PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari tasawuf atau thariqat.
2. Untuk mengetahui fungsi dari tasawuf dan thariqat.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tasawuf dengan aliran
kebatinan.
4. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya tasawuf atau thariqat islam.
5. Untuk mengetahui aliran-aliran aliran tasawuf dan tharikat beserta corak
pemikirannya.
6. Untuk mengetahui para tokoh yang berperan dalam perkembangan tasawuf
atau thariqat islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
membersihkan diri dari godaan dunia serta menjalankan kewajibannya dan
menjauhi larangannya berdasarkan kepada ketentuan agama dan Al-Qur'an.
Sedangkan pada aliran kebatinan atau yang sering dikenal dengan aliran
kepercayaan mendekatkan diri berdasarkan kepercayaan yang sudah melekat sejak
lama, misalnya di Indonesia lebih tepatnya di pulau Jawa ada yang masih
menganut agama islam kejawen yaitu agama Islam tetapi sudah dicampuradukkan
dengan kepercayaan-kepercayaan orang terdahulu yang masih kental dan masih
ada sampai sekarang.
4
hatinya. Selan itu sebuah syarat agar Allah SWT mengampuni dosa seseorang,
maka terlebih dulu harus dia mengakui dosa-dosa yang telah dilakukan.
2. Melindungi dari senjata rahasia iblis
Ada sebuah kisah dalam Kitab aj-Jaibul Qolbi karangan Imam Al-
Ghazali: Ketika terjadi banjir Besar pada zaman Nabi Nuh as, dan orang yang
beriman telah berada pada bahtera tersebut. Ternyata di bahtera itu ada
penumpang gelap. Nabi Nuh yang jeli melihat ada orang yang tidak dikenal,
serta-merta beliau mengusirnya dengan murka. Namun, sebelum pergi Iblis
memberikan Tiga senjata ampuh untuk menggelincirkan ummat manusia.
Inilah senjata-senjata yang digunakan Iblis untuk menggelincirkan
manusia:
Pertama, yaitu rasa iri. Rasa iri adalah penyakit hati yang merasa tidak
suka apabila seseorang mendapatkan nikmat dari Allah SWT dan akan merasa
senang apabila melihaat orang lain menderita. Iri hati adalah penyakit iblis dan
karena inilah Iblis dikutuk oleh Allah SWT dan diusir dari surga.
Kedua, al-hirsu atau keserakahan. Yaitu keinginan berlebih-lebihan dan
keinginan yang besar terhadap dunia. Dalam kisahnya, ketika nabi Adam AS
dan Siti Hawa berada di surga dan dilarang oleh Allah Swt untuk mendekati
pohon. Iblis melakukan aksinya dengan cara membujuk nabi Adam AS dan Siti
Hawa agar memakan buah yang dilarang oleh Allah SWT tersebut. Penyakit ini
lebih banyak menjangkit kepada kaum hawa.
Ketiga, al-kibru takabur atau sombong. Menolak kebenaran yang
datangnya dari Allah SWT. Ketika Iblis diperintahkan untuk sujud kepada
Adam as, dia menolak karena terdapat penyakit takabur dalam hatinya. Iblis
mengaku lebih baik dari Adam, karena diciptakan dari tanah sedang Iblis
diciptakan dari api.
5
fitrah dan kedekatan mereka dengan rasulullah saw. Mereka berlomba-lomba
mengikuti dan meneladani rosulullah dalam segala aspek. Oleh karena itu mereka
tidak membutuhkan ilmu yang membingbing mereka kepada sesuatu yang benar-
benar telah dikerjakan. Meskipun para sahabat dan tabi’in tidak menggunakan
kata tasawuf. Mereka secara praktis adalah sufi yang sesungguhnya.
Setelah era ke tiga tadi, beragam bangsa mulai memeluk islam, dan beragam
ilmu pengetahuan semakin berkembang. Habislah era ini, lalu muncul pengaruh
spiritual islam yang sedikit demi sedikit mulai melemah. Orang orang mulai lupa
bertaqarub (dekat) kepada Allah melalui ibadah, hati, dan tekad. Hal inilah yang
mendorong ahli zuhud untuk mengkodifikasikan ilmu tasawuf serta menerangkan
kemuliaan dan keutamaannya diantara ilmu ilmu lainnya.
Tasawuf juga merupakan wahyu samawi yang merupakan bagian dari ajaran
agama yang dibawa oleh rasulullah. Menurut pernyataan ibnu Khaldun “
munculnya tasawuf dan sufi merupakan dampak dari tertelannya umat dengan
urusan duniawi pada abad kedua hijriyah”. Oleh sebab itu, wajar jika orang-orang
yang tekun beribadah ketika itu mengambil sebuah nama untuk membedakan diri
mereka dari kebanyakan orang yang terlena dengan urusan duniawi yang fana itu.
