1. PENDAHULUAN
Sunat merupakan permulaan memasuki suatu masa yang penting, seorang anak apabila
sudah masuk pada umur yang telah ditentukan maka ia akan disunat. Dengan demikian seorang
anak telah beralih kepada jenjang masa hidup yang satu ke jenjang masa hidup berikutnya.2 Dalam
beberapa agama, sunat diadakan untuk menghindari “bahaya-bahaya” dalam masa peralihan. Dalam
agama Islam pemaknaan sunat lebih daripada penerimaan ke dalam persekutuan orang-orang Islam
tetapi dimaknai juga sebagai tanda pembersihan, pengudusan, dan penyucian.3
Dalam paper ini secara lebih spesifik penulis akan memaparkan mengenai sunat dalam
tradisi Yahudi sebagaimana terdapat dalam kitab Perjanjian Lama. Kemudian sunat dalam
Perjanjian Baru. Sunat dalam tradisi Jawa yang ada dua jenis yaitu khitanan untuk kaum laki-laki
dan tetesan untuk kaum perempuan. Namun, penulis hanya akan membahas khitanan khususnya
khitanan dalam tradisi Yogyakarta. Selanjutnya sunat menurut Gereja Kristen Jawa (GKJ). Bagian
akhir adalah penutup, pada bagian ini penulis akan membahas mengenai analisa penulis
berdasarkan teori yang telah diuraikan.
1
Ditulis dalam rangka memenuhi tugas perkuliahan Liturgika pada Rabu 7 November 2018 oleh Arda
Primavista, Hotua Antoni, Yustina Suyatno.
2
J. Verkuyl, Aku Percaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 220
3
J. Verkuyl, Aku Percaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 221.
4
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hlm 197.
5
Dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1998), hlm. 424.
1
berarti “bapak bangsa-bangsa”, sedangkan nama “Sarai” diubah menjadi “Sara”, yang berarti
“pemimpin wanita”, Ismael juga dijanjikan oleh Allah bahwa ia akan hidup dihadapanNya,
kemudian Abraham bersunat dan menyunatkan semua anggota keluarganya serta hamba-
hambanya.6 Adapun maksud dari perintah untuk bersunat dan menyunatkan tersebut adalah sebagai
berikut:7pertama, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang penuh dengan dosa, sehingga
manusia yang belum disunat adalah najis (kotor). Kulub yang belum dipotong dari badan manusia
menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya orang-orang yang jahat dan najis. Untuk alasan itulah
maka kulub harus dipotong. Pemaknaannya adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan
kehendak Tuhan harus dihilangkan. Kedua, darah yang tercurah pada saat disunat, menunjukkan
bahwa untuk keampunan dosa harus ada korban yang dipersembahkan. Ketiga, tujuan sunat adalah
untuk memanggil orang yang disunat kepada hidup baru. Bangsa Israel harus hidup menjadi bangsa
yang baru dan bangsa yang hidup dalam kekudusan. Namun, seringkali sunat dijadikan oleh bangsa
Israel sebagai sebuah kesombongan karena merasa lebih suci dan lebih saleh dari bangsa-bangsa
lainnya.
6
J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 35.
7
J.Verkuyl, Aku Percaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 221.
8
Emmanuel Gerrit Singgih, Iman & Politik Dalam Era Reformasi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000), hlm. 3.
9
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hlm. 198.
2
Dengan demikian sunat telah dihapuskan, dan baptisan dibuat menjadi peraturan semua
keturunan, sunat ditandai dengan tercurahnya darah diganti dengan baptisan tanpa mencurahkan
darah, dan tercurahnya darah dalam sunat adalah suatu petunjuk kepada korban Yesus.10 Karena
korban telah dipersembahkan, maka tanda yang disertai dengan tercurahnya darah tidak
dipertahankan lagi sehingga menjadi alasan logis apabila gereja zaman Perjanjian Baru mempunyai
tanda-tanda yang tidak berdarah.
3
berarti “wis tumplek blek ukete” (erat dan rukun). Maksudnya keluarga yang rukun saling
membantu dan berhubungan erat. Tarub yaitu pemasangan tempat berteduh yang umumnya dihias
janur kuning yang disobek kecil-kecil atau dihilangkan lidinya. Tarub dihiasi dengan tumbuhan dan
dilengkapi dengan makanan, tumbuhan mengandung arti harapan kemakmuran bagi si anak kelak
dikemudian hari. Siraman dan ngabekten yaitu dimandikan dengan air kembang dengan harapan
agar si anak bersih dari segala noda baik lahir maupun batin, kemudian sungkem kepada kedua
orang tua yang melambangkan pernyataan terimakasih kepada kedua orang tua atas segala
bimbingan dan asuhan sampai saat dikhitan bahkan saat telah dewasa, serta memohon sukses dan
bahagia terutama saat dikhitan, yang terakhir adalah gress yaitu pemotongan kulit kepala kemaluan
laki-laki yang diakhiri dengan doa bersama.
