Anda di halaman 1dari 27

RINGKASAN LAPORAN

PENGEMBANGAN PEMBUATAN ARANG KOMPOS


DALAM RANGKA MENUNJANG GERHAN
(GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN)
DI PANDEGLANG, PROPINSI BANTEN

Oleh :

Gusmailina
Sri Komarayati
Gustan Pari
Mad Ali
Saepuloh
Dadang Setiawan

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI HASIL HUTAN


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
BOGOR, 2005
2

PENGEMBANGAN PEMBUATAN ARANG KOMPOS SEBAGAI MEDIA PERSEMAIAN


DAN PENANAMAN DI LAHAN DALAM RANGKA MENUNJANG GERHAN
(GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN)

Ringkasan

GERHAN merupakan gerakan moral yang melibatkan berbagai instansi pemerintah baik di tingkat
pusat dan daerah, TNI, POLRI, swasta, dan masyarakat, yang bertujuan untuk merehabilitasi kawasan
hutan dan lahan yang rusak sekaligus membangun kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan.
Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan GERHAN adalah: tersedianya bibit yang
berkualitas yang mempunyai sifat adaptasi yang tinggi, sehingga dengan mudah dan cepat membangun
ekosistem mandiri.
Untuk memperoleh bibit yang berkualitas, selain memperhatikan faktor genetis bibit yang
digunakan, treatmen pada persemaian dan pembibitan mutlak perlu dilakukan. Pembibitan merupakan
salah satu tahapan pekerjaan yang harus ditangani secara serius. Jika tidak, maka bibit yang dihasilkan
berkualitas rendah sehingga pencapaian target akan terhambat.
Aplikasi arang kompos pada media persemaian dan pembibitan merupakan solusi yang tepat untuk
dilakukan. Karena arang kompos sebagai salah satu bahan organik gabungan antara arang dan kompos
yang dihasilkan melalui proses pengomposan, merupakan media yang cocok untuk menunjang
kegiatan GERHAN, sebab selain dapat memacu pertumbuhan bibit, bibit yang dihasilkan lebih baik
mutu dan kualitasnya. Hal ini sudah merupakan hasil penelitian dan uji coba baik di laboratorium,
maupun di lapangan. Hal ini juga yang mendorong pemerintah Kabupaten Garut menggunakan arang
kompos sebagai sarana penunjang pada program GERHAN 2003-2004. Sifat arang yang alkalis sangat
cocok untuk lahan masam yang merupakan lahan target program GERHAN, selain itu arang kompos
selain menambah ketersediaan unsur hara, juga dapat meningkatkan nilai KTK tanah, serta
memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah.
Kegiatan ini bertujuan untuk membuat arang kompos skala lapangan dalam rangka mendukung
kegiatan GERHAN di wilayah Palembang dan Banten, sekaligus diharapkan dapat menjadi
percontohan untuk selanjutnya dapat diteruskan oleh berbagai pihak yang berminat, sedangkan
sasarannya adalah tersedianya arang kompos untuk media persemaian dan penanaman.
Pelaksanaan pembuatan arang kompos berlangsung di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di
masing-masing kota, dengan memanfaatkan sampah organik sebagai bahan baku. Proses berlangsung
selama 2 minggu, dibongkar, lalu diangin-anginkan, kemudian digiling, selanjutnya dikemas dalam
karung untuk siap digunakan untuk persemaian dan lahan area Gerhan.
Kualitas arang kompos yang dihasilkan belum dapat dilaporkan karena pengukuran beberapa
parameter yang diuji masih berlangsung di Laboratory services SEAMEO Biotrop. Sebagai
perbandingan dan rujukan dapat dikemukakan bahwa kualitas kompos/kandungan unsur hara makro
dari sampah kota di TPA Bantar Gebang dilakukan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia (BPBI) dengan menggunakan aktivator yang sama adalah : Nisbah C/N = 9; kandungan hara
N total = 1,17 %; kandungan hara P2O5 = 0,97; dan kandungan hara K = < 2 % (Away, 2003).
Berdasarkan rujukan tersebut maka diperkirakan kualitas arang kompos yang dihasilkan di Pandeglang
maupun Palembang tidak akan jauh berbeda.
Lokasi aplikasi arang kompos pada lahan areal gerhan di desa Cibaliung, Kecamatan Cimanggu,
Kabupaten Pandeglang, selain itu juga dilakukan pada lahan Lurah Cibaliung yaitu di Cikupa pada
tanaman Jati, Mahoni, Pulai, Albizia untuk tanaman kehutanan, Melinjo, Rambutan, Mangga, dan
Sukun untuk tanaman serbaguna (MPTS). Penggunaan arang kompos berkisar antara 0,5 kg sampai 1
kg/lobang tanam.

Kata kunci: arang kompos, sampah, media semai, bibit, GERHAN, Sumsel, Banten
3

I. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Kondisi hutan dan lahan Indonesia saat ini telah menjadi keprihatinan nasional, laju
deforestasi hutan setiap tahunnya mencapai 1,5 - 2 juta ha per tahun, sehingga lebih dari
50 juta hektar hutan dan lahan, saat ini dalam keadaan terdegradasi. Kenyataan ini telah
mengakibatkan terjadinya peningkatan bencana alam hidrometeorologi yaitu bencana
banjir, tanah longsor, menurunnya kualitas air, dan kekeringan. Penyebab terjadinya
bencana alam tersebut sebagian besar karena rusaknya lingkungan terutama di daerah
hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan yang juga merupakan daerah tangkapan air
(catchment area). Oleh karenanya upaya penanggulangan yang diperlukan adalah
mengembalikan kondisi daerah hulu kepada fungsinya sebagai daerah yang dapat
menahan limpahan air permukaan (run off) dan memperbaiki lingkungn fisik dengan
cara yang ramah lingkungan, yaitu rehabilitasi hutan dan lahan. Upaya pemulihan dan
peningkatan kualitas lahan dilaksanakan melalui kegiatan konservasi dan rehabilitasi
daerah aliran sungai. Kegiatan tersebut telah dimulai sejak tahun 1970-an, dan pada
tahun 2003 lebih ditingkatkan melalui program nasional: GERHAN (Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan)
GERHAN merupakan gerakan moral yang melibatkan berbagai instansi pemerintah
baik di tingkat pusat dan daerah, TNI, POLRI, swasta, dan masyarakat, dalam program
pemulihan sumber daya hutan serta lahan yang rusak. Gerakan tersebut diharapkan
dapat merehabilitasi hutan yang rusak sekaligus membangun kesadaran masyarakat
untuk mencintai lingkungan. Melalui gerakan tersebut diharapkan sebanyak tiga juta
hektar lahan yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dapat direhabilitasi dalam
kurun waktu lima tahun. Pada tahun 2003 GERHAN telah melakukan penanaman seluas
300.000 hektar lahan kritis yang tersebar di 15 provinsi, 144 kabupaten dan kota, serta
29 daerah aliran sungai yang rusak. Pada tahun 2004 ini direncanakan seluas 500.000
hektar kawasan hutan rusak dan lahan kritis akan direhabilitasi yang tersebar di 31
provinsi, 373 kabupaten dan kota pada 141 daerah aliran sungai yang jadi prioritas.
Target selanjutnya akan terus bertambah sampai tahun 2007, sehingga total luas lahan
yang direhabilitasi mencapai tiga juta hektar (Wibowo dalam Kompas Cyber Media,
2004).
4

Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan GERHAN adalah:


tersedianya bibit yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup. Untuk tahun 2003
dibutuhkan bibit sebanyak 242.805.500 batang, meliputi jenis MPTS (Multi Purpuse
Tree Species) sebanyak 104.649.130 batang, jenis kayu-kayuan sebanyak 138.156.370
batang. Yang perlu diperhatikan terdapat variasi yang lebar pada jenis tanaman yang
ditanam pada kegiatan GERHAN : antara lain kondisi/kesuburan fisik dan kimia tapak
yang kritis, iklim yang berbeda, menuntut perencanaan yang matang pada pelaksanaan
penanaman Umumnya sasaran lahan yang dicadangkan bagi GERHAN adalah lahan-
lahan yang tingkat kesuburannya sangat rendah, sehingga perlu perlakuan tambahan
agar kegagalan dapat dikurangi. Selain pemilihan jenis dan waktu penanaman yang
tepat, pemberian pupuk/bahan organik pada persemaian, pembibitan, dan saat tanam
sangat diperlukan agar diperoleh bibit yang berkualitas. Selanjutnya, perlu
pemeliharaan yang intensif, karena hal ini juga termasuk faktor penentu keberhasilan
program ini. Sebagai contoh Program GERHAN tahun 2003-2004 yang dilaksanakan di
Kabupaten Cianjur terancam gagal menyusul matinya ribuan pohon yang ditanam dalam
pelaksanaan program tahap I, pertengahan Mei 2004 lalu. Bahkan, pohon jenis sukun
yang ditanam Bupati Cianjur Ir. Wasidi Swastomo, M.Si., saat menutup program
GERHAN di Kab. Cianjur secara seremonial di Desa Sukamulya Kec. Sukaluyu
beberapa waktu lalu, saat ini mati akibat kekeringan. Di duga penyebabnya antara lain:
bibit yang kurang bermutu, dan waktu tanam yang kurang tepat, karena penanaman
dilakukan pada saat menjelang musim kemarau (Pikiran Rakyat Cyber Media 24 Juni
2004).
Keberhasilan GERHAN juga tergantung pada pada persentase tumbuh tanaman,
dan persentase tumbuh tanaman akan sangat bergantung pada awal pertumbuhannya.
Untuk mengurangi kegagalan, treatmen pada awal penanaman menjadi mutlak perlu
dilakukan. Pembibitan merupakan salah satu tahapan pekerjaan yang harus ditangani
secara serius. Jika tidak, maka bibit yang dihasilkan berkualitas rendah sehingga
pencapaian target akan terhambat. Aplikasi arang kompos pada media persemaian dan
pembibitan merupakan solusi yang tepat untuk dilakukan. Karena arang kompos sebagai
salah satu bahan organik gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui
proses pengomposan, merupakan media yang cocok untuk menunjang kegiatan
GERHAN, sebab selain dapat memacu pertumbuhan bibit, juga menjadikan bibit lebih
5

baik mutu dan kualitasnya. Hal ini sudah merupakan hasil penelitian dan uji coba baik
di laboratorium, maupun di lapangan. Sifat arang yang alkalis sangat cocok untuk lahan
masam yang merupakan lahan target program GERHAN, selain itu arang kompos selain
menambah ketersediaan unsur hara, juga dapat meningkatkan nilai KTK tanah, serta
memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah.
Kegiatan ini memfokuskan pada produksi arang kompos skala lapangan,
selanjutnya digunakan sebagai media pada persemaian/pembibitan serta pada lahan areal
dalam rangka menunjang program GERHAN. Bahan baku yang digunakan berasal dari
limbah organik potensial yang terdapat disekitarnya, berupa limbah serbuk gergaji dari
industri pengolahan kayu, berbagai jenis limbah asal pertanian/ perkebunan dan, atau
kehutanan serta limbah organik pasar.

b. Tujuan Dan Sasaran

Tujuan : kegiatan ini bertujuan untuk pembuatan arang kompos skala lapangan dalam
rangka mendukung kegiatan GERHAN di wilayah Palembang (Sumatera
Selatan) dan Pandeglang (Banten)
Sasaran: produksi arang kompos untuk media persemaian dan penanaman di lahan

c. Luaran Kegiatan :
Tersedianya arang kompos untuk media persemaian dan penanaman di lahan dalam
rangka mendukung keberhasilan GERHAN di Kabupaten Pandeglang (Banten) dan
Palembang (Sumatera Selatan).
6

II. TINJAUAN PUSTAKA

a. Arang sebagai pembangun kesuburan tanah


Beberapa tahun terakhir karena sifatnya arang tidak hanya dikenal sebagai
sumber energi, namun juga digunakan untuk pembangun kesuburan tanah (PKT).
Karena secara morfologis arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan
menyimpan hara tanah dan selanjutnya dilepaskan secara perlahan sesuai dengan
konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow release) sehingga hara tanah tidak mudah
tercuci dan lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai. Keuntungan pemberian
arang pada tanah sebagai soil conditioning (PKT) karena arang mempunyai
kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, meningkatkan
pH tanah sehingga dapat merangsang dan memudahkan pertumbuhan dan
perkembangan akar tanaman.
Arang selain dapat digunakan langsung sebagai agent pembangun kesuburan
tanah, juga digunakan sebagai campuran dalam proses pengomposan. Pembuatan
arang kompos merupakan salah satu teknik yang relatif baru dikembangkan oleh
P3THH dengan memanfaatkan arang pada proses pengomposan. Tujuan penambahan
arang pada proses pengomposan adalah selain meningkatkan kualitas dari kompos
tersebut, juga diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan akan menambah
jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi
dapat berlangsung lebih cepat.
Aplikasi arang yang menyatu dalam kompos (arang kompos) sangat
bermanfaat untuk memacu perkembangan mikroorganisme (mikoriza) tanah,
meningkatkan pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman,
sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan tanah dan
produktivitas yang rendah sehingga dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai
masalah lahan di Indonesia antara lain lahan kritis dengan kadar pH tanah yang rendah,
menurunnya tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan.
Hasil penelitian yang sudah diperoleh adalah: Pembuatan arang kompos dari
campuran serasah daun tusam selama 3 bulan menghasilkan nisbah C/N 20,10; arang
kompos dari campuran serasah daun tusam, arang kulit kayu tusam dan aktivator
selama 3 bulan menghasilkan nisbah C/N 19,71; sedangkan arang kompos dari
7

