Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki permasalahan yang kompleks
terutama dalam masalah gizi. Gizi di Indonesia atau negara berkembang lainnya memiliki
kasus gizi yang berbeda dengan negara maju, yaitu Indonesia memiliki masalah gizi
ganda yang artinya status gizi yang menunjukkan keadaan disatu sisi daerah terdapat gizi
kurang dan di sisi lain terdapat gizi lebih (UNICEF, 2017). Pertumbuhan anak yang tidak
optimal dapat memberikan efek jangka pendek dan panjang dalam setiap siklus
kehidupan anak jika terjadi selama periode kritis kehidupan. Permasalahan ini biasanya
mulai terjadi sejak masa kehamilan sehingga anak yang dilahirkan akan tumbuh menjadi
anak dengan proporsi tubuh yang lebih pendek dari usia nya, hal ini disebut juga dengan
stunting (WHO, 2014).
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang sering terjadi pada anak akibat
kurangnya asupan nutrisi atau pola makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Masalah ini sering terjadi selama 1000 hari pertama kehidupan anak (MCA-I, 2014).
Stunting perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat meningkatkan mortalitas dan
morbiditas serta menghambat perkembangan fisik dan mental anak (Kusuma, 2013).
Secara global, pada tahun 2016 sekitar 22,9% (155 juta) jumlah anak yang berumur
dibawah lima tahun mengalami stunting. Pada tahun 2016, sekitar 56% (86,5 juta) balita
stunting di Asia dan 38% (59 juta) di Afrika. Prevalensi balita stunting di benua Asia
pada tahun 2016 terbanyak terdapat di Asia Selatan sekitar 34,1% (61,2 juta) dan di Asia
Tenggara 25,8% (15,1 juta) (WHO, 2017).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 di Indonesia mencatat bahwa
prevalensi stunting sebesar 37,2%, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) (Balitbangkes,
2013). Indonesia menempati peringkat lima di dunia untuk stunting. Prevalensi stunting
di Indonesia pada anak dibawah usia 5 tahun yang berjenis kelamin laki-laki sering
terjadi pada usia 24-35 bulan sebesari 40% dan pada usia 12-23 bulan sebesar 41,2%
(Riskesdas, 2014)
Prevalensi stunting di Sumatera Barat pada tahun 2017 sebesar 30,6% meningkat
dari tahun 2016 sebesar 25,6%. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Padang prevalesi
stunting pada tahun 2015 sebesar 14,9% sedangkan pada tahun 2018 prevalensi stunting
di Kota Padang sebesar 22,6% (Kemenkes, 2018). Prevalensi stunting terbesar terdapat di
Puskesmas Air Dingin sebesar 28,2% meningkat dibandingkan tahun 2014 sebesar
22,78%.
Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tetapi disebabkan oleh banyak
faktor, dan faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Faktor
penyebab stunting bisa berupa faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yang
berhubungan yaitu asupan makanan dan status kesehatan. Sedangkan pola pengasuhan,
pelayanan kesehatan dan lingkungan rumah tangga sebagai faktor tidak langsung
(Hossain M, et al 2017).
Secara tidak langsung faktor penyebab yang mempengaruhi kejadian stunting pada
anak adalah pola asuh ibu terhadap anak. Perilaku ibu dalam mengasuh anak memiliki
kaitan yang erat dengan kejadian stunting. Ibu dengan pola asuh yang baik akan
cenderung memiliki anak dengan status gizi yang baik pula, begitu juga sebaliknya, ibu
dengan pola asuh gizi yang kurang cenderung memiliki anak dengan status gizi yang
kurang pula (Virdani, 2012)
Pola asuh ibu merupakan perilaku ibu dalam mengasuh anak mereka. Perilaku itu
sendiri berdasarkan Notoatmodjo (2005) dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap.
Pengetahuan yang baik akan menciptakan sikap yang baik, yang selanjutnya apabila sikap
tersebut dinilai sesuai, maka akan muncul perilaku yang baik pula. Pengetahuan sendiri
didapatkan dari informasi baik yang diperoleh dari pendidikan formal maupun dari media
(Anindita, 2012).
Untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap maka perlu diberikan pendidikan
kesehatan. Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan yaitu proses
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan menjaga
kesehatannya dan tidak hanya melibatkan diri untuk memperbaiki pengetahuan, sikap
saja, tetapi juga memperbaiki lingkungan (baik fisik maupun non fisik) dalam rangka
memelihara dan menjaga kesehatan mereka (Notoatmodjo, 2007). Tingkat
pendidikan memengaruhi seseorang dalam menerima informasi. Orang dengan tingkat
pendidikan yang lebih baik akan lebih mudah dalam menerima informasi daripada orang
dengan tingkat pendidikan yang kurang. Informasi tersebut dijadikan sebagai bekal ibu
untuk mengasuh anaknya dalam kehidupan sehari- hari (Ni’mah, 2015).
Berdasarkan penelitian Jusmiati (2013) didapatkan hasil bahwa setelah diberikan
pendidikan kesehatan tingkat pengetahuan dan sikap ibu dalam merawat bayi baru lahir
menjadi lebih tinggi dibanding sebelum diberikan pendidikan kesehatan. Hal ini sejalan
dengan penelitian Herman (2017) tentang The effect of health education to parent’s
behaviours on managing fever in children, mengatakan bahwa skor pengetahuan dan
sikap setelah diberikan pendidikan kesehatan lebih tinggi dari pada sebelum diberikan
pendidikan kesehatan. Nilai pengetahuan, skornya sebesar 8,35 > 2,78, dan sikap skornya
sebesar 41,60 > 2,13. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan lebih
efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap seseorang. yaitu dengan memberikan
ceramah dan menampilkan sebuah slide serta pembagian leaflet (Sarwani, 2014).
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan dengan wawancara kepada 6
orang ibu yang ada di Puskesmas Air Dingin, 5 dari 6 orang ibu mengatakan tidak tau apa
itu stunting. Satu dari 6 orang ibu mengatakan mengetahui apa itu stunting tetapi tidak tau
bagaimana cara pencegahan stunting. Dua dari 6 orang ibu mengatakan bahwa stunting
itu tidak mematikan, tidak ada hubungan antara asupan gizi anak dengan kejadian
stunting. Dua dari 6 orang ibu mengatakan stunting itu penyakit yang berbahaya tetapi
ibu mengatakan tidak ada pengaruh asupan gizi terhadap stunting.

Pendidikan kesehatan yang diberikan yaitu dengan metode bimbingan dan


penyuluhan, agar kontak pasien dan petugas lebih intensif, setiap masalah yang dihadapi
dapat dikajilebih dalam dan dibantu penyelesaiannya (Notoatmodjo, 2014). Metode
pendidikan individual merupakan pendidikan yang efektif digunakan karena 80%
pengetahuan masyarakat menjadi bertambah setelah diberikan pendidikan kesehatan
melalui metode individual. Dimana metode individual yang digunakan
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa, perlu adanya pemberian pendidikan
kesehatan kepada masyarakat. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang
Pencegahan Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Pasundan”.

