Anda di halaman 1dari 29

JOURNAL READING

Hubungan antara Pembentukan Scar Vaksin BCG dan


Kejadian Infeksi Tuberkulosis

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Asuhan Kebidanan Holistik pada Persalinan dan
Bayi Baru Lahir

Oleh:

Zebulan Chandra Kirana


NIM. P07124519030

Pembimbing:

Dwiana Estiwidani, SST., MPH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


JURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Journal Reading

“Hubungan antara Pembentukan Scar Vaksin BCG dan


Kejadian Infeksi Tuberkulosis”

Oleh:
Zebulan Chandra Kirana
NIM. P07124519030

Menyetujui,

Pembimbing Akademik

Dwiana Estiwidani, SST., MPH


NIP. 197904182002122001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Bidan

Hesti Widyasih, SST., M.Keb


NIP. 197910072005012004

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun journal reading ini tanpa
suatu halangan apapun.
Journal reading ini disusun untuk memenuhi tugas Praktik Asuhan
Kebidanan Holistik pada Kehamilan. Kami berharap agar journal reading ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca agar dapat
mengetahui tentang journal reading dalam lingkup kesehatan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan journal reading ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
berharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga dalam pembuatan journal
reading lainnya menjadi lebih baik lagi. Semoga journal reading ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 23 November 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv

BAB I ISI JURNAL...........................................................................................1


A. Judul..................................................................................................1
B. Abstrak..............................................................................................1
C. Pendahuluan......................................................................................2
D. Metode..............................................................................................3
E. Hasil dan Pembahasan......................................................................3
F. Kesimpulan dan Saran......................................................................8

BAB II TELAAH JURNAL.................................................................................6


A. Judul..................................................................................................6
B. Abstrak..............................................................................................6
C. Pendahuluan......................................................................................7
D. Metode..............................................................................................8
E. Hasil dan Pembahasan......................................................................8
F. Kesimpulan dan Saran......................................................................9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................10


BAB IVPENUTUP...............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

LAMPIRAN

iv
BAB I
ISI JURNAL

Hubungan antara Pembentukan Scar Vaksin BCG dan


Kejadian Infeksi Tuberkulosis
Fajriah Rosandali, Rusdi Aziz, Netti Suharti
FakultasKedokteran Universitas Andalas, Padang, Indonesia

A. Judul Jurnal
Hubungan antara Pembentukan Scar Vaksin BCG danKejadian Infeksi
Tuberkulosis.
B. Abstrak
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Orangdewasa yang menderita tuberkulosis
sangat mudah menularkan kuman TB kepada orang disekitarnya terutama
padaanak-anak. Salah satu cara pencegahan penyakit tuberkulosis adalah
pemberian imunisasi BCG pada saat bayi barulahir. Scar vaksin BCG dapat
terbentuk setelah penyuntikan, kadang Scar tidak terbentuk setelah
penyuntikan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan antara
pembentukan Scar vaksin BCG dan kejadian infeksi tuberkulosis. Penelitian
ini menggunakan desain cross sectional dengan jumlah subjek sebanyak 80
orang. Pengambilan databerupa melakukan pengamatan terhadap Scar pada
lengan atas serta wawancara kepada responden dengan menggunakan
pedoman wawancara. Kemudian data ditabulasi dalam bentuk persentase dan
dianalisis dengan uji chisquare. Hasil penelitian menunjukan bahwa
responden yang terbanyak adalah perempuan dan usia yang terbanyak 35-44
tahun. Terdapat hubungan yang bermakna antara pembentukan Scar vaksin
BCG dengan kejadian infeksi tuberkulosis (p < 0,05). Disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh antara pembentukan Scar vaksin BCG terhadap kejadian
infeksi tuberkulosis.

1
C. Pendahuluan/Latar Belakang/Tujuan
Penyakit Tuberkulosis (TB) paru sampai saatini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Lebih dari 583.000 penderita TB paru dengan
262 BTA positif dan 140.000 kematian terjadi akibat tuberculosis pertahun.
Pada anak terdapat 450.000 anak usia di bawah 15 tahun meninggal dunia
karena Tuberkulosis.
Berdasarkan epidemiologi, hampir 10 tahun Indonesia berada pada
peringkat ke-3 dengan prevalensi TB tertinggi di dunia setelah India dan
China. Padatahun 2009 Indonesia menempati urutan ke-5 setelah India,
China, Afrika Selatan dan Nigeria. Pada tahun 2010 naik menjadi urutan ke-4
setelah India, China, dan Afrika Selatan.Laporan tahunan 2011 dari Dinas
Kesehatan Kota Padang memaparkan penjaringan penderita yang dicurigai
atau suspek TB paru yang berobat ke sarana kesehatan diperkirakan penderita
TB paru dengan BTA positif sebanyak 16/1000 penduduk. Penemuan kasus
TB paru pada tahun 2011 sebanyak 946 kasus (70,1%) dari 1349 BTA positif
yang diperkirakan naik dibandingkan tahun 2010 yaitu 853 kasus (62%) dari
1376 BTA positif, sedangkan secara klinis kasus TB paru diperkirakan
sebanyak 13.490 kasus di kota Padang pada tahun 2011. Pencegahan dengan
Imunisasi atau vaksinasi merupakan tindakan yang mengakibatkan seseorang
mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik, sehingga mampu
mempertahankan diri terhadap penyakit atau masuknya kuman dari luar.
Vaksinasi terhadap penyakit tuberkulosis menggunakan vaksin Bacillus
Calmette-Guerin (BCG) dari galur Mycobacterium bovis yang telah
dilemahkan. Vaksin BCG ini telah diwajibkan di 64 negara dan
direkomendasikan di beberapa negara lainnya. Indonesia telah melaksanakan
vaksinasi BCG sejak tahun 1973 dan kini diakui vaksinasi BCG setidaknya
dapat menghindarkan terjadinya TB paru berat pada anak, tuberkulosis milier
yang menyebar ke seluruh tubuh dan meningitis tuberkulosis yang menyerang
otak. Kedua penyakit ini bisa menyebabkan kematian pada anak. Efektivitas
vaksin BCG telah lama diperdebatkan, bahkan sejak awal penggunaannya

