Anda di halaman 1dari 74

RANGKUMAN BUKU ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

MATA KULIAH
TEORI PERUNDANG-UNDANGAN
Yang diampu oleh :
ABDUL ROHMAN,S.H.,S.PD.I,M.H.
Disusun Oleh :

Muamar Khadafi 10040018221

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1. Pengantar tentang kedudukan ilmu perundangundangan dalam ilmu Hukum

Ilmu perundang-undangan lahir pada negara yang menganut sistem hukum


Eropa Continental, yang mulamula berkembang di Eropa Barat tepatnya di Negara
Jerman. Ilmu perundang-undangan merupakan cabang ilmu yang relatif masih
baru, baru berkembang tahun 1970-an. Tokoh terkenal penggagasnya yaitu Peter
Noll, Jurgen
Rodig, Burkhardt Krems, dan Werner Maihofer1, selain itu di Belanda
berkembang sejak tahun 1980-an tokoh terkenalnya S.O. Van Poelje dan W.G.
Van Der Velden.
Di Indonesia Cabang Ilmu perundang-undangan yang merupakan ilmu
tersendiri berkembang sejak tahun 1990-an, hal ini sejalan dengan fungsi peraturan
perundang- undangan itu sendiri yang merupakan sumber hukum utama di
Indonesia. Sebagai ilmu pengetahuan yang baru istilah yang digunakanpun masih
beragam, misalnya Wetgevingsleer/Wetgevingskunde dari Van Poelje,
Gesetzgebung Swissen Sens Chaft dari Burkhardt Krems, dan di Indonesia Ilmu
Pengetahuan perundangundangan dari Hamid S. Attamimi.
Ilmu pengetahuan per-uu-an dlm arti luas adalah ilmu pengetahuan
interdisipliner (menyatu titikkan pemahaman, paradigma, dan metoda berbagai
disiplin ilmu) mengenai pembentukan peraturan hukum oleh negara. Terbagi
menjadi dua yaitu Ilmu perundangundangan dalam arti sempit dan teori
Perundangundangan. Ilmu perundang- undangan dalam arti sempit merupakan
Cabang atau sisi yang berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan
bersifat normatif. Sedangkan Teori perundang-undangan cabang ilmu pengetahuan
per-uu-an yang bersifat kognitif dan berorientasi pada mengusahakan kejelasan dan
kejernihan pemahaman, khususnya pememahan yang bersifat dasar di bidang per –
uu-an.
Teori mengandung arti
1. pendapat tentang cara melakukan sesuatu (misal teorinya mudah tapi
prakteknya sukar.
2. pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa
(misal teori terjadinya bumi).
3. sekumpulan pemahamanpemahaman, titik-titik tolak, dan asas-asas yang
saling berkaitan yang memungkinkan pemahaman lebih baik terhadap
sesuatu objek. atau sistem dari tata hubungan yang logik dan definitorik.
diantara pemahaman-pemahaman. dalam tpu, kata teori mengandung arti
yang ketiga, sedangkan arti perundang-undangan mengacu pada keseluruhan
peraturan-peraturan negara dan proses kegiatan pembentukan peraturan peraturan
tersebut. dengan demikian ruang lingkup tpu antara lain :
1. Pemahaman yang sebenarnya tentang hakekat UU
2. Siapa sebenarnya pembentuk uu
3. apa sebenarnya fungsi perundang-undangan.
Materi itulah yang akan diberikan dalam matakuliah Ilmu Perundang-
undangan yang dalam kedudukannya dalam ilmu hukum sudah merupakan cabang
ilmu tersendiri, dimana pada awalnya ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Hukum
Tata Negara.

2. Peristilahan

Istilah Gesetzgebung atau perundang-undangan mempunyai dua pengertian


yaitu proses pembentukan/proses membentuk peraturan perundangundangan dan
yang kedua berarti segala peraturanperaturan yang merupakan hasil pembentukan
dari proses pembuatan perundang-undangan. Dalam pengertian yang kedua di
Indonesia ada beberapa istilah yang digunalan oleh para ahli hukum yaitu :
1. Peraturan Negara (M.Solly Lubis)
2. Peraturan Perundangan (Soehino)
3. Perundang-Undangan (Amiroedin Syarif)
4. Peraturan Perundang-Undangan (Bagir Manan, Hamid S. Attamimi)
BAB II
HUKUM NASIONAL INDONESIA

1. Pengertian Hukum Nasional

Hukum yang berlaku di Indonesia ditinjau dari lingkungan territorial sebagai


tempat berlakunya, ada dua macam hukum yaitu hukum yang berlaku diseluruh
wilayah Negara Indonesia (nasional) dan ada yang berlaku untuk daerah atau
lingkungan masyarakat hukum tertentu atau dapat disebut sebagai hukum lokal2.
Hukum lokal dilihat dari lembaga yang membentuk dapat dibedakan antara hukum
yang lahir atau dibuat dan berlaku dalam lingkungan pemerintahan otonomi berupa
Peraturan Daerah, atau keputusan-keputusan lainnya dan hukum yang dibuat pada
tingkat nasional tetapi hanya berlaku untuk daerah atau wilayah tertentu. Hukum
lokal ini merupakan satu sub sistem hukum dengan hukum yang berlaku pada
seluruh wilayah Indonesia dan membentuk satu sistem hukum nasional Indonesia.
Konsekeensinya tidak boleh bertentangan antara hukum lokal dengan hukum
nasional bahkan lebih dari itu harus membentuk satu tertib hukum.
Tujuan dari pembentukan hukum nasional adalah untuk memenuhi
kebutuhan individu, masyarakat (bangsa), dan negara dalam hal :
1. mengatur, dan mengembangkan penyelenggaraan negara dan pemerintahan
serta masyarakat Indonesia yang demokratis. Hukum sebagai instrument
demokrasi.
2. Mengatur, dan mengembangkan tatanan masyarakat, bangsa, dan Negara
Indonesia yang berdasarkan atas hukum. Hukum tidak boleh menjadi alat
kekuasaan belaka
3. Memberdayakan masyarakat dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan
lain-lain dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Mewujudkan kesejahteraan umum atas dasar keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Hukum nasional dilihat dari bentuknya dapat dikelompokan ke dalam


hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis, dapat dibedakan antara
hukum tertulis yang berlaku khusus dan hukum tertulis yang berlaku umum. Hukum
tertulis yang berlaku khusus adalah hukum tertulis yang hanya berlaku untuk subjek
atau subjek-subjek tertentu yang bersifat konkrit. Contoh hukum tertulis dalam arti
khusus ini antara lain ketetapan atau keputusan administrasi negara yang bersifat
konkrit. Dalam dunia ilmu hukum di Negeri Belanda dan Indonesia ketetapan atau
keputusan semacam ini lazim disebut atau dinamakan “beschikking”. Pada negara -
negara berbahasa Inggris disebut “decree”. Bentuk hukum yang dipergunakan
adalah “keputusan”, seperti keputusan presiden, keputusan menteri, dan lainlain.
Termasuk kedalam kategori ini keputusan administrasi negara mengenai
pengangkatan atau pemberhentian pejabat dalam lingkungan administrasi negara,
pemberian atau pencabutan hak atas izin atas objek tertentu dan lain-lain yang
bersifat konkrit dan tertentu subjek dan atau objek lainnya. Sedangkan Hukum
tertulis yang berlaku umum, adalah hukum yang berlaku bagi subjek-subjek yang
tidak tertentu. Hukum tertulis yang berlaku umum ini adalah Peraturan Perundang-
undangan.
Bagir Manan memberi arti kepada peraturan perundang-undangan yaitu
hukum positif tertulis yang dibuat, ditetapkan, atau dibentuk pejabat atau
lingkungan jabatan yang berwenang menurut atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tertentu dalam bentuk tertulis yang berisi aturan tingkah laku
yang berlaku atau mengikat (secara) umum. Termasuk dalam kategori peraturan
perundang-undangan adalah aturan hukum sebagaimana disebutkan dalam UU No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Tujuan Hukum dalam Negara Hukum

Esensi negara hukum yang menyatakan bahwa hukum supreme membawa


konsekuensi bahwa setiap penyelenggara negara atau pemerintahan harus tunduk
pada hukum dan tidak ada kekuasaan di atas hukum. Hal ini jelas berbeda dengan
faham negara kekuasaan, yang oleh Utrecht faham ini digunakan untuk menyebut
negara yang tidak berdasarkan hukum.7 Bertalian dengan negara kekuasaan ini O.
Notohamidjojo menyatakan ada dua ciri dari negara kekuasaan, yaitu :
1. Autoritarisme yang mengandung arti mendasarkan kepada kehendak pribadi
dalam menjalankan pemerintahan, dan menolak untuk
mempertanggungjawabkan pemerintahannya kepada rakyat atau Dewan
Perwakilan Rakyat, atau kalaupun bertanggung jawab biasanya dilakukan
dengan pura-pura.
2. Totalitarisme artinya pemerintah mempunyai kehendak untuk menguasai
seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat dan kebudayaan, baik dalam
bidang kehidupan keluarga, agama, pendidikan, ekonomi.
Semua bidang tersebut dinegarakan sehingga tidak ada ruang bebas bagi warga
negara sebagai pribadi, dan biasanya disertai dengan doktrin ideologi yang
mengagungkan persekutuan atau negara.
Tujuan hukum secara umum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang
tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dalam mencapai tujuan tersebut
hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat,
membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta
memelihara kepastian hukum. Secara umum dikenal tiga teori tentang tujuan hukum,
yaitu teori etis, utilitis, dan campuran.
Teori etis menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan
keadilan. Konsekuensinya isi hukum ditentukan oleh keyakinan manusia yang etis
tentang yang adil dan tidak. Dalam Islam keadilan merupakan perintah dari Allah
untuk ditegakkan. Sehingga perbuatan adil mendekati ketaqwaan kepada Allah dan
penegakannya tidak pandang bulu, terhadap diri sendiri, orang tua, karib kerabat,
kaya atau miskin, terhadap lawan atau kawan, orang yang disukai atau dibenci.
Teori utilitis menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin
kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak- banyaknya.
Sedangkan teori campuran menyatakan bahwa tujuan pokok dan pertama dari
hukum adalah ketertiban, disamping ketertiban tujuan lain dari hukum adalah
tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan
jamannya.
Konsep tujuan hukum tersebut di satu pihak berkaitan dengan tertib hukum
dan di pihak lain berkaitan pula dengan fungsi hukum. Tertib hukum (rechtsorde)
bermakna bahwa kekuasaan negara didasarkan pada hukum dan dikehendaki oleh
hukum serta keadaan masyarakat yang sesuai dengan hukum yang berlaku.
Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tertib hukum tercipta jika:
1. suatu produk peraturan perundang-undangan tidak saling bertentangan, baik
secara vertikal maupun secara horizontal
2. perilaku pelaksana kekuasaan negara dan anggota masyarakat sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku.
Hukum merupakan bagian dari norma yang disebut norma hukum. Jika ini
dikaitkan dengan pembagian system norma yang dikemukakan Hans Kelsen maka
norma hukum itu dapat digolongkan ke dalam system norma yang static
(Nomostatics) dan norma yang dinamik (Nomodynamics). System norma yang
static adalah sustu system yang melihat pada isi sustu norma, dimana suatu norma
umum dapat ditarik menjadi norma-norma yang khusus. Contoh : dirikanlah Sholat!
Dari norma ini dapat ditarik norma khusus kewajiban untuk berpakaian menutup
aurat, menyiapkan air, dan lain-lain.
Sedangkan system norma yang dinamik adalah suatu system norma yang
melihat pada berlakunya norma atau dari cara pembentukannya atau
penghapusannya.
Hukum lebih luas dari peraturan perundangundangan, bahkan sedemikian
luasnya sehingga Apeldoorrn menyatakan bahwa tidak mungkin memberikan suatu
definisi tentang apakah yang disebut hukum itu. Namun walaupun demikian definisi
itu penting untuk memberikan sekedar pegangan bagi kita tentang hal-hal apa yang
menjadi obyek penyelidikannya. Oleh karena itu dibawah ini akan diuraikan
pengertian hukum, yaitu :

E.M. Meyers

hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,


ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi
pedoman bagi penguasa-penguasa dalam melakukan tugasnya.

