DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2
1.Venny Alvionita(1911130112)
2.Fitri S Khairani (1911130115)
3.Dina Lestari (1911130122)
4.Melsa Nela sari (1911130124)
5.Anisa Juliarti (1911130126)
6.Yuliananatasia .S(1911130127)
7.Herlie Rahmatin (1911130129)
8.Indra Wahyudi (1911130133)
9.Umi Danimah (1911130144)
10.Rahma Yulisa (1911130145)
11.Nur Yunisyah (1911130148)
12.Fety agita sari (1911130131)
P3.H
Pengertian Kepemimpinan, Dalam bahasa Indonesia “pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka,
pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua,
dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran
seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang
sama “pimpin”. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal
belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah
Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh
yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan
“pemimpin”.
Pemimpin yang baikmerupakan seseoran manajer yang efektif yang harus memiliki kualitas dan
kemampuan pimpinan yang baik. Pemimpin yang baik juga harus dapat menyesuaikan dan
mengmbangkan diri sendiri dan mampu menguasai serta mengarahkan dan mengembangkan pengaruh
orang lain.
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya
kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa
tujuan.Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan – khususnya
kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-
sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu be berapa tujuan.
Dalam suatu organisasi , kepemimpinan merupakan factor yang sangat penting dalam menentukan
percapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi.
2. TIPOLOGI KEPEMIMPINAN
Tipologi kepemimpinan disusun dengan titik tolak interaksi personal yang ada dalam kelompok .
Tipe-tipe pemimpin dalam tipologi ini dapat dikelompokkan dalam kelompok tipe berdasarkan jenis-
jenisnya antara lain:
1.Tipe Otokratis.
Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut:
Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi, Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan
organisasi, Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata, Tidak mau menerima kritik, saran dan
pendapat, Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya, Dalam tindakan pengge-rakkannya sering
mempergunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
2.Tipe Militeristis
Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin tipe militerisme
berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis
ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem
perintah yang lebih sering dipergunakan, Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada
pangkat dan jabatannya, Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan, Menuntut disiplin yang tinggi
dan kaku dari bawahan, Sukar menerima kritikan dari bawahannya, Menggemari upacara-upacara
untuk berbagai keadaan.
3.Tipe Paternalistis.
Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki
ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa, bersikap terlalu
melindungi (overly protective), jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengambil keputusan, jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil
inisiatif, jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan
fantasinya, dan sering bersikap maha tahu.
4.Tipe Karismatik.
Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin
memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang
amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar,
meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut
pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin
yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan
kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan
sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah
seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun
umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil,
Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
5.Tipe Demokratis.
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah
yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki
karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat
bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia, selalu berusaha mensinkronisasikan
kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya,
senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya, selalu berusaha
mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan, ikhlas memberikan kebebasan
yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar
bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang
lain, selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya, dan berusaha
mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Dalam melaksanakan tugas kepemimpinan mempengaruhi orang atau kelompok menuju tujuan
tertentu, kita pemimpin, dipengaruhi oleh beberapa factor. Factor-faktor itu berasal dari diri kita
sendiri, pandangan kita terhadap manusia, keadaan kelompok dan situasi waktu kepemimpina kita
laksanakan. Orang yang memandang kepemimpinan sebagai status dan hak untuk mendapatkan
fasilitas, uang, barang, jelas akan menunjukkan praktek kepemimpinan yang tidak sama dengan orang
yang mengartikan kepemimpinan sebagai pelayanan kesejahteraan orang yang dipimpinnya. Factor-
faktor yang berasal dari kita sendiri yang pengalaman yang kita miliki dalam bidang
kepemimpinan.mempengaruhi kepemimpinan kita adalah pengertian kita tentang kepemimpinan, nilai
atau hal yang kita kejar dalam kepemimpinan, cara kita menduduki tingkat pemimpin.