2
pada awal dekade 1920-an. Kemampuan vaksin inidinilai terbatas untuk
menangkal tuberkulosis. Studiklinis telah banyak dilakukan untuk
membuktikan klaimini. Secara umum terungkap bahwa efektivitas BCG
sangat bervariatif (0-80 persen). BCG efektif mencegah tuberkulosis (TB)
milier, TB paru berat dan TB meningitis pada anak- anak, tetapi tidak untuk
TB paru pada orang dewasa, terutama di negara-negara berkembang. Vaksin
yang diperoleh pada saat bayi ternyata sama sekali tidak memberikan
perlindungan terhadap TB pada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena efek
perlindungan vaksin BCG yang diberikan pada saat bayi berlangsung hingga
10 tahun, tetapi tidak diketahui apakah masih terdapat efek perlindungan
setelah kurun waktu tersebut.
D. Metodologi
Jenis penelitian adalah analitik dengan desaincross-sectional study.
Penelitian ini dilakukan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) dan
Ulak Karang, Padang pada bulan Mei 2014. Populasi dalam penelitian ini
adalah semuapasien TB di BP4 dan orang sehat di Ulak Karang Padang.
Subjek pada penelitian ini adalah pasien TB Paru di BP4 dan non-TB Paru di
Ulak Karang Padang dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria
inklusi untuk responden TB Paru adalah usia 25 – 59 tahun; responden
sedang sakit TB Paru yang memenuhi kriteria sebagai penderita TB paru
secara laboratorium (BTA +) dan radiologi; responden bekas TB Paru yang
penah mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama minimal 6 bulan; dan
bersedia untuk di wawancarai. Adapun kriteria eksklusi untuk responden TB
Paru adalah penderita dengan immuno compromised, seperti menderita
keganasan (HIV/AIDS, kanker), anemia, dan lain-lain, penderita TB dengan
penyakit Diabetes Melitus, penderita TB dengan riwayat mengonsumsi
alkohol, tidak kooperatifdengan pewawancara, tidak dapat berkomunikasi
dengan baik dan tidak bersedia untuk diwawancarai. Kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi pada responden orang sehat adalah kebalikan dari kriteria
pada responden TB Paru. Subjek dipilih dengan menggunakan metode
consecutive sampling, yaitu semua populasi yang memenuhi kriteria dijadikan

3
subjek penelitian sampai jumlahnya mencukupi, yaitu sebanyak 40
responden. Data dikumpulkan dengan menggunakan pedoman wawancara
dengan 5 pertanyaan dan data sekunder yaitu status pasien. Data dianalisis
secara univariat dan bivariat menggunakan uji chi-square dengan derajat
kepercayaan 95%. Variabel dependen adalah proses scar vaksin BCG,
sedangkan variabel independen adalah tuberkulosis.
E. Hasil dan Pembahasan
Responden dalam penelitian ini adalah pasien TB Paru di BP4 dan
non-TB Paru di Ulak Karang Padang. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan diperoleh informasi mengenai gambaran karakteristik responden
sebagai berikut.
Frekuensi kelompok responden terbanyak adalah kelompok responden
berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 39 orang (48,75%), sedangkan
laki-laki sebanyak 41 orang (51,25%).
Frekuensi kelompok responden terbanyak berdasarkan usia adalah
kelompok usia 35–44 tahun, yaitu berjumlah 27 orang (33,75%), diikuti
kelompok usia 25–34 tahun sebanyak 25 orang (31,25%) dan kelompok 45–
54 tahun yang berjumlah 19 orang (23,75%), sedangkan kelompok usia yang
paling sedikit adalah >55 tahun yang berjumlah 9 orang (11,25%).
Sebanyak 10 orang penderita TB dengan Scar (+) dan sebanyak 30
orang penderita TB dengan Scar (-). Hal tersebut menunjukkan bahwa
penderita TB Paru yang memiliki Scar lebih sedikit daripada yang tidak
memiliki Scar. Sebanyak 21 orang sehat dengan Scar (+) dan sebanyak 19
orang sehat dengan Scar (-).
Proporsi responden yang mempunyai scar BCG lebih banyak pada
non-TB dibandingkan dengan responden yang tidak mempunyai scar BCG
lebih banyak pada responden TB. Pada hasil pengolahan data, didapatkan p =
0,022 (dimana nilai p yang dianggap bermakna adalah < 0,05), yang artinya
terdapat hubungan yang bermakna antara pembentukan scar vaksin BCG
dengan kejadian infeksi tuberculosis, artinya orang yang tidak memiliki scar
BCG lebih banyak pada pasien TB dibandingkan dengan orang sehat.

4
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden yang
mempunyai scar BCG adalah pasien perempuan berusia 35 – 44 tahun
(33,75%). Sel – sel imuno kompeten tubuh telah terbentuk sempurna pada
waktu bayi lahir, maka dengan memberikan vaksinasi BCG pada waktu bayi
akan menimbulkan respon imun yang lebih baik, terutama respon imun
seluler bukan respon imun humoral. Respon imun berkaitan erat dengan
kemampuan tubuh untuk melawan penyakit, maka hasil penelitian yang telah
dilakukan memberikan indikasi bahwa pemberian imunisasi akan
menumbuhkan daya tahan tubuh terhadap penyakit Tuberkulosis. Berbeda
dengan hasil penelitian Retnaningsih (2010) bahwa status imunisasi tidak
bermakna secara statistik terhadap kejadian tuberkulosis paru.
F. Kesimpulan dan Saran
Terdapat hubungan antara pembentukan scarvaksin BCG dan kejadian
infeksi tuberculosis.

5
BAB II
TELAAH JURNAL

A. Judul Jurnal
Judul jurnal sudah cukup jelas. Judul tidak memiliki makna ganda.
Dengan membaca judul, akan memudahkan pembaca mengetahui inti jurnal
penelitian tanpa harus membaca keseluruhan dari jurnal tersebut. Judul ini
sudah sedikit banyak melaporkan isi dari jurnal. Tema imunisasi saat ini
sangat dibutuhkan untuk kesadaran masyarakat khususnya orang tua yang
memiliki bayi. Judul jurnal tidak lebih dari 12 kata, sehingga ini tidak
menyalahi aturan. Judul sudah ditulis di tengah atas halaman, menggunakan
huruf kapital, dan dicetak tebal.1
B. Abstrak
Abstrak dari jurnal ini sudah sesuai aturan. Abstrak memuat 150 kata
yang tidak lebih dari 250 kata. Bagian abstrak dalam jurnal sudah cukup jelas
untuk mencerna secara singkat isi jurnal. Abstrak di sini dimaksudkan untuk
menjadi penjelas tanpa mengacu pada jurnal. Bagian abstrak sudah
merangkum tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan. Abstrak juga tidak
menggunakan singkatan atau kutipan didalamnya karena abstrak harus dapat
berdiri sendiri tanpa catatan kaki.1
C. Pendahuluan
Pendahuluan adalah pernyataan dari kasus yang diselidiki, yang
memberikan informasi kepada pembaca untuk memahami tujuan spesifik
dalam kerangka teoritis yang lebih besar. Bagian ini sudah mencakup
informasi tentang latar belakang masalah, seperti ringkasan dari setiap
penelitian yang telah dilakukan dan bagaimana sebuah percobaan akan
membantu untuk menjelaskan atau memperluas pengetahuan dalam bidang
umum. Semua informasi latar belakang yang dikumpulkan sudah berasal dari
sumber lain yang dijadikan sebagai kutipan.1
Pendahuluan jurnal ini sudah menjelaskan tentang imunisasi BCG
yang menjadi perlindungan dasar agar terhindar dari penyakit tuberkulosis.

6
Latar belakang sudah disertai data-data aktual yang terjadi di masyarakat.
Peneliti juga mengambil sumber data dari penelitian lain yang mirip dengan
kasus jurnal. Di akhir jurnal juga sudah dijelaskan tujuan mengapa peneliti
mengambil judul tersebut.
D. Metodologi
Bagian ini menjelaskan ketika penelitian telah dilakukan. Peneliti
menjelaskan desain percobaan, peralatan, metode pengumpulan data, dan
jenis pengendalian. Semua sudah dijelaskan lengkap dalam jurnal ini.
Penelitian dilakukan di balai pengobatan penyakit paru, maka peneliti
menggambarkan daerah penelitian, lokasi, dan juga menjelaskan kegiatan
yang dilakukan. Peneliti juga menjelaskan cara pengambilan sampel. Aturan
umum yang perlu diingat adalah bagian ini harus memaparkan secara rinci
dan jelas sehingga pembaca memiliki pengetahuan dan teknik dasar agar bisa
diduplikasikan.1
Rancangan penelitian cross-sectional. Rancangan penelitian ini sudah
sesuai dengan jenis penelitian yang dibutuhkan karena mudah dilakukan dan
tidak memakan banyak waktu. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 40
orang. Pengambilan sampel tersebut menggunakan teknik consecutive
sampling terhadap populasi yang berarti peneliti mengambil semua populasi.
Peneliti tidak menjelaskan penentuan sampel berdasarkan kriteria inklusi
dengan jelas. Instrumen penelitian menggunakan pedoman wawancara dan
teknik analisa menggunakan uji chi-square.
E. Hasil dan Pembahasan/Diskusi
Di sini peneliti sudah menyajikan data yang ringkas dan lengkap
dengan tinjauan menggunakan teks naratif, tabel, atau gambar. Hanya hasil
saja yang disajikan, tidak ada interpretasi data atau kesimpulan dari data
dalam bagian ini. Hasil penelitian ini juga terpercaya karena rentang
confident interval sangat sedikit. Data yang dikumpulkan dalam
tabel/gambar sudah dilengkapi teks naratif dan disajikan dalam bentuk yang
mudah dimengerti. Kalimat penjelas tabel tidak diulangi secara panjang lebar
dengan data yang telah disajikan dalam tabel dan gambar.1

7
Pada bagian pembahasan, peneliti menafsirkan data dengan pola yang
diamati. Setiap hubungan antar variabel percobaan yang penting dan setiap
korelasi antara variabel dapat dilihat jelas. Peneliti sudah menyertakan
penjelasan yang berbeda dari hipotesis atau hasil yang berbeda atau serupa
dengan setiap percobaan terkait dilakukan oleh peneliti lain. Setiap hasil
penelitian tidak selalu harus menunjukkan perbedaan besar atau
kecenderungan untuk menjadi penting.
Berdasarkan tabel proporsi responden yang mempunyai scar BCG
lebih banyak pada non-TB dibandingkan dengan responden yang tidak
mempunyai scar BCG lebih banyak pada responden TB. Pada hasil
pengolahan data di atas, dapat dilihat bahwa didapatkan p= 0,022 (dimana
nilai p yang dianggap bermakna adalah <0,05), yang artinya terdapat
hubungan yang bermakna antara pembentukan scar vaksin BCG dengan
kejadian infeksi tuberculosis, artinya orang yang tidak memiliki scar BCG
lebih banyak pada pasien TB dibandingkan dengan orang sehat.
Sel – sel imunokompeten tubuh telah terbentuk sempurna pada waktu
bayi lahir, maka dengan memberikan vaksinasi BCG pada waktu bayi akan
menimbulkan respon imun yang lebih baik, terutama respon imun seluler
bukan respon imun humoral. Respon imun berkaitan erat dengan kemampuan
tubuh untuk melawan penyakit, maka hasil penelitian yang telah dilakukan
memberikan indikasi bahwa pemberian imunisasi akan menumbuhkan daya
tahan tubuh terhadap penyakit Tuberkulosis.
F. Kesimpulan dan Saran
Bagian ini hanya menyatakan bahwa peneliti berpikir mengenai setiap
data yang disajikan berhubungan kembali pada pertanyaan yang dinyatakan
dalam pendahuluan. Dengan mengacu pada bagian pendahuluan dan
kesimpulan, seorang pembaca harus memiliki ide yang baik dari penelitian
ini, meskipun hanya rincian spesifik. Dalam simpulan yang dibahas
pembuktian hipotesis dari penelitian, ditulis ringkas yang memuat informasi
yang cukup sehingga pembaca mengetahui bahwa telah membuktikan
hipotesis yang telah dilakukan dan dalam mengetahui kelebihan dan

