Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tuntutan dalam perwujudan good governance di Indonesia yang

semakin meningkat berimplikasi pada sistem pengelolaan keuangan secara

akuntabel dan transparan. Salah satu perubahan yang diinginkan adalah

perubahan di bidang akuntansi pemerintahan. Pemerintah sudah seharusnya

meningkatkan kualitas laporan keuangan, salah satunya dengan cara

mengoptimalkan aparat pengawas pemerintah, yaitu inspektorat. Dengan

adanya peran optimal yang dijalankan inspektorat maka perubahan di bidang

pengelolaan keuangan pemerintah daerah dapat terwujud, sehingga praktik-

praktik kecurangan dapat berkurang (Rendika, 2013).

Menurut Rahayu (2014) :


Good Government Governance adalah penyelenggaraan pemerintahan
negara yang solid dan bertanggung-jawab, serta efisien dan efektif, dengan
menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara dominan-dominan
pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat yang saling berhubungan dan
menjalankan fungsinya masing-masing. Dalam melakukan tugasnya,
inspektorat tidak boleh memihak kepada siapapun, inspektorat memiliki
wewenang penuh untuk memeriksa dan mengamati setiap bagian dalam
pemerintahan, sehingga dalam melaksanakan kegiatannya inspektorat
dapat bertindak sesubjektif dan seefektif mungkin.

Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk

mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita cita bangsa dan

Negara. Dalam hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem

pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga dalam

penyelanggaraan pemerintah dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil

guna, bertanggung jawab serta bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

1
2

( Sedarmayanti,2004).

Menurut Sharani (2014) :


Konsep good governance merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh
sektor public khususnya adalah oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah
Daerah dalam praktek penyelanggaraan pemerintah, pembangunan dan
pelayanan publik, harus diiringi dengan penerapan prinsip good
governance (Kepemerintahan atau tata pemerintah yang baik).Good
Governance merupakan proses penyelanggaraan kekuasaan dalam
menyediakan barang dan jasa public ( Publics goods dan service). Prinsip-
prinsip good governance antara lain adalah prinsip efektivitas
(effectiveness), keadilian (equity), partisipasi (participation), akuntabilitas
(accountability), dan transparansi (transparency).
Good governance telah menjadi isu sentral, dengan adanya era globalisasi

tuntutan akan penyelanggaraan pemerintahan yang baik adalah suatu keniscayaan

seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat. Tata pemerintahan yang

baik dalam kontesknya merupakan suatu kesepakatan menyangkut pengaturan

Negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani dan swasta.

Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu dibangun dialog antara

pelaku-pelaku penting dalam Negara, agar semua pihak merasa memiliki tata

pengaturan tersebut. Tanpa kesepakatan yang dilahirkan dari dialog, kesehjateraan

tidak akan tercapai karena aspirasi politik maupun ekonomi rakyat pasti

tersumbat. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah bahwa

masyarakat dapat menilai dan memilih, bahkan meminta jasa layanan yang lebih

baik.

Penyelengaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut

keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan

birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelanggara pemerintahan yang

baik adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan

pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan


3

yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik

yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi

daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur

dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik, dengan

berlandaskan karakteristik yaitu Partisipasi, Akuntabilitas, dan Transparansi

(Dukusiam, 2011)

Pada Peraturan Pemerintah (PP) 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi

Keuangan Daerah yang telah melakukan perubahan dengan Peraturan

Pemerintah No. 65 Tahun 2010 dimana pemerintah telah menerapkan sistem

tersebut diharapkan dapat membantu kepala daerah dalam mewujudkan

akuntabilitas pemerintah daerah menuju pemerintahan yang baik atau Good

Government Governance. Implementasi Good Government Governance dalam

pemerintahan secara sederhana adalah menerapkan prinsip Good Government

Governance ke dalam sistem dan pengelolaan pemerintahan daerah dengan baik

dan benar. Karena apabila dihubungkan dengan kedua pemahaman tersebut, maka

seharusnya sistem informasi keuangan daerah merupakan solusi bagi pemerintah

daerah untuk mempertanggungjawabkan aktivitasnya kepada masyarakat.

