Anda di halaman 1dari 16

PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DALAM MENIKAHKAN

WANITA HAMIL
Adi Syahnan Putro | Anna Dwi Ningsih | Desy Rachmawati | Miftah Maulina |M.
Ikhsanudin | Putri Sulistyowati | Sazkia Octaviani
IAIN SURAKARTA
Jl. Pandawa Pucangan Kartasura-Sukoharjo Telp. (0271) 781516 Fax (0271) 782774

Abstrak: Hamil di luar nikah adalah perbuatan yang dilarang dalam agama
dan itu bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam agama, karena agama
mengajarkan untuk berbuat kebajikan namun hamil di luar nikah masih banyak
terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Masalah dalam penelitian yang ada
dalam tulisan ini: 1. Bagaimana hukum menikahi wanita hamil menurut hukum
Islam? 2.Bagaimana hukum menikahi wanita hamil menurut KHI?. Dengan
menggunakan metode komparatif atau membandingkan antara huku islam
dengan hukum positif di Indonesia. Kesimpulan menurut KHI wanita hamil
dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu
kelahiran anak yang ada dalam kandungannya terlebih dahulu, dan
perkawinannya harus di ulangi setelah anaknya lahir; pernikahan wanita hamil
boleh dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya dengan ketentuan usia
kehamilannya kurang dari enam bulan, jika lebih dari enam bulan
pernikahannya tidak syah.

Kata kunci: Hamil di luar nikah,KHI, Hukum Islam

Abstract: Pregnancy out of wedlock is an act that is prohibited in religion and it is


contrary to what is taught in religion, because religion teaches to do good deeds but
pregnancy outside marriage is still prevalent among Indonesian people. Problems in the
research contained in this paper: 1. How is the law to marry pregnant women according
to Islamic law? 2. How is the law to marry a pregnant woman according to KHI ?.
Conclusion, according to KHI, a pregnant woman can be married to a man who
impregnates her without having to wait for the birth of the child in her womb first, and
her marriage must be repeated after the child is born; marriage of a pregnant woman
may be married by a man who impregnates her with the stipulation that her pregnancy is
less than six months, if more than six months her marriage is not legal.

Keywords: Pregnant out of wedlock, KHI, Islamic law

1
Pendahuluan
Pernikahan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perkawinan/
pernikahan diartikan berdasarkan kata dasarnya menjadi melangsungkan pembentukan
keluarga dengan lawan jenis. Pengertian tersebut tidak menjadi masalah ketika tidak
menyentuh landasan idealisme, ketika seseorang atas dasar kepercayaannya tidak
menjadikan suatu perkawinan itu dibolehkan atas dasar agama. 1

Sedangkan dalam Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan


(LNRI Th 1974 no.1; TLN No. 3019) (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan, Kementrian Agama Republik Indonesia) menetapkan bahwa
“perkawinan adalah ikatan lahir batin sesorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Dalam penjelasan ketentuan Pasal 1 UU
Perkawinan itu dijelaskan, bahwa: Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila,
dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan
bukan saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat
hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan
dan Pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.2

Didalam alquran sendiri pernikahan Allah memerintahkan kepada hambanya


untuk menikah. Berdasarkan dalil dibawah ini.

“…maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat…”(QS. an-Nisa: 3)

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu Yang menciptakan kamu dari


satu jiwa dan darinya Dia menciptakan jodohnya, dan mengembang-biakan dari
keduanya banyak laki-laki dan perempuan; dan bertakwalah kepada Allah swt. yang
dengan nama-Nya kamu saling bertanya, terutama mengenai hubungan tali
kekerabatan. Sesungguhnya Allah swt. adalah pengawas atas kamu”. (An Nisa: 1)

Selain itu nabi juga memerintahkan untuk menikah. Nabi bersabda “Menikah
adalah sunnahku, barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku berarti bukan dari

1
Ahmadi Hasanudin,Marza Tweedo,Mohammad Irham, ”PERNIKAHAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI
PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”,KHAZANAH Vol. 6 No.1 Juni 2013, hal 99
2
Aladin, ” PERNIKAHAN HAMIL DI LUAR NIKAH DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN
FIQIH ISLAM DI KANTOR URUSAN AGAMA (STUDI KASUS DI KOTA KUPANG)”, Masalah - Masalah Hukum,
Jilid 46 No. 3, Juli 2017 hal 239