campuran serasah daun tusam, dengan aktivator EM4, arang kulit kayu tusam dan
pupuk kandang selama 3 bulan menghasilkan nisbah C/N 18,89, serta berapa penelitian
yang sudah dilakukan dengan menggunakan dana kerja sama luar antara lain JIFPRO
yang telah memberi percontohan pada masyarakat tentang pemanfaatan limbah industri
kehutanan (utamanya serbuk gergaji) menjadi suatu produk yang bernilai ekonomi
yaitu arang kompos. Keunggulan arang kompos tidak lepas dari peranan arang yang
kualitasnya berbeda dengan arang untuk keperluan energi. Karena arang yang
diperuntukkan untuk perbaikan kondisi lahan atau sebagai bahan arang kompos tidak
membutuhkan nilai kalor yang tinggi, serta tidak harus bersifat keras sehingga cara
pembuatannyapun lebih mudah.

b. Pentingnya arang dan arang kompos sebagai suplai bahan organik tanah

Kenyataan menunjukkan bahwa merosotnya kualitas dan kuantitas sumber daya


akibat pemanfaatan yang melampaui batas mengakibatkan kerusakan sumberdaya
yang tidak dapat dihindari. Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi
kerusakan lahan yang masih meninggalkan lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus
dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih harus dihutankan kembali. Di
sektor pertanian gejala penurunan produksi padi akibat pemberian pupuk
kimia/anorganik secara intensif telah terbukti. Akibat pemberian pupuk kimia secara
intensif selama 25 musim tanam ternyata diikuti oleh penurunan produksi padi jenis IR
36 (Martodiresi dan Suryanto, 2001). Keadaan ini ternyata diakibatkan oleh
menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke musim yang tak bisa
digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK misalnya. Akibatnya kemampuan
tanaman membentuk anakan menurun. Inilah yang menjadi penyebab utama
menurunnya produksi padi. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya
pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah bagi kelestarian produktivitas pertanian
dan kehutanan. Sebab bahan organik tanah bukan hanya berfungsi sebagai penyuplai
hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis di dalam tanah.
Kenyataan juga membuktikan bahwa efisiensi pupuk kimia lebih rendah.
Tanaman di lahan kering di daerah tropis kehilangan sampai 40-50 % N yang
diberikan, padi sawah kehilangan N kurang dari 60-70 %. Bila kondisi kurang
mendukung, misalnya tingginya curah hujan, musim kemarau yang panjang, tingginya
8

erosi tanah, serta rendahnya bahan organik tanah, maka efisiensinya bisa lebih rendah
lagi (FAO, 1990 dalam Reijntjes dkk. 1999).
Kenyataan juga menunjukkan bahwa pupuk kimia ini bisa mengganggu
kehidupan dan keseimbangan tanah, meningkatkan dekomposisi bahan organik, yang
kemudian menyebabkan degradasi struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi
terhadap kekeringan, sehingga produktivitas rendah. Aplikasi yang tidak seimbang
dari pupuk mineral N yang menyebabkan pengasaman dan menurunkan pH tanah serta
ketersediaan hara P bagi tanaman. Penggunaan pupuk kimia NPK yang terus menerus
menyebabkan penipisan unsur-unsur mikro seperti seng, besi, tembaga, mangan,
magnesium, molybdenum, boron, yang bisa mempengaruhi tanaman, hewan, dan
kesehatan manusia. (Sharma, 1985; Tandon, 1990 dalam Reijntjes dkk. 1999).
Kenyataan lingkungan global menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia di
negara maju dan negara berkembang memberikan andil pada resiko global yang
muncul dari pelepasan Nitrogen oksida (N2O) pada atmosfir dan lapisan di atasnya.
Pada lapisan stratosfir, N2O akan menipiskan lapisan ozon dan dengan menyerap
gelombang sinar infra merah tertentu, meningkatkan suhu global (efek rumah kaca)
dan mengganggu kestabilan iklim. Hal ini bisa mengakibatkan perubahan pola, tingkat
dan resiko produksi pertanian. Meningkatnya permukaan air laut akan membawa
konsekuensi besar bagi daerah delta yang rendah dan muara. Mengingat bahaya ini,
larangan penggunaan pupuk kimia di seluruh dunia tak bisa dikesampingkan lagi untuk
masa datang (Conway dan Pretty, 1988, 1988 dalam Reijntjes dkk. 1999)
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu upaya yang lebih besar untuk
mempromosikan penggunaan pupuk organik yang lebih efisien serta ramah
lingkungan. Apalagi akhir-akhir ini meningkatnya kecenderungan masyarakat terhadap
produk-produk yang berasal dari budidaya organik, karena produknya lebih bersih dan
bebas dari bahan-bahan kimia anorganik, sehingga cukup aman dan sehat untuk
dikonsumsi. Penggunaan sumber-sumber pengganti N seperti, limbah biomassa
misalnya : sampah tanaman, pupuk hijau, pupuk kandang, penanaman leguminosa
secara bergantian dan sebagai pohon pelindung, alga biru-hijau dan bakteri pengikat N
pada sawah dan hutan seperti rhizobium dan mikoriza merupakan alternatif. Di sektor
kehutanan limbah biomassa cukup potensial, misalnya limbah pemanenan, serasah
9

tanaman (dedaunan segar atau kering), serta limbah industri pengolahan kayu
diantaranya serbuk gergaji.
Arang kompos merupakan salah satu produk bahan organik yang lebih
mengutamakan pada kelestarian lingkungan. Karena memanfaatkan limbah serbuk
gergaji, serasah hutan, ranting, cabang/dahan yang tertinggal sewaktu pemanenan.
Dengan sedikit input teknologi maka limbah-limbah tersebut dapat dibuat menjadi
bahan organik yang banyak manfaatnya. Dampak yang akan diperoleh meningkatnya
produksi dan produktivitas tanah, menambah pendapatan keluarga, dan akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

