Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

“ASKEP SECARA AGREGAT DI KOMUNITAS RENTAN POPULASI”

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Komunitas II

(Dosen Mata Kuliah : Ns. Muh. Syahrul Alam, S.Kep., M.Kes)

DI SUSUN OLEH :

NAMA : SURIANTI

NIM : 1199491703

SEMESTER : VI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2020/2021


DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………………………………..........i
Daftar isi…………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang…………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..2
C. Tujuan………………………………………………………………........2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Teori…………………………………………………………….3
B. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan……………………..5
C. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental…………....8
D. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan……………………….....10
E. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar…………………………….13
F. Untuk mengetahui bagaiamana asuhan keperawatan untuk agregat dalam
komunitas populasi rentan…………………………………………….14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………..........15
B. Saran…………………………………………………………………....15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang
mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau
sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004).
Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi
atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok
sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk
menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang
belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan
kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat
kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan
tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan
mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi
orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum
terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan
diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak
bagi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agregat populasi rentan?
2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?
3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?
4. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ?
5. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi
rentan ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan
2. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental
3. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan
4. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar
5. Untuk mengetahui bagaiamana asuhan keperawatan untuk agregat dalam
komunitas populasi rentan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI

1. Populasi Rentan

Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam


peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang
yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam
penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia,
anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan
menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke
dalam Kelompok Rentan adalah:

a. Refugees (pengungsi)
b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c. National Minoritie (kelompok minoritas)
d. Migrant Workers (pekerja migran )
e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
f. Children (anak)
g. Women (wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan
atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi
pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental,
Penyandang cacat fisik dan mental.
2. Penyandang Cacat / Disabilitas

a. Pengertian Penyandang Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan


dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan
disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata
serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti
cacat atau ketidakmampuan.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun


2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas
fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik
dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang
yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan
dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda
inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-
haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang
berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup
orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan
sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami
gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1
(pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat
fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun


2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas
fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik
dan mental.

Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup


dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang
pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan
pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia
yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki
defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat
fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang
dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi
kognitifnya mengalami gangguan.

b. Jenis-jenis Disabilitas

Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan


khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas
memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan
bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis
penyandang disabilitas 5 :

1. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:


a) Mental Tinggi.
Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana
selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia
juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.
b) Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ
(Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi
2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu
anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90.
Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di
bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
c) Berkesulitan Belajar Spesifik
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar
(achievment) yang diperoleh
2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu7:
a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur
tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan
(kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua
golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.
c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena
memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa
disebut tunawicara.
d. Kelainan Bicara (Tunawicara)
Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit
bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara
ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat
bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya
ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan
pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara.
3. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu
kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental)
3. Tunawisma/ Gelandangan

a. Definisi
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak
memiliki tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja
dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam
golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga.
Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan
masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak
memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial,
tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka
menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem
pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma
adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam
rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun
penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan
akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.
b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma
1) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan
banyaknya gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan
dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak
memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis
sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis
kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik
dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma
untuk tetap bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin
menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan
karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali
kurang terlindung.
2) Rendah tingginya pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap
kesejahteraan seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap
persaingan didunia kerja. Seseorang dengan pendidikan rendah
akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak.
Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi
semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan
gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi
kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3) Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang
dan perlindungan yang lebih daripada lingkungan lain. Namun,
hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga
broken home membuat mereka merasa kurang
perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka
cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari
orang lain.
4) Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang
menurun, membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan.
Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya.
Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk
bertahan hidup.
5) Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit
mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat
fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan hidup.
Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012 )) kondisi
kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya
seperti kesehatan.
6) Rendahnya ketrampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan
ketrampilan seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun,
ketrampilan perlu digali salah satunya melalui pendidikan serta
membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah
yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan
ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat
seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada
umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan
yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7) Masalah sosial budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan
seseorang menjadi gelandangan dan pengemis. Antara lain:
a. Rendahnya harga diri.
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang,
mengakibatkan mereka tidak memiliki rasa malu untk
meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah sesuatu
yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya tunawisma yang berusia produktif.
b. Sikap pasrah pada nasib.
Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka
sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga
tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.
8) Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika
bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja
sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang
untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan
mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama,
terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk
emmenuhi kebutuhan hidup.
9) Letak Geografis

Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi


alamnya membuat masyarakat yang tinggal di daerah tersebut
mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat harus
meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain.
Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih
memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam sedia
untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam
garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan. Oleh
karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan
hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta

10) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis


Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang
dilakukan oleh pemerintah hanya setengah hati. Selama ini
penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi
dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat
asalnya. Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak
menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka
akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada
proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia
mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang
sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial
sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan
terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga
ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang
membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni
menjadi gelandangan dan pengemis.
ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
 Pendekatan konsep keperawatan
 Pertimbangan sosial dan ekonomi
 Pemeriksaan fisik
 Aspek biologis
 Aspek psikologis
 Aspek pola hidup
 Aspek lingkungan
II. PERENCANAAN
 Pelaksanaan peran perawat
 Client empowerment and health education
 Menerapkan tingkat-tingkat pencegahan
 Promosi perubahan pola hidup
III. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Masalah Keperawatan
 Untuk individu
 Untuk keluarga
IV. RENCANA KEPERAWATAN
 Berfokus pada pencapaian tujuan
 Di lakukan untuk membuat intervensi menjadi lebih efektif
V. EVALUASI
 Di lakukan jika suatu tindakan kegiatan selesai di laksanakan
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang


mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau
sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004).
Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi
atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-
kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan
untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa
Indonesia memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur
tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasiny sangat beragam.
Sebagian undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga
keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat.

Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang


belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan
dengan kebutuha bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan
masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini
memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-
kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi
lainnya.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat


mengaplikasikan pada kehidupan dengan tujuan untuk mencapai
kesejahteraan hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan


Praktik , Jakarta : EGC

Mary A. Nies, Melaine McEwen.Keperawatan kesehatan komunitas dan

keluarga.2019.Elsevier.Singapore

Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas;


Konsep dan Aplikasi. Jakarta

: Salemba Medika

Riyadi. Sugeng (2007), Keperawatan Kesehatan Masyarakat, retieved may


12nd.

Smeltzer, & Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal. Bedah Brunner
dan Suddarth. Jakarta

: EGC

R, Fallen. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas. (2010). Yogyakarta :


Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai