Disusun oleh:
KELOMPOK I
Tutor:
dr.Abraham Ahmad Ali Firdaus, Sp.JP
Pembimbing
dr. Abraham Ahmad Ali Firdaus, Sp.JP
KELOMPOK PENYUSUN
Pemeriksaan fisik:
Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 110 kali, RR 26 kali/menit, Suhu 360c
Kepala dan leher: Anemis + , JVP ↑
Thoraks: Sonor iktus cordis melebar,
Abdomen: Pembesaran liver
Ekskremitas: Edeme pitting pada kedua tungkai
Pemeriksaan penunjang:
HB 6,2
MCV 94,1
MCH 31,9
MCHC 33,9
Leukosit 5300
Platelet 180.000
BUN 96,2
Kreatinin 7,4 mg/dL
GDA 190
Albumin 2,3
Urinalisis : Protein ++++, Reduksi +
EKG : sinus takikardi
Foto Rontgen : pembesaran jantung, efusi pleura bilateral minimal,
didapatkan tanda kongesti paru
STEP 1
Kata Sulit: -
Kata Kunci : -
STEP 2 :POMR
PLANNING
TPL PPL IA DIAGNOSIS THERAPY MONITOR
NG
STEP 4
Mind Mapping
Gagal Jantung
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
LFG Reabsorbsi
Na+H2O
Gangguan pertukaran Sesak napas, kelekahan, Pembesaran V. Hepar Edema ekstremitas
gas kelemahan
Kelebihan
vol.cairan
Riwayat DM 10th
Memblokir kerja
insulin
Insulin resisten
Hiperglikemia
Diabetes Melitus
Vaskositas Darah
Meningkat
Hipertensi <140/90
mmHg
Jantung Ginjal
Kerusakan arteri
Tidak dapat
koroner jantung
reabsorbsi glukosa
Gangguan suplai
darah ke jatung Kerusakan
glomerulus ginjal
iskemik
glomerulosklerosis
STEP
Miokard infark
STEP 7
1. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis
- Gagal Ginjal
Gagal ginjal kronik menunjukkan suatu proses yang berlanjut secara
signifikan, penurunan nefron yang irreversible, dan biasanya pada gagal
ginjal kronik stage 3-5 (Ari Sutjahjo, 2015).
- Gagal Jantung
Gagal jantung adaah sindrom kinis yang terjadi pada pasien pasien yang
mengalami sekumpulan tanda edema dan ronki) dan gejala (dyspnea dan
kelelahan) klinis akibat kelainan struktur dan/atau fungsi jantung herediter
aau didapat, yang menyebabkan perawatan di rumah sakit secara berulang,
kualitas hidup yang buruk, serta memendeknya harapan hidup (Loscalzo,
2014).
- Diabetes mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu sindroma hiperglikemia yang sering disertai
kelainan metabolisme yang terkait (lemak dan protein), yang disebabkan
oleh karena defek sekresi dan jumlah insulin (DMT1), ataupun
kombinasinya dengan resistensi insulin yang merupakan penyebab awal
(DMT2) (Tjokroprawiro dkk, 2015).
- Efusi Pleura
Efusi pleura adalah jumlah cairan nonpurulen yang berlebihan dalam
rongga pleural,antara lapisan visceral dan parietal.(Mansjoer Arif ,2001)
Diagnosis Banding
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) disebabkan oleh adanya
keterbatasan aliran udara yang terus menerus yang diikuti respon inflamasi
pada saluran napas dan paru-paru akibat adanya partikel asing atau gas
beracun (GOLD, 2010).
2. Etiologi dan factor resiko
3. Patofisiologi
PATFIS GGK
Kerusakan nefron yang terus berlanjut namun sisa nefron yang masih utuh
tetap bekerja secara normal untuk mempertahankan keseimbangan air dan
elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi
beban solute dan reabsorbsi tubular dalam ginjal turun di bawah nilai normal.
Akhirnya 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban
solute bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerolus,
tubulus tidak lagi di pertahankan (keseimbangan antara peningkatan filtrasi,
reabsorsi dan fleksibilitas proses ekskresi maupan konservasi solute dan air
menjadi berkurang). Sedikit perubahan dapat mengubah keseimbangan yang
rawan karena makin rendah GFR semakin besar perubahan kecepatan ekskresi
pernefron, hilang kemampuan memekatkan / mengencerkan kemih menyebabkan
berat jenis urine 1,010 atau 285 m Os mol sehingga menybabkan poliuria dan
nokturia. (Price, 1995).
Hampir 1 juta unit nefron ada pada setiap ginjal yang menyumbang
kepada jumlah akhir laju filtrasi glomerulus (LFG). Tanpa mengambil kira
penyebab kerusakan jaringan ginjal, yang progresif dan menahun, ginjal
mempunyai keupayaan untuk terus mempertahankan LFG menerusi hiperfiltrasi
dan mekanisme kompensasi kerja yaitu hipertrofi pada nefron yang masih
berfungsi. Keupayaan ginjal ini dapat meneruskan fungsi normal ginjal untuk
mensekresi bahan buangan seperti urea dan kreatinin sehingga bahan tersebut
meningkat dalam plasma darah hanya setelah LFG menurun pada tahap50% dari
yang normal. Kadar kretinin plasma akan mengganda pada penurunan LFG 50%.