Sebab yang terjadi bila implikasi manajerial kepemimpinan dalam organisasi adalah akan
menciptakan kepemimpinan yang baik karna adanya proses manajemen yang direncakan, karena
induk dari sebuah perusahaan adalah pemimpin jadi bila pemimpin nya berkualitas maka perusahaan
tersebut akan menjukukan kualitasnya
1. Pengertian kepemimpinan.
Istilah pemimpin adalah terjemahan Leader/Head/Manager yang juga disebut
Manajer/Kepala/Ketua/Direktur/Presiden dan lain sebagainya, pemakaian istilah ini
tergantung kepada kebiasaan setiap organisasi,di bawah ini ada beberapa macam definisi
pemimpin.
Menurut Drs. H. Malayu S.P Hasibuan. pemimpin adalah sesorang dengan wewenang
kepemimpinanya mengarahkan bawahanya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya
dalam mencapai tujuan.
Menurut Robert Tanembaun. Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal
untuk mengorganisasikan, mengarahkan dan mengontrol para bawahan yang bertanggung
jawab.
2. Sifat Kepemimpinan.
Adapun sifat yang harus dimiliki dalam kepemimpinan adalah :
• Berpandangan jauh.
• Bertindak dan bersikap bijaksana.
• Berpengetahuan luas.
• Bersikap dan bertindak adil.
• Berpendirian tuguh.
• Optimis bahwa misinya berhasil.
• Berhati ikhlas.
• Memiliki kondisi fisik yang baik...
3. Fungsi Kepemimpinan.
Agar suatu kelompok dapat dipimpin dengan baik dan efektif, seorang pemimpin paling
sedikit harus menjalankan dua fungsi, yaitu :
Fungsi Pemecahan masalah, fungsi ini berhubungan dengan tugas atau pekerjaan terhadap
masalah yang di hadapi kelompok.
Fungsi Social fungsi ini berhubungan dengan kehidupan kelompok, yaitu memberikan
dorongan kepada anggota kelompok untuk menciptakan suasana kerja bagi kelompoknya.
Sedangkan makna kepemimpinan menurut islam adalah untuk mewujudkan fungsi khalifah di
muka bumi demi kebaikan umat Islam. Kepemimpinan Islam harus dilandasi oleh konsep
demokratis yang menerapkan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan spesialisasi tugas
setiap unit kesatuan.
Ada tiga kekuatan yang ikut menentukan efektivitas beroprasinya pemimpin, yaitu :
1) Faktor Pribadi atau person dengan kualitas keunggulanya.
2) Factor Posisi sehubungan dengan fungsi dan tugas-tugas pemimpin.
3) Factor Situasi dan tempat yang khusus, yang memerlukan tipe pemimpin.
a) Amanah.
Amanah merupakan kunci kesuksesan setiap pekerjaan, dan sangat penting dimiliki oleh seorang
pemimpin, karena ia di beri amanah untuk mengelola organisai yang cakupannya sangat luas dan
memerhatikan hak-hak orang banyak
d) Rendah Diri.
Sabagaimana pemimpin harus kuat tapi tidak keras, juga ia harus rendah diri , namun tidak lemah
untuk mendapat hati sehingga seluruh anggota mau bekerja sama dengganya.
g) Musyawarah.
Pemimin yang sukses harus mampu membangun suasana dialogis dan komunikasi yang baik antara
komponen dalam organisasi dengan jalan melakukan musyawarah sehingga seluruh komponen
mereka ikut terlibatkan.
1. Tugas Kepemimpinan.
Berdasarkan makna tentang kepemimpinan, maka dapat dirumuskan tugas-tugas seorang
pemimpin Adalah sebagai beriku ;
c) Kondisi Program.
Seorang pemimpin harus mampu menyusun program kerja yang sesuai dengan tujuan dari
organisasi tersebut, penyusunan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan
sesuai waktu yang di rencanakan.
