Proposal
Proposal
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki permasalahan yang kompleks
terutama dalam masalah gizi. Gizi di Indonesia atau negara berkembang lainnya memiliki
kasus gizi yang berbeda dengan negara maju, yaitu Indonesia memiliki masalah gizi
ganda yang artinya status gizi yang menunjukkan keadaan disatu sisi daerah terdapat gizi
kurang dan di sisi lain terdapat gizi lebih (UNICEF, 2017). Pertumbuhan anak yang tidak
optimal dapat memberikan efek jangka pendek dan panjang dalam setiap siklus
kehidupan anak jika terjadi selama periode kritis kehidupan. Permasalahan ini biasanya
mulai terjadi sejak masa kehamilan sehingga anak yang dilahirkan akan tumbuh menjadi
anak dengan proporsi tubuh yang lebih pendek dari usia nya, hal ini disebut juga dengan
stunting (WHO, 2014).
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang sering terjadi pada anak akibat
kurangnya asupan nutrisi atau pola makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Masalah ini sering terjadi selama 1000 hari pertama kehidupan anak (MCA-I, 2014).
Stunting perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat meningkatkan mortalitas dan
morbiditas serta menghambat perkembangan fisik dan mental anak (Kusuma, 2013).
Secara global, pada tahun 2016 sekitar 22,9% (155 juta) jumlah anak yang berumur
dibawah lima tahun mengalami stunting. Pada tahun 2016, sekitar 56% (86,5 juta) balita
stunting di Asia dan 38% (59 juta) di Afrika. Prevalensi balita stunting di benua Asia
pada tahun 2016 terbanyak terdapat di Asia Selatan sekitar 34,1% (61,2 juta) dan di Asia
Tenggara 25,8% (15,1 juta) (WHO, 2017).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 di Indonesia mencatat bahwa
prevalensi stunting sebesar 37,2%, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) (Balitbangkes,
2013). Indonesia menempati peringkat lima di dunia untuk stunting. Prevalensi stunting
di Indonesia pada anak dibawah usia 5 tahun yang berjenis kelamin laki-laki sering
terjadi pada usia 24-35 bulan sebesari 40% dan pada usia 12-23 bulan sebesar 41,2%
(Riskesdas, 2014)
Prevalensi stunting di Sumatera Barat pada tahun 2017 sebesar 30,6% meningkat
dari tahun 2016 sebesar 25,6%. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Padang prevalesi
stunting pada tahun 2015 sebesar 14,9% sedangkan pada tahun 2018 prevalensi stunting
di Kota Padang sebesar 22,6% (Kemenkes, 2018). Prevalensi stunting terbesar terdapat di
Puskesmas Air Dingin sebesar 28,2% meningkat dibandingkan tahun 2014 sebesar
22,78%.
Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tetapi disebabkan oleh banyak
faktor, dan faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Faktor
penyebab stunting bisa berupa faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yang
berhubungan yaitu asupan makanan dan status kesehatan. Sedangkan pola pengasuhan,
pelayanan kesehatan dan lingkungan rumah tangga sebagai faktor tidak langsung
(Hossain M, et al 2017).
Secara tidak langsung faktor penyebab yang mempengaruhi kejadian stunting pada
anak adalah pola asuh ibu terhadap anak. Perilaku ibu dalam mengasuh anak memiliki
kaitan yang erat dengan kejadian stunting. Ibu dengan pola asuh yang baik akan
cenderung memiliki anak dengan status gizi yang baik pula, begitu juga sebaliknya, ibu
dengan pola asuh gizi yang kurang cenderung memiliki anak dengan status gizi yang
kurang pula (Virdani, 2012)
Pola asuh ibu merupakan perilaku ibu dalam mengasuh anak mereka. Perilaku itu
sendiri berdasarkan Notoatmodjo (2005) dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap.
Pengetahuan yang baik akan menciptakan sikap yang baik, yang selanjutnya apabila sikap
tersebut dinilai sesuai, maka akan muncul perilaku yang baik pula. Pengetahuan sendiri
didapatkan dari informasi baik yang diperoleh dari pendidikan formal maupun dari media
(Anindita, 2012).
Untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap maka perlu diberikan pendidikan
kesehatan. Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan yaitu proses
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan menjaga
kesehatannya dan tidak hanya melibatkan diri untuk memperbaiki pengetahuan, sikap
saja, tetapi juga memperbaiki lingkungan (baik fisik maupun non fisik) dalam rangka
memelihara dan menjaga kesehatan mereka (Notoatmodjo, 2007). Tingkat
pendidikan memengaruhi seseorang dalam menerima informasi. Orang dengan tingkat
pendidikan yang lebih baik akan lebih mudah dalam menerima informasi daripada orang
dengan tingkat pendidikan yang kurang. Informasi tersebut dijadikan sebagai bekal ibu
untuk mengasuh anaknya dalam kehidupan sehari- hari (Ni’mah, 2015).
Berdasarkan penelitian Jusmiati (2013) didapatkan hasil bahwa setelah diberikan
pendidikan kesehatan tingkat pengetahuan dan sikap ibu dalam merawat bayi baru lahir
menjadi lebih tinggi dibanding sebelum diberikan pendidikan kesehatan. Hal ini sejalan
dengan penelitian Herman (2017) tentang The effect of health education to parent’s
behaviours on managing fever in children, mengatakan bahwa skor pengetahuan dan
sikap setelah diberikan pendidikan kesehatan lebih tinggi dari pada sebelum diberikan
pendidikan kesehatan. Nilai pengetahuan, skornya sebesar 8,35 > 2,78, dan sikap skornya
sebesar 41,60 > 2,13. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan lebih
efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap seseorang. yaitu dengan memberikan
ceramah dan menampilkan sebuah slide serta pembagian leaflet (Sarwani, 2014).
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan dengan wawancara kepada 6
orang ibu yang ada di Puskesmas Air Dingin, 5 dari 6 orang ibu mengatakan tidak tau apa
itu stunting. Satu dari 6 orang ibu mengatakan mengetahui apa itu stunting tetapi tidak tau
bagaimana cara pencegahan stunting. Dua dari 6 orang ibu mengatakan bahwa stunting
itu tidak mematikan, tidak ada hubungan antara asupan gizi anak dengan kejadian
stunting. Dua dari 6 orang ibu mengatakan stunting itu penyakit yang berbahaya tetapi
ibu mengatakan tidak ada pengaruh asupan gizi terhadap stunting.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap
ibu tentang pencegahan stunting di wilayah kerja puskesmas pasundan ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap
ibu tentang pencegahan stunting.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ibu
1. Peran dan Kedudukan Ibu
Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Setiap anggota keluarga mempunyai peran
dan kedudukannya masing-masing, termasuk Ibu. Ibu mempunyai peranan penting
dalam mendukung suasana keluarga yang berkualitas (Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, 2009).
Peran dan kedudukan ibu dalam menjaga kualitas keluarga mencakup aspek
pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, kemandirian keluarga, dan mental
spiritual serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai keluarga
sejahtera. Pada aspek kesehatan, ibu berperan dan berkedudukan sebagai pengawas,
pendidik, dan pemberi pelayanan serta pemberi contoh
hidup sehat dalam bentuk promotif dan preventif maupun persuasif. Ibu juga
berperan penting dalam pelaksanaan kesehatan berbasis keluarga yang diantaranya
adalah pemberian pola asuh anak yang baik, pola makan dan nutrisi secara tepat dan
seimbang, dan pemantauan perkembangan dan pertumbuhan anak serta pencegahan
dari berbagai gangguan atau masalah kesehatan di keluarga (Prickett, K., Augustine,
J., 2016).
B. Pendidikan kesehatan
1. Pengertian
Pendidikan kesehatan adalah adalah proses untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Notoadmodjo,
2012). Pendidikan kesehatan merupakan kumpulan pengalaman yang memberikan
pengaruh baik kepada kebiasaan, sikap dan pengetahuan yang berhubungan dengan
kesehatan individu, masyarakat ataupun negara (Machfoedz, Suryani, 2009).
Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan WHO, tujuan
pendidikan kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; baik secara fisik, mental dan
sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial, pendidikan kesehatan
disemua program kesehatan; baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi
lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun program kesehatan
lainnya.
Pendidikan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan kesempatan
yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan individu,
keluarga, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat, sadar,
tahu dan mengerti serta melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan
kesehatan secara perseorangan (individu) maupun kelompok. Pendidikan kesehatan
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sosial ekonomi, adat istiadat, kepercayaan
masyarakat dan ketersediaan waktu seseorang atau kelompok (Notoatmodjo, 2012).
2. Metode
Metode pendidikan kesehatan merupakan suatu cara teratur yang digunakan
untuk melaksakan proses perubahan dari seseorang yang dihubungan dengan
pencapaian tujuan kesehatan individu dan masyarakat (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2019). Metode yang dapat dipergunakan dalam memberikan pendidikan
kesehatan adalah metode ceramah, diskusi kelompok, curah pendapat, panel, bermain
peran, demonstrasi, simposium, seminar pada suatu komunitas atau kelompok serta
bimbingan dan konseling pada suatu individu (Notoatmodjo, 2012).
a. Metode Ceramah
suatu ide, pengertian atau pesan secara lisan kepada sekelompok sasaran
d. Metode Panel
tentang sebuah topik dengan 3 orang atau lebih panelis dan seorang pemimpin.
tanpa diadakan latihan, dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk dipakai
f. Metode Demonstrasi
Metode dengan cara untuk menunjukkan pengertian, ide dan prosedur tentang
suatu hal yang telah dipersiapkan dengan teliti untuk memperlihatkan cara
g. Metode Simposium
Serangkaian ceramah yang diberikan oleh 2 sampai 5 orang dengan topik yang
h. Metode Seminar
Metode seminar adalah suatu cara dengan sekelompok orang berkumpul untuk
bidangnya.
3. Media
Media pendidikan adalah suatu alat bantu menyampaikan pesan-pesan
kesehatan yang berfungsi untuk menimbulkan minat sasaran pendidikan, mencapat
sasaran yang lebih banyak, membantu dalam mengatasi banyak hambatan dalam
pemahaman, menstimulasi sasaran pendidikan, mempermudah menyampaikan bahan
atau informasi keehatan, mendorong motivasi dan membantu menegakkan pengertian
yang diperoleh. Media pendidikan kesehatan berbentuk media pendidikan berdasarkan
stimulasi indra seperti penglihatan (visual), pendengaran (audio) maupun penglihatan
dan pendengaran (audiovisual) dengan alat bantu media cetak maupun elektronik
(Notoatmodjo, 2012).
Pendidikan kesehatan dengan menggunakan media audiovisual mulai sering
digunakan karena dinilai efektif untuk penyampaian pesan ke masyarakat
dibandingkan dengan pendidikan kesehatan tanpa media atau konvensional.
Keefektivan media audiovisual terbukti adanya peningkatan yang signifikan pada
pengetahuan responden sebelum dan setelah mendapatkan pendidikan kesehatan
dengan media audiovisual (Suputra, 2011). Rerata skor pengetahuan iu terhadap anak
stunting mempunyai rerata skor pengetahuan ibu pada pretest adalah 6,44±1,65
sedangkan skor pada saat posttest naik menjadi 7,38±1,76 dan menunjukkan adanya
perbedaan signifikan antara pengetahuan ibu mengenai stunting pada saat sebelum
dan seetelah dilakukan intervensi (p= 0,009) dengan menggunakan media audiovisual
(Wahyurin, Aqmarina, Rahmah, Hasanah, Silaen, 2017).
C. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan adalah proses seseorang mengolah dan memahami informasi yang
diperoleh dari beberapa sumber serta menggunakan hasilnya untuk memecahkan suatu
masalah (Cambridge International Examinations, 2015). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui atau kepandaian
atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran) (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2019).