Leon Duguit

hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang
daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi
bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.

Immanuel Kant

hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari
orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang
lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
S.M. Amin

hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari


norma dan sanksi-sanksi dengan tujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan
manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.

M.H. Tirtaatmidjaja

hukum adalah semua aturan atau norma yang harus diturut dalam tingkah
laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman harus mengganti
kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri, atau
harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya

J.C.T. Simorangkir & Wirjono Sastro-Pranoto

hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang


menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan- peraturan
tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu.
Melihat definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur hukum adalah :
1. pengaturan mengenai tingkah laku manusia,
2. dibuat oleh badan yang berwenang,
3. bersifat memaksa, dan 4. memiliki sanksi
Kaidah hukum dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh aspek filosofi
dan sosiologis dari negara tersebut. Sifat dari kaidah hukum ini dapat dikelompokan
menjadi empat macam, yaitu :
1. Umum abstrak, misal peraturan perundangundangan; Contoh kongkrit
“Barang siapa/ setiap orang yang membuang sampah tidak pada
tempatnya dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan
atau denda sebesarbesarnya Rp. 50.000,00.
2. Umum konkret, misal rambu-rambu lalulintas atau Semua orang yang
menggunakan kendaraan bermotor roda dua harus menggunakan Helm
pengaman;
3. Individual konkret misal Keputusan Tata Usaha Negara konkritnya
Saudara ASEP ,S.H.,M.H. diangkat sebagai GUBERNUR PROPINSI
JAWA BARAT; dan
4. Individual abstrak misal Izin Gangguan atau Saudara DEDEN wajib
mentaati semua peraturan yang berlaku di Unisba.
Sedangkan Bagir Manan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan
adalah “Keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang yang berisi
aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum”. Dari kedua definisi
tersebut dapat disimpulkan :
1. bentuk peraturan per-uu-an adalah tertulis,
2. dikeluarkan oleh badan/lembaga berwenang,
3. substansinya aturan tingkah laku,
4. sifatnya mengikat umum

Pejabat atau lembaga yang berwenang adalah pejabat yang secara atribusi
atau delegasi mempunyai kewenangan membuat peraturan per-uu-an. Secara umum
Pemberian kewenangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a) pemberian kewenangan yang sifatnya atributif ;

b) pemberian kewenangan yang sifatnya derivatif.

Atribusi (attributie) dalam kamus istilah hukum diterjemahkan sebagai :


“Pembagian (kekuasaan); dalam kata attributie van rechtsmacht; pembagian
kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute competentie/kompetensi mutlak),
sebagai lawan dari distributie van rechtsmacht. Juga membagikan suatu perkara
kepada kekuasaan yudikatif atau kekuasaan aksekutif : conflicten van attributie,
konflik pembagian kekuasaan”
Sedangkan delegasi diterjemahkan sebagai :25 “Penyerahan wewenang dari
pejabat yang lebih tinggi kepada yang rendah; penyerahan yang demikian dianggap
tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuatan. Misalnya : dewan
perwakilan daerah kota praja pemerintahan kepada majelis walikota dan pembantu
wali kota untuk mengadakan peraturan-peraturan tertentu”.
Pada atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan suatu
wewenang,pada delegasi, diserahkan suatu wewenang, pada mandat tidak ada
penciptaan ataupun penyerahan wewenang. Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk
perwakilan. Mandataris berbuat atas nama yang diwakili.26 Wewenang
menjalankan urusan pemerintahan yang diperoleh melalui cara-cara atribusi,
delegasi, dan mandat tersebut telah diuraikan oleh para sarjana, seperti yang
dikemukakan oleh Van Wijk/Konijnenbelt, bahwa di negeri Belanada, atribusi
merupakan cara yang lazim bagi suatu organ pemerintahan (administrasi Negara)
dalam memperoleh suatu wewenang guna menjalankan urusan pemerintahan.
Atribusi dimaksud terjadi melalui pembentuk peraturan perundang-undangan.
Pembentuk peratura perundang-undangan berkompeten memberikan wewenang
pemerintahan kepada organ pemerintahan (administrasi Negara), baik yang sudah
ada maupun yang baru akan di bentuk.Dalam kaitan itu, De Haan, menyatakan,
“onder atributrie hier verstaan de toedeling door de wetgever van
beschkkingsbevoegdhied lichaam ….” (Dalam hal ini, atribusi berarti bahwa
pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada organ administrasi
negara sebagai bahan publik.
Atribusi dimaksud hanya dapat terjadi melalui pembentuk UU original atau
pembentuk UU atas dasar delegasi (diwakilkan). Pembentuk UU original dimaksud
adalah pembentuk UUD, parlemen (pembentuk UU dalam arti formal), dan badan-
badan kerajaan yang berkenaan dengan amvb dari pasal 89, serta sejauh yang
bertalian dengan peraturan-peraturan otonomi. Sedangkan pembentuk UU yang
berdasarkan asas delegasi (diwakilkan) seperti raja (Mahkota), Mentri-mentri dan
organ pemerintahan yang lebih rendah berwenang membuat pereturan sejauh
menyangkut peraturan kekuasaan yang melaksanakan pemerintahan. Ada dua hal
yang perlu diperhatikan dari pendapat Van Wijk bila dihubungkan dengan keadaan
di Indonesia, yaitu pertama, atribusi wewenang yang berasal dari suatu delegasi
(delegatif). Atribusi pertama, berkedudukan sebagai original legislator, yakni
ditingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk UUD ( konstituante), dan Presiden
bersama DPR membentuk UU. Sedangkan untuk atribusi yang kedua (delegated
legislator), seperti Presiden yang berdasar atas suatu ketentuan UU mengeluarkan
suatu PP yang berisi penciptaan wewenang pemerintahan kepada badan atau pejabat
TUN. Adapun ciri-ciri atribusi (attribrutie) wewenang dapat dikemukaan sebagai
berikut:
a) Pengatribusian wewenang menciptakan kekuasaan baru, sehingga sifatnya
tidak derivatif;
b) Pemberian wewenang melalui atribusi tidak menimbulkan kewajiban
bertanggung jawab, dalam arti tidak diwajibkan menyampaikan laporan atas
palaksanaan wewenang;
c) Pemberian wewenang melalui atribusi harus berdasar atas peraturan
perundang-undangan;
d) Wewenang yang diperoleh melalui atribusi dapat dilimpahkan kepada
badan-badan administrasi lain, tanpa harus memberi tahu kepada badan yang
memberi wewenang;28
e) Wewenang atribusi merupakan kekuasaan yang bersumber dari wewenang
asli (original).
Dengan demikian dapat disarikan cirri-ciri yang melekat pada pelimpahan

wewenang (delegatie) sebagai berikut :

(1) Pelimpahan wewenang hanya boleh dilakukan oleh badan atau organ

pemerintah (administrasi Negara) yang berkompeten ;

(2) Pelimpahan wewenang mengakibatkan tidak berkompeten lagi “delegans”

dalam kurun waktu yang ditentukan ;

(3) Penerima wewenang (delegataris) harus bertindak untuk dan atas nama

sendiri. Karena itu segala akibat hukum yang timbul dari pendelagisian

wewenang menjadi tanggung jawab delegataris;

(4) Tata cara dan akibat hukum pada pelimpahan wewenang antara “delegans”

dengan delegataris berlaku sama antara delegataris (sub delegans) dengan

sub delegasi (sub delegataris)

Dalam hubungan dengan atribusi , delegasi dan sub delegasi ini perlu juga

diperhatikan segi positif dan negatifnya. Segi positifnya antara lain disebutkan :

1. Sistem atribusi, delegasi (dan sub delegasi) memungkinkan

pembentukan peraturan atau pengambilan keputusan dicapai lebih

cepat dari pada pembentukan UU.

2. Sistem atribusi, delegasi (dan sub delegasi) memungkinkan pembentuk

UU membatasi (diri) pada pengaturan yang bersipat pokok-pokok saja.

Pengaturan rinci dapat dilakukan oleh pemegang weenang atribusi atau

delegasi.

3. Sistem atribusi, (dan sub delegasi) menunjukkan karakter yang lebih


fleksibel daripada UU. Peratuaran atau keputusan yang dibuat

berdasarkan atribusi atau delegasi akan lebih mudah disesuaikan

dengan perkembangan baru karena tata cara pembuatannya lebih

sederhana daripada pembuatan UU.

4. Sistem atirbusi, (dan sub delegasi) dapat merupakan cara menghindari

persoalan politik tertentu yang mungkin timbul kalau ditetapkan

dengan UU.

Kemudian dari segi negatifnya dapat disebutkan antara lain:

1. Peraturan atau keputusan yang dibuat berdasarkan atribusi atau

delegasi tidak dibahas oleh badan perwakilan rakyat, sehingga

tidak berkesempatan diuji secara demokrasi (dalam forum

demokrasi ).

Peraturan atau keputusan yang dibuat berdasarkan atribusi atau

delegasi tidak memberikan kesempatan kepada badan perwakilan rakyat untuk

meninjau kosekuensi keuangan yamg mungkin timbul. Dengan perkata lain

badan perwakilan rakyat tidak dapat mempergunakan hak budgetnya dengan

baik.

Sedangkan unsure ketiga dari peraturan perundang-undagan adalah

berisi Aturan tingkah laku. Aturan pola tingkah laku secara umum dapat

digolongkan ke dalam 4 pola yaitu :

1. peraturan-perundang-undangan yang sifatnya perintah. Artinya

peraturan-perundangundangan tersebut mewajibkan kepada subjek

untuk melakukan sesuatu. Biasanya dalam peraturan tersebut

dinyatakan dengan bantuan kata kerja wajib atau harus.

Contoh : Setiap orang yang telah dewasa wajib memiliki Kartu

Tanda Penduduk.
2. peraturan-perundang-undangan yang sifatnya larangan. Artinya

peraturan-perundangundangan ini mewajibkan kepada subjek

untuk 30 Laporan Akhir Hasil Penelitian Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran Tentang Pengaturan Tata Ruang Indonesia

, Desember 1989, Hlm. 82. 27 tidak melakukan sesuatu. Larangan


sering dirumuskan dengan kata-kata “dilarang” atau “tidak boleh”

atau “tidak dapat.

Contoh : Setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang mempunyai

istri lebih dari satu kecuali seizin istri tuanya.

3. peraturan-perundang-undangan yang sifatnya memberi dispensasi.

Artinya peraturan tersebut membolehkan secara khusus kepada

subjek untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum

diwajibkan/diharuskan. Biasanya dirumuskan dengan bantuan kata-

kata “dibebaskan dari kewajiban”, “dikecualikan dari kewajiban”,

atau “Tidak berkewajiban”.