c. Aplikasi arang dan arang kompos dalam menunjang program CDM forestry

CDM (Clean Development Mechanism) adalah salah satu mekanisme di bawah


Kyoto Protocol sebagai bagian dari UNFCCC (United Nations Framework Convention
on Climate Change/Konvensi Perubahan Iklim) yang maksudnya untuk membantu
negara berkembang menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusinya terhadap
pencapaian tujuan konvensi perubahan iklim, serta membantu negara maju/industri
memenuhi kewajibannya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Salah satu butir
dari hasil rumusan lokakarya LULUCF November tahun 2000, adalah aspek saintifik
yang berkaitan dengan CDM perlu dikembangkan dan ditindak lanjuti (Anonimus,
2000).
Kaitan pembuatan dan aplikasi arang kompos dalam menunjang program CDM
adalah, karena : (1) dengan memanfaatkan arang sebagai sumber karbon, artinya dapat
mencegah peningkatan pelepasan jumlah karbon ke atmosfir atau karbon akan
tersimpan dalam batas waktu tertentu dalam arang di dalam tanah; (2) arang sebagai
sumber karbon di dalam tanah dapat merangsang perkembangan mikroorganisme
tanah, sehingga dapat membangun kondisi biologis tanah, meningkatkan pH tanah,
memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah, sehingga meningkatkan produktivitas
tanah dan tanaman. Meningkatnya pertumbuhan tanaman hutan memperbesar jumlah
sink atau rosot CO2 dan selanjutnya akan dicapai net-source penyerapan > dari emisi.
10

III. METODOLOGI

a. Lokasi :
1. PANDEGLANG
Pembuatan arang dan arang kompos bertempat di TPSA (Tempat
Penampungan Sampah Akhir) Bangkonol, Pandeglang, dengan pertimbangan
dekat dengan bahan baku, sehingga mudah untuk memperolehnya. Dalam
operasional pelaksanaan di lapangan, dibantu oleh Koordinator lapangan TPSA
Bangkonol, Pandeglang dan Paguyuban Kelompok Tani Hutan Alam Lestari,
Pandeglang;
Lokasi aplikasi arang kompos sebahagian pada lahan areal Gerhan bertempat di
Desa Cibaliung, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, serta pada lahan
milik Pa Lurah Cibaliung, yaitu di Cikupa seluas kurang lebih 2 Ha sebagai Show
window.
2. PALEMBANG
Untuk sementara pembuatan arang dilakukan di komplek kehutanan Taman Sari,
Palembang, sedangkan pembuatan arang kompos dilakukan di TPA 1, kelurahan
Suka Jaya, kota Palembang. Dalam operasional pelaksanaan dibantu oleh Dinas
Kebersihan dan Keindahan Kota Palembang, dan Balittaman, Palembang.

Gambar 1 : Lokasi TPA 1 Kota Palembang, sekaligus lokasi produksi arang kompos
skala lapangan
11

b. Bahan dan alat:


1. Bahan utama Pembuat Kompos :
a. Limbah organik yang potensial tersedia, diantaranya berupa : serbuk
gergaji dan limbah organik pasar. Pertimbangan menggunakan limbah
organik pasar sebagai bahan baku arang kompos adalah karena potensi
ketersidaannya, serta belum dimanfaatkan. Selain itu limbah organik pasar
yang sebagian besar terdiri dari limbah sayuran, dan buah-buahan,
membutuhkan waktu proses yang lebih singkat dari limbah kehutanan dan
perkebunan.
b. Unit pengomposan berupa karung plastik jumbo, terbuat dari bahan terpal
berukuran besar dengan kapasitas 0,5 ton;

Gambar : 2
Unit pengomposan berupa karung plastik
jumbo dengan kapasitas masing-masing
0,5 ton;

c. Aktivator, merupakan bahan yang digunakan untuk mempercepat proses


pengomposan. Aktivator yang dipilih antara lain mengandung 2 jenis
mikroorganisme antara lain : Trichoderma pseudokoningii, dan Cytophaga sp;
12

Gambar 3 : Aktivator pengomposan dengan bahan aktif 2 jenis mikroorganisme:


Trichoderma pseudokoningii, dan Cytophaga sp;

d. Probiotik, yaitu bahan untuk memperkaya aktivator, berguna untuk


merangsang, mengaktifkan serta mempercepat kerja aktivator;

Gambar 4 : Probiotik, bahan untuk memperkaya aktivator, dibuat dan diperbanyak di


laboratorium Fermentasi P3THH, Bogor
13

2. Penunjang : Karung, plastik terpal, sekop, garpu, tali plastik, thermometer,


hygrometer, semen, bata, pasir, pH meter, meteran, dll;
3. Peralatan :
a. Tungku Semi Kontinyu, tipe P3THH untuk membuat arang serbuk gergaji;
Untuk lokasi Pandeglang, tungku semi kontinyu ditempatkan di TPA
Bangkonol, Pandeglang. Sebagian besar bahan baku yang digunakan adalah
sekam padi, karena potensinya yang cukup banyak dan terletak di sekitar lokasi
TPA, sehingga jika operasional dilanjutkan oleh kelompok tani, tidak akan
menambah banyak biaya.

Gambar 5 : Tungku semi kontinyu tipe P3THH, untuk membuat arang serbuk gergaji
atau arang sekam padi
14

b. Chopper (alat pencacah sekaligus alat giling kompos)

Gambar 6 : Chopper (alat pencacah sekaligus alat giling kompos)


Kapasitas 500-1500 kg/jam

c. Prosedur Kerja:
(1). Pembuatan arang serbuk gergaji dengan menggunakan tungku semi kontinyu
(Gusmailina, Gustan Pari, dan S. Komarayati, 2002);
Langkah-langkah membuat arang dengan tungku semi kontinyu:
$ Masukkan serpihan kayu sebanyak 5-10 kg sebagai umpan bakar di bahagian
pengarangan kemudian biarkan terbakar sampai panas dan membara;
$ Masukkan serbuk gergaji atau sekam padi ke bagian pembakaran sebanyak 3
karung (sekitar 35-40 kg) melalui pintu bagian belakang tungku;
$ Biarkan sampai membara sambil sesekali diaduk, sehingga serbuk yang terbakar
akan jatuh ke bagian tempat pengarangan;
$ Biarkan terbakar sampai warna menjadi hitam, lalu ditarik ke bagian
penampungan yang berisi air. Jika masih terlihat warna serbuk yang coklat, aduk
sampai semua berubah menjadi arang;
$ Setiap 30 menit lakukan penambahan bahan baku sebanyak 1 karung (10-15 kg);
$ Proses selanjutnya sama, dilakukan berulang-ulang secara kontinyu sampai
didapatkan arang sesuai dengan kebutuhan;
$ Biarkan arang terendam sesaat di dalam bak penampungan, kemudian
dikeringkan. Setelah kering arang siap untuk dikemas atau digunakan.
15

(2). Pembuatan arang kompos sesuai dengan Pedoman Teknis Pembuatan Arang
Kompos (Gusmailina, dkk., 2002); proses komposting berlangsung selama 2
minggu; Volume produksi arang kompos yang dibuat sebanyak 12 ton untuk
lokasi Pandeglang dan 11 ton untuk lokasi Palembang.