2
golonganku. Hendaklah kalian menikah, sungguh dengan jumlah kalian aku akan
berbanyak-banyakkan umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah menikah, dan
siapa yang tidak hendaknya berpuasa, karena puasa itu merupakan tameng. (HR.
Bukhori)

Berdasarkan Penjelasan itu, perkawinan bukan sekedar hubungan yang


bersifat perdata belaka, tetapi mengandung dimensi agama atau kerohanian yang
mengimplikasikan bekerjanya peran agama dalam kehidupan keluarga, termasuk
dalam pemeliharaan dan pendidikan dalam keluarga. Penjelasan itupun
menekankan peran agama dalam keluarga dalam kaitan dengan hak dan kewajiban
orang tua, sehingga orang tua harus merawat dan mendidik anak-anaknya sesuai
dengan agama yang dianutnya. Allah menetapkan pernikahan sebagai wahana
membangun rumah tangga Islami. Dengan pernikahan, pergaulan antara pria dan wanita
sebagai suami isteri terjalin dengan terhormat, hasrat psikis biologis tersalurkan,
kepuasan dan kebahagiaan psikis emosional dapat tercapai sesuai fitrah dan kodrat
insasni. Pernikahan mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah untuk memenuhi
kebutuhan hidup jasmani (kebutuhan biologis) dan rohani, sekaligus untuk membentuk
keluarga yang merupakan sarana untuk meneruskan dan memelihara keturunan yang
jelas, karena Islam sangat menjaga kemurnian keturunan.3

Namun bagaimana jika pernikahan tersebut terjadi karena kehamilan di luar


nikah?. Tentu saja ini tidak diperbolehkan dengan agama Islam. Islam sendiri sangat
keras mengenai perbuatan zina yang berakibat hamilnya wanita tersebut. Dan menjauhi
larangan berizina ini merupakan perintah langsung oleh Allah SWT dalam firmannya:

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk (QS Al-israa’ : 32)

Zina sendiri adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa
adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya
unsur syubhat. Dan zina merupakan perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya
dikenakan sanksi yang amat berat, baik di dunia maupu di akhirat. Di dunia jika pelaku
belum menikah ( ghairu muhsan) dihukum dengan didera atau dicambuk sebanyak 100

3
Aladin, Loc. Cit

3
kali dan diasingkan selama 1 tahun, sementara pelaku pezina sudah menikah (Muhsan)
dihukum dengan rajam atau dengan cara melempari dengan batu hingga meninggal.4

Walaupun begitu namun fenomena ini banyak terjadi di lingkungan masyarakat.


Sehingga dalam dalih menutupi aib yang ditimbulkan banyak masyarakat yang
menikahkan pasangan tersebut. Sehingga terjadi banyak permohonan/ dispensasi
pernikahan dini yang diajukan ke pengadilan.

Berikut adalah prosentase mengenai perkawinan dini di berbagai daerah di


Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 memaparkan bahwa 5
provinsi di Indonesia dengan angka perkawinan anak paling tinggi untuk rentang
usia 15 – 18 tahun adalah Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2%),
Kalimantan Selatan (48,4%), Bangka Belitung (47,9%), dan Sulawesi Tengah
(46,3%). Selain itu, sebesar 41,90 persen usia nikah pertama berada pada
kelompok usia 15-19 tahun dan pada kelompok usia 10—14 tahun sebesar 4,8
persen telah menikah. Riset tersebut juga menemukan bahwa provinsi dengan
persentase perkawinan anak (kurang dari 15 tahun) tertinggi di Indonesia adalah
Kalimantan Selatan (9 %), Jawa Barat (7,5 %), dan Banten (6,5%). 5