Sebelum dilakukan pemotongan kulit kepala kemaluan, anak berendam pada pagi hari
sekitar pukul 04.00 atau 05.00, saudara yang lebih tua memangku anak yang akan dikhitan hal ini
bermaksud agar anak mendapat keberkahan selama hidupnya, sudara yang lebih tua menutup mata
si anak dari belakang dukun kemudian mengkhitan si anak, potongan khitanan dihanyutkan ke
sungai dengan terlebih dahulu dimasukkan ke dalam cobek cekung beserta alat dan kapas yang
digunakan untuk mengkhitan beserta kembang setaman, setelah dikhitan maka si anak disuruh
untuk mengunyah secara bergantian beras, kencur, terawas, kunyit, asam, kayu manis dan telur
ayam kampung mentah.15
15
R. Gunassasmita, Kitab Primbon Jawa Serbaguna, (Yogyakarta: Narasi, 2009), hlm 94.
16
Hadi Purnomo, M. Suprihadi Sastrosupono, dkk. Gereja-Gereja Kristen Jawa Benih Yang Tumbuh dan
Berkembang di Tanah Jawa, (Yogyakarta: Taman Pusaka Kristen, 1988), hlm 138.
4
6. TANGGAPAN
Berdasarkan uraian diatas maka, kami memilih tradisi sunatan untuk laki-laki dalam adat
Jawa khususnya di Yogyakarta, yang selanjutnya disebut sebagai khitanan untuk dipresentasikan.
Dengan memasukkan upacara khitan dan mengakhirinya dengan ibadah bersama, diharapkan dapat
memberikan pemahaman sekaligus memberi pemaknaan baru terhadap budaya yang ada. Sehingga
budaya tidak dipandang secara radikal dan bertentangan dengan Injil. Tetapi justru sebaliknya, ada
pembaharuan untuk memahami budaya. Bahwa budaya juga bagian dari hasil karya manusia di
mana Allah juga turut hadir didalamnya dengan maksud dan kebaikanNya. Sebagai firman, penulis
mengambil tema pendidikan berdasarkan teori dari J. Verkuyl yaitu sunat merupakan masa
peralihan dari jenjang masa hidup yang satu ke masa jenjang yang berikutnya.
Berdasarkan berbagai tradisi, sunat memiliki pemaknaan sendiri. Tradisi Yahudi
berdasarkan Perjanjian Lama memandang sunat sebagai sesuatu yang sakral. Karena sunat
merupakan tanda perjanjian Allah dengan manusia. Dengan harapan melalui sunat, umat Israel
dapat hidup lebih kudus dan menyadari bahwa pada hakikatnya manusia adalah berdosa sehingga
harus ada korban melalui tercurahnya darah dalam sunat. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, sunat
digantikan dengan baptisan. Karena baptisan sendiri merepresentasikan pengorbanan Yesus. Bagi
orang Jawa pada umumnya sunat dipandang sebagai Islamisasi dan tanda identitas sebagai orang
Jawa. Dalam konteks GKJ sunat diperbolehkan asalkan untuk alasan medis.
Sunat dalam konteks Gereja Kristen Jawa (GKJ), mulai kehilangan unsur budayanya. Hal
ini dapat kita lihat bahwa ketika seorang anak telah disunat biasanya hanya dilakukan ibadah dalam
bentuk bidston atau upacara syukuran. Sehingga banyak jemaat entah muda ataupun tua akan
merasa asing dengan budaya yang ada. Disinilah justru tantangan bagi gereja untuk tetap
melestarikan budaya tetapi sekaligus tidak melupakan Kekristenan. Sehingga dibutuhkan suatu
pengalaman yang terintregasi yaitu pengalaman hermeneutis, empiris dan kritis terhadap budaya.
Dengan memasukkan unsur budaya dalam ibadah merupakan salah satu langkah praktis dalam
mempertemukan budaya dan kekristenan, namun tetap memberikan makna religius baru yang sesuai
dengan Injil terhadap budaya. Sehingga jemaat dapat beribadah sekaligus melestarikan budaya.
Menurut hemat penulis, berdasarkan simbol sunat ataupun baptisan dalam berbagai tradisi,
sebenarnya muara dari sunat dan baptisan adalah simbol penghapusan dosa, masa peralihan dan
inisiasi. Kita dituntut untuk dapat menghidupi simbol yang telah dilakukan. Tidak hanya berhenti
pada pengalaman praktis saat simbolisasi dilakukan, tetapi juga praksis dalam kehidupan sehari-
hari. Dengan melakukan tindakan yang terpuji sebagai wujud syukur kepada Allah merupakan salah
satu cara menghidupi simbol yang telah dilakukan.