Skenario 1
Seorang perempuan usia 44 tahun diantar keluaga ke IGD RS terdekat dengan
keluhan sesak nafas. Saat autoanamnesis pasien masih bisa menjawab pertanyaan tapi
dengan nada lemah, terengah-engah disertai batuk.
Hasil aloanamnesis, bahwa pasien mengalami:
demam sejak 7 hari yang lalu, tidak membaik dengan Parasetamol maupun
antipiretik yang lain.
Batuk diderita sejak 2 minggu yang lalu atau beberapa hari setelah menjenguk
tetangga yang sakit serupa, batuk kadang disertai sesak nafas sejak 3 hari
terakhir.
Riwayat asma, alergi, hipertensi dan diabetes disangkal.
Riwayat pengobatan batuk lama dan berpergian keluar daerah juga disangkal.
Hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan:
TD 100/65, MAP : (2x65)+100 / 3 = 76,67
Nadi 116 x/menit, takikardi
frekuensi nafas 28 x/menit, takipneu
suhu 39 C, febris
EKG memperlihatkan gambaran sinus takikardi, regular, rate 120 x/menit.
Sinus Takikardi merupakan aritmia kelainan pada frekuensi, regularitas, lokasi asal,
atau kondisi listrik jantung. Irama sinus yang lebih cepat dari 100 x/menit (biasanya
tidak lebih dari 170x/menit). Irama sinus normal irama yang dicetuskan oleh SA
Node, yang diteruskan ke AV Node, berkas hiss, cabang berkas kanan dan kiri, serabut
purkinje, kemudian ke ventrikel dengan irama yang reguler dan frek 60 – 100x/menit,
selain itu disebut aritmia.
- irama berasal dari SA Node (SinoArtial Node)
- dipengaruhi oleh sistem simpatis
- Frek > 60x/menit
- Yg namanya sinus itu: Gel P diikuti kompleks QRS
- PR interval < 0,2 detik
- Kompleks QRS < 0,12 detik sempit
Masalah
1. Mengapa demam tidak membaik dengan paracetamol atau antipiretik lain?
2. Apa yang menyebabkan sinus aritmia?
3.
PNEUMONIA klasifikasi : Pnemonia Komuniti, Nosokomial, Aspirasi, pada penderita
Immunokompromais.
Keluhan:
Demam
Menggigil
Suhu tubuh dapat mencapai > 40 C
Batuk dengan dahak purulen / mukoid kadang disertai darah, sesak, nyeri dada
Px Fisik:
Bagian sakit tertinggal saat bernafas
Fremitus mengeras
Perkusi redup
Auskultasi suara bronkovesikuler sampai bronkhial, ronkhi basah halus hingga
ronkhi basah kasar
Px Penunjang:
Ro Thorax : konsolidasi / infiltrat dengan air bronkhogram, biasanya lobaris. Pada
bronkopneumonia tampak infiltrat bilateral.
Leukositosis (AL > 10.000)
TTx:
Antibiotik Gol Penisilin, beta laktam, sefalosporin, fluorokuinolon
Patofisiologi Pneumonia
Patofisiologi pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP)
melibatkan peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus,
jamur, dan parasit).
Proliferasi mikroba patogen pada alveolus dan respon imun tubuh terhadap
proliferasi tersebut menyebabkan peradangan.
Mikroorganisme masuk ke saluran napas bagian bawah melalui beberapa cara:
- secara aspirasi dari orofaring,
- inhalasi droplet,
- penyebaran melalui pembuluh darah,
- penyebaran dari pleura dan ruang mediastinum.
Dalam keadaan normal, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada paru
karena mekanisme pertahanan tubuh.
Mekanisme pertahanan saluran napas dan paru antara lain:
- Pertahanan mekanis oleh bulu hidung dan konka untuk menyaring partikel
besar agar tidak mencapai saluran napas bawah
- Refleks muntah dan batuk untuk mencegah aspirasi
- Struktur trakeobronkial yang bercabang-cabang untuk menjebak
mikroorganisme yang kemudian akan dibersihkan oleh mukosiliar dan
faktor antibakteri yang membunuh patogen yang berhasil masuk
- Flora normal yang menghalangi pertumbuhan bakteri yang virulensinya
lebih kuat
- Mikroorganisme yang berhasil lolos dan mencapai alveolus akan
disingkirkan oleh makrofag alveolar atau sel Langhans. Makrofag alveolar
selanjutnya memicu respon inflamasi untuk membantu proses pertahanan
tubuh.