Contoh : Mahasiswa yang telah lulus Penataran P4 dibebaskan

dari kewajiban untuk menempuh matakuliah Pancasila

4. peraturan-perundang-undangan yang sifatnya memberi Izin.

Artinya pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara

umum dilarang atau tidak boleh dilakukan. Biasanya dirumuskan

dengan menggunakan kata : “boleh”, “berhak untuk”,

“mempunyai hak untuk”, “Dapat” atau “berwenang untuk”.

5. Contoh : Setiap orang berhak mendapatkan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan.

Secara Umum Peraturan perundang-undangan mempunyai struktur

yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :


a. Subyek : menunjuk kepada siapa yang menjadi sasaran dari

suatu aturan, Contoh : Setiap Orang, Barang Siapa,

b. Obyek : menunjuk pada peristiwa-peristiwa apa yang hendak

diatur, Contoh : Memiliki atau menmguasai senjata tajam, dalam

hal ikhwal kegentingan yang memaksa,

c. Pola tingkah laku : menunjuk pada cara bagaimana obyek diatur,

ini dapat berupa perintah, larangan, memberikan sesuatu hak atau

membebankan suatu kewajiban tertentu. Contoh : Boleh memiliki

atau menguasai, berhak menetapka, diancam dengan hukuman

penjara.
BAB III
HUBUNGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN
NEGARA HUKUM

1. Pengertian, sejarah, dan ruang lingkup negara hukum

Negara hukum adalah suatu gagasan bernegara yang paling ideal. Gagasan
negara hukum ini telah berkembang sejak Plato menulis Nomoi atau bahkan jauh
sebelum itu. Gagasan negara hukum didasari oleh suatu keyakinan bahwa
kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Sejarah
kenegaraan
menunjukan bahwa pengisian dan pengertian negara hukum selalu
berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat dan zaman saat perumusan negara
hukum itu dicetuskan. Aristoteles yang melihat pemerintahan dalam polis dengan
wilayah yang kecil serta penduduk sedikit memberikan ciri-ciri negara hukum,
adalah :
1. Segala urusan negara dilakukan dengan musyawarah;
2. seluruh warganegara ikut serta dalam urusan penyelenggaraan negara;
3. berdiri di atas hukum yang mencerminkan keadilan.
Konsep negara hukum modern inipun dalam penerapannya masih
dipengaruhi oleh system hukum yang digunakan oleh suatu negara. Literatur lama
membagi system hukum dalam dua bagian besar yaitu system hukum Anglo Saxon
dan Eropa Kontinental. Sistem hukum Eropa Kontinental merupakan system hukum
yang mengutamakan hukum tertulis, dengan demikian peraturan perundang-
undangan merupakan sendi utama system hukumnya.
Negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, lebih
banyak mengarahkan hukumhukumnya dalam bentuk tertulis, bahkan dituangkan
dalam suatu sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab
undang-undang
yang penyusunannya disebut kodifikasi. Karena itu, system hukum Eropa
kontnental sering pula disebut system hukum kodifikasi (codified law system).
Dalam pada itu system hukum Anglo Sistem, tidak menjadikan peraturan
perundang-undangan sebagai sendi utama system hukumnya. Sendi utamanya
terletak pada putusan pengadilan (Yurisprudensi). Sistem hukum Anglo sakson
berkembang dari kasus-
kasus kongkret, dan dari kasus 31 tersebut lahir berbagai kaidah dan asas-asas
hukum. Karena itu, system hukum ini sering disebut system hukum yang
berdasarkan kasus (case law system).
Sistem hukum Eropa Kontinental melahirkan konsep negara hukum Eropa
Kontinental atau disebut Rechtstaats dan system hukum Anglo Saxon melahirkan
konsep negara hukum Anglo Saxon atau disebut Rule of Law. Sedangkan literature
yang dating kemudian menambahkan dengan system hukum Islam yang melahirkan
konsep negara hukum Islam, system hukum Sosialis yang melahirkan negara hukum
Socialist Legality, dan system hukum Pancasila yang melahirkan konsep negara
hukum Pancasila. Dalam negara hukum konsep Eropa kontinental negara dikatakan
sebagai negara hukum, bila memenuhi unsure-unsur :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

2. Trias Politica,

3. Wetmatig Bestuur,

4. Peradilan Administrasi

Konsep negara hukum Anglo Saxon membagi unsurunsur negara hukum

menjadi tiga, yaitu :

1. Supremasi hukum, dalam arti bahwa hukum mempunyai kekuasaan

tertinggi,

2. Persamaan di dapan hukum bagi semua warga negara, dan


3. Jaminan terhadap Hak-hak asasi manusia.

Perbedaan dari kedua konsep negara hukum tersebut diakibatkan oleh :

1. Pada system Eropa kontinental berlaku Prerogative State yang menurut

konsep ini pejabat administrasi negara dalam melakukan fungsi

administrasinya tunduk pada hukum administrasi 32 negara, sehingga bila

pejabat administrasi negara itu melakukan kesalahan atau kekeliruan

dalam menjalankan fungsi administrasinya maka mempunyai forum

peradilan tersendiri yaitu peradilan administrasi negara. Sedangkan dalam

konsep Anglo Saxon peradilan administrasi negara tidak penting dengan

alasan adanya pesamaan kedudukan dalam hukum sehingga tidak ada

perbedaan forum peradilan baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat

administrasi negara.

2. Sistem eropa kontinental selalu berusaha untuk menyusun hukum-

hukumnya dalam satu sistematika yang diupayakan selengkap mungkin

dalam sebuah kitab undang-undang. Hal tersebut melahirkan unsur setiap

tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan

yang telah ada. Sedangkan dalam system anglo saxon sendi utamnya

adalah yurisprudensi, dari yurisprudensi itulahir berbagai kaidah dan asas

hukum. Dan hal itu melahirkan unsure supremasi hukum

Sedangkan konsep negara hukum menurut Hukum Islam ialah suatu

pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam

(Syariah). Dalam Syariah ini diatur dua aspek hubungan, yaitu hubungan vertical

dan horizontal. Hubungan vertical ialah hubungan manusia dengan Allah disebut

ibadah dan hubungan horizontal adalah hubungan manusia dengan manusia serta

manusia dengan alam lingkungan hidupnya disebut muamalat atau kemasyarakatan.


Syariah Islam memberi dasar sesuai dengan sifat manusia yang langgeng

dan tak berubah, yang berlaku pada setiap tempat dan pada segala jaman. Namun

Islam tidak mengatur seribu satu permasalahan secara teknis terinci, Islam hanya

mempunyai satu aturan dalam ibadah 33 yaitu semua dilarang kecuali apa yang

diperintahkan dan satu untuk muamalat yaitu semua diperbolehkan kecuali yang

dilarang.

Dalam muamalat atau kemasyarakatan karena semua diperbolehkan kecuali

yang dilarang maka dengan sendirinya hal tersebut memberi kebebasan kepada

manusia untuk merinci dan mengembangkan aturanaturan kemasyarakatan. Walaupun

begitu manusia tidak dapat sekehendak hatinya merinci dan mengembangkan aturan

ini, tetapi harus selalu mengikuti rambu-rambu yang terdapat dalam Qur‟an dan

Sunah Rasul. Dengan demikian dalam negara hukum Islam rasio meanusia digunakan

untuk membuat aturan kemasyarakatan. Bentuk pengaturan yang dilakukan sebagai

hasil rasio manusia dapat dalam bentuk peraturan perundangundangan dapat pula

dalam bentuk ijtihad.

Indonesia sebagai negara yang lahir pada abad modern menyatakan diri

sebagai negara hukum. Landasan berpijak yang dapat digunakan untuk menyatakan

Indonesia sebagai negara hukum adalah Penjelasan Umum Undang-undang Dasar

1945 (UUD‟45) tentang system pemerintahan negara yang menyatakan :

1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan

atas kekuasaan belaka (machtsstaat),

2. Pemerintah berdasarkan atas system konstitusi (hukum dasar) tidak

bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Penjelasan UUD‟45 ini lebih dikuatkan lagi dengan amandemen ketiga

UUD‟45 dalam Pasal 1 Ayat (3) yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Terhadap isi penjelasan UUD‟45 di atas Sri Soemantri M. memberikan

ulasan bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum, berarti negara Indonesia 34

adalah hukum (Pancasila). Negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum itu tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal tersebut menyiratkan bahwa dalam negara

hukum Indonesia unsur kekuasaan diakui keberadaannya akan tetapi pemerintahannya

berdasar atas sistem konstitusi.

Sedangkan arti dari negara hukum Pancasila itu sendiri adalah setiap

pemegang kekuasaan dalam negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya

harus mendasarkan diri atas norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis

maupun yang tidak tertulis, dan norma hukum itu harus berdasarkan Pancasila.

Adapun unsur-unsur dari negara hukum Pancasila adalah:

1. adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga

negara,

2. adanya pembagian kekuasaan ,

3. bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus

selalu 35 berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun

yang tidak tertulis,

4. adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya

merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang

khusus untuk Mahkamah Agung harus juga merdeka dari pengaruh-

pengaruh lainnya.

Penulis sendiri dengan mendasarkan pada pendapat Bagir Manan yang

mengatakan bahwa di Indonesia sekurang-kurangnya ada tiga sistem hukum

yang berlaku, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum agama, dan sistem

hukum barat, menganggap Indonesia sebagai suatu negara hukum yang unik.
Dikatakan unik karena Hukum adat yang merupakan hukum tidak tertulis yang

terwujud melalui putusan penguasa adat lebih dekat pada sistem Anglo Saxon,

sistem hukum agama yang menonjol adalah hukum Islam, sedangkan sistem

hukum barat adalah Eropa Kontinental. Ketiga sistem hukum ini

mempengaruhi konsep negara hukum Pancasila dan penulis beranggapan

bahwa unsur-unsur dari negara hukum Pancasila adalah :

1. Kekuasaan sebagai amanah,

2. adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia,

3. adanya pembagian kekuasaan,

4. adanya persamaan dalam hukum,

5. adanya sistem konstitusi,

6. adanya asas musyawarah,

7. pemerintah bertindak berdasarkan hukum,

8. adanya peradilan bebas.

2. Fungsi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Negara Hukum

Negara hukum yang mempunyai arti negara yang menempatkan hukum sebagai dasar

kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya

dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Penerapan konsep negara hukum dalam setiap negara

dipengaruhi oleh faktor cita negara yang menjiwai tiap bangsa dan sistem hukum yang

digunakan. A. Hamid S. Attamimi mengatakan bahwa dalam suatu negara hukum yang

modern fungsi peraturan perundang-undangan adalah :

1. memberikan bentuk pada endapan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan

hidup dalam masyarakat,

2. Produk fungsi negara di bidang pengaturan, dan


3. metode dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan

kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.

Fungsi eksternal dari peraturan perundangundangan adalah fungsi yang berkaitan

dengan lingkungan tempat berlakunya peraturan perundangundangan tersebut. Dengan kata

lain fungsi eksternal ini disebut juga sebagai fungsi sosial hukum.