Karena dalam sistem informasi keuangan daerah diatur bagaimana informasi

pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah harus dibuat untuk di

informasikan kepada masyarakat.

Menurut Widuri (2012) :


Untuk mencapai pemerintah yang ideal, tentu praktik GGG perlu
diterapkan dalam setiap aspek ke pemerintahan, tidak terkecuali masalah
keuangan. Empat prinsip dalam GGG menurut Organization for Economic
Cooperation and Development diantaranya keadilan, tranparansi dapat
dikontrol dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan bantuan SIKD
4

karena SIKD memiliki fungsi seperti dikemukakan oleh salah satu


pegawai di Pemprov bahwa SIKD merupakan alat pertanggungjawaban
dimana salah satunya untuk mengevaluasi laporan keuangan dengan
efisien dan efektif dimana sesuain dengan tujuan dari GGG.

Salah satu faktor penting dalam good governance adalah praktik

akuntansi public pada instansi pemerintah. Pemerintah diwajibkan bertanggung

jawab dan terbuka kepada masyarakat (public) dalam penyampaian laporan

keuangan pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan good governance Pemerintah

Pusat memberikan otonomi kepada Pemerintah Daerah. Di dalam UU No.32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi daerah adalah hak-hak

wewenang dan kewajiban daerah untuk mengaturdan mengurus rumah tangganya

sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku ( Pregiwa, 2012)

Otonomi daerah membutuhkan peningkatan kualitas pengelolaan

pemerintah daerah yang baik atau dikenal dengan istilah Good Government

Governance. Dengan diterapkannya prinsip-prinsip maupun karakteristik dari

Good Government Governance diharapkan dapat memperbaiki kinerja pemerintah

daerah dalam menjalankan roda pemerintahan daerah. Salah satu fungsi dari

pemerintahan adalah fungsi pelayanan masyarakat. Kinerja pemerintah yang

optimal pada akhirnya harus dapat menciptakan kepuasan masyarakat atas

pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kepuasan ini menjadi salah satu

landasan kepercayaan (trust) masyarakat terhadap legitimasi pemerintahan yang

ada.

Menurut Pratolo (2001) :


Good Goverment Governance diterapkan untuk berusaha menjaga
keseimbangan di antara pencapaian tujuan pemerintahan dan tujuan
masyarakat. Tantangan dalam Good Government Governance adalah
mencari cara untuk memaksimalkan penciptaan kesejahteraan masyarakat
5

sedemikian rupa sehingga tidak membebankan semua biaya yang patut


kepada masyarakat luas, dengan demikian perlu adanya penerapan prinsip-
prinsip Good Government Governance. Pemerintah dapat dikatakan baik,
jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan indikator kemampuan
ekonomi rakyat meningkat baik dalam aspek produktivitas maupun dalam
daya belinya, kesejahteraan spiritualitasnya terus meningkat dengan
indikator rasa aman, tenang, dan bahagia serta sense of nationality yang
baik.
Dalam Rencana Strategis Inspektorat Jawa Tengah , 2013 – 2018, guna

mewujudkan peningkatan dan pelayanan kesejahteraan masyarakat dibutuhkan

tatanan sistem pemerintahan yang baik (good governance) yang mampu

menerapkan prinsip – prinsip profesionalitas, akuntabilitas, tranparansi,

pelayanan prima, demokrasi, efesiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat

diterima oleh seluruh masyarakat.

Fenomena yang terjadi di Indonesia penyebab kurang berhasilnya good

governance adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap budaya

organisasi.Hal ini seperti dikemukakan Effendi (2005) yang menyatakan salah

satu penyebab kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung

penyelenggaraan tata pemerintahan yang amanah dan baik karena pemerintah

tidak menaruh pehatian yang serius terhadap perubahan budaya organisasi.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa budaya organisasi memainkan peran penting

di dalam penyelenggaraan tata pemerintahan yang amanah dan baik.

