Anda di halaman 1dari 8

Pengertian dan bentuk-bentuk Amar

Menurut mayoritas ulama ushul fiqih, amar adalah : suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu
dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[1] Perintah
untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al-
Tasyri, disampaikan dalam berbagai redaksi antara lain:

a.       Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (‫ )امر‬dan yang seakar dengannya. misalnya
dalam ayat:
ْ َّ ‫إن الل‬
‫ن‬ ْ ُ ‫م لَعَلَّك‬
َ ‫م تَذ َك َّ ُرو‬ ْ ُ ‫ْي يَعِظُك‬
ِ ‫منْكَرِ وَالْبَغ‬
ُ ْ ‫حشَ اءِ وَال‬
ْ َ‫َن الْف‬ ْ
ِ ‫ان وَإِيتَا ِء ذِي الق ُْربَى وَيَنْهَى ع‬
ِ ‫س‬َ ‫ح‬ ِ ْ ‫م ُر بِالْعَد‬
ْ ‫ل وَاإل‬ ُ ‫ه يَأ‬
َ َّ ِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah larang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi
ganjaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl/16:90)

b.      Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseoarang dalam
dengan memakai kata kutiba (‫كتب‬/diwajibkan). Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat 178:
َ
ُ َ‫ي ل‬
‫ه‬ َ ِ‫ن عُف‬ َ َ‫ح ِّر وَالْعَبْد ُ بِالْعَبْدِ وَاألنْث َى بِاألنْث َى ف‬
ْ ‫م‬ ُ ْ ‫ح ُّر بِال‬
ُ ْ ‫ص فِي الْقَتْلَى ال‬ ُ ‫صا‬ َ ِ‫م الْق‬
ُ ُ ‫ِب عَلَيْك‬ َ ‫منُوا كُت‬ َ ِ‫يَا أيُّهَا الَّذ‬
َ ‫ين آ‬
َ َ ‫م‬
 ‫ك‬َ ِ ‫ن اعْتَدَى بَعْد َ ذَل‬ َ َ‫ة ف‬
ِ ‫م‬ ٌ ‫م‬َ ‫ح‬ ْ ُ ‫ن َربِّك‬
ْ ‫م وَ َر‬ ْ ‫م‬ِ ‫ف‬ ٌ ‫خفِي‬ ْ َ‫ك ت‬ َ ِ ‫ان ذَل‬ٍ ‫س‬َ ‫ح‬ ْ ِ ‫وف وَأدَاءٌ إِلَيْهِ بِإ‬
ِ ‫معْ ُر‬ َ ْ ‫يءٌ فَاتِّبَاعٌ بِال‬ْ َ‫ن أخِيهِ ش‬ ْ ِ
َ
 ‫م‬
ٌ ‫َاب أل ِي‬ ُ َ ‫فَل‬
ٌ ‫ه عَذ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan
wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya
siksa yang sangat pedih”. (QS. al-Baqarah/2:178)

c.       Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah
perintah. Misalnya, ayat 228 surat al-Baqarah:
َ َ ‫ل لَه‬ َ
‫ن‬ َّ ُ ‫ن ك‬
ِ ْ‫ن يُؤ‬
َّ ‫م‬ ْ ِ‫ن إ‬َّ ِ‫مه‬ِ ‫حا‬
َ ‫ه ِفي أ ْر‬ ُ َّ ‫ما خَلَقَ الل‬ َ ‫ن‬ َ ‫م‬ْ ُ ‫ن يَكْت‬
ْ ‫نأ‬ َّ ُ ُّ ‫ح‬ ِ َ ‫ة قُ ُروءٍ وَال ي‬ َ َ ‫ن ث َالث‬َّ ِ‫سه‬
ِ ُ‫ن بِأنْف‬
َ ‫ص‬ ُ ‫مطَلَّق‬
ْ َّ ‫َات يَت َ َرب‬ ُ ْ ‫وَال‬
َ ‫كإ‬ َ ‫باللَّه والْيوم اآلخِر وبعولَته‬
 ‫وف‬
ِ ‫معْ ُر‬ َ ْ ‫ن بِال‬
َّ ِ‫ل الَّذِي عَلَيْه‬ُ ْ ‫مث‬
ِ ‫ن‬ َّ ُ‫حا وَلَه‬
ً ‫صال‬ْ ِ ‫ن أ َرادُوا إ‬ ْ ِ َ ِ ‫ن فِي ذَل‬ َّ ِ‫حقُّ ب ِ َردِّه‬ َ ‫نأ‬ َّ ُ ُ ُ ُ َ ِ ِ ْ َ َ ِ ِ
 ‫م‬
ٌ ‫حكِي‬ ُ َّ ‫ة وَالل‬
َ ‫ه عَزِي ٌز‬ ٌ ‫ج‬ َّ ِ‫ال عَلَيْه‬
َ ‫ن د َ َر‬ ِ ‫ج‬َ ‫ِلر‬
ِّ ‫وَل‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah/2:228)