Peraturan Daerah merupakan salah satu bentuk dari peraturan perundang-undangan tentu

juga mengemban dua fungsi tersebut. Fungsi internal terdiri dari fungsi penciptaan hukum,

pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme sistem hukum,33 dan fungsi kepastian

hukum. Sedangkan fungsi eksternal terdiri dari pertama fungsi perubahan yang mengandung

arti bahwa peraturan perundang-undangan diciptakan untuk mendorong perubahan

masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kedua fungsi stabilisasi peraturan

perundang-undangan diciptakan untuk menjamin stabilitas masyarakat. Dan ketiga fungsi

kemudahan artinya peraturan perundang-undangan dipergunakanuntuk mengatur berbagai

kemudahan misal insantif, penundaan pengenaan pajak, dan lain-lain.

Fungsi peraturan perundang-undangan tersebut sejalan dengan fungsi hukum yang

dikemukan oleh Sjachran Basah, yang menyatakan ada lima fungsi hukum sehingga beliau

menyebut dengan istilah panca fungsi hukum.35 Kelima fungsi hukum tersebut adalah

pertama direktif artinya hukum sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk

masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. Kedua

integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa. Ketiga Stabilitatif sebagai pemelihara dan

menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat. Keempat perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak

administrasi negara maupun sikap tindak warga negara apabila terjadi pertentangan dalam

kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dan kelima korektif sebagai pengoreksi atas sikap

tindakbaik
administrasi negara maupun warganegara apabila terjadi pertentangan hak dan

kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

Hal tersebut tentunya berlaku juga bagi Indonesia yang merupakan negara hukum

Modern. Tujuan dari Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum adalah sebagaimana yang

dirumuskan dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :

1. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,

2. memajukan kesejahteraan umum,

3. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

4. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kan kemerdekaan, perdamaian

abdi, dan keadilan sosial.

Perangkat hukum yang digunakan untuk melakukan hal tersebut adalah peraturan

perundangundangan dengan tidak mengesampingkan fungsi yurisprudensi. Hal tersebut

memperlihatkan bahwa peraturan perundang-undangan mempunyai peranan yang besar

dalam negara hukum Indonesia. Peranan yang besar dari peraturan perundang-undangan ini

disebabkan oleh pengaruh sistem hukum Eropa kontinental. Namun selain pengaruh sistem

hukum Eropa Kontinental Bagir Manan memberikan empat alasan lain, yaitu :

1. peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali

(diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah

hukum tertulis, bentuk, jenis, dan tempatnya jelas begitu pula pembuatnya,

2. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena

kaidahkaidahnya mudah diidentifikasikan dan mudah diketemukan kembali,

3. struktur dan sistematika peraturan perundangundangan lebih jelas sehingga

memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun

materi muatannya,
4. pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat
direncanakan.

Faktor ini sangat penting bagi negara yang sedang membangun termasuk membangun

sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.

Agar Peraturan perundang-undangandapat berfungsi sesuai dengan tujuannya maka dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan landasar atau dasar berlaku

yang baik dari suatu peraturan perundang-undangan. Bagir manan menyatakan ada empat

dasar atau landasan agar peraturan perundang-undangan berlaku dengan baik, yaitu :

1. landasan Yuridis,

2. landasan sosiologis,

3. landasan filosofis,

4. landasan teknik perancangan.

Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar pembuatan suatu peraturan

perundangundangan. Landasan hukum pembuatan suatu peraturan perundang-undangan,

tidak hanya dilihat dari aspek dasar hukum penerbitannya, tetapi juga perlu diketahui dasar

hukum kewenangan pembuatnya, tata cara pembentukan, dan dasar logika yuridisnya.

Landasan yuridis sangat penting dalam pembuatan pembuatan peraturan perundang-undangan

karena akan menunjukan :

1. pejabat atau lembaga yang berwenang membuat atau membentuk peraturan

perundang-undangan tersebut. Dengan diketahuinya secara persis pejabat atau

lembaga yang berwenang membuat suatu peraturan perundang-undangan, maka

apabila ada peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat atau lembaga

selain dari yang telah ditentukan, maka peraturan perundang-undangan itu batal demi

hukum (nietig van recthswege). Dianggap tidak pernah ada, segala akibatnya batal

dengan sendirinya.
2. Bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang harus diatur di

dalamnya, terutama jika telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang

tingkatannya lebih tinggi atau sederajat. Apabila terjadi ketidaksesuaian bentuk

antara peraturan dasarnya dengan peraturan perundang-undangan yang hendak

dibentuk,

atau terjadi ketidak sesuaian antara jenis peraturan perundang-undangan dengan

materi yang diaturnya, maka mengakibatkan peraturan perundang-undangan tersebut

dapat dibatalkan (vernietigbaar).

3. Prosedur atau tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, maka

peraturan peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum, atau

tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Misalnya, setiap Peraturan

Daerah harus mencantumkan kalimat “… dengan persetujuan DPRD,” maka kalau

ada Peraturan Daerah yang tidak mencantumkan kalimat tersebut maka batal demi

hukum. Contoh lain, bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam

lembaran negara sebagai satu-satunya cara agar mempunyai kekuatan mengikat.

Selama pengundangan belum dilakukan maka undang-undang tersebut belum

mengikat.

4. Adanya konsekwensi yuridis, bahwa peraturan perundang-undangan yang hendak

dibuat itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasarnya atau yang lebih tinggi

tingkatannya. Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung kaidah

yang bertentangan dengan UUD, dan seterusnya. Dalam kaitan ini Hans Kelsen

menyatakan bahwa setiap kaidah hukum harus berdasarkan pada kaidah yang lebih

tinggi tingkatannya. Menurut Zevenberger setiap kaidah hukum harus memenuhi

syarat-syarat pembentukannya. Sedangkan Logemann menyatakan bahwa kaidah

hukum mengikat kalau menunjukan hubungan keharusan atau memaksa antara suatu

kondisi dan akibatnya.


Dalam beberapa literatur, landasan yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan

dibagi menjadi dua macam, yaitu :

1. Landasan yuridis formal, yaitu kaidah-kaidah hukum yang menjadi dasar kewenangan

(bevoegheid) untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan. Landasan ini

mengarah kepada lembaga atau instansi yang berwenang membuatnya. Misal Pasal 5

Ayat (1) UUD‟45 amandemen pertama merupakan dasar hukum bagi DPR untuk

membuat UU.

2. Landasan yuridis materiil, yaitu kaidah-kaidah hukum yang menghendaki suatu hal

yang materinya diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Landasan

yuridis materiil ini mengarah pada materi muatan yang seyogyanya diatur dalam

suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya Pasal 24 dan 25 UUD‟45 merupakan

dasar hukum (landasan yuridis materiil) untuk dibuatnya UU No. 14 Tahun 1985

tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sedangkan landasan Sosiologis adalah landasan yang mencerminkan kenyataan yang

hidup dalam masyarakat atau tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat.

Mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, tidak berarti bahw aproduk

peraturan perundang-undangan yang dihasilkan itu sekedar merekam keadaan seketika

(moment opname), akan tetapi harus dapat pula mengakomodasi kecenderungan (trend) dan

harapan-harapan masyarakat.

Landasan filosofis adalah pandangan, ide-ide atau cita hukum (recthsidee), dimana suatu

peraturan perundang-undangan sedapat mungkin dijiwai oleh nilainilai luhur berupa nilai

etik, estetika, dan moral yang dianut dalam hubungan bermasyarakat. Nilai-nilai yang

dijungjung tinggi itu tentunya diharapkan tetap eksis dan mampu mempedomani tingkah laku

masyarakat.
BAB IV

ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Pengertian asas-asas hukum

The Liang Gie menyatakan bahwa asas merupakan suatu dalil umum yang

dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai

pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk

yang tepat bagi perbuatan itu.36 Bila kata asas ini diikuti kata hukum menjadi asas

hukum maka artinya adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh

pandangan kesusilaaan pada hukum, yang merupakan sifat-sifat umum dengan segala

keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum tetapi keberadaannya tidak boleh

tidak harus ada.

Hal ini sejalan dengan pendapat Moh. Koesnoe yang menyatakan bahwa asas

hukum merupakan suatu pokok ketentuan atau ajaran yang berdaya cakup menyeluruh

terhadap segala persoalan hukum didalam masyarakat yang bersangkutan dan berlaku

sebagai dasar dan sumber materiil ketentuan hukum yang diperlukan.38 Hal ini

memperlihatkan bahwa aturan-aturan dari tata hukum harus selalu bersenyawaan

dengan asas hukum atau dengan kata lain aturan-aturan dari tata hukum harus sesuai

dengan asas hukum yang dianut oleh masyarakatnya. Asas hukum ini mempunyai dua

fungsi yaitu fungsi dalam hukum dan fungsi dalam ilmu hukum.

Fungsi dalam hukum mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh

pembentuk undang-undang dan hakim atau dengan kata lain fungsi mengesahkan

serta mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para fihak. Sedangkan

fungsi dalam ilmu hukum hanya bersifat mengatur dan aksplikatif atau menjelaskan

dengan tujuan memberi ikhtisar, tidak normatif sifatnya dan tidak termasuk hukum

positif.
2. Asas-asas Pembuatan Peraturan Perundangundangan

Van Kreveld membedakan antara asas-asas hukum yang umum dalam

pengertian luas dan asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik

yang sebenarnya sekaligus pula termuat dalam asas-asas hukum yang umum.

„Asas- asas hukum yang umum‟ adalah asas-asas yang boleh dipakai oleh hakim

untuk melakukan pengujian; „asas-asas umum pembuatan peraturan perundang-

undangan yang baik‟ adalah asas asas yang harus selalu dipenuhi oleh setiap

peraturan.

Uraian yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa asas-asas peraturan

perundang-undangan mempunyai kedudukan yang esensial atau penting dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan bahkan lebih dari itu asas-asas peraturan

perundang-undangan merupakan unsur dari peraturan perundang-undangan. Artinya

asas-asas ini harus selalu ada dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Atau

dengan kata lain asas-asas ini harus selalu tercermin dalam pembuatan peraturan

daerah.

Ada beberapa asas yang harus diperhatikan dalam teknis perancangan yang

oleh Van der Vlies dibagi menjadi dua asas, yaitu asas formal dan asas materiil.

Untuk Indonesia menurut A.Hamid S.Attamimi adalah sebagai berikut :

1. Asas-asas formal, meliputi :

a. Asas tujuan yang jelas;

b. Asas perlunya pengaturan;

c. Asas organ atau lembaga yang tepat;

d. Asas materi muatan yang tepat;

e. Asas dapat dilaksanakan;

f. Asas dapat dikenali.

2. Asas-asas materiil, meliputi :


a. Asas sesuai dengan cita
hukum dan norma
fundamental negara;

b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;

c. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan

d. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem

konstitusi.

Menurut Simons sebagaimana disitir oleh Ateng Syafrudin bahwa

kepercayaan masyarakat atau yang diperintah terhadap peraturan perundang-

undangan itu hanya dapat dipertahankan, bilamana peraturan 50 perundang-undangan

itu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Selain daripada adil,

suatu peraturan perundang-undangan harus pula memenuhi persyaratan-persyaratan

teknis, tepat, cocok untuk mencapai maksud dan tujuannya tanpa menghamburkan

energi (tenaga) yang tidak perlu. Selain itu, menurut Irawan Soejito,

ciri-ciri peraturan perundang-undangan yang baik adalah :

1. Dibuat dengan kalimat yang pendek, tetapi padat dan dibuat secara teliti

dan jelas;

2. Mudah dipahami secara mendalam oleh rakyat;

3. Berisi kaidah-kaidah yang sederhana, mudah dimengerti dan tepat;

4. Tidak ruwet dan diterima baik dalam masyarakat

Ciri-ciri peraturan perundang-undangan yang baik menurut Irawan Soejito di

atas, tampaknya lebih mengarah kepada teknik pembuatan peraturan perundang-

undangan daripada proses pembentukan atau pembuatan peraturan perundang-

undangan. Apabila ciriciri peraturan perundang-undangan yang baik menurut Irawan

Soejito dihubungkan dengan yang dikemukakan oleh Bagir Manan di atas, maka ciri-

ciri yang dikemukakan oleh Irawan Soejito tersebut merupakan bagian dari unsur
teknik perancangan peraturan perundang-undangannya Bagir Manan.