2. Gaya Kepemimpinain
Menurut Stoner ada dua gaya kepemimpinan yang biasa digunakan seorang pemimpin dalam
mempengaruhi bawahannya , yaitu ;
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas.
Dalam gaya kepemimpinan ini, seorang pemimpin akan mengarahkan dan mengawasi
bawahanya secara ketat agar mereka bkerja sesuai harapan .
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada para pekerja.
Gaya kepemimpinan ini berusaha mendorong dan memotivasi bawahanya untuk bekerja
dengan baik, mengikutsertakan bawahanya dalam mengambil keputusan yang mencakup
tugas – tugas bawahan.
4. Jenis Kepemimpinan.
Sepanjang yang telah dilakukan pengacuan kepada jenis kepemimpinan, diantaranya ailah ;
a. Kepemimpinan Situsional.
Dalam jenis ini kepemimpinan ini di percayakan bahwa factor yang paling utama menentukan
gaya adalah situasinya.pemimpin maupun bawahannya menyesuaikan diri dengan situasinya.
e. Kepemimpinan Demokrasi.
Jenis ini memberi penekanan pada partisipasi dan penggunaan pemikiran-pemikiran anggota-
angotanya. Yang karena itu harus di beri penerangaan yang baik mengenai pokok-pokok yang
dibahas.
5.TEORI KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepadapengikutnya
dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah
“melakukanya dalam kerja” dengan praktik seperti pemagangan pada seorang senima ahli, pengrajin,
atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan
pengajaran/instruksi.
TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN :
Teori kepemimpinan pada umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan dan interpretasi
mengenai pemimpin dan kepemimpinan dengan mengemukakan beberapa segi antara lain : Latar
belakang sejarah pemimpin dan kepemimpinan Kepemimpinan muncul sejalan dengan peradaban
manusia. Pemimpin dan kepemimpinan selalu diperlukan dalam setiap masa. Sebab-sebab munculnya
pemimpin Ada beberapa sebab seseorang menjadi pemimpin, antara lain :
a.Seseorang ditakdirkan lahir untuk menjadi pemimpin. Seseorang menjadi pemimpin melalui usaha
penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri.
b.Seseorang menjadi pemimpin bila sejak lahir ia memiliki bakat kepemimpinan kemudian
dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman serta sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Untuk mengenai persyaratan kepemimpinan selalu dikaitkan dengan kekuasaan, kewibawaan,
lingkungan dan kemampuan.
b) Teori Perilaku
Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika
melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin
mempunyai deskripsi perilaku:
– Perilaku seorang pemimpin yang cenderung mementingkan bawahan memiliki ciri ramah
tamah,mau berkonsultasi, mendukung, membela, mendengarkan, menerima usul dan memikirkan
kesejahteraan bawahan serta memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula
kecenderungan perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi.
– Berorientasi kepada bawahan dan produksi perilaku pemimpin yang berorientasi kepada bawahan
ditandai oleh penekanan pada hubungan atasan-bawahan, perhatian pribadi pemimpin pada pemuasan
kebutuhan bawahan serta menerima perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku bawahan.
Sedangkan perilaku pemimpin yang berorientasi pada produksi memiliki kecenderungan penekanan
pada segi teknis pekerjaan, pengutamaan penyelenggaraan dan penyelesaian tugas serta pencapaian
tujuan. Pada sisi lain, perilaku pemimpin menurut model leadership continuum pada dasarnya ada dua
yaitu berorientasi kepada pemimpin dan bawahan. Sedangkan berdasarkan model grafik
kepemimpinan, perilaku setiap pemimpin dapat diukur melalui dua dimensi yaitu perhatiannya
terhadap hasil/tugas dan terhadap bawahan/hubungan kerja. Kecenderungan perilaku pemimpin pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan (JAF.Stoner,
1978:442-443)
c) Teori Situasional
Keberhasilan seorang pemimpin menurut teori situasional ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan
perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional
yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Faktor situasional yang berpengaruh
terhadap gaya kepemimpinan tertentu menurut Sondang P. Siagian (1994:129) adalah
* Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas;
* Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan;
* Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan;
* Norma yang dianut kelompok;
* Rentang kendali;
* Ancaman dari luar organisasi;
* Tingkat stress;
* Iklim yang terdapat dalam organisasi.
