Rhinitis Alergi
Pembimbing:
dr. Afif Zjauhari, Sp. THT-KL
Disusun oleh:
Alifa Puspita Pramasari
30101507367
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTANAGUNG
SEMARANG
2019
Lembar Pengesahan
Laporan Kasus
Telah Didiskusikan Tanggal :
Pembimbing:
dr. Afif Zjauhari, Sp. THT-KL
Mengetahui
I. IDENTITAS PENDERITA :
Nama Lengkap : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki - laki
Umur : 37 Tahun
Alamat Lengkap : Bermi 01/02 Mijen, Demak
Pekerjaan : Wiraswasta
No. RM : 809-473
3. Tenggorok
Pemeriksaan Rutin Umum Tenggorok
Mukosa Buccal merah muda
Ginggiva merah muda
Gigi-geligi Tidak ada caries
Palatum Durum & Palatum Molle merah muda
Lidah 2/3 anterior merah muda, ulkus (-), stomatitis (-)
Pemeriksaan Tonsil
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Kripta Melebar (-) Melebar (-)
Permukaan Rata Rata
Detritus (-) (-)
Warna Merah muda Merah muda
Fixative (-) (-)
Pilar anterior Merah muda Merah muda
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Orofaring
Arkus faring simetris, hiperemis (-)
Palatum merah muda
Mukosa merah muda
Dinding posterior faring hiperemis (-), rata, granular (-), post nasal drip (-)
VII. DIAGNOSIS
Rinitis Alergi
VIII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
Hindari paparan dengan allergen Memakai masker untuk
mengurangi paparan debu
Medikamentosa
- Anti Histamin
Ex : Cetirizine 10 mg Tab 1 S.1.d.d
- Dekongestan
Ex : Pseudoephedrine 60 mg Tab 1 tiap 4-6 jam. Dosis
max 240 mg/hari
- Anti Kolinergik
Ex : Ipratropium Bromide 42 mcg Nasal Spray 2-3
kali/hari
- Kortikosteroid Topikal
Ex : Budesonide 100 mcg spray 1x semprot 2x/hari
IX. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad bonam
- Ad functionam : Dubia ad bonam
- Ad sanationam : Dubia ad bonam
X. KOMPLIKASI
Sinusitis
Polip Hidung
Otiti Media Serosa
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
RHINITIS ALERGI
a. Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE
(WHO ARIA, 2001)
b. Patofisiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
a. Alergen Inhalan
Yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel, dan bulu binatang, serta jamur.
b. Alergen Ingestan
Yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan, udang, dll.
c. Alergen Injektan
Yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
d. Alergen Kontaktan
Yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.
Dengan adanya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari :
a. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non-spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
b. Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3
kemungkinan, yaitu sistem imunitas seluler atau humoral atau
keduanya di bangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, reaksi berlanjut dengan respon tersier.
c. Respons tersier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma)
membagi berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
Tahap Sensitisasi
Alergen masuk diterima APC (makrofag/monosit) setelah
diproses oleh APC Antigen membentuk fragmen-fragmen pendek peptide
& bergabung dengan HLA II yang berada pada permukaan sel APC
dipresentasikan ke sel Th0.
Kemudian APC akan melepas sitokin (IL 1) mengaktifkan Th0
untuk proliferasi menjadi Th1 / Th2
Catatan : bila pajanan bersifat sitotoksik Th1
Bila alergen / cacing berarti Th 2
Karena ini merupakan reaksi alergi, yang dibentuk adalah Th2
Th2 mengeluarkan sitokin (IL 3, IL 4, IL 5,dan IL 13) IL 4 & IL 13
akan berikatan dengan reseptor di permukaan limfosit B mengaktifkan
limfosit B Limfosit B memproduksi IgE masuk ke sirkulasi
masuk ke jaringan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaan sel
mastosit/basofil sel mast dan basofil menjadi aktif menghasilkan sel
tersensitisasi.
Tahap Provokasi / Reaksi alergi
Ada 2 jenis, yaitu RAFC (yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan RAFL (yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai
24-48 jam.
Apabila mukosa yang sudah tersensitisasi terpajan alergen yang
sama alergen akan berikatan dengan sel mast/basofil pada reseptor IgE
spesifik menyebabkan degranulasi sel. Degranulasi sel mast ini
menghasilkan berbagai mediator kimia (histamin, prostaglandin D2, LT
D4). Mediator yang terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan
kelenjar mukosa dan goblet mengalami hipersekresi, sehingga hidung
beringus. Efek lainnya berupa gatal hidung, bersin-bersin, dan
vasodilatasi.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan
reaksi alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20
menit pasca-paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit
kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga melepas molekul-molekul
kemotaktik yang terdiri dari ECFA (Eosinophil Chemotactic Factor of
Anaphylactic) dan NCFA (Neutrophil Chemotactic Factor of
Anaphylactic). Kedua molekul tersebut menyebabkan penumpukan sel
eosinofil dan neutrofil di organ sasaran. Reaksi alergi fase cepat ini dapat
berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24
hingga 48 jam.
PADA RAFC
Sel mastosit memproduksi molekul kemotaktik akumulasi
sel eosinofil & neotrofil di jaringan target
PADA RAFL
Terjadi penambahan jumlah dan jenis sel-sel inflamasi
(eosinofil, neutrofil, limfosit, basofil, sel mast) di mukosa hidung
dan peningkatan sitokin dan sekret hidung yang meningkat (yang
mengandung ICAM-1).
FASE SENSITISASI
Kontak pertama dengan alergen makrofag/monosit sebagai APC menangkap
alergen antigen membentuk fragmen pendek peptida bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk kompleks MHC II Presentasi ke sel T helper
(Th0) APC melepas sitokin (IL 1) mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2 Th2 produksi sitokin IL3, IL5, IL14 Sel B aktif
memproduksi IgE IgE di sirkulasi dan berikatan di permukaan sel mast dan
basofil.
- Gambaran histologik
o Dilatasi pembuluh darah
o Pembesaran sel goblet dan sel kelenjar mukosa
o Pembesaran ruang interseluler
o Penebalan membran basal
o Infiltrasi sel-sel eosinofil pada mukosa dan submukosa hidung
o Persisten : proliferasi jaringan ikat, hiperplasia mukosa (irreversibel).
[Tahap sensitisasi] [Tahap reaksi alergi]
Degranulasi mastosit/basofil
Ditangkap oleh APC
Histamine
Antigen membentuk
fragmen pendek peptida
Merangsang reseptor H1 diujung saraf
vidianus
Peptide bergabung dg HLA kelas II
Rasa gatal pada hidung Vasodilatasi
Membentuk kompleks peptide
MHC kelas II Rangsang sel Bersin-bersin
mukosa dan sel Hidung
goblet tersumbat
Dipresentasikan pada sel Th0
Peningkatan permeab kapiler
Sel penyaji melepas sitokin
Rinore
IL-1
Aktivasi Lim B
Produksi IgE
IgE ke sirkulasi
Berikatan dg reseptornya
di sel basofil/mastosit
c. Diagnosis
Anamnesis :
- Gejala khas : bersin-bersin berulang, terutama pagi hari atau setelah paparan
debu
- Gejala lain : rinore encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
kadang lakrimasi
- Riwayat atopi dalam keluarga
Pemeriksaan fisik
- Rhinoskopi anterior : mukosa edema, basah, warna pucat, sekret encer dan
banyak. Bila persisten : mukosa hipertrofi.
- Nasoendoskopi : bayangan gelap di daerah bawah mata akibat stasis vena
sekunder karena obstruksi hidung (allergic shiner).
Dapat ditemukan hal-hal berikut :
- Anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan (allergic
salute).
- Allergic crease : garis melintang pada dorsum nasi 1/3 bagian bawah akibat
bekas gosokan tangan anak.
- Facies adenoid : Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang
tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi.
- Cobblestone appearance : dinding posterior faring tampak granular dan edema
- Penebalan dinding lateral faring
- Geographic tongue : lidah seperti gambaran peta
Pemeriksaan penunjang
- In vitro :
o Hitung eosinofil darah tepi : dapat normal / meningkat
o IgE total : seringkali normal, kecuali jika terdapat bersamaan penyakit
alergi lain
o IgE spesifik dengan RAST (Radio Immunosorbent Test) / ELISA (Enzyme
Linked Immunosorbent Assay)
- In vivo :
o Mencari alergen penyebab (skin test, uji intrakutan atau intradermal tunggal
atau berseri (SET))
o Alergi makanan diidentifikasi dengan Intracutaneus Provocative Dilutional
Food Test (IPDFT) atau diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
d. Penatalaksanaan
a. Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya.
b. Simtomatis
- Medikamentosa
1. Antihistamin-1
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif).
1. Antihistamin generasi-1 : bersifat lipofilik, sehingga dapat me-
nembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara
lain difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.
Chlorpheniramin
1. Dewasa : 3-4x4mg/hari (max 24 mg/hari)
2. Anak-anak 6-12 tahun : 0,5 dosis dewasa
3. Anak-anak 1-6 tahun : 0,25 dosis dewasa
Topical (intranasal) Azelastin
Azelastin nasal spray (137 mcg per spray)
2. Antihistamin generasi-2 : bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergic, dan efek pada
SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan
cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons
fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk
mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin
non-sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai
efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan
repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ven-
trikel, henti jantung, dan bahkan kematian mendadak. Kelompok
kedua adalah loratadin, setirisin dan fexofenadin.
Cetirizine 1x10 mg/hari
Loratadine 1x10 mg/hari
2. Dekongestan oral
Ephedrine 3-4 x50 mg
Phenylpropanolamine 3-4x 25 mg
Pseudoephedrine 3-4x60 mg
3. Dekongestan topical (intranasal)
Oxymethazoline tetes hidung 1-3 x 2-3 tetes larutan 0,05% (HCl) di setiap
lubang hidung.
4. Kortikosteroid topikal (intranasal)
Dipilih apabila gejala utama sumbatan hidung akibat respon fase lambat
tidak berhasil diatasi. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan
triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik
dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma.
Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap
rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat).
Triamnicolone acetonide nasal spray 220 mcg/hari (2 semprotan tiap lubang
hidung sehari)
5. Antikolinergik topikal
Ipratropium bromide 3-4 x 0,4-2 ml/hari (3-4 x 2 semprot)
6. Imunoterapi
- Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau trikloroasetat.
e. Komplikasi
1) Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2) Otitis media
3) Sinusitis paranasal
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis
alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung sehingga menghambat drainase.