Sebab dalam unsur teknik perancangan peraturan perundangundangan harus

diperhatikan hal-hal teknis atara lain :

1. pokok-poko pikiran dituangkan ke dalam ketentuan – ketentuan yang

bersifat pengaturan (regeling), bukan bersifat penetapan (beschikking), dan

sedapat mungkin mengatur hal-hal bagi peristiwa yang akan datang, yang

dikemas dengan menggunakan kalimat pernyataan.

2. perumusan harus jelas arti, maksud, dan tujuannya; gaya bahasa harus

padat (conceise)dan mudah (simple), tidak bermakna ganda (ambiguity)

atau dapat ditafsirkan bermacam-macam (interpretatif), tetapi juga tidak

kabur (obscurity), terlalu luas (overbulkiness), panjang lebar

(longwindedness), atau berlebihan (redundancy) yang dapat

membingungkan (entanglement), dan tidak tumpang-tindih (overlapping),

serta tidak bersifat metaforik dan hipotetis.

3. istilah harus konsisten, sedapat mungkin bersifat mutlak dan tidak relatif,

serta tidak bersifat dapat diperdebatkan (argumentaris).

4. sistematikanya teratur (orderliness) dengan penggunaan tanda baca yang

tepat.

Asas-asas pembuatan peraturan yang baik pun semakin dibedakan antara asas-

asas formal dan material. Dalam arti sempit, ini bukan pembedaan. Jika orang,

misalnya, tidak mendengarkan pendapat suatu kelompok tertentu dan pihak yang

berkepentingan, ini dapat berakibat besar pada isi suatu peraturan. Jadi, asas bahwa

pihak yang berkepentingan harus didengar, mempunyai pengaruh atas isi. Asas ini

memang tidak begitu saja mempunyai kaitan langsung atas isi peraturan. Asas ini

hanya menetapkan bahwa isi suatu peraturan yang akan dibuat harus dicari dengan
cara tertentu. Karena itulah asas ini disebut asas formal. Selain asas-asas

yang mengatur mengenai proses pembuatan suatu peraturan, ada asas-asas yang

mengatur mengenai sistematika dan saat-berlaku suatu peraturan. Semua asas ini

disebut formal; asas-asas ini berkaitan dengan bagaimana.

Asas yang menggabungkan masalah „bagaimana‟ dan masalah „apa‟ adalah

asas mengenai tujuan. Setiap pembuat peraturan harus bertanya pada diri sendiri

apakah suatu peraturan harus diadakan dan jenis peraturan apa yang harus diadakan.

Untuk itu umumnya ia harus berkonsultasi dengan para ahli dan mendengar pendapat

pihak yang berkepentingan. Argumentasi mengapa suatu peraturan tertentu harus

diadakan, harus mempunyai dasar kuat. Argumentasi ini tidak boleh sekedar

menyebutkan hal-hal yang menyebabkan perlu dikeluarkannya suatu peraturan,

tetapi juga harapanharapan yang diinginkan dengan dikeluarkannya peraturan itu.

Dengan melihat uraian di atas, kita dapat membuat pembagian berikut, yang

berjalan dari formal ke arah material:

1. asas-asas yang berkaitan dengan proses pembentukan suatu peraturan;

2. asas-asas yang berkaitan dengan sistimatika dan pengumuman suatu

peraturan;

3. asas-asas yang berkaitan dengan kemendesakan dan tujuan pembatasan

suatu peraturan;

4. asas-asas yang berkaitan dengan isi suatu peraturan.

Pembagian ini dimaksudkan untuk sekedar memperjelas pengertian dan tidak

mempunyai arti khusus. Beberapa aturan tertulis memiliki sifat-sifat suatu asas atau

beberapa asas adalah tertulis. Asas-asas mengenai pembuatan peraturan dapat

ditemukan baik di dalam UUD maupun di dalam undang-undang lainnya. Sebagai

contoh, pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 pasca perubahan mengandung asas negara
hukum, dan pasal 27 UUD1945 pasca perubahan mengandung asas

kesamaan di dalam hukum.

3. Hubungan Asas-asas Pembuatan Peraturan perundang-undangan dengan

hak-hak asasi

Setiap pembuat peraturan wajib menghormati hak-hak asasi. Akan tetapi, dalam

pandangan ini kedudukan hak-hak asasi tidak berbeda 54 dari kedudukan ketentuan-

ketentuan (penting) lain UUD atau suatu ketentuan yang, bagi si pembuat peraturan,

tingkatannya lebih tinggi. Setiap pembuat peraturan wajib menghormati tertib-hukum

yang ada. Perintah ini berkaitan erat dengan isi suatu peraturan, yang konsekuensinya

bagi setiap peraturan tentu saja berbedabeda. Bagi hak-hak asasi, ini dapat diperjelas

dengan mengambil contoh pasal 27 Ayat (2) UUD1945 pasca perubahan.

Pasal 27 ayat (2) UUD1945 pasca perubahan (mengenai kesempatan kerja) tidak

begitu saja ditujukan pada setiap kegiatan pembuatan peraturan (meskipun pasal ini

memang terutama bukan menyangkut kegiatan pembuatan peraturan). Hal yang

sama berlaku juga bagi pengaturan mengenai kedudukan hukum bagi pencari kerja

yang tersirat dari pasal ini. Ketentuan Pasal ini lebih merupakan suatu perintah

kepada pembuat undangundang untuk mengatur suatu masalah tertentu, sama seperti

misalnya perintah pasal 23A UUD1945 pasca perubahan mengenai pajak. Apabila

mempelajari katalog hak-hak asasi seperti yang termuat dalam bab XA UUD1945

pasca perubahan, akan sampai pada kesimpulan bahwa hanya hak asasi dalam pasal

28A UUD1945 pasca perubahan sajalah yang secara struktural berlaku bagi setiap

peraturan. Pasal-pasal lain dalam bab ini memuat batas-batas yang harus diperhatikan

oleh pembuat peraturan lainnya ataupun masalah-masalah yang harus diatur oleh

pembuat undang-undang. Pasalpasal ini berisi ketentuan-ketentuan yang lebih


berkaitan dengan isi undang-undang tertentu ataupun larangan membuat undang-

undang dengan isi tertentu, tetapi pasal-pasal ini bukanlah asas-asas yang berkaitan

dengan sifat dari peraturan perundang-undangan. Selain itu, ada hak-hak asasi yang

secara umum lebih berkaitan dengan 55 penyelenggaraan pemerintahan dan bukan

dengan pembuatan peraturan dalam arti sempit.

Asas kesamaan yang ada dalam pasal 27 UUD1945 pasca perubahan erat

kaitannya dengan permasalahan pembuatan peraturan. Memang, jika orang ingin

menjamin adanya perlakuan yang sama antara warga negara, orang harus membuat

suatu peraturan yang dapat berlaku bagi semua orang. Jika di dalam peraturan itu

dimuat suatu pengecualian tanpa alasan-alasan yang layak, peraturan itu tidak akan

mencapai tujuannya. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa hak-hak asasi tidak

mempunyai makna langsung sebagai suatu asas pembuatan peraturan yang baik,

dengan catatan bahwa hak asasi yang mengenai perlakuan yang sama mempunyai

kedudukan tersendiri. Hak-hak asasi ini lebih berkait dengan hukum material yang

wajib diperhatikan oleh setiap pembuat peraturan, seperti halnya ketentuanketentuan

UUD atau peraturan yang lebih tinggi.

4. Perkembangan Asas-asas Peraturan Perundangundangan

Di Belanda ada lima sumber penting bagi pengembangan asas-asas pembuatan

peraturan yang baik, selain asas-asas yang ada dalam undang-undang : 1) saran-saran

Raad van State, 2) berkas-berkas dan pembahasan RUU di dewan perwakilan rakyat,

3) Lembaga peradilan, 4) Pedoman Teknik pembuatan peraturan perundang-

undangan, dan 5) Laporan-akhir Komisi Pengurangan dan Penyederhanaan peraturan

Negara beserta Pedoman Keberhematan peraturan dan Pedoman pengujian rancangan

undang-undang dan peraturan pemerintah yang keduanya ini didasarkan pada laporan
akhir itu. Sebutan nama yang digunakan di atas tidak terlalu penting; yang

penting adalah isinya yaitu syarat-syarat umum yang dapat ditetapkan bagi

pembuatan peraturan. Sebagai sumber sekunder dapat disebut : literature di

bidang ini

Bahwa saran-saran Raad van State penting bagi pengembangan asas-asas. Raad

dituntut untuk menjelaskan, misalnya, mengapa ia berpendapat bahwa suatu konsep

tertentu tidak memenuhi syarat. Meskipun Raad hanya menguji konsep UU-dalam-

arti-formal dan PP, kriteria pengujiannya penting juga bagi peraturan tingkat

menteri. Di dalam Staten-Generaal tumbuh perhatian terhadap mutu peraturan

perundang- undangan serta pentingnya lembaga ini sebagai sumber bagi asasasas.

Peradilan merupakan sumber klasik untuk mengetahui apa yang merupakan hukum.

Bagaimanapun, perlu dicatat bahwa hakim tidak menguji apa yang hanya dapat diuji

oleh pembuat undang-undang : peraturan perundang-undangan (dalam-arti-formal).

Untuk mengembangkan asas-asas pembuatan peraturan yang baik, undang-undang

maupun sumbersumber lain dapat dimanfaatkan, khususnya saran-saran Raad van

State dan berkas-berkas serta pembahasan RUU di Staten-Generaal. Dalam

pengembangan asas-asas ini dianjurkan untuk membagi antara asas-asas yang

mengenai proses pembentukan (asas-asas formal) dan asas-asas yang berkaitan

dengan isi semata-mata (asas-asas material). Hal ini agak berbeda dengan di

Indonesia, dimana di Indonesia yang dapat dijadikan sumber pengembangan asas-asas

pembuatan peraturan yang baik adalah :

1) DPR dilihat dari berkas-berkas pembahasan RUU,

2) UU tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan,

3) Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian UU dan MA serta peradilan

tingkat bawahnya baik dalam rangka pengujian peraturan perundang-

undangan di bawah UU maupun dalam rangka penerapan hukum,


4) Presiden dalam pembuatan PP dan Perpres.

5) Pemerintah Daerah dalam Pembuatan Perda, dan

6) perguruan tinggi dalam pembuatan naskah akademik suatu peraturan

perundang-undangan.

Ada bebarapa asas yang harus diperhatikan dalam teknis perancangan yang

oleh Van der Vlies dibagi menjadi dua asas, yaitu asas formal dan asas materiil.