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yasasan Kesehatan


Perempuan pada 2009 menunjukkan bahwa ada 690.000 kasus perkawinan anak
di bawah usia 18 tahun. Tak hanya itu, perkawinan anak seringkali berujung pada
persalinan di usia muda karena tak sedikit yang langsung memiliki anak segera
setelah perkawinan. Bahkan, Indonesia masih memiliki angka yang cukup tinggi
terkait hal ini, yaitu 48 per 1.000 perempuan di tahun 2010. 6
Dari beberapa data diatas menunjukan tingginya kesadaran masyarakat akan
pergaulan bebas yang mengarah ke dalam perzinaan dan juga rendahnya pendidikan
seks diusia dini. Untuk itu para orang tua agar supaya memperhatikan betul mengenai
bahaya tenatang pergaulan bebas yang mengarah ke remaja-remaja sekarang sehingga
dalam hal ini bisa terhindarkan dampak buruk yang mungkin terjadi kerena pergaulan
bebas tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini mencoba menguraikan beberapa
pendapat ahli fiqih dan hukum islam serta landasan hukum islam di Indonesia yakni
Kompilasi Hukum Islam KHI

4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT Al-Maarif, 19960, 86-87
5
“Laporan Penelitian Pekawinan Anak” (https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/b1dac-laporan-
penelitian-perkawinan-anak.pdf diakses pada 18 Oktober 2019 pukul 10.32 WIB)
6
M.Reza Sulaiman,Dinda Rachmawati ” Hamil di Luar Nikah Jadi Penyebab Utama Perkawinan Anak”,
(https://www.suara.com/health/2019/02/13/104752/hamil-di-luar-nikah-jadi-penyebab-utama-
perkawinan-anak diakses pada 18 Oktober 2019, pukul 10.25 WIB )

4
Metode Penelitian
Penelitian ini dengan menggunakan beberapa metode diantaranya adalah metode
penelitian komparatif dan metode yuridis normatif. Penelitian komparatif adalah
penelitian yang bersifat membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk
membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat
obyek yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu
Sedangkan penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum.7 Dalam hal ini penelitian normative yuridis menggunakan bahan-
bahan pustaka sbagai sumber data. Antara lain dengan menggunakan hukum-hukum
yang terdapat pada hukum Islam, KHI, serta menggunakan data-data yang terdapat di
Internet untuk memperoleh data-data yang digunakan untuk menambah dan mendukung
analisis penelitian.8

Pembahasan
1. Menurut Fiqh Islam

Bagaiamana Hukumnya Menikahkan Wanita Yang Hamil. Sebelum kita


menghukumi apakah pernikahan yang dilakukan wanita hamil itu sah atau tidak. Perlu
dilakukan pendalaman mengenai bagaimana kehamilan itu terjadi. Dalam hal Ini
terdapat dua macam wanita yang hamil antara lain adalah wanita yang hamil diluar
nikah karena pergaulan bebas dan wanita yang hamil yang diceraikan mantan suami.
Dihukum syara’ sendiri kondisi ini menimbulkan perbedaan dalam menghukuminya.

a. Hamil bukan karena zina.


Ada dua kemungkinan bagi wanita yang sedang hamil. Yaitu pernikahan
wanita hamil halal dan pernikahan wanita hamil haram.9
1) Pernikahan wanita hamil halal
Wanita yang sedang hamil boleh saja dinikahi, asalkan yang
menikahinya adalah laki-laki yang pernah menjadi suami dan ayah
dari bayi yang dikandung. Kasus ini hanya terjadi manakala seorang
suami menceraikan istrinya, lalu baru ketahuan ternyata istrinya

7
Bambang Waluyo,Metode Penelitian Hukum, (Semarang; PT. Grafika Indonesia. 1996) hlm 13.
8
Asmanizar, Menikah Wanita hamil karena zina dalam Prespektif hukum islam dan undang-undang no.
1 tahun 1974 tentang perkawinan.
9
Aini Aryani, Halal dan Haram Menikahi wanita Berzina dan Hamil. (Jakarta; Rumah Fiqh Publishing.
2019 ) hal 24