Langkah-langkah pengomposan:
 Sebelum dicampur dengan aktivator, semua bahan ditimbang terlebih dahulu.
Jumlah aktivator yang digunakan sebanyak 2 % dari total bahan baku sampah
yang akan dikomposkan;
 Aduk campuran hingga rata, karena bahan baku yang digunakan adalah sampah,
maka tidak perlu penambahan air, karena kondisi campuran sudah cukup basah;
 Masukkan ke dalam bak-bak pengomposan yang dipilih sesuai dengan keinginan,
lalu ditutup dengan plastik hitam ;
 Proses berjalan dengan sempurna apabila pada minggu pertama dan ke dua suhu
meningkat hingga mencapai 55 o C - 60 oC, lalu menurun pada minggu-minggu
berikutnya. Apabila kondisi suhu sudah stabil berarti proses pengomposan sudah
selesai dan kompos dapat dibongkar;
 Proses pengomposan berlangsung selama 2 minggu, tanpa dibalik;
 Untuk menambah daya tarik penampilan, kompos digiling hingga halus
kemudian tambahkan arang serbuk sebanyak 10 - 20 % dari volume bahan,
kemudian diaduk lagi hingga homogen. Hal ini dilakukan karena sebelum proses
pengomposan arang serbuk gergaji atau arang sekam belum cukup tersedia, maka
penambahan arang dilakukan pada saat proses komposting dianggap selesai (2
minggu), kemudian dikemas lalu disimpan ditempat yang kering dan teduh,
 Arang kompos siap digunakan atau dipasarkan.

(3). Parameter yang diamati: pH arang serbuk gergaji, pH dan kadar air bahan baku,
suhu, kelembaban, dan pH saat proses pengomposan berlangsung, penyusutan
volume (parameter standar proses pengomposan) (Gusmailina, dkk., 2002);

d. Analisis : Untuk mengetahui kualitas arang kompos yang dihasilkan, dilakukan


analisis unsur hara lengkap meliputi : kadar N, P, K, Ca, Mg, dan
unsur mikro lainnya. Analisis dilakukan di laboratorium servis
SEAMEO Biotrop, Bogor.
16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil
1. PANDEGLANG
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, proses pengomposan berlangsung
sempurna. Hal ini ditandai dengan peningkatan suhu mulai hari ke dua sampai hari ke
tujuh. Peningkatan suhu mencapai 50 oC. Pada hari ke delapan suhu konstan 50 oC
hingga proses hari ke sembilan, dan mulai menurun pada hari berikutnya. Pada hari
ke 12 suhu kembali normal, kondisi ini dibiarkan selama 3 hari, kemudian di bongkar.
Pada saat kompos dibongkar sekaligus dilakukan penambahan arang sekam padi,
karena arang belum tersedia pada awal proses pengomposan. pH arang sekam berkisar
antara 8 – 9. Setelah diaduk rata dengan arang sekam, dibiarkan beberapa hari sambil
diangin-anginkan, bertujuan untuk mengurangi kadar air kompos agar mudah untuk
digiling. Sebab kadar air bahan yang baru selesai pengomposan sangat tinggi, berkisar
antara 60 – 80 %, sehingga sulit untuk langsung digiling.
Penggilingan kompos bertujuan untuk memperkecil ukuran, karena sebelum
proses pengomposan bahan tidak digiling (karena keterbatasan waktu). Selain untuk
memperbaiki penampilan arang kompos agar menarik, ukuran arang kompos yang
lebih halus akan memudahkan bagi tanaman untuk mengkonsumsinya/menyerap.
Sehingga respon dan manfaat pemberian arang kompos dapat segera dilihat.
Volume penyusutan mencapai 50 %. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
bahan yang digunakan terdiri dari limbah sayuran dan buah, sehingga volume akhir
menjadi 6 ton. Selanjutnya arang kompos dikemas dalam karung sebanyak 110
karung, bobot masing-masing karung berkisar antara 50 – 55 kg.
Pada pertengahan Januari 2005, arang kompos telah diaplikasikan pada lokasi
areal penanam Gerhan di wilayah Kabupaten Pandeglang, yaitu di Cibaliung,
Kecamatan Cimanggu. Selain pada lahan areal Gerhan, aplikasi arang kompos juga
dilakukan pada lahan milik Lurah Cibaliung, yaitu di Cikupa. Jenis tanaman yang
ditanam baik pada lahan areal Gerhan maupun lahan Lurah Cibaliung adalah : Jati,
Mahoni, Pulai, Albizia untuk tanaman kehutanan, Melinjo, Rambutan, Mangga, dan
Sukun untuk tanaman serbaguna (MPTS). Penggunaan arang kompos berkisar antara
0,5 kg sampai 1 kg/lobang tanam. Jarak tanam pada lahan areral Gerhan 8 x 8 m,
17

sedangkan pada lahan Lurah Cibaliung 5 x 5 m. Kondisi pH lahan berkisar antara 5 –


5,2, sehingga cocok untuk aplikasi arang kompos, karena sifatnya dapatkan menaikkan
pH tanah.

Gambar 7 : Beberapa aktivitas pada awal pembuatan arang kompos di Pandeglang (atas),
aktivitas pada saat pembongkaran pengomposan (kiri bawah) dan arang
kompos yang siap untuk diaplikasikan (kanan bawah)

Hingga laporan ini disusun analisis kualitas arang kompos yang dihasilkan belum
dapat dilaporkan karena pengukuran beberapa parameter yang diuji masih berlangsung
di Laboratory services SEAMEO Biotrop. Namun sebagai perbandingan dan rujukan
dapat dikemukakan bahwa kualitas kompos/kandungan unsur hara makro dari sampah
kota dengan komposisi yang sama, yang dilakukan oleh Balai Penelitian Bioteknologi
18

Perkebunan Indonesia (BPBI) di TPA Bantar Gebang pada tahun 2003 dengan
menggunakan aktivator yang sama adalah : Nisbah C/N = 9; kandungan hara N total =
1,17 %; kandungan hara P2O5 = 0,97; dan kandungan hara K = < 2 % (Away, 2003).
Berdasarkan rujukan tersebut maka diperkirakan kualitas arang kompos yang
dihasilkan di Pandeglang maupun Palembang tidak akan jauh berbeda.

