Anda di halaman 1dari 17

GANGGUAN TERSERING PADA TUMBUH KEMBANG ANAK

1. Gangguan autisme
Autisme adalah sindrom perilaku akibat disfungsi neurologis, dengan karakteristik
berupa gangguan pada interaksi sosial timbal balik, gangguan komunikasi verbal dan
nonverbal, miskin dalam hal aktivitas imaginatif, serta aktivitas dan minat yang sangat
terbatas.
(RI Kementrian Kesehatan. Media Ini Dicetak Dengan Menggunakan Dana DIPA T.A.
2012 Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan R.I. Pedoman Penanganan
Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita. 2012)
Anak autis memiliki kelainan pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang
paling konsisten adalah pada otak kecil (cerebellum). Berkurangnya sel purkinye di otak
kecil diduga dapat merangsang pertumbuhan akson, blia dan myelin sehingga terjadi
pertumbuhan otak yang abnormal, atau sebaliknya pertumbuhan akson yang abnormal
dapat menimbulkan sel purkinye mati. Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi luhur dan
kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian dan pengindraan. Jika
sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan meng-ganggu fungsi bagian lain dari sistem
saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku. Area
tertentu di otak termasuk serebral korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada
konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan autis. Ketidak-
seimbangan neurotransmiter (seperti dopamin dan serotonin) pada otak juga menjadi
penyebab anak mengalami autis. gangguan yang dialami anak autis terjadi karena adanya
ketidaknormalan dalam struktur dan biokimia otak ,misalnya pertumbuhan otak yang
lebih besar 5-10% dari anak normal sampai usia 4 tahun, namun kemudian melambat, dan
akhirnya berkurang sebelum waktunya. Anak autis juga mengalami perbedaan dalam
beberapa struktur otak terutama di bagian otak yang terkait dengan fungsi eksekutif serta
kemampuan komunikasi dan sosial seperti di bagian frontal cortex, temporal cortex,
hippocampus dan amygdala. Hal ini menye-babkan anak kesulitan dalam melakukan
perencanaan, kurang fleksibel dalam berpi-kir, kesulitan dalam melakukan generali-sasi,
kesulitan untuk mengintegrasikan informasi secara lengkap menjadi sesuatu yang
bermakna, serta kesulitan dalam kemampuan intersubjektivitas (kemampuan untuk
meletakkan diri sendiri pada posisi/kondisi orang lain).
(Daulay N-. Struktur Otak dan Keberfungsiannya pada Anak dengan Gangguan Spektrum
Autis: Kajian Neuropsikologi. Bul Psikologi. 2017;25(1):11–25.)

2. Gangguan retardasi mental


Fungsi intelek yang dibawah normal (IQ<70), hambatan dalam kemampuan adaptif,
yaitu kemampuan merawat diri, komunikasi, tinggal dirumah, fungsi sosial kesehatan,
keselamatan, fungsi akademik dan bekerja, dan manifes dalam masa perkembang
(sebelum usia 18 tahun). Penyebab retardasi mental sangat kompleks dan multifaktorial.
Beberapa faktor dapat saling memberatkan sehingga terjadi gangguan fungsi otak yang
merupakan dasar terjadinya retardasi mental. Beberapa faktor yang potensial
menyebabkan retardasi mental antara lain;
a. Faktor prakonsepsi, seperti kelainan genetik, kromosom atau mitokondria, misal pada
Sindroma Fragile-X, penyakit inborn error metabolism.
b. Faktor pranatal, seperti kelainan kromosom (sindroma Down), infeksi (TORCH),
teratogen (alkohol, radiasi), ibu malnutrisi, ibu DM, ibu toxemia gravidarum.
c. Faktor perinatal, seperti kelahiran prematur, BBLR, asfiksia, trauma lahir,
hipoglikemia, hiperbilirubinemia, infeksi (meningitis).
d. Faktor postnatal, seperti trauma kepala, infeksi (ensefalitis, meningitis), asfiksia,
gangguan metabolik, toksin, malnutrisi.
e. Faktor lingkungan, seperti kemiskinan, keluarga yang tidak harmonis, interaksi anak-
pengasuh yang tidak baik, sosiokultural, penelantaran anak.
f. Penyebab belum diketahui
(RI Kementrian Kesehatan. Media Ini Dicetak Dengan Menggunakan Dana DIPA T.A.
2012 Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan R.I. Pedoman Penanganan
Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita. 2012)