B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap
ibu tentang pencegahan stunting di wilayah kerja puskesmas pasundan ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap
ibu tentang pencegahan stunting.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Ibu
1. Peran dan Kedudukan Ibu
Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Setiap anggota keluarga mempunyai peran
dan kedudukannya masing-masing, termasuk Ibu. Ibu mempunyai peranan penting
dalam mendukung suasana keluarga yang berkualitas (Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, 2009).
Peran dan kedudukan ibu dalam menjaga kualitas keluarga mencakup aspek
pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, kemandirian keluarga, dan mental
spiritual serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai keluarga
sejahtera. Pada aspek kesehatan, ibu berperan dan berkedudukan sebagai pengawas,
pendidik, dan pemberi pelayanan serta pemberi contoh
hidup sehat dalam bentuk promotif dan preventif maupun persuasif. Ibu juga
berperan penting dalam pelaksanaan kesehatan berbasis keluarga yang diantaranya
adalah pemberian pola asuh anak yang baik, pola makan dan nutrisi secara tepat dan
seimbang, dan pemantauan perkembangan dan pertumbuhan anak serta pencegahan
dari berbagai gangguan atau masalah kesehatan di keluarga (Prickett, K., Augustine,
J., 2016).

B. Pendidikan kesehatan
1. Pengertian
Pendidikan kesehatan adalah adalah proses untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Notoadmodjo,
2012). Pendidikan kesehatan merupakan kumpulan pengalaman yang memberikan
pengaruh baik kepada kebiasaan, sikap dan pengetahuan yang berhubungan dengan
kesehatan individu, masyarakat ataupun negara (Machfoedz, Suryani, 2009).
Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan WHO, tujuan
pendidikan kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; baik secara fisik, mental dan
sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial, pendidikan kesehatan
disemua program kesehatan; baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi
lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun program kesehatan
lainnya.
Pendidikan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan kesempatan
yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan individu,
keluarga, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat, sadar,
tahu dan mengerti serta melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan
kesehatan secara perseorangan (individu) maupun kelompok. Pendidikan kesehatan
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sosial ekonomi, adat istiadat, kepercayaan
masyarakat dan ketersediaan waktu seseorang atau kelompok (Notoatmodjo, 2012).

2. Metode
Metode pendidikan kesehatan merupakan suatu cara teratur yang digunakan
untuk melaksakan proses perubahan dari seseorang yang dihubungan dengan
pencapaian tujuan kesehatan individu dan masyarakat (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2019). Metode yang dapat dipergunakan dalam memberikan pendidikan
kesehatan adalah metode ceramah, diskusi kelompok, curah pendapat, panel, bermain
peran, demonstrasi, simposium, seminar pada suatu komunitas atau kelompok serta
bimbingan dan konseling pada suatu individu (Notoatmodjo, 2012).
a. Metode Ceramah

Metode ceramah merupakan suatu cara dalam menerangkan dan menjelaskan

suatu ide, pengertian atau pesan secara lisan kepada sekelompok sasaran

sehingga memperoleh informasi tentang.

b. Metode diskusi kelompok

Metode diskusi kelompok adalah pembicaraan yang direncanakan dan

dipersiapkan tentang suatu topik pembicaraan diantara 5-20 peserta (sasaran)


dengan seorang pemimpin diskusi yang telah ditunjuk dalam suatu kelompok.

c. Metode Curah Pendapat

Metode curah pendapat merupakan suatu bentuk pemecahan masalah setiap

anggota yang mengusulkan semua kemungkinan pemecahan masalah yang

terpikirkan oleh masing-masing peserta dan evaluasi atas pendapat-pendapat

yang dilakukan kemudian.

d. Metode Panel

Metode pembicaraan yang telah direncanakan di depan pengunjung atau peserta

tentang sebuah topik dengan 3 orang atau lebih panelis dan seorang pemimpin.

e. Metode Bermain Peran

Metode dengan memerankan sebuah situasi dalam kehidupan manusia dengan

tanpa diadakan latihan, dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk dipakai

sebagai bahan pemikiran oleh kelompok.

f. Metode Demonstrasi

Metode dengan cara untuk menunjukkan pengertian, ide dan prosedur tentang

suatu hal yang telah dipersiapkan dengan teliti untuk memperlihatkan cara

melaksanakan suatu tindakan, adegan dengan menggunakan alat peraga.

g. Metode Simposium

Serangkaian ceramah yang diberikan oleh 2 sampai 5 orang dengan topik yang

berbeda tetapi saling berhubungan erat.

h. Metode Seminar

Metode seminar adalah suatu cara dengan sekelompok orang berkumpul untuk

membahas suatu masalah dibawah bimbingan seorang ahli yang menguasai

bidangnya.

i. Metode Bimbingan dan Konseling

Bimbingan dan konseling merupakan tindakan untuk menolong seseorang untuk


mengidentifikasi masalah, menjelaskan permasalahan dan menemukan alternatif

masalah secara individual, sehingga orang tersebut mampu untuk memutuskan

perkara masalah tersebut.

3. Media
Media pendidikan adalah suatu alat bantu menyampaikan pesan-pesan
kesehatan yang berfungsi untuk menimbulkan minat sasaran pendidikan, mencapat
sasaran yang lebih banyak, membantu dalam mengatasi banyak hambatan dalam
pemahaman, menstimulasi sasaran pendidikan, mempermudah menyampaikan bahan
atau informasi keehatan, mendorong motivasi dan membantu menegakkan pengertian
yang diperoleh. Media pendidikan kesehatan berbentuk media pendidikan berdasarkan
stimulasi indra seperti penglihatan (visual), pendengaran (audio) maupun penglihatan
dan pendengaran (audiovisual) dengan alat bantu media cetak maupun elektronik
(Notoatmodjo, 2012).
Pendidikan kesehatan dengan menggunakan media audiovisual mulai sering
digunakan karena dinilai efektif untuk penyampaian pesan ke masyarakat
dibandingkan dengan pendidikan kesehatan tanpa media atau konvensional.
Keefektivan media audiovisual terbukti adanya peningkatan yang signifikan pada
pengetahuan responden sebelum dan setelah mendapatkan pendidikan kesehatan
dengan media audiovisual (Suputra, 2011). Rerata skor pengetahuan iu terhadap anak
stunting mempunyai rerata skor pengetahuan ibu pada pretest adalah 6,44±1,65
sedangkan skor pada saat posttest naik menjadi 7,38±1,76 dan menunjukkan adanya
perbedaan signifikan antara pengetahuan ibu mengenai stunting pada saat sebelum
dan seetelah dilakukan intervensi (p= 0,009) dengan menggunakan media audiovisual
(Wahyurin, Aqmarina, Rahmah, Hasanah, Silaen, 2017).

C. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan adalah proses seseorang mengolah dan memahami informasi yang
diperoleh dari beberapa sumber serta menggunakan hasilnya untuk memecahkan suatu
masalah (Cambridge International Examinations, 2015). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui atau kepandaian
atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran) (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2019).
Pengetahuan adalah hasil dari pemikiran mendalam dalam menjawab
pertanyaan yang ada disekitar manusia. Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari fakta
dan teori yang memungkinkan seseorang dalam memecahkan suatu masalah.
Pengetahuan akan berkembang secara ilmiah dan secara normatif menjadi ilmu-ilmu
dasar di masyarakat. Apabila pengetahuan hanya berkembang secara normatif tanpa
fakta empiris yang berarti maka pengetahuan itu hanyalah menjadi keyakinan belaka
(Notoadmodjo, 2012).
Pengetahuan adalah justifikasi akan keyakinan yang terbukti benar dan dibatasi
oleh kondisi sebenarnya dan sifat kebenaran. Pengetahuan menggabungkan tiga
kondisi dasar yaitu kondisi kebenaran (truth condition), kondisi keyakinan (belief
condition) dan kondisi pembenaran (justification condition). Jenis pengetahuan
terbagi sesuai dengan sifat pengetahuan yang diadopsi diantaranya adalah
pengetahuan pengalaman atau eksperimensial, keterampilan (skill) dan klaim
pengetahuan (Bolisani, 2018).
Proses adaptasi pengetahuan dimulai berurutan dari kesadaran (awareness),
tertarik (interest), evaluasi (evaluation), mencoba (trial) dan adaptasi (adaptation).
Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, informasi atau media massa,
pengalaman, lingkungan dan umur, serta sosial, budaya dan ekonomi (Budiman,
Riyanto, 2013).
2. Tahapan
Menurut Bloom (1956) dalam Notoadmodjo (2012), pengetahuan dibagi
menjadi 6 tahapan yang merupakan adoptasi dari Taksonomi Bloom.
1. Tahu (Know)
Pada tahapan ini seseorang dapat menunjukkan atau memberikan informasi
berdasarkan memori yang dimiliki sebelumnya. Tahapan ini juga berisikan
kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta,
gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehensive)
Pada tahapan ini seseorang mampu mendemonstrasikan pemahaman akan fakta
dan pemikiran. Pada tahapan ini juga seseorang dapat menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar.
3. Aplikasi
Pada tahapan ini seseorang mampu memecahkan suatu masalah dalam situasi
yang baru dengan cara menerapkan pengetahuan, fakta, teknik atau aturan yang
berbeda atau baru.
4. Analisis
Pada tahapan ini seseorang mampu menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis
Sintesis merujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (Evaluating)
Tahapan ini merupakan tahapan tertinggi dalam Taksonomi Bloom. Seseorang
mampu memberikan dan mempertahankan argument atau pernyataan dengan
membuat keputusan terhadap informasi, validitas pemikiran ataupun kualitas kerja
berdasarkan kriteria.
3. Pengukuran
Pengukuran pengetahuan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang terdiri dari
pertanyaan yang diberi nilai nol jika responden menjawab salah dan nilai satu jika
menjawab pertanyaan dengan benar. Hasil dari pengukuran pengetahuan ini akan
dibagi menjadi tiga kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Kategori baik bila mampu
menjawab dengan benar >75% pertanyaan, cukup bila pertanyaan dijawab benar
sebanyak 61-75%, kurang bila menjawab pertanyaan ≤ 60 % (Arikunto, 2016).

D. Stunting
1. Pengertian
Balita pendek (stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau
TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran
tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/
stunted) dan <-3 SD (sangat pendek /severely stunted) (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2011). Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin
masih dalam kandungan dan baru terlihat pada saat anak berumur dua tahun
(Millenium Challenge Account Indonesia, 2015).
Masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan

dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan

baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh tumbuh kejar yang tidak

memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan

optimal. Hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan

berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya

tidak terpenuhi dengan baik (Kusharisupeni, 2008).

2. Penyebab
Stunting merupakan permasalahan gizi kronis yang dikarenakan oleh faktor yang

multidimensi. UNICEF (1997) telah mengembangkan kerangka konsep sebagai salah

satu strategi dalam menanggulangi permasalahan gizi. Dalam kerangka tersebut

ditunjukkan bahwa permasalahan gizi, ketidakmampuan, dan kematian anak

disebabkan oleh penyebab langsung (immediate cause), penyebab yang mendasari

(underlying cause) dan penyebab dasar (basic cause) (UNICEF, 2012).

a. Penyebab Dasar

Penyebab dasar (basic cause) adalah kuantitas dan kualitas sumber daya potensial

yang ada di masyarakat misalnya manusia, pendidikan, ekonomi, lingkungan,

organisasi, dan teknologi. Penyebab ini ditemukan pada populasi yang cukup

besar seperti negara, wilayah ataupun daerah. Penyebab ini juga menjadi tolok

ukur dan pengaruh terhadap penyebab lainnya.

b. Penyebab yang mendasari

Faktor yang menjadi penyebab yang mendasari (underlying cause) masalah

kekurangan gizi pada level keluarga adalah tidak cukup akses terhadap pangan dan

pola konsumsi makanan, pola asuh anak yang tidak memadai dan akses pelayanan

kesehatan serta sanitasi air bersih yang tidak memadai. Hal ini dikarenakan

pengaruh dari penyebab dasar di level masyarakat yang berdampak ke level yang

lebih rendah (level keluarga). Faktor di level keluarga yang berperan adalah

pendidikan, jumlah anggota keluarga, sosial dan ekonomi (status pekerjaan),


lingkungan dan budaya, serta agama dan kepercayaan orang tua. Penyebab yang

mendasari ini disebabkan oleh pokok masalah yang terjadi di masyarakat dan

keluarga yang merupakan dampak dari penyebab dasar di masyarakat. Pokok

masalah yang terjadi pada level masyarakat berupa kemiskinan, ketahanan pangan

dan gizi, pendidikan, kesehatan dan kependudukan. Pokok masalah masyarakat ini

akan berlanjut menjadi pokok masalah di level keluarga berupa rendahnya daya

beli, akses pangan, satus kerja ayah dan ibu dan jumlah anggota keluarga (aspek

sosioekonomi), akses informasi dan pelayanan kesehatan dan wilayah tempat

tinggal (aspek kesehatan dan kependudukan) dan pengetahuan ibu (aspek

pendidikan).

c. Penyebab langsung

Penyebab langsung (immediate cause) adalah akumulasi dari penyebab yang

mendasari dan penyebab dasar yang berperan langsung terhadap kejadian stunting.