Salah satu indikator masih buruknya tata kelola pemerintahan (poor

governance) dalam suatu negara adalah tingginya kecurangan korupsi. Eksistensi

korupsi menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Hasil

dari Corruption Perception Index menyebutkan bahwa tahun 2012, skor Indonesia

adalah 32, pada urutan 118 dari 176 negara yang diukur. Indonesia sejajar
6

posisinya dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir dan Madagaskar,

sedangkan di kawasan ASEAN, posisi Indonesia berada di peringkat 6 dari 8

negara, berada di bawah Singapura, Brunei Darusallam, Malaysia, Thailand,

Filipina, dan diatas Vietnam dan Myanmar. Hal itu menunjukan bahwa Indonesia

lebih korup dibandingkan dengan 8 negara ASEAN tersebut (www.ti.or.id) .

Tabel 1. 1 Peringkat Korupsi Di Beberapa Negara Asia Tenggara Tahun 2012

Negara Skor CPI Peringkat


Singapura 87 5
Brunei Darussalam 55 46
Malaysia 49 54
Thailand 37 88
Filipina 34 108
Indonesia 32 118
Vietnam 31 123
Myanmar 15 172
Sumber: Transparancy International 2012

Skor 32 menunjukan bahwa Indonesia masih belum dapet keluar dari

situasi korupsi yang sudah mengakar. Hal ini menunjukan bahwa masih lemahnya

penerapan good government governance di Indonesia.

Berdasarkan beberapa kasus mengenai lemahnya sistem pengendalian

intern pemerintahan Kota Tasikmalaya yang diperoleh dari Ihktisar Hasil

Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2011-2014 diperoleh informasi

sebagai berikut :
7

Tabel 1.2
Daftar Kelompok Temuan Menurut Entitas Pemeriksaan Laporan
Keuangan Pemerintah Kabupaten Purwakarta

Kelemahan Sistem Pengendalian Intern


Kelemahan Kelemahan
Kelemahan Sistem Struktur
Total Sistem Pengendalian
Entitas Tahun Pengendalian
Pengendalian Pelaksanaan Intern
Akuntansi dan Anggaran
Pelaporan Pendapatan dan
Belanja
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Kasus Kasus Kasus Kasus
2011 7 4 3 -
Kab. 2012 17 7 8 2
Purwakarta 2013 13 8 4 1
2014 11 5 3 3
(Sumber: IHP BPK RI, 2010-2014)

Berdasarkan informasi pada tabel 1.2 di atas bahwa dari hasil pemeriksaan

Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2011-2014 pada Kabupaten Purwakarta

menunjukan jumlah kasus yang masih tinggi mengenai kelemahan sistem

pengendalian intern yang belum berjalan optimal. Lemahnya sistem pengendalian

internal yang paling banyak kasus lebih banyak terjadi pada kelemahan sistem

pengendalian akuntansi dan pelaporan dan kelemahan sistem pengendalian

pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja. Pada umumnya kasus-kasus

kelemahan sistem pengendalian intern yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal

yaitu sebagai berikut :

1. Kelemehan Sistem Pengendalian Akuntansi dan Pelaporan

a. Pencatatan tidak/belum dilakukan atau tidak akurat

b. Proses penyusunan laporan tidak sesuai ketentuan

c. Sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai


8

d. Entitas terlambat menyampaikan laporan keuangan

e. Sistem informasi akunatansi dan pelaporan belum didukung SDM

yang memadai

2. Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja

a. Perencanaan kegiatan tidak memadai

b. Penyimpanan terhadap peraturan perundang-undangan bidang teknis

tertentu atau ketentuan intern organisasi yang diperiksa tentang

pendapatan dan belanja

c. Penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan

berakibat hilangnya potensi penerimaan/pendapatan

d. Penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan

berakibat peningkatan biaya/belanja

e. Mekanisme pemungutan, penyetoran dan pelaporan serta penggunaan

Penerimaan Negara dan Hibah tidak sesuai ketentuan

f. Pelaksanaan belanja di luar mekanisme APBD

3. Kelemehan Struktur Pengendalian Intern

a. Entitas tidak memiliki SOP yang formal untuk suatu prosedur atau

keseluruhan prosedur

b. SOP yang ada pada entitas tidak berjalan secara optimal atau tidak

ditaati

c. Entitas tidak memiliki satuan pengawas intern


9

d. Satuan Pengawas Intern yang tidak memadai atau tidak berjalan

optimal

e. Tidak ada pemisahan tugas dan fungsi yang memadai

Berdasarkan kasus-kasus di atas yang diperoleh dari Ihktisar Hasil

Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2010-2014 menunjukan bahwa

kualitas audit kinerja sektor publik yang dilakukan oleh Inspektorat daerah

Purwakarta belum berjalan optimal, hal tersebut terlihat dari sistem pengendalian

intern yang masih banyak kelemahan. Dalam hal ini seharusnya Aparat

Inspektorat daerah Purwakarta yang berfungsi sebagai auditor internal di daerah

Kabupaten Purwakarta dapat mengevaluasi dan memberikan nilai tambah atas

sistem pengendalian intern agar dapat berjalan secara efektif dan efesien, namun

dari kasus di atas hal tersebut belum berjalan optimal. Dengan adanya beberapa

jumlah kasus yang masih terjadi terkait audit kinerja sektor publik mengenai

sistem pengendalian intern, menunjukan juga bahwa penerapan good goverment

governance di pemerintahan daerah Kabupaten Purwakarta masih belum optimal.

Fenomena selanjutnya pada Inspektorat Purwakarta dalam aspek

pelayanan publik menurut H.Dedi Mulyadi, SH Bupati Purwakarta (2013)

Inspektorat Purwakarta harus memperbaiki kinerja dari sisi administrasi dan tidak

memberikan rsiko serta resistansi yang tinggi yang berisiko menjadi masalah,

sehingga InspektoratPurwakarta dalam penguatan kinerja harus mengikuti gaya

BPK. (http://purwakartab.go.id/web2/tahun-2015-purwakarta-targetkan-wajar-

tanpa-pengeculian-wtp/)
10

Kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan

dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan (I Gusti Agung Rai, 2010).

Kinerja auditor Inspektorat Purwakarta ini dianggap lalai karena disinyalir

menggunakan anggaran dinas rangkap, yang tidak sesuai dengan aturan kerja

sehingga merugikan kas daerah sebesar Rp 154 juta. Karena kelalaian kinerja

auditor Inspektorat ini mengakibatkan Lembaga yang memiliki kewenangan untuk

melakukan pemeriksaan terhadap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di

lingkungan Pemkab Purwakarta ini dinyatakan wajib mengembalikan uang senilai

Rp 154 juta ke kas daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Jawa

Barat (Sumber : Garisnews.com, 2013). Agar kesalahan ini tidak terjadi lagi maka

diperlukan peningkatan kinerja auditor di Inspektorat Kabupaten Purwakarta agar

proses pengawasan internal berjalan dengan benar dan sesuai dengan aturan kerja

yang berlaku. Untuk menciptakan peningkatan kinerja auditor tersebut maka

seorang auditor dituntut untuk memiliki sikap profesionalisme dan komitmen

organisasi organisasi terhadap pekerjaannya.

Pada Inspektorat Kota Bandung dalam pemerintahan kita, menurut Badan

Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (2010 ) menyebutkan harus disadari bahwa

saat ini masih terdapat beberapa kelemahan dalam melakukan audit pemerintah di

Indonesia, Kelemahan pertama bersifat inheren sedangkan kelemahan kedua

bersifat struktural, Kelemahan pertama adalah tidak tersedianya indikator kinerja

yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah, kinerja auditor hanya

mengukur target sesuai yang ditetapkan misi organisasi dan tidak melihat sisi lain

yaitu kepuasan masyarakat. Kelemahan kedua adalah masalah kelembagaan audit


11

Pemerintah Pusat dan Daerah yang overlapping satu dengan lainnya. Sehingga

pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak efektif dan Pemerintahan di

Indonesia setidaknya harus mendapatkan perhatian yang cukup mendalam oleh

para praktisi dan akademisi dalam memecahkan masalah ini, menemukan bahwa

sumber daya sub bagian akuntansi masih kurang, pelatihan-pelatihan konsep

akuntansi juga masih sangat kurang sehingga mengakibatkan lack of knowledge

semakin besar (Jurnal Akuntansi Blog, 2010)

Pada Pemerintah Kota Bekasi pada Harian Radar Bekasi 15 Maret 2012

diberitakan pemeriksaan BPK atas kinerja Pemerintah Kota Bekasi yang buruk,

pembangunan daerah yang harus dilakukan tidak tentu arahnya. APBD sudah

disusun dan disetujui tapi pembangunan berjalan lamban, banyak pembangunan

yang belum diselesaikan tepat waktu dan tidak sesuai anggaran. Hal ini memicu

kecurigaan dari elemen masyarakat dan kemudian menuntut akuntabilitas publik.

Padahal sebagai Pemerintah Wilayah Kota, pasti Pemerintah Kota Bekasi

memiliki audit kinerja yang memadai. Seharusnya aparat pemeriksa intern

pemerintah dan menemukan masalah ini sebelum dilakukannya pemeriksaan oleh

BPK sehingga masalah seperti ini tidak terjadi. Bekasi sebagai wilayah kota yang

terhitung mapan dan aksesibilitas informasi kepada Pemerintah Pusat yang

mudah dilakukan. Namun akuntabilitas kinerja masih belum dapat dicapai

Pemerintah Kota Bekasi.

Auditor/pemeriksa terhadap pemerintah daerah adalah inspektorat daerah.

Menurut Falah (2005) (Effendi, 2010) inspektorat daerah mempunyai tugas

menyelenggarakan kegiatan pengawasan umum pemerintah daerah dan tugas lain


12

yang diberikan kepala daerah, sehingga dalam tugasnya inspektorat sama dengan

auditor internal. Audit internal adalah audit yang dilakukan oleh unit pemeriksaan

yang merupakan bagian dari organisasi yang diawasi.

Pengawasan bersifat membantu agar sasaran yang ditetapkan organisasi

dapat tercapai, dan secara dini menghindari terjadinya penyimpangan

pelaksanaan, penyalahgunaan wewenang, pemborosan dan kebocoran. Audit yang

merupakan salah satu bagian dari pengawasan, pada praktisnya terdiri dari

tindakan mencari keterangan tentang apa yang dilaksanakan dalam suatu instansi

yang diperiksa, membandingkan hasil dengan kriteria yang ditetapkan, serta

menyetujui atau menolak hasil dengan memberikan rekomendasi tentang

tindakan-tindakan perbaikan (Sukriah, 2009).

Terkait dengan proses pengawasan dan pemeriksaan atas pengelolaan

keuangan negara, di Indonesia proses tersebut dilakukan oleh seorang auditor

pemerintah terdiri dari Inspektorat Jendral Departemen, Satuan Pengawas Intern

(SPI) di lingkungan lembaga Negara dan BUMN/BUMD, Inspektorat Wilayah

Propinsi (Itwilprop), Inspektorat Wilayah Kabupaten/ Kota (Itwilkab/Itwilkot),

Badan Pengawas Keuangandan Pembangunan (BPKP) dan BPK (Badan

Pemeriksa Keuangan) yang merupakan lembaga pemeriksa eksternal yang

independen . (Mabbruri dan Winarna, 2010).

Fungsi auditor internal melaksanakan fungsi pemeriksaan internal yang

merupakan suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk

menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilakukan (Boynton dalam

Effendy, 2010). Dengan demikian auditor internal pemerintah daerah memegang


13

peranan yang sangat penting dalam proses terciptanya akuntabilitas dan

transparasi pengelolaan keuangan di daerah.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kekayaan negara yang dikelola

oleh pemerintah mencakup dana yang cukup besar jumlahnya.

Pertanggungjawaban atas penggunaan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan

seharusnya didukung dengan suatu pengawasan yang cukup andal guna menjamin

pendistribusian dana yang merata pada semua sektor publik sehingga efektivitas

dan efisiensi penggunaan dana bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini tertuang

dalam ketetapan Standar Audit – Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah

(SA–SAFP) tahun 1996oleh BPKP dengan keputusan Kepala BPKP No. Kep-

378/K/1996. SA-APFP secara garis besar mengacu pada Standar Profesional

Akuntan Publik (SPAP) yang berlaku di Indonesia. Penyelenggaraan auditing

sektor publik atau pemerintahan tersebut dilakukan oleh Badan Pengawasan

Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPKP merupakan suatu badan yang

dibentuk oleh lembaga eksekutif negara (presiden), yang bertugas untuk

mengawasi dana untuk penyelenggaraan pembangunan negara yang dilakukan

pemerintah dan bertanggung jawab atas tugasnya pada pemerintah juga ( Pujiono

dan Jati, 1996).

Dalam melaksanakan audit di sektor publik (pemerintahan) perlu

pembentukan suatu lembaga audit yang independen yang benar-benar mempunyai

integritas yang bisa dipertanggungjawabkan kepada pihak publik. Oleh karenanya

lembaga auditor tersebut setidak-tidaknya bernaung di bawah lembaga legislatif

negara ataupun merupakan lembaga profesional independen yang keberadaan


14

mandiri, seperti akuntan publik. Peraturan yang dikembangkan dalam Standar

Auditing Sektor Publik harus terbentuk oleh suatu lembaga ataupun badan yang

berdiri sendiri dan terlepas dari praktik pengauditan, sebagai contoh organisasi

AAA (American Accountant Association) yang berada di Amerika (Pujiono dan

Jati, 1996).

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia ini dimuat

dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Nomor 50B/S/XIV.11-

XIV.11.2/06/2007 tanggal 4 Juni 2007. Dalam melakukan pemeriksaan laporan

keuangan ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia

mengungkapkan bahwa terdapat hal-hal yang menyebabkan Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) Republik Indonesia tidak memperoleh keyakinan yang memadai

terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Penyelenggaraan auditing sektor publik atau pemerintahan tersebut

dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguan (BPKP). BPKP

merupakan suatu badan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif negara (presiden),

yang bertugas untuk mengawasi dana untuk penyelenggaraan pembangunan

negara yang dilakukan pemerintah dan bertangungg jawab atas tugasnya pada

pemerintah juga.

Dalam melaksanakan audit di sektor publik (pemerintahan) perlu

pembentukan suatu lembaga audit yang independen yang benar –benar

mempunyai integritas yang bisa dipertanggungjawabkan kepada pihak publik.

Oleh karenanya lembaga auditor tersebut setidak-tidaknya bernaung di bawah


15

lembaga legislatif negara ataupun merupakan lembaga profesional independen

yang keberadaan mandiri, seperti akuntan publik.

Khusus auditor sektor publik (pemerintah) misalnya yang berada di

instansi BPK dan BPKP selain dituntut untuk mematuhi ketentuan dan peraturan

kepegawaian sebagai PNS, mereka juga dituntut untuk menaati kode etik Aparat

Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) serta standar audit APIP atau standar audit

lainnya yang telah ditetapkan. Kegiatan utama APIP meliputi antara lain: audit,

review, pemantauan, evaluasi, dan kegiatan pengawasan lainnya berupa

sosialisasi, asistensi, dan konsultansi

Menurut Ritonga (2013)


Audit Pemerintah, khususnya Audit Kinerja merupakan kunci utama untuk
memenuhi kewajiban pemerintah dalam pertanggungjawaban kepada
rakyat. Audit kinerja adalah suatu proses sistematis dalam mendapatkan
dan mengevaluasi bukti secara objektif atas kinerja suatu organisasi,
program, fungsi atau kegiatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan aspek
ekonomi dan efisiensi operasi, efektivitas dalam mencapai hasil yang
diinginkan, serta kepatuhan terhadap peraturan, hukum, dan kebijakan
terkait. Selama ini sektor publik tidak luput dari tudingan sebagai sarang
korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara.
Keluhan "birokrat tidak mampu berbisnis" ditujukan untuk mengkritik
buruknya kinerja perusahaan-perusahaan sektor publik. Pemerintah
sebagai salah satu organisasi sektor publik pun tidak luput dari tudingan
ini. Organisasi sektor publik pemerintah merupakan lembaga yang
menjalankan roda pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari
masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat
kepada penyelenggara pemerintahan haruslah diimbangi dengan adanya
pemerintahan yang bersih.

Audit ini akan memberikan tingkat keyakinan atas informasi yang

dilaporkan mengenai hasil-hasil program atau kegiatan; demikian pula dalam

hubungannya dengan sistem pengendalian intern dalam organisasi/lembaga.

Kegiatan audit juga akan dapat memberikan arah kepada perbaikan pengelolaan
16

pemerintah, pengambilan keputusan, dan pertanggungjawaban kepada publik.

(Prajogo, 2001).

Pengalaman kerja sebagai auditor sektor publik sangat diperlukan agar

kualitas hasil audit terjaga. Herliansyah (2006) membuktikan bahwa pengalaman

mengurangi dampak informasi tidak relevan terhadap judgement auditor dan

meningkatkan keahlian.. Alim (2007) membuktikan bahwa kompetensi dan

independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Trisnaningsih (2007)

menyatakan bahwa pemahaman good governance dapat meningkatkan kinerja

auditor jika auditor tersebut selama dalam pelaksanaan pemeriksaan selalu

menegakkan sikap independensi. Sukriah (2009) mengindikasikan hal yang

berbeda, yaitu independensi dan integritas tidak berpengaruh signifikan terhadap

kualitas hasil pemeriksaan. Selain itu Sukriah juga membuktikan bahwa

obyektifitas, kompetensi serta pengalaman kerja berpengaruh positif terhadap

kualitas hasil pemeriksaan. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan

tersebut, maka penulis perlu untuk melakukan penelitian dengan judul

"Pengaruh Audit Kinerja Sektor Publik Terhadap Penerapan Good

Goverment Governance"

1.2 Identifikasi Masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah lemahnya penerapan Good

Government Governance, berdasarkan masalah dan latar belakang yang sudah

diuraikan diatas, maka pertanyaan yang akan diteliti oleh peneliti adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan Audit Kinerja Sektor Publik di Inspektorat daerah

Purwakarta.
17

2. Apakah penerapan Good Goverment Governance sudah dilaksanakan

secara memadai di Inspektorat daerah Purwakarta.

3. Apakah terdapat pengaruh signifikan dari Audit Kinerja Sektor Publik

terhadap Penerapan Good Government Governance di Inspektorat

Kabupaten Purwakarta.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari, mengumpulkan, mengolah dan

mendapatkan data yang dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai

peranan Audit Kinerja Sektor Publik terhadap penerapan Good Government

Governance. Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan Audit Kinerja Sektor Publik di Inspektorat

daerah Purwakarta.

2. Untuk mengetahui penerapan Good Government Governance di

Inspektorat daerah Purwakarta.

3. Utuk mengetahui bagaimana pengaruh Audit Kinerja Sektor Publik

terhadap penerapan Good Government Governance di Inspektorat

Purwakarta.

1.4 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini kuisioner yang disebar adalah terbatas pada staf auditor di

Inspektorat Kabupaten Purwakarta, dengan alasan karena melihat suatu kinerja

auditor apakah bekerja sudah secara optimal.


18

1.5 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baik secara

teoritis maupun praktisi sebagai berikut :

1. Bagi perusahaan yang diteliti

a. Dari penelitian dapat diperoleh hasil penelitian yang dapat

diterapkan dalam kegiatan perusahaan.

b. Penelitian ini sebagai suatu sumbang pemikiran yang bermanfaat

kepada perusahaan.

2. Bagi Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan

menambah pengetahuan tentang teori-teori dan konsep-konsep yang

diperoleh selama perkuliahan serta memperoleh gambaran nyata, dan juga

merupakan salah satu syarat dalam mata kuliah seminar Akuntansi Sektor

Publik

3. Bagi pihak lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk sumber informasi,

bahan pembanding bagi peneliti lainnya dan menjadi bahan referensi atau

tambahan informasi yang diperlukan.

1.6 Lokasi Penelitian dan Waktu

Untuk memperoleh data dalam melakukan penelitian ini maka penulis

akan melakukan penelitian di Inspektorat daerah yang berada di Jalan Veteran

No.147 Purwakarta. Jawa Barat sebagai responden di dalamnya. Penelitian ini

akan dilakukan pada bulan September 2015 sampai Oktober 2015.

Anda mungkin juga menyukai