5
hamil. Maka suaminya itu menikahi kembali mantan istrinya atau
merujuknya. Inilah pernikahan wanita hamil yang hukumnya halal.10
2) Pernikahan wanita hamil yang haram
Pernikahan wanita hamil yang haram ada dua macam. Pertama,
nikahnya dengan mantan suaminya, tetapi sewaktu diceraikan,
suaminya menjatuhkan talak yang ketiga, yaitu talak bainunah kubra.
Kedua, nikahnya seorang wanita dalam keadaan hamil dengan laki-
laki selain yang menjadi ayah dari bayinya. Kalau wanita itu masih
bersuami, tentu hukumnya haram menikahi wanita yang masih
bersuami. Maka kasus ini hanya terjadi manakala suaminya yang sah
menceraikannya atau meninggal dunia, sehingga wanita hamil ini
menjadi janda. Untuk itu maka sebagai janda tentu dia harus
melewati masa iddah, yaitu hingga selesai melahirkan. Dalilnya
adalah dalil haramnya menikahi wanita yang masih dalam masa
iddahnya.
“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad
nikah, sebelum habis idahnya”. (QS. Al-Baqarah : 235)
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’ “ (QS. Al-Baqarah : 228)
Arti quru’ menurut sebagian para ulama adalah suci dari haid,
menurut sebagian yang lain adalah keluar darah haid. Pada ayat 228
diatas menunjukan bahwa wanita yang ditalak harus menunggu masa
iddah. Dalam hal ini masa iddah berlaku sejak ditalak. Bukan sejak
suami niat menalak istrinya. Oleh karena itu perhitungan iddah
adalah sejak ucapan talak yang dijatuhkan istri kepada istrinya.
Walau suami mengantarkan istrinya kepada orang taunya belum tentu
seorang suami menalak istrinya.11
Sedangkan dalam hadist diterangkan seperti dibawah ini
“Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal
mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin
Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada
10
Aini aryani, loc.cit
11
H.U. Saifudin ASM, Membangun Keluarga Sakinah: Tanya jawab seputar keluarga dan Solusinya
(Tangerang; QultumMedia.) hal 22

6
yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya
hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa
iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Menikahlah!” [HR al-Bukhâri no. 4906].
Dengan beberapa dalil diatas maka hukum suatu laki-laki
menikahi seorang wanita dalam keadaan hamil atas mantan suaminya
terdahulu maka dapat disimpulkan hukumnya tidak boleh. Hal ini
tidak terlepas agar salah janin yang terkandung didalamnya tidak
tercampur nasabnya. Sehingga pada saat nanti melahirkan nasabnya
menjadi jelas tujuan pernikahan tersebut tidak sia-sia, karena pada
sejatinya tujuan menikah adalah menjaga keturunan dan nasab.
Kapankah seorang wanita yang ‘iddahnya sampai melahirkan itu
diperbolehkan menikah? Apakah hanya sampai ia melahirkan atau
menunggu sampai ia suci dari nifasnya. Para ‘ulama fikih berbeda
pendapat dalam hal ini.12
a) Jumhur Ulama’ Pendapat yang pertama dari mayoritas
‘ulama mengatakan bahwasanya seorang wanita boleh
menikah lagi setelah kelahiran anaknya tanpa disyaratkan
menunggu sampai ia selesai dari masa nifasnya. Namun,
tetap harus diperhatikan ketika ia memutuskan untuk
menikah lagi tidak boleh ia bercampur dulu dengan
suaminya sampai ia suci. Pendapat ini didasarkan pada
firman Allah Ta’ala: 13
“...Dan janganlah kamu dekati mereka sebelum mereka
suci...”(QS.Al-Baqarah: 222)
b) Al-Hasan, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Hamad
Sedangkan pendapat kedua dari Al-Hasan, AsySya’bi,
An-Nakha’i, dan Hamad mereka mengatakan
bahwasanya seorang wanita tidak boleh menikah dalam
keadaan nifas sampai ia suci. Pendapat ini didasarkan
pada sebuah hadis: “Maka tatkala telah
12
Vivi Kuniawati, Kupas Habis Masa Iddah Wanita (Jakarta; Rumah Fiqh Publishing. 2019) hal 24
13
Ibid.,

7
terangkat dari nifasnya, boleh ia
dipinang” (HR. An-Nasa’i).14

b. Hamil karena zina


Masalah ini yang paling banyak muncul dikalangan masayarat, karena
pergaulan yang begitu bebas hingga tidak terkontrol tak ayal menimbulkan
masalah baru. Salah satunya adalah hamil diluar pernikahan. Walaupun zina
sudah mendapat larangan oleh Allah namun akibat keteledoran manusia
yang menghiraukan rambu-rambu agama. Maka banyak kasus ini terjadi di
masyarakat.
Dalam firman-Nya Allah memerintahkan agar menjauhi zina
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra’ : 32)
Dari dalil diatas bias disimpulkan bahwa zina adalah jalan yang sangat
buruk. Dan bahkan diancam oleh Allah SWT. Dalam firmannya Surat AL-
Furqon : 68-69
“Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah
dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali
dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang
melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya),
(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan
kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina”
Dan masih banyak lagi ancaman-ancaman oleh Allah dan rosulnya
kepada umatnya agar menjauhi zina. Dengan dalih untuk menutupi aib maka
banyak masyarakat yang menikahkan putrinya yang hamil diluar nikah
dengan laki-laki yang menghamilinya. Maka yang menjadi pertanyaan
bagaimana hukumnya pernikahan ini menurut hukum syara’?.
Dalam hal ini ada dua kemungkinan kasus. Pertama, nikahnya wanita
hamil hasil zina ini dengan laki-laki yang menzinainya. Kedua, nikahnya
wanita hamil ini dengan laki-laki lain yang bukan ayah dari bayinya.15
Dalam menyikapi kemungkinnan kasus mengenai siapa yang berhak
menikahi wanita tersebut. Para ulama berbeda pendapat ada yang
14
Vivi Kuniawati. Loc.Cit
15
Aini Aryani. Op.cit.

8
mengatakan bahwa boleh menikahi wanita tersebut ada juga yang
mengharamkan. Nerikut adalah ulasannya.
1) Haram menurut Al-Malikiyah & Al-Hanabilah
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah berpendapat
bahwa menikahi wanita yang dalam keadaan hamil akibat berzina
dengan laki-laki lain hukumnya haram. Dan keharaman ini
berlaku mutlak, baik kepada laki-laki yang menghamilinya, atau
ayah si bayi, dan juga berlaku kepada laki-laki lain. Dasar
keharamannya adalah dalil-dalil berikut ini16 :
Nabi SAW bersabda ,"Janganlah disetubuhi (dikawini)
seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan”. (HR.
Abu Daud)
“Dari SAid bin Al-Musayyab bahwa seseorang telah
menikah dengan seorang wanita, namun baru ketahuan wanita
itu dalam keadaan hamil. Maka kasus itu diangkat ke hadapan
Rasulullah SAw dan beliau memisahkan antara keduanya” (HR.
Said bin Manshur).
Serta Al-Quran Al-Kariem secara tegas menyebutkan
haramnya seorang laki-laki muslim untuk menikahi wanita
pezina.
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. (QS. An-Nuur : 3)
Dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan
zina. Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat
nashuha, dimana dia sudah tidak lagi disebut wanita yang
berzina, umumnya ulama membolehkannya.17 Selain itu bagi
wanita yang berzina terlebih dahulu melakukan istibra’, yaitu
mengosongkan rahimnya selama tiga kali quru’. Agar tidak ada
air mani dari laki-laki lain yang tertinggal didalam rahimnya.

16
Aini Aryani,. Loc.Cit.
17
Ahmad Sarwat. Wanita Yang Haram Dinikahi. (Jakarta. Rumah Fiqh Publishing. 2018) Hal 28

9
Karena hal itu bisa terjadi bercampurnya air mani dari laki-laki
yang akan menikahi nya. sehingga status nasab anak tersebut
jelas.18
Dosa zina itu adalah dosa yang bisa diampuni. Dan kalau
sudah diampuni, tentu haram hukumnya menjuluki mereka
sebagai pezina. Bukankah dahulu sebelum masuk Islam, banyak
di antara shahabat Nabi SAW yang berzina serta melanggar
larangan Allah. Tetapi ketika sudah masuk Islam dan bertaubat,
status mereka tidak boleh lagi disebut sebagai pezina.19
2) Halal menurut Al-Hanafiyah & Asy-Syafi'iyah
Sedangkan pendapat mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-
Syafi'iyah terbalik 180 derajat, yaitu mereka justru menghalalkan
pernikahan tersebut, baik dilakukan oleh laki-laki yang menjadi
ayah dari si bayi atau pun laki-laki lain yang bukan ayah si bayi.20
Ulama Syafi’iah berpendapat, bahwa hukum wanita yang
disaat hamil adalah sah selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Imam syafiiah juga menjelaskan bahwa wanita yang hamil boleh
menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maupun yang
tidak menghamilinya. Pernikahan yang dilakukan wanita
meskipun dalam keadaan hamil diperbolehkan menurut mahzab
syafiiyah selama pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan
adanya ijab Kabul.
Ulama Hanafiyah berpendapat demikian karena mengacu
pada ayat Al qur’an bahwa wanita yang hamil bukanlah salah
satu wanita yang haram untuk dinikahi. Hal ini disebutkan dalam
Al qur’an surat An Nisa ayat 23 dan Berpendapat bahwa
hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina apabila yang
menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya (menzinainya).
Alasannya adalah bahwa wanita hamil akibat zina itu tidak
termasuk ke dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk
dinikahi sebagaimana yang terdapat dalam QS. an-Nisa‟ ayat 22-
24 tentang siapa saja wanita-wanita yang haram dinikahi Maka
18
Ali Manshur. Hukum dan Etika Pernikahan Dalam Islam. (Malang, UB Press, 2017) Hal 91
19
Ahmad Sarwat. Op.Cit
20
Aini Aryani., Op Cit.

10
setelah terjadinya pernikahan tersebut, apapun boleh dilakukan
oleh keduanya layaknya sepasang suami isteri. Akan tetapi, bila
yang menikahinya adalah bukan lelaki yang menghamilinya
dengan cara zina, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama Hanafiyah, yaitu : 21
Pertama, Abu Hanifah dan Muhammad asy-Syaibani
berpendapat bahwa hukum menikahinya adalah sah, hanya saja
wanita itu tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan
kandungannya. Alasan “sah” nya untuk dinikahi adalah karena
wanita tersebut bukan termasuk wanita yang haram dinikahi,
seperti alasan pembolehan nikah bagi sesama pezina, dan alasan
mengapa “tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan” adalah
karena benih (air sperma) yang dihasilkan dari perzinaan itu tidak
memiliki nilai kehormatan29 dibandingkan dengan benih yang
dikeluarkan dari persetubuhan yang dilakukan dalam ikatan
perkawinan yang sah.22
Penting untuk dijadikan catatan, meski kedua mazhab ini
membolehkan terjadinya akad nikah, namun kebolehannya
berhenti hanya sampai pada akadnya saja. Sedangkan hubungan
seksual suami istri hukumnya haram dilakukan, sebagaimana
dalil- dalil yang ada di atas.
sedangkan, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa wanita
yang sedang dalam keadaan hamil dari hasil perbuatan zina ia
boleh dinikahi. Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Majmu’
Syarah Muhazzab Juz 17 :
“jika ada seorang perempuan yang berzina tidak
diharamkan atas laki-laki itu untuk menikahinya. Firman Allah
SWT: (dan dihalakan bagi kamu yang demikian itu) serta hadist
yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a, bahwa Nabi SAW pernah
ditanya oleh seorang laki-laki ia berzina dengan perempuan
maka ia ingin menikahi perempuan itu atau anak perempuannya,
maka Rasul menjawab : (tidaklah yang haram itu mengharamkan
21
Saifullah Millah.” PERNIKAHAN WANITA YANG HAMIL DI LUAR NIKAH
DAN AKIBAT HUKUMNYA” Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 hal 56
22
Ibid.,

