Anda di halaman 1dari 4

Waduh!

Ekonomi Berat, Potensi NPL Meningkat Tinggi

Monica Wareza, CNBC Indonesia

MARKET 11 November 2019 12:58

Waduh! Ekonomi Berat, Potensi NPL Meningkat Tinggi

Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Pefindo Biro Kredit menyebutkan saat ini jumlah debitur dengan tingkat risiko
tinggi dan sangat tinggi masih mencapai 46% yang membuat potensi kredit bermasalah (non-performing
loan/NPL) secara nasional masih terbilang tinggi.

Direktur Utama Pefindo Biro Kredit Yohanes Arts Abimanyu mengatakan salah satu penyebabnya adalah
dari faktor eksternal seperti terjadinya pelemahan ekonomi secara global yang juga berdampak ke
dalam negeri.

"Secara eksternal mengakibatkan seperti itu [pelemahan ekonomi] mengakibatkan debitur menjadi
tidak mampu atau terlambat bayar. Tapi secara internal perlu dilihat juga bahwa kemampuan atau
behaviour masing-masing debitur itu juga perlu dilihat. Bagaimanapun juga faktor eksternal masih
berpengaruh terhadap kemampuan membayar," kata Yohanes di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta,
Senin (11/11/2019).

PILIHAN REDAKSI

OJK Prediksi NPL Bank RI Capai 2,6% Akhir Tahun Ini

Warning! Sektor Konstruksi Penyumbang Terbesar NPL Perbankan

Resesi Global Menghantui, OJK: Waspada Pemburukan NPL

Bos BCA: Hati-hati Kredit Macet Fintech Lending!

Tingkat risiko kredit yang besar ini terutama untuk debitur dengan profil risiko tinggi dan sangat tinggi.
Sehingga perbankan termasuk bank perkreditan rakyat (BPR) dan lembaga pembiayaan perlu berhati-
hati dalam menyalurkan pembiayaan.
Dia menyebutkan, saat ini tingkat NPL di perbankan dari database yang dimilikinya masih berada di level
2%-3% secara nasional. Tingkat NPL yang lebih tinggi justru dialami BPR yang mencapai 7%, sedangkan
untuk lembaga pembiayaan berada di kisaran 3%.

Hingga saat ini Pefindo sudah bekerja sama dengan lembaga secara total, yang terdiri dari 91 bank
termasuk BPR serta bank umum dan syariah. Sedangkan untuk lembaga pembiayaan terdapat 68
lembaga pembiayaan, 38 lembaga pembiayaan berbasis fintech dan 11 koperasi simpan pinjam.

Ditargetkan hingga akhr tahun ini bisa jumlah lembaga yang bekerja sama bisa mencapai 245 lembaga.
Sedang di 2020, Pefindo membidik bekerja sama dengan 80 institusi baru.

Hingga saat ini Pefindo sudah memiliki sebanyak 90 juta data debitur, tumbuh dari akhir tahun lalu yang
sebanyak 70 juta debitur.

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja menyatakan
transaksi di perbankan mengalami perubahan signifikan karena pengaruh dari perkembangan teknologi
yang terjadi sangat cepat.

"Jika ditanyakan 5 tahun lalu apa sudah tahu 2019-2020 akan seperti ini [transformasi digital yang
sangat cepat], tentu tidak. Akselerasi kecepatan teknologi cepat sekali berkembang," katanya di
Indonesia Banking Expo 2019, Rabu (6/11/2019).

Baca Juga : Rekomendasi Mckinsey Pada Bank Dalam Menghadapi Perubahan Zaman

Jahja menuturkan, perubahan tersebut dapat dilihat dari perubahan porsi transaksi melalui mesin ATM,
kantor cabang, dan e-channel perseroan.

Pada 2007, porsi transaksi di mesin ATM BCA masih tercatat sebesar 71%, kantor cabang 17%, dan
sisanya transaksi melalui internet banking (i-banking) dan mobile banking (m-banking).
Baca Juga : Bos Baru BRI Siap Jawab Tantangan Jokowi Soal Kredit \'Wong Cilik\'

Sementara itu, pada 2019 mesin ATM yang sebelumnya menjadi alat transaksi yang populer, porsi
transaksi melalui mesin ATM hanya tinggal 23%. Porsi i-banking dan m-banking meningkat hingga 57%,
sedangkan sisanya di kantor cabang sekitar 1,8%.