Penyebabnya adalah asupan makanan yang tidak adekuat dan status infeksi dan

kesehatan pada anak. Asupan yang tidak adekuat dapat berupa pemberian zat gizi

yang tidak seimbang dan tidak sesuai. Kurangnya zat gizi terutama zat gizi energi

dan protein menjadi faktor langsung karena pertumbuhan pada anak akan

terganggu. Infeksi menjadi faktor penyebab langsung karena infeksi dapat

menyebabkan zat gizi digunakan untuk proses perbaikan jaringan atau sel yang

mengalami kerusakan. Infeksi yang sering terjadi terutama pada infeksi saluran

cerna (diare akibat virus, bakteri maupun parasit), infeksi saluran napas (ISPA,

tuberkulosis paru dan pneumonia) dan infeksi akibat cacing (kecacingan).

Sedangkan status kesehatan anak dapat berupa kelainan kongenital pada saluran

pencernaan (labiopalatoskisis, atresia esofagus, atresia duodenum), gangguan

absorpsi atau malabsorpsi dan pencernaan lainnya (intoleransi laktosa, penyakit

hepatobilier) serta keadaan imunodefisiensi pada anak (HIV/AIDS, lupus

eritematosa sistemik). Pola determinan pada penyebab langsung memberikan efek


bolak-balik atau saling mempengaruhi.

3. Pengukuran
Pengukuran pada kondisi stunting menggunakan pengukuran status gizi secara

langsung menggunakan penilaian antropometri. Status gizi merupakan ekspresi dari

keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari keadaan

gizi dalam bentuk variabel tertentu. Penilaian antropometri adalah penilaian yang

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh

dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum dapat

digunakan untuk melihat ketidakseimbangan zat gizi seperti asupan protein dan energi

(Supariasa, 2014).

a. Parameter Pengukuran
Menurut Supariasa (2014), parameter merupakan dasar dari penilaian

antropometri. Parameter antropometri merupakan ukuran tunggal pada manusia

yang dapat digunakan sebagai indikator status gizi pada pengukuran antropometri.

Parameter yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Umur

Penentuan status gizi sangat berpengaruh kepada umur seseorang. Interpretasi

status gizi akan menjadi salah akibat keselahan penentuan umur. Hasil

pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti

bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Pada penerapannya,

pengukuran umur menggunakan metode tahun usia penuh atau completed

years dan bulan usia penuh atau completed month.

2. Berat badan

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa

tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang


mendadak, misalnya pada keadaan terkena penyakit infeksi, menurunnya nafsu

makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan

merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan

pada bayi baru lahir (masa neonatus). Pada masa bayi dan balita, berat badan

dapat digunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi.

Berat badan merupakan pilihan utama karena parameter yang paling baik,

mudah dipakai, mudah dimengerti, dan memberikan gambaran status gizi saat

ini. Alat yang dapat memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih serta

dianjurkan untuk digunakan dalam penimbangan balita adalah timbangan

dacin.Berat Badan

3. Panjang badan atau Tinggi badan

Panjang badan atau tinggi badan adalah parameter yang menggambarkan

pertumbuhan skeletal. Pertumbuhan panjang atau tinggi cenderung tidak relatif

dan kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang

pendek. Panjang badan atau tinggi badan dapat mengetahui keadaan lalu dan

keadaan sekarang jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu

parameter ini merupakan ukuran kedua terpenting, karena dengan

menghubungkan berat badan terhadap panjang atau tinggi badan, faktor umur

dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan untuk balita yang sudah dapat

berdiri dilakukan dengan alat pengukuran tinggi mikrotoa yang mempunyai

ketelitian 0,1 cm.

4. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks massa tubuh merupakan parameter yang dapat memantau status gizi

seseorang yang berkaitan dengan kelebihan atau kekurangan berat badan.

Parameter ini merupakan hasil dari berat badan (dalam kilogram) dibagi

kuadrat tinggi badan (dalam meter). Penggunaan parameter IMT hanya berlaku
pada orang dewasa berumur 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi,

anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan, pada keadaan khusus (penyakit)

lainnya seperti edema, asites atau hepatomegali.

5. Indeks Pengukuran

Indeks pengukuran merupakan kombinasi dari parameter

antropometri. Indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan

menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan

menurut tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z

(z- score). Normal, pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang

didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan

menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan

severely stunted (sangat pendek) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

2011).

Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per

umur (TB/U) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

1. Sangat pendek : z score < -3,0

2. Pendek : z score < -2,0 s.d. z score ≥ -3,0

3. Normal : z score ≥ -2,0

Rumus perhitungan Z– Skor atau unit Standar Deviasi (SD) adalah:

Z-Score = Nilai individu subjeyek-Nilai Median Baku Rujukan


Nilai simpang baku rujukan
D. Konsep Anak Usia Pra Sekolah
a. Pengertian Anak Usia Pra Sekolah
Anak usia pra sekolah merupakan usia perkembangan anak dari usia tiga tahun
sampai dengan lima tahun. Pada anak dalam usia tiga sampai dengan lima tahun terjadi
perubahan yang signifikan terhadap perkembangan biologis, psikososial, kognitif,
spiritual, dan sosialnya (Hockenberry & Wilson, 2009). Penjelasan yang sedikit
berbeda diungkapkan oleh Habibi (2015) berdasarkan pertumbuhan dan
perkembangannya anak usia dini dibagi menjadi beberaapa kelompok yaitu usia bayi
lahir sampai dengan 12 bulan, usia toddler (balita) pada usia satu sampai tiga tahun,
usia pra sekola dalam rentang tiga sampai enam tahun , dan masa awal sekolah dalam
usia enam sampai delapan tahun. Behrman, Kliegman, & Arvin (2016) menjelaskan hal
yang sama yaitu anak usia pra sekolah berada dalam rentang usia tiga sampai dengan
enam tahun.