Walaupun kadar normalnya adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2 mg/dL, ia
menunjukkan penurunan fungsi nefron telah menurun sebanyak 50% (Arora,
2010). Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi dan
hipertrofi, walaupun amat berguna, tetapi telah menyebabkan kerusakan ginjal
yang progresif. Ini dipercayai terjadi karena berlaku peningkatan tekanan pada
kapilari glomerulus, yang seterusnya bisa mengakibatkan kerusakan kapilari
tersebut dan menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian glomerulosklerosis
segmental dan fokal (Arora, 2010).
1. Hipertensi sistemik
2.Nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal
3. Proteinuria
4. Hiperlipidemia
Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir
metabolisme protein yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun dalam
darah. Ini menyebabkan uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh penderita.
Semakin banyak timbunan produk bahan buangan, semakin berat gejala yang
terjadi. Penurunan jumlah glomerulus yang normal menyebabkan penurunan
kadar pembersihan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Dengan menurunnya LFG, ia mengakibatkan penurunan pembersihan kreatinin
dan peningkatan kadar kreatinin serum terjadi. Hal ini menimbulkan gangguan
metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea dan
vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin yang sampai ke otak bisa mempengaruhi fungsi
kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu
blood urea nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap
akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga
terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Penderita akan menjadi
sesak nafas, akibat ketidakseimbangan asupan zat oksigen dengan kebutuhan
tubuh. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal
ini menimbulkan risiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu
diperhatikan keseimbangan cairannya. Semakin menurunnya fungsi ginjal, terjadi
asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Juga terjadi penurunan produksi hormon eritropoetin yang
mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal
terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium.
Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis
berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan
adanya hipertensi (Smeltzer, 2001).
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu
sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga
jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal
jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal
yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah
satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan
pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung
menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah
perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari
mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh
ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik. (Maryono, H.H & Santoso, A., 2007)
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung
pada tiga faktor yaitu:
1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang
mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan
oleh panjangnya regangan serabut jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang
terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang
serabut jantung dan kadar kalsium.
3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan
untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan
oleh tekanan arteriole. Sibuea, W.H., Panggabean, M.M & Gultom, S.P.,
2009)
PATFIS ANEMIA
Dalam rongga Plaura terdapat kurang lebih 5 ml cairan yang cukup untuk
membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura Viseralis. Cairan ini
dihasilkan oleh kapiler Plaura parietalis karena adanya sebagian cairan ini diserap
kembali oleh kapiler paru dan plaura Viseralis sebagian kecil lainnya (10%-20%)
mengalir ke dalam pembuluh limfe. Bila kesinambungan antara produksi dan
absorbsi terganggu maka akan terjadi penumpukan cairan dirongga plaura (R.
Syamsuhidayat, 1997).
4. Manifestasi Klinis
5. Tatalaksana
Riwayat angioedema
PENYEKAT β
pemberian penyekat β
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Asma
ANTAGONIS ALDOSTERON
Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama
ACEI
Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat
ditoleransi
Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β
dan ARB atau antagonis aldosteron
Hipotensi simtomatik
Sindroma lupus
DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
INDIKASI
Fibrilasi atrial
dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 - 120
x/menit Irama sinus
Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada
indikasi.
KONTRAINDIKASI
Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga
sindroma sinus sakit
Sindroma pre-eksitasi
DIURETIK
Penatalaksanaan
a. Peranan diet
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > '150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 liter Per hari.
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cel/ (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak
c. Keluhan gastrointestinal
d. Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
e. Kelainanneuromuscular.
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu ter,api hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
3. Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 mTmenit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Husna, 2010)
Penatalaksanaan Anemia
Saat ini telah terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa,
eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing - masing eritropoietin ini berbeda
struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor serta waktu paruhnya sehingga
memungkinkan untuk memilih mana yang lebih tepat dalam menangani suatu
kasus. (Sudoyo AW, dkk. 2014)
Karena efusi pleura timbul sebagai komplikasi dari penyakit-penyakit lain, maka
pengobatan yang harus dilakukan adalah dengan cara menyembuhkan kondisi-
kondisi yang menyebabkannya. Contoh yang bisa diambil di sini adalah
pengobatan kanker dengan radioterapi dan kemoterapi, atau pengobatan
pneumonia dengan antibiotik.
Apabila cairan pada efusi pleura sudah terlalu banyak atau sudah terdapat infeksi,
maka prosedur yang harus dilakukan guna untuk mengeluarkan cairan yang
menumpuk, di antaranya:
6. Pemeriksaan penunjang
A. Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai
berikut:
1. Hiperkalemia.
2. Asidosis metabolik Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan
CHF ).
3. Kelainan hematologi (anemia).
4. Osteodistrofi renal.
B. Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnyaburuk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal.