Teori kepemimpinan ini sebagian besar bersandar pada pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh
Thomas Carlyle di abad 19 yang pernah menyatakan bahwa sejarah dunia tak lain adalah sejarah
hidup orang-orang besar. Menurutnya, seorang pemimpin besar akan lahir saat dibutuhkan sehingga
para pemimpin ini tidak bisa diciptakan.
Riset mereka menunjukkan bahwa ada karakteristik individu yang dimiliki oleh seorang pemimpin
sehubungan dengan kepemimpinan efektif, yaitu: Kecerdasan, Pengetahuan & keahlian, Dominasi,
Percaya diri, energi yang tinggi, Toleran terhadap stress, Integritas & kejujuran, Kematangan.
1.DEFINISI KONFLIK
Pengertian Konflik Menurut Para Ahli
Agar lebih memahami apa arti konflik, maka kita dapat merujuk pada pendapat beberapa ahli berikut
ini:
1. Taquiri dan Davis Menurut Taquiri dan Davis, pengertian konflik adalah warisan kehidupan sosial
yang terjadi dalam berbagai keadaan sebagai akibat dari bangkitnya keadaan ketidaksetujuan,
kontroversi, dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih secara terus-menerus.
2. Lewis A. Cose rMenurut Lewis A. Coser, arti konflik adalah perjuangan nilai atau tuntutan atas
status dan merupakan bagian dari masyarakat yang akan selalu ada, sehingga apabila ada masyarakat
maka akan muncul konflik.
3. Soerjono Soekanto Menurut Soerjono Soekanto, pengertian konflik adalah suatu keadaan
pertentangan antara dua pihak untuk berusaha memenuhi tujuan dengan cara menentang pihak lawan.
4. Robbins
Menurut Robbins, arti konflik adalah proses sosial dalam masyarakat yang terjadi antara pihak
berbeda kepentingan untuk saling memberikan dampak negatif, artinya pihak-pihak yang berbeda
tersebut senantiasa memberikan perlawanana.
5. Alabaness Menurut Alabaness, pengertian konflik adalah keadaan masyarakat yang mengalami
kerusakan keteraturan sosial yang dimulai dari individu atau kelompok yang tidak setuju dengan
pendapat dan pihak lainnya sehingga mendorong terjadinya perubahan sikap, prilaku, dan tindakan
atas dasar ketidaksetujuannya.
Faktor Penyebab KonflikKonflik tidak terjadi begitu saja, ada banyak faktor penyebab yang
Setiap individu di dalam suatu kelompok masyarakat pasti memiliki perbedaan pandangan, pendapat,
dan cara berinteraksi. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan terjadinya perselisihan yang kemudian
menjadi penyebab konflik.
2. Faktor Kebudayaan
Latar kebudayaan yang berbeda di suatu masyarakat dapat menimbulkan terjadinya konflik.
Kebudayaan masing-masing daerah memiliki keunikan tersendiri dan dapat membentuk kepribadian
seseorang.
Contohnya, perilaku dan cara berbicara orang Batak yang keras seringkali dianggap arogan dan suka
marah oleh orang lain yang berbeda kebudayaan, misalnya orang Sunda.
3. Faktor Kepentingan
Setiap individu maupun kelompok di dalam suatu masyarakat memiliki beragam kepentingan masing-
masing. Kepentingan tersebut bisa dalam hal ekonomi, sosial, maupun politik.
Perbedaan pandangan dan kepentingan di berbagai bidang kehidupan manusia merupakan faktor
penyebab konflik yang sangat sulit untuk dihindari.