b. Tahap Perkembangan Anak Usia Pra Sekolah


Tahapan tumbuh kembang manusia yang paling memerlukan perhatian dan
menentukan kualitas seseorang di masa mendatang adalah pada masa anak (Ridha,
2014). Berikut merupakan perkembangan anak pada usia pra sekolah yaitu:
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik anak usia pra sekolah dimulai dari tiga tahun, empat
tahun dan lima tahun. Pertumbuhan tinggi badan dengan rata-rata 6,75 cm sampai
7,5 cm per tahun dan umumnya terjadi pada perpanjangnan tungkai kaki. Pada usia
tiga tahun adalah 95 cm, pada usia empat tahun 103 cm, dan pada usia lima tahun
adalah 110 cm (Wong, 2008). Pertambahan berat badan rata-rata per tahun adalah
2,225 kg dan pertambahan panjang badan anak rata-rata 5-7,5 cm setiap tahun
(James & Ashwill, 2017).
b. Perkembangan Psikologis
Pada masa usia pra sekolah rasa ingin tahu (corious) dan daya imaginasi anak
berkembang, sehingga anak banyak bertanya tentang segala hal di sekelilingnya
yang tidak diketahuinya. Anak belum mampu membedakan hal yang abstrak dan
konkret sehingga orang tua sering menganggap anak berdusta padahal anak tidak
bermaksud demikian. Anak juga akan mengidentifikasi figur atau perilaku orang
tua sehingga mempunyai kecendrungan untuk meniru tingkah laku orang dewasa
(Ridha, 2014).
c. Perkembangan Kognitif
Anak pada usia pra sekola berada dalam masa peralihan antara fase
preconceptual dan fase intuitive thought. Saat anak berada pada fase preconceptual
anak akan lebih menggunakan satu istilah untuk beberapa hal yang memiliki
kemiripan atau memiliki ciri-ciri yang sama, misalnya menyebut nenek atau kakek
kepada orang yang sudah tua, sudah bongkok, keriput, dan memakai tongkat,
sedangkan anak yang berada pada fase intuitive thought, mereka sudah bisa
memberikan alasan terhadap tindakan yang mereka lakukan. Anak usia pra sekolah
memiliki asumsi bahwa setiap orang memiliki pemikiran yang sama seperti
mereka, sehingga perlu menggali pemikiran mereka dengan pendekatan nonverbal.
(Supartini, 2012)
d. Perkembangan Spiritual
Pemahaman anak usia pra sekolah mengenai spiritualitas dipengaruhi oleh
tingkat kognitif, pengetahuan tentang keyakinan, dan agama yang dipelajari dari
keyakinan orang tuanya. Berdasarkan perkembangan rasa bersalah anak sering
mempunyai persepsi yang kurang tepat mengenai suatu penyakit dianggap sebagai
hukuman. Pengalaman keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan dapat membantu
koping anak dalam menghadapi penyakit dan hospitalisasi (Hockenberry &
Wilson, 2009).
e. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak pada usia pra sekolah yaitu anak akan makin ingin
untuk melakukan berbagai macam kegiatan yang disukainya. Pada masa ini anak
akan dihadapkan dengan tuntutan sosial yang baru. (Gunarsa, 2018). Anak usia pra
sekolah sudah mampu mengatasi banyak kecemasan yang berhubungan dengan
orang asing dan ketakutan akan perpisahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Anak usia pra sekolah dapat berhubungan dengan orang-orang yang tidak dikenal
dengan mudah dan mentoleransi perpisahan singkat dari orang tuanya dengan
sedikit atau tanpa protes. Namun anak usia pra sekolah masih membutuhkan
perlindungan dari orang tua, bimbingan, dan persetujuan ketika memasuki masa
pra sekolah. (Wong, 2008).

E. Konsep Sikap Kooperatif


a. Pengertian Sikap Kooperatif
Sikap kooperatif adalah tingkat individu dalam melihat dirinya sendiri sebagai
bagian dari anggota masyarakat individu yang bersikap kooperatif ditunjukkan dengan
sikap empati, toleransi, penuh kasih sayang, saling mendukung, serta mempunyai
prinsip yang kuat.

b. Klasifikasi Tingkat Kooperatif Menurut Wright


Menurut Muthu dan Sivakhumar (2015) tingkat kooperatif anak dibagi
menjadi 3 skala yaitu:
a. Kooperatif, meliputi:
1) Anak menunjukkan sedikit takut dan cukup relaks.
2) Mempunyai hubungan yang baik dengan perawat dan tim kesehatan lainnya.
3) Anak tertarik dengan prosedur tindakan dan santai dengan situasi yang ada.

b. Anak Kurang Mampu Bersikap Kooperatif, meliputi:

1) Anak yang masih terlalu muda usianya (kurang dari tiga tahun) dan emosinya
belum matang.
2) Anak yang mempunyai kelemahan tertentu atau kondisi cacat.
3) Keparahan kondisi anak tidak memungkinkan bersikap kooperatif seperti
anak normal dengan usia yang sama.

c. Anak Mempunyai Sikap Potensi kooperatif


Anak ini berbeda dengan anak yang kurang mampu bersikap kooperatif
karena mereka mempunyai kemampuan untuk bekerja sama. Hal ini dapat terjadi
bila adanya pendekatan serta komuikasi yang baik, sehingga anak yang mula-
mula tidak kooperatif dapat berubah tingkah lakunya menjadi kooperatif dan
dapat dirawat. Penampilan anak yang mempunyai sikap potensi kooperatif yaitu:

1. Tingkat laku atau sikap yang tidak terkontrol (uncontrolled behaviour),


meliputi: tingkah laku pada tipe ini dapat ditemukan pada usia pra sekolah
(tiga sampai enam tahun), anak menangis, menendang, dan memukul.

2. Tingkah laku atau sikap melawan (defiant behavior), meliputi: anak tetap
menolak perawatan, bersikap protes, anak keras kepala dan manja, gagal
berkomunikasi.

3. Tingkah laku atau sikap pemalu (timid behavior). Sikap pemalu merupakan
gabungan antara uncontrolled behaviour dan defisiant behavior tetapi
ketika menggabungkannya tidak benar maka akan kembali kepada sikap
yang tidak benar maka akan kembali kepada sikap yang tidak terkontrol.
Sikap timid behavior terdiri dari:
a) Anak menangis dan merengek, tapi tidak sampai histeris.

b) Over protektif terhadap lingkungan.


c) Mengisolasi diri tanpa kontak dengan orang asing.
d) Kagum terhadap orang asing terhadap situasi yang aneh.

d. Tingkah laku atau sikap tegang (Tense Cooperative Behavior), meliputi:


1) Anak menerima dan kooperatif terhadap perawatan.
2) Ketegangan biasanya ditunjukkan dengan bahasa tubuh.
3) Mata pasien mengikuti gerakan mata perawat atau tim kesehatan lain.
4) ketika berbicara suaranya bergetar.
5) Telapak tangan dan alis mata berkeringat.

e. Sikap merengek (Whining Behavior), meliputi:


1) Anak merengek tetapi mau melakukan prosedur tindakan dengan bujukan.
2) Anak sering mengeluh sakit.
3) Merengek merupakan mekanisme kompensasi untuk mengontrol rasa sakit.
4) Menangis dapat terkontrol, konstan, tidak keras, biasanya hanya air mata.

c. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Sikap Kooperatif Anak.