3. Gangguan motorik
Perkembangan motorik artinya terdapat peningkatan tahapan kompleks kontrol
terhadap penggunaan otot-otot untuk mobilitas, keseimbangan dan postur yang benar
(mempertahankan kepala tegak, berguling, duduk, merangkak dan berdiri), dan
memanipulasi benda untuk berinteraksi dengan lingkungannya.Ditemukan pada sebagian
besar anak dengan gangguan motorik. Pada anak dengan faktor risiko yang dapat
diidentifikasi, penting untuk menyingkirkan gangguan genetik atau metabolik.
Beberapa penyebab gangguan motorik:
1. Periventricular Leukomalacia (Ischemic Brain Injury)
Jaringan otak bisa rusak ketika tidak memperoleh darah yang cukup. Ini disebut jejas
iskemik pada otak (Ischemic Brain Injury). Bayi prematur rentan terhadap gangguan ini.
Jejas ini biasanya simetris (mengenai kedua sisi tubuh) dan umumnya menjurus pada tipe
diplegi dari gangguan motorik (semua ekstremitas terkena, namun gangguan pada tungkai
lebih besar dibanding lengan).
2. Periventricular Hemorrhagic Infarction
Ketika ada perdarahan periventrikular atau intraventrikular (perdarahan yang
signifikan ke dalam otak), jejas dan nekrosis otak bisa terjadi. Banyak ditemukan pada
bayi prematur, tipe jejas ini umumnya berlanjut menjadi berbagai derajat hemiplegia
(mengenai hanya satu sisi, dengan tungkai lebi atau sama dipengaruhi dibanding tungkai
atas)
3. Brain malformations
Abnormalitas pada perkembangan otak bisa menjurus pada gangguan motorik. Untuk
alasan ini, pencitraan otak biasanya dikerjakan pada anak.
dengan gejala gangguan motorik.
4. Hypoxic Ischemia Encephalopathy
Hipoksia (kekurangan oksigen) pada bayi baru lahir dulunya dipikirkan sebagai
penyebab primer cerebral palsy. Walaupun saat ini hal ini dipikirkan sebagai penyebab
minor, ini bisa menjadi faktor pada anak yang akhirnya memiliki gangguan motorik.
5. Bilirubin Encephalopahty
Bilirubin merupakan sesuatu yang secara normal diproduksi di dalam darah. Level
bilirubin yang meningkat secara abnormal pada bayi baru lahir yang sakit atau imatur bisa
memasuki area otak yang mengontrol pergerakan involunter. Ini bisa menyebabkan
gangguan pergerakan.
6. Stroke
Stroke merupakan hasil dari gangguan aliran darah ke otak. Hal ini biasanya
mengarah pada pola klasik hemiplegia dengan lengan lebih terlibat dibanding tungkai.
7. Lainnya
Ada banyak kemungkinan lain yang menyebabkan gangguan motorik. Hal ini bisa
merujuk pada berbagai variasi gangguan motorik dan kemungkinan gangguan
perkembangan lainnya. Contohnya mencakup infeksi dalam rahim, infeksi postnatal
(meningitis, sepsis), traumatic brain injury,kekerasan atau penelantaran anak, patologi
medulla spinalis (seperti spina bifida), atau dislokasi hip congenital.
(RI Kementrian Kesehatan. Media Ini Dicetak Dengan Menggunakan Dana DIPA T.A.
2012 Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan R.I. Pedoman Penanganan
Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita. 2012)

4. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas


Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas adalah gangguan neurobehaviour
pada anak, yang ditandai dengan adanya gejala berkurangnya perhatian dan aktivitas atau
impulsivitas yang berlebihan. Etiologi sesungguhnya dari GPPH memang belum jelas
diketahui. Faktor neurobiologi diduga salah satu faktor yang cukup kuat untuk timbulnya
gangguan ini. Pemaparan zat toksik prenatal, prematuritas, dan mekanisme kelahiran
yang mengganggu sistem saraf diperkirakan berhubungan dengan gangguan ini. Hasil
penelitian menyatakan bahwa faktor psikososial dapat menyebabkan dan memperburuk
gejala GPPH. Beberapa faktor yang diduga berhubungan atau sebagai penyebab GPPH
antara lain:
a. Faktor Genetik
GPPH lebih sering didapatkan pada keluarga yang memiliki riwayat menderita GPPH.
Keluarga keturunan pertama dari anak dengan GPPH didapatkan lima kali lebih
banyak menderita GPPH daripada keluarga anak normal. Angka kejadian orangtua
kandung dari anak dengan GPPH lebih banyak menderita GPPH daripada orangtua
angkat. Saudara kandung dari anak dengan GPPH didapatkan 2-3 kali lebih banyak
menderita GPPH daripada saudara anak normal.
(Taylor, E., & Barke, E. Disorders of attention and activity. In M. B. Rutter, Rutter’s
Child and Adolescent Psychiatry (5th ed., 521-542). Massachusetts: Blackwell
Publishing Limited.2008)
b. Faktor lingkungan
Lingkungan dapat berhubungan dengan efek genetik melalui beberapa cara dan
menunjukkan korelasi yang pasif antara gen dan lingkungan dimana orangtualah yang
menciptakan lingkungan pada anak seperti halnya mewarisi gen mereka. Faktor non-
genetik yang dapat mempengaruhi risiko GPPH seperti adanya riwayat merokok,
penggunaan alkohol, penggunaan obat-obatan atau anemia selama kehamilan, dan
kelahiran anak yang prematur.
Orangtua yang antisosial akan menciptakan suatu lingkungan yang kasar dan reaksi
yang inkonsisten pada anak mereka. Reaksi tersebut berhubungan dengan adanya dan
menetapnya perilaku antisosial pada anak.
(Banaschewski, T., & Rohde, L. Phenomenology. In T. C. Banaschewski, ADHD and
Hyperkinetic Disorder (pp. 3-17). New York: Oxford University Press.2010)
c. Faktor neurobiologis
Penelitian dengan Computerized Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) telah membuktikan bahwa ada beberapa tempat tempat
diotak yang berfungsi abnormal pada individu GPPH yaitu circuit cortical-striatal-
thalamic-cortical (CSTC).
(Feldman, H. M., & Reiff, M. I. Clinical Practice. Attention Deficit-Hyperactivity
Disorder in Children and Adolescents.2014)
Hasil pemeriksaan Positron Emission Tomography Scan (PET Scan) pada anak
dengan GPPH didapatkan penurunan metabolisme gluose di korteks prefrontal dan
frontal terutama sebelah kanan. Penelitian dari National Institute of Mental Health di
USA juga menunjukkan bahwa area globus pallidus dan nucleus caudatus secara
bermakna lebih kecil pada anak ADHD daripada anak normal.
(Stahl, S., & Mignon, L. Attention Deficit Hyperactivity Disorder. In Stahl’s
Illustrated (1st ed.,1-14). New York: Cambrige University Press.2009)
d. Kerusakan Otak
Diperkirakan bahwa beberapa anak yang menderita GPPH mengalami kerusakan
ringan pada sistem saraf pusat dan perkembangan otak selama periode janin dan
perinatal. Rappaport, dkk dari The National Institute of Mental Health melakukan
penelitian pada anak dengan GPPH menggunakan MRI (Magnetic Resonance
Imaging), menyatakan adanya pengecilan lobus prefrontal kanan, nukleus kaudatus
kanan, globus palidus kanan, serta vermis (bagian dari serebelum) bila dibandingkan
dengan anak tanpa GPPH. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi bagian-
bagian otak tersebut adalah meregulasi fungsi perhatian seseorang. Lobus prefrontal
dikenal sebagai bagian otak yang terlibat dalam proses editing perilaku, mengurangi
distraktibilitas, membantu kesadaran diri dan waktu seseorang. Sedangkan nukleus
kaudatus dan globus palidus berperan dalam menghambat respons otomatik yang
datang pada bagian otak, sehingga koordinasi rangsangan tersebut tetap optimal.
Fungsi serebelum adalah mengatur keseimbangan
e. Faktor Neurokimia
Obat yang paling luas dipelajari di dalam terapi GPPH yaitu stimulanyang
mempengaruhi neurotransmitter dopamin dan norepinefrin, sehingga menimbulkan
hipotesis neurotransmitter yang mencakup kemungkinan disfungsi pada kedua sistem
adrenergik dan dopaminergik. Secara keseluruhan, tidak ada bukti jelas yang
mengaitkan satu neurotransmitter saja di dalam timbulnya GPPH, tetapi banyak
neurotransmitter di dalam prosesnya.

f. Faktor Psikososial
Peristiwa psikis yang memberikan stres, gangguan pada keseimbangan keluarga, serta
faktor pencetus ansietas lain turut berperan di dalam mulainya atau berlanjutnya
GPPH. Faktor predisposisi dapat mencakup temperamen anak, faktor familial-genetik,
dan tuntutan masyarakat untuk patuh dengan cara berperilaku atau berpenampilan
dengan cara yang rutin.
(Banaschewski, T., & Rohde, L. Phenomenology. In T. C. Banaschewski, ADHD and
Hyperkinetic Disorder (pp. 3-17). New York: Oxford University Press.2010)

5. Gangguan bicara dan bahasa.


Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena
kemampuan berbahasa sensitif terhadap keter1ambatan atau kerusakan pada sistem
lainnya, sebab melibatkan kemampuan kognitif, motor, psikologis, emosi dan lingkungan
sekitar anak. Kurangnya stimulasi akan dapat menyebabkan gangguan bicara dan
berbahasa bahkan gangguan ini dapat menetap.
(RI. Depkes. Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi, dan intervensi tumbuh kembang
anak. 2010;)

6. Cerebral palsy.
Merupakan suatu kelainan gerakan dan postur tubuh yang tidak progresif, yang
disebabkan oleh karena suatu kerusakan/gangguan pada sel-sel motorik pada susunan
saraf pusat yang sedang tumbuh/belum selesai pertumbuhannya. Beberapa anak dengan
cerebral palsy hemiplegia mengalami atrofi periventricular, menunjukkan adanya
ketidaknormalan pada white matter. Pada pasien dengan cerebral palsy bergejala
quadriplegia,gangguan motorikyang terjadi pada kaki bisa sama sampai lebih berat
daripada tangan.
(RI. Depkes. Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi, dan intervensi tumbuh kembang
anak. 2010;)