d.      Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya, ayat 238 surat al-
Baqarah:
َ ‫موا ل ِلَّهِ قَان ِت‬
‫ِين‬ ُ ‫سطَى وَقُو‬
ْ ُ‫صالةِ الْو‬ ِ َ‫صلَو‬
َّ ‫ات وَال‬ َّ ‫حافِظُوا عَلَى ال‬
َ
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu)
dengan khusyuk.  (QS. al-Baqarah/2:238).

e.       Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Misalnya, ayat 245
surat al-Baqarah:
َ َ ‫عفَه ل‬
‫ن‬ َ ‫ط وَإِلَيْهِ ت ُ ْر‬
َ ‫جعُو‬ ُ ‫س‬
ُ ْ ‫ض وَيَب‬ ُ َّ ‫ِيرةً وَالل‬
ُ ِ ‫ه يَقْب‬ َ ‫ضعَافًا كَث‬
ْ ‫هأ‬ُ ُ ِ ‫ضا‬ َ ُ ‫سنًا فَي‬
َ ‫ح‬
َ ‫ضا‬ َ َّ ‫ض الل‬
ً ‫ه قَ ْر‬ ُ ِ‫ن ذ َا الَّذِي يُقْر‬
ْ ‫م‬
َ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan. (QS. al-Baqarah/2:245)

1)      Hukum-Hukum Yang Mungkin Ditunjukkan Oleh Bentuk Amar

Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar Ushul Fiqih
Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu antara lain:

Menunjukkan hukum wajib seperti perintah shalat.

a)      Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan seperti ayat 51 surat al-Mukminun:
َ
‫م‬ َ ‫ملُو‬
ٌ ‫ن عَل ِي‬ َ ْ‫ما تَع‬
َ ِ ‫حا إِنِّي ب‬ َ ‫ملُوا‬
ً ِ ‫ص ال‬ ِ َ ‫ن الطَّيِّب‬
َ ْ‫ات وَاع‬ ِ ‫ل كُلُوا‬
َ ‫م‬ ُ ‫س‬
ُ ‫الر‬
ُّ ‫يَا أيُّهَا‬
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (QS. al-Mukminun/23:51)

b)      Untuk melemahkan, misalnya ayat 23 Surat al-Baqarah:


ْ
‫ن‬ْ ِ ‫ون اللَّهِ إ‬
ِ ُ‫ن د‬ ْ ‫م‬ ْ ُ ‫هَدَاءَك‬ddd‫ش‬
ِ ‫م‬ ُ ‫وا‬dddُ‫هِ وَادْع‬dddِ ‫مثْل‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫م‬
ِ ٍ‫ورة‬ ُ ِ ‫أتُوا ب‬dddَ‫دِنَا ف‬dddْ ‫ا عَلَى عَب‬dddَ ‫ما ن َ َّزلْن‬
َ ddd‫س‬ َّ ‫م‬
ِ ‫ب‬ ْ ُ ‫ن كُنْت‬
ٍ ْ ‫م ِفي َري‬ ْ ِ ‫وَإ‬
‫ين‬
َ ِ‫صادِق‬ َ  ‫م‬ ُ
ْ ُ ‫كنْت‬
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. al-Baqarah/2:23)

c)      Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya firman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa
di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat al-Dukhan ayat 49:
َ َ ‫ذُقْ إن‬
ُ ‫ت الْعَزِي ُز الْكَرِي‬
‫م‬ َ ْ ‫ك أن‬ َّ ِ
Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.  (QS.al-Dukhan/44:49)

2)      Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Amar

Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka seperti
dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.

