Anda di halaman 1dari 10

Syarat, rukun, prosedur, pencatatan, pencegahan serta pembatalan perkawinan

MAKALAH

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kiliah: Hukum Perdata Islam Di Indonesia

Dosen Pengampu :

Oleh :

Nofianto : (20170212002)

Melia Fajar Riani : (20170212001)

PROGRAM STUDI HUKUM SYARI’AH

FAKULTAS SOSIAL, EKONOMI DAN HUMANIORA


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA PURWOKERTO

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 UUNo. 1 Tahun 1974, Bahwa perkawinan
ialah ikatan lahir batin Antara seorang pria dn seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1
Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah
Pernikahan, yaitu akad yang kuat (mistaqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama
yaitu nikah Al-fasid dan nikah Al-batil. Al-jaziry ada yang menyatakan bahwa nikah
fasid iadlah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat-syaratnya, sedangkan nikah
batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun.
Secara sederhana pencegahan dapat diartikan dengan perbuatan menghalang-halamgi,
menahan, merintangi, tidak menurutkan sehingga perkawinan tidak dilangsungkan,
Pencegahan perkawinan dilakukan semata-mata karena tidak terpenuhinya syarat-
syarat perkawinan tersebut, akibatnya bias saja perkawinan tersebut akan tertunda
pelaksanaanya atau tidak terjadi sama sekali, terlepas dari persoalan pengaruh
mempengaruhi, baik pencegahan dan pembatalan semuanya bermuara untuk
menghindarkan perkawinan yang terlarang, muara yang dituju adalah dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan bagi semua pihak.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah mengenai pencegahan dan pembatalan
perkawinan, maka dirumuskan masalah identifikasi permasalahan sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud pembatalan perkawinan?
b. Apa yang dimaksud pencegahan perkawinan?
c. Apa saja syarat pencegahan dan pembatalan perkawinan?
d. Aapa saja prosedur pencatatan pencegahan dan pembatalan perkawinan?
B. PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
1. Pengertian pembatalan perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah
dilangsungkan akad nikah. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat/rukun untuk melangsungkan perkawinan. Pembatalan
perkawinandapat dilakukan dengan syarat bahwa sebelumnya terlah terjadi
perkawinan, hal ini dapat disebutkakn baahwa perkawinan itu masih memiliki wujud.
Selain itu yang dibatalkan adalah “hubungannya”, yang disini benar-benar wujud
hubungan itu terlihat secara fisik dan belum terputus/setelah putus. diketahui terdapat
syarat-syarat yang tidak terpenuhi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 22
mengatakan “Perkawinan dapat dibatalkan apabbbila para pihak tidak memenuhi
syarat-syaraat untuk melangsungkan perkawinan”.
Abd al-Rahman al-Juzairy menyatakan dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-
Arba’ah:
“Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syaratnya,
sedang nikah bathil ialah apabila tidak memenuhi rukunya. Hukum nikah fasid dan
bathil adalah sama yaitu tidak sah”.
Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad tersebut
ssudah terpenuhi syarat serta rukunnya, jika suatu perkawinan kurang salah satu
syarat maupun rukunnnya maka akad tersebut dianggap tidak sah, jika y, ang tidak
terpennuhi salah satu rukunnya, akad tersebut adalah batal, adapun jika yang tidak
terpenuhi adalah salah satu dari syaratnya maka akad nikah tersebut dianggap fasid.
Dengan mengemukakan jenis perkawinan yang dapat dibatalkan, kompilasi lebih
sistemstis dari pada Undang-Undang Perkawinan. Pasal 70 dan 71 KHI mengatur
masalah ini, sementara dalam Undang-undang Perkawinan, diatur dalam pasal 22, 24,
26, Pasal 23 mengatur tentang pihak yang dapat mengajukan pembatalan, dan Pasal
25 tentang tempat dimana upaya hokum pembatalan tersebut diajukan.
Faktor-faktor Pembatalan PerkawinanFasak/batalnya perkawinan bias terjadi karena
tidak terpenuhinya syarat-syaratketika berlangsung akad nikah, yaitu:
a. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan saudara
kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b. Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikaholeh selain ayahatau
datuknya, Kemudian setelah dewasa ia berhak meneeruskan ikatan
perkawinanya dahhulu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar
baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut
fasakh baligh.
Atau karna hal-hal lain yang dating kemudian dan membatalkan
kelangsunganya perkawinan, yaitu:
a. Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari Islam dan tidak
mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan
yang terjadi belakangan.
b. Jika yang suami tadinya kafir masuk Islam, tetpi istri masih tetap dalam
kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal. Lain
halnya kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula.
Sebab perkawinanya dengan ahli kitab darisemulanya dipandang sah.
Dalam Pasal 38 ini menyatakan tentang tata cara dalam pembatalan
perkawinan:
1) Pemohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-
pihak yang berhak mengajukannya kepada pengadilan daerah
hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau
ditempat tinggal suami-istri, suami atau istri.
2) Tata cara permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai
dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.
3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan pemeriksaan dan
putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut
dalam pasal 20 pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.
2. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan ialah usaha usaha untuk membatalkan perkawinan sebelum
perkawinan itu berlangsung. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghundari
suatu perkawinan yang dilarang hukum agama dan kepercayaan serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila
calon suami/calon istri yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Selain itu pencegahan perkawinan dapat pula dilakukan apabila salah
dari seorang mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan
tersebut nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainya
Ada dua syarat penting yang apabila tidak terpenuhi, perkawinan dapat dicegah.
Pertama, syarat materil, dan kedua syarat administratife. Syarat-syarat materil
perkawinan telah dibahas di muka (Bab VI Pencatatn Perkawinan dan Akta Nikah,
dan VII tentang Larangan Perkawinan). Seperti yang dimuat dalam Pasal 8 UU No. 1
Tahun 1974.
Agar di dalam upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan,
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi mengatur siapanyang berhak untuk
mengajukan pencegahan tersebut. Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan:
a. Yang dapat mencegah perkawinan ialah keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dank e bawah, saudara, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
b. Memeriksa yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada
di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainya, yang
mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1)
pasal ini.
Kompilasi Hukum Islam pada prinsipnya menguatkan apa yang telah
ditegaskan dalam UU Perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 62 ayat (2)
menambahkan “Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya
sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewalianya untuk mencegah
perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain”.
Dalam Pasal 14 sampai 16 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan siapa-
siapa yang berhak mengajukan pencegahan perkawinan, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
salah seorang calon mempelai.
b. Saudara dari salah seorang calon mempelai
c. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.
d. Wali dari salah seorang calon mempelai.
e. Pengampu dari salah seorang calon mempelai.
f. Pihak-pihak yang berkepentingan.
g. Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai.
h. Pejabat yang ditunjuk, yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan.

Prosedur pencegahan perceraian

a. Pemberitahuan kepada PPN setempat.


b. Mengajukan permohhonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.
Apabila pencegahan dilakukan oleh PPN, caranya seperti diatur dalam pasal 17,
diberikan dalam suatu keterangan tertulis disertai dengan alasan-alasan penolaknya,
apabila pihak-pihak yang ditolak rencana perkawinannya mengajukan keberatan, mereka
mengajukan kepada pengadilan agama seperti diatur dalam pasal 69 ayat (3) dan (4) KHI
Jo. Pasal 21 ayat (3) dan (4).

Anda mungkin juga menyukai