6
himpunan ilmu-ilmu dimana sebelumnya tarekat hanya dipandang sebagai
satuan ibadah saja”. Pada abad ke tiga ini pula muncul tasawuf lain yang
terpengaruhi oleh unsur unsur diluar islam. Unsur-unsur tersebut
diantaranya yaitu :
- Unsur Masehi
Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam
hal latihan jiwa dan ibadah . Atas dasar ini tidak menherankan jika
Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur
agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat
pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam
adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker
mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi
sebagai lambing kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang
biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan
bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan
bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama
Nasrani.
Unsur-unsur tasawuf yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam
adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam
adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada orang
fakir. Isa berkata : “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena
bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar,
karena kamu akan kenyang.” Selanjutnya adalah sikap tawakkal
kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat pada, peranan syaikh
yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa;
selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat
mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian, dimana sufi
dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan
Allah.
- Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di
mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan
7
puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani
ini juga telah ikut mempengaruhi pola pikir sebagian orang Islam yang
ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai
perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam
pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu
pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari
pikiran al-Farabi’, al-Kindi, Ibn Sina terutama dalam uraian mereka
tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari
Abu Yazid,al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi, dan lain-lain sebagainya.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah
segala sesuatu diukur menurut akal fikiran. Tetapi dengan munculnya
filsafat aliran Neo Platonis menggambarkan, bahwa hakikat yang
tertinggi hanya dapat dicapai lewat yang diletakkan Allah pada hati
setiap hamba setelah seseorang itu membersihkan dirinya dari
pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis : “Kenallah dirimu dengan
dirimu” diambil oleh para sufi dan di antara sufi berkata : “Siapa yang
mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya”. Hal ini semua
mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wihdah Asy-Syuhud, dan
Wihdah al-Wujud. Tidak syah lagi bagi kelompok Neo Shopi (Sufi
berketuhanan dan filosof) seperti Ibn Arabi, Ibn al-Farabi, al-Hallaj,
ditemukan pengaruh nyata filsafat dalam cara berpikir mereka.
- Unsur Hindu / Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat
adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy. Al-Birawi mencatat
bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf
dengan Hindu. Kemudian pula paham reinkarnasi (perpindahan roh
dari satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia versi
Hindu/Buddha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqomat Sufiah al-Fana nampaknya ada persamaan
dengan ajaran tentang Nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher
mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta
Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.
8
Menurut Qomar Kailani pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim
sekali karena kalua diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari
Hindu/Buddha berarti pada zaman Nabi Muhammad telah
berkembang ajaran Hindu/Buddha itu ke Mekkah, padahal sepanjang
sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
- Unsur Persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan
semenjak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran,
kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi, belum ditemukan dalil yang
kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke
Tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke
Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun,
barangkali ada persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan zuhd
menurut agama Manu dan Mazdaq dan hakikat Muhammad
menyerupai paham Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam agama
Zarathustra.
Dari semua uraian ini dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya
tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri mengingat yang
dipraktekkan Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari azas-
azasnya. Semuanya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa setelah tasawuf itu berkembang
menjadi pemikirannya mendapat pengaruh dari filsafat Yunani,
Hindu, Persia, dan lain sebagainya, dan hal ini tidak hanya terjadi
dalam bidang tasawuf saja melainkan juga dalam bidang lainnya.
Sumber-sumber yang menggambarkan bahwa tasawuf Islam
seolah-olah berasal bukan dari ajaran Islam, biasanya berasal dari
Barat. Di dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat
kita menjumpai uraian seperti itu. Hal ini disebabkan karena mereka
mengidentikkan ajaran Islam sebagaimana ajaran non Islam, yaitu
ajaran yang dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi
oleh situasi sosial. Namun perlu dicatat, bahwa mengidentikkan Islam
dengan non Islam tidak sepenuhnya benar. Ajaran Islam sebagai
9
diketahui bersumber pada wahyu Al-Qur’an dan Sunnah al-Rasul.