Sikap kooperatif dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari
dalam maupun faktor luar yang dapat mempengaruhi sikap kooperatif anak, berikut
faktor-faktor yang dapat bepengaruh.
a. Usia
Anak usia pra sekolah mempersepsikan hospitalisasi sebagai suatu
hukuman sehingga anak akan merasa malu, merasa bersalah, dan takut. Tindakan
dan prosedur invasif yang diperoleh di rumah sakit dianggap mengancam
integritas tubuhnya. Hal ini menimbulkan reaksi agresif seperti marah, berontak,
tidak mau bekerjasama dengan perawat, dan ketergantungan dengan orang tua
(Supartini, 2019). Hasil penelitian Handayani dan Puspitasari (2018)
menunjukkan peningkatan sikap kooperatif yang paling tinggi pada anak usia
tiga sampai lima tahun.
b. Jenis Kelamin
Hasil penelitian Handayani dan Puspitasari (2018) menunjukkan jenis
kelamin anak perempuan usia pra sekolah lebih mengalami peningkatan sikap
kooperatif dibandingkan anak laki-laki usia pra sekolah.
c. Pengalaman Dirawat di Rumah Sakit
Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan selama
dirawat di rumah sakit sebelumnya, maka akan menyebabkan anak menjadi takut
dan trauma sehingga anak tidak kooperatif dengan perawat dan tenaga kesehatan
(Supartini, 2019).

d. Skala Pengukuran Tingkat Kooperatif


Pengkategorian sikap kooperatif diukur dengan menggunakan nilai tengah
(median) sebagai nilai cut off point. Median dari sikap kooperatif diperoleh setelah
pengambilan data dilakukan. Titik potong (cut off point) adalah nilai batas antara
nilai normal dan abnormal, atau pada penelitian ini untuk menentukan batasan nilai
yang termasuk kooperatif dan tidak kooperatif. (Ariawan, 2011).

F. Konsep Terapi Bermain Kolase Kartun


1. Pengertian Kolase
Kata kolase, yang dalam bahasa Inggris disebut “collage” berasal dari kata
“coller” dalam bahasa Prancis, yang berarti “merekat”. Selanjutnya kolase dipahami
sebagai sebuah teknik seni menempel berbagai macam materi selain cat, seperti kertas,
kain, kaca, logam, dan sebagainya, atau dikombinasikan dengan penggunaan cat atau
teknik lainnya.1 Kolase adalah sebuah teknik menempel berbagai macam unsure ke
dalam satu frame sehingga menghasilkan karya seni yang baru. Dengan demikian,
kolase adalah karya seni rupa yang dibuat dengan cara menempelkan bahan apa saja
kedalam satu komposisi yang serasi sehingga menjadi satu kesatuan karya.
Kolase adalah karya aplikasi yang dibuat dengan menggabungkan teknik melukis
(lukisan tangan) dengan menempel bahan-bahan tertentu. Kolase berasal dari bahasa
Perancis. Collage yang berarti merekat. Kolase adalah kreasi aplikasi yang dibuat
dengan menggabungkan teknik melukis (lukisan tangan) dengan menempelkan bahan-
bahan tertentu.2 Dalam pembuatan kolase memerlukankesabaran yang tinggi dan
keterampilan dalam memadukan, menyusun, dan menempel bahan yang ada sehingga
menjadi sebuah karya seni yang indah.
Disebutkan juga bahwa kolase menuntut kreativitas dan ide yang lebih sulit
dibanding dengan pembuatan karya seni rupa yang lain, karena di dalam pembuatan
kolase dituntut untuk memiliki, mencari, dan menemukan bahan yang khusus dan
cocok untuk membuat kolase, kemudian bagaimana cara memadukan antara bahan
yang satu dengan bahan yang lainnya.3 Bahan yang digunakan bisa berupa bahan alam,
bahan buatan, bahan setengah jadi, bahan jadi dan bahan sisa. Potensi kreatif yang
sudah dimiliki anak sejak lahir penting untuk dikembangkan melaui pembelajaran yang
unik, menarik dan menyenangkan bagi anak sehingga anak dapat bereksploratif dan
memunculkan ide-ide baru.
Berdasarkan dari beberapa penjelasan teori diatas maka disimpulkan bahwa
kolase merupakan suatu karya seni dengan menempelkan bahan-bahan tertentu yang
bervariasi bisa berupa bahan bekas, bahan dari alam, bahan jadi dan lain sebagainya
sehingga menjadi suatu karya seni yang serasi dengan memadukan lukisan tangan atau
teknik lainnya.

2. Jenis Kolase

Karya kolase dapat dibedakan menjadi beberapa segi, yaitu segi fungsi, matra,
corak dan material

1) Menurut Fungsi
Dari segi fungsi, kolase dikelompokkan menjadi dua, yaitu seni murni (fine
art) dan seni pakai (applied art). Seni murni adalah suatu karya seni yang dibuat
semata mata untuk memenuhi kebutuhan artistic. Orang menciptakan karya seni
murni, umumnya, untuk mengekspresikan cita rasa estetis. Dan, kebebasan
berekspresi dalam seni murni sangat diutamakan. Sedangkan, seni terapan atau seni
pakai (applied art) adalah karya seni rupa yang dibuat buntuk memenuhi kebutuhan
praktis. Aplikasi seni terapan umumnya lebih menampilkan komposisi dengan
kualitas artistic yng bersifat dekoratif

2) Menurut Matra
Berdasarkan matra, jenis kolase dapat dibagi dua, yaitu kolase pada
permukaan bidang dua dimensi (dwimatra) dan kolase pada permukaan bidang tiga
dimensi (trimatra).

3) Menurut Corak
Menurut coraknya, wujud kolase dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
representative dan nonrepresentatif. Representative artinya menggambarkan wujud
nyata yang bentuknya masih dikenali. Sedangkan nonrepresentatif artinya dibuat
tanpa menampilkan bentuk yang nyata, bersifaat abstrak, dan hanya menampilkan
komposisi unsure visual yang indah.

4) Menurut Material
Material (bahan) apapun dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kolase asalkan
ditata menjadi komposisi yang menarik atau unik. Berbagai material kolase tersebut
akan direkatkan pada beragam jenis permukaan, seperti kayu, plastic, kertas, kaca,
keramik, gerabah, karton, dan sebagainya asalkan relative rata atau memungkinkan
untuk ditempeli.

Secara umum bahan baku kolase dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
bahan-bahan alam (daun, ranting, bunga kering, kerang, biji-bijian, kulit, batu-batuan
dan lain-lain), dan bahan-bahan bekas sintesis (plastic, seraat sintesis, logam, kertas
bekas, tutup botol, bungkus permen/cokelat, kain perca dan lain-lain).
3. Peralatan dan Teknik
Secara umum peralatan utama yang dibutuhkan adalah:
a. Alat potong: pisu, gunting, cutter, gergaji, tang dan sebagainya.
b. Bahan perekat: lem kertas, perekat vinyl, lem putih/PVC, lem plastic, jarum dan
benang jahit, serta jenis perekat lainnya (disesuaikan dengan jenis bahan).
Dalam hal teknik, pada umumnya, karya kolase dapat dibuat dengan teknik yang
bervariasi, seperti: teknik sobek, teknik gunting, teknik potong, teknik rakit, teknik rekat,
teknik jahit, teknik ikat, dan sebagainya. Dan dua atau lebih teknikpun dapat
dikombinasikan untuk membuat sebuah karya kolase.
Berbagai metode yang digunakan untuk membuat kolase antara lain:
a. Tumpang tindih atau saling tutup (overlapping)
b. Penataan ruang (spatial arrangement)
c. Repetisi/pengulangan (repetition)
d. Komposisi/kombinasi beragam jenis tekstur dari berbagai material.

