Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN TUTORIAL

ILMU PENYAKIT DALAM

Disusun oleh:
KELOMPOK I

Tutor:
dr.Abraham Ahmad Ali Firdaus, Sp.JP

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial berjudul “Skenario I” telah melalui konsultasi dan


disetujui oleh Tutor Pembimbing

Surabaya, 24 September 2019

Pembimbing
dr. Abraham Ahmad Ali Firdaus, Sp.JP
KELOMPOK PENYUSUN

FITRIA ROMADONI (6130016001)


EKA ANGGI SAFITRI (6130016002)
MUHAMMAD JAUHAN FARHAD (6130016003)
NOSA ABDELLAH RAMASIMA (6130016005)
YUNIAR REVAYANTI IFTIHAR (6130016007)
JOHAN WIJAYANTO (6130016008)
RIKA HARDIYANTI HANIFA (6130016011)
SATRIA FERDIAN TAMA (6130016012)
EGA WIDHATAMA (6130016013)
SKENARIO
TUTORIAL 1
ILMU PENYAKIT DALAM
Anamnesis
Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke UGD dengan keluhan sesak sejak 2
minggu terakhir. Sesak terutama dirasakan bila pasien beraktivitas. Sesak
memberat bila pasien berbaring. Badan terasa lemah, cepat letih dan lesu. Pasien
juga sering mengalami pusing dan kunang-kunang. Seminggu terakhir kaki pasien
bengkak dan makin memberat. Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan adanya
riwayat kencing manis sejak hampir 10 tahun ini, tidak pernah mau berobat,
pasien hanya minum obat herbal dan jamu saja. Riwayat darah tinggi tidak
diketahui pasien. Ibu pasien meninggal karena sakit kencing manis.

Pemeriksaan fisik:
Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 110 kali, RR 26 kali/menit, Suhu 360c
Kepala dan leher: Anemis + , JVP ↑
Thoraks: Sonor iktus cordis melebar,
Abdomen: Pembesaran liver
Ekskremitas: Edeme pitting pada kedua tungkai
Pemeriksaan penunjang:
 HB 6,2
 MCV 94,1
 MCH 31,9
 MCHC 33,9
 Leukosit 5300
 Platelet 180.000
 BUN 96,2
 Kreatinin 7,4 mg/dL
 GDA 190
 Albumin 2,3
 Urinalisis : Protein ++++, Reduksi +
 EKG : sinus takikardi
 Foto Rontgen : pembesaran jantung, efusi pleura bilateral minimal,
didapatkan tanda kongesti paru

STEP 1
Kata Sulit: -
Kata Kunci : -
STEP 2 :POMR
PLANNING
TPL PPL IA DIAGNOSIS THERAPY MONITOR
NG

1. Laki-laki 55 tahun  Dispnea Gagal  Echo  Furosemid  Keluhan


2. Sesak 2 minggu  Dispnea ortopnea Jantung  Kolestrol LDL 40 mg pasien
3. Sesak saat berbaring  Lemah letih lesu Kongesti  Kolestrol HDL  Maintence  Tanda vital
4. Lemah, letih, lesu  Pitting edema  Kolestrol 5mg/jam  Urin
5. Pusing dan  RPD : DM 10 th VLDL  Isosorbid  EKG
berkunang-kunang  RR 26x/mnt  Trigliserida dinitrat  Elektrolit
6. Edema pitting  ND : 110x/mnt 10mg
7. Konsumsi obat sublingual
 JVP meningkat
herbal
 Pembesaran
8. RPD : DM 10 th lalu
jantung
9. RR : 26x/mnt
10. ND :  Efusi pleura
110x/mnt  Sinus takikardi
11. Anemis  Kongesti paru
12. JVP
meningkat
13. Aus :
Vesikuler  Dispnea  BGA  Furosemid  Urin
Per : Sonor  Dispnea ortopnea Gagal Ginjal  Serum 40 mg  Hb
14. Pembesaran  Lemah letih lesu Kronik elektrolit  Transfusi  Elektrolit
liver Stadium 5 (fosfor, na, PRC
 Pusing berkunang-
15. Hb : 6,2 kalium, ca)
kunang
16. Albumin : 2,3  USG GInjal
 Konsumsi obat
17. Pretein +4
herbal
18. Pembesaran
jantung  RPD : DM 10 th
19. Efusi pleura  Anemis
bilateral minimal  Hb : 6,2
20. Kongesti paru  Albumin : 2,3
21. Sinus  Protein +4
takikardi  Bun : 96,2
22. Bun : 96,2  Kreatinin : 7,4
23. Kreatinin : 7,4
24. GDA : 196  Lemah letih lesu DM  GDP   GDA
 RPD : DM 10 th  GDPP  Pola Makan
 Kreatinin  HBA1C
 Kolestrol
LDL,HDL,VL
DL
 Trigliserida