Kaidah pertama meskipun dalam suatu perintah bisa menunjukan bebagai pengertian, namun pada
dasarnya suatuperintah menunjukan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang
memalingkannya dari hukum tersebut. Kesimpulan ini, di samping didasarkan atas kesepakatan ahli
bahasa, juga atas ayat 62 surat an-Nur yang mengancam dan menyiksa orang-orang yang menyalahi
perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukan bahwa suatu perintah wajib dilaksanakan.

Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat
an-Nisa:

... Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat...(QS.an-Nisa/3:77)

Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan solat lima waktu dan menunaikan zakat.

Kaidah kedua adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?,
menrt para ulama Ushul Fiqih, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan berulang-kali dilakukan
kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan
yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meski pun hanya dilakukan satu kali. Contohnya
ayat 196 surat al-Baqarah:

‫م َرةَ ل ِلَّه‬ َ
ْ ُ‫ج وَالْع‬ َ ْ ‫موا ال‬
َّ ‫ح‬ ُّ ِ ‫وَأت‬...
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah.  (QS. al-Baqarah/2:196)

Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah terpenuhi dengan melakukan satu kali haji selama
hidup. Adanya kemestian pengulangan, bukan ditunjukan oleh perintah itusendiri tetapi oleh dalil lain.
Misalnya ayat 78 surat al-Isra.

Kaidah ketiga adalah suatu perintah haruskah dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda?
Misalnya pada dalil: yang artinya

....Maka berlomba-lombahlah dalam membuat kebaikan...

Menurut  sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi. Seperti di nukil Muhammad Adib Shalih,
bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini barang siapa
yang tidak segera melakukan di awal waktunya maka ia berdosa.

2.      Pengertian dan Bentuk-bentuk Nahi

Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai:

Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang
lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudri Bik. Allah juga memakai
berbagai ragam bahasa. Diantaranya adalah:

a)      Larangan secara tegas dengan memakai kata naha(‫ )نهي‬atau yang seakar dengannya yang secara
bahasa berarti melarang. Misalnya surat an-Nahl ayat 90:
ْ َّ ‫إن الل‬
‫ن‬ ْ ُ ‫م لَعَلَّك‬
َ ‫م تَذ َك َّ ُرو‬ ْ ُ ‫ْي يَعِظُك‬
ِ ‫منْكَرِ وَالْبَغ‬
ُ ْ ‫حشَ اءِ وَال‬
ْ َ‫َن الْف‬ ْ
ِ ‫ان وَإِيتَاءِ ذِي الق ُْربَى وَيَنْهَى ع‬
ِ ‫س‬َ ‫ح‬ ِ ْ ‫م ُر بِالْعَد‬
ْ ‫ل وَاإل‬ ُ ‫ه يَأ‬
َ َّ ِ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS an-Nahl/16:90).
Nabi Saw bersabda:

Artinya: Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. ia berkata:”Saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda
“barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika
dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Namun, yang
demikian (merubah kemungkaran dengan hati) yaitu adalah selemah-lemahnya iman.”(H.R. Muslim).[2]

b)      Larangan dengan menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan itu diharamkan(‫)حرم‬. Misalnya, ayat
33  surat al-A’raf:
َ
ِ‫ن تُشْ رِكُوا بِاللَّه‬ْ ‫حقِّ وَأ‬َ ْ ‫ْي بِغَيْرِ ال‬
َ ‫م وَالْبَغ‬ َ َ ‫ما بَط‬
َ ْ ‫ن وَاإلث‬ َ َ‫منْهَا و‬ ِ ‫ما ظَهَ َر‬
َ ‫ش‬ ِ ‫ي الْفَوَا‬
َ ‫ح‬ َ ِّ ‫م َرب‬
َ ‫ح َّر‬
َ ‫ما‬ ْ ُ‫ق‬
َ َّ ‫ل إِن‬
َ
‫ن‬
َ ‫مو‬ ُ َ ‫ما ال تَعْل‬
َ ِ‫ن تَقُولُوا عَلَى اللَّه‬ ْ ‫سلْطَانًا وَأ‬ ُ ِ‫ل بِه‬ ْ ‫م يُن َ ِّز‬ْ َ ‫ما ل‬
َ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-A’raf/7:33).