Untuk Indonesia menurut A. Hamid S. Attamimi adalah sebagai berikut:

1. Asas-asas formal, meliputi:

a. Asas tujuan yang jelas;

b. Asas perlunya pengaturan;

c. Asas organ atau lembaga yang tepat;

d. Asas materi muatan yang tepat;

e. Asas dapat dilaksanakan;

f. Asas dapat dikenali;

2. Asas-asas materil, meliputi:

a. Asas sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental negara;

b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;

c. Asas sesuai dengan prinsip - prinsip negara berdasar atas hukum; dan

d. Asas sesuai dengan prinsip -prinsip pemerintahan berdasar sistem

konstitusi.

Kemudian bilamana diperhatikan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam BAB II tentang Asas

Peraturan Perundang-Undangan dalam pasal 5 dan pasal 6 disebutkan dalam

membentuk Peraturan PerundangUndangan harus berdasarkan pada asas

pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik yang meliputi:


a. Asas Kejelasan
Umum;

b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Asas dapat dilaksanakan;

e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. Asas kejelasan rumusan;

g. Asas keterbukaan

Disamping itu dalam ayat 6 disebutkan, bahwa materi muatan peraturan

perundang-undangan mengandung asas antara lain:

a. Pengayoman

b. Kemanusiaan

c. Kebangsaan

d. Kekeluargaan

e. Kenusantaraan

f. Bhinneka tunggal ika

g. Keadilan h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

h. Ketertiban dan kepastian hukum

i. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Berikut ini akan diuraikan tentang asas-asas formal dari suatu peraturan

perundang-undangan, terdiri dari :

1. Asas tujuan yang jelas atau asas Kejelasan Umum

Asas ini terdiri dari tiga tingkat :

1) kerangka kebijakan umum bagi peraturan yang akan dibuat

2) tujuan tertentu dari peraturan yang akan dibuat


3) tujuan dari berbagai bagian dalam peraturan

2. Asas organ yang tepat atau Asas kelembagaan

Asas ini menghendaki agar suatu organ memberi penjelasan bahwa pembuatan

suatu peraturan tertentu memang masuk dalam kewenangannya, dan agar suatu organ,

khususnya pembuat undang-undang, memberialasan mengapa ia tidak melaksanakan

sendiri pengaturan atas suatu materi tertentu, tetapi menugaskannya kepada organ

lain. Asas ini merupakan kelanjutan logis dari asas tujuan yang jelas. Jika suatu saat

sudah jelas apa yang harus dilakukan, selanjutnya akan dilihat siapakah yang harus

melakukannya. Asas ini bertujuan menjalankan pembagian kewenangan sebagaimana

yang telah ditetapkan secara konstitusional di dalam undang-undang dan

yurisprudensi. Materi-materi yang penting harus dimuat dalam undang-undang; hal-

hal yang kurang penting dimuat dalam peraturan yang lebih rendah dan seterusnya.

Apa yang menurut sifatnya termasuk dalam kewenangan badan-badan lebih rendah,

harus diatur oleh badan-badan itu sendiri.

Pembagian kewenangan antara berbagai organ, sebagiannya dimuat di dalam

UUD. Pembagian ini sebagian agak jelas, sebagian diserahkan kepada praktek hukum.

Contoh dari pembagian kewenangan yang boleh dikata jelas, dapat ditemukan dalam

pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2), Pasal 22, Pasal 24, UUD 1945 setelah perubahan.

Bagi hal-hal lainnya yang tidak dimuat dalam UUD, dapat timbul masalah-masalah

penafsiran. Masalah ini umumnya menyangkut hubungan antara pembuat undang-

undang dan pemerintah, pemerintah dan menteri, serta pemerintah pusat dan

Pemerintah daerah.

Aspek lain dari asas ini adalah pembagian kewenangan antara organ pusat dan

daerah. Peraturanperaturan di tingkat pusat umumnya dan memang sewajarnya

banyak memuat kebebasan kebijakan, setidak-tidaknya kewenangan, bagi organ pusat


atas halhal penting, serta peraturan-peraturan pelaksanaan bagi badan-badan lebih

rendah.

3. Asas Kemendesakan

Jika tujuan sudah terumus dengan jelas, masalah berikutnya ialah apakah

tujuan itu memang harus dicapai dengan suatu peraturan. Asas ini lahir dari kenyataan

dalam masyarakat, dimana bila timbul sesuatu yang dirasakan tak adil, hampir

otomatis akan langsung meminta bantuan pembuat peraturan perundangundangan.

Masalah yang dirasakan tak adil diminta untuk diatur kembali dengan baik dalam

undang-undang atau, jika kepercayaan pada pembuat undang-undang agak berkurang,

harus dibuat suatu rencana yang menjelaskan bagaimana situasi yang akan terjadi

dalam beberapa tahun ke depan.

Asas ini terutama penting dalam tahap proses pembentukan suatu peraturan.

Asas ini tidak dipakai sebagai dasar pengujian oleh hakim. Asas ini pada umumnya

penting bagi praktek hukum karena asas ini mendorong adanya kejelasan atas

keseluruhan peraturan perundang-undangan.

4. Asas kemungkinan-pelaksanaan (Dapat dilaksanakan)

Di dalam literatur, asas ini disebut pula asas kemungkinan-penegakan. Asas

ini menyangkut jaminanjaminan bagi dapat dilaksanakannya apa yang dimuat

dalam suatu peraturan. Antara lain harus ada dukungan sosial yang cukup, sarana

yang memadai bagi organ atau dinas yang akan melaksanakan suatu peraturan,

dukungan keuangan yang cukup, dan sanksi-sanksi yang sesuai. Asas ini lahir dari

pemikiran para politisi di Den Haag yang beranggapan bahwa suatu masalah sudah

dipecahkan jika suatu undang-undang selesai dibuat. Oleh banyak orang (antara lain

di dalam laporan Akhir pengurangan dan penyederhanaan peraturan) ditunjukkan

bahwa pembuatan suatu peraturan itu baru sekedar awal penyelesaian masalah.
Penyelesaiannya baru benar-benar terjadi jika undang-undang itu

nyatanyata telah menghilangkan masalahnya.

5. Asas konsensus

Asas ini berisi bahwa perlu diusahakan adanya konsensus antara pihak-pihak

yang bersangkutan dan pemerintah mengenai pembuatan suatu peraturan serta

isinya. Cara konsensus akan dicapai harus diuraikan dalam suatu laporan.

Dalam asas ini tampak prinsip penting demokrasi : orang atau badan hukum

tidak boleh dibebani suatu kewajiban tanpa persetujuan sebelumnya dari mereka atau

wakil-wakil mereka Relevansi asas ini bagi praktek hukum bermacammacam.

Pertama sekali, asas ini penting pada proses pembentukan suatu peraturan, tetapi asas

ini pun dapat menjadi pegangan bagi pengujian di kemudian hari. Di dalam praktek

hukum dapat diamati adanya perkembangan tertentu ke arah pengujian peraturan ke

asas-asas hukum yang taktertulis. Pada pengujian ini, mendengar pendapat

organisasi- organisasi dari pihakpihak yang bersangkutan penting sekali dilakukan.

Semakin

besar jaminan yang telah diperhatikan pada proses pembentukan suatu peraturan,

semakin kecil pula kemungkinannya hakim akan mengutak-atik isi peraturan itu.

Dalam bahasa yang singkat kelima asas formal yang diuraikan di atas

dapat dikemukakan sebagai berikut :

Pertama Asas tujuan yang jelas menghendaki adanya suatu tujuan peraturan

yang jelas, yang harus tampak pula dalam penjelasannya. Peraturan itu sendiri tidak

saja harus jelas, tetapi kerangka umum tempat peraturan itu diletakkan harus pula

dinyatakan secara eksplisit.

Kedua Asas organ yang tepat menghendaki agar suatu peraturan dikeluarkan

oleh organ yang tepat dan agar tidak ada organ yang melakukan pelanggaran

kewenangan.
Ketiga Asas kemendesakan bermaksud untuk menghindarkan kemungkinan

dikeluarkannya suatu peraturan yang sebenarnya takperlu. Peraturan yang

dianggap perlu itu hendaknya dituangkan dalam bentuk yang amat mudah.

Keempat Asas kemungkinan pelaksanaan berkaitan dengan kemungkinan

untuk menegakkan suatu peraturan di dalam prakteknya, jika peraturan itu telah

dikeluarkan.

Dan Kelima Menurut asas-asas konsensus, pihak-pihak yang bersangkutan

sedapat mungkin harus diikutsertakan di dalam proses pembentukan suatu peraturan.

Selain kelima asas formal tersebut dikenal pula asas materiil yang terdiri dari:

1. Asas peristilahan yang jelas dan sistematika yang jelas

Menurut asas ini suatu peraturan harus jelas, baik kata-kata yang

digunakan maupun strukturnya.47 Asas ini lahir dari para ahli hukum

mempunyai kecenderungan untuk membuat ilmu (atau seni) mereka

menjadi sesuatu yang misterius bagi orang awam melalui penggunaan kata

yang jauh menyimpang dari bahasa sehari-hari. Ini terjadi juga pada

pembuatan peraturan perundang-undangan dan sedikit banyak

mengganggu kemudah bacaan.

2. Asas kemudahan untuk diketahui

Suatu peraturan harus dapat diketahui oleh setiap orang yang perlu

mengetahui adanya peraturan itu. Suatu peraturan yang tidak diketahui

oleh yang berkepentingan akan kehilangan tujuannya : peraturan itu tidak

menciptakan kesamaan dan kepastian hukum dan juga tidak menimbulkan

suatu pengaturan. Syarat minimum bagi suatu peraturan agar dapat

diketahui adalah bahwa peraturan itu harus diumumkan.

3. Asas kesamaan dihadapan hukum


Asas kesamaan dihadapan hukum menjadi dasar dari semua peraturan

perundang-undangan. Apa yang bagi para pihak yang bersangkutan sama-

sama penting, harus sedapat mungkin diatur bersama dengan para pihak

yang bersangkutan melalui wakil-wakilnya dan diatur sejauh materinya

memungkinkan untuk itu dengan cara yang sama bagi para pihak yang

bersangkutan. Peraturan tidak boleh ditujukan kepada suatu kelompok

tertentu yang dipilih secara sewenang-wenang; di dalam suatu peraturan

tidak boleh ada pembedaan yang sewenang-wenang; efek suatu peraturan

tidak boleh menimbulkan ketaksamaan; dan di dalam hubungan antara

suatu peraturan dengan peraturan lainnya tidak boleh timbul ketaksamaan

4. Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum menghendaki agar harapan-harapan yang wajar

hendaknya dihormati; khususnya ini berarti bahwa peraturan harus

memuat rumusan norma yang tepat, bahwa peraturan tidak diubah tanpa

adanya aturan peralihan …, dan bahwa peraturan tidak boleh diberlakukan

… tanpa alasan mendesak. Latar belakang dari pemberlakuan asas ini

adalah dengan mengeluarkan peraturan, kepastian hukum bagi masyarakat

akan terjamin. Masyarakat mengetahui apa yang harus mereka taati dalam

hubungan hukum antara mereka dan apa yang boleh mereka harapkan dari

pemerintah. Melalui pengenalan akan peraturan hukum, tingkah laku yang

memerintah dan yang diperintah menjadi dapat diramalkan: mereka akan

berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan seharusnya dibuat oleh

mereka. Keterramalan dan bersama itu pula kepastian hukum- akan

semakin besar dengan semakin telitinya rumusan suatu norma.

5. Asas penerapan hukum yang khusus/Sesuai keadaan Individual


Asas penerapan-yang-khusus berisi bahwa sedapat mungkin perlu

diatur kemungkinan untuk melakukan keadilan bagi keadaan-keadaan

yang khusus.