Bila kapasitas makrofag alveolar tidak cukup untuk mengeliminasi patogen, maka dapat
terjadi kaskade yang menyebabkan gejala-gejala klinis pneumonia, yaitu:
DIAGNOSIS PNEUMONIA
Diagnosis pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP)
ditegakkan berdasarkan adanya gejala yang mengarah, ditemukan kelainan paru pada
pemeriksaan fisik, dan gambaran infiltrat pada rontgen thoraks.
Anamnesis
Keluhan pasien sesuai dengan gejala pneumonia antara lain:
Temuan hasil pemeriksaan fisik bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit. Dapat
ditemukan:
- peningkatan laju pernapasan dan pemakaian otot bantu napas
- Stem fremitus dapat meningkat atau melemah pada pemeriksaan palpasi dada.
- Pada pemeriksaan perkusi bisa didapati dullness.
- Pada pemeriksaan auskultasi ditemukan ronki, suara pernapasan bronkial, dan
friction rub bunyi terdengar kering akibat gesekan pleura yang meradang,
bunyi ini biasanya terdengar pada akhir inspirasi atau awal ekspirasi, suara
seperti gosokan amplas.
- Temuan pada pemeriksaan auskultasi bervariasi tergantung pada beratnya
infeksi.
- Bila sudah terjadi empiema, suara pernapasan dapat melemah.
Diagnosis pneumonia tidak cukup hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja.
Pemeriksaan fisik hanya memiliki sensitifitas rata-rata 58% dan spesifisitas 67%.
Pemeriksaan foto X-ray toraks dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dan
membedakan dari kondisi penyakit lainnya.
Diagnosis Banding
Gejala-gejala CAP dapat mirip dengan gambaran penyakit lainnya. Berikut diagnosis
banding CAP yang dibedakan menurut ada atau tidaknya abnormalitas pada hasil foto X-
ray toraks.
Pemeriksaan Laboratorium
Pewarnaan sputum dan kultur sputum, pewarnaan gram pada sputum berguna
untuk mengidentifikasi spesies bakteri yang menjadi etiologi infeksi, sementara
kultur sputum untuk mengidentifikasi patogen dalam jumlah yang lebih besar
serta dilanjutkan dengan uji resistensi dan uji sensitivitas terhadap antibiotik.
Kultur darah, hasil positif pada kultur darah pada umumnya rendah
Polymerase Chain Reaction (PCR), PCR mengamplifikasi DNA dan RNA patogen.
Standar untuk diagnosis pneumonia viral adalah PCR apusan nasofaring.
Peningkatan bacterial load pada hasil pemeriksaan PCR pada darah merupakan
risiko terjadinya syok sepsis
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto x-ray toraks sangat
diperlukan untuk menyingkirkan kelainan yang
lainnya. Foto toraks tidak dapat dijadikan acuan untuk
etiologi pneumonia tertentu. Gambaran yang dapat
ditemukan pada foto x-ray toraks antara lain:
Infiltrat
Konsolidasi dengan air bronchogram
Gambaran kavitas
Infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia
(CAP) didasarkan pada keputusan mengenai rawat inap dan rawat jalan terlebih dahulu.
Prinsip Penatalaksanaan
Biaya rawat inap CAP dapat 20 kali lebih besar dibandingkan dengan rawat jalan.
Kebutuhan untuk rawat inap harus benar-benar dipertimbangkan karena kebanyakan
kasus CAP dapat diobati dengan berobat jalan. Selain pertimbangan rawat inap atau
rawat jalan, pertimbangan yang juga penting adalah pemilihan anti mikroba.
Keputusan untuk rawat inap atau rawat jalan kadang-kadang sulit dilakukan.
Beberapa prediktor telah dikembangkan namun tidak ada yang dianggap paling superior
untuk digunakan secara luas. Indeks PSI (Pneumonia Severity Index), merupakan model
prognostik untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko kematian yang rendah namun
cukup rumit bila diaplikasikan di instalasi gawat darurat yang cukup sibuk.