Dan masih banyak contoh-contoh larangan yang lainnya.

3.      Beberapa Kemungkinan Hukum Yang Ditunjukkan Bentuk Nahi

Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya mungkin menunjukkan
berbagai pengertian, antara lain:

a.       Untuk menunjukkan hukum haram misalnya ayat 221 surat al-Baqarah:


َ
َ ِ ‫مشْ رِك‬
‫ين‬ ُ ْ ‫حوا ال‬
ُ ِ ‫م وَال تُنْك‬ َ ْ‫مشْ رِكَةٍ وَلَوْ أع‬
ْ ُ ‫جبَتْك‬ ُ ‫ن‬ ْ ‫م‬ِ ‫ة خَي ْ ٌر‬ ِ ْ‫مؤ‬
ٌ َ ‫من‬ ُ ‫ة‬ٌ ‫م‬
َ ‫ن وَأل‬
َّ ‫م‬ِ ْ‫حتَّى يُؤ‬ َ ‫ات‬ِ َ ‫مشْ رِك‬ ُ ْ ‫حوا ال‬ُ ِ ‫وَال تَنْك‬

َ ْ ‫ه يَدْعُو إِلَى ال‬


 ِ‫جنَّة‬ ُ َّ ‫ن إِلَى النَّارِ وَالل‬ َ ‫ك يَدْعُو‬َ ِ ‫م أُولَئ‬ َ
َ ْ‫ك وَلَوْ أع‬
ْ ُ ‫جبَك‬ ٍ ِ‫مشْ ر‬ُ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ِ ‫ن خَي ْ ٌر‬ ُ ٌ ‫منُوا وَلَعَبْد‬
ِ ْ ‫مؤ‬
ٌ ‫م‬ ِ ْ‫حتَّى يُؤ‬ َ
‫ن‬ ْ ُ‫اس لَعَلَّه‬
َ ‫م يَتَذ َك َّ ُرو‬ َ ْ ‫وَال‬
ُ ِّ ‫مغْفِ َرةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَي‬
ِ َّ ‫ن آيَاتِهِ ل ِلن‬
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran. (QS. al-Baqarah/2:221)

b.      Sebagai anjuran untuk meninggalkan, misalnya ayat 101 surat al-Maidah:

‫ل الْق ُْر‬ َ ‫يا أَيها الَّذين آمنوا ال تسأَلُوا عَن أَشْ يا َء إن تبد لَكُم تسؤْكُم وإن ت‬
َ ‫سألُوا عَنْهَا ح‬
ُ ‫ِين يُن َ َّز‬ ْ َ ْ َِ ْ ُ َ ْ َ ُْ ْ ِ َ ْ ْ َ ُ َ َ ِ َ ُّ َ
‫م‬
ٌ ‫حل ِي‬ ٌ ‫ه غَف‬
َ ‫ُور‬ ُ َّ ‫ه عَنْهَا وَالل‬
ُ َّ ‫م عَفَا الل‬
ْ ُ ‫ن تُبْد َ لَك‬
ُ ‫آ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu
sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(QS. al-Maidah/5:101)
c.       Penghinaan, contohnya ayat 7 surat al-Tahrin.

d.      Untuk menyatakan permohonan, misalnya ayat 286 surat al-Baqarah.

B.     ’Am dan Khas

1.      Pengertian ‘Am

‘Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum.[3] ‘Am ialah suatu perkataan yang memberi
pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu hingga tidak
terbatas, misalnya: Al-Insan yang bearti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi,
semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini sekali mengucapkkan lafal al-insan bearti meliputi
jenis manusia seluruhnya. 

a.       Jenis-Jenis ‘Am

Lafal ‘am dapat dibagi menjadi tiga macam:

1.      Lafal umum yang tidak mungkin ditaksiskan, seperti dalam firman Allah:

Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekynya.”(Q.S. Hud:6)

2.      Lafal umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam
firman Allah:

Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah” (Q.S. Ali Imran:97)

3.      Lafal umum yang khusus seperti lafal umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukkan ditaksis
seperti dalam firman Allah:

Artinya: ”Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan (menunggu) tiga kali quru’.”(Q.S. Al-
Baqarah:228)

2.      Pengertian Khas

Lafal khas yaitu perkataan atau susunan yang mengandung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas
adalah kebalikan dari ‘am.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan khas ialah lafal yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi
juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak mencangkup semua, namun
hanya berlaku untuk sebagian tertentu.