Uraian diatas membicarakan 5 asas materiil pembuatan peraturan yang

baik. Dalam bahasa yang lebih singkat ke lima asas tersebut meliputi :

Pertama asas peristilahan yang jelas dan sistematika yang jelas, suatu

peraturan harus mudah dimengerti oleh mereka yang berkepentingan atas

pelaksanaannya. Bila peraturan itu memang tidak mungkin untuk dibuat

secara jelas, pemahaman akan peraturan itu harus dibantu melalui

informasi tertulis lebih lanjut. Pihak non-pemerintah boleh melakukan

pemberian informasi ini. Tugas memberi informasi pelengkap ini

sebenarnya bukan lagi tugas pemerintah.

Kedua asas kemudahan untuk mengetahui, suatu peraturan harus

mudah diketahui. Pemerintah mempunyai tugas untuk membuat ikhtisar

umum peraturan yang masih berlaku.

Ketiga Asas kesamaan hukum merupakan asas dasar yang dapat dilihat

dari berbagai sudut. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan masalah

apakah pembedaan perlakuan yang diadakan oleh pembuat suatu peraturan

secara tersirat atau tersurat, dapat dibenarkan atau tidak.

Keempat Asas kepastian hukum menghendaki agar harapan-harapan

yang wajar hendaknya dihormati. Walaupun begitu, penghormatan

terhadap asas ini tidak boleh terlalu jauh, dalam arti peraturan tidak dapat

lagi diubah. Jadi, di sini tersangkut soal perlunya pembandingan

kepentingan.
Kelima Asas penerapan hukum yang khusus menisbikan pentingnya

peraturan hukum di dalam kasus individual yang memuat keadaan khusus.

Kasus semacam ini umumnya tidak dapat diketahui sebelumnya oleh

pembuat peraturan; karena itu pembuat peraturan harus menciptakan

jaminan kelembagaan bagi perlindungan kepentingan kasus demikian.

Sedangkan mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 asas-asas

pembentukan peraturan perundang-undangan itu terdiri dari

Pertama Asas kejelasan tujuan yang mengandung arti setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan

yang jelas yang hendak dicapai.

Kedua, Asas kelembagaan atau organ yang tepat, maksudnya setiap

jenis peraturan perundang undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat

pembuat peraturan perundang-undangan yang berwenang.

Ketiga asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, maksudnya

pembentukan peraturan perundang-undangan harus selalu memperhatikan

materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundangundangan yang

akan dibuat.

Keempat asas dapat dilaksanakan, maksudnya pembentukan peraturan

perundang-undangan haru memperhitungkan efektifitas peraturan

perundangundangan tersebut di dalam masyarakat baik secara filosofis,

yuridis, dan sosiologis.

Kelima asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, maksudnya

pembentukan peraturan perundangundangan dibuat karena memang benar-

benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Keenam asas kejelasan rumusan, maksudnya setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata

atau terminologis, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti

sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya. Ketujuh Asas keterbukaan maksudnya dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,

persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan

yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan.

Selain asas pembentukan UU ini menyatakan ada asas materi muatan

peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:

Pertama Asas pengayoman, maksudnya setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan

dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

Kedua asas Kemanusiaan, maksudnya setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan

penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap

warganegara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

Ketiga Asas Kebangsaan, maksudnya setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan sikap dan watak bangsa

indonesia yang fluralistik (Kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip

negara kesatuan republik Indonesia.


Keempat asas kekeluargaan, maksudnya setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk

mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Kelima asas kenusantaraan, maksudnya setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan

seluruh wilayah Indonesia dan setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum

nasional yang berdasarkan Pancasila.

Keenam Asas Kebhineka tunggal Ika, maksudnya setiap materi

muatan peraturan perundangundangan harus memperhatikan keragaman

penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya

khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ketujuh asas Keadilan, maksudnya setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional

bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Kedelapan asas Kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan, maksudnya setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan

berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,

gender, atau status sosial.

Kesembilan asas Ketertiban dan Kepastian Hukum,

maksudnya setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui

jaminan adanya kepastian hukum.


Kesepuluh asas Keseimbangan,Keserasian dan Keselarasan,

maksudnya setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus

mencerminkan keseimbangan,keserasian, dan keselarasan, antara

kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan

negara.

Kesebelas asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan

Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain: a. dalam Hukum

Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas

pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. Dalam Hukum

Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan,

kebebasan berkontrak, dan itikad baik.


BA
BV

BENTUK-BENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, DAN LEMBAGA

PEMBENTUKNYA

1.Pendahuluan

Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku diatur

dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundangundangan.

Menurut UU ini peraturan perundangundangan yang sekarang berlaku adalah :

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

3. Peraturan Pemerintah

4. Peraturan Presiden

5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan daerah Provinsi, Peraturan

daerah Kabupaten atau Kota dan Peraturan Desa.

Sebelum berlakunya UU ini bentuk-bentuk peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. periode 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 (UUD 1945).

Secara hukum bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku terdiri

dari :

a. UUD,

b. UU,

c. Perpu, dan

d. PP
namun dalam praktek dikenal pula bentuk
1. Penetapan Presiden,
2. Peraturan Presiden,
3. Penetapan Pemerintah,
4. maklumat pemerintah, dan
5. maklumat presiden.
2. Periode 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950 (Konstitusi RIS).

Pada periode ini ada tiga kelompok daerah berlakunya hukum, yaitu di

negara Federal berdasarkan Konstitusi RIS bentuk peraturannya adalah :

a. UU,

b. UU darurat,

c. Peraturan pemerintah, dan

d. peraturan pelaksana lainnya.

Di Negara bagian Republik Indonesia bentuk peraturannya adalah :

a. UU,

b. Perpu,

c. PP, dan

d. Peraturan pelaksana lainnya. Sedangkan di negara bagian lainnya

berlaku peraturan perundang-undangan zaman Hindia Belanda.

3. Periode 15 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 (UUDS 1950).

Pada periode ini bentuk peraturan perundangundangan yang berlaku

adalah :

a. UU,

b. UU darurat,

c. PP, dan
d. Peraturan
pelaksana lainnya
seperti Kep.Pres,
Permen, dan

Kepmen.

e. Peraturan Daerah.

4. Periode 5 Juli 1959 sampai 5 Juli 1966 (UUD 1945 ORLA).

Kurun waktu ini kembali berlaku UUD 1945 sehingga bentuk peraturan

perundang-undangan yang berlaku adalah :

a. UUD,

b. UU,

c. Perpu, dan

d. PP

Namun berdasarkan Surat Presiden Nomor 2262/HK/1959 tentang bentuk

peraturan-peraturan negara, maka dikenal bentuk- bentuk :

a. Penetapan Presiden,

b. Peraturan Presiden,

c. Peraturan Pemerintah,

d. Keputusan Presiden,

e. Peraturan Menteri, dan

f. Keputusan Menteri.

5. Periode 1966 sampai dengan Tahun 2000

Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangannya diatur dalam Ketetapan

MPRS Nomor XX Tahun 1966 tentang Memorandum DPRGR yang di

dalamnya memuat bentuk-bentuk peraturan perundang – undangan, terdiri

dari :

a. UUD 1945,

b. TAP MPR
c. Undang-undang/Perpu

d. PP

e. Keputusan Presiden, dan

f. Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya, antara lain Permen,

Inmen,dll.

6. Periode Tahun 2000 sampai 2004

Bentuk-bentuk peraturan perundanng-undangan yang berlaku diatur dalam

Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Republik Indonesia,

c. Undang-Undang,

d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

e. Peraturan Pemerintah,

f. Keputusan Presiden, dan

g. Peraturan Daerah.

Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD

sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekwensi

teori penjenjangan norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak

boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.

Atau jika mengikuti pembagian konstitusi dari K.C. Wheare UUD ini

ditempatkan pada UUD Derajat tinggi.

Dalam buku ini hanya akan diuraikan bentuk peraturan perundang-

undangan yang berlaku sekarang sebagai mana diatur dalam UU No. 10 tahun

2004. Bentuk-bentuk itu terdiri dari :


1. Undang-Undang Dasar

2. Undang-Undang

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah
BAB VI

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kerangka Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU No. 10

Tahun 2004 terdiri atas:

A. Judul;

B. Pembukaan; C.

Batang Tubuh D.

Penutup;

E. Penjelasan (jika diperlukan);

F. Lampiran (jika diperlukan)

A. JUDUL

Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis,

nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan

Perundang-undangan. Nama Peraturan Perundangundangan dibuat secara

singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan. Judul

ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan ditengah marjin

tanpa diakhiri tanda baca.

Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN

2002

TENTANG

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahan frase

perubahan atas depan nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah.

Contoh:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN

2002

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002

TENTANG

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Jika Peraturan Perundang-undangan telah di ubah lebih dari 1 (satu) kali,

diantara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang

menunjukan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci

perubahan sebelumnya.

Contoh:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR....TAHUN.....

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR.....TAHUN.....TENTANG

Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama

singkat, Peraturan Perundang undangan perubahan dapat menggunakan

nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.

Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR....TAHUN....
TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN

NILAI 1984

Pada judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan kata

pencabutan di depan nama Peraturan Perundang-undangan yang di cabut.

Contoh:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN

1985

TENTANG

PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970

TENTANG

PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN

PELABUHAN BEBAS SABANG

Pada judul Peraturan Pemerintahan Peganti UndangUndang (Perpu) yang

ditetapkan menjadi UndangUndang, ditambahkan kata penetapan di depan

nama Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan

Frase menjadi Undang-Undang.

Contoh:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN

2003

TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002


TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

MENJADI UNDANG-UNDANG

Pada judul Peraturan Perundang-undangan pegesahan perjanjian atau

persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan didepan nama

perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan. Jika dalam

perjanjian atau persetujuan internasional Bahasa Indonesia digunakan

sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa

indonesia, yang diikuti oleh teks resmi bahasa asing yang di tulis dengan

huruf cetak miring dan diletakan diantara tanda baca kurung.

urung.

Contoh:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN

1999

TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA

DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK

DALAM MASALAH PIDANA


(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND

AUSTRALIA ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL

MATTERS)

Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, Bahasa Indonesia

tidak digunakan sebagi teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis

dalam Bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh

terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diletakan diantara tanda baca

kurung.

Contoh:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN

1997

TENTANG

PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST

ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC

SUBTANCES 1998

(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG

PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN

PSIKOTROPIKA,1998)

B. PEMBUKAAN

Pembukaan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

1. Frase Dengan Rahmat TuhanYang Maha Esa;

2. Jabatan Pembentukan Peraturan Perundangundangan;

3. Konsiderans;
4. Dasar Hukumnya; dan

5. Diktum

B.1.Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Pada Pembukaan tiap jenis Peraturan Perundangundangan sebelum

nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya

dengan huruf kapital yang diletakan di tengah marjin.

B.2.Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan

Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya

dengan huruf kapital yang diletakkan ditengah marjin dan diakhiri dengan

tanda baca koma.

B.3. Konsiderans

Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. Konsiderans memuat

uraian singkat mengenai pokokpokok pikiran yang menjadi latar belakang dan

alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Pokokpokok pikiran pada

konsiderans Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis,

yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. Pokok-

pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa peraturan Perundang-undangan

dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan

tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peratuarn perundang-undangan

tersebut.

Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok

pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan

pengertian. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan


dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan

diakhiri dengan dengan tanda baca titik koma.