British Thoracic Society mengeluarkan skor CURB-65 yang lebih simpel dengan
pemberian skor 1 poin pada setiap temuan aspek yang dinilai. Aspek yang dinilai adalah:
C : Confusion / konfusi
U : Urea > 7 mmol/L atau setara Blood Urea Nitrogen (BUN) > 20 mg/dL
R : Respiratory rate (laju pernapasan) 30 x/menit atau lebih
B : Blood pressure (tekanan darah) sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg
65 : usia 65 tahun atau lebih
Kriteria mayor
- Kebutuhan untuk ventilasi mekanik
- Syok sepsis
Kriteria minor
- Rasio PaO2 : FiO2 < 250
- Laju pernapasan > 30 kali per menit
- Konfusi
- Infiltrat multilobar
- Tekanan darah sitolik < 90 mmHg walapun telah dilakukan resusitasi cairan
- Blood Urea Nitrogen (BUN) > 20 mg/dl
- Leukopenia (< 4000 sel/mm3)
- Trombositopenia (< 100.000 per mm3)
- Hipotermia (< 36 0C)
- Hiponatremia (< 130 mEq/L)
- pH arterial < 7,3
Medikamentosa
- Tata laksana simtomatik terhadap CAP adalah mengatasi demam, batuk, dan
gejala lainnya.
- Pertimbangkan pemberian oksigen, ventilasi, terapi cairan sesuai kebutuhan.
- Bila pneumonia akibat virus, maka tidak diperlukan antimikroba karena virus
dianggap sebagai self-limited diseases. Namun, kebanyakan infeksi viral dapat
tumpang tindih dengan infeksi bakteri, sehingga pemberian antibiotik juga harus
dipertimbangkan.
Tata laksana definitif adalah pemberian antimikroba sesuai etiologi. Namun pada saat
awal pemeriksaan dan diagnosis, etiologi sangat jarang dapat diketahui sehingga perlu
diberikan terapi empiris. Terapi empiris diberikan sembari menunggu hasil kultur dan uji
sensitivitas dan uji resistensi antibiotik. Terapi antibiotik empiris pada CAP dibedakan
berdasarkan pasien rawat inap ataupun rawat jalan.
Rawat Jalan
Bila tidak ada riwayat penyakit dan pemakaian antibiotik dalam 3 bulan terakhir:
- Makrolida terbaru: klaritromisin 500 mg/12 jam per oral atau azitromisin 500 mg
diikuti selanjutnya 250 mg/hari per oral selama 5 hari, atau
- Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam per oral selama 10 hari
Pasien dengan komorbid atau riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir:
Pertimbangkan alternatif antibiotik pada daerah dengan angka resistensi makrolid yang
tinggi
Rawat Inap
Pertimbangan khusus
Bila dicurigai infeksi CA-MRSA ditambahkan linezolid (600 mg IV tiap 12 jam) atau
vankomisin (15 mg/kg tiap 12 jam dosis inisial)
Tindakan Invasif
Tindakan invasif pada pneumonia bersifat diagnostik dan tidak mutlak
diperlukan. Tindakan invasif dapat berupa bronkoskopi untuk menilai kondisi bronkus,
mengekstraksi benda asing, dan untuk bilasan bronkoalveolar untuk sampel
pemeriksaan. Aspirasi cairan pleura bila terdapat efusi pleura atau kecurigaan adanya
empiema.
Rujukan
Kebanyakan pasien CAP dapat ditangani dengan rawat jalan tergantung beratnya
penyakit. Pasien harus dirujuk ke fasilitas yang memiliki ICU bila ada kemungkinan
kebutuhan perawatan intensif.
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
PATOFISIOLOGI
a. Gangguan Koagulasi
Dalam keadaan tubuh yang normal, terjadi homeostasis yang baik
sehingga darah dapat mengalir dalam tubuh dan pembekuan darah dapat terjadi
pada saat yang diperlukan untuk mengontrol perdarahan.
Namun, pada sepsis terjadi perubahan pada sistem koagulasi dan sel yang
mengatur sistem tersebut.
Terjadi peningkatan penggunaan trombosit & Clotting Time (waktu
pembekuan darah) akan meningkat N = ?.