4. Interaksi Sosial
Kurangnya keharmonisan dalam hal interaksi sosial juga dapat menimbulkan terjadinya konflik di
masyarakat. Ketidakharmonisan dalam interaksi sosial bisa disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya
sifat bawaan seseorang, kondisi ekonomi, kesenjangan sosial, kurang pendidikan, dan lain
sebagainya.
5. Perubahan Sosial
Perubahan sosial dapat terjadi secara alami karena pada dasarnya manusia memang senantiasa
mengalami perubahan. Dan perubahan sosial ini cukup sering menjadi faktor penyebab terjadinya
konflik di dalam masyarakat.
Jenis-Jenis Konflik
Ada beberapa jenis konflik yang sering terjadi di masyarakat. Mengacu pada pengertian konflik di
atas, adapun macam-macam konflik adalah sebagai berikut:
1. Konflik Individu
Konflik pribadi adalah konflik yang terjadi antara individu dengan individu atau dengan kelompok
masyarakat. Jenis konflik ini sangat sering terjadi di dalam keluarga, pertemanan, dunia kerja, dan
lainnya.
2. Konflik Rasial
Konflik rasial adalah konflik yang terjadi antara dua ras atau lebih yang berbeda. Konflik rasioal akan
terjadi ketika setiap ras merasa lebih unggul dan lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya
sendiri di atas kepentingan bersama.
3. Konflik Agama
Konflik agama adalah konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok yang memiliki agama dan
keyakinan berbeda. Sebagian besar masyarakat menganggap agama sebagai tuntunan dan pedoman
hidupnya yang harus diikuti secara mutlak. Sehingga apapun yang berbeda atau tidak sesuai dengan
agamanya akan dianggap masalah dan kemudian memicu terjadinya konflik.
5. Konflik PolitikKonflik politik adalah konflik yang terjadi karena adanya perbedaan pandangan di
dalam kehidupan politik. Konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok ingin berkuasa terhadap
6. Konflik Sosial Konflik sosial adalah konflik yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat.
7. Konflik Internasional Konflik internasional adalah konflik yang terjadi antar negara-negara di
dunia, baik itu negara berkembang maupun negara maju. Konflik ini bisa terjadi karena salah satu
negara merasa dirugikan oleh negara lainnya atau karena masing-masing negara ingin memperebutkan
Pada dasarnya konflik akan menimbulkan dampak negatif bagi setiap pihak. Namun, selain
menimbulkan dampak negatif, pada kasusu tertentu ternyata konflik juga bisa memberikan dampak
posifit.
Sesuai dengan pengertian konflik di atas, berikut ini adalah dampak yang ditumbulkan oleh konflik:
1. Dampak Negatif
2. Dampak Positif
Konflik yang terjadi di masyarakat memang lebih banyak memberikan dampak negatif. Namun,
konflik tersebut dapat menghasilkan suatu kesepakatan yang menguntungkan semua pihak sehingga
integrasi masyarakat menjadi lebih kuat.Sesuai dengan pengertian konflik di atas, berikut ini adalah
dampak yang ditumbulkan oleh konflik
1. Dampak Negatif
2. Dampak Positif
Konflik yang terjadi di masyarakat memang lebih banyak memberikan dampak negatif. Namun,
konflik tersebut dapat menghasilkan suatu kesepakatan yang menguntungkan semua pihak sehingga
integrasi masyarakat menjadi lebih kuat.
2.Pandangan Mengenai Konflik
.
3.JENIS JENIS KONFLIK
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat
klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik
fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik
fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja
kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan
kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering
tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional
bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak
fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja
individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan
bagi individu, maka konflik tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut
hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut
disfungsional.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran
komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk
terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi
(wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan,
sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran
kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin
besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem
nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki
keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa
tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah
orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi
dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di
dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived
conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang,
frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt
conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku.
Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara,
pemogokan, dan sebagainya.
