Anda di halaman 1dari 5

HIDUP UNTUK MEMIMPIN DAN MENGGEMBALAKAN

Edy Kristanto, S.Th1

1. PEMBUKAAN
Kita sebagai warga negara Indonesia dan sebagai masyarakat yang pernah
mengenyam dunia pendidikan tentunya pernah mendengar slogan pendidikan yang
dicetuskan oleh salah seorang pejuang bangsa dan sekaligus bapak pendidikan di Indonesia.
Siapa lagi kalau bukan Ki Hadjar Dewantara dengan slogan pendidikannya yang terkenal Ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Mengapa begitu terkenal
slogan ini? Sampai-sampai dijadikan sebagai salah satu simbol pendidikan dalam corak
seragam siswa-siswa sekolah?
Hal tersebut tidak lain karena arti dari slogan ini begitu dalam maknanya. Mari kita
uraikan pengertiannya kalimat demi kalimat. Ing ngarsa sung tuladha memiliki arti di depan
menjadi contoh atau panutan atau bisa disebut sebagai teladan. Ing madya mangun karsa
memiliki arti di tengah membuat keseimbangan atau penjalaran. Tut wuri handhayani
memiliki arti di belakang membuat dorongan atau mendorong memotivasi. 2 Bukan tut wuri
hanggrogoti! Hehehe. Slogan ini menjiwai seluruh derap perjalanan hidup rakyat Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas tersirat bahwa seorang pemimpin harus bisa menjadi
teladan yang baik bagi yang dipimpinnya. Selanjutnya seorang pemimpin juga harus bisa
menciptakan keseimbangan, menjadi perantara, dan menengahi persoalan. Dan terakhir
seorang pemimpin juga dituntut bisa memberi dorongan kepada yang dipimpinnya. Dengan
demikian terjadi proses regenerasi yang berkelanjutan atau kontinuitas. Model
kepemimpinan seperti ini akan terus menciptakan pemimpin-pemimpin baru sesuai dengan
zamannya. Tidak berhenti pada satu zaman saja.
Sejalan dengan itu, bukankah model kepemimpinan Kristen juga sama seperti
pengertian di atas? di dalam model kepemimpinan Kristen seorang pemimpin harus mau
menjadi hamba. Seorang pemimpin adalah orang pertama yang melayani. Melalui pelayanan
itu, dapat memberikan dampak bagi orang-orang yang dipimpinnya. Pelayanan seorang
pemimpin dilihat oleh orang-orang yang dipimpinnya menjadi teladan, sehingga seluruh
organisasi terdorong untuk melakukan hal yang sama. Sebagaiman teks bacaan kitab suci kita
pada hari ini.