Homeostasis menjadi terganggu sehingga terjadi penyumbatan pembuluh
darah.
Produksi faktor-faktor prokoagulan pun akan meningkat sehingga
sumsum tulang akan menghasilkan leukosit ke dalam sirkulasi. Efek lokal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya koagulopati sistemik
kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan.
Akibat adanya gangguan koagulasi, trauma sel endothelial, dan
abnormalitas aliran darah, terjadi gangguan perfusi jaringan dan akhirnya
jaringan mengalami hipoksia.
b. Disfungsi Seluler
Terdapat beberapa aspek seluler yang mengalami gangguan fungsi pada
saat kondisi sepsis, yaitu adanya apoptosis limfosit, hiperaktivitas neutrofil, dan
kegagalan sel endotelial.
Apoptosis Limfosit
Limfosit merupakan sel penting dalam tubuh dalam melawan infeksi.
Pada pasien sepsis terdapat apoptosis yang signifikan pada limfosit ,
terutama pada limpa dan timus.
Adanya apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab terjadinya penurunan
fungsi limfosit pada pasien sepsis sehingga terjadi kegagalan produksi
sitokin.
Hiperaktivitas Neutrofil
Neutrofil juga merupakan komponen penting dalam Innate Immune
(sistem imun bawaan) sebagai respon terhadap adanya infeksi.
Dalam keadaan normalnya, neutrofil dalam sirkulasi memiliki waktu hidup
yang singkat, sekitar 24 jam.
Namun, pada pasien sepsis terdapat penundaan apoptosis neutrofil
Shg menyebabkan neutrofil lebih lama beredar dalam sirkulasi dan
menyebabkan aktivasi faktor nuklear kB serta penurunan level caspase 3.
Hal ini mengakibatkan pertambahan jumlah sel teraktivasi yang berlebih
dan dapat berpotensi menimbulkan trauma pada organ.
DIAGNOSIS
Px Penunjang : dibutuhkan terutama utk melihat penanda inflamasi dan mencari
sumber infeksi
PX LAB:
Leukositosis > 12.000/mm3 atau leukopenia < 4000/mm3
Hitung jenis sel darah putih dengan > 10% bentuk imatur
Peningkatan C-reactive protein (CRP) plasma
Peningkatan prokalsitonin
Thrombositopenia < 100.000/mm3
Anemia yang ditandai penurunan Hb
PX KIMIA DARAH:
Pemeriksaan kimia darah diperlukan untuk melihat adanya gangguan atau
disfungsi organ seperti,
gangguan fungsi liver (SGOT, SGPT),
gangguan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin),
hiperbilirubinemia.
PX URINE:
Pada pasien dengan kecurigaan urosepsis, dapat dilakukan:
pemeriksaan urinalisis,
pewarnaan gram urine, dan
kultur urine.
PX RONTGEN:
Pemeriksaan rontgen dada diperlukan pada pasien dengan kecurigaan sepsis
akibat pneumonia.
Pemeriksaan rontgen abdominal dengan posisi supine atau lateral decubitus
juga diperlukan pada pasien yang dicurigai terdapat infeksi pada abdomen.
USG:
USG diperlukan apabila pasien dicurigai mengalami infeksi pada traktus biliaris
atau infeksi pada abdomen.
CT-SCAN:
CT Scan diperlukan untuk menyingkirkan adanya abses abdominal atau infeksi
pada retroperitoneal.
CT Scan kepala diperlukan apabila pasien mengalami perubahan status mental,
atau dicurigai mengalami infeksi pada daerah kepala, seperti:
- otitis,
- sinusitis,
- riwayat operasi intrakranial
2. Sepsis
Sepsis didiagnosis apabila terdapat SIRS dan bukti/kemungkinan infeksi
dari pemeriksaan mikroskopik atau kultur dari darah, sputum, urine, atau
terdapat fokus infeksi yang dapat diidentifikasi, seperti ruptur usus dengan
udara bebas / luka dengan discharge purulen.
3. Sepsis Berat
Sepsis berat ditandai dengan adanya sepsis dan salah satu tanda
hipoperfusi atau disfungsi organ, seperti :
Terdapat area mottled skin / LIVEDO RETICULARIS kulit berbintik-bintik
dan memiliki warna yang tidak merata dan tidak teratur.