Kedua sumber ini jelas bukan produk pemikiran manusia. Namun
bersamaan dengan itu, Al-Qur’an dan al-Sunnah terkadang tampil
dalam format yang “belum siap pakai”, atau belum bisa digunakan
begitu saja dalam aplikasinya, sebelum terlebih dahulu dijabarkan dan
dikembangkan operasionalisasinya oleh akal pikiran. Dalam hubungan
inilah ke dalam ajaran Islam masuk unsur pemikiran yang pada
hakikatnya bukan wahyu. Dengan demikian, bagian dari ajaran Islam
ada yang bersifat ajaran normatif, yaitu yang bersumber pada Al-
Qur’an dan al-Sunnah yang tidak akan mengalami perubahan; dan ada
yang bersifat non-normatif, yaitu yang bersumber pada akal pikiran
yang dapat dikembangkan bahkan diubah dan dibuang.
Pemikiran yang dihasilkan dari pemahaman terhadap Al-Qur’an
dan Al-Sunnah itu pun sifatnya jauh berbeda dengan pemikiran bebas
yang tidak bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Pemikiran jenis
pertama tidak bebas sebebas-bebasnya melainkan masih terikat pada
kedua sumber ajaran Islam tersebut. Pemikiran yang sifatnya tidak
demikian tidak dapat diterima sebagai pemikiran Islam. Hal ini
berbeda dengan pemikiran yang tidak bersumber pada Al-Qur’an dan
Al-Sunnah yang bersifat bebas, liberal dan tidak terikat pada ajaran
apapun.
Jika jalan pemikiran tersebut digunakan untuk melihat ajaran
tasawuf, maka dapat kita katakana, bahwa ajaran tasawuf itu sama
kedudukannya dengan ajaran lainnya dalam Islam, seperti teologi,
fiqh, dan lain sebagainya. Ajaran tasawuf bersumber pada Al-Qur’an
dan Al-Sunnah yang penggarapannya memerlukan bantuan pemikiran
yang sehat, lurus dan tidak keluar dari semangat ajaran Al-Qur’an dan
Al-Sunnah itu sendiri, yaitu pemikiran yang tidak sampai menentang
rukun iman dan rukun Islam dana seterusnya. Jika dijumpai pemikiran
tasawuf yang tidak sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah
itu, maka segera diperbaiki, dan hal ini telah dilakukan oleh para
ulama.
10
Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak ada alas an untuk ragu-
ragu menerima ajaran tasawuf, atau menolaknya. Bahkan, jika boleh
dikatakan bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti ajaran Islam, dengan
berbagai pertimbangan sebagai berikut. Pertama, bahwa kehidupan
yang kekal adalah kehidupan akhirat nanti yang kebahagiannya amat
bergantung kepada selamatnya rohani manusia dari perbuatan dosa
dan pelanggaran.
Untuk mewujudkan rohani yang sehat sebagaimana diisyaratkan
dalam ayat tersebut termasuk salah satu tugas tasawuf yang utama.
Kedua, bahwa kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini
sebenarnya terletak pada adanya ketenangan batin yang dihasilkan
dari kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Banyaknya harta
benda, pangkat, kedudukan, dan lain sebagainya sering membawa
seseorang kepada kehidupan yang lupa diri, dan terperosok ke lembah
maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa tasawuf. Sebaliknya banyak
orang yang kehidupan ekonomi, status sosial dan kedudukannya
biasa-biasa saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang, disukai
orang dan seterusnya yang disebabkan karena yang bersangkutan
menunjukkan jiwa dan sikap yang mulia yang dihasilkan dari
ketundukan dan ketakwaannya kepada Tuhan.
Ketiga, bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai
pada batas-batas dimana harta benda, seperti tempat tinggal yang
serba mewah, pakaian serba lux, kendaraan mengkilap dan lain
sebagainya tidak diperlukan lagi, yaitu pada saat usianya sudah lanjut
yang ditandai dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya
pencernaan makanan, kurang berfungsinya pencernaan makanan ,
kurang berfungsinya pancaindera, dan kurangnya selera terhadap
berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan
lain kecuali dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan, tempat ia
harus mempertanggung jawabkan amalnya.
Keempat, dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh
berbagai paham sekuler seperti materialism (memuja materi),
11
hedonism (memuja kepuasan nafsu), vitalisme (memuja keperkasaan),
dan sebagainya, sering menyeret manusia kepada kehidupan yang
penuh persaingan, rakus, boros,saling menerkam, dan lain sebagainya.
Keadaan tetrsebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai
produk budaya yang negative mulai dari makanan dan obat-obat
terlarang, hiburan yang melupakan diri, pakaian yang mengundang
syahwat, tempat-tempat pelacuran, dan sebagainya. Hal tersebut
kemudian memberi pengaruh negative terhadap generasi muda. Untuk
mengatasi masalah tersebutbanyak membutuhkan pemikiran, biaya,
tenaga, waktu dan yang tidak sedikit. Dalam keadaan demikian
tasawuf dapat menjadi salah satu alternative untuk mengatasi masalah
tersebut secara ekonomis, tetapi hasilnya cukup efektif.