7. Sindrom Down.
Anak dengan Sindrom Down adalah individu yang dapat dikenal dari fenotipnya dan
mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21
yang berlebih. Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan
tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali
pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung congenital. Perkembangannya lebih lambat
dari anak yang normal.Beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital, hipotonia
yang berat, masalah biologis atau lingkungan lainnya dapat menyebabkan keter1ambatan
perkembangan motorik dan keterampilan untuk menolong diri sendiri.
(RI. Depkes. Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi, dan intervensi tumbuh kembang
anak. 2010;)

8. Perawakan Pendek.
Short stature atau Perawakan Pendek merupakan suatu terminologi mengenai tinggi
badan yang berada di bawah persentil 3 atau -2 SD pada kurva pertumbuhan yang berlaku
pada populasi tersebut. Penyebabnya dapat karena varisasi normal,gangguan gizi,
kelainan kromosom, penyakit sistemik atau karena kelainan endokrin.
(RI. Depkes. Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi, dan intervensi tumbuh kembang
anak. 2010;)
PENEGAKKAN DIAGNOSIS GANGGUAN TUMBUH KEMBANG BALITA

Ketika mengamati balita memasuki ruang pemeriksaan bersama orang tuanya, sebenarnya
kita sudah mulai ‘mendeteksi’ tumbuh kembangnya. Dengan memperhatikan penampilan
wajah, bentuk kepala, tinggi badan, proporsi tubuh, pandangan matanya, suara, cara bicara,
berjalan, perilaku, aktivitas dan interaksi dengan lingkungannya bisa didapatkan beberapa
informasi penting berkaitan dengan tumbuh kembangnya. Tetapi deteksi dini gangguan
tumbuh kembang balita sebaiknya dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
skrining perkembangan yang sistematis agar lebih obyektif.
a. Anamnesis
Keluhan utama dari orangtua berupa kekhawatiran terhadap tumbuh kembang anak dapat
mengarah kepada kecurigaan adanya gangguan tumbuh kembang, misalnya anaknya lebih
pendek dari teman sebayanya, kepala kelihatan besar, umur 6 bulan belum bisa
tengkurap, umur 8 bulan belum bisa duduk, umur 15 bulan belum bisa berdiri, 2 tahun
belum bisa bicara dan lain lain. Glascoe (1996) melaporkan bahwa kecurigaan orangtua
terhadap perkembangan anaknya (dengan membandingkan terhadap anak-anak lain)
mempunyai korelasi yang cukup tinggi dengan gangguan perkembangan tertentu
(walaupun mereka berpendidikan rendah dan belum berpengalaman mengasuh anak).

Melakukan pemeriksaan fisis dan skrining perkembangan untuk membuktikan apakah


kecurigaan orang tua itu benar. Selanjutnya anamnesis dapat diarahkan untuk mencari
faktor-faktor risiko atau etiologi gangguan tumbuh kembang yang disebabkan oleh faktor
intrinsik pada balita dan atau faktor lingkungan.

Faktor risiko pada balita (intrinsik, genetik heredokonstitusional)


Faktor risiko yang harus ditanyakan antara lain retardasi pertumbuhan intra uterin,
berat lahir rendah, prematuritas, infeksi intra uterin, gawat janin, asfiksia, perdarahan
intrakranial, kejang neonatal, hiperbilirubinemia, hipoglikemia, infeksi, kelainan
kongenital, temperamen, dan lain-lain.
Faktor risiko di lingkungan mikro
Faktor risiko pada ibu antara lain umur, tinggi badan, pendidikan, kesehatan ibu
selama hamil dan persalinan (kadar Hb, status gizi, penyakit, pengobatan), jumlah anak
dan jarak kehamilan, pengetahuan, sikap dan ketrampilan ibu dalam mencukupi
kebutuhan biopsikososial (‘asuh’, ‘asih’, ‘asah’) untuk tumbuh kembang balitanya,
penyakit keturunan, penyakit menular, riwayat pernikahan (terpaksa, tidak direstui, single
parent, perceraian dan lain-lain), merokok, alkoholism, narkoba, pekerjaan/penghasilan,
dan lain-lain.
Faktor risiko di lingkungan mini
 Ayah: umur, tinggi badan, pendidikan, pekerjaan/penghasilan, pengetahuan, sikap dan
ketrampilan ayah dalam mencukupi kebutuhan bio-psikososial (‘asuh’, ‘asih’, ‘asah’)
untuk tumbuh kembang balitanya, penyakit, riwayat pernikahan (terpaksa, tidak
direstui, perceraian dan lain-lain), komitmen perencanaan kehamilan, hubungan ayah-
ibu dan anak dan lain-lain.
 Saudara kandung/tiri yang tinggal serumah: jumlah, jarak umur, kesehatan (status
gizi, imunisasi, kelainan bawaan, gangguan tumbuh kembang, penyimpangan
perilaku), pendidikan, hubungan dengan ayah-ibu dan lain-lain.
 Anggota keluarga lain serumah (nenek, kakek, paman, bibi, pengasuh anak,
pembantu): pengetahuan, sikap dan ketrampilan mencukupi kebutuhan tumbuh
kembang balita. Sarana bermain, mainan (kubus, puzzle, kertas, pensil, boneka, bola
dan lain-lain). Contoh nilai-nilai, aturan-aturan, penghargaan, hukuman dan lain-lain.
 Sanitasi: cahaya, aliran udara, kebersihan lantai, kamar tidur, ruang bermain, sumber
air, kakus, septic tank, selokan, pembuangan sampah dan lainlain.
Faktor risiko di lingkungan meso
Tetangga (tingkat ekonomi, sikap dan perilaku tetangga), teman bermain, sarana
bermain, polusi, pelayanan kesehatan (kualitas pelayanan Posyandu), pendidikan
(pendidikan usia dini, program bina keluarga dan balita dan lain-lain), sanitasi
lingkungan, adat-budaya dan lain-lain dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan bio-
psikososial untuk tumbuh kembang balita.
Faktor risiko di lingkungan makro
Program-program untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan keluarga
dalam mencukupi kebutuhan biopsikososial untuk tumbuh kembang anaknya belum
menjangkau semua keluarga (terutama keluarga berpenghasilan rendah), walaupun secara
konseptual pemerintah, organisasi profesi, perguruan tinggi (iptek), LSM, WHO, Unicef
dan lain-lain sejak lama peduli pada masalah ini. Demikian juga upaya deteksi dini belum
mendapat prioritas penting di dalam program rutin dan belum didukung sarana intervensi,
serta belum mampu menjangkau semua balita berisiko tinggi.

b. Pemeriksaan Fisis Rutin


 Tinggi badan
Tinggi badan dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan pertumbuhan, yaitu
dengan mengukur panjang (tinggi) badan secara periodik, kemudian dihubungkan
menjadi sebuah garis pada kurva pertumbuhan tertentu.
Seorang anak dicurigai mengalami gangguan pertumbuhan jika panjang (tinggi
badan) selama beberapa periode selalu di bawah persentil 3 (- 2 SD) kurva
pertumbuhan tinggi badan rata-rata anak pada usia tersebut sesuai dengan jenis
kelaminnya. Namun keadaan tersebut belum tentu patologis, karena dapat disebabkan
oleh faktor genetik/familial, atau lambat tumbuh konstistusional akibat keterlambatan
maturasi (usia) tulang lebih dari 2 tahun yang pada akhir masa remaja dapat mencapai
pertumbuhan normal. Oleh karena itu dengan satu atau dua kali pengukuran, kita
hanya dapat menyebutkan bahwa ia berperawakan pendek atau normal, namun belum
dapat menyimpulkan status pertumbuhannya. Untuk menyimpulkan status
pertumbuhan seorang anak harus dibandingkan prakiraan tinggi akhir anak tersebut
dengan potensi tinggi akhir genetiknya.
Prakiraan tinggi akhir anak dilakukan dengan melanjutkan kurva pertumbuhan anak
tersebut dengan menarik garis lengkung sampai memotong garis umur 19-20 tahun
sejajar dengan kurva terdekat. Potensi tinggi akhir genetiknya dihitung dari rata-rata
tinggi badan kedua orangtuanya dengan rumus di bawah ini:
Dengan perhitungan di atas maka dapat ditentukan rentang potensi tinggi genetik pada
akhir masa remaja/dewasa muda. Kalau prakiraan tinggi akhir ternyata masih masuk
di dalam batas potensi genetik, maka pertumbuhan anak umumnya dalam batas
normal. Jika prakiraan tinggi akhir di luar batas potensi tinggi genetik, maka perlu
dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor penyebabnya.

 Penyebab gangguan pertumbuhan tinggi badan


Gangguan pertumbuhan dapat diakibatkan oleh penyebab primer dan sekunder.
Penyebab primer antara lain kelainan pertumbuhan tulang (osteokondroplasia,
osteogenesis imperfekta), kelainan kromosom (sindrom Turner, Down, dan lain-lain),
kelainan metabolik (mukopolisakaridosis, mukolipidosis), dan faktor keturunan
(genetik, familial). Gangguan pertumbuhan akibat penyebab primer umumnya sulit
diperbaiki. Penyebab sekunder antara lain retardasi pertumbuhan intra uterin,
malnutrisi kronik, penyakit-penyakit kronik (infeksi, kelainan jantung, paru, saluran
cerna, hati, ginjal, darah dan lain-lain), kelainan endokrin (defisiensi GH, IGF-1,
hipotiroidisme, kelebihan glukokortikoid, diabetes melitus, diabetes insipidus, rickets
hipopostamemia) dan kelainan psikososial (sindrom deprivasi emosional). Ada
perawakan pendek pada anak yang akhirnya pada masa dewasa dapat mencapai tinggi
normal (dalam rentang midparental height), disebut lambat tumbuh konstistusional
akibat keterlambatan maturasi (usia) tulang lebih dari 2 tahun.
Gangguan pertumbuhan dapat berupa perawakan jangkung, antara lain disebabkan
oleh kelainan endokrin (pituitary gigantism, sexual precocity, tirotoksikosis, sindrom
Beckwith-Wiedeman), kelainan kromosom, dan variasi normal (genetik,
konstitusional).

 Berat badan
Berat badan dapat membantu mendeteksi gangguan pertumbuhan, yaitu dengan
menimbang berat badan secara periodik, kemudian dihubungkan menjadi sebuah garis
pada kurva berat badan. Umumnya balita normal berat badannya selalu diatas
persentil 5 kurva NCHS, namun bisa naik atau turun memotong 1-2 kurva persentil
berat badan.2 Jika kurva berat badan anak mendatar atau menurun hingga memotong
lebih dari 2 kurva persentil, disebut failure to thrive (gagal tumbuh), bisa disebabkan
oleh faktor medic (organik, penyakit) atau non medik (psikososial). Berat badan
berkaitan erat dengan masalah nutrisi (termasuk cairan, dehidrasi, retensi cairan).
Obesitas dapat dijumpai dengan retardasi mental (sindroma Prader-Willi dan
Beckwith-Wiedeman).

 Kepala
Perhatikan ukuran, bentuk dan simetri kepala. Mikrosefali (lingkar kepala lebih kecil
dari persentil 3) mempunyai korelasi kuat dengan gangguan perkembangan kognitif,
sedangkan mikrosefali progresif berkaitan dengan degenerasi SSP. Makrosefali
(lingkar kepala lebih besar dari persentil 97) dapat disebabkan oleh hidrosefalus,
neurofibromatosis dan lain-lain.4,8 Bentuk kepala yang ‘aneh’ sering berkaitan
dengan sindrom dengan gangguan tumbuh kembang. Ubun-ubun besar biasanya
menutup sebelum 18 bulan (selambat-lambatnya 29 bulan). Keterlambatan menutup
dapat disebabkan oleh hipotiroidi dan peninggian tekanan intrakranial (hidresefalus,
perdarahan subdural atau pseudotumor serebri).

 Kelainan bagian dan organ tubuh lainnya


Kelainan yang dijumpai pada bagian-bagian tubuh dan atau organ tubuh (terutama
kelainan mayor) harus diwaspadai kemungkinannya disertai sindrom yang berkaitan
dengan gangguan tumbuh kembang anak

 Pemeriksaan neurologis dasar


Pemeriksaan beberapa fungsi syaraf kranial, system motorik (kekuatan otot, tonus
otot, refleks-refleks), sistem sensorik, cara berjalan dan lain-lain dapat mendeteksi
adanya gangguan tumbuh kembang anak.

 Skrining Perkembangan
Menurut batasan WHO, skrining adalah prosedur yang relatif cepat, sederhana dan
murah untuk populasi yang asimtomatik tetapi mempunyai risiko tinggi atau dicurigai
mempunyai masalah. Blackman (1992) menganjurkan agar bayi atau anak dengan
risiko tinggi (berdasarkan anamnesis atau pemeriksaan fisik rutin) harus dilakukan
skrining perkembangan secara periodik. Sedangkan bayi atau anak dengan risiko
rendah dimulai dengan kuesioner praskrining yang diisi atau dijawab oleh orangtua.
Bila dari kuesioner dicurigai ada gangguan tumbuh kembang dilanjutkan dengan
skrining.