8
kekurangan metode. Dan biasanya terdapat saran yang berisi kemungkinan
penelitian lebih lanjut, dan potensi-potensi yang dimiliki metode yang dipakai
dapat dimasukkan. Tetapi dalam jurnal ini, peneliti tidak memberikan saran
yang jelas untuk penelitian selanjutnya.1
Hasil dari penelitian ini sangat baik dan dapat dijadikan landasan teori
untuk penelitian selanjutnya. Sebagai seorang bidan harus bisa melakukan
update ilmu melalui berbagai media termasuk jurnal penelitian karena ilmu
selalu berkembang setiap waktu. Jika bidan mampu menyerap ilmu yang
berkembang dan mengaplikasikannya di masyarakat akan sangat membantu
untuk meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia. Penanganan bayi dengan
imunisasi di Puskesmas Umbulharjo II sudah sesuai teori dan prosedur kerja
yang berlaku. Jurnal seperti ini dapat dijadikan sebagai standar operasional
prosedur dan bahkan sebagai upaya promotif dan preventif terkhusus dalam
kasus imunisasi BCG.

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Imunisasi berasal dari kata “imun” yang berarti kebal atau resisten.
Imunisasi merupakan pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit
dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap
penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang.2
Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit menular
khususnya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang
diberikan kepada tidak hanya anak sejak bayi hingga remaja tetapi juga pada
dewasa. Cara kerja imunisasi yaitu dengan memberikan antigen bakteri atau
virus tertentu yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan
merangsang sistem imun tubuh untuk membentuk antibodi. Antibodi
menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif sehingga
dapat mencegah atau mengurangi akibat penularan PD3I tersebut.3
Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa
mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih
utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah
menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat
lainnya, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan
spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.3
B. Manfaat Imunisasi
1. Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan
kemungkinan cacat atau kematian.
2. Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan
bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua
yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
3. Untuk negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang
kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.

10
C. Tujuan Imunisasi
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada
bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang
disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Program imunisasi
mempunyai tujuan umum yaitu menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan
kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Tujuan khusus program ini adalah sebagai berikut:
1. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan
imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh
desa/kelurahan pada tahun 2014.
2. Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di
bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013.
3. Global eradikasi polio pada tahun 2018.
4. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian
penyakit rubella 2020.
5. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan
limbah medis (safety injection practise and waste disposal
management).4
D. Dampak Imunisasi
Nilai (value) vaksin dibagi dalam tiga kategori yaitu secara individu,
sosial dan keuntungan dalam menunjang sistem kesehatan nasional. Secara
individu, apabila anak telah mendapat vaksinasi maka 80%-95% akan
terhindar dari penyakit infeksi yang ganas. Makin banyak bayi/anak yang
mendapat vaksinasi (dinilai dari cakupan imunisasi), makin terlihat
penurunan angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas).2
Kekebalan individu ini akan mengakibatkan pemutusan rantai
penularan penyakit dari anak ke anak lain atau kepada orang dewasa yang
hidup bersamanya, inilah yang disebut keuntungan sosial, karena dalam hal
ini 5%-20% anak yang tidak diimunisasi akan juga terlindung, disebut Herd

11
Immunit. Menurunnya angka morbiditas akan menurunkan biaya pengobatan
dan perawatan di rumah sakit, mencegah kematian dan kecacatan yang akan
menjadi beban masyarakat seumur hidupnya. Upaya pencegahan penyakit
infeksi pada anak, berarti akan meningkatkan kualitas hidup anak dan
meningkatkan daya produktivitas karena 30% dari anak-anak masa kini
adalah generasi yang akan memegang kendali pemerintahan dimasa yang
akan datang.2
Dalam hal menunjang sistem kesehatan nasional, program imunisasi
sangat efektif dan efisien apabila diberikan dalam cakupan yang luas secara
nasional. Peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara tentunya akan
lebih baik bila masyarakatnya lebih sehat sehingga anggaran untuk
kuratif/pengobatan dapat dialihkan pada program lain yang membutuhkan.
Investasi dalam kesehatan untuk kesejahteraan dan peningkatan kualitas anak
di masa depan.2
E. Jenis Imunisasi
Imunisasi kekebalan tubuh ada 2 macam, yaitu:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif dapat timbul ketika seseorang bersinggungan
dengan, sebagai contoh, mikroba. Sistem kekebalan akan membentuk
antibodi dan perlindungan/perlawanan lainnya terhadap mikroba.
Imunisasi aktif buatan adalah dimana mikroba, atau bagian darinya,
diinjeksikan kepada seseorang sebelum ia dapat melakukannya secara
alami. Contoh vaksin hidup yang telah dilemahkan meliputi tampek,
gondongan, rubella, atau kombinasi ketiganya dalam satu vaksin sebagai
vaksin MMR, demam kuning (yellow fever), cacar air (varicella),
rotavirus, dan vaksin influenza.5
2. Imunisasi pasif
Imunisasi pasif adalah elemen-elemen pra-sintesa dari sistem
kekebalan yang dipindahkan kepada seseorang, sehingga tubuhnya tidak
perlu membuatnya sendiri elemen-elemen tersebut. Akhir-akhir ini,
antibodi dapat digunakan untuk imunisasi pasif. Metode imunisasi ini