Dalam pembahasan ini, ada beberapa iastilah yang erat hubungannya dengan khas, antara lain takhsis
dan mukhassis.

Takhsis ialah mengeluarkan sebagaian lafal yang berada lingkungan umum menurut batasan yang tidak
ditentukan. Sedangkan mukhassis ialah suatau dalil (alasan) yang menjadi dasar adanya pengeluaran
lafal tersebut.

C.    Mutlaq dan Muqayyad


Secara bahasa mutlaq berarti bebas dari ikatan, dan muqayyad berarti terikat.[4] Kata mutlaq menurut
istilah seperti dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf, ahli Ushul Fiqih berkebangsaan Mesir, dalam
bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqih, adalah: lafal yang menunjukkan suatu kesatuan tanpa dibatasi secara
harfiahdengan suatu ketentuan.

Seperti misriy (seorang mesir), dan rajulun (seorang laki-laki), dan sebaliknya lafal muqayyad adalah lafal
yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafziyah dibatasi dengan suatu ketentuan,
misalnya mishriyun muslimun (sorang yang berkebangsaan Mesir yang beragama Islam), dan rajulun
rasyidun  (seorang laki-laki yang cerdas).

Lafal mutlaq misalnya terdapat pada ayat 234 surat al-Baqarah:

‫ة أَشْ هُرٍ وَعَشْ ًرا‬ َ


َ َ‫ن أ َ ْربَع‬
َّ ِ‫سه‬
ِ ُ‫ن بِأنْف‬
َ ‫ص‬
ْ َّ ‫جا يَت َ َرب‬
َ ‫والَّذين يتوفَّون منكُم ويذ َرو‬
ً ‫ن أ ْزوَا‬
َ ُ ََ ْ ْ ِ َ ْ َ َُ َ ِ َ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri
itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari...... (QS. al-Baqarah/2:234)

Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa azwajan (istri-istri) yang mati ditinggal suami, masa tunggu
mereka (iddah) selama empat bulan sepuluh hari. Kata azwajan tersebut adalah lafal mutlaq karena
tidak membedakan apakah wanita itu sudah pernah digauli suaminya atau belum.

Sedangkan contoh lafal muqayyad di antaranya terdapat pada ayat 3 dan 4 surat al-mujadilah:
َ ‫والَّذين يظَاهرون من نِسائ ِهم ثُم يعودون لِما قَالُوا فَتحرير رقَبة من قَب‬
ْ ُ ‫سا ذَل ِك‬
‫م‬ َّ ‫ما‬
َ َ ‫ن يَت‬
ْ ‫لأ‬ِ ْ ْ ِ ٍ َ َ ُ ِ ْ َ َ َ ُ ُ َ َّ ْ ِ َ ْ ِ َ ُ ِ ُ َ ِ َ
)3(.‫ير‬ َ ‫ملُو‬
ٌ ِ ‫ن خَب‬ َ ْ‫ما تَع‬ ُ َّ ‫ن بِهِ وَالل‬
َ ِ‫ه ب‬ َ ‫تُوعَظُو‬.
َ ‫فَمن لَم يجد فَصيام شَ هرين متتابعين من قَب‬
‫سكِينًا‬
ْ ‫م‬ِ ‫ين‬ َ ِّ ‫ست‬ ُ ‫ستَطِعْ فَإِطْعَا‬
ِ ‫م‬ ْ َ‫م ي‬ ْ َ‫ن ل‬ َ َ‫سا ف‬
ْ ‫م‬ َّ ‫ما‬َ َ ‫ن يَت‬ْ ‫لأ‬ ِ ْ ْ ِ ِ ْ َ ِ ََ ُ ِ ْ َ ْ ُ َ ِ ْ ِ َ ْ ْ َ
َ
 )4(‫م‬ ٌ ‫َاب أل ِي‬
ٌ ‫ين عَذ‬ َ ِ‫حدُود ُ اللَّهِ وَل ِلْكَافِر‬ُ ‫ك‬َ ْ ‫سولِهِ وَت ِل‬ ُ ‫منُوا بِاللَّهِ وَ َر‬ َ ِ ‫ذَل‬.
ِ ْ‫ك ل ِتُؤ‬
Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-
turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan
enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. al-Mujadilah/58:3-
4)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa yang menjadim kifarat zihar (menyerupakan punggung istrinya
dengan punggung ibunnya) adalah memerdekan seorang hamba sahaya, jika tidak mampu wajib
berpuasa selama syahrain mutatabi’ain (dua bulan berturu-turut. Dan jika tidak mampu juga berpuasa
maka memberi makan 60 orang miskin. Kata syahrain ( dua bulan, dalam ayat tersebut adalah lafal
muqayyad (dibatasi) dengan mutatabi’ain (berturut-turut. Dengan demikian, puasa dua bulan yang
menjadi kifarat zihar itu wajib dengan berturut-turut tanpa terputus-putus.