Gambar 8. Lokasi aplikasi arang kompos pada lahan Lurah Cibaliung, Kecamatan
Cimanggu, Kabupaten Pandeglang

2. PALEMBANG
Oleh karena bahan baku yang digunakan sama-sama limbah organik pasar dari
TPA, maka proses dan pengamatan yang diperolehpun tidak berbeda. Analisis kualitas
arang kompos yang dihasilkan juga belum diperoleh. Namun diperkirakan tidak akan
jauh berbeda dengan kualitas arang kompos yang dihasilkan dari Pandeglang.
Aplikasi arang kompos belum dilakukan, karena secara fisik arang kompos belum
siap untuk digunakan (belum digiling), demikian juga dengan lokasi aplikasi secara
tepat belum bisa di laporkan.
19

Gambar 9. Beberapa aktivitas pada awal pembuatan arang kompos di Palembang, aktivitas pada saat
pembongkaran pengomposan, dan arang kompos yang siap untuk diaplikasikan.

b. Pembahasan
Karakteristik bahan organik yang dikomposkan
Karakteristik umum dari inventarisasi bahan organik atau limbah padat organik
yang akan dikomposkan merupakan bahan organik alami yang tingkat degradability
dari masing-masing jenis limbah tersebut cukup bervariasi, C/N ratio sangat bervariasi,
tergantung jenis limbahnya. Limbah organik sampah yang diolah di TPA umumnya
20

berasal dari taman, kebun, pasar, kota, dan rumah tangga. Keseragamannya relatif
rendah, sehingga jika dibiarkan tidak dapat segera terjadi proses dekomposisi dengan
sendirinya tanpa adanya bantuan starter / inoculum / ragi / bioaktivator. Untuk itu
dibutuhkan aktivator dalam jumlah tertentu untuk proses start-up. Aktivator selain
berfungsi sebagai starter, pada kondisi optimal dapat memepercepat proses
dekomposisi, sehingga waktu yang dibutuhkan lebih singkat. Aktivator yang
digunakan adalah hasil pengembangan dari Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia (BPBPI) Bogor, yang khusus diperuntukkan bagi limbah lignoselulosa.
Aktivator ini berbahan aktif mikroorganisme perombak yaitu fungi Trichoderma
pseudokoningii dan bakteri Cytophaga sp. Kelebihan dari aktivator ini bekerja pada
suhu thermofilik, yaitu suhu 50 oC sampai 60 oC atau bahkan lebih. Kondisi suhu tinggi
yang tercipta ini dapat membunuh organisme patogen serta mematikan bibit-bibit
gulma yang terdapat pada bahan baku yang akan dikomposkan, sehingga kompos yang
dihasilkan boleh dikatakan higienis. Selain itu kompos yang dibuat dengan aktivator
ini, kelak bila digunakan pada tanaman, mikroorganisme yang tadinya berfungsi
sebagai perombak bahan lignoselulosa, di dalam tanah akan berfungsi sebagai
fungisida alami, karena dapat melindungi akar tanaman serta mencegah penyakit busuk
akar.

Komposisi sampah
Secara fisik sampah pasar yang diolah baik di Palembang maupun di Pandeglang
umumnya terdiri dari 70% sampah sayur, buah-buahan dan dedaunan segar dari
pangkasan taman kota, bumbu-bumbuan 20%, limbah pengemasan (daun pisang,
ilalang) 7%, plastik 2%, dan sampah lain 1% seperti pemotongan rumput.
Karakteristik yang paling menonjol pada jenis limbah ini adalah tingginya kandungan
air bahan. Hal tersebut merupakan salah satu permasalahan dalam proses
pengomposan. Tingginya kadar air bahan baku pada proses pengomposan akan
menyebabkan timbulnya bau yang kurang sedap, karena terbentuknya amoniak yang
tinggi. Selain itu waktu pengomposan yang dibutuhkanpun menjadi lebih lama. Untuk
mengatasi hal tersebut, maka pada bahagian bawah setiap kantong plastik
pengomposan, dilobangi, agar air yang berlebihan dapat keluar melalui lobang
tersebut.
21

Kendala di lapangan
Sampah organik kota apabila dikelola dengan baik, tidak hanya berpotensi
mengurangi sumber polutan, namun juga akan meningkatkan nilai guna sampah.
Diantaranya adalah sebagai arang kompos yang selanjutnya dapat ditingkatkan
menjadi pupuk organik yang mampu menggantikan sebagian besar kebutuhan pupuk
kimia di Indonesia. Kegiatan ini merupakan upaya percontohan sekaligus penerapan
teknologi  inovatif yang mudah dipahami oleh masyarakat tanpa pendidikan khusus.
Pengomposan sampah kota yang dilakukan secara langsung di areal tempat
penampungan/pemusnahan sampah akhir (TPA) merupakan pilihan yang tepat, karena
akan menekan biaya transportasi angkutan bahan baku jika dilakukan di luar areal
TPA. Dalam pelaksanaan, kendati segala perizinan diperoleh dengan mudah dan
lancar, namun belum ada upaya bagi instansi-instansi yang berkepentingan untuk
terlibat langsung di lapangan untuk menyaksikan operasional percontohan pembuatan
arang kompos ini. Artinya kegiatan ini belum ditanggapi dengan positif dan proaktif,
terutama bagi instansi-instansi pemerintah daerah, sehingga dikhawatirkan kegiatan ini
kecil kemungkinan untuk dapat berlanjut, terutama untuk wilayah Palembang. Oleh
sebab itu segala sesuatunya ditampung dan dibantu oleh Balittaman. Dinas Kebersihan
dan Keindahan Kota Palembang hanya memberi izin untuk menggunakan lokasi TPA
1 selama kurang lebih 1 bulan untuk melaksanakan kegiatan ini. Karena pihak Dinas
Kebersihan dan Keindahan Kota Palembang, khawatir jika kegiatan ini akan
mengganggu MOU yang telah disepakati dengan investor yang akan mengelola
sampah di TPA 1. Pada awal operasional diharapkan akan dihadiri oleh beberapa
kelompok-kelompok masyarakat yang bergerak di bidang pertanian/perkebunan
maupun kehutanan, namun hingga pelaksanaan selesai tidak ada satupun kelompok
yang dapat hadir untuk menyaksikan. Hal ini mungkin disebabkan karena beberapa
hal dan kesibukan masing-masing kelompok, serta sulitnya koordinasi untuk
mengumpulkan anggota kelompok, serta bertepatan juga dengan kegiatan penanaman
Gerhan, sehingga banyak anggota yang posisinya tersebar dan sulit dihubungi
(komunikasi langsung dengan personil staf B.DAS, Dishut, Palembang).
Di Pandeglang, pelaksanaan pembuatan arang kompos skala lapangan berjalan
dengan lancar. Dalam operasional yang memakan waktu kurang lebih satu bulan
22

dibantu secara penuh oleh Paguyuban KTH Alam Lestari dan Koordinator lapangan
TPA dari Dinas Kebersihan, Pandeglang. Paguyuban KTH Alam Lestari ini
merupakan kelompok tani sekaligus LSM yang beranggotakan 150 orang, merupakan
binaan dan mitra kerja lapangan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Pandeglang.
Bersamaan dengan operasional Pengembangan Pembuatan Arang Kompos Sebagai
Media Persemaian Dalam Rangka Menunjang Gerhan yang didanai dari SKO-R tahun
2004 ini, KTH Alam Lestari bekerjasama dengan personil Dinas Kebersihan sekaligus
yang bertugas sebagai koordinator lapangan, juga membuat arang kompos dengan
bahan baku sampah organik dan limbah industri teh Sosro di lokasi yang sama, dengan
menggunakan sekam padi sebagai bahan baku arang. Produksi arang kompos yang
telah dihasilkan oleh Kelompok ini sebanyak 40 ton, pada akhir Desember 2004 telah
diaplikasikan pada lahan areal Gerhan di Cibaliung, Kab. Pandeglang. Artinya
Kelompok ini telah menjual produk arang kompos kepada Proyek Gerhan Kabupaten
Pandeglang.

