PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan
dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester
pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu
makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung
memperberat kondisi klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-
AIDS.
HIV/AIDS adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga banyak
penelitian melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan
untuk memastikan bahwa keluarga akan merasa baik.
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu
syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang
sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka
orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang
dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di
Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada
tahun 1983.
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan
kematian yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-negara
dengan tingkat infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV
dari ibu ke anak (Mother To Child Transmission – MCTC) adalah rute infeksi HIVpada
anak yang paling signifikan. Beberapa intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi
MTCT termasuk pilihan persalinan secara caeseran, substitusi menyusui dan terapi
antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Jika intervensi ini
diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar 2% .
Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status mereka mungkin
dapat memberikan manfaat. Namun, seks tanpa perlindungan antara orang yang yang
berisiko membawa HIV sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan
kehamilan yang tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan
reproduksi. Hal ini jelas bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan
tes HIV untuk memastikan status mereka dengan asumsi bahwa mereka mungkin
terinfeksi karena pernah memiliki hubungan seksual denga seseorang yang telah diuji dan
ditemukan sero-positif HIV.
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai factor
pelindung untuk seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV.
Meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia.
Intervensi yang bertujuan untuk menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan
seksual dan meningkatkan penggunaan kondom. Dari penelitian yang dilakukan di
negara berkembang menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk
memberikan dampak positif pada pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun
mengubah perilaku seksual sangat terbatas.
Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua
pengaturan perawat klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap
perawat harus memiliki pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan
kronisitas dari penyakit dalam rangka untuk memberikan perawatan yang berkualitas
tinggi kepada orang-orang dengan atau berisiko untuk HIV.
B. Rumusan Maslah
1. Apa pengertian dari HIV/AIDS?
2. Bagaimana etiologi dari HIV/AIDS?
3. Bagaimana cara penularan HIV dari wanita kepada bayinya?
4. Bagaimana manifestasi klinik dari HIV/AIDS?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari HIV/AIDS?
6. Bagaimana penatalaksaan dari HIV AIDS?
7. Bagaimana pencegahan dari HIV/AIDS?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari HIV/AIDS?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari HIV/AIDS
2. Mengetahui etiologi dari HIV/AIDS
3. Mengetahui cara penularan HIV dari wanita kepada bayinya
4. Mengetahui manifestasi klinik dari HIV/AIDS
5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik dari HIV/AIDS?
6. Mengetahui penatalaksaan dari HIV AIDS?
7. Mengetahui pencegahan dari HIV/AIDS?
8. Mengetahui konsep asuhan keperawatan dari HIV/AIDS?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel
sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama
infeksiberlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih
rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal inidapat memakan waktu 10-15tahun
untukorang yangterinfeksi HIVhingga berkembang menjadiAIDS; obat antiretroviral
dapat memperlambat proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui hubungan seksual(anal
atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang terkontaminasi,
dan antara ibu dan bayinyaselama kehamilan, melahirkan dan menyusui.
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah
penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid;
mual yang timbul pada pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan
pigmentasi puting; pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan
adalah gerakan janin, bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan
sinar-X, atau USG.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit
infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh
infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996).
Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa
jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi.
Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya.
Seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-
29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena.
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari
profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang
lebih muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi,
sedangkan pada usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak
menurut para ahli kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih
tepat untuk hamil dan melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003
mengemukakan bahwa prevalensi HIV di klinik bersalin adalah 6,2%, dan satu dari
sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-AIDS perlu diwaspadai
karena cenderung terjadi pada usia reproduksi.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS
pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah
terinfeksi HIV. Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual
suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang
masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah
seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan.
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV)
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih
sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang
tidak hamil (International Microbicides Conference 2010, abstract#8).
Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang
berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui.
Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia,
terutama di Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta penderita
HIV/AIDS. Sekitar 80% penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10% melalui
suntikan obat (terutama penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5%
dari ibu melalui plasenta kepada janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi
vertikal berkisar antara 13-48%.
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi
untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan
yang memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu
hamil yang diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk
konseling mengenai pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke
anak, tentang pemeriksaan dan terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan
masa menyusui.
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif. Dalam hal
ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada
pasangannya, perlu dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter.
Tentulah dalam memabuka rahasia ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan
keluarga, teman-teman, dan kesempatan kerja, juga berkurangnya kepercayaan pasien
terhadap dokternya.
Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu dan
salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka diberikan
pelayanan tersebut. Dengan kemanjuan pengobatan masa kini, penderita HIV dapat hidup
lebih panjang dan risiko penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan HIV
positif tidak perlu memberitahukan pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-hati
melakukan tindakan-tindakan medik yang mengandung risiko, seperti pembedahan
obstetrik dan ginekologi, serta berhati-hati dengan alat-alat yang digunakan.
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu
dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan
penatalaksanaan, dan kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi
infeksi lewat plasenta ke janin lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat
diteliti melalui uji bayi mereka. Uji antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji
terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang
mengidentifikasi virus HIV neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang
terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk melindunginya.
B. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan
kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV)
III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah
menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya
yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan
keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita
tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA
(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian
selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan
dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan
panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan
seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan
seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten
terhadap radiasi dan sinar ultraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh.
HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.
a. sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit
b. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif
untuk AIDS
c. dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih
cenderung terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS
aatau meningkatkan pemaparan terhadap HIV
d. alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur,
yang membahayakan fungsi sistem imun.
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus
tersebut ditemukan. Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah
3’azido-3’-deoksitimidin (zidovudin, AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini
menjanjikan hasil yang baik bagi terapi infeksi HIV, penggunaannya dalam
kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek mutagenic atau toksik potensial pada
janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa penelitian terkendali pada wanita
hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari 400 sel/mm3 dan terbukti
secara signifikan mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya.
2. Periode Intrapartum
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi
asimptomatik HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada
pertimbangan obstetric karena virus menembus plasenta pada tahap awal kehamilan.
Focus utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi
tenaga keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap rendah selama proses
kelahiran per vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi terpapar pada darah, cairan
amniotic, dan sekresi vagina ibunya.
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan
diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel
darah dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala
janin. Selain itu, individu yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko tertusuk
jarum pada jarinya.
3. Periode Pascapartum
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama
periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan, follow-
up yang lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada ibu yang
anaknya menderita penyakit. Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak
dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu merawat diri mereka.
Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan
cara yang peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu
komentarmoral. Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi
(pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku tidak boleh mempengaruhi
kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang efektif, penuh kasih
sayang, dan obyektif kepada semua individu.
Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan
kewaspadaan universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya,
sebagaimana yang dilakukan pada semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke
tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi AIDS dan kondisi terkait.
D. Manifestasi Klinik
Berdasarkan gambaran klinik WHO 2006:
1. Tanpa gejala : Fase klinik 1
2. Ringan : Fase klinik 2
3. Lanjut : Fase klinik 3
4. Parah : Fase klinik 4
Fase klinik 1.
Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, uumnya sma dengan wanita tidak hamil atau
orang dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan
spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal
sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan
penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi,
bahkan dapat lebih lama lagi.
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. mereka merasa
sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang yang terinfeksi HIV
akan menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain.
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif.
pada tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya
HIV disebut window period yang memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan
setelah terinfeksi HIV.
2. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan
tanpa gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat
menunjukkan tes negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba
mengembangkan prosedur siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons
antibody bayi vs ibu:
1. Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic pada bayi
baru lahir tetapi memberikan data dasar imunologis.
2. EIA atau ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi invalid
3. Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia, plasma).
4. Tes reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi DNA viral
pada adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer terinfeksi.
5. Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi indikatif
dari kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap sanagt awal infeksi
HIV)
6. Penentuan immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan IgA):
Bukan diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunoogis.
G. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat
hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu :
1. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
2. Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
3. Penatalaksanan selama menyusui
1. Seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%);
2. Pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. Pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. Tidak memberi ASI
2. Diagnosa keperawatan
a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola
hidup yang beresiko.
b. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
c. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat
gizi.
e. Diare berhubungan dengan infeksi GI
f. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan
yang orang dicintai.
3. Intervensi keperawatan.
a. Dx 1
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi,
malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
Intervensi Keperawatan :
1) Monitor tanda-tanda infeksi baru.
2) Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan
sebelum meberikan tindakan.
3) Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang
patogen.
4) Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5) Atur pemberian antiinfeksi sesuai order
Rasional
1) Untuk pengobatan dini
2) Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah
sakit.
3) Mencegah bertambahnya infeksi
4) Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
5) Mempertahankan kadar darah yang terapeutik Pasien akan bebas infeksi
oportunistik
kriteria hasil
1) komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak
ada infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau
eksudat.
b. Dx 2
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi
HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Intervensi
1) Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi
HIV dan kuman patogen lainnya.
2) Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.
Rasional
Kriteria Hasil :
c. Dx 3
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
Intervensi :
1) Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2) Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3) Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
Rasional :
Kriteri Hasil :
d. Dx 4
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat
gizi.
Intervensi :
1) Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2) Monitor BB, intake dan ouput
3) Atur antiemetik sesuai order
4) Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
Rasional :
Krtiteria Hasil :
1) Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien
makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB
mendekati seperti sebelum sakit.
e. Dx 5
Diare berhubungan dengan infeksi GI
Intervensi
1) Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2) Auskultasi bunyi usus
3) Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4) Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
Rasional
Kriteria hasil :
f. Dx 6
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
Intervensi :
Rasional :
Krtiteria Hasil :
1) Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi
terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga
berinteraksi dengan cara yang konstrukt
4. Implentasi
a. Dx 1
1) Memonitor tanda-tanda infeksi baru.
2) Menggunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci
tangan sebelum meberikan tindakan.
3) Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang
patogen.
4) Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5) Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order
b. Dx 2
1) Menganjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
2) Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.
c. Dx 3
1) Memonitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2) Memberikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3) Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
d. Dx 4
1) Memonitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2) Memonitor BB, intake dan ouput
3) Mengatur antiemetik sesuai order
4) Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
e. Dx 5
1) Mengkaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2) Mengauskultasi bunyi usus
3) Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4) Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
f. Dx 6
1) Mengkaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2) Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3) Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
5. Evaluasi
Setelah di berikan asuhan keperawatan kepada klien, kebutuhan klien sedikit
demi sedikit terpenuhi.