12
bekerja sangat cepat, tetapi juga berakhir cepat, karena antibodi akan
pecah dengan sendirinya, dan jika tak ada sel-sel B untuk membuat lebih
banyak antibodi, maka mereka akan hilang. Imunisasi pasif terdapat
secara fisiologi, ketika antibodi-antibodi dipindahkan dari ibu ke janin
selama kehamilan, untuk melindungi janin sebelum dan sementara waktu
sesudah kelahiran. Imunisasi pasif buatan umumnya diberikan melalui
injeksi dan digunakan jika ada wabah penyakit tertentu atau penanganan
darurat keracunan, seperti pada tetanus. Antibodi-antibodi ini dapat
dibuat menggunakan binatang, dinamai “terapi serum”, meskipun ada
kemungkinan besar terjadinya syok anafilaksis, karena sistem kekebalan
yang melawan serum binatang tersebut. Jadi, antibodi manusia dihasilkan
secara in vitro melalui kultur sel dan digunakan menggantikan antibodi
dari binatang, jika tersedia. Di kota-kota besar di Indonesia selalu
tersedia vaksin rabies untuk mereka yang ingin mendapatkan kekebalan
terhadap rabies dan serum anti-rabies bagi mereka yang dikhawatirkan
sudah terjangkit rabies, karena misalnya habis digigit anjing atau
monyet.5
F. Macam Imunisasi Dasar
1. Vaksin BCG
Vaksin BCG mengandung kuman BCG yang masih hidup namun
telah dilemahkan. Imunisasi BCG berfungsi untuk mencegah penularan
Tuberkulosis (TBC) tuberkulosis disebabkan oleh sekelompok bakteria
bernama Mycobacterium tuberculosis complex. Imunisasi BCG
merupakan imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif
terhadap penyakit tuberculosis dan frekuensi pemberian imunisasi BCG
adalah 1 kali, tidak perlu diulang sebab vaksin BCG berisi kuman hidup
sehingga antibodi yang dihasilkan tinggi.4
Tuberkulosis pada anak sulit untuk didiagnosis karena 2 hal, yaitu
sifat kuman yang peubacillary (jumlah bakteri sedikit) dan sulitnya
pengambilan spesimen. Kelompok usia <5 tahun merupakan kelompok
usia dengan risiko tinggi terkena tuberkulosis anak karena status imunitas

13
selulernya masih belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi,
faktor risiko ini akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia.
Imunisasi BCG tidak mencegah penyakit tuberkulosis primer tapi
mencegah terjadi komplikasi yang lebih berat dari tuberkulosis, misalnya
meningitis TB dan efusi pleura7
a. Penyimpanan: lemari es, suhu 2-8º C
b. Dosis: 0.05 ml
c. Kemasan: ampul dengan bahan pelarut 4 ml (NaCl Faali)
d. Masa kadaluarsa: satu tahun setelah tanggal pengeluaran (dapat
dilihat pada label)
e. Reaksi imunisasi: biasanya tidak demam
f. Cara pemberian
Imunisasi BCG disuntikan secara intrakutan di daerah lengan kanan
atas. Disuntikan ke dalam lapisan kulit dengan penyerapan pelan-
pelan. Dalam memberikan suntikan intrakutan, agar dapat dilakukan
dengan tepat, harus menggunakan jarum pendek yang sangat halus
(10 mm, ukuran 26). Pemberian imunisasi dianjurkan sedini
mungkin atau secepatnya, tetapi pada umumnya dibawah 2 bulan.
Jika diberikan setelah 2 bulan, disarankan dilakukan tes mantoux
(tuberculin) terlebih dahulu untuk mengetahui apakah bayi sudah
terinfeksi kuman Mycobacterium Tuberculosis atau belum.
g. Tanda keberhasilan
Timbul indurasi (benjolan) kecil dan eritema (merah) didaerah bekas
suntikan setelah 1 atau 2 minggu kemudian, yang berubah menjadi
pustula, kemudian pecah menjadi ulkus (luka), luka akan sembuh
sendiri dan meninggalkan tanda parut. Keberhasilan vaksinasi BCG
yang dilihat dari pembentukan scar, tidak menjamin bahwa orang
tersebut terlindungi dari tuberkulosis paru. Pada anak yang telah
diimunisasi BCG masih dapat menderita tuberkulosis paru disebabkan
oleh berbagai faktor seperti riwayat status gizi, riwayat keluarga

14
mengalami tuberkulosis, sosio ekonomi, lingkungan rumah, dan faktor
lain yang tidak diteliti oleh penulis. 8
h. Efek samping: jarang dijumpai, bisa terjadi pembengkakan kelenjar
getah bening setempat yang terbatas dan biasanya menyembuh
sendiri walaupun lambat
i. Kontra Indikasi: tidak ada larangan, kecuali pada anak yang
berpenyakit TBC atau uji mantoux positif dan adanya penyakit kulit
berat/menahun.
2. Vaksin DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus)
Di Indonesia ada 3 jenis kemasan: kemasan tunggal khusus
tetanus, kombinasi DT (diphteri tetanus) dan kombinasi DPT. Vaksin
diphteri terbuat dari toksin kuman diphteri yang telah dilemahkan
(toksoid), biasanya diolah dan dikemas bersama-sama dengan vaksin
tetanus dalam bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis
dalam bentuk vaksin DPT. Vaksin tetanus yang digunakan untuk
imunisasi aktif ialah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang
telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Ada tiga kemasan vaksin
tetanus yaitu tunggal, kombinasi dengan diphteri dan kombinasi dengan
diphteri dan pertusis. Vaksin pertusis terbuat dari kuman Bordetella
pertusis yang telah dimatikan. Pemberian imunisasi 3 kali (paling sering
dilakukan) yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan, namun bisa juga
ditambahkan 2 kali lagi, yaitu 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia
12 tahun diberikan imunisasi TT. Sedangkan cara pemberian imunisasi
melalui suntikan intra muscular (IM).4
a. Penyimpanan: lemari es, suhu 2-8º C
b. Dosis: 0.5 ml, tiga kali suntikan, interval minimal 4 minggu
c. Kemasan: Vial 5 ml
d. Masa kadaluarsa: Dua tahun setelah tanggal pengeluaran (dapat
dilihat pada label)
e. Reaksi imunisasi: demam ringan, pembengkakan dan nyeri ditempat
suntikan selama 1-2 hari