1. Skrining perkembangan DENVER II


Skrining perkembangan yang banyak digunakan oleh profesi kesehatan adalah Denver
II, antara lain karena mempunyai rentang usia yang cukup lebar (mulai bayi baru lahir
sampai umur 6 tahun), mencakup semua aspek perkembangan dengan realiability
cukup tinggi (interrates reability = 0.99, test-retest reability = 0.90). Sampai tahun
1990 metode ini telah digunakan lebih dari 54 negara dan telah dimodifikasi lebih dari
15 negara (Frankenburgh dkk, 1990). Walaupun secara eksplisit metode ini untuk
mendeteksi 4 aspek perkembangan, tetapi di dalamnya sebenarnya terdapat aspek-
aspek lain sebagai berikut:
 Gerak kasar
 Gerak halus (di dalamnya terdapat aspek koordinasi mata dan tangan,
manipulasi benda-benda kecil, pemecahan masalah ),
 Berbahasa (di dalamnya terdapat juga aspek pendengaran, penglihatan dan
pemahaman, komunikasi verbal),
 Personal sosial (di dalamnya terdapat juga aspek penglihatan, pendengaran,
komunikasi, gerak halus dan kemandirian).
Uji Denver membutuhkan waktu cukup lama sekitar 30-45 menit. Kesimpulan hasil
skrining Denver II hanya menyatakan bahwa balita tersebut: normal atau dicurigai ada
gangguan tumbuh kembang pada aspek tertentu. Normal, jika ia dapat melakukan
semua kemampuan (atau berdasarkan laporan orangtuanya) pada semua persentil
yang masuk dalam garis umurnya. Walaupun ada 1 ketidakmampuan atau menolak
melakukan pada persentil 75-90 masih dianggap normal. Dicurigai ada gangguan
tumbuh kembang jika ada 1 atau lebih ketidakmampuan pada persentil > 90, atau 2
(atau lebih) ketidakmampuan/menolak pada persentil 75-90 yang masuk garis
umurnya. Selain itu di dalam Denver II ada bagian terpisah untuk menilai perilaku
anak secara sekilas. Tetapi Denver II tidak mampu mendeteksi gangguan emosional
atau gangguan-gangguan ringan. Tidak ada metoda skrining yang sempurna.
2. Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP)
Kuesioner ini diterjemahkan dan dimodifikasi dari Denver Prescreening
Developmental Questionnaire (PDQ) oleh tim Depkes RI yang terdiri dari beberapa
dokter spesialis anak, psikiater anak, neurolog, THT, mata dan lain-lain pada tahun
1986.22 Kuesioner ini untuk skrining pendahuluan bayi umur 3 bulan sampai anak
umur 6 tahun yang dilakukan oleh orangtua. Setiap umur tertentu ada 10 pertanyaan
tentang kemampuan perkembangan anak, yang harus diisi (atau dijawab) oleh
orangtua dengan ya atau tidak, sehingga hanya membutuhkan waktu 10-15 menit
(lihat lampiran). Jika jawaban ya sebanyak 6 atau kurang maka anak dicurigai ada
gangguan perkembangan dan perlu dirujuk, atau dilakukan skrining dengan Denver II.
Jika jawaban ya sebanyak 7-8, perlu diperiksa ulang 1 minggu kemudian. Jika
jawaban ya 9-10, anak dianggap tidak ada gangguan, tetapi pada umur berikutnya
sebaiknya dilakukan KPSP lagi. Untuk memperluas jangkauan skrining
perkembangan Frankenburg dkk,. (1990) menganjurkan agar lebih banyak
menggunakan PDQ, karena mudah, cepat, murah dan dapat dikerjakan sendiri oleh
orangtua atau dibacakan oleh orang lain (misalnya paramedis atau kader kesehatan).
Jika dengan PDQ dicurigai ada gangguan perkembangan, anak tersebut dirujuk untuk
dilakukan skrining dengan Denver II yang lebih rumit, lama dan harus dilakukan oleh
tenaga terlatih. Kuesioner ini sampai sekarang masih dianjurkan oleh Depkes untuk
digunakan di tingkat pelayanan kesehatan primer (dokter keluarga, Puskesmas) sering
disebut sebagai ‘buku hijau’ berjudul Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita
Depkes RI 1994 yang telah diuji coba di beberapa propinsi, tetapi tampaknya jarang
dimanfaatkan. Bahkan beberapa dokter Puskemas tidak tahu adanya buku tersebut,
atau tidak tahu cara penggunaannya karena tidak pernah diajarkan.

3. Buku Pedoman Pembinaan Perkembangan Anak di Keluarga


Buku ini disusun oleh tim dari Fakultas Kedokteran UI (terdiri dari dokter spesialis
anak, psikiater anak, neurologi, mata, THT), Fakultas Psikologi UI, Depkes dan
UNICEF pada tahun 1987-1988, untuk digunakan oleh keluarga dan kader kesehatan
dalam memantau perkembangan anak umur 0 - 6 tahun. Di dalam buku ini pada setiap
rentang umur tertentu dipilih 4 milestone perkembangan untuk umur tersebut (masing-
masing mewakili aspek gerak kasar, gerak halus, bicara-bahasa kecerdasan,
kemampuan bergaul dan mandiri dari skala perkembangan Denver) yang mudah
dikenali atau dilakukan oleh orangtua atau kader karena dilengkapi dengan gambar-
gambar yang mudah dimengerti. Dengan buku berwarna merah muda ini (buku pink)
keluarga atau kader bisa menemukan keterlambatan perkembangan balita untuk
dirujuk ke dokter keluarga atau Puskesmas terdekat. Oleh karena itu buku ini
sebenarnya merupakan instrument praskrining. Bahkan di dalam buku ini juga
dijelaskan cara melakukan stimulasi/intervensi dini oleh keluarga atau kader
kesehatan jika ditemukan gangguan tumbuh kembang sebelum dirujuk.