4. Pembelajaran Kolase Bagi Anak


Pembelajaran kolase bagi anak khususnya di PAUD/TK atau SD, tentunya perlu
dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal:
a. Gunakan alat pemotong yang mudah digunakan, misalnya gunting. Namun,
sebaiknya guru mendampingi saat anak memotong.
b. Bahan yang disediakan sebaiknya mudah dipotong sehingga tidak menyulitkan anak.
misalnya daun kering, kertas, karton bekas dan lain-lain.
c. Bidang dasar kolase menggunakan kertas tebal, karton atau kertas duplex yang tidak
nterlalu besar sehingga anak tidak kesulitan untuk menempel bidang tersebut secara
keseluruhan.
d. Teknik boleh dipadukan antara gambar tangan dan tempelan atau kolase. Misalnya
anak menggambar kepala untuk figure mnusia,
e. mungkin tentang dirinya, ibunya atau temannya. Selanjutnya, bagian lain (baju,
celana, rok dan lain-lain) dibuat dengan teknik kolase.

G. Kerangka Teori

Hospitaslisasi pada anak Pengalaman penuh Ajak jangan menuntut


pra sekolah stres dan traumatik
Ubah menjadi permainan
Jangan mendominasi
Jadilah pelupa
Biarkan dia mengambil
Faktor yang alih
kooperatif:
mereka
Hal timbal balik
Orientasi individu Penatalaksanaan
Komunikasi

Terapi bermain
kolase kartun

H. Mekanisme
1. Identifikasi Pertanyaan
a. Analisa PICOT
P (Problem and Patient) : Pasien Dalam Prosedur Inhalasi
I (Intervention) : Terapi Bermain Kolase Kartun
C (Comparation) : Tidak ada pembanding.
O (Outcame) : Tingkat Kooperatif
T (Time) : Dilakukan selama 2x dalam sehari selama 3 hari
b. Pertanyaan Klinis
Apakah terdapat pengaruh tingkat kooperatif anak sebelum dan sesudah
pemberian terapi bermain kolase kartun pada anak yang sedang dalam terapi
inhalasi? Ekstraksi Data dan Critical Appraisal

Sampel
No (karakteristik,
Penelitian Desain/seleksi responden Intervensi Hasil temuan/kesimpu
ukuran,
setting)
Ningrum, Umi Sample dalam Jenis penelitian: Quasi eksperiment Intervensi yang Hasil Penelitian d
. Azizah studi Rancangan penelitian: pretest- dilakukan adalah disimpulkan bahwa
(2015) penelitian ini posttest control group terapi bermain pengaruh dari te
sebanyak 20 Teknik sampling: purposive kolase kartun bermain kolase ka
Pengaruh responden sampling. terhadap tin
terapi bermain kooperatif anak.
kolase kartun
terhadap
tingkat
kooperatif anak
usia prasekolah
selama
prosedur
inebulizer di
Rumah Sakit
Airlangga
Jombang.

F. Manajemen
Penulis akan menjelaskan prosedur tindakan kepada responden kemudian
melakukan intervensi terapi bermain kolase kartun
1. Kiteria pasien
a. Inklusi
 Pasien yang bersedia menjadi responden
 Pasien penderita penyakit yang memerlukan terapi inhalasi
b. Eksklusi
 Pasien dengan komplikasi penyakit lain seperti CKD, Penyakit Jantung, Fraktur.
 Pasien tidak sadar

2. Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan intervensi yaitu pada tanggal 17 – 19 Maret 2020.

3. Teknik/Cara
Cara untuk melakukan penerapan design inovatif adalah melakukan pra interaksi
kepada klien dan melakukan bhsp. Setelah terjalin hubungan yang adekuat kemudian
klien di ajak untuk bermain kolase kartun hingga terapi inhalasinya selesai dan gambaran
yang dibuatnya juga selesai. Apabila dari awal pasien kooperatif maka penerapan ini
berhasil, tapi jikz di tengah jalan terapi inhalasi klien merasa tidak nyaman dan
cenderung tidak kooperatif maka penerapan terapi ini tidak berhasil.

BAB III
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH

A. Rancangan Penelitian
Rancangan desain inovatif yang digunakan adalah pretest and post test with control
group. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan intervensi terapi bermain
kolase kartun diberikan.

B. Responden
Responden dalam penelitan ini yaitu pasien penderita penyakit yang membutuhkan
terapi inhalasi yang dirawat diruang Melati di RSUD AWS Samarinda.

C. Jenis Intervensi
Intervensi yang dilakukan yaitu terapi bermain kolase kartun untuk peningkatan
kooperatif anak yang sedang dalam prosedur inhalasi.

D. Tujuan
Tujuan dari intervensi yang dilakukan yaitu untuk mengetahui pengaruh sebelum dan
sesusah diberikan intervensi terapi bermain kolase kartun terhadap perubahan tingkat
kooperatif anak yang sedang dalam prosedur terapi inhalasi.

E. Waktu
Waktu pelaksanaan intervensi pada tanggal 17 – 19 Maret 2020.

F. Setting
20 sampel anak usia pra sekolah penderita suatu penyakit yang mendapat terapi
inhalasi

G. Media/Alat Yang Digunakan


Kuesioner tingkat kooperatif.

DAFTAR PUSTAKA

Aryani dkk. 2012. Prosedur klinik keperawatan pada mata ajar kebutuhan dasar manusia.
Jakarta: CV. Trans Info Medika.

Awanbiru, 2012. Pengertian kartun. htto://awanbiru-awan. com/2009/10 pengertian-


kartun.html. diakses tanggal 20 Maret 2020 jam 15.43 WITA

Budiono, MA. 2010. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Cahyaningrum, D.S. 2017. Pertumbuhan perkembangan anak dan remaja. Jakarta: CV. Trans
Info Media.

Coyne, I. 2016. Children experiences of hospitalization. Journal of child health care, 326-336.

Dharma, K. K. 2017. Metodologi penelitian keperawatan: Panduan melaksanakan dan


menerapkan hasil penelitian. Jakarta: CV. Trans Info Media.
Handayani & Puspitasari. (2018). Pengaruh Terapi Bermain terhadap tingkat kooperatif selama
menjalani perawatan pada anak usia prasekolah (3-5tahun) di Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta.

Herliana, L. (2011). Pengaruh Terapi Bermain terhadap Tingkat Kooperatif Selama Mengalami
Perawatan pada Anak Usia Prasekolah di IRNA II (Bangsal Perawatan Anak) RSU
DR. Sardjito Yogyakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.

Rahma, Puspasari.(2018). Pengaruh Terapi Bermain terhadap Tingkat Kooperatif Selama


Menjalani Perawatan pada Anak Usia Pra Sekolah (3-6Tahun) di Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta.{JurnalKesehatan Surya Medika Yogyakarta}.Stikes Surya Global
Yogyakarta:Yogyakarta.