Metode stimulasi konflik digunakan untuk menimbulkan rangsangan karyawan karena karyawan pasif
yang disebabkan oleh situasi dimana konflik terlalu rendah. Rintangan semacam ini harus diatasi oleh
manajer untuk merangsang konflik yang produktif.
Biasanya para manajer lebih mementingkan upaya mengurangi konflik dari pada upaya menstimulasi
konflik-konflik. Metode pengurangan konflik mengurangi antagonisme yang timbul karena konflik.
Jadi, metode-metode tersebut manajer konflik dengan jalan “mendinginkan situasi yang panas”.
Tetapi, mereka sama sekali tidak mempersoalkan kausa yang menyebabkan timbulnya konflik orisinal
tersebut.
Ingat contoh eksperimen yang dilakukan oleh sherief dan kawan-kawannya, yang suatu konflik pada
kamp anak-anak muda tersebut menjadi makin intensip dan disruptif, menerapkan eksperimen-
eksperimen berupa penerapan mereka aneka macam cara untuk mengembalikan harmoni antara
kelompok-kelompok yang ada.
Pertama-tama mereka mencoba menerapkan tiga macam metode yang ternyata tidak efektif sama
sekali.
3. Mereka meminta agar para pemimpin kelompok mengadakan perundingan dan memberikan
informasi positif tentang masing-masing kelompok yang ada. Tetapi ternyata bahwa para pemimpin
tersebut merasa bahwa mereka akan kehilangan muka apabila mereka mencoba menyelesaikan
perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok yang ada.
Akhirnya ternyata bahwa dua buah metode yang diterapkan memberikan hasil yang diharapkan.
Pada pendekatan pertama yang bersifat efektif, para periset mensubtitusi tujuan-tujuan luhur
(superior) yang diterima oleh kelompok-kelompok yang ada sebagai pengganti tujuan-tujuan
kompetitif yang menyebabkan mereka terpisah satu sama lain. Sebagai contoh dikatakan kepada anak-
anak muda tersebut bahwa kamp tersebut tidak mampu menyewa project film dari luar, karena
kekurangan dana. Spontan kedua kelompok berpatungan dalam hal pengumpulan uang untuk tujuan
tersebut dan ternyata bahwa upaya bersama mereka berhasil meredakan tingkat konflik yang terjadi.
Metode efektif kedua adalah mempersatukan kelompok-kelompok yang ada dengan jalan
mengadakan menghadapkan mereka dengan sebuah bahaya yang mengancam mereka semua atau
‘musuh’ bersama yang dihadapi oleh mereka.
Kelompok-kelompok secara terpisah, tidak mampu menarik truk yang mengangkut mereka ketempat
reparasi, tetapi, dengan bekerja sama hal itu dapat dilaksanakan dengan baiknya. Tindakan kerjasama
dan sikap persahabatan antara anggota-anggota kelompok yang ada.
Metode ini mengurangi permusuhan (antagonis) yang ditimbulkan oleh konflik dengan mengelola
tingkat konflik melalui pendinginan suasana akan tetapi tidak berurusan dengan masalah yang pada
awalnya menimbulkan konflik itu.
Metode pertama adalah mengganti tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih
bisa diterima kedua kelompok metode kedua mempersatukan kelompok tersebut untuk menghadapi
ancaman atau musuh yang sama.
Metode ini dapat terjadi melalui cara-cara 1) kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan otokratik;
2) penenangan (smolling) yaitu cara yang lebih diplomatis; 3) penghindaran (avoidance) dimana
manajer menghindari untuk mengambil posisi yang tegas; 4) penentuan melalui suara terbanyak
(majority rule) mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok prosedur yang adil.
Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun sesungguhnya teori konflik
sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme Ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf,
yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperality coordinated
association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan
kelas, dan manajemen pekerja dari pada modal dan buruh.
Dahendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem
sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi,
harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan.
Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated
association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang
dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa
kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-
kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai
hubungan ‘authority” dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau
memperlakukan yang lain, sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf, dipelihara oleh proses
penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi
yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang
membuat kelompok-kelompok saling bersaing.
Revolusi dan konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan atau wewenang,
kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya
kelompok peran baru memegang kunci kekuasaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi di
bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari
kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur (ruled roles), dimana
dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok
kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. sehingga kenyataan sosial
merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe
kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.
Konflik sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan
kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang
dan kekuasaan
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering
tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional
bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak
fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja
individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan
bagi individu, maka konflik tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut
hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut
disfungsional.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran
komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk
terciptanya konflik.
. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter,
dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah
satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut,
maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan
konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan
mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah
menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan
keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat
mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak
lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
5.KONFLIK STRUKTUAL
Konflik biasanya timbul dalam organisasi sebagai hasil adanya masalah – masalah
komunikasi, hubungan pribadi, atau struktur organisasi.
Konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih
pihak.
Konflik organisasi ( organizational conflict ) adalah ketidak sesuaian antara dua atau lebih
anggota – anggota atau kelompok – kelompok organisasi yang timbul karena adanya
kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya – sumber daya yang terbatas atau
kegiatan – kegiatan kerja dan atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan
status, tujuan, nilai atau persepsi.
Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang
terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya.
1. Komunikasi : salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit
dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang
tidak konsisten.
2. Struktur : pertarungan kekuasaaan antar departemen dengan kepentingan–kepentingan atau
sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya–sumber
daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok– kelompok kegiatan
kerja untuk mencapai tujuan mereka.
3. Pribadi : ketidaksesuaian tujuan atau nilai–nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku
yang diperankan pada jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai – nilai persepsi.
Dalam kehidupan organisasi, pendapat tentang konflik dapat dilihat dari 3 sudut pandang,
yaitu :
Berdasarkan ketiga pandangan tentang konflik tersebut, pihak pemimpin organisasi perlu
menganalisis dengan nyata konflik yang terjadi di organisasi, apakah konflik itu fungsional
atau disfungsional dan bagaimana manajemen konflik agar berpengaruh positif bagi kemajuan
organisasi.
Menurut Stephen P. Robbins tentang perbedaan pandangan tradisional dan pandangan baru
( pandangan interaksionis ) tentang konflik dalam dilihat pada tabel 2.1 berikut ini :
Perbedaan pandangan lama dan baru tentang konflik
Pandangan Lama :
1. Konflik dapat dihindarkan
2. Konflik disebabkan oleh kesalahan – kesalahan manajemen dalam perancangan dan
pengelolaan organisasi atau oleh pengacau.
3. Konflik menggangu organisasi dan menghalangi pelaksanaan optimal.
4. Tugas manajemen adalah menghilangkan konfllik.
5. Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan penghapusan konflik.
Pandangan Baru :
1. Konflik tidak dapat dihindarkan
2. Konflik timbul karena banyak sebab, termasuk struktur organisasi, perbedaan tujuan yang
tidak dapat dihindarkan, perbedaan dalam persepsi dan nilai – nilai pribadi dan sebagainya.
3. Konflik dapat membantu atau menghambat pelaksanaan kegiatan organisasi dalam
berbagai derajat.
4. Tugas manajemen adalah mengelola tingkat konflik dan penyelesaiannya.
5. Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan tingkat konflik yang moderat.
Bentuk umum konflik organisasi yang sering terjadi adalah konflik antara anggota – anggota
lini dan staf . Perbedaan pandangan para anggota lini dan staf yang dapat menimbulkan
konflik di antara mereka, walaupun perbedaan–perbedaan tersebuta juga dapat meningkatkan
efektifitas pelaksanaan tugas–tugas mereka :
1. Pandangan Lini
Para anggota lini sering memandang para anggota staf dalam hal :
2. Pandangan Staf
Para anggota staf mempunyai keluhan–keluhan yang berlawanan tentang para anggota lini :
1. Lini kurang memanfaatkan staf. Manajer lini menolak bantuan staf ahli, karena mereka
ingin mempertahankan wewenangnya atas bawahan atau karena mereka tidak berani secara
terbuka mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan. Sebagai akibatnya staf hanya
diminta bantuannya bila situasi benar–benar sudah kritis.
