Anda di halaman 1dari 8

Assalamualaikum, saya nur Alfi 19-105 dari kelompok 1, ingin menanggapi secara garis besar sama,

hanya perbedaan terdapat pada antibiotik yg digunakan dalam menangani asites komplikasi SBP.
Kelompok 1 saya menggunakan terapi ceftriaxone. Karena penggunaan terapi ini secara EBM telah
digunakan pada RS. Syaiful Anwar dan menunjukkan terapi yg baik.

Saya Aura nim 19-103 perwakilan kelompok 1: tanggapan kepada kelompok 5 terkait DRP Dosis
spinorolakton

Berdasarkan litelatur yang kami baca bahwa dosis awal untuk pemberiaan kombinasi spinorolaton dan
furosemide yaitu 100:40 dengan evaluasi 5 hari, apbila tidak terjadi mencapai target yaitu penurunan
berat badan 0,5kg/hari dan urin 1L/hari maka dosis dinaikkan dengan rasio 100:40 yaitu menjadi spinoro
200 dan furosemide 80, namun perlu di monitoring lebih lanjut untuk menghindari efek samping.

Selamat pagi, mohon ijin menambahkan. Saya Laurensia Nina I NIM 19-102 dari kelompok 1. Menurut
kelompok kami, plasbumin sama vip albuminnya diganti dengan sediaan yg lebih murah yaitu sari kutuk,
karena plasbumin dan vip albumin harganya lumayan mahal dan pasiennya masuk kategori BPJS

saya Aisyah rulina nim 19-108, perwakilan dari kelompok 2:

dari diskusi yang kami lakukan, hampir kesuluran obat yang diberikan sudah sesuai dengan literatur.
yang berbeda pada kelompok kami yaitu: 1)antiviral yang digunakan Heplav (Lamivudin) 1x100mg (po)
dikombinasi dengan adevofir 10mg/hari(Koda Kimble). dilakukan juga monitoring HBeAg diakhir
pengobatan selama 1 tahun kemudian tiap 3-6 bulan.

2)PPI golongan omeprazole yang digunakan memiliki dosis terlalu tinggi, jadi diturunkan menjadi
10mg/hari (Liver Dose Adjustments Maintenence of Healing of EE in Asia Patients)

Saya devi rusvita (19-109) mewakili kelompok 2, mau menambahkan. Untuk penggunaan furosemid dan
spironolacton kami sama dengan kelompok 2 dengan perbanding 100 mg: 40 mg. Penggunaan
spironolacton dan furosemid ini penggunaannya harus dititrasi setelah 3-5 hari dengan dosis maksimal
spironolacton 400 mg/ hari

Saya M. Febrian Bachtiar NIM 19-107 dari kelompok 2 ingin menambahkan di situ VIP albumin dan
plasbumin sudah tidak diberikan lagi kepada pasien apabila dilihat di resep KRS dan pasien disitu
dipulangkan menurut saya perlu dipertimbangkan lagi apakah kondisi infeksi virus hepatitis B nya sudah
benar2 membaik mengingat kondisi dekompensasi sirosis ini sudah masuk kategori berat dengan
prognosis rendah apalagi ditambah infeksi virus HBV

Bahkan beberapa literatur menyebutkan seperti AASLD terbaru sebaiknya antivirus yang diberikan
adalah entecavir atau tenofovir yang lebih poten dan memiliki risiko resistensi yang lebih minim
dibandingkan lamivudine dan adevofir
Menurut saya juga perlu dicek virological response pasien karena disitu hampir semua data lab hanya
dicek tgl 18 menurut saya perlu ditunjukkan perkembangan klinis pasien

Saya Irawati Firdiyansari nim 19-118 kelompok 4

Menurut diskusi kelompok kami

propanolol dalam kel -kami masuk dalam kategori terapi penunjang agar tekanan darah pasien
terkontrol dan tidak terjadi pendarahan pada perut atau varises esofageal namun terapi tetap
dilanjutkan.