Kondisi pengomposan konvensional Indonesia


Proses pengomposan tradisional di Indonesia umumnya banyak dilakukan dalam
skala kecil (individual) terhadap sampah organik atau sampah kebun dengan cara
anaerobik, atau menimbun dalam lubang di dalam tanah kemudian menutupnya, ada
yang kadang menambahkan urea sebagai tambahan sumber Nitrogen. Proses tersebut
dilakukan dengan cara gali lubang tutup lubang. Pengomposan cara lain, juga dalam
skala kecil terjadi secara alami terhadap pupuk kandang yang terus menumpuk di lantai
kandang ternak penduduk dan baru dibongkar setelah menumpuk sampai ketebalan
tertentu. Akibatnya kualitas pupuk kandang tersebut masih kurang sempurna dari segi
keseragaman, kestabilan, bau, tekstur,kadar air, serta keberadaan bijian rumput yang
belum membusuk. Hal ini dapat atasi dengan menggunakan activator dan teknologi
yang cocok. Skala produksi yang relatif lebih besar dan komersial juga telah banyak
dilakukan dengan pencampuran dari serbuk gergaji, sekam dan kulit padi, daun bambu
dan bahan lainnya dengan kotoran dari pupuk kandang menjadi pupuk kompos yang
banyak dipasarkan di tempat pembibitan tanaman hias dan hobbies. Beberapa kawasan
real-estate juga ada yang melakukan sebagian swa-kelola dari sampah organiknya,
yang terutama berasal dari pertamanan umum, menjadi produk kompos. Beberapa
23

industri perkebunan, misalnya kelapa sawit, juga mulai serius menangani cara
pengomposan untuk mengatasi masalah limbah dari tandan kosong.
Secara umum, gambaran pengomposan yang berlangsung selama ini di
Indonesia masih bertumpu pada pemusnahan sampah/ bahan organik, dan masih belum
tersosialisasi untuk diambil secara optimum azas manfaat dari proses pengomposan
tersebut. Sebelum era pembangunan masa orde baru, proses pengomposan di daerah
pedesaan, terutama dari sampah pertanian, masih cukup populer. Popularitas tersebut
semakin memudar sejalan dengan perkembangan industri pertanian yang relatif pesat,
terutama dalam penggunaan pupuk kimia yang disubsidi. Generasi pelaku utama
pengelola lingkungan, yaitu manusianya, cenderung telah berubah pola berpikir dan
perilakunya, terutama dalam menjaga kesetimbangan lingkungan. Sekarang ini
berbagai bentuk subsidi, salah satunya pupuk, mulai dihapus, pupuk kimia makin
langka dan harganya makin tidak terjangkau. Gerakan dari para pecinta lingkungan,
terutama juga pengaruh globalisasi mulai berperan dan ikut campur dalam
mengembalikan pola pikir yang telah berubah. Penggunaan produk yang lebih berbasis
kembali ke alam (back to nature) mulai lebih mendapat perhatian dan makin diminati,
meski pada awalnya masalah utama dalam kondisi ekonomi yang terpuruk saat ini
adalah faktor ekonomi, atau harga yang lebih bersaing.

TPA sebagai emitter GRK, salah satu pemicu pemanasan global


Untuk mengaitkan sampah dengan Gas Rumah Kaca (GRK), maka perlu
dijelaskan bahwa pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan Bumi
akibat meningkatnya konsentrasi GRK. Enam jenis GRK utama adalah gas karbon
dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitrat oksida (N2O). Dalam laporan yang disusun
oleh International Panel on Climate Change (IPCC) 1988, dilaporkan bahwa rata-rata
temperatur global telah meningkat 0,6.% serta dilaporkan bahwa tahun 1990-an adalah
dekade terpanas. Meningkatnya suhu bumi diperkirakan akan mengakibatkan
terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Menyadari besarnya
ancaman pemanasan global, disepakati Kyoto Protocol 1997. Negara-negara industri-
penyumbang GRK terbesar-berkomitmen menguranginya. Salah satu GRK yang
berpengaruh adalah CH4 (methana). Kekuatannya dalam efek pemanasan global 23 kali
lebih tinggi dari CO2. Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, produksi gas
24

methana perlu dikendalikan. Berbagai sumber gas methana antara lain adalah rawa,
TPA, penambangan gas alam, pembakaran biomassa. Dalam hubungannya dengan
persampahan, TPA menjadi sumber gas methana karena adanya proses penguraian
sampah oleh jasad renik.
Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas methana.
Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik 56
persen akan menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan
CO2 486.500 ton. Masyarakat Eropa sepakat tahun 2005 tidak membuang sampah
organiknya langsung ke TPA. Sampah organik diolah terlebih dahulu agar gas tidak
diproduksi dalam jumlah besar. Pengolahan dapat berupa insinerasi, pengomposan, dan
produksi biogas. Pengomposan adalah proses yang dipilih oleh Global Environment
Facility yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi
GRK sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia.

Modifikasi dasar untuk aplikasi di Indonesia

Dari segi aplikasi, masalah pengomposan adalah bertumpu pada teknologi


pengomposan limbah organik pasar yang mengandung kadar air tinggi apabila
menggunakan teknologi proses anaerobik. Kondisi ini dapat diupayakan dengan cara
mencampur dengan berbagai limbah organik keras lainnya seperti: sebuk gergaji atau
jerami. Sebagian serbuk gergaji atau sekam padi dijadikan arang terlebih dahulu sebagai
substitusi peningkatan kualitas kompos yang dihasilkan. Arang serbuk gergaji atau
arang sekam padi dicampur pada awal proses pengomposan dengan tujuan sebagai
pengendali kelebihan air akibat proses yang menggunakan bahan baku berkadar air
tinggi, selain menekan timbulnya bau. Kelebihan air dapat diserap oleh arang yang
kemudian tersimpan di dalam pori-pori arang. Pada saat tertentu, ketika proses
kekurangan air, maka otomatis air yang tersimpan di dalam pori arang dapat ditarik
kembali oleh bahan melalui proses diffusi, sehingga proses tidak kekurangan air dan
berjalan dengan sempurna.
Berdasarkan konsep modifikasi dasar tersebut, maka salah satu cara untuk
mengeliminasi/pemusnahan sampah organik di Indonesia, yang telah menjadi masalah
nasional Indonesia, dasar teknologi pengomposan yang mernghasilkan produk arang
25