D.    Mantuq dan Mafhum

1.    Pengertian Mantuq dan Mafhum


Mantuq, menurut bahasa berarti yang diucapkan, sedang menurut istilah:

Artinya : “apa yang ditunjukkan oleh lafal sesuai dengan yang diucapkan.”

Misalnya firman Allah SWT.:

Artinya :”Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.”  (Q.S. Al-
Baqarah/2:275)

Adapun Mafhum, menurut bahasa berarti yang dipahami, manurut istilah:

Artinya: “Apa yang ditunjukkan oleh kata tidak sesuai dengan yang diucapkan.”

Misalnya firman Allah swt.:

Artinya:”Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu dan bapak) perkataan
“AH”.”(Q.S. AL-Isra’/17:23)

Kata “Uffin” dalam ayat tersebut berarti mengatakan “AH” atau “HUS” kepada kedua orang tua.
[5] Itulah yang disebut makna Mantuq, karena sesuai dengan bunyi ayatnya. Namun dari kata itu dapat
diperoleh makna mafhum, atau apa yang dapat dipahami dari kata itu, misalnya kita artikan dengan
perbuatan-perbuatan lainnya yang lebih menyakitkan, seperti memukul, menampar, dan lain
sebagainya.

2.    Macam-macam Mantuq dan Mafhum

a.    Mantuq dibagi dua, yaitu:

1.      Mantuq Nas, yaitu lafal atau susunan kalimat yang sudah jelas dan tidak mungkin ditakwilkan
kepada arti yang lainnya, selain arti harfiah misalnya:

(maka hendaklah berpuasa 3hari).

2.      Mantuq Zahir, yaitu lafal atau susunan kalimat yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti
lain, selain arti harfiahnya. Misalnya firman Allah:

Artinya: “Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.”(Q.S. Ar-
Rahman/55:27)

b.    Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu:

1.      Mafhum Muwafaqah. Ada pun pengertian mafhum muafaqah ialah:

Artinya:  “Sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat) ada kesamaan dengan yang diucapkan (tersurat).”

Misalnya, memukul kedua orang tua termasuk perbuatan menyakiti mereka. Membentak kedua orang
tua “AH” juga dilarang karena menyakitkan hati mereka jadi, memukul (makna tersirat) hukumnya sama
dengan “AH”.

2.      Mafhum Mukhalafah

Artinya: “Sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat), berlawanan dengan apa yang diucapkan baik dalam
menerapkan (hukum) maupun meniadakannya.”
Misalnya dalam hadis Nabi SAW disebutkan:

Artinya: “ Dalam kambing-kambing yang dikembalakan itu ada zakatnya.

Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa kambing-kambing yang tidak digembalakan atau yang diberi
makan di kandangnya tidak dikenakan wajab zakat. Mafhaum mukhalafah ini dipahami pula dalil khitab,
dan semua mafhum mukhalafah ini dapat dijadikan hujah.

Anda mungkin juga menyukai