Dengan melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan
oleh tasawuf ini, maka tidak ada alas an untuk tidak menerima tasawuf
sebagai bagian integral dari ajaran Islam, bahkan ia harus diletakkan
pada barisan yang paling depan dalam menyelamatkan kehidupan
manusia dari bahaya kehancuran dan kesengsaraan di dunia dan
akhirat.
3. Pada abad ke tiga dan keempat hijriyah banyak muncul tokoh-tokoh
tasawuf diantaranya ada Al-Junaid, Al-Sirri Al-Saqati, Al-Kharraz
Bersama murid mereka yang menjadi cikal bakal terbentuknya tareqat sufi
dalam islam. Dimana para murid menempuh pelajaran dasar disuatu
majelis yang mempelajari tata tertib tasawuf baik ilmu maupun
prakteknya.
4. Pada abad ke lima hijriyah muncul imam Al-Ghazali yang sepenuhnya
hanya menerima tasawuf yang berasal dari Al-Quran dan As Sunnah,
tujuan asketisme, kehidupan sederhana, penulusuran jiwa dan pembinaan
moral. Beliau berhasil merancang prinsip tasawuf moderat yang seiring
dengan aliran ahli sunnah waljamaah dan bertentangan dengan jenis
tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-bustami mengenai soal karakter
manusia disisi lain juga imam Al-Ghazali melancarkan keritikan tajam
terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah.
12
5. Abad ke enam hijriyah pengaruh tasawuf Suni semakin meluas dalam
dunia islam akibat pengaruh dari kepribadian Al-Ghazali. Lalu muncul
tokoh sufi yang lain semisal Sayyid Ahmad Al-Rifa’i dan Sayyid Abdul
Qadir Al- Jaelani.
6. Abad ke tujuh hijriah banyak muncul tokoh sufi yang lainnya, yang paling
terkenal adalah Abu Alsyadzili dan muridnya Abu Abbas Al Mursi, Ibn
Athaillah Al Syakandari. Mereka inilah para tokoh aliran Syadziliyyah
dalam tasawuf yang dianggap sebagai kesinambungan jenis taswuf suni
dari Al-Ghazali. Tetapi sejak abad ke enam hijriyah muncullah
sekelompok tokoh sufi yang mamadukan tasawuf dengan Filsafat dengan
teori yang bersifat setengah-setengah. Sehingga tidak termasuk kedalam
jenis tasawuf filsafat maupun suni. Jelas dikatakan mereka menimba
banyak sumber pendapat asing seperti Filsafat Yunani khususnya Neo.
Platonisme. Diantara para tokohnya adalah Al-Syuhrawardi Al Maqtul
(penyusun kitab hikmah Al-Isyraq) dan Syekh Akbar Muhyiddin Ibn’
Arabi (penyair Sufi Mesir)
13
Tasawuf akhlaki ini disebut juga dengan tasawuf sunni. Tasawuf akhlaki
dikembangkan oleh kaum sufi. Dalam pandangan kaum sufi, manusia sangat
mudah untuk dikendalikan oleh hawa nafsunya sendiri yang cenderung ingin
menguasai dunia ataupun berkuasa di dunia. Oleh sebab itu, kaum sufi
berpendapat bahwa pengembangan tasawuf akhlaki dibangun sebagai dasar
latihan kerohanian dengan tujuan mensucikan hati dan mengendalikan hawa
nafsu sampai ke titik terendah. Sehingga nantinya tidak akan ada penghalang
yang membatasi manusia dengan Tuhannya.
Sistem pembinaan akhlak dalam tasawuf akhlaki :
Takhalli
Takhalli adalah tahapan pertama yang dilakukan oleh seseorang
yaitu usaha untuk membersihkan diri dari perilaku buruk, seperti berbuat
maksiat, kecintaan kepada dunia yang berlebihan, berprasangka
su’udzon, riya, dan sejenisnya. Sebagian sufi berpendapat bahwa
perbuatan maksiat tergolong kedalam najis maknawiyah. Oleh karena itu,
sifat-sifat nafsu dalam diri harus dimusnakan agar manusia tidak
terjerumus ke dalam dosa.
Namun imam Al-Ghazali mempunyai pendapatnya sendiri.
Menurutnya, selama hidup di dunia setiap manusia pasti membutuhkan
nafsu. Nafsu tersebut bukan untuk melakukan hal-hal buruk, tapi nafsu
diperlukan demi menjaga keharmonisan keluarga, membela harga diri,
dan hal-hal positif lainnya
Tahalli
Setelah membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela, tahapan
berikutnya yaitu pengisian jiwa atau disebut Tahalli. Pada tahap ini,
seseorang harus membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak
terpuji seperti, sabar, ikhlas, ridha, taubat, dan sebagainya.