Subardiah, P. I. 2019. Pengaruh permainan terapeutik terhadap kecemasan, kehilangan


kontrol, dan ketakutan anak pra sekolah selama dirawat di RSUD Lampung. (Tidak
dipublikasikan). Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Subandi, A. 2012. Pengaruh Pemasangan Spalk Bermotif Terhadap Tingkat Kooperatif Anak
Usia Pra Sekolah Selama Prosedur Injeksi IV di RS Wilayah Kabupaten Cilacap.
(Tidak dipublikasikan). Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Wong, D. I., Hockenberry, M., Eaton, Wilson, D., Winkelstein, M. L. & Schwartz, P. 2009.
Buku ajar: Keperawatan pediatrik. Edisi 6. (Alih bahasa: Hartono, A., Kurnianingsih,
S., & Setiawan). Jakarta: EGC

Lampiran

LEMBAR PENILAIAN OBSERVASI EXPERT


PERILAKU KOOPERATIF

Berilah tanda checklist () pada kolom nilai.


Keterangan nilai:
1: tidak relevan
2: sedikit relevan
3: cukup relevan
4: sangat relevan
Apabila nilai pernyataan belum mencapai 4, maka isilah kolom saran.

Nilai
No. Pernyataan Saran
1 2 3 4
A. Perilaku anak pada saat
perawat mengajak
berbicara.
1. Anak menyuruh perawat
pergi
2. Anak menujukkan respon
marah terhadap perawat
(memukul perawat,
menendang-nendangkan
kaki)
3. Anak diam saja
4. Anak menghindari kontak
mata dengan perawat
5. Anak berespon dengan
menganggukkan kepala atau
mengeluarkan kata ya atau
tidak

6. Anak bersikap ramah dan


berespon baik terhadap
perawat (bercanda dengan
perawat, tersenyum, mau
tanya jawab dengan
perawat)
7. Anak tertarik terhadap
pembicaraan perawat
(bersemangat, sangat
menanggapi gagasan
perawat)
B. Perilaku anak pada saat
perawat datang dengan
membawa alat-alat
perawatan
8. Anak menjerit
9. Anak menangis
10. Anak membentak perawat
atau menunjukkan respon
marah terhadap perawat
(memukul perawat atau
menendang-nendangkan
kakinya)
11. Anak berteriak minta
pulang
12. Anak menyendiri atau tidak
mau didekati oleh siapapun
kecuali orang tua atau wali
13. Anak bersikap masih seperti
biasanya tetapi tetap pada

aktifitasnya
14. Anak menerima perawat
dengan ramah (tersenyum
saat perawat mengajak
datang atau menanyakan
prosedur apa yang akan
dilakukannya)
C. Perilaku anak pada saat
perawat melakukan
Tindakan invasif
(pemasangan infus,
Pengambilan sampel
darah, injeksi,
pemasangan NGT)

15. Anak memanggil-manggil


orang tuanya
16. Anak menjerit
17. Anak menendang-
nendangkan kakinya
18. Anak menangis kuat
(menangis sambil menjerit)
19. Anak melawan perawat
yang melakukan tindakan
(memukul, mencakar,
mencubit perawat)
20. Anak menepiskan tangan
perawat yang
menanganinya
21. Anak menyembunyikan
anggota tubuh yang akan

dilakukan pemeriksaan
22. Anak memberikan anggota
tubuh yang akan dilakukan
pemeriksaan dengan
paksaan orang tua atau wali
23. Anak menanyakan dulu
kepada perawat tentang
tindakan yang akan
dilakukan sakit atau tidak,
kemudian mempersilahkan
perawat melakukan
pemeriksaan terhadapnya
24. Anak tanpa bertanya,
memberikan anggota
tubuhnya untuk dilakukan
pemeriksaan tanpa paksaan
dari orang tua atau wali
D. Perilaku anak pada saat
perawat memerintahkan
sesuatu saat prosedur
tindakan invasif
25. Anak menangis
26. Anak menunjukkan respon
marah terhadap perawat
(memukul, mencakar,
mencubit, atau menarik-
narik baju perawat)
27. Anak tidak mau melakukan
perintah perawat
28. Anak melakukan perintah
dengan paksaan
29. Anak melakukan perintah
tanpa paksaan

LEMBAR PENILAIAN OBSERVASI EXPERT


TERAPI BERMAIN

Berilah tanda checklist () pada


kolom nilai. Keterangan nilai:
1: tidak relevan
2: sedikit relevan
3: cukup relevan
4: sangat relevan
Apabila nilai pernyataan belum mencapai 4, maka isilah kolom saran.

Nilai
No. Pernyataan Saran
1 2 3 4
A. Perilaku Anak Saat
Tahap Prainteraksi
1. Anak tidak mengantuk
2. Anak tidak rewel
3. Anak dalam kondisi yang
membaik dari
sebelumnya
4. Anak mencuci tangan
sebelum bermain
B. Perilaku Anak Saat
Tahap Orientasi
5. Anak mau menjawab
salam
6. Anak diam saja
7. Anak menjawab ya atau
tidak saat leader
memberikan kontrak

waktu permainan
8. Anak mengerti tentang
prosedur permainan
sesuai dengan penjelasan
leader
9. Anak mengerti tujuan
permainan
10. Anak mampu
memperkenalkan diri
11. Anak malu untuk
memperkenakan diri
12. Anak tidak
memperhatikan saat
leader menjelaskan
permainan
13. Anak menjawab ya atau
tidak saat leader
menanyakan kembali
tentang apa yang sudah
dijelaskan
C. Perilaku Anak Saat
Pelaksanaan Bermain
14. Anak memperhatikan Co-
leader saat
memberikan contoh
permainan
15. Anak tidak
mempehatikan Co-leader
saat memberikan contoh
permainan

16. Anak mempraktikkan


sesuai dengan contoh
yang telah diberikan
17. Anak tidak mau
melakukan permainan
18. Anak mampu mewarnai
gambar setidaknya
setengah dari gambar
yang harus diwarnai
19. Anak senang saat
bermain
20. Anak senang saat
diberikan reward
21. Anak mampu
menyelesaikan tugas
dalam permainan
22. Anak mampu
berkomunikasi yang baik
dengan teman
sepermainan
23. Anak tidak mau bertanya
saat mengalami kesulitan
dalam bermain
24. Anak mampu
berkomunikasi dengan
perawat
25. Anak dapat mematuhi
peraturan permainan
26. Anak melempar
permainanya

27. Anak menceritakan apa


yang dilakukannya
D. Perilaku Anak Saat
Tahap Terminasi
28. Anak mampu menjawab
pertayaan
29. Anak malu menjawab
saat ditanya
30. Anak mampu
berkomunikasi yang baik
dengan perawat atau
teman bermainnya
31. Anak diam saja saat
ledear bertanya pada saat
menutup acara
32. Anak mencuci tangan
setelah bermain
33. Anak mau mengucapkan
salam

Anda mungkin juga menyukai