CRT / Waktu pengisian kapiler ≥ 3 detik
Urine output < 0,5 mL/kg setidaknya dalam 1 jam atau riwayat terapi
pengganti renal
Kadar laktat > 2 mmol/L
Perubahan pada status mental atau adanya abnormalitas pada EEG
(elektroensefalogram)
Hitung trombosit < 100.000/mL atau terjadinya DIC (disseminated
intravascular coagulation)
Gagal paru atau ARDS sindrom distress pernapasan akut
Disfungsi kardiak (berdasarkan EKG)
4. Syok Sepsis
Ditandai dengan adanya sepsis berat dan salah satu dari keadaan berikut :
Tekanan darah rerata sistemik < 60 mmHg atau < 80 mmHg jika
sebelumnya terdapat riwayat hipertensi, setelah pemberian 20-30 mL/kg
starch (Amilum) atau 40-60 mL/kg cairan salin normal, atau tekanan
kapiler pulmonal antara 12-20 mmHg.
Membutuhkan dopamine > 5 mcg/menit atau norepinephrine/ epinefrin
<0,25 mcg/kg per menit untuk menjaga tekanan darah > 60 mmHg atau >
80 mmHg jika sebelumnya terdapat riwayat hipertensi.
Kriteria mayor
- Kebutuhan untuk ventilasi mekanik
- Syok sepsis
Kriteria minor
- Rasio PaO2 : FiO2 < 250
- Laju pernapasan > 30 kali per menit
- Konfusi
- Infiltrat multilobar
- Tekanan darah sitolik < 90 mmHg walapun telah dilakukan resusitasi cairan
- Blood Urea Nitrogen (BUN) > 20 mg/dl
- Leukopenia (< 4000 sel/mm3)
- Trombositopenia (< 100.000 per mm3)
- Hipotermia (< 36 0C)
- Hiponatremia (< 130 mEq/L)
- pH arterial < 7,3
4. Memahami interpretasi Analisa Gas Darah
Analisis gas darah diperlukan terutama pada pasien dengan sepsis akibat infeksi
pada saluran pernapasan.
Adanya hiperlaktatemia dapat mengindikasikan adanya hipoperfusi jaringan.
Pasien dengan hiperlaktatemia memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi.
AGD meliputi pemeriksaan PO2, PCO2, pH, HCO3, dan SaO2 (+ BE N -2 s/d +2
mEq/L, asam: minus, basa: positif)
- Tekanan parsial oksigen ukuran tenaga oksigen terlarut dalam darah
yang menentukan seberapa baik oksigen bisa mengalir dari paru-paru ke
dalam darah
Normal : 75 – 100 mmHg
- Tekanan parsial karbon dioksia ukuran tekanan karbon dioksia terlaur
dalam darah yang menentukan seberapa baik karbon dioksida dapat
mengalir keluar dari tubuh
Normal : 35 – 45 mmHg
Asam : > 45 (Tinggi)
Basa : < 35 (Rendah)
- pH darah arteri menunjukkan jumlah ion hidrogen dalam darah
Normal : 7,35 – 7,45
Asam :<7
Basa :>7
- Bikarbonat bahan kimia yang membantu mencegah pH darah menjadi
terlalu asam atau terlalu basa
Normal : 22 – 26 mEq/L
Asam : < 22 (Rendah)
Basa : > 26 (Tinggi)
- Saturasi oksigen ukuran dari jumlah oksigen yang dibawa oleh
hemoglobin dalam eritrosit (sel darah merah)
Normal : 94 – 100%
Perhatikan nilai CO2 dan HCO3 mana yang cocok dengan pH
Misal jika pH 6 Asidosis, maka lihat mana yang juga asidosis dari CO2 dan
HCO3.
CO2 menunjukkan respiratorik, sedangkan HCO3 menunjukan metabolik.
Nah tadi misal pH 6, PCO2 tinggi (Asam) Asidosis Respiratorik
Kalau pH 6, HCO3 rendah (Asam) Asidosis Metabolik
Begitu juga dengan Alkalosis, kalau pH 8, PCO2 rendah Alkalosis Respiratorik
Kalau pH 8, HCO3 tinggi Alkalosis Metabolik
Terkompensasi? Intinya misalnya dia asam, lawannya antara PaCo2 atau HCO3
membuat dia menjadi basa.
d. Gangguan Koagulasi
Dalam keadaan tubuh yang normal, terjadi homeostasis yang baik
sehingga darah dapat mengalir dalam tubuh dan pembekuan darah dapat terjadi
pada saat yang diperlukan untuk mengontrol perdarahan.