Pengetahuan adalah hasil dari pemikiran mendalam dalam menjawab
pertanyaan yang ada disekitar manusia. Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari fakta
dan teori yang memungkinkan seseorang dalam memecahkan suatu masalah.
Pengetahuan akan berkembang secara ilmiah dan secara normatif menjadi ilmu-ilmu
dasar di masyarakat. Apabila pengetahuan hanya berkembang secara normatif tanpa
fakta empiris yang berarti maka pengetahuan itu hanyalah menjadi keyakinan belaka
(Notoadmodjo, 2012).
Pengetahuan adalah justifikasi akan keyakinan yang terbukti benar dan dibatasi
oleh kondisi sebenarnya dan sifat kebenaran. Pengetahuan menggabungkan tiga
kondisi dasar yaitu kondisi kebenaran (truth condition), kondisi keyakinan (belief
condition) dan kondisi pembenaran (justification condition). Jenis pengetahuan
terbagi sesuai dengan sifat pengetahuan yang diadopsi diantaranya adalah
pengetahuan pengalaman atau eksperimensial, keterampilan (skill) dan klaim
pengetahuan (Bolisani, 2018).
Proses adaptasi pengetahuan dimulai berurutan dari kesadaran (awareness),
tertarik (interest), evaluasi (evaluation), mencoba (trial) dan adaptasi (adaptation).
Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, informasi atau media massa,
pengalaman, lingkungan dan umur, serta sosial, budaya dan ekonomi (Budiman,
Riyanto, 2013).
2. Tahapan
Menurut Bloom (1956) dalam Notoadmodjo (2012), pengetahuan dibagi
menjadi 6 tahapan yang merupakan adoptasi dari Taksonomi Bloom.
1. Tahu (Know)
Pada tahapan ini seseorang dapat menunjukkan atau memberikan informasi
berdasarkan memori yang dimiliki sebelumnya. Tahapan ini juga berisikan
kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta,
gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehensive)
Pada tahapan ini seseorang mampu mendemonstrasikan pemahaman akan fakta
dan pemikiran. Pada tahapan ini juga seseorang dapat menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar.
3. Aplikasi
Pada tahapan ini seseorang mampu memecahkan suatu masalah dalam situasi
yang baru dengan cara menerapkan pengetahuan, fakta, teknik atau aturan yang
berbeda atau baru.
4. Analisis
Pada tahapan ini seseorang mampu menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis
Sintesis merujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (Evaluating)
Tahapan ini merupakan tahapan tertinggi dalam Taksonomi Bloom. Seseorang
mampu memberikan dan mempertahankan argument atau pernyataan dengan
membuat keputusan terhadap informasi, validitas pemikiran ataupun kualitas kerja
berdasarkan kriteria.
3. Pengukuran
Pengukuran pengetahuan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang terdiri dari
pertanyaan yang diberi nilai nol jika responden menjawab salah dan nilai satu jika
menjawab pertanyaan dengan benar. Hasil dari pengukuran pengetahuan ini akan
dibagi menjadi tiga kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Kategori baik bila mampu
menjawab dengan benar >75% pertanyaan, cukup bila pertanyaan dijawab benar
sebanyak 61-75%, kurang bila menjawab pertanyaan ≤ 60 % (Arikunto, 2016).
D. Stunting
1. Pengertian
Balita pendek (stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau
TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran
tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/
stunted) dan <-3 SD (sangat pendek /severely stunted) (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2011). Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin
masih dalam kandungan dan baru terlihat pada saat anak berumur dua tahun
(Millenium Challenge Account Indonesia, 2015).
Masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan
baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh tumbuh kejar yang tidak
optimal. Hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan
berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya
2. Penyebab
Stunting merupakan permasalahan gizi kronis yang dikarenakan oleh faktor yang
a. Penyebab Dasar
Penyebab dasar (basic cause) adalah kuantitas dan kualitas sumber daya potensial
organisasi, dan teknologi. Penyebab ini ditemukan pada populasi yang cukup
besar seperti negara, wilayah ataupun daerah. Penyebab ini juga menjadi tolok
kekurangan gizi pada level keluarga adalah tidak cukup akses terhadap pangan dan
pola konsumsi makanan, pola asuh anak yang tidak memadai dan akses pelayanan
kesehatan serta sanitasi air bersih yang tidak memadai. Hal ini dikarenakan
pengaruh dari penyebab dasar di level masyarakat yang berdampak ke level yang
lebih rendah (level keluarga). Faktor di level keluarga yang berperan adalah
mendasari ini disebabkan oleh pokok masalah yang terjadi di masyarakat dan
masalah yang terjadi pada level masyarakat berupa kemiskinan, ketahanan pangan
dan gizi, pendidikan, kesehatan dan kependudukan. Pokok masalah masyarakat ini
akan berlanjut menjadi pokok masalah di level keluarga berupa rendahnya daya
beli, akses pangan, satus kerja ayah dan ibu dan jumlah anggota keluarga (aspek
pendidikan).
c. Penyebab langsung
mendasari dan penyebab dasar yang berperan langsung terhadap kejadian stunting.
Penyebabnya adalah asupan makanan yang tidak adekuat dan status infeksi dan
kesehatan pada anak. Asupan yang tidak adekuat dapat berupa pemberian zat gizi
yang tidak seimbang dan tidak sesuai. Kurangnya zat gizi terutama zat gizi energi
dan protein menjadi faktor langsung karena pertumbuhan pada anak akan
menyebabkan zat gizi digunakan untuk proses perbaikan jaringan atau sel yang
mengalami kerusakan. Infeksi yang sering terjadi terutama pada infeksi saluran
cerna (diare akibat virus, bakteri maupun parasit), infeksi saluran napas (ISPA,
Sedangkan status kesehatan anak dapat berupa kelainan kongenital pada saluran
3. Pengukuran
Pengukuran pada kondisi stunting menggunakan pengukuran status gizi secara
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari keadaan
gizi dalam bentuk variabel tertentu. Penilaian antropometri adalah penilaian yang
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum dapat
digunakan untuk melihat ketidakseimbangan zat gizi seperti asupan protein dan energi
(Supariasa, 2014).
a. Parameter Pengukuran
Menurut Supariasa (2014), parameter merupakan dasar dari penilaian
yang dapat digunakan sebagai indikator status gizi pada pengukuran antropometri.
1. Umur
status gizi akan menjadi salah akibat keselahan penentuan umur. Hasil
pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti
bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Pada penerapannya,
2. Berat badan
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa
pada bayi baru lahir (masa neonatus). Pada masa bayi dan balita, berat badan
dapat digunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi.
Berat badan merupakan pilihan utama karena parameter yang paling baik,
mudah dipakai, mudah dimengerti, dan memberikan gambaran status gizi saat
ini. Alat yang dapat memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih serta
dacin.Berat Badan
dan kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang
pendek. Panjang badan atau tinggi badan dapat mengetahui keadaan lalu dan
keadaan sekarang jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu
menghubungkan berat badan terhadap panjang atau tinggi badan, faktor umur
dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan untuk balita yang sudah dapat
Indeks massa tubuh merupakan parameter yang dapat memantau status gizi
Parameter ini merupakan hasil dari berat badan (dalam kilogram) dibagi
kuadrat tinggi badan (dalam meter). Penggunaan parameter IMT hanya berlaku
pada orang dewasa berumur 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi,
anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan, pada keadaan khusus (penyakit)
5. Indeks Pengukuran
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z
(z- score). Normal, pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang
didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan
menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan
2011).
Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per
1) Anak yang masih terlalu muda usianya (kurang dari tiga tahun) dan emosinya
belum matang.
2) Anak yang mempunyai kelemahan tertentu atau kondisi cacat.
3) Keparahan kondisi anak tidak memungkinkan bersikap kooperatif seperti
anak normal dengan usia yang sama.
2. Tingkah laku atau sikap melawan (defiant behavior), meliputi: anak tetap
menolak perawatan, bersikap protes, anak keras kepala dan manja, gagal
berkomunikasi.
3. Tingkah laku atau sikap pemalu (timid behavior). Sikap pemalu merupakan
gabungan antara uncontrolled behaviour dan defisiant behavior tetapi
ketika menggabungkannya tidak benar maka akan kembali kepada sikap
yang tidak benar maka akan kembali kepada sikap yang tidak terkontrol.
Sikap timid behavior terdiri dari:
a) Anak menangis dan merengek, tapi tidak sampai histeris.
2. Jenis Kolase
Karya kolase dapat dibedakan menjadi beberapa segi, yaitu segi fungsi, matra,
corak dan material
1) Menurut Fungsi
Dari segi fungsi, kolase dikelompokkan menjadi dua, yaitu seni murni (fine
art) dan seni pakai (applied art). Seni murni adalah suatu karya seni yang dibuat
semata mata untuk memenuhi kebutuhan artistic. Orang menciptakan karya seni
murni, umumnya, untuk mengekspresikan cita rasa estetis. Dan, kebebasan
berekspresi dalam seni murni sangat diutamakan. Sedangkan, seni terapan atau seni
pakai (applied art) adalah karya seni rupa yang dibuat buntuk memenuhi kebutuhan
praktis. Aplikasi seni terapan umumnya lebih menampilkan komposisi dengan
kualitas artistic yng bersifat dekoratif
2) Menurut Matra
Berdasarkan matra, jenis kolase dapat dibagi dua, yaitu kolase pada
permukaan bidang dua dimensi (dwimatra) dan kolase pada permukaan bidang tiga
dimensi (trimatra).
3) Menurut Corak
Menurut coraknya, wujud kolase dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
representative dan nonrepresentatif. Representative artinya menggambarkan wujud
nyata yang bentuknya masih dikenali. Sedangkan nonrepresentatif artinya dibuat
tanpa menampilkan bentuk yang nyata, bersifaat abstrak, dan hanya menampilkan
komposisi unsure visual yang indah.
4) Menurut Material
Material (bahan) apapun dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kolase asalkan
ditata menjadi komposisi yang menarik atau unik. Berbagai material kolase tersebut
akan direkatkan pada beragam jenis permukaan, seperti kayu, plastic, kertas, kaca,
keramik, gerabah, karton, dan sebagainya asalkan relative rata atau memungkinkan
untuk ditempeli.
Secara umum bahan baku kolase dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
bahan-bahan alam (daun, ranting, bunga kering, kerang, biji-bijian, kulit, batu-batuan
dan lain-lain), dan bahan-bahan bekas sintesis (plastic, seraat sintesis, logam, kertas
bekas, tutup botol, bungkus permen/cokelat, kain perca dan lain-lain).
3. Peralatan dan Teknik
Secara umum peralatan utama yang dibutuhkan adalah:
a. Alat potong: pisu, gunting, cutter, gergaji, tang dan sebagainya.
b. Bahan perekat: lem kertas, perekat vinyl, lem putih/PVC, lem plastic, jarum dan
benang jahit, serta jenis perekat lainnya (disesuaikan dengan jenis bahan).
Dalam hal teknik, pada umumnya, karya kolase dapat dibuat dengan teknik yang
bervariasi, seperti: teknik sobek, teknik gunting, teknik potong, teknik rakit, teknik rekat,
teknik jahit, teknik ikat, dan sebagainya. Dan dua atau lebih teknikpun dapat
dikombinasikan untuk membuat sebuah karya kolase.
Berbagai metode yang digunakan untuk membuat kolase antara lain:
a. Tumpang tindih atau saling tutup (overlapping)
b. Penataan ruang (spatial arrangement)
c. Repetisi/pengulangan (repetition)
d. Komposisi/kombinasi beragam jenis tekstur dari berbagai material.
G. Kerangka Teori
Terapi bermain
kolase kartun
H. Mekanisme
1. Identifikasi Pertanyaan
a. Analisa PICOT
P (Problem and Patient) : Pasien Dalam Prosedur Inhalasi
I (Intervention) : Terapi Bermain Kolase Kartun
C (Comparation) : Tidak ada pembanding.
O (Outcame) : Tingkat Kooperatif
T (Time) : Dilakukan selama 2x dalam sehari selama 3 hari
b. Pertanyaan Klinis
Apakah terdapat pengaruh tingkat kooperatif anak sebelum dan sesudah
pemberian terapi bermain kolase kartun pada anak yang sedang dalam terapi
inhalasi? Ekstraksi Data dan Critical Appraisal
Sampel
No (karakteristik,
Penelitian Desain/seleksi responden Intervensi Hasil temuan/kesimpu
ukuran,
setting)
Ningrum, Umi Sample dalam Jenis penelitian: Quasi eksperiment Intervensi yang Hasil Penelitian d
. Azizah studi Rancangan penelitian: pretest- dilakukan adalah disimpulkan bahwa
(2015) penelitian ini posttest control group terapi bermain pengaruh dari te
sebanyak 20 Teknik sampling: purposive kolase kartun bermain kolase ka
Pengaruh responden sampling. terhadap tin
terapi bermain kooperatif anak.
kolase kartun
terhadap
tingkat
kooperatif anak
usia prasekolah
selama
prosedur
inebulizer di
Rumah Sakit
Airlangga
Jombang.
F. Manajemen
Penulis akan menjelaskan prosedur tindakan kepada responden kemudian
melakukan intervensi terapi bermain kolase kartun
1. Kiteria pasien
a. Inklusi
Pasien yang bersedia menjadi responden
Pasien penderita penyakit yang memerlukan terapi inhalasi
b. Eksklusi
Pasien dengan komplikasi penyakit lain seperti CKD, Penyakit Jantung, Fraktur.
Pasien tidak sadar
2. Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan intervensi yaitu pada tanggal 17 – 19 Maret 2020.
3. Teknik/Cara
Cara untuk melakukan penerapan design inovatif adalah melakukan pra interaksi
kepada klien dan melakukan bhsp. Setelah terjalin hubungan yang adekuat kemudian
klien di ajak untuk bermain kolase kartun hingga terapi inhalasinya selesai dan gambaran
yang dibuatnya juga selesai. Apabila dari awal pasien kooperatif maka penerapan ini
berhasil, tapi jikz di tengah jalan terapi inhalasi klien merasa tidak nyaman dan
cenderung tidak kooperatif maka penerapan terapi ini tidak berhasil.
BAB III
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
A. Rancangan Penelitian
Rancangan desain inovatif yang digunakan adalah pretest and post test with control
group. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan intervensi terapi bermain
kolase kartun diberikan.
B. Responden
Responden dalam penelitan ini yaitu pasien penderita penyakit yang membutuhkan
terapi inhalasi yang dirawat diruang Melati di RSUD AWS Samarinda.
C. Jenis Intervensi
Intervensi yang dilakukan yaitu terapi bermain kolase kartun untuk peningkatan
kooperatif anak yang sedang dalam prosedur inhalasi.
D. Tujuan
Tujuan dari intervensi yang dilakukan yaitu untuk mengetahui pengaruh sebelum dan
sesusah diberikan intervensi terapi bermain kolase kartun terhadap perubahan tingkat
kooperatif anak yang sedang dalam prosedur terapi inhalasi.
E. Waktu
Waktu pelaksanaan intervensi pada tanggal 17 – 19 Maret 2020.
F. Setting
20 sampel anak usia pra sekolah penderita suatu penyakit yang mendapat terapi
inhalasi
DAFTAR PUSTAKA
Aryani dkk. 2012. Prosedur klinik keperawatan pada mata ajar kebutuhan dasar manusia.
Jakarta: CV. Trans Info Medika.
Cahyaningrum, D.S. 2017. Pertumbuhan perkembangan anak dan remaja. Jakarta: CV. Trans
Info Media.