11
yang halal, sesungguhnya yang diharamkan itu bukan karena
nikahnya). Jika wanita pezina tersebut datang dengan membawa
anak perempuannya, lalu Imam asy-Syafi’I yang dirahmati Allah
mengatakan : “makruh2 apabila ada yang menikahi wanita
tersebut, jika tetap ingin menikahinya maka pernikahannya tidak
batal.23
Hal ini dilihat dari keumuman dalil yang digunakan oleh
Imam An-Nawawi dalam hal memperbolehkan pernikahan
tersebut. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah Swt Surat
An-Nisa ayat 24
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-
anakmu yangperempuan; saudara-audaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmuperempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan darisaudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri,tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamuceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu)isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalamperkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang,”(Q.S An-Nisa 23 )24
Pendapat ulama ini beranggapan bahwa wanita yang
hamil dari hasil perzinaan tidak dikenakan ketentuan-ketentuan
hukum yang sebagaimana ditentukan pada pernikahan yang sah
menurut syariat. Sedangkan tujuan dari iddah adalah untuk
menjaga kesucian nasab dan menghargai sperma. Akan tetapi
dalam masalah ini sperma dari si pezina laki-laki tidak dihargai

23
Asyhari Abd. Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah
Hamil Suatu Pergeseran Nilai Sosial, (Jakarta: Citra Harta Prima, 2001), hlm. 70
24
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Jakarta: Insan Media Pustaka, 2013), hlm.82,

12
dan kehamilan yang terjadi di luar pernikahan nasab nya kepada
ibunya.25
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Mengenai kawin hamil dari zina, dalam pasal 32 hukum perdata dengan
keputusan hakim telah dinyatakan orang yang berzina dilarang kawin dengan teman
zina. Maksud pasal tersebut adalah berupa larangan, jangan terjadi hubungan-
hubungan yang asusila, contoh hubungan diluar nikah antara laki-laki yang belum
beristri dengan perempuan yang sudah bersuami, atau hubungan antara perempuan
yang belum bersuami dengan laki-laki yang sudah beristri. Dengan demikian, kalau
terjadi hal-hal diatas apakah dia telah melakukan zina harus ada keputusan hakim,
sehingga diantara pihak-pihak yang telah melakukan zina tadi di larang untuk
melakukan perkawinan26

Hal itu juga disahkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 2 Ayat (1). Dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) juga disebutkan, seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan
dilangsungkannya perkawinan saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir. Berikut adalah bunyi pasal 53 yang mengatur
pernikahan wanita yang hamil akibat zina27

a.  Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya
c. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pendapat KHI pasal 53 ayat (1) ini sejalan dengan pendapat Abu Yusuf dan
Zufar dari Ulama Hanafiyah, yang berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina hanya
dapat dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya, tetapi tidak boleh dengan lelaki

25
Chuzaimah T. Yanggo Dan Hafiz Anshary, Probematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996), hlm.53
26
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), h. 50
27
Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001),

13
yang bukan menghamilinya. Pada pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa pernikahan
dengan wanita hamil dapat dilakukan tanpa harus menunggu dahulu kelahiran anak
yang ada dalam kandungan itu.28

Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ulama dari kalangan Hanafiyah dan
Syafi‟iyah yang membolehkan pernikahan dengan wanita hamil karena zina tanpa harus
menunggu kelahiran50, berbeda dengan pendapat dari Ulama Malikiyah dan Hanabilah
yang tidak membolehkan pernikahan tersebut dilaksanakan sebelum kelahiran anak
yang ada dalam kandungan.29

Mengenai nasab anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut, KHI


berpendapat bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
sah, walaupun akad nikahnya dilaksanakan dalam keadaan si wanita sedang hamil di
luar nikah (baik karena zina ataupun diperkosa) asalkan lelaki yang menikahinya adalah
lelaki yang menghamilinya.30

Ketentuan ini berdasarkan kesepakatan para ulama fikih bahwa nasab seorang
anak itu dapat terbentuk dan dihubungkan dengan ayahnya melalui akad nikah yang sah,
dimana akad nikah yang sah itu menjadi satu-satunya indikator sehingga perkawinan itu
dianggap perkawinan yang sah. Dalam perkawinan yang sah, para ulama sepakat bahwa
anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dapat dinasabkan
kepada suami si wanita tersebut.31

