel dalam menjalankan fungsinya menurun.
Dapat terjadi :
 Gagal ginjal akut,
 depresi miokard,
 disfungsi liver,
 ensefalopati, dan
 kegagalan paru akut.

 Selain itu, terjadi peningkatan katabolisme pada sepsis tingkat lanjut.


 Dapat terjadi penurunan substansi massa otot pada pasien dengan MOF
(Multiple Organ Failure) atau kegagalan multi organ.
 Penurunan sensitivitas insulin dan hiperglikemia juga dapat terjadi pada pasien
dengan sepsis lanjut.

4. epidemiologi sepsis

Epidemiologi sepsis mencapai 132 - 300 per 100.000 penduduk di dunia


dengan angka mortalitas mencapai >50%.

Global
Insidensi sepsis berdasarkan International Classification of Disease
bervariasi antara 132 sampai 300 per 100.000 penduduk di dunia per tahun. Di
Amerika Serikat diperkirakan kasus sepsis terjadi sebanyak 750.000 dengan
kematian sebanyak 200.000 setiap tahunnya. Di Inggris didapatkan adanya
insidensi sepsis berkisar antara 88 - 102 per 100.000 penduduk setiap tahunnya.

Indonesia
Data mengenai prevalensi sepsis di Indonesia masih sangat terbatas. Pada
suatu studi yang dilakukan oleh Wardhana A, et al. didapatkan 38,9% pasien
yang datang ke unit luka bakar RSCM terdiagnosis sepsis dengan tingkat
mortalitas sebesar 76,9%. Sebaran penyakit sepsis di Rumah Sakit Dr. Sutomo
didapatkan sebesar 58,33%.

Mortalitas
Angka mortalitas sepsis cukup tinggi, yaitu >50% untuk sepsis pada umumnya,
25-50% sepsis derajat berat, dan 40-70% untuk syok sepsis. Sepsis menjadi
penyebab 20% kematian pasien di rumah sakit setiap tahun.

5. komplikasi
Sepsis dapat berkembang menjadi sepsis berat bahkan syok sepsis apabila
tidak segera dilakukan penatalaksanaan.
Komplikasi yang dapat timbul adalah kegagalan multi organ, yaitu:
- disfungsi renal,
- miokard,
- gagal hati,
- acute respiratory distress syndrome,
- bahkan kematian.

Survivor sepsis juga memiliki risiko:


- peningkatan gangguan stress post traumatik,
- disfungsi kognitif,
- disabilitas fisik, dan
- disfungsi pulmonal persisten

6. tatalaksana

Penatalaksanaan pasien sepsis terbagi menjadi dua, yaitu manajemen awal


untuk stabilisasi hemodinamik dan manajemen lanjutan untuk memperbaiki
kondisi klinis dan meningkatkan angka kesembuhan.

Manajemen Awal
Tujuan awal pengobatan adalah untuk mempertahankan jalan napas dan
memberikan resusitasi cairan yang adekuat. Pada pasien dengan gangguan
hemodinamik atau pernapasan, bantuan pernapasan seperti oksigen
supplemental (jika diperlukan dapat dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanis) merupakan prioritas utama.

Setelah melakukan stabilisasi pernapasan, berikan resusitasi cairan, terapi


vasopressor, identifikasi dan kontrol infeksi, pemberian antibiotik, serta
drainase sumber infeksi. Konsultasi tindakan pembedahan diperlukan pada
kecurigaan kasus abdomen akut dan infeksi necrotizing. [4,7]

Pada awal penatalaksanaan setelah stabilisasi pernapasan, sebaiknya dilakukan


pemasangan kateter vena sentral dan arterial untuk menjaga tekanan vena
antara 8-12 mmHg, tekanan darah rerata minimal 65 mmHg, dan output urine
yang adekuat. [7]

Resusitasi Cairan Awal

Adanya hipovolemia, depresi miokard, dan hipoperfusi pada sepsis dapat


menyebabkan terjadinya hipotensi yang akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien sepsis. Resusitasi cairan segera dilakukan ketika pasien
dicurigai mengalami sepsis. Kristaloid isotonik merupakan cairan yang paling
sering digunakan. [4,7]

Dapat digunakan pengukuran tekanan vena sentral untuk melihat respon terapi
inisial. Pada pasien sebaiknya dilakukan fluid challenge 20 mL/kg selama
maksimal 30 menit. Apabila terdapat perbaikan, dilanjutkan dengan resusitasi
cairan sebanyak 500 mL. Rerata volume resusitasi cairan pada percobaan sepsis
adalah 5 L dalam 6 jam. Respon terhadap resusitasi cairan biasanya dapat dilihat
dalam 12 jam pertama yang diukur dari tekanan darah, perfusi jaringan, dan
urine output. [7]

Terapi Vasopresor

Bantuan vasopressor direkomendasikan apabila resusitasi cairan gagal untuk


mengembalikan perfusi organ. Tekanan arteri rerata yang harus dicapai adalah
>65 mmHg. Dopamine dan norepinephrine merupakan agen vasopressor utama
yang direkomendasikan dalam tatalaksana syok sepsis. [7]

Terapi Antibiotik

Pemberian terapi antibiotik sejak awal dapat mempercepat perbaikan klinis.