Efusi Pleura  USG Trorak  Keluhan Sesa


 CT Scan
 Dispnea
 Dispnea ortopnea
 Lemah letih lesu
 RR : 26x/mnt
 ND : 110x/mnt
 Efusi Pleura
Bilateral Minimal
STEP 3
Hipotesis
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan terhadap pasien,
pasien tersebut didiagnosa gagal jantung kongesti, gagal ginjal kronik stadium 5,
Diabetes Mellitus, Efusi Pleura

STEP 4
Mind Mapping

Gagal Jantung

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Ventrikel kiri yang


Menurunnya Vol. Darah arteri memompa darah dari
curah jantung menurun paru Ventrikel kanan gagal
memompa darah dari paru-
paru
v

Saraf simpatis Meningkatkan


Pelepasan renin
meningkat tekanan sirkulasi
paru

Pengosongan tidak adekuat


kongesti disertai gangguan
perifer

Angiotensin I diubah Cairan terdorong


menjadi angiotensin II ke paru/ alveoli

Cairan terdorong ke paru /


alveoli
Meningkat Meningkat sekresi
tekanan darah aldosteron Suplai O2
Dispneu/batuk
menurun

LFG Reabsorbsi
Na+H2O
Gangguan pertukaran Sesak napas, kelekahan, Pembesaran V. Hepar Edema ekstremitas
gas kelemahan

Keseimbangan Na Intolerensi aktivitas


dalam darah
Hepatomegali
berubah

Edema Resiko tinggi kerusakan


integritas kulit

Kelebihan
vol.cairan
Riwayat DM 10th

Memblokir kerja
insulin

Insulin resisten

Gula darah tidak bisa


diserap oleh tubuh

Kadar gula darah


meningkat

Hiperglikemia

Diabetes Melitus

Vaskositas Darah
Meningkat

Hipertensi <140/90
mmHg

Jantung Ginjal

Kerusakan arteri
Tidak dapat
koroner jantung
reabsorbsi glukosa

Gangguan suplai
darah ke jatung Kerusakan
glomerulus ginjal

iskemik

glomerulosklerosis

STEP
Miokard infark

Resiko gagal nefropati


Resiko gagal ginjal
Gagal jantung
jantung
Learning Objective
1. Untuk mampu mengetahui diagnosis dan diagnosis banding
2. Untuk mampu menjelaskan etiologi dan faktor resiko
3. Untuk mampu menjelaskan patofisiologi
4. Untuk mampu menjelaskan manifestasi klinis
5. Untuk mampu menjelaskan tatalaksana
6. Untuk mampu menjelaskan pemeriksaan penunjang
7. Untuk mampu menegakkan komplikasi dan prognosis

STEP 7
1. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis
- Gagal Ginjal
Gagal ginjal kronik menunjukkan suatu proses yang berlanjut secara
signifikan, penurunan nefron yang irreversible, dan biasanya pada gagal
ginjal kronik stage 3-5 (Ari Sutjahjo, 2015).
- Gagal Jantung
Gagal jantung adaah sindrom kinis yang terjadi pada pasien pasien yang
mengalami sekumpulan tanda edema dan ronki) dan gejala (dyspnea dan
kelelahan) klinis akibat kelainan struktur dan/atau fungsi jantung herediter
aau didapat, yang menyebabkan perawatan di rumah sakit secara berulang,
kualitas hidup yang buruk, serta memendeknya harapan hidup (Loscalzo,
2014).
- Diabetes mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu sindroma hiperglikemia yang sering disertai
kelainan metabolisme yang terkait (lemak dan protein), yang disebabkan
oleh karena defek sekresi dan jumlah insulin (DMT1), ataupