Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan
dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester
pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu
makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung
memperberat kondisi klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-
AIDS.
HIV/AIDS adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga banyak
penelitian melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan
untuk memastikan bahwa keluarga akan merasa baik.
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu
syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang
sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka
orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang
dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di
Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada
tahun 1983.
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan
kematian yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-negara
dengan tingkat infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV
dari ibu ke anak (Mother To Child Transmission – MCTC) adalah rute infeksi HIVpada
anak yang paling signifikan. Beberapa intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi
MTCT termasuk pilihan persalinan secara caeseran, substitusi menyusui dan terapi
antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Jika intervensi ini
diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar 2% .
Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status mereka mungkin
dapat memberikan manfaat. Namun, seks tanpa perlindungan antara orang yang yang
berisiko membawa HIV sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan
kehamilan yang tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan
reproduksi. Hal ini jelas bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan
tes HIV untuk memastikan status mereka dengan asumsi bahwa mereka mungkin
terinfeksi karena pernah memiliki hubungan seksual denga seseorang yang telah diuji dan
ditemukan sero-positif HIV.
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai factor
pelindung untuk seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV.
Meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia.
Intervensi yang bertujuan untuk menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan
seksual dan meningkatkan penggunaan kondom. Dari penelitian yang dilakukan di
negara berkembang menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk
memberikan dampak positif pada pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun
mengubah perilaku seksual sangat terbatas.
Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua
pengaturan perawat klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap
perawat harus memiliki pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan
kronisitas dari penyakit dalam rangka untuk memberikan perawatan yang berkualitas
tinggi kepada orang-orang dengan atau berisiko untuk HIV.

B. Rumusan Maslah
1. Apa pengertian dari HIV/AIDS?
2. Bagaimana etiologi dari HIV/AIDS?
3. Bagaimana cara penularan HIV dari wanita kepada bayinya?
4. Bagaimana manifestasi klinik dari HIV/AIDS?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari HIV/AIDS?
6. Bagaimana penatalaksaan dari HIV AIDS?
7. Bagaimana pencegahan dari HIV/AIDS?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari HIV/AIDS?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari HIV/AIDS
2. Mengetahui etiologi dari HIV/AIDS
3. Mengetahui cara penularan HIV dari wanita kepada bayinya
4. Mengetahui manifestasi klinik dari HIV/AIDS
5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik dari HIV/AIDS?
6. Mengetahui penatalaksaan dari HIV AIDS?
7. Mengetahui pencegahan dari HIV/AIDS?
8. Mengetahui konsep asuhan keperawatan dari HIV/AIDS?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel
sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama
infeksiberlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih
rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal inidapat memakan waktu 10-15tahun
untukorang yangterinfeksi HIVhingga berkembang menjadiAIDS; obat antiretroviral
dapat memperlambat proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui hubungan seksual(anal
atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang terkontaminasi,
dan antara ibu dan bayinyaselama kehamilan, melahirkan dan menyusui.
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah
penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid;
mual yang timbul pada pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan
pigmentasi puting; pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan
adalah gerakan janin, bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan
sinar-X, atau USG.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit
infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh
infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996).
Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa
jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi.
Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya.
Seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-
29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena.
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari
profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang
lebih muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi,
sedangkan pada usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak
menurut para ahli kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih
tepat untuk hamil dan melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003
mengemukakan bahwa prevalensi HIV di klinik bersalin adalah 6,2%, dan satu dari
sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-AIDS perlu diwaspadai
karena cenderung terjadi pada usia reproduksi.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS
pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah
terinfeksi HIV. Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual
suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang
masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah
seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan.
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV)
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih
sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang
tidak hamil (International Microbicides Conference 2010, abstract#8).
Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang
berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui.
Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia,
terutama di Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta penderita
HIV/AIDS. Sekitar 80% penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10% melalui
suntikan obat (terutama penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5%
dari ibu melalui plasenta kepada janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi
vertikal berkisar antara 13-48%.
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi
untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan
yang memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu
hamil yang diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk
konseling mengenai pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke
anak, tentang pemeriksaan dan terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan
masa menyusui.
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif. Dalam hal
ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada
pasangannya, perlu dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter.
Tentulah dalam memabuka rahasia ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan
keluarga, teman-teman, dan kesempatan kerja, juga berkurangnya kepercayaan pasien
terhadap dokternya.
Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu dan
salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka diberikan
pelayanan tersebut. Dengan kemanjuan pengobatan masa kini, penderita HIV dapat hidup
lebih panjang dan risiko penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan HIV
positif tidak perlu memberitahukan pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-hati
melakukan tindakan-tindakan medik yang mengandung risiko, seperti pembedahan
obstetrik dan ginekologi, serta berhati-hati dengan alat-alat yang digunakan.
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu
dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan
penatalaksanaan, dan kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi
infeksi lewat plasenta ke janin lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat
diteliti melalui uji bayi mereka. Uji antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji
terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang
mengidentifikasi virus HIV neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang
terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk melindunginya.

B. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan
kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV)
III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah
menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya
yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan
keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita
tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA
(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian
selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan
dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan
panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan
seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan
seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten
terhadap radiasi dan sinar ultraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh.
HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.

C. Penularan HIV Dari Wanita Kepada Bayinya


Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau
hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama
penggidap HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat kesehatan
yang tidak steril, serta alat untuk menorah kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya
infeksi HIV pada wanita secara berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat
terlarang melalui injeksi 51%, wanita heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak
diketahui sebanyak 7%.
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual.
Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV
ke isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%.
Namun penelitian lain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif
menjadi positif) dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri
ke suami dianggap sama.
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui
hubungan seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS
sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan
infeksi yang bisa terjadi saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika
prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru
terinfeksi HIv dan belum ada gejala AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-
35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai
50%.
Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau
kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan. Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama
persalinan bisa dicegah dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama
periode post partum melalui ASI, resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif
sekitar 10%.
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat
ditularkanmelalui kontak langsung dengan darah, semen, dan sekret vagina. Dan
sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong
netrovirus yang memiliki materi genetik RNA. Bilamana virus masuk kedalam tubuh
penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi DNA oleh enzim reverse
transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya
diprogramkan untuk membentuk gen virus.
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada
periode intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12
dan 24 minggu dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal
terjadi sebelum persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan
serviks, vagina, sekresi serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama
persalinan. Lingkungan biologis, dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks,
dan SST (Serum Test for Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV
karena adanya luka-luka merupakan tempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4
yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIV akan aktif mencari luka-luka tersebut
dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam peredaran darah.
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus,
serviks dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya
elastisitas dan penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti,
udem pada trimester pertama, keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat
hubungan seksual. Keadaan ini juga merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan
HIV yang paling sering terjadi antara pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV
mendekati 20% setelah melakukan hubungan seksual dengan tidak menggunakan
kondom.
Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan HIV
heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan
seksual dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang disebabkan oleh
infeksi sifilis atau herpes simpleks, meningkatkan transfer virus melalui lesi sehingga
terjadi kerusakan membran mukosa dan merangsang limfosit CD4 untuk bergabung
dengan jaringan yang mengalami inflamasi.
1. Periode Prenatal
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a).
Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus
meregleksikan perkiraan ini jika wanita dan bayi baru lahir akan menerima
perawatan yang tepat. Individu yang berada pada kategori infeksi HIV meliputI :
a. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi
b. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena
c. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren
d. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985
e. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.

Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan


kepada wanita berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan
prenatal. Hasil negative pada pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi
bahwa titer selanjutnya akan negative.

Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis,


hepatitis B, Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi
vaginal kronis), sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah
jumlah penderita AIDS mengalami peningkatan titer.

Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan


berat badan. Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis banding semua
keluhan akibat kehamilan dan gejala infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama
perburukan infeksi HIV meliputi penurunan berat badan, lebih dari 10% berat badan
sebelum hamil, diare kronis selama lebih dari satu bulan, dan demam (intermiten atau
konstan) selama lebih dari satu bulan.

Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup


nutrisi optimum, tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi HIV
didiagnosis, wanita diberi penjelasan tentang teknik berhubungan seksual yang lebih
aman. Penggunaan kondom dan spermisida 9 non-oksinol dianjurkan untuk
meminimalkan pemaparan HIV lebih jauh jika pasangan wanita tersebut merupakan
sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital tidak dianjurkan. Hal yang sama
penting ialah merujuk wanita tersebut menjalani rehabilitasi untuk menghentikan
penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain
mengganggu sistem imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait :

a. sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit
b. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif
untuk AIDS
c. dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih
cenderung terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS
aatau meningkatkan pemaparan terhadap HIV
d. alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur,
yang membahayakan fungsi sistem imun.

Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus
tersebut ditemukan. Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah
3’azido-3’-deoksitimidin (zidovudin, AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini
menjanjikan hasil yang baik bagi terapi infeksi HIV, penggunaannya dalam
kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek mutagenic atau toksik potensial pada
janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa penelitian terkendali pada wanita
hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari 400 sel/mm3 dan terbukti
secara signifikan mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya.

2. Periode Intrapartum
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi
asimptomatik HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada
pertimbangan obstetric karena virus menembus plasenta pada tahap awal kehamilan.
Focus utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi
tenaga keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap rendah selama proses
kelahiran per vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi terpapar pada darah, cairan
amniotic, dan sekresi vagina ibunya.
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan
diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel
darah dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala
janin. Selain itu, individu yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko tertusuk
jarum pada jarinya.

3. Periode Pascapartum
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama
periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan, follow-
up yang lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada ibu yang
anaknya menderita penyakit. Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak
dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu merawat diri mereka.
Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan
cara yang peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu
komentarmoral. Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi
(pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku tidak boleh mempengaruhi
kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang efektif, penuh kasih
sayang, dan obyektif kepada semua individu.
Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan
kewaspadaan universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya,
sebagaimana yang dilakukan pada semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke
tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi AIDS dan kondisi terkait.

D. Manifestasi Klinik
Berdasarkan gambaran klinik WHO 2006:
1. Tanpa gejala : Fase klinik 1
2. Ringan : Fase klinik 2
3. Lanjut : Fase klinik 3
4. Parah : Fase klinik 4

Keterangan fase klinik HIV

Fase klinik 1.

Tanpa gejala, limfadenopati (gangguan kelenjar/pembuluh limfe) menetap dan


menyeluruh.
Fase klinik 2.
Penurunan BB (<10%) tanpa sebab. ISPA (sinusitis, tonsilitis, otitis media,
faringitis) berulang, herpes zoster, infeksi sudut bibir, ulkus mulut berulang, popular
prurutic eruption, seborrhoic dermatitis, infeksi jamur pada kuku.
Fase klinik 3.
Penurunan BB (>10%) tanpa sebab. Diare kronik tanpa sebab selama >1 bulan,
demam menetap (intermiten atau tetap >1 bulan), kandidiasis oral menetap, TB paru
(baru), plak putih pada mulut, infeksi bakeri berat mmisalnya: pneumonia, empyema,
meningitis, bakteremia, gangguan inflamasi berat pad apelvik, acute necrotizing
ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitia, anemia yang penyebabnya tidak
diketahui (<8 g/dl), neutropenia (<0,5X10 9/l) dan atau trombositopenia kronil
(<50X109/l).
Fase klinik 4.
Gejala menjadi kurus (HIV wasting syndrome), pneumocystis pneumonia,
pneumonia bakeri berulang, infeksi herpes simplex kronik (orolabial, genital atau
anorektl >1bulan), Oesophageal candidiasis, TBC ekstrapulmonal, cytomegalovirus,
toksoplasma di SSP, HIV encephalopaty, mengitis, infektion progresive multivocal,
lympoma, invasive cervical carsinoma, leukoencephalopathy.

Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, uumnya sma dengan wanita tidak hamil atau
orang dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan
spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal
sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan
penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi,
bahkan dapat lebih lama lagi.
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. mereka merasa
sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang yang terinfeksi HIV
akan menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain.
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif.
pada tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya
HIV disebut window period yang memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan
setelah terinfeksi HIV.
2. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan
tanpa gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.

E. Pemeriksaan Diagnostik
Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat
menunjukkan tes negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba
mengembangkan prosedur siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons
antibody bayi vs ibu:
1. Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic pada bayi
baru lahir tetapi memberikan data dasar imunologis.
2. EIA atau ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi invalid
3. Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia, plasma).
4. Tes reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi DNA viral
pada adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer terinfeksi.
5. Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi indikatif
dari kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap sanagt awal infeksi
HIV)
6. Penentuan immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan IgA):
Bukan diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunoogis.

1. Diagnosis pada Bayi dan Anak


Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama
periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak
adalah pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang
ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang,
kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali (pembesaran hapar dan lien).
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan,
maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV
karena tes ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes
paling spesifik untuk mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang
berlainan. DNA PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang
sensitive selama periode satu bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan
pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat bulan. Jika
tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan
ASI, maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi
disapih. Pada usia 18 bulan, pemeiksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak
tersedia sarana pemeriksaan yang lain.
Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan
kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV
sering mengalami infeksi bakteri kumat-kumatan, gagal tumbuh atau wasting,
limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.
Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain
seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk
mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO.
CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan
hitung limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan
berdasarkan derajat imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E).
Klasifikasi ini memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih
baik. Klasifikasi klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali pasien
diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah walaupun
terjadi perbaikanstatus karena pemberian terapi atau factor lain.
Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan
sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah
supaya tidak hamil, apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular
pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya
diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarga

2. Uji HIV pada Wanita Hamil


CDC telah merekomendasikan skrining rutin HIV secara suka rela pada ibu
hamil sejak tahun 2001. Banyak dokter telah mengadopsi kebijakan universal opt-out
skrining HIV (yang berarti bahwa pengujian adalah otomatis kecuali jika wanita
secara khusus memilih untuk tidak di uji) pada wanita hamil selama tes kehamilan
rutin dan telah dieliminasi persyaratan untuk konseling sebelum uji dilakukan dan
persetujuan tertulis untuk tes HIV. Penelitian dianalisis oleh Angkatan US Preventive
Services Task mengungkapkan bahwa pada tahun 1995 tingkat tes HIV di antara
wanita hamil di Amerika Serikat adalah 41% 9 (dianjurkan dilakukan tes universal
pada tahun pertama kehamilan) dan meningkat menjadi 60% pada 1998. Pada tahun
2005, di negara bagian dan provinsi Kanada yang telah menerapkan pengujian "opt-
out", angka tes HIV di antara perempuan hamil berkisar antara 71% sampai 98%,
dibandingkan dengan 15% menjadi 83% dalam keadaan dan provinsi yang memiliki
Kebijakan “opt-in” yang membutuhkan seorang wanita untuk secara khusus meminta
tes HIV.
Identifikasi dini pada wanita hamil memungkinkan untuk pemberian
pengobatan terapi antiretroviral untuk mendukung kesehatan dan mengurangi risiko
penularan bayinya. Tes HIV direkomendasikan Tes HIV direkomendasikan untuk
semua wanita hamil pada kunjungan prenatal pertama. Tes HIV kedua, selama
trimester ketiga sebelum 36 minggu kehamilan, juga dianjurkan bagi wanita yang
berisiko, tinggal di daerah prevalensi HIV tinggi, atau memiliki tanda-tanda atau
gejala yang konsisten dengan infeksi HIV akut.
Jika seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika dia
tiba saat persalinan dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil tes
awal positif, segera inisiasi ARV profilaksis yang tepat intravena harus
direkomendasikan tanpa menunggu konfirmasi hasil. Jika wanita menolak pengujian,
bayi baru lahir harus menerima pengujian cepat sesegera mungkin setelah lahir
sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika terdapat indikasi.
F. Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian
makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian
makanan bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara khusus,
telah dilaporkan bahwaantiretroviral (ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau
janin yang terpapar HIVsecara signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca
kelahiran melalui menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana
perempuan yang hidup dengan HIV mungkin dapat memberi makan bayi mereka, dan
bagaimana para pekerja kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi
ASI dan ARV memiliki potensi secara signifikan untuk meningkatkan peluang bayi
bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV.
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya,
mereka mengakui dampak penting dariARV selama masa menyusui, dan
merekomendasikan bahwa otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan praktik
pemberian makan bayi, seperti menyusui yaitu dengan intervensi ARVuntuk mengurangi
transmisi atau menghindari menyusui, harus dipromosikan dan didukung oleh layanan
Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal ini berbeda dengan rekomendasi sebelumnya di
mana petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan nasihat secara individual kepada
semua ibu yang terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan pemberian makanan
bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk pemberian makanan bayinya.
Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu yang
diketahui terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka
setidaknya sampai usia 12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh
digunakan kecuali jikadapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman
(AFASS).
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus
yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang
bisa dipilih untuk negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan
diberikan 200mg dosis tunggal, sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama
setelah lahir dosis tunggal. Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai
kehamilan 36 minggu 2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama persalinan
berlangsung.

1. Intervensi Terapetik Antiretrovirus


Terapi yang sekarang berlaku menghadapi masalah membidik berbagai
harapan dalam proses masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus,
memanipulasi gen virus untuk mengendalikan produksi protein virus, membangun
kembali sistem imun, mengkombinasikan terapi, dan mencegah resistensi obat. Dua
pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan kadar RNA HIV serum,
digunakan sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan penyakit dan
menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat.
Hitung sel T CD4+ memberikan informasi mengenai status imunologik pasien yang
sekarang, sedangkan kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan prognosis
klinis (status hitung sel T CD4+ dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV sebesar
20.000 salinan/ml (2x104) dianggap oleh banyak pakar sebagai indikasi untuk
memberikan terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T CD4+. Pengukuran
serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat bermanfaat untuk mengetahui
laju perkembangan penyakit, angka pergantian virus, hubungan antara
pengaktivasian sistem imun dan replikasi virus, dan saat terjadinya resistensi obat
antiretrovirus disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV.
Tujuan utama terapi antivirus adalah penekanan secara maksimum dan
berkelanjutan jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya) fungsi
imunologik, perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas an mortalitas
HIV.

2. Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV :


a. Replikasi HIV yang berlangsung terus menerus menyebabkan sistem imun rusak
dan berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu merugikan dan kesintasan
jangka-panjang sejati yang bebas dan disfungsi sistem imun sagat jarang terjadi.
b. Kadar RNA HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV dan
berkaitan dengan laju destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi oleh HIV,
perlu dilakukan pengukuran periodik berkala kadar RNA HIV plasma dan hitung
sel T CD4+ untuk menentukan factor risiko perkembangan penyakit serta
mengetahui saat yang tepat untuk memulali atau memodifikasi regimen terapi
antiretrovirus
c. Karena laju perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang yang
terinfeksi HIV, maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan orang per
orang berdasarkan tingkat risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV plasma
dan hitung sel T CD4+.
d. Pemakaian terapi antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan replikasi
HIV dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-pemeriksaan RNA
HIV plasma yang sensitive akan membatasi kemungkinan munculnya varian-
varian HIV resisten-penyakit. Karena itu, tujuan terapi seyogyanya adalah
penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat dicapai.
e. Cara paling efektif untuk menekan replikasi virus dalam jangka panjang lama
dalah pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV yang efektif yang
belum pernah diterima oleh pasien dan tidak memperlihatkan resistensi silang
dengan obat antiretrovirus yang pernag diterima oleh pasien.
f. Setiap obat antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi kombinasi harus
selalu dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.
g. Jumlah dan mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang tersedia masih
terbatas, karena telah terbukti adanya resistensi-silang di antara obat-obat
spesifik. Karena itu, setiap perubahan dalam terapi antiretrovirus meningkatkan
pembatasan-pembatasan terapetik di masa mendatang.
h. Perempuan harus mendapat terapi antiretrovirus yang oprimal, tanpa memandang
status kehamilan.
i. Prinsip terapi antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja dan
dewasa yang terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang terinfeksi oleh HIV
memerlukan pertimbangan farmakologik, virologik, dan imunologik tersendiri.
j. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV akut harus diterapi dengan terapi
antiretrovirus kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar batas
deteksi pemeriksaan –pemeriksaan RNA HIV plasma sensitive.
k. Individu yang terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang dibawah
batas yang dapat dideteksi, harus terap dianggap menular. Dengan demikian,
para pasien harus diberi penyuluhan untuk menghindari perilaku seksual dan
penyalahgunaan obat yang berkaitan dengan penularan atau akuisisi HIV dan
pathogen menular lainnya.

G. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat
hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu :
1. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
2. Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
3. Penatalaksanan selama menyusui

Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup


penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+
yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group
(PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang
terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi
8%. Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67%
dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan
terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika
Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih
banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin
oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan
untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain :

1. Seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%);
2. Pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. Pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. Tidak memberi ASI

H. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Riwayat :
Tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
b. Penampilan umum :
Pucat, kelaparan.
c. Gejala subyektif :
Demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang kali,
lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
d. Psikososial :
Kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan
perasaan takut, cemas, meringis.
e. Status mental :
Marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest pada
lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan
atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
f. HEENT :
Nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir
atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
g. Neurologis :
Gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk,
kejang, paraplegia.
h. Muskuloskletal :
Focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
i. Kardiovaskuler ;
Takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
j. Pernapasan
Dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
k. GI
Intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
l. Gu
Lesi atau eksudat pada genital,
m. Integument
Kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

2. Diagnosa keperawatan
a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola
hidup yang beresiko.
b. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
c. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat
gizi.
e. Diare berhubungan dengan infeksi GI
f. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan
yang orang dicintai.

3. Intervensi keperawatan.
a. Dx 1
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi,
malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
Intervensi Keperawatan :
1) Monitor tanda-tanda infeksi baru.
2) Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan
sebelum meberikan tindakan.
3) Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang
patogen.
4) Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5) Atur pemberian antiinfeksi sesuai order

Rasional
1) Untuk pengobatan dini
2) Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah
sakit.
3) Mencegah bertambahnya infeksi
4) Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
5) Mempertahankan kadar darah yang terapeutik Pasien akan bebas infeksi
oportunistik

kriteria hasil

1) komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak
ada infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau
eksudat.

b. Dx 2
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi
HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Intervensi
1) Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi
HIV dan kuman patogen lainnya.
2) Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.

Rasional

1) Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini


2) Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain

Kriteria Hasil :

1) Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan universal


precautions dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak
terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain seperti TBC.

c. Dx 3
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
Intervensi :
1) Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2) Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3) Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

Rasional :

1) Respon bervariasi dari hari ke hari


2) Mengurangi kebutuhan energi
3) Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolic

Kriteri Hasil :

1) Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan


takikardi selama aktivitas.

d. Dx 4
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat
gizi.
Intervensi :
1) Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2) Monitor BB, intake dan ouput
3) Atur antiemetik sesuai order
4) Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

Rasional :

1) Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut


2) Menentukan data dasar
3) Mengurangi muntah
4) Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien

Krtiteria Hasil :
1) Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien
makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB
mendekati seperti sebelum sakit.

e. Dx 5
Diare berhubungan dengan infeksi GI
Intervensi
1) Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2) Auskultasi bunyi usus
3) Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4) Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside

Rasional

1) Mendeteksi adanya darah dalam feses


2) Hipermotiliti mumnya dengan diare
3) Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi pada
intestinal
4) Menghilangkan distensi

Kriteria hasil :

1) Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal


dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal,
kram perut hilang,

f. Dx 6
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.

Intervensi :

1) Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya


2) Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3) Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.

Rasional :

1) Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.


2) Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
3) Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.

Krtiteria Hasil :

1) Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi
terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga
berinteraksi dengan cara yang konstrukt

4. Implentasi
a. Dx 1
1) Memonitor tanda-tanda infeksi baru.
2) Menggunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci
tangan sebelum meberikan tindakan.
3) Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang
patogen.
4) Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5) Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order

b. Dx 2
1) Menganjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
2) Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.

c. Dx 3
1) Memonitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2) Memberikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3) Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
d. Dx 4
1) Memonitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2) Memonitor BB, intake dan ouput
3) Mengatur antiemetik sesuai order
4) Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

e. Dx 5
1) Mengkaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2) Mengauskultasi bunyi usus
3) Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4) Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside

f. Dx 6
1) Mengkaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2) Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3) Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.

5. Evaluasi
Setelah di berikan asuhan keperawatan kepada klien, kebutuhan klien sedikit
demi sedikit terpenuhi.

Anda mungkin juga menyukai