14
perbuatan-perbuatan mulia, taat dan beriman kepada Allah SWT maka
lama-kelamaan hatinya pun akan menjadi bersih.
Tajalli
Tahap yang terakhir adalah Tajalli yang dapat diartikan sebagai
penyempurnaan kesucian jiwa. Di tahap ini, seorang sufi benar-benar
menanamkan rasa cinta kepada Allah SWT di dalam hatinya. Tujuannya
agar perilaku-perilaku baik yang telah dilakukannya pada tahap Tahalli
tidak luntur begitu saja dan bisa terus berlanjut.
Untuk mempertahankan dan memperdalam rasa ketuhanan, ada
beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, diantaranya yaitu :
1. Munajat, melaporkan diri kehadirat Allah atas segala ktivitas yang
dilakukan. Ini merupakan salah satu bentuk doa yang diucapkan
dengan sepenuh hati disertai dengan deraian air mata dan dengan
bahasa yang puitis.
2. Muraqabah dan muhasabah, senantiasa memandang dengan hati
kepada Allah dan selalu memperhatikan apa yang diciptakan-Nya
dan tentang hokum-hukumnya.
3. Memperbanyak wird dan zikr, wird berarti bacaan-bacaan zikr atau
doa-doa atau amalan-amalan. Tujuan zikr menurut orang sufi ialah
menyingkirkan lupa dan lalai dengan selalu ingat hati kepada Allah.
4. Mengingat mati.
5. Tafakkur, yaitu berpikir,memikirkan merenungkan. Dalam Islam,
tafakkur dibesarkan atas ayat-ayat Al-Qur’an yang ditujukan kepada
mereka yang diberkahi pengetahuan dan dituntut untuk
merenungkan tanda-tanda (fenomena-fenomena).
15
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antar tuhan dan
manusia
4. Lebih memfokuskan pada pembinaan akhlak dan pengobatan jiwa dengan
cara latihan mental
5. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat.
Tasawuf Akhlaki pertama kali berkembang di pertengahan abad kedua
hingga abad keempat hijriyah. Adapun tokoh-tokoh sufi yang tergabung dalam
tasawuf ini , meliputi Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi,
al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, dan al-Harowi. Selanjutnya di abad kelima
hijriyah, imam Al Ghozali, Al Harawi, dan Al Qusyairi mulai mengadakan
pembaharuan dengan mengembalikan dasar-dasar tawasuf yang sesuai dengan Al
Quran dan as Sunnah.
2. Tasawuf Amali
Tasawuf Amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaki. Jika tasawuf
akhlaki berfokus pada pensucian jiwa, tasawuf amali lebih menekankan terhadap
cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, baik melalui amalan lahiriah
maupun batiniah. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf amali
adalah ajaran yang dianut oleh pengikut tarekat (ashhâbut turuq), yang meliputi
menjauhi sifaf-sifat tercela, mengutamakan mujâhadah, menghadap Allah dengan
bersungguh-sungguh dan memutuskan hubungan dengan lainnya. Apabila dilihat
dari sudut amalan dan ilmu yang dipelajari, terdapat 4 aspek yang harus dipelajari
dalam aliran tasawuf amali, yaitu syaria’t, thariqat, hakikat dan ma’rifat.
Syaria’t
Syaria’t berasal dari kata syara’, yang mempunyai arti ‘jalan-jalan yang
bisa ditempuh air”, maksudnya adalah jalan yang harus ditempuh manusia untuk
menuju jalan Allah SWT. Secara umum, syaria’at merupakan hukum (segala
ketentuan yang ditetapkan Allah SWT) yang mengatur seluruh kehidupan umat
muslim di dunia, mulai dari urusan hubungan antar manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia (Habuminallah Habuminannas), kunci menyelesaikan
masalah kehidupan baik dunia dan akhirat, rukun, syarat, halal-haram, perintah
16
dan larangan, dan sebagainya. Sumber syaria’t sendiri berada dalam Al-Quran dan
As-Sunnah.
Thariqat
Thariqat (رقNN )طberarti “metode” atau “jalan”, yang secara konseptual
terkait dengan hakikat atau kebenaran sejati. Dalam aliran tasawuf, thariqat berarti
jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk mencapai tujuan sedekat mungkin
dengan Allah SWT, dengan menerapkan metode pengarahan moral dan jiwa.
Thariqat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat. Sebelum
mempelajari thariqat para sufi wajib memahami syariat terlebih dahulu, sebab
syariat adalah pangkal dari suatu ibadah.
Hakikat
Hakikat berasal dari kata Al-Haqq yang berarti kebenaran. Secara garis
besar, hakikat merupakan ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran
sejati mengenai Tuhan. Dalam kitab Al-Kalabazi, hakikat menurut ilmu tasawuf
didefinisikan sebagai aspek yang berkaitan dengan amal batiniah, merupakan
amalan paling dalam dan merupakan akhir perjalanan yang ditempuh oleh para
sufi. Apabila diibaratkan dengan menanam pohon, pertama kita harus menanam
biji benih (syariat). Kemudian kita terus menyirami hingga pohon bercabang dan
tumbuh dedaunan serta buah (thareqat). Terakhir, kita harus merawat pohon
tersebut agar diperoleh buah yang ranum (hakikat, suatu perjalanan akhir).
Intinya, hakikat tidak bisa dilepaskan dari syariat dan thariqat.
Ma’rifah
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-yurifu-irfan. Secara umum, ma’rifat
didefinisikan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan amalan
ibadah yang merupakan perpaduan dari syariat, thariqat, dan hakikat, dimana
nantinya ilmu ini digunakan untuk mengenal Allah SWT lebih mendalam melalui
sanubari atau mata hati. Menurut Imam Al-Ghozali, ma’rifah adalah mengenal
rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh yang ada.
Seseorang yang sudah sampai pada tahap ma’rifah, maka ia berada sangat dekat
dengan Tuhannya seakan tidak ada penghalang.
17
Proses penyucian jiwa dan jalan mendekatkan diri kepada Allah
merupakan jalan yang Panjang melalui tahapan-tahapan yang disebut Muqamat.
Seorang tokoh tasawuf sunni dari Iran, Abu Nasr As-Sarraj At-Tusi menjelaskan
bahwa kedudukan seorang hamba dihadapan Allah swt, yang berhasil
diperolehnya melalui ibadah, perjuangan melawan hawa nafsu, berbagai latihan
spiritual, dan penghadapan segenap jiwa raga kepada Allah swt. Muqamat yang
harus dijalani oleh seorang sufi terdiri atas beberapa peringkat. Menurut Abu
Bakar Al-Kalabadzi, tokoh sufi asal Bukhara, Asia Tengah, menyebutkan ada
tujuh maqam yang harus dilalui sufi menuju Allah, diantaranya yaitu :
1. Al-Zuhud, yaitu suatu keadaan meninggalkan hal-hal keduniawian.
2. At-Taubah, menyesali segala perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan
berjanji serta bersungguh-sungguh untuk tidak melakukan lagi.
3. Al-Wara’, meninggalkan sesuatu yang diragukan halal dan haramnya.
4. Al-Faqr, tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
5. Al-Shabr, tabah hati
6. At-Tawakkal, menyerahkan diri pada qada dan keputusan Allah.
7. Al-Ridla, penerimaan seseorang atas keputusan Allah.
3. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi terpadu dua disiplin ilmu, yaitu tasawuf dan filsafat.
Tasawuf artinya kecintaan terhadap tuhan, sedangkan ilmu Filsafat Islam adalah
yang berkenaan dengan akal atau fikiran. Falsafi disini adalah cara yang
digunakan dalam bertasawuf. Ciri umum tasawuf falsafi ialah kesamaran-
kesamaran ajarannya, akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang
hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf sejenis ini.
Tasawuf ini tidak bisa dikatakan sebagai tasawuf yang murni karena telah
menggunakan pendekatan fikiran dan rasio, namun juga tidak bisa dikatakan
filsafat seutuhnya karena didasarkan pada rasa. Dengan kata lain, tasawuf falsafi
merupakan penggabungan antara rasa dan rasio.
Secara istilah dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari Tasawuf Falsafi
adalah, kajian terhadap tuhan, manusia dan sebagainya yang menggunakan
motode rasio atau akal. Aliran dalam tasawuf falsafi terkesan tidak jelas, karena
18
banyaknya istilah-istilah yang diungkapkan oleh tokoh-tokkohnya dalam aliran ini
yang tidak bisa dimengerti, lantaran menggunakan istilah filsafat. Tokoh-tokoh
dalam tasawuf falsafi pada umumnya mengerti dan akrab dengan ilmu filsafat.
Mereka mempelajari Filsafat Barat, Yunani Kuno, dan Filsafat Islam, serta
mengenal para filosof barat seperti, Socrates, Aristoteles serta pemikiran-
pemikiran filosof Islam seperti Al Farabi dan Ibnu Sina.