2. Lini menolak gagasan – gagasan baru, anggota staf biasanya yang pertama berkepentingan
dengan menggunakan inovasi dalam bidang keahlian mereka. Manajer garis mungkin
menolak perubahan–perubahan tersebut.
3. Lini memberi wewenang terlalu kecil kepada staf. Anggota staf sering merasa bahwa
mereka mempunyai penyelesaian masalah–masalah yang paling baik dalam spesialisasinya.
Oleh sebab itu mereka kecewa bila saran – sarannya tidak didukung dan di implementasikan
oleh manajer lini.
Beberapa faktor dapat menimbulkan berbagai konflik diantara departemen dan orang – orang
lini dan staf. Faktor–faktor tersebut meliputi :
1. Perbedaan umur dan pendidikan, orang – orang staf biasanya lebih muda dan lebih
berpendidikan daripada orang–orang staf sehingga menimbulkan “generation gap “.
2. Perbedaan tugas, dimana orang ini lebih teknis dan generalis, sedang staf spesialis. Hal ini
dapat menimbulkan kejadian–kejadian sebagai berikut : (1). Karena staf sangat spesialis,
mungkin menggunakan istilah–istilah dan bahasa yang tidak dipahami orang lini. (2).Orang
lini mungkin merasa bahwa staf spesialis tidak sepenuhnya mengerti masalah–masalah lini
dan mengganggap mereka tidak dapat diteraplan atau dikerjakan.
3. Perbedaan sikap, ini tercermin pada : (1). Orang staf cenderung memperluas wewenangnya
dan cenderung memberikan perintah–perintah kepada orang lini untuk membuktikan
eksistensinya. (2). Orang staf cenderung merasa yang paling berjasa untuk gagasan–gagasan
yang diimplementasikan oleh lini, sebaliknya orang lini mungkin tidak menghargai peranan
staf dalam membantu pemecahan masalah – masalahnya. (3).Orang staf selalu merasa
dibawah perintah orang lini, dilain pihak orang lini selalu curiga bahwa orang staf ingin
memperluas kekuasaannya.
4. Perbedaan posisi. Manajemen puncak mungkin tidak mengkomunikasikan secara jelas
luasnya wewenang staf dalam hubungannya dengan lini. Padahal organisasi departemen staf
ditempatnya relatif pada posisi tinggi dekat menajemen puncak. Depertemen lini dengan
tingkatan lebih rendah cenderung tidak suka dengan hal tersebut.
Bagaimanapun juga staf spesialis perlu ditambahkan dalam organisasi untuk membantu kerja
lini agar lebih efektif. Disamping itu dunia bisnis modern berkembang semakin kompleks,
dan semua manajer tidak akan menguasai semua kecakapan, pengetahuan maupun
ketrampilan. Kegiatan–kegiatan tertentu mungkin tidak efisien bila dikerjakan oleh orang lini,
dan sebagainya.
Penanggulangan Konflik Lini dan Staf
Para penulis manajemen telah menyarankan berbagai cara dengan mana aspek–aspek peran-
salah konflik lini dan staf dapat dikurangi :
1. Tanggung jawab lini dan staf harus ditegaskan.
Secara umum, para anggota lini bertanggung jawab atas keputusan–keputusan operasional
organisasi, atau dengan kata lain, mereka harus bisa menerima, mengubah, atau menolak
saran–saran ahli. Dilain pihak, para anggota staf harus bebas untuk memberikan saran bila
mereka merasa hal itu diperlukan tidak hanya bila anggota lini memintanya.