1
Disampaikan dalam rangka kothbah perkenalan di Gereja Kristen Jawa Mijen Semarang pada
hari Minggu, 04 November 2018 pukul 07.00 WIB
2
Silabus.web.id informasi pendidikan dan kebudayaan, Makna Ing Ngarsa Sung Tuladha
dalam Implementasi Pendidikan Budi Pekerti, t.p, 2018. Dalam https://www.silabus.web.id/ki-hajar-
dewantara/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2018.
2. KETERANGAN EKSEGESA
Menafsirkan teks II Samuel 5:1-5 yang mengisahkan tentang bagaimana Daud dipilih
oleh Allah melalui pernyataan bangsa Israel untuk menjadi pemimpin dan penggembala
bangsa Israel, belumlah lengkap sebelum kita melihat terlebih dahulu latar belakang dan
rekam jejak seorang Daud. Daud adalah anak Isai orang Efrata, Betlehem-dari suku Yehuda (II
Sam. 16:3; 17:12). Samuel sebagaimana diperintahkan Allah untuk mengadakan persembahan
korban kepada Allah dan mengundang Isai turut serta dalam pengorbanan tersebut. Allah
akan menunjukkan salah seorang anak Isai untuk diurapi oleh Samuel. Isai sendiri memiliki
delapan anak dan tujuh anaknya sudah menghadap Samuel tidak satupun yang dipilih oleh
Allah. Daud sedang menggembalakan Domba dan Samuel menyuruh Isai untuk memanggil
Daud untuk diurapi oleh Samuel sebgaimana perintah Allah. Sejak awal [pertama] pekerjaan
Daud adalah penggembala.
Tentang rekam jejak, [kedua], Daud adalah pelayan kepercayaan Saul. Dia sebagai
pembawa senjata Saul (II Sam. 16:21). [ketiga], Daud adalah seorang penghibur, dia acapkali
bermain kecapi untuk menghibur Saul sekaligus sebagai langkah mengusir roh jahat yang
hinggap pada diri Saul (ayt. 23). [keempat], Daud selalu punya kesempatan pulang kepada Isai
untuk menggembalakan domba-domba, dia terbiasa menghadapi singa atau beruang yang
berusaha untuk menangkap domba-dombanya(17 ayt. 34). Dari sini sudah jelas pekerjaan
seorang gembala adalah lebih dari sekedar menggembalakan domba melainkan bersedia
untuk selalu siap siaga dan menjaga keselamatan domba. Mempertaruhkan nyawanya untuk
keselmatan domba-dombanya. Ini adalah tugas berat seorang gembala yang sesungguhnya.
Daud memiliki keyakinan yang teguh bahwa Tuhan yang selama ini telah melepaskan
dirinya dari cakar singa dan cakar beruang (17 ayt. 37). Keberserahannya kepada Tuhan
ditambah lagi dengan pengalamannya dalam menggembalakan domba menjadi argumentasi
yang kuat untuk melawan si Goliat dari Filistin di hadapan Saul (ayt. 37). Saul mengijinkan
Daud berperang melawan Goliat. Keempat, Daud berperang melawan Goliat dan menang.
Demikianlah latarbelakang dan rekam jejak seorang Daud. Berdasarkan uraian di atas
maka jelas, bahwa esensi dari kepemimpinan secara Alkitabiah adalah kepemimpinan yang
melayani. Sebagaimana pelayanan Yesus kepada dua belas muridnya Yohanes 13:1-17 untuk
menolong mereka memahami tindakan yang seharusnya dari seorang pemimpin. Seorang
pemimpin yang meneladani Kristus harus berpikir dan bertindak dengan cara pikir seorang
pelayan. Yesus tidak mengabaikan kepemimpinan.
Dan yang unik, dalam teks II Samuel 17: 37 yang bercerita tentang keberanian Daud
ketika menggembalakan domba dan menghadapi ancaman yang sewaktu-waktu dapat
menghampiri kawanan domba dan bahkan dirinya sendiri, digenapi oleh Yesus Kristus
melalui pernyatanNya di dalam teks Yohanes 10:14. Aku adalah gembala yang baik. Gembala
yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.
Yesus mendelegasikan sebuah kepemimpinan kepada para murid. Yesus
menanggalkan jubahnya, mengikatkan kain lenan pada pingganngnya menunjukkan
pekerjaan yang dipersiapkan. Mulai membasuh para murid. Yesus yang dipanggil sebagai
guru secara implisit merupakan seseorang yang diteladani, ditirukan pengajarannya. Menjadi
sosok yang dikedepankan. Menolak dilayani akan tetapi memberi pelayanan. Berbeda pada
struktur kepemimpinan di dunia, kepemimpinan Yesus mengibaratkan piramida terbalik.
Ujung di bawah. Ketika model kepemimpinan dunia puncak di atas menggambarkan
kepemimpinan yang dilayani pemberian intruksi dari atas ke bawah, top-down. Menunjukkan
pola kepemimpinan yang hierarkis. Ini tidak berlaku bagi Yesus.
Dalam Lukas 22:25-27, Yesus mengajarkan bahwa seseorang yang memerintah harus
melakukannya dalam sikap seorang pelayan. Tetapi kadang teks ini hanya dimengerti secara
sepintas bahwa pemimpin harus memiliki sikap pelayan saja, melepaskan pengertian yang
lebih dari pada itu: “Yesus berkata kepada mereka:”Raja-raja bangsa-bangsa memerintah
rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-
pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu
hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin pelayan....28 kamulah yang tetap
tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan yang Aku alami.” Kepemimpinan
bukan tanpa resiko yang harus dialami. Bertahan dalam pencobaan bersama-sama dengan
Yesus adalah konsekuensi dari sebuah kepemimpinan yang diteladani.
Konteks dari teks ini ialah ketika Yesus mempersiapkan para murid sebelum Dia
meninggalkan mereka dalam penderitaan yang akan segera terjadi. Yesus mengatakan
kamulah pemimpin pelayan yang tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala
pencobaan yang Aku alami.
Kepemimpinan sebagai pelayan juga dapat dimengerti sebagai pelayanan sebagai
hamba. Yesus mengungkapkan dalam Yohanes 15:20: “Ingatlah apa yang telah kukatakan
kepadamu: seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya. Jikalau mereka telah
menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu.” Seperti penjelasan di atas bahwa
kepemimpinan merupakan proses menghamba pada tuannya dalam hal ini tuannya adalah
rakyat. Ketika rakyat dianiaya dengan dikorbankan hak-haknya, dibatasi ruang geraknya
untuk kepentingan golongan atau kelompok maka seorang ‘pemimpin’ juga akan dianiaya
karena dia adalah hamba. Dan hamba tidaklah lebih tinggi dari tuannya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan satu kesatuan pengertian sebagai
pelayan Allah, pelayan atau hamba juga terhadap sesama (atau rakyat).