Namun, pada sepsis terjadi perubahan pada sistem koagulasi dan sel yang
mengatur sistem tersebut.
Terjadi peningkatan penggunaan trombosit & Clotting Time (waktu
pembekuan darah) akan meningkat N = ?.
Homeostasis menjadi terganggu sehingga terjadi penyumbatan pembuluh
darah.
Produksi faktor-faktor prokoagulan pun akan meningkat sehingga
sumsum tulang akan menghasilkan leukosit ke dalam sirkulasi. Efek lokal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya koagulopati sistemik
kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan.
Akibat adanya gangguan koagulasi, trauma sel endothelial, dan
abnormalitas aliran darah, terjadi gangguan perfusi jaringan dan akhirnya
jaringan mengalami hipoksia.
e. Disfungsi Seluler
Terdapat beberapa aspek seluler yang mengalami gangguan fungsi pada
saat kondisi sepsis, yaitu adanya apoptosis limfosit, hiperaktivitas neutrofil, dan
kegagalan sel endotelial.
Apoptosis Limfosit
Limfosit merupakan sel penting dalam tubuh dalam melawan infeksi.
Pada pasien sepsis terdapat apoptosis yang signifikan pada limfosit ,
terutama pada limpa dan timus.
Adanya apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab terjadinya penurunan
fungsi limfosit pada pasien sepsis sehingga terjadi kegagalan produksi
sitokin.
Hiperaktivitas Neutrofil
Neutrofil juga merupakan komponen penting dalam Innate Immune
(sistem imun bawaan) sebagai respon terhadap adanya infeksi.
Dalam keadaan normalnya, neutrofil dalam sirkulasi memiliki waktu hidup
yang singkat, sekitar 24 jam.
Namun, pada pasien sepsis terdapat penundaan apoptosis neutrofil
Shg menyebabkan neutrofil lebih lama beredar dalam sirkulasi dan
menyebabkan aktivasi faktor nuklear kB serta penurunan level caspase 3.
Hal ini mengakibatkan pertambahan jumlah sel teraktivasi yang berlebih
dan dapat berpotensi menimbulkan trauma pada organ.
4. epidemiologi sepsis
Global
Insidensi sepsis berdasarkan International Classification of Disease
bervariasi antara 132 sampai 300 per 100.000 penduduk di dunia per tahun. Di
Amerika Serikat diperkirakan kasus sepsis terjadi sebanyak 750.000 dengan
kematian sebanyak 200.000 setiap tahunnya. Di Inggris didapatkan adanya
insidensi sepsis berkisar antara 88 - 102 per 100.000 penduduk setiap tahunnya.
Indonesia
Data mengenai prevalensi sepsis di Indonesia masih sangat terbatas. Pada
suatu studi yang dilakukan oleh Wardhana A, et al. didapatkan 38,9% pasien
yang datang ke unit luka bakar RSCM terdiagnosis sepsis dengan tingkat
mortalitas sebesar 76,9%. Sebaran penyakit sepsis di Rumah Sakit Dr. Sutomo
didapatkan sebesar 58,33%.
Mortalitas
Angka mortalitas sepsis cukup tinggi, yaitu >50% untuk sepsis pada umumnya,
25-50% sepsis derajat berat, dan 40-70% untuk syok sepsis. Sepsis menjadi
penyebab 20% kematian pasien di rumah sakit setiap tahun.
5. komplikasi
Sepsis dapat berkembang menjadi sepsis berat bahkan syok sepsis apabila
tidak segera dilakukan penatalaksanaan.
Komplikasi yang dapat timbul adalah kegagalan multi organ, yaitu:
- disfungsi renal,
- miokard,
- gagal hati,
- acute respiratory distress syndrome,
- bahkan kematian.