4. Kuesioner Skrining Perilaku Anak Prasekolah (KSPAP)


Kuesioner ini diterjemahkan dan dimodifikasi dari Home Screening Questionnaire
(Frankenburg, 1986) oleh tim Departemen Kesehatan RI yang terdiri dari beberapa
dokter spesialis anak, psikiater anak, neurolog, THT, mata dan lain-lain pada tahun
1986. Kuesioner terdapat di dalam ‘buku hijau’ berjudul Pedoman Deteksi Dini
Tumbuh Kembang Balita Depkes RI 1994, tetapi tampaknya jarang dimanfaatkan.
Bahkan beberapa dokter Puskemas tidak tahu cara penggunaannya karena tidak
pernah diajarkan. Kuesionir ini berisi 30 perilaku anak yang ditanyakan kepada
orangtua (oleh kader kesehatan, guru atau diisi sendiri oleh orangtua) untuk
mendeteksi dini kelainan perilaku anak prasekolah (3-6 tahun). Orangtua dapat
menjawab: tidak pernah (nilai 0), kadang-kadang (nilai 1), atau sering (nilai 2), sesuai
dengan perilaku anaknya sehari-hari. Jika jumlah nilai seluruhnya lebih dari 11, maka
anak perlu dirujuk. Jika kurang dari 11 tidak perlu dirujuk.

5. Pediatric Symptom Checklist (PSC)


Kuesioner ini dipublikasikan oleh Jelllinek dkk (1988) untuk skrining perilaku anak
umur 4-16 tahun berupa 35 perilaku anak yang harus dinilai oleh orangtua. Orangtua
dapat menjawab tidak pernah (nilai 0), kadang-kadang (nilai 1), atau sering (nilai 2),
sesuai dengan perilaku anaknya seharihari. Jika jumlah nilai seluruhnya lebih dari 28,
maka anak perlu dirujuk. Jika kurang dari 28 tidak perlu dirujuk.

6. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT)


American Academic of Pediatrics (AAP) sejak 2001 merekomendasikan CHAT
sebagai salah satu alat skrining untuk deteksi dini gangguan spectrum autistik
(autistic spectrum disorder) anak umur 18 bulan sampai 3 tahun, di samping PDDST
(pervasive developmental disorder screening test) yang diisi oleh orangtua. CHAT
dikembangkan di Inggris dan telah dipublikasikan oleh Cohen dkk,. sejak tahun 1992
serta telah digunakan untuk skrining lebih dari 16.000 balita. Walaupun
sensitivitasnya kurang, AAP menganjurkan dokter menggunakan salah satu alat
skrining tersebut. Bila dicurigai ada risiko autis atau gangguan perkembangan lain
maka dapat dirujuk untuk penilaian komprehensif dan diagnostic.

7. Kuesioner Skrining Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)


Setiap kali melakukan pemeriksaan atau penilaian kesehatan jiwa, petugas klinik
(dokter, psikolog, psikiater, perawat kesehatan jiwa) harus melakukan skrining
terhadap GPPH. Secara spesifik mengajukan pertanyaan tentang gejala utama GPPH
(tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktifivitas dan impulsivitas), serta
menanyakan apakah gejala tersebut menimbulkan kegagalan dalam fungsi kehidupan
sesuai dengan tugas perkembangan anak normal. Tujuan dari skrining ini adalah
mengetahui adanya Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) pada
anak usia 36 bulan ke atas. Dilaksanakan atas indikasi bila ada keluhan dari orang
tua/pengasuh anak atau ada kecurigaan tenaga kesehatan, kader kesehatan, BKB,
petugas PAUD, pengelola TPA dan guru TK. Keluhan tersebut dapat berupa salah
satu atau lebih keadaan seperti anak tidak bisa duduk tenang, anak selalu bergerak
tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah dan perubahan suasana hati yang
mendadak/impulsive. Alat yang digunakan adalah formulir deteksi dini Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas/GPPH (Abbreviated Conners Ratting Scale),
Formulir ini terdiri 10 pertanyaan yang ditanyakan kepada orang tua/pengasuh
anak/guru TK dan pertanyaan yang perlu pengamatan pemeriksa.

c. Pemeriksaan Lanjutan
Pemeriksaan lanjutan untuk menentukan diagnosis dan etiologinya tergantung kepada
jenis gangguan tumbuh kembangnya, misalnya pemeriksaan neurologis (klinis, EEG, BERA
dan lain-lain), radiologis, mata, THT, psikiatris, psikologis, genetis (kromosom), endokrin
dan lain-lain.

(Soedjatmiko. Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Balita. Jakarta: Sari


Pediatri, 2001; Vol. 3, No. 3.)
Sumber kuisioner GPPH : (Kemenkes RI. Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan
Tumbuh Kembang Balita. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010.)

Anda mungkin juga menyukai