Saya febrina icha (19-120) mewakili kelompok 4, mau menambahkan hasil diskusi kami. Untuk
penggunaan terapi spironolacton dan furosemide memiliki drp low dose sehingga perlu dinaikkan
maksimal 400 mg/ hari untuk spironolacton dan untuk furosemidenya 160 mg/hari (AASLD, 2012).
Terimakasih

Saya adelia (19-21) mewakili kelompok 4. Menurut diskusi kelompok kami

- lasix furosemid kami memiliki drp dimana dosis yang digunakan terlalu rendah plan kami meningkatkan
dosis hingga 80 mg / dosis dengan interval 6-8 jam untuk max dosis 400mg per hari menurut DIH

Terimakasih

Saya febrina icha nim 19-120 dari Kel 4 ingin membantu menjawab, untuk rencana penambahan dosis
furosemide dan spironolacton sendiri berdasarkan dari kondisi pasien yg belum membaik sehingga
apabila dengan dosis segitu belum tercapai goals terapinya makan bisa ditingkatkan dosisnya hingga
dosis maksimalnya, akan terapi untuk setiap penambahannya perlu dilakukan secara bertahap dan perlu
dilakukan monitoring elektrolit pasien. Terimakasih

Saya Yolanda Ry 19-145 ingin bertanya. Pada terapi SBP dituliskan ceftriaxone dengan DRP terapi tdk
efektif, akan tetapi di plan nya tetap dilanjut, dan di monitoring diganti dengan cefotaxime. Tolong
dijelaskan, mengapa tidak langsung diganti dg cefotaxime saja di awal?

Dyah Pusparini (19-123)

Ijin bertanya:

Mengapa pemberian dextrose 40% dan dextrose 5% masih diberikan padahal kadar glukosa darah
sewaktu pasien pada tanggal 20/09 sudah mencapai 112 (normal)?

Jawab : saya lisa nim 19-111 dari kelompok 3 ingin menjawab pertanyaan rini Untuk dextrose yg 40 %
dan dextrose 5 % pada tanggal 18 september setelah dilakukan pengecekan kadar gulanya masih pada
nilai 71 kemudian tanggal 19 diberikan lagi dextrose 40 % kemudian dilakukan pengecekan lagi dan
didapat GDA 60 jadi pada tanggal 20 di berikan lagi dextrose nya dan kemudian dilakukan pengecekan
lagi dan di dapat nilai GDA 112 jadi terapi dextrose dihentikan pada tanggal 20

terimakasih jawabannya. pemberian dextrose 40% dan 5% apakah memang harus dikombinasi?
mengapa tidak digunakan salah satunya saja?
Mbak Rini ingat materinya pak Aang kapita selekta kombinasi dextrose 5 persen dan 40 persen
digunakan untuk membuat dextrose 12,5 persen karena itu sediaan yang biasa diminta dokter untuk
TPN

Untuk pemberian dextros sebenarnya dari kasus sudah jelas diberhentikan. Dan memang karena kadar
gula darahnya sudah normal di hari tanggal 20 jdi dextrose diberhentikan.

Himawan 19-127

Iya harus kalo pakai 40% aja itu bisa jadi pasien mengalami hipoglikemia refraktori .. yaitu kegagalan
pasien dalam Mempertahan kan glukosa darah .

Baik, terimakasih atas kesempatannya. Nama saya tiyas nim 19-131 ingin bertanya. Pasien mengalami
gatal dan di berikan 3 terapi pengobatan antihistamin dan 2 topikal. Apakah terapi tersebut efektif
untuk pasien? Sedangkan selama terapi, gatal yg dikeluhkan pasien belum teratasi sampai pasien keluar
rs. Dan saat pulang pun, pasien menerima antihistamin dan topikal yang sama. Dan jugaterkait terapi
non farmakologi. Di kelompok anda belum ada terapi non farmakologi yg disarankan untuk pasien
sebagai terapi penunjang untuk menjaga agar progresifitas penyakit pasien tetap terkontrol sedangkan
saat krs pasien mendapat obat hanya untuk 3 hari. Menurut anda terapi non farmakologi apa yg perlu di
berikan pada pasien? Terimakasih