"Saya sendiri waktu pertama melihat kaget sendiri, begitu cepat perubahannya, sehingga terlihat kantor
cabang sudah tidak dibutuhkan," tuturnya.

Meskipun begitu, kata Jahja, kantor cabang bukan berarti kehilangan fungsi. Dari nilai transaksi, kantor
cabang masih mencatat nilai paling besar, dengan porsi 51,6%.

Artinya, eksistensi kantor cabang masih tetap dibutuhkan, utamanya untuk melakukan transaksi kliring,
cek, dan transaksi besar lainnya. Selain itu, Jahja meyakini bisnis bank secara keseluruhan untuk bisnis
korporasi, komersial, UKM, dan konsumer masih belum bisa meninggalkan cara konvensional.

Malah, ke depan, bank akan semakin cepat memproses transaki-transaksi tersebut, terkhusus untuk
segmen korporasi yang memiliki sistem tersendiri, pengembangan layanan bank pun dinilai akan
semakin baikRekomendasi Mckinsey Pada Bank Dalam Menghadapi Perubahan Zaman

Kemajuan teknologi yang begitu pesat dalam satu dekade terakhir harus diimbangi dengan keseriusan
pelaku industri perbankan melakukan inovasi dalam berbisnis.

Lalu Rahadian Lalu Rahadian - Bisnis.com

06 November 2019 - 14:48 WIB

Nasabah melakukan transaksi perbankan di Galeri ATM, di Bandung, Jawa Barat, Senin (9/4/2018). -
JIBI/Rachman

A+ A-

Bisnis.com, JAKARTA – Kemajuan teknologi yang begitu pesat dalam satu dekade terakhir harus
diimbangi dengan keseriusan pelaku industri perbankan melakukan inovasi dalam berbisnis.
Pendapat tersebut dikemukakan Senior Partner Asia Pacific Mckinsey & Company Joydeep Sengupta
saat memberi sambutan di Indonesia Banking Expo 2019, Senayan, Jakarta. Menurutnya, pesatnya
perkembangan teknologi dapat membawa dampak positif dan negatif di waktu bersamaan.

Dampak positif yang bisa muncul di antaranya, adanya kesempatan bank untuk menurunkan beban
dana dengan memanfaatkan teknologi. Penekanan biaya operasional bisa diikuti dengan tumbuhnya
bisnis perbankan jika teknologi digunakan untuk memperbaiki pelayanan ke nasabah.

"Teknologi baru mengubah DNA layanan keuangan. Misal layanan mobile memungkinkan semua orang
bertransaksi di manapun kapanpun. Software modern memungkinkan adanya penurunan biaya
operasional," kaya Sengupta, Rabu (6/11/2019).

McKinsey menyarankan agar pelaku industri perbankan, terutama di Indonesia, mulai serius berinvestasi
dalam hal pengembangan teknologi dan infrastruktur yang mendukung inovasi sesuai perkembangan
jaman.

Menurut Sengupta, kemajuan data dan teknologi harus diikuti dengan transformasi kecepatan dan skala
bisnis perbankan. Itu berarti, bank tak bisa lagi hanya berpikir untuk melayani nasabah lokal semata.

"Kita tak punya pilihan selain melakukan gerakan yang nyata dan tegas. Salah satu caranya fokus
mengurangi biaya operasional, berinvestasi untuk inovasi, melimpahkan transaksi-transaksi ke pihak
ketiga," katanya.

Perlambatan pertumbuhan industri perbankan jelas terlihat dari data yang dipaparkan Mckinsey.
Berdasarkan data terkait, rata-rata pertumbuhan pendapatan bank menurun dari 16,8% pada 2002-
2007 menjadi 3,6% pada 2010-2018.

Penurunan ini terjadi di tengah naiknya rerata loan to deposit ratio (LDR) bank di negara berkembang,
dari 84% pada 2002-2007 menjadi 86% di 2010-2018. Sementara itu, LDR di negara maju turun dari
146% menjadi 126% di periode yang sama.

Anda mungkin juga menyukai