kompos dapat berlaku umum sebagai alternativ pemecahannya, sehingga akan diperoleh
manfaat dari produk akhir yang mempunyai nilai lebih. Atau dengan kata lain, teknologi
arang kompos membalik titik berat permasalahan dengan solusi penyelesaian untuk
tujuan akhir yang bermanfaat, yang mendukung berbagai program dan aktivitas seperti
Gerhan, Go Organik 2010, serta laju pertumbuhan pertamanan dan tanaman hutan
kota/jalur hijau kota, serta yang lebih utama adalah menekan pelepasan gas methan CH 4
ke atmosfir sebagai salah satu GRK potensial penyebab pemanasan global.
Prospek masa depan pengomposan di Indonesia seperti umumnya peluang bisnis di
Indonesia, baik usaha skala kecil, menengah maupun skala usaha besar jika memang
memungkinkan apapun bisa dilakukan. Sebenarnya peluang pemanfaatan bahan organik
untuk produk kompos di Indonesia cukup terbuka lebar. Berbagai penelitian dan risetpun
sebenarnya telah banyak dilakukan oleh berbagai instansi resmi, lembaga tertentu atau
institusi akademisi/ universitas. Namun sayangnya belum dapat terkoordinasi dan
teraplikasi untuk mencapai sasaran yang tepat. Tanpa adanya suatu jaringan dan
keterbukaan dalam pengelolaan limbah untuk dapat dipakai sebagai produk yang
bermanfaat, misalnya melalui waste exchange atau bursa limbah, maka pengelolaan
tersebut akan selalu menjadi cost center, bukan suatu profit center. Indikasi
permasalahan saat ini adalah peluang agar supaya teknologi ini dapat teraplikasi meski
dengan dasar bisnis kerakyatan tetapi dasar kelestarian, kepedulian, dan manfaat
merupakan hal yang perlu lebih dikemukakan serta ditonjolkan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Pengembangan Pembuatan Arang Kompos Sebagai Media Persemaian Dalam


Rangka Menunjang Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan) sumber
dana SKO-R 2004 telah dilaksanakan di dua kota yaitu, Pandeglang dan Palembang,
masing-masing kegiatan berlangsung selama kurang lebih satu bulan bertempat di
penampungan/pemusnahan sampah akhir (TPA), dengan memanfaatkan sampah organik
sebagai bahan baku pengomposan dan serbuk gergaji serta sekam padi sebagai bahan
baku arang.
26

Pelaksanaan di Pandeglang dibantu secara penuh oleh Paguyuban KTH Alam


Lestari dan Koordinator lapangan TPA dari Dinas Kebersihan, Pandeglang, merupakan
kelompok tani sekaligus LSM yang beranggotakan 150 orang, binaan dan mitra kerja
lapangan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Pandeglang. Sementara di Palembang,
pelaksanaan hanya dibantu oleh Balittaman Palembang, serta izin menggunakan TPA
selama 1 bulan oleh Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Palembang.
Hingga laporan ini disusun analisis kualitas arang kompos yang dihasilkan belum
dapat dilaporkan karena pengukuran beberapa parameter yang diuji masih berlangsung
di Laboratory services SEAMEO Biotrop. Namun sebagai perbandingan dan rujukan
dapat dikemukakan bahwa kualitas kompos/kandungan unsur hara makro dari sampah
kota dengan komposisi yang sama, yang dilakukan oleh Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia (BPBI) di TPA Bantar Gebang pada tahun 2003 dengan
menggunakan aktivator yang sama adalah : Nisbah C/N = 9; kandungan hara N total =
1,17 %; kandungan hara P2O5 = 0,97; dan kandungan hara K = < 2 % (Away, 2003).
Berdasarkan rujukan tersebut maka diperkirakan kualitas arang kompos yang dihasilkan
di Pandeglang maupun Palembang tidak akan jauh berbeda.
Prospek masa depan aplikasi teknologi arang kompos di Indonesia merupakan salah
satu peluang bisnis di Indonesia, baik usaha skala kecil, menengah maupun skala usaha
besar. Banyak peluang yang mungkin diisi oleh produk ini seperti di sektor kehutanan,
kegiatan Gerhan yang akan berlangsung sampai tahun 2009, Go Organik 2010 oleh
Deptan, serta meningkatnya trend gaya hidup masyarakat yang lebih memilih produk-
produk organik yang aman dan sehat, menuntut penyediaan bahan/pupuk organik
berkualitas.
Sebagai saran yang perlu dipertimbangkan adalah, sebagai lokasi show window perlu
waktu dan biaya untuk pemeliharaan selanjutnya, terutama lahan di luar areal Gerhan.
27

VI. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Departemen kehutanan siap laksanakan GN RHL. Siaran Pers No.
1428/II/PIK-1/2003. www. dephut.go.id

Anonim. 2004. Gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan gagal


ribuan jenis pohon mati akibat kekeringan. Cianjur. Pikiran Rakyat Cyber Media Online
24 Juni 2004.

Anonim. 2004. Partisipasi masyarakat dalam GNRHL 15 %. Kolom lingkungan. Media


Indonesia Online. 7 Juni 2004

Away, Yufnal, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota di
TPA Bantar Gebang. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor

Gusmailina; G. Pari, and S. Komarayati. 1999. The utilization technology of charcoal and
activated charcoal as a soil conditioning on plants. Project Report. Forest products
Research Centre. Bogor.

Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Teknik penggunaan arang sebagai soil
conditioning pada tanaman. Laporan hasil penelitian (tidak diterbitkan)

Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Implementation study of compost and


charcoal compost production. Laporan kerjasama Puslitbang Teknologi Hasil Hutan
dengan JIFPRO - Jepang (Tidak diterbitkan)

Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Pedoman pembuatan arang kompos. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

Sri Komarayati, Gusmailina dan G. Pari. 2002. Pembuatan kompos dan arang kompos
dari serasah dan kulit kayu tusam. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 20 No. 3.
Halaman 231 – 242. Bogor

Reintjes, C., Haverkort, B., Bayer. W., 1999. Pertanian masa depan. Pengantar untuk
pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Penerbit Kanisius. Jakarta

Rao dkk., 1998 dalam Saad A., 2002. Pembangkitan criteria kesesuaian lahan untuk tanaman
duku spesifik lokasi Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Unpublished.

Anda mungkin juga menyukai