Dalam tasawuf falsafi, ada beberapa tema pokok yang menjadi pembahasan
utama, seperti ittihad, hulul dan wahdatul wujud.
Ittihad, pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika merasa dekat
dengan Allah, bersahabat, mencintai dan dicintai Allah, dan mengenal-Nya
sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan-Nya.
Al-Hulul, berhenti atau diam.
Wahdatul Wujud, penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan
alam semesta beserta isinya.
19
terkenal ialah :”Seorang faqih ialah orang yang bersikap zuhd terhadap
kehidupan duniawi yang tahu terhadap dosanya dan yang selalu
beribadah kepada Alloh.”
2. Sufyan al-Sauri
Namanya adalah Abu Abdullah Sufyan bin Sa’id bin Masruq al Sauri
al-Kuhfi. Dia dilahirkan di Kufah pada tahun 97H/175M, dan meninggal
di Basrah pada tahun 161H/778M. dia adalah seorang tabi’in pilihan dan
seorang zahid yang jarang ada tandingannya, bahkan merupakan seorang
bulama hadits yang terkenal, sehingga dalam merawah hadits dia dijuluki
amir al-mu’minin dalam hal hadits.
Mula-mula ia belajar dari ayahnya sendiri, kemudian dari banyak
orang-orang pandai di masa itu sehingga akhirnya ia menjadi seorang
ahli dalam bidang hadits dan biologi.
Sufyan al-Sauri sempat berguru kepada Hasan al-Basri, sehingga
fatwa-fatwa gurunya tersebut banyak mempengaruhi jalan hidupnya. Dia
menyampaikan ajaran agama kepada murid-muridnya agar jangan
terpengaruh oleh kemewahan dan kemegahan duniawi, jangan suka
menjilat kepada raja-raja dan penguasa.
Sufyan al-Sauri termasuk zahid yang sangat berani, tidak takut
dibunuh dalam mengemukakan kritik terhadap penguasa, beliau sangat
mencela kehidupan penguasa yang sangat bergelimang dalam
kemewahan. Diantara ucapan-ucapannya dalam member nasihat itu ialah
“supaya jangan rusak agamamu”.
3. Robi’ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Ummu al-Khair Rabi’ah binti Isma’il al-
Dawiyah al-Qisiyah. Dia lahir di Basrah pada tahun 97H/713M, lalu
hidup sebagai hamba sahaya keluarga Atik. Dia berasal darikeluarga
miskin dan dari kecil ia tinggal di kotra kelahirannya.
Robi;ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak penah menikah,
dipadang mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep
cinta khas sufi kedalam mistisisme dalam Islam.
20
Isi pokok ajaran tasawuf Rabi’ah adalah tentang cinta. Karena itu, dia
mengabdi, melakukan amal shaleh bukan karena takut masuk neraka atau
mengharap masuk surge, tetapi karena cintanya kepada Allah. Cintalah
yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah, dan cinta itupula
yang membuat ia sedih dan menangis karena takut terpisah dari yang
dicintainya.
21
mampu mengendalikannya. Dan barang siapa tidak mampu
mengendalikan dirinya, niscaya dialebih tidak mampu lagi
mengendalikan orang lain.”
Al-Saqti berpendapat bahwa untuk pendidikan moral hingga tercapai
keselamatan lahir dan batin, orang harus menyendiri dari orang banyak
dan untuk mengkonsentrasikan perhatian dan memusatkan tujuan”.
Dengan terkonsentrasinya pikiran dan perasaan, hilangnya tabir antara
seorang sufi dengan Tuhan, maka tidak ada lagi yang dirasa dan
dipikirkannya kecuali wujud Tuhan.
3. Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis al-Husain bin Mansur bin
Muhammad al-Baidawi, lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Dia lahir
pada tahun 244H/858M di Tur.
Pada waktu umur 16 tahun ia pernah berguru kepada Sahl bin
Abdullah al-Tusturi, salah seorang tokoh sufi terkenal pada abad ke tiga
hijriah. Tetapi setelah dua tahun belajar kepadanya, dengan latihan-
latihan berat, ia pergi ke Basrah dan dari sini pergi ke Bagdad.
Al-Hallaj adalah seorang alim dalam ilmu agama islam.sebagaimana
dikatakan oleh ibn suraij,ia adalah seorang yang hapal al-qur’an dan sarat
dengan pemahamannya,menguasai ilmu fiqh dan hadits,serta tidak
diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. dia adalah seorang zabid
yang terkenal pada masanya;dan banyak lagi sifat-sifat
kesalehannya.keahlian dan kepribadiaanya yang demikian itulah yang
menjadikannya mampu melahirkan karya-karya gemilang,terutama
tentang tasawuf.