Coyne, I. 2016. Children experiences of hospitalization. Journal of child health care, 326-336.
Herliana, L. (2011). Pengaruh Terapi Bermain terhadap Tingkat Kooperatif Selama Mengalami
Perawatan pada Anak Usia Prasekolah di IRNA II (Bangsal Perawatan Anak) RSU
DR. Sardjito Yogyakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.
Subandi, A. 2012. Pengaruh Pemasangan Spalk Bermotif Terhadap Tingkat Kooperatif Anak
Usia Pra Sekolah Selama Prosedur Injeksi IV di RS Wilayah Kabupaten Cilacap.
(Tidak dipublikasikan). Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Wong, D. I., Hockenberry, M., Eaton, Wilson, D., Winkelstein, M. L. & Schwartz, P. 2009.
Buku ajar: Keperawatan pediatrik. Edisi 6. (Alih bahasa: Hartono, A., Kurnianingsih,
S., & Setiawan). Jakarta: EGC
Lampiran
Nilai
No. Pernyataan Saran
1 2 3 4
A. Perilaku anak pada saat
perawat mengajak
berbicara.
1. Anak menyuruh perawat
pergi
2. Anak menujukkan respon
marah terhadap perawat
(memukul perawat,
menendang-nendangkan
kaki)
3. Anak diam saja
4. Anak menghindari kontak
mata dengan perawat
5. Anak berespon dengan
menganggukkan kepala atau
mengeluarkan kata ya atau
tidak
aktifitasnya
14. Anak menerima perawat
dengan ramah (tersenyum
saat perawat mengajak
datang atau menanyakan
prosedur apa yang akan
dilakukannya)
C. Perilaku anak pada saat
perawat melakukan
Tindakan invasif
(pemasangan infus,
Pengambilan sampel
darah, injeksi,
pemasangan NGT)
dilakukan pemeriksaan
22. Anak memberikan anggota
tubuh yang akan dilakukan
pemeriksaan dengan
paksaan orang tua atau wali
23. Anak menanyakan dulu
kepada perawat tentang
tindakan yang akan
dilakukan sakit atau tidak,
kemudian mempersilahkan
perawat melakukan
pemeriksaan terhadapnya
24. Anak tanpa bertanya,
memberikan anggota
tubuhnya untuk dilakukan
pemeriksaan tanpa paksaan
dari orang tua atau wali
D. Perilaku anak pada saat
perawat memerintahkan
sesuatu saat prosedur
tindakan invasif
25. Anak menangis
26. Anak menunjukkan respon
marah terhadap perawat
(memukul, mencakar,
mencubit, atau menarik-
narik baju perawat)
27. Anak tidak mau melakukan
perintah perawat
28. Anak melakukan perintah
dengan paksaan
29. Anak melakukan perintah
tanpa paksaan
Nilai
No. Pernyataan Saran
1 2 3 4
A. Perilaku Anak Saat
Tahap Prainteraksi
1. Anak tidak mengantuk
2. Anak tidak rewel
3. Anak dalam kondisi yang
membaik dari
sebelumnya
4. Anak mencuci tangan
sebelum bermain
B. Perilaku Anak Saat
Tahap Orientasi
5. Anak mau menjawab
salam
6. Anak diam saja
7. Anak menjawab ya atau
tidak saat leader
memberikan kontrak
waktu permainan
8. Anak mengerti tentang
prosedur permainan
sesuai dengan penjelasan
leader
9. Anak mengerti tujuan
permainan
10. Anak mampu
memperkenalkan diri
11. Anak malu untuk
memperkenakan diri
12. Anak tidak
memperhatikan saat
leader menjelaskan
permainan
13. Anak menjawab ya atau
tidak saat leader
menanyakan kembali
tentang apa yang sudah
dijelaskan
C. Perilaku Anak Saat
Pelaksanaan Bermain
14. Anak memperhatikan Co-
leader saat
memberikan contoh
permainan
15. Anak tidak
mempehatikan Co-leader
saat memberikan contoh
permainan