Terima kasih moderator, saya nur alfi 19-105

Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan gatal – gatal salah satu contohnya infeksi virus hepatitis
(Aisah dkk., 2010). Gatal – gatal ini dapat ditangani dengan pemberian topikal kotikosteroid,
antihistamin, dan pelembab kulit. Pemberian topikal kortikosteroid sangant efektif jika ada lesi
dermatologis. Topikal kortikosteroid ini mengurangi inflamasi, yang mana membantu menenangkan
atau mengurangi daerah terindikasi. Penggunaan sistemik antihistamin merupakan terapi antipriuretik
yang efektif. Pengaplikasian pelembab kulit berguna untuk menagani pruritus karena kulit kering.
Sehingga penggunaan ceterizine, topikal desoximetason, dan soft u dream merupakan terapi kombinasi
yang tepat untuk menangani gatal – gatal dan kulit yang berwarna hitam pada kodakimble hal 936 - 937.

saya berylian arief nim 19-115, dari hasil diskusi kelompok 3, untuk terapi non farmakologi berupa Baju
harus yang lembut dan ringan, Katun lebih diutamakan, Kain wool dan sintetis berat harap dihindar.
Panas harap dihindar. Suasana ruangan harus terventilasi baik, sejuk, rendah di kelembaban, Kulit harus
tetap lembab dengan pengaplikasian emolient, dan lain-lain bisa dilihat pada kodakimble halaman 937.

Tapi sampai tanggal 21 sehari sebelum pasien krs. Masih ada keluhan gatal, bagaimana?

saya nur alfi 19-105, jadi selama infeksi virus hepatitis ada, maka gejala gatal - gatal dan kulit hitam itu
ters ada, maka dari itu terapi kombinasi tersebut masih diteruskan hingga KRS.

erimakasih atas kesempatannya.

Saya indira afandi nim 19-165 ingin bertanya kepada kelompok 4, terkait tanggapan dari Adelia.

Saya ingin menanyakan kira-kira atas dasar apa ya furosemid ditingkatkan dosisnya menjadi 80 mg
dengan interval yg disebutkan sampai dengan maksimal dosis 400 mg. Apakah tidak menyebabkan
pasien hipokalemi? Terimakasi sebelumnya.
Jawab : Saya adelia nim (19-21) dari kelompok 4 mencoba menjawab pertanyaan dari indira sebelumnya
kami mohon maaf untuk dosis maksimal dari furosemid sebesar 160mg perhari dengan frekuensi
pemakaian 20-40mg interval 6-8 jam, yang saya tulis tadi keliru dengan spironolakton, maaf
sebelumnya🙏

Terimakasih atas kesempatannya, Saya silvia nurul maulidha Nim 19-161 ingin bertanya: Pertimbangan
apa yang kelompok anda gunakan dalam penggunaan antibiotik selain tadi kelompok 1 menjelaskan
bahwa pertimbangan nya pada EBM RS, apakah ada selain hal tersebut yang dapat menjadi
pertimbangan dalam penggunaan antibiotik pada pasien sirosis hepatik?

Kemudian apakah ada factor yang menyebabkan GDA pasien dibawah normal? dan pada kasus pasien
masih diberiakan terapi sedangkan GDA nya makin membaik, bagaimana pendapat kelompok anda,
terimakasih.

Saya Yolanda Ry 19-145 ingin bertanya. Pada terapi SBP dituliskan ceftriaxone dengan DRP terapi tdk
efektif, akan tetapi di plan nya tetap dilanjut, dan di monitoring diganti dengan cefotaxime. Tolong
dijelaskan, mengapa tidak langsung diganti dg cefotaxime saja di awal?

Saya menjawab pertanyaan dari Yolanda. Mohon maaf untuk plannya dihentikan, tetapi di SOAP kamu
lupa mengganti kalau terapinya dihentikan, karena kesalahan pengetikan. Mengacu ke Dipiro Ed 7, hal
43, antibiotik lini pertama untuk SBP yang digunkan atau di rekomendasikan adalah Cefotaxime.
Terimakasih

Saya Anjas Setya nim 19-37, Ingin menambahkan jawaban untuk pertanyaan yolanda. Jadi penggunaan
PPI yakni Omeprazole dalam pengobatan ini menurut Deshpande dkk., (2013) menyebutkan bahwa

penggunaan obat penekan sekresi asam dapat

meningkatkan terjadinya infeksi SBP sebesar 3x. Sehingga hal ini dapat memperparah keadaan pasien
yang diawal telah di diagnosa Susp. SBP. Sehingga menurut saya, penggunaan Omeprazole menjadi
salah satu faktor DRP penggunaan ceftriaxone tidak efektif. Plan nya penggunaan Omeprazole
dihentikan agar terapi pengobatan dapat efektif dan SBP tidak semakin parah. Terimakasih

terimakasih atas kesempatannya, Saya silvia nurul maulidha Nim 19-161 ingin bertanya: Pertimbangan
apa yang kelompok anda gunakan dalam penggunaan antibiotik selain tadi kelompok 1 menjelaskan
bahwa pertimbangan nya pada EBM RS, apakah ada selain hal tersebut yang dapat menjadi
pertimbangan dalam penggunaan antibiotik pada pasien sirosis hepatik?

Saya Al kautsar nim 19-112 akan menjawab pertanyaan dari silvia.

1. Berdasarkan antibiotik yang kami gunakan, kami mengacu ke Dipiro Ed 7, bahwa antibiotik lini
pertama untuk sirosis hati yang digunakan atau di rekomendasikan adalah Cefotaxime.

2. Terkait GDA pasien dibawah normal dikarenakan kegagalan fungsi hati dalam metabolisme
glukosa, sehingga hati tidak dapat melepaskan glikogen yang menyebabkan pasien mengalami
hipoglikemi. Terapi masih dilanjutkan untuk mempertahankan glukosa darah pada pasien

Terimakasih
Saya devi rusvita (19-109) kelompok 2, berdasarkan diskusi kami penggunaan antibiotik pada sirosis hati
pada kasus tersebut menimbang dari diagnosis awal bahwa pasien susp. SBP, maka diperlukan terapi
antibiotik golongan sepalosporin. Pengobatan dengan antibiotik ini dapat diberikan kepada pasien
dengan komorbid SBP. Terima kasih

saya Abd. Rahman akuba nim 192211101104 ingin menambahkan jawaban berdasarakn KASL clinical
practice guidelines for liver cirrhosis:

Ascites and related complications menemukan bahwa antibiotik cepalos[orin golongan 3 terbukti secara
empirirs efektif pada pasien suspect SBP

Saya M. Febrian B (19-107) baik antibiotik disini hanya antibiotik empirik yang diberikan kepada pasien
ketika ada suspect SBP

Di Dipiro 10 ada kalimat cefotaxime 2g every 8 hours or a similar third generation cephalosporin is
considered the drug choice for SBP

Empiric therapy should not be delaywd while awaiting culture results

Jadi untuk menentukan antibiotik itu efektif atau nggak perlu dilihat dari hasil kultur

Studi dari Jefferson Spontaneous Bacterial Peritonitis A Review of

Treatment Options mengatakan bahwa pada tahun 2000, The International Ascites

Club menerbitkan dokumen untuk diagnosis, manajemen dan profilaksis dari

SBP. Salah satu literatur menyarankan antibiotik yang dapat digunakan untuk

pengobatan empiris adalah Sefalospotin generasi III seperti Ceftriaxone. Dalam

beberapa penelitian, antibiotik Ceftriaxone menunjukkan keberhasilan pada

tingkat yang sama, mulai dari 77% sampai 93%. Franca et al meneliti khasiat

terapi ceftriaxone untuk terapi SBP, tiga puluh tiga pasien mendapat terapi

Ceftriaxone 1 g setiap 12 jam minimal selama lima hari. Infeksi dianggap sembuh

ketika semua tanda-tanda infeksi menurun dan cairan asites mengandung PMN di

bawah 250 sel/mL. 94% pasien mencapai keberhasilan setelah terapi. Seorang

peneliti berkomentar tidak hanya pada keberhasilan yang luar biasa dari

Ceftriaxone tetapi juga pada jumlah penurunan PMN cairan asites untuk

membantu dalam menetapkan durasi terapi antibiotik (Alaniz and Regal, 2009)

A 5 day course of antibiotic therapy ia efficacious as 10 days therapy ( ini untuk sefalosporin) di Dipiro 10
hal 1691
Kemudian apakah ada factor yang menyebabkan GDA pasien dibawah normal? dan pada kasus pasien
masih diberiakan terapi sedangkan GDA nya makin membaik, bagaimana pendapat kelompok anda,
terimakasih.

Kesimpulan.

Untuk pemilihan antibiotikanya menurut dipiro bisa diberikan golongan sefalosporin generasi 3 atau
ofloksasin oral. Pada pasien ini dipilih ceftriakson (sefalosporin gen 3). Pemilihan ini bisa berdasdarkan
peta medan kuman yg ada dirumah sakit tersebut dan sensitifitasnya. Apakah bisa diberikan sefotaksim?
Sebenarnya bisa2 saja karena sama2 sefalosporin generasi 3.

Kombinasi spironolakton dan furosemide dipilih supaya ESO hyperkalemia akibat penggunaan
spironolakton alone bisa dihindari. DOsis yg diberikan mulai dari dosis terkecil sampai maksimal ya,
dengan memperhatikan kondisi klinis pasien dan laboratoriumnya.

Plasbumin dan VIP albumin diberikan akibat kondisi hipoalbuminnya (BPJS dapat asal kadar albumin <
2,5 mg/dl (kalau ndak salah syaratnya ini, bisa dicek lagi fornasnya). Hipoalbumin ini terkait dengan
gangguan hepar sebagai tempat sintesis albumin, sehingga ya heparnya juga harus disembuhkan dulu
supaya kadar albumin ada dalam rentang normal.

Antiviral yg bisa diberikan :


Jadi lamivudine masih bisa diberikan, dengan monitoring HbeAg status dan klo bisa dicek HBV Viral
Loadnya.

Propanolol tetap diberikan untuk mengontrol hipertensi portalnya. Monitoring TD dan Nadi

Pemberian dextrose 40% untuk mengatasi kondisi hipoglikemianya, sedangkan yg 5% untuk


maintenance. Jadi tidak ada hubungannya dengan TPN sebenarnya. Monitoring kadar gula darah. Ingat
juga pada pasien ini mungkin ada penurunan nafsu makan (nanti klo sudah di RS bisa dicek makanan yg
disediakan RS dihabiskan atau tidak). GDA membaik tapi dia masih dapet asupan glukosa? Cek berapa
kadar glukosa yg diberikan 40%, 10% atau 5%. Jika yg diberikan kadar 10 atau 5 itu berfungsi sbg
maintenance.
GDA bisa turun akibat beberapa factor, yg pertama intake yg kedua karena fungsi hepar terganggu. Inget
hepar juga menjadi tempat glukuneogenesis (tempat mengubah glikogen menjadi glukosa).

Untuk gatal yg dialami pasien juga bisa terjadi akibat tingginya lkadar urea dalam darah (urea itu jika
kadarnya tinggi bisa menyebabkan Hepatic ensefalopati dan gatal2 di kulit). Knp treatmentnya oral dan
topical, jawabannya mungkin dnegan oral dia tdk teratasi sehingga ditambahkan topical. Knp topikalnya
ada kortiko dan urea? Jawabannya itu obatnya pasti dioleskan di lokasi kulit yg berbeda.

Untuk obat KRS jatah BPJS adalah 3 hari, makanya pasien harus control ketika obatnya mau habis.

Anda mungkin juga menyukai