15
f. Efek samping: Biasanya hanya gejala-gejala ringan seperti sedikit
demam, rewel, selama 1-2 hari, kemerahan pembengkakan agak
nyeri atau pegal-pegal pada tempat suntikan yang akan hilang sendiri
dalam beberapa hari, atau bila masih demam dapat diberikan obat
penurun panas bayi.
g. Indikasi kontra: Anak yang sakit parah, anak yang menderita
penyakit kejang demam kompleks, anak yang diduga menderita
batuk rejan, anak yang menderita penyakit gangguan kekebalan.
Batuk, pilek, demam atau diare yang ringan bukan merupakan
kotraindikasi yang mutlak, disesuaikan dengan pertimbangan dokter.
3. Vaksin Poliomielitis
Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang masing-masing
mengandung virus polio tipe I, II dan III; yaitu (1) vaksin yang
mengandung virus polio yang sudah dimatikan (salk), biasa diberikan
dengan cara injeksi, (2) vaksin yang mengandung virus polio yang hidup
tapi dilemahkan (sabin), cara pemberian per oral dalam bentuk pil atau
cairan (OPV) lebih banyak dipakai di Indonesia. Pemberian bisa lebih
dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya Pekan Imunisasi
Nasional. Jumlah dosis yang berlebihan tidak akan berdampak buruk
karena tidak ada istilah overdosis dalam imunisasi. Waktu pemberian
polio adalah pada umur bayi 0-11 bulan, dan berikutya pada usia 2 bulan,
4 bulan dan 6 bulan kecuali saat lahir pemberian vaksin polio selalu
dibarengi dengan vaksin DPT.4
a. Penyimpanan: Lemari es, suhu 2-8º C
b. Dosis: 2 tetes mulut OPV, 0.5 ml IPV
c. Kemasan: OPV vial disertai pipet tetes, IPV vial
d. Masa kadaluarsa: dua tahun pada suhu 2-8°C
e. Cara pemberian: Cara pemberian imunisasi polio melaui oral / mulut
(oral poliomyelitis vaccine/OPV). Di sebagian tempat, cara
pemberian imunisasi polio ada yang melalui suntikan disebut
(inactivated poliomyelitis vaccine/IPV).

16
f. Reaksi imunisasi: biasanya tidak ada, mungkin pada bayi ada berak-
berak ringan
g. Efek samping: hampir tidak ada, bila ada berupa kelumpuhan
anggota gerak seperti polio sebenarnya.
h. Kontra Indikasi: diare berat, sakit parah, gangguan kekebalan dan
demam.
4. Vaksin Campak
Mengandung vaksin campak hidup yang telah dilemahkan.
Kemasan untuk program imunisasi dasar berbentuk kemasan kering
tunggal. Namun ada vaksin dengan kemasan kering kombinasi dengan
vaksin gondong/mumps dan rubella (campak jerman) disebut MMR.
Imunisasi campak diberikan 1 kali pada usia 9 bulan, dan dianjurkan
pemberiannya sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah
menurun di usia bayi 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang
anak usia bayi, jika sampai usia 12 bulan anak harus di imunisasi campak
MMR (Measles Mumps Rubella). Cara pemberian imunisasi adalah
melalui subkutan.4
a. Penyimpanan: lemari es, 2-8º C
b. Dosis: setelah dilarutkan, diberikan 0.5 ml
c. Kemasan: vial berisi 10 dosis vaksin yang dibekukeringkan, beserta
pelarut 5 ml (aquadest)
d. Masa kadaluarsa: 2 tahun setelah tanggal pengeluaran (dapat
dilihatpada label)
e. Reaksi imunisasi: biasanya tidak terdapat reaksi. Mungkin terjadi
demam ringan dan sedikit bercak merah pada pipi di bawah telinga
pada hari ke 7-8 setelah penyuntikan, atau pembengkakan pada
tempat penyuntikan.
f. Efek samping: sangat jarang, mungkin dapat terjadi kejang ringan
dan tidak berbahaya pada hari ke 10-12 setelah penyuntikan. Dapat
terjadi radang otak 30 hari setelah penyuntikan tapi angka
kejadiannya sangat rendah.

17
g. Kontra Indikasi: sakit parah, penderita TBC tanpa pengobatan,
kurang gizi dalam derajat berat, gangguan kekebalan, penyakit
keganasan. Dihindari pula pemberian pada ibu hamil.
5. Vaksin Hepatitis B
Imunisasi aktif dilakukan dengan suntikan 3 kali dengan jarak
waktu satu bulan antara suntikan 1 dan 2, lima bulan antara suntikan 2
dan 3. Namun cara pemberian imunisasi tersebut dapat berbeda
tergantung pabrik pembuat vaksin. Vaksin hepatitis B dapat diberikan
pada ibu hamil dengan aman dan tidak membahayakan janin, bahkan
akan membekali janin dengan kekebalan sampai berumur beberapabulan
setelah lahir. Sebaiknya diberikan 12 jam setelah lahir dengan keadaan
kondisi bayi dalam keadaan baik, tidak ada gangguan dalam paru-paru
dan jantung dilanjutkan pada saat bayi berusia 1 bulan, dan usia antara 3-
6 bulan. Suntikan secara intra muscular didaerah paha. Penyuntikan
daerah bokong tidak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas
vaksin.4
a. Reaksi imunisasi: nyeri pada tempat suntikan, yang mungkin disertai
rasa panas atau pembengkakan. Akan menghilang dalam 2 hari.
b. Dosis:0.5 ml sebanyak 3 kali pemberian
c. Kemasan: HB PID
d. Efek samping: Umumnya tidak terjadi, jikapun terjadi sangat jarang
yaitu berupa keluhan nyeri pada tepat suntikan, yang disusul demam
ringan dan pembengkakan. Namun reaksi ini akan menghilang dalam
waktu 2 hari.
e. Indikasi kontra: anak yang sakit berat.

18
G. Sifat Vaksin
1. Vaksin yang sensitif terhadap beku
Yaitu golongan vaksin yang akan rusak bila terpapar dengan suhu
dingin atau suhu pembekuan. Contoh: hepatitis B, DPT-HB, DPT, DT,
dan TT.

Vaksin Pada suhu Dapat bertahan selama


Hep B, DPT-HB -0,5 ᴼC Max ½ jam
DPT, DT, TT -0,5ᴼC sd -10ᴼC Mak 1,5-2 jam
DPT, DPT-HB, DT Beberapa ᴼC diatas suhu 14  hari
udara luar (ambient
temperatur <34ᴼC)
Hep B dan TT Beberapa C diatas suhu 30 hari
udara luar (ambient
temperatur <34ᴼC)

2. Vaksin yang sensitif terhadap panas


Yaitu golongan yang akan rusak bila terpapar dengan suhu panas
yang berlebihan. Contoh: polio, BCG dan campak.

Vaksin Pada suhu Dapat bertahan selama


Polio Beberapa C diatas suhu 14 hari
udara luar (ambient
temperatur <34ᴼC)
Campak dan BCG Beberapa C diatas suhu 30 hari
udara luar (ambient
temperatur <34ᴼC)

19
H. Jadwal Imunisasi
1. Imunisasi Dasar

Catatan:
a. Pemberian Hepatitis B paling optimal diberikan pada bayi <24 jam
pasca persalinan, dengan didahului suntikan vitamin K1 2-3 jam
sebelumnya, khusus daerah dengan akses sulit, pemberian Hepatitis
B masih diperkenankan sampai <7 hari.
b. Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit, Klinik dan Bidan Praktik
Swasta, Imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan.
c. Pemberian BCG optimal diberikan sampai usia 2 bulan, dapat
diberikan sampai usia <1 tahun tanpa perlu melakukan tes mantoux.
d. Bayi yang telah mendapatkan Imunisasi dasar DPT-HBHib1, DPT-
HB-Hib 2, dan DPT-HB-Hib 3 dengan jadwal dan interval
sebagaimana Tabel 1, maka dinyatakan mempunyai status Imunisasi
T2.
e. IPV mulai diberikan secara nasional pada tahun 2016
f. Pada kondisi tertentu, semua jenis vaksin kecuali HB 0 dapat
diberikan sebelum bayi berusia 1 tahun.

20
2. Imunisasi Lanjutan
Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Dua Tahun

Catatan:
a. Pemberian Imunisasi lanjutan pada baduta DPT-HB-Hib danCampak
dapat diberikan dalam rentang usia 18-24 bulan
b. Baduta yang telah lengkap Imunisasi dasar danmendapatkan
Imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakanmempunyai status
Imunisasi T3.
Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah Dasar

I. Penangan Vaksin Sisa


Sisa vaksin yang telah dibuka pada pelayanan di posyandu tidak boleh
dipergunakan lagi. Sedang pelayanan imunisasi statis (di puskesmas,
poliklinik), sisa vaksin dapat dipergunakan lagi dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Vaksin tidak melewati tanggal kadaluarsa
2. Tetap disimpan dalam suhu 2ᴼC sd 8ᴼC
3. Kemasan vaksin tidak pernah tercampur/terendam dengan air
4. VVM tidak menunjukan indikasi paparan panas yang merusak
5. Pada label agar ditulis tanggal pada saat vial pertama kali dipakai/dibuka
6. Vaksin DPT, DT, TT, hepatitis B dan DPT-HB dapat digunakan kembali
hingga 4 minggu sejak vial vaksin dibuka
7. Vaksin polio dapat digunakan kembali hingga 2 minggu sejak vial dibuka

21
8. Vaksin campak karena tidak mengandung zat pengawet hanya boleh
digunakan tidak lebih dari 6 jam sejak dilarutkan. Sedangkan vaksin
BCG hanya boleh digunakan 3 jam setelah dilarutkan4,6
J. KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi)
KIPI adalah setiap kejadian medis yang tidak diinginkan pada
seseorang yang terjadi setelah pemberian imunisasi. Kejadian ini dapat
merupakan reaksi vaksin ataupun bukan. Kejadian yang bukan reaksi vaksin
dapat merupakan peristiwa koinsidens (peristiwa yang kebetulan terjadi)
bersamaan atau setelah imunisasi. Klasifikasi KIPI dibagi menjadi 5 kategori:
a. Reaksi KIPI yang terkait komponen vaksin
KIPI yang diakibatkan sebagai reaksi terhadap satu komponen
atau lebih yang terkandung di dalam vaksin. Contoh: Pembengkakan luas
di paha setelah imunisasi DTP.
b. Reaksi KIPI yang terkait dengan cacat mutu vaksin
KIPI yang disebabkan oleh karena ada cacat mutu yang
dipersyaratkan dalam produk vaksin, termasuk penggunaan alat untuk
pemberian vaksin yang disediakan oleh produsen. Contoh: Kelalaian atau
kesalahan yang dilakukan oleh produsen vaksin pada waktu melakukan
inaktivasi virus polio saat proses pembuatan vaksin IPV. Vaksin polio
inaktivasi (IPV) Vaksin polio inaktivasi (mati) dibuat pada tahun 1955
oleh Dr. Jonas Salk. Berbeda dengn vaksin polio oral (OPV), vaksin
hidup yang dilemahkan (LAV), IPV harus diberikan melalui suntikan
untuk membentuk respon imun. Kelalaian dalam proses inaktivasi dapat
menyebabkan kelumpuhan apabila IPV tersebut disuntikkan kepada
orang.
c. Reaksi KIPI akibat kesalahan prosedur
KIPI jenis ini disebabkan oleh cara pelarutan vaksin yang salah
dan cara pemberian vaksin yang salah. Kesalahan ini sangat mudah untuk
dihindari. Contoh: Terjadinya infeksi oleh karena penggunaan vial
multidosis yang terkontaminasi oleh mikroba (catatan: jarum yang

22
berulang-ulang masuk ke dalam vial sewaktu mengambil vaksin sudah
tidak steril lagi).
d. Reaksi KIPI akibat kecemasan karena takut disuntik
KIPI ini terjadi karena kecemasan pada waktu disuntik. Contoh:
Terjadinya apa yang disebut dengan vasovagal syncope. Sinkope yaitu
reaksi neurovaskuler yang menyebabkan terjadinya mata berkunang-
kunang, badan terasa lemah sampai pingsan. Sering terjadi pada anak
dewasa muda pada saat pemberian imunisasi atau sesudah pemberian
imunisasi.
e. Kejadian Koinsiden
KIPI ini disebabkan oleh hal-hal lain yang tidak disebutkan
sebelumnya. Contoh: Demam yang sudah terjadi sebelum atau pada saat
pemberian imunisasi. Dalam hal ini dikatakan sebagai asosiasi temporal
Asosiasi temporal Dua atau lebih kejadian yang terjadi pada waktu yang
bersamaan. Kejadian pertama dapat berhubungan atau tidak berhubungan
dengan kejadian berikutnya. Sebagai contoh di daerah endemis malaria.
Malaria Penyaki infeksi yang disebabkan oleh parasit (plasmodium) yang
ditularkan dari manusia ke manusia melalui gigitan nyamuk anopheles
betina yang terinfeksi. Malaria merupakan penyebab utama kesakitan dan
kematian di sub sahara Afrika. seperti di daerah sub sahara, penderita
malaria yang disebabkan infeksi plasmodium malaria yang ditularkan
oleh nyamuk anopheles sangat sering terjadi. Sehingga sering terjadi
KIPI yang bersifat koinsiden. KIPI koinsiden apabila sering ditemukan
didalam kegiatan imunisasi, maka dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa
ada masalah kesehatan masyarakat diwilayah tersebut yang perlu
dianalisis lebih jauh.5

23
BAB IV
PENUTUP

Keseluruhan isi jurnal sudah sangat baik. Mulai dari judul hingga
kesimpulan dan saran. Semuanya sudah disusun berdasarkan kaidah penulisan
yang baik dan benar. Kutipan dan catatan kaki sudah dicantumkan dalam jurnal.
Setiap poin dijelaskan dengan bahasa yang baik dan mudah dipahami. Metode
penelitian mulai dari persiapan hingga evaluasi penelitian sudah dijabarkan dalam
jurnal sehingga jurnal ini dapat dipakai sebagai bahan referensi untuk penelitian
selanjutnya dengan topik yang sama atau mirip.
Hasil dari penelitian ini sangat baik dan dapat dijadikan landasan teori
untuk penelitian selanjutnya. Sebagai seorang bidan harus bisa melakukan update
ilmu melalui berbagai media termasuk jurnal penelitian karena ilmu selalu
berkembang setiap waktu. Jika bidan mampu menyerap ilmu yang berkembang
dan mengaplikasikannya di masyarakat akan sangat membantu untuk
meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia. Penanganan bayi dengan imunisasi
di Puskesmas Umbulharjo II sudah sesuai teori dan prosedur kerja yang berlaku.
Jurnal seperti ini dapat dijadikan sebagai standar operasional prosedur dan bahkan
sebagai upaya promotif dan preventif terkhusus dalam kasus imunisasi BCG.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenristekdikti. Peraturan Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan


Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kementrian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan
Tinggi; 2015.
2. Lisnawati, L. Generasi Sehat Melalui Imunisasi. Jakarta: CV. Trans Info;
2011.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2016. Jakarta: Kemenkes; 2016.
4. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 12 tahun 2017 tentang penyelenggaraan imunisasi; 2017.
5. Pelatihan Imunisasi Dasar. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Jakarta: Satgas
Imunisasi IDAI; 2015.
6. Proverawati, A. & Dwi Andhini, C. S. Imunisasi dan Vaksinasi. Yogyakarta:
Nuha Medika; 2010.
7. Rachim, RDA. Hubungan Pemberian Imunisasi BCG dengan Kejadian
Tuberkulosis pada Anak Di Puskesmas Pandian Kabupaten Sumenep.
Saintika Medika: Jurnal Bidang Kedokteran dan Kesehatan; 2014.
8. Khairina AS. Status Imunisasi BCG pada Anak Usia 0-14 Tahun Penderita
Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Garuda Kota Bandung Periode Januari
2016-Oktober 2018. Bandung: Jurnal Pendidikan Dokter; 2019.
9. Rosandali F. Hubungan antara Pembentukan Scar Vaksin BCG dan Kejadian
Infeksi Tuberkulosis. Jurnal Kesehatan Andalas; 2016.

25

Anda mungkin juga menyukai