Contoh:

Menimbang :

a. Bahwa...;

b. Bahwa...;

c. Bahwa...; Jika konsiderans memuat lebih dari satu

pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi

sebagai berikut :

Contoh:

Menimbang :

a. bahwa ...;

b. bahwa...;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaiman dimaksud dalam

huruf a dan huruf b perlu membentuk Undang-Undang

(Peraturan Daerah) tentang...;

Contoh untuk Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang atau

peraturan daerah:

Menimbang :

a. bahwa...;

b. bahwa...;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksudkan

dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan

Pemerintah (Peraturan Presiden);


Konsiderans peraturan pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu

pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan

ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang yang memerintahan

pembuatan Peraturan Pemerintah tersebut. Konsiderans Peraturan Pemerintah

Cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menujuk pasalpasal dari

Undang-Undang yang memerintahkan pembuatannya.

Contoh :

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara

Perlindungan Terhadap Korban dan saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang Berat;

B.4. Dasar Hukum

Dasar Hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar Hukum memuat

dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan

Perundangundangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-

undangan tersebut. Peraturan Perundangundangan yang digunakan sebagai

dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama

atau lebih tinggi.

Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan

Perundang-undangan yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang-undangan

yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku; tidak dicantumkan

sebagai dasar hukum. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang

dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu

memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika


tingkatannya sama di susun secara kronologis berdasarkan saat

pengundangan atau penetapannya.

Dasar hukum yang diambil dari pasal-pasal dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan

pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 di tulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan

kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.

Contoh:

Mengingat :

Pasal 5 ayat(1) dan pasal 20 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup

mencantumkan nama Judul Peraturan Perundang-undangan. Penulisan

UndangUndang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Undang-Undang

Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan

Pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia yang diletakan diantara tanda baca kurung.

Contoh:

Mengingat :

1. ...;

2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 4316);

Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan jaman

Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda

sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya

dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan

dilengkapi dengan tahun dan nomor staatsblad yang di cetak miring diantara

tanda baca kurung.

Contoh :

Mengingat :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van

Koophandel, Staatsblad 1847:23);

2. ...;

Cara penulisan sebagaimana dimaksud di atas berlaku juga untuk

pencabutan peraturan perundangundangan yang berasal dari jaman Hindia

Belanda atau dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan

tanggal 27 Desember 1949. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu

Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab

1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.

Contoh :

Mengingat :

1. ...;

2. ...;

3. ...;
B.5.Diktum

Diktum terdiri atas :

a. Kata Memutuskan;

b. Kata Menetapkan;

c. Nama Peraturan Perundang-undangan;

Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi

diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakan di

tengah marjin.

Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang

diletakan di tengah marjin.

Contoh Undang-Undang:

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frase

dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

DAERAH....(nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA...(nama

daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah

marjin.

Contoh Peraturan Daerah :

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYATDAERAH...(namadaerah)

dan GUBERNUR...(nama

daerah) MEMUTUSKAN :

Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang

disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal

kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca

titik dua.

Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-Undangan di

cantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan didahului dengan Pencantuman

jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta

ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.

Contoh :

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG

PERIMBANGAN

KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

Pembukaan Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat yang

tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, seperti Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat

yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan

Undang-Undang.
C. BATANG TUBUH
Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua subtansi

Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal. Pada

umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokan ke dalam:

1. Ketentuan umum;

2. Materi Pokok yang Diatur;

3. Ketentuan Pidana(jika diperlukan);

4. Ketentuan Peralihan(jika diperlukan);

5. Ketentuan Penutup;

Dalam pengelompokan subtansi sedapat mungkin dihindari adanya bab

ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk

masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula di muat dalam bab tersendiri

dalam judul yang sesuai denagn materi yang diatur. Substansi yang berupa

sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut,

dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan

sanksi administratif atau sanksi keperdataan. Jika norma yang memberikan

sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi

administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari

bagian (pasal) tersebut.Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi

yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif

dalam satu bab.

Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin,

pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau

daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antar lain, ganti

kerugian.
Pengelompokan materi Peraturan Perundangundangan dapat disusun

secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. Jika Peraturan

Perundangundangan mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas

dan mempunyai banyak pasal, pasal-pasal tersebut dapat dikelompokan

menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi ), bab, bagian, dan paragraf.

C.1. Ketentuan Umum

Ketentuan umum diletakan dalam bab kesatu. Jika dalam peraturan

Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum

diletakan dalam pasal-pasal awal. Ketentuan umum dapat membuat lebih dari

satu pasal. Ketentuan umum berisi:

a. batasan pengertian atau definisi;

b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;

c. hal-hal lain yang bersipat umum yang berlaku bagi pasal-pasal

berikutnya antaralain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud,

tujuan.

C.2. Materi pokok yang diatur

Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan

umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, ,materi pokok yang diatur

ditempatkan setelah pasal ketentuan umum. pembagian meteri pokok kedalam

kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar

pembagian.

Contoh :

a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,

seperti pembagian dalam kitab Undang-undang hukum pidana:


1. kejahatan terhadap keamanan negara;

2. kejahatan terhadap martabat presiden;

3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;

4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;

5. kejahatan terhadap keamanannegara;

b. pembagian berdasarkan urutan / kronologis, seperti pembagian

dalam hukum acara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.

c. Pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa

Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung muda.

C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)

Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan

pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau

perintah. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas

umum ketentuan pidana yang terdapat dalam buku kesatu kitab undang-

undang Hukum pidana, karena ketentuan dalam buku kesatu berlaku juga bagi

perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain,

kecuali jika oleh undangundang ditentukan lain (pasal 103 kitab undang-

undang hukum pidana).

kum pidana). Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya

denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak

pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. Ketentuan pidana

ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya

sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika

bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan
penutup. jika didalam peraturan perundang-undangan tidak diadakan

pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang

terletak langsung sebelum pasal-pasal yang berisi ketentuan peralihan. Jika

tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakan

sebelum pasal penutup. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam undang-undang

dan peraturan daerah.

Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma

larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal-pasal yang

memuat norma tersebut. Dengan demikian perlu dihindari :

1. pengacuan kepada ketentuan pidana peraturan perundang-undangan

lain.

2. pengacuan kepada kitab Undang-undang Hukum Pidana, jika elemen

atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau

3. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam

norma-norma yang diatur dalam pasal-pasal sebelumnya, kecuali untuk

undang-undang tindak pidana khusus

C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)

Ketentuan peralihan memuat, penyesuaian terhadap peraturan

perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan

baru mulai berllaku, agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat

berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. Ketentuan

peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan diantara bab

ketentuan penutup.

Pada saat suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan mulai

berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi
baik sebelum, pada saat, maupun sesudah peraturan perundang-

undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada kemampuan

peraturan perundang-undangan baru. Dalam peraturan perundang-undangan

yang baru, dapat dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara

atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum

tertentu. Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yang

diberlakukan. Jika suatu peraturan perundang-undangan diberlakukan surut,

peraturan perundang-undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan

mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang

ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku pengundangannya.

Mengingat berlakunya asas-asas umum hukum pidana, penentuan daya

laku surut hendaknya tidak diberlaku surutkan bagi ketentuan yang

menyangkut pidana atau pemidanaan. Penentuan daya laku surut sebaiknya

tidak diadakan bagi peraturan perundangundangan yang memuat ketentuan

yang memberi beban konkret kepada mayarakat

Jika penerapan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan

dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum

tertentu, ketentuan Peraturan perundang-undangan tersebut harus memuat

secara tegas dan rinci tindakanhukum dan hubungan hukum mana yang

dimaksud, serta jangka waktu atau syarat-syarat berakhirnya penundaan

sementara tersebut.

Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat

perubahan terselubung atas ketentuan peraturan perundang-undangan lain.

Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru


dalam ketentuan umum peraturan perundang-undangan atau dilakukan

dengan membuat peraturan undang-undang tambahan.

C.5. Ketentuan Penutup

Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan


pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal- pasal terakhir.
Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:
a. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan peraturan
perundang-undangan
b. Nama singkat
c. Status peraturan perundang-undanganyang sudah ada d. Saat mulai berlaku
peraturan perundangundangan.
ketentuan penutup dapat memuat ketentuan mengenai:
a. menjalankan (eksekutif, misalnya penunjukan pejabat tertentu yang diberi
kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai, dan lain;lain
b. mengatur (legislatif ), misalnya memberikan kewenangan untuk membuat
peraturan pelaksanaan.
Bagi nama peraturan perundang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan
mengenai nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan hal- hal sebagai
berikut :
a. Nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;
b. Nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali
jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dike enal dan tidak menimbulkan salah
pengertian.
D. PENUTUP

Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan dan memuat:

a. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan perturan Perundang-


undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
b. Penandatangan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang- undangan;
c. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan; dan d. akhir bagian penutup.
Rumusan perintah Perundang-undangan dan penetapan Peraturan perundang-
undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai
berikut:
Contoh:

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan... (jenis Peraturan


Perundangang-undangan ) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang- undangan
dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh :

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan ...(jenis Peraturan


Pengundang-undangan ) ... Ini
dengan penmpatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Perturan Perundang-undangan
dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh :
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penundangan... (jenis Peraturan
Perundang-undangan)... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (berita
Daerah)

Penandatanganan pengesahan atau penetapan Perturan Perundangan- undangan


memuat:
a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakan di sebelah kanan
b. nama jabatan;
c. tanda tangan pejabat; dan
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.
Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakan disebelah kanan.
Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama
jabatan diberi tanda koma.
E. PENJELASAN
Setiap Undang-Undang perlu diberi penjelasan. Peraturan Perundang-

undangan dibawah Undang- 157 Undang dapat diberi penjelasan, jika

diperlukan. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan

Perundang- uandangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu,

penjelasan hanya memuat ueraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang di

atur dalam batang tubuh . Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk

memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya

ketidak jelasan dari norma yang di jelaskan.

Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat

peraturan lebih lanjut . Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di

dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan harus di hindari rumusan yang isinya

memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-

undangan. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan

penyusunnan rancangan Peraturan Perundangaundangan yang

bersangkutan.

Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan

yang bersangkutan.
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ...TAHUN ....

TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK


Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjalasan umum dan
penjelasan pasal demi pasal. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi
pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
I. UMUM
II. PASAL DEMI PASAL
Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang
pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Perauran Perundang- undangan yang
telah tercantum secara singkat dalam butir konsinderans, serta asas, tujuan, atau
pokok-pokok yang terkandung dalam batang tubuh Perundang-undangan. Bagian-
bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka arab, jika hal ini
lebih memberikan kejelasan.
Contoh :
I. UMUM
1. Dasar pemikiran ...
2. Pembagian wilayah ...
3. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan ...
4. Daerah Otonom ...
5. Wilayah Administratif ...
6. Pengawasan
Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke peraturan perundang-undangan
lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai
sumbernya. Dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal harus diperhatikan agar
rumusannya :
a. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b. Tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam tubuh;
c. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dala batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat didalam
ketentuan umum.

Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata
atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan karena itu batasan pengertian atau
definisi harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti tanpa
memerlukan penjelasan lebih lanjut. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan
penjelasan ditulis frase cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik, sesuai
dengan makna frase penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkanwalaupun
terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan.
F. LAMPIRAN ( JIKA DIPERLUKAN )
Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal
tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran
tersebut merupakan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan
Perundangundangan yang bersangkutan. Pada akhir lampiran harus dicantumkan
nama dan tanda tanga pejabat yang mengesahkan/menetapkan Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai