Perkembangan keperawatan jiwa di Indonesia dimulai sejak zaman dulu kala, ketika
gangguan jiwa dianggap kerasukan, sehingga para dukun berusaha mengeluarkan roh
jahat.
Di indonesia sejak dahulu telah mengenal ganguaan jiwa yang digambarkan dalam
cerita mahabrata dan ramayan terdapat srikandi edan, gatut kaca, gandrung dan
perilaku lesmono mirip seorang perempuan,
Bagaimana pernderita ganguan jiwa jamna dahalu belum diketahui dengan jelas,
tindakan terhadap penderita gangguan jiwa seperti warisan nenek moyang yang turun
menurun. Penderita dibuang kehutan penderita dipasung,diikat atau dirantai bila
pederita dianggap membahayakan orang lain dan lingkungan.
Rumah sakit jiwa pertama kali dibangun adalah rumah sakit jiwa bogor pada tanggal 1
juli 1882 kemudian rumah sakit jiwa lawang 1920. Namun rumah sakit jiwa dibangun
jauh dari lingkungan masyarakat dengan alasan untuk menghindari cap atau stigma
yang tidak baik dari masyarakat. Cara pengobatan yang dulu sering dipakai dirumah
sakit jiwa ialah isolasi penjagaan (Custodiam care, suntikan obat penenang terapi
mandi dan pasien dijemur dimatahari.
Meski dalam sejarah kesehatan jiwa banyak didominasi oleh dunia barat, namun
sesungguhnya dalam dunia Islam sejarah kesehatan jiwa justru sudah dimulai sejak
jauh sebelum Barat mengenal metode penyembuhan penyakit jiwa berikut tempat
perawatannya. Pada abad ke-8 M di Kota Baghdad. Menurut Syed Ibrahim B PhD
dalam bukunya berjudul "Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times", mengatakan,
rumah sakit jiwa atau insane asylums telah didirikan para dokter dan psikolog Islam
beberapa abad sebelum peradaban Barat menemukannya. Hampir semua kota besar di
dunia Islam pada era keemasan telah memiliki rumah sakit jiwa. Selain di Baghdad ibu
kota Kekhalifahan Abbasiyah Insane Asylum juga terdapat di kota Fes, Maroko. Selain
itu, rumah sakit jiwa juga sudah berdiri di Kairo, Mesir pada tahun 800 M. Pada abad
ke-13 M, kota Damaskus dan Aleppo juga telah memiliki rumah sakit jiwa.
Sekitar dekade berikutnya, pada saat terjadi Pergerakan Hak-Hak Sipil (The Civil
Rights) di 1960-an, penderita gangguan jiwa mulai mendapatkan hak-haknya. The
Community Mental Health Centers Act (1963) secara dramatis mempengaruhi
pemberian pelayanan kesehatan jiwa. Undang-Undang inilah yang menyebabkan fokus
dan pendanaan perawatan beralih dari rumah sakit jiwa yang besar ke pusat-pusat
kesehatan jiwa masyarakat yang mulai banyak didirikan.
Pada tahun 1970-1980, perawatan beralih dari perawatan rumah sakit jangka panjang
ke lama rawat yang lebih singkat. Fokus perawatan bergeser ke arah community based
care / service (Pengobatan berbasis komunitas). Pada tahun-tahun ini banyak dilakukan
riset dan perkembangan teknologi yang pesat. Populasi klien di rumah sakit jiwa yang
besar berkurang, sehingga banyak rumah sakit yang ditutup. Pusat-pusat kesehatan
komunitas jiwa sering tidak mampu menyediakan layanan akibat bertambahnya jumlah
klien. Tunawisma menjadi masalah bagi penderita penyakit mental kronik persisten
yang mengalami kekurangan sumber daya keluarga dan dukungan sosial yang
adekuat.
• Bunuh diri : suatu tindakan mencabut nyawa sendiri dgn sengaja cara. Bunuh diri
merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam, angka kejadian terus
meningkat. Metode yg paling disukai = menggunakan pistol, menggantung diri dan
minum racun.
Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan dampak dari
pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju. Hal terpenting
yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita adalah perangkat hukum yang
lemah bahkan terkadang oknum aparat hukum seringkali menjadi backing, ditambah
dengan keragu-raguan penentuan hukuman bagi pengedar dan pemakai, sehingga
dampaknya SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih bertindak tegas terhadap
pengedar dan pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin menigkat untuk masa yang
akan datang khususnya dalam era globalisasi
• Sehubungan dengan trend masalah kesehatan utama dan pelayanan kesehatan jiwa
secara global, harus fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah saatnya berbasis pada
komunitas (community based care) yang memberi penekanan pada preventif dan
promotif.
• Sehubungan dengan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat,
perlu peningkatan dalam bidang ilmu pengetahuan dengan cara mengembangkan
institusi pendidikan yang telah ada dan mengadakan program spesialisasi keperawatan
jiwa.
• Pengalaman dan pendidikan perawat, peran dan fungsi perawat serta hubungan
perawat dengan profesi lain di komunitas.
5. Pelayanan kep. Mental Psikiatri, kurang dapat dipertanggung jawabkan karena masih
kurangnya hasil hasil riset keperawatan Jiwa Klinik.
• Perawat Psikiatri, kurang siap menghadapi pasar bebas karena pendidikan yang
rendah dan belum adanya licence untuk praktek yang diakui secara internasional.
• Pembedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman sering kali
tdk jelas “Position description.” job responsibility dan sistem reward di dlm pelayanan.