Penatalaksanaan yang dilakukansekarang ini, bertujuan hanya untuk
mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri.Selain itu, biasanya GGK
sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjutdan
menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.
A. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita gagal jantung antara
lain :
1. Gangguan pertumbuhan
Pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama
biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih
terhambat daripada tinggi badan.
2. Dispneu
Pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan an pada
ventrikel kiri dapat mengakibatkan Bendungan paru dan
selanjutnya dapat menyebabkan dan ventrikel kanan
berkompensasi dengan mengalami hipertrofi dan menimbulkan
dispnea dan gangguan pada sistem pernapasan lainnya
3. Gagal ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah pada ginjal
sehingga akan dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak
ditangani.
4. Hepatomegali, acites, bendungan pada vena perifer dan
gangguan gastrointestinal pada gagal jantung kanan.
5. Serangan jantung dan stroke
Disebabkan karena aliran darah pada jantung rendah sehingga
menimbulkan terjadinya jendalan darah yang dapat
meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
6. Syok kardiogenik
Akibat ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup darah ke
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Biasanya
terjadi pada gagal jantung refrakter.
B. Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung :
1. Umur
Pada sebagian kecil pasien gagal jantung yang berat terjadi
pada hari atau minggu minggu pertama pasca lahir, misalnya
sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia aorta, koarktazio aorta
atau anomall total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi.
Oleh karena itu terapi medikamentosa saja sulit memberikan
hasil, tindakan invasif diperlukan segera setelah pasien stabil.
Kegagalan untuk melakukan operasi pada golongan pasien ini
hampir selalu akan berakhir dengan kematian.
2. Berat ringannya penyakit primer
Pada gagal jantung yang kurang berat, pendekatan awal adalah
dengan terapi medis adekuat, bila ini terlihat menolong maka
dapat diteruskan sambil menunggu saat yang baik untuk
koreksi bedah. Pada pasien penyakit jantung rematik yang berat
yang disertai gagal jantung, obat obat gagal jantung terus
diberikan sementara pasien memperoleh profilaksis sekunder,
pengobatan dengan profilaksis sekunder mungkin dapat
memperbaiki keadaan jantung.
3. Diabetes militus
Komplikasi kronik
Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan
peransentran terjadi komplikasi pada DM. Pada keadaan
hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol,
peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimatik serta
peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan
peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan
komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun
nefropati diabetika.
Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular,
yaitu:
• Komplikasi mikrovaskular
• Komplikasi makrovaskular
• Komplikasi neurologis
Komplikasi Mikrovaskular
Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan
gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain
pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati
diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non
proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif
merupkan stadium awal dengan ditandai adanya
mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan
adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan
adanya hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat
diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan
pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya
dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk
apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu
singkat.
A. Nefropati diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati
paling banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal
terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM
mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga
molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam
kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat
timbul kegagalan ginjal yang progresif.Nefropati diabetic
ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam),
terdapat retino pati dan hipertensi. Dengan demikian upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan
kontrol tekanan darah.
Komplikasi Makrovaskular
4. Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang
sering terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh
penderita DM. MAnifestasi klinis dapat berupa gangguan
sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati
biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut
saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang
terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau
lengan.Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi
pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol,
penurunan pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP
ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf,
demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.
Prognosis
Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang
dilakukan oleh pasien dalam mengontrol kadar gula nya.
Pasien dengan kontrol glikemik ketat (HbA1c < 7%), tanpa
disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan juga tidak ada
gangguan mikrovaskuler serta makrovaskuler akan mempunyai
harapan hidup lebih lama. Namun jika pasien memiliki riwayat
penyakit kardiovaskuler dan telah menderita diabetes lama (≥
15 tahun) akan mempunyai harapan hidup lebih singkat,
walaupun telah melakukan kontrol glikemik ketak sekalipun.
DM dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas karena
dapat berkomplikasi pada penyakit kardiovaskuler, penyakit
ginjal, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan saraf
(neuropati), dan retinopati. Pengontrolan kadar glikemik
merupakan cara efektif untuk pencegahan DM.
5. Efusi pleura
komplikasi
penatalaksanaan efusi pleura yang tidak memadai, dapat
menimbulkan komplikasi seperti empyema, sepsis,kontriktif fibrosis.
selain itu etiologi yang mendasari terjadinya efusi pleura juga dapat
menyebabkan komplikasi pada pasien.
Prognosis
prognosis pasien sangat erat kaitannya dengan penyakit yang
mendasari, Apabila penyakit yang mendasari semakin berat, prognosis
semakin buruk
DAFTAR PUSTAKA
Hoffbrand, AV., Pettit, JE., Moss, PAH, 2005. Kapita Selekta Hematologi
Edisi 4. Jakarta: EGC.
Maryono, H.H & Santoso, A., 2007, Gagal Jantung, Denpasar, Fakultas
Kedokteran UNUD
Sibuea, W.H., Panggabean, M.M & Gultom, S.P., 2009, Ilmu Penyakit
Dalam, Jakarta, Rineka Cipta