6. tatalaksana
Manajemen Awal
Tujuan awal pengobatan adalah untuk mempertahankan jalan napas dan
memberikan resusitasi cairan yang adekuat. Pada pasien dengan gangguan
hemodinamik atau pernapasan, bantuan pernapasan seperti oksigen
supplemental (jika diperlukan dapat dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanis) merupakan prioritas utama.
Dapat digunakan pengukuran tekanan vena sentral untuk melihat respon terapi
inisial. Pada pasien sebaiknya dilakukan fluid challenge 20 mL/kg selama
maksimal 30 menit. Apabila terdapat perbaikan, dilanjutkan dengan resusitasi
cairan sebanyak 500 mL. Rerata volume resusitasi cairan pada percobaan sepsis
adalah 5 L dalam 6 jam. Respon terhadap resusitasi cairan biasanya dapat dilihat
dalam 12 jam pertama yang diukur dari tekanan darah, perfusi jaringan, dan
urine output. [7]
Terapi Vasopresor
Terapi Antibiotik
Klindamisin untuk pasien syok septik yang dicurigai disebabkan oleh kuman
streptokokus, stafilokokus, atau clostridium
Hospital acquired Pneumonia
Vankomisin atau linezolid ditambah dengan piperacillin-tazobactam atau
cefepime atau levofloxacin atau imipenem atau meropenem
Untuk syok septik yang dicurigai disebabkan oleh organisme resisten, gunakan
obat dari kelas berbeda : piperacillin-tazobactam, cefepime, ceftazidime,
ciprofloxacin, levofloxacin, imipenem, meropenem, aminoglikosida, polymyxin
[13]
Manajemen Lanjutan
Terdapat beberapa manajemen pada pasien sepsis untuk membantu
memperbaiki gejala klinis dan meningkatkan angka kesembuhan, yaitu :
Kortikosteroid
Diberikan terutama pada pasien dengan gagal multi organ atau yang menerima
ventilasi mekanik. [7]
7. etiologi
Etiologi sepsis bukan merupakan kondisi yang terjadi secara tiba-tiba dan
berdiri sendiri. Sepsis biasanya berhubungan dengan kondisi lain, yaitu adanya
perforasi, kompromi, atau ruptur dari organ intra abdominal atau pelvis.
Adanya infeksi intra renal (pyelonephritis), abses renal, prostatitis akut,
dan abses prostat dapat menyebabkan terjadinya urosepsis.
Selain itu, sepsis juga dapat terjadi secara langsung dari masuknya
mikroba dalam sirkulasi melalui infus intravena (infeksi jalur intravena atau
infeksi terkait alat kesehatan).
Adanya pneumonia atau infeksi pada saluran respirasi yang tidak
ditatalaksana dengan tepat juga dapat menyebabkan terjadinya sepsis.
Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya sepsis, yaitu:
Penyakit kronis :
- Adanya HIV/AIDS,
- penyakit paru obstruktif kronis,
- sirosis,
- kanker,
- penggunaan agen imunosupresif dapat meningkatkan risiko
terjadinya sepsis.
Usia dan jenis kelamin
Usia juga mempengaruhi insidensi dan beratnya derajat sepsis.
Sepsis lebih berat terjadi pada infant dan geriatri, serta lebih banyak
terjadi pada pria.
Alkohol
Pada pasien yang ketergantungan alkohol risiko sepsis meningkat
sebesar 1,5 kali lipat.
Penyakit ginjal
Pada pasien dengan gangguan ginjal, terdapat peningkatan risiko
sepsis derajat berat dengan bakteremia gram negatif sebesar 3,43 kali
lipat lebih tinggi.
8. prognosis
Sekitar 40% pasien sepsis dapat berkembang menjadi syok sepsis apabila
tidak segera ditatalaksana dengan tepat. Faktor prognosis buruk pada sepsis
adalah usia tua, infeksi dengan organisme yang resisten, gangguan status imun
pada host, dan status fungsional tubuh pasien yang buruk sebelum terjadinya
sepsis.
Angka mortalitas dalam 28 hari sebesar 20% pada sepsis, 20-40% sepsis
derajat berat, dan 40-60% pada syok sepsis. Angka mortalitas pada sepsis berat
1 tahun setelah keluar rumah sakit bervariasi antara 7-43%.
9. pski
10. kriteria perawatan pasien ICU
11. analisis gas darah