2.8.3 Tokoh Tasawun Abad ke V H
1. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali. Secara singkat
dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-
22
Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada
tahun 450 Hijriah (1085 M), tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil
alih kekuasaan di Baghdad.[5] Setelah mengabdiakn diri untuk ilmu
pengetahuan, menulis dan mengajar, maka pada usia 55 tahun al-Ghazali
meninggal dunia di kota kelahirannya, Tus, pada tanggal 14 Jumadil
Akhir 505 H /19 Desember 1111M, dalam pangkuan saudaranya Ahmad
al-Ghazali.
Ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali diantaranya :
a) Ma’rifah. Di dalam tasawufnya al-Ghazali memilih tasawuf sunni
yang berdasarkan al-qur’an dan sunnah ditambah dengan doktrin
ahlussunnah wal jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan
semua kecenderungan gnotis yang mempengaruhi para filosof Islam,
sekte Ismailiyyah, aliran Syi’ah, dan lain-lainnya. Mengenai ma’rifah,
menurutnya, adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-
peraturan tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifah
bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Qalb dapat mengetahui hakekat segala
yang ada. Jika dilimpahi cahaya tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-
rahasia tuhan dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak
berisi apapun. Saat itulah ketiganya akan menerima iluminasi (kasyf) dari
Allah. Pada waktui tu pulalah, Allah menurunkan cahaya –Nya kepada
sang sufi sehinnga yang dilihat sang shufi hanyalah Allah. Di sini,
sampailah ia ketingkat ma-rifah.
Ma’rifah seorang shufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat
si Fulan ada di rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya,
ma’rifah menurut al-Ghazali tidak seperti ma’rifah menurut orang awam
maupun ma’rifah ulama mutakallimin, tetapi ma’rifah shufi yang
dibangun atas dasar dzauq ruhani dan kasyf ilahi. Ma’rifah seperti ini
dapat dicapai oleh para khawwas auliya tanpa melalui perantara,
langsung dari Allah.
b) As-Sa’adah. Menurut al-Ghazali kelezatan dan kebahagian yang
paling tinggi adalah melihat Allah. Di dalam kitab kimiya as-sa’adah, ia
menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuai dengan watak
23
/tabiat, sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya.
Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambaryang bagus dan indah,
nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu.demikian
jga seluruh anggota tubuh, masing-masing kenikmatan tersndiri.
Kenikmatan hati –sebagai alat memperoleh ma’rifah- terletak ketika
melihat Allah. Melihat Allah merupakam kenikmatan yang paling agung
yang tiada taranya karena ma’rifah itu sendiri agung dan mulia.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tasawuf adalah suatu ilmu yang bertujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah sedekat mungkin. Seorang sufi tidak bisa langsung dekat
dengan Allah melainkan ada proses yang harus ditempuh untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang disebut thariqat. Hubungan antara
Thariqat dan ilmu tasawuf adalah ilmu tasawuf adalah usaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah sedangkan Thariqat adalah jalan yang
harus ditempuh oleh seorang sufi.
Aliran-aliran tasawuf diantaranya yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf
amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang
berfokus pada perbaikan akhlak dan budi pekerti. Tasawuf Amali
merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaki. Jika tasawuf akhlaki
berfokus pada pensucian jiwa, tasawuf amali lebih menekankan terhadap
cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan Tasawuf
Falsafi adalah, kajian terhadap tuhan, manusia dan sebagainya yang
menggunakan motode rasio atau akal.
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih
terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
mengenai makalah ini agar kami dapat belajar dari kesalahan tersebut
dan dapat menulis makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghanimi, Abu Al-Wafa dan At Taftazani. 1997 Sufi dari zaman ke zaman.
Bandung: Pustaka
Alba, Cecep. 2012. Tasawuf dan Tarekat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nata, Abuddin. 2002. Akhlak Tassawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Azizah, Rumzil dan Rosidi .2019. Sejarah Perkembangan Tasawuf Dari Zaman
ke Zaman.
https://www.researchgate.net/publication/334081577_SEJARAH_PERK
EMBANGAN_TASAWUF_DARI_ZAMAN_KE_ZAMAN (Diakses
pada tanggal 12 Maret 2020)
Syarif, Muhammad dan Salman Al Farizi. 2017. Peran dan Fungsi Ilmu Tasawuf.
http://m.idrisiyyah.or.id/read/article/1453/peran-dan-fungsi-ilmu-
tasawuf. (Diakses pada tanggal 13 Maret 2020)
26