Jika perkawinan dianggap sah maka semua yang terjadi dan dihasilkan dari
perkawinan tersebut adalah sah, termasuk anak yang dilahirkan sebagai hasil dari akad
nikah yang sah tadi. Ketentuan tentang anak sah ini tercantum dalam KHI pasal 99
dimana disebutkan bahwa “Anak yang sah adalah : (a) anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah, (b) hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim
dan dilahirkan oleh isteri tersebut”.32

Kesimpulannya, KHI berpendapat bahwa wanita hamil di luar nikah hanya dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran si bayi,
dan tidak diperlukan kawin ulang (tajdidun nikah), sehingga apabila perkawinan

28
Saifullah Millah.Loc.cithal 55
29
Ibid., hal 55
30
Ibid,.hal 55
31
Ibid,. hal 56
32
Saifullah Millah.Loc.cithal 59

14
tersebut dinyatakan sah, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah tadi
adalah anak sah. Ketentuan KHI inilah yang menimbulkan banyak perdebatan di
kalangan para pemerhati hukum Islam, sehingga persoalan ini tetap menarik untuk terus
dikaji ulan33

Dari penjelasan diatas yang diambil didalam Al-Quran dan Al-Hadits serta
dengan pendapat para ulama dan hubungannya dengan KHI maka dapat disimpulkan
bahwa menikah dalam keadaan hamil setelah diceraikan mantan suami adalah tidak
diperbolehkan dan menikah dalam keadaan hamil diluar nikah adalah diperbolehkan
demi menjaga kehormatan dan menjaga kemaslahatan agar nanti jelas nasab anak
tersebut.

Jika kita mencermati sasaran yang dituju dari kedua pendapat yang berbeda–
yaitu pendapat Fikih dan KHI–dalam persoalan ini, maka dapat disimpulkan bahwa
selamanya kedua pendapat ini tidak akan pernah bertemu pada satu kesepakatan yang
sama, karena pendapat Fikih memberikan perhatian pada perbuatan zina yang dianggap
sebagai dosa sehingga memberikan hukuman kepada lelaki yang menghamili dengan
meniadakan hubungan nasab antara dirinya dan anak hasil zinanya, sedangkan KHI
memberikan perhatian kepada status anak sebagai akibat dari kehamilan karena zina
tersebut tanpa memberikan sanksi kepada pelaku zina.

Penutup

Dari uraian diatas,maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan


empat mahzab terdapat dua kelompok. Kelompok pertama Ulama Syafi’iah dan
Hanafiyah berpendapat, bahwa hukum wanita yang disaat hamil adalah sah selama tidak
ada dalil yang melarangnya selama pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan
adanya ijab kabul. Kelompok kedua adalah ulama Hanabiyah dan ulama Malikiyah
menyebutkan bahwa tidaklah sah pernikahan wanita dalam keadaan hamil dan sang
wanita baru boleh menikah setelah lewat masa iddahnya yakni setelah melahirkan bayi
dalam kandungannya.

Sedangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU


Perkawinan) Pasal 2 Ayat (1). Dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
disebutkan, wanita hamil dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa

33
Ibid,. Hal 60

15
harus menunggu kelahiran anak yang ada dalam kandungannya terlebih dahulu, dan
perkawinannya harus di ulangi setelah anaknya lahir; pernikahan wanita hamil boleh
dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya dengan ketentuan usia kehamilannya
kurang dari enam bulan, jika lebih dari enam bulan pernikahannya tidak sah.

Berikut adalah tabel mengenai perbedaan pendapat para ulama mengenai


Pernikahan wanita hamil diluar nikah.

Tema Malikiyah & Hanabillah Syafi’iyah & KHI


Hanafiyah
Hukum Haram Sah Sah
Alasan Tidak boleh menikahi Selama pernikahan Boleh dinikahi
sebelum melewati masa tersebut memenuhi sebelum
iddah yakni melahirkan syarat dan ijab qobul melahirkan dan
anak harus diulangi
setelah anak nya
lahir

16

Anda mungkin juga menyukai