Guidelines merekomendasikan pemberian antibiotik dalam 1 jam setelah sepsis
dicurigai. Adanya keterlambatan pemberian antibiotik dapat menurunkan angka
survival sebesar 8% setiap jamnya. Pemberian terapi empiris diberikan
berdasarkan kemungkinan sumber patogen, konteks klinis (community vs
hospital acquired) dan pola resistensi bakteri. [7]

Tabel 1. Contoh Pilihan Antibiotik Empiris untuk Sepsis

Sumber Infeksi Lini Pertama Tambahan


Infeksi kulit dan jaringan lunak yang dicurigai monomikrobial oleh S.pyogenes
Penisilin G dan Klindamisin
Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Methicillin-resistant S.aureus

Vankomisin atau linezolid Klindamisin untuk pasien syok septik


Infeksi kulit dan jaringan lunak yang dicurigai polimikrobial
Vankomisin atau linezolid atau daptomycin ditambah dengan piperacillin-
tazobactam atau carbapenem spektrum luas atau sefalosporin generasi ke 3 dan
4 ditambah dengan anti mikroba anaerob

Klindamisin untuk pasien syok septik yang dicurigai disebabkan oleh kuman
streptokokus, stafilokokus, atau clostridium
Hospital acquired Pneumonia
Vankomisin atau linezolid ditambah dengan piperacillin-tazobactam atau
cefepime atau levofloxacin atau imipenem atau meropenem

Ventilator associated Pneumonia


Vankomisin atau linezolid ditambah dengan piperacillin-tazobactam atau
cefepime atau levofloxacin atau imipenem atau meropenem

Untuk syok septik yang dicurigai disebabkan oleh organisme resisten, gunakan
obat dari kelas berbeda : piperacillin-tazobactam, cefepime, ceftazidime,
ciprofloxacin, levofloxacin, imipenem, meropenem, aminoglikosida, polymyxin
[13]

Manajemen Lanjutan
Terdapat beberapa manajemen pada pasien sepsis untuk membantu
memperbaiki gejala klinis dan meningkatkan angka kesembuhan, yaitu :

Terapi Produk Darah

Pemberian packed red blood cells (PRC) direkomendasikan untuk mendapatkan


hematokrit >30% ketika saturasi oksigen vena sentral <70% setelah tekanan
arteri rerata sudah stabil. Transfusi trombosit juga dapat diberikan jika jumlah
trombosit <5000/uL atau jika ada risiko perdarahan.

Kortikosteroid

Studi mengenai penggunaan kortikosteroid pada sepsis belum ada yang


dilakukan di Indonesia. Studi yang ada menganjurkan pemberian kortikosteroid
pada pasien dengan syok sepsis yang tidak berespon terhadap terapi
vasopressor dan resusitasi cairan.

Profilaksis Thrombosis Vena Dalam

Penggunaan heparin unfractionated dosis rendah atau low molecular weight


heparin bisa dipertimbangkan apabila tidak terdapat kontraindikasi.

Kontrol Gula Darah

Penggunaan insulin intravena apabila didapatkan adanya hiperglikemia reaktif.

Profilaksis Stress Ulcer

Diberikan terutama pada pasien dengan gagal multi organ atau yang menerima
ventilasi mekanik. [7]

7. etiologi

Etiologi sepsis bukan merupakan kondisi yang terjadi secara tiba-tiba dan
berdiri sendiri. Sepsis biasanya berhubungan dengan kondisi lain, yaitu adanya
perforasi, kompromi, atau ruptur dari organ intra abdominal atau pelvis.
Adanya infeksi intra renal (pyelonephritis), abses renal, prostatitis akut,
dan abses prostat dapat menyebabkan terjadinya urosepsis.
Selain itu, sepsis juga dapat terjadi secara langsung dari masuknya
mikroba dalam sirkulasi melalui infus intravena (infeksi jalur intravena atau
infeksi terkait alat kesehatan).
Adanya pneumonia atau infeksi pada saluran respirasi yang tidak
ditatalaksana dengan tepat juga dapat menyebabkan terjadinya sepsis.

Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya sepsis, yaitu:
 Penyakit kronis :
- Adanya HIV/AIDS,
- penyakit paru obstruktif kronis,
- sirosis,
- kanker,
- penggunaan agen imunosupresif dapat meningkatkan risiko
terjadinya sepsis.
 Usia dan jenis kelamin
Usia juga mempengaruhi insidensi dan beratnya derajat sepsis.
Sepsis lebih berat terjadi pada infant dan geriatri, serta lebih banyak
terjadi pada pria.

 Alkohol
Pada pasien yang ketergantungan alkohol risiko sepsis meningkat
sebesar 1,5 kali lipat.

 Penggunaan alat kesehatan


Adanya transfusi, penggunaan kateter urine, dan kateter vena
sentral dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis.

 Penyakit ginjal
Pada pasien dengan gangguan ginjal, terdapat peningkatan risiko
sepsis derajat berat dengan bakteremia gram negatif sebesar 3,43 kali
lipat lebih tinggi.

8. prognosis
Sekitar 40% pasien sepsis dapat berkembang menjadi syok sepsis apabila
tidak segera ditatalaksana dengan tepat. Faktor prognosis buruk pada sepsis
adalah usia tua, infeksi dengan organisme yang resisten, gangguan status imun
pada host, dan status fungsional tubuh pasien yang buruk sebelum terjadinya
sepsis.
Angka mortalitas dalam 28 hari sebesar 20% pada sepsis, 20-40% sepsis
derajat berat, dan 40-60% pada syok sepsis. Angka mortalitas pada sepsis berat
1 tahun setelah keluar rumah sakit bervariasi antara 7-43%.

9. pski
10. kriteria perawatan pasien ICU
11. analisis gas darah

Anda mungkin juga menyukai