3. PERGUMULAN JEMAAT SAAT INI


Agama sebatas status bagi sebagian orang. Mereka mengaku sangat beragama dengan
tegas akan tetapi pada sisi yang lain kurang memperlihatkan sebagai pribadi yang religius.
Pemahaman tentang orang yang beragama sudah pasti religius kenyataanya tidak demikian.
Religiositas berbeda dengan agama. Agama menunjuk pada lembaga kebaktian kepada Allah
atau “dunia atas” yang resmi dan yuridis, melalui peraturan dan hukum, keseluruhan
organisasi tafsir kitab-kitab keramat, dan berbagai hal yang melingkupi segi-segi
kemasyarakatan (gesellschaft).
Sedangkan religiositas lebih melihat pada segala sesuatu yang ada dalam lubuk hati,
getaran hati nurani pribadi, serta sikap personal yang menjadi misteri bagi orang lain karena
menapaskan intimasi jiwa, yaitu cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa
manusiawi) kedalaman isi pribadi manusia. Religiositas lebih dalam dari pada agama karena
bergerak dalam tata paguuyuban (gemeinschaft) yang lebih intim.
Banyak pemimpin yang tidak dapat melihat kenyataan ini. Mereka berbuat semaunya,
sewenang-wenang karena mereka memiliki kekuasaan. Tidak sadar dan bahkan dengan sadar
melupakan bahwa kepemimpinan adalah sebuah kepercayaan (/amanah) dari Tuhan, juga
dari manusia.
Yesus saja sampai berkali-kali menyampaikan kepada Petrus supaya
menggembalakan domba-dombaNya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tugas
penggembalaan dari Tuhan. Sebagaimana tertulis dalam Yohanes 12:15-17 “Simon anak
Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini?” jawab Petrus kepadaNya:
“benar Tuhan, engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus: “gembalakanlah
domba-dombaKu.” Kata Yesus untuk kedua kalinya: “Simon anak Yohanes, apakah engkau
mengasihi Aku?” jawab Petrus: “Benar Tuhan Engkau Tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”
Kata Yesus kepadanya: “Gembalakan domba-dombaku.” Yesus bertanya lagi untuk yang ketiga
kalinya dan Petrus juga menjawab untuk yang ketiga kalinya dengan jawaban yang sama.

4. PENUTUP
Terimalah pembentukan Allah agar kita bertumbuh dewasa dan menjadi seperti
Yesus, menjadi serupa dengan gambar Allah (Rom. 8:29). Jangan menolak dalam proses
pembentukan Tuhan. Setiap orang yang telah diselamatkan pasti akan dibawa masuk dalam
proses tersebut. Paulus mengatakan bahwa Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk
mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi Tuhan.
Pergunakanlah kesempatan dan segala berkat yang Tuhan telah berikan itu untuk
melayani dan mengabdi kepada-Nya. Dengan melayani Tuhan berarti kita menghargai
anugerah yang Tuhan telah berikan kepada kita. Orang yang menghargai Tuhan pasti akan
melayani Tuhan. Melayani Tuhan tidak berarti bahwa harus menjadi pendeta atau majelis,
tetapi yang terpenting adalah menghargai karya keselamatan Tuhan dengan mengasihi
sesama (masyarakat).3
Panggilan kita ialah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Memang benar,
kepemimpinan mustahil tanpa kepemimpinan tertentu, namun teladan yang diberikan Yesus
ialah menitikberatkan pada pemimpin sebagai hamba. Otoritas dengan mana pemimpin
Kristiani itu memimpin bukan dengan kekuasaan melainkan kasih; bukan dengan kekerasan
atau paksaan melainkan persuasi. Kekuasaan hanya aman dalam tangan mereka yang
merendahkan dirinya untuk melayani. Model dan karakter hidup seorang hamba berakar
pada prinsip firman Allah, sehingga tidak terkontaminasi dengan prinsip duniawi yang
membawa muatan pergeseran dan perubahan fatal.4
Ketika kita dipercaya melayani Tuhan, ingatlah bahwa kepercayaan itu bukan karena
semata-mata kemampuan kita. Tuhan dapat melakukan semua hal tanpa melibatkan kita
sekalipun. Kesempatan melayani Kristus dimungkinkan semata-mata karena kebaikan Tuhan.
Dia ingin agar kita mengambil bagian dalam tugas mulia-Nya di bumi ini.
Dan jadilah pemimpin yang benar-benar menggembalakan. Tanpa sedikitpun
memanfaatkan situasi, tulus seperti Daud. Sebagaimana tertulis dalam 1 Petrus 5:2
“gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan
sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan kamu mencari keuntungan, tetapi dengan
pengabdian diri.”

3
Truth, Pertobatan bukanlah sekedar kegiatan mengganti status belaka tetapi proses
pembentukan karakter, Jakarta: Yayasan Solagracia, t.t, hlm. 17
4
Truth Daily Enlightenment, Jangan Berpikir Bahwa Tuhan terlalu Misteri untuk dikenali dan
terlalu jauh untuk dijangkau. Tuhan memberi diri untuk dikenal dan dialami secara tidak terbatas.
Mengalami Tuhan berarti menikmati kehadiran Tuhan setiap hari, setiap saat dan dalam segala
keadaan, Jakarta: Yayasan Solagracia, t.t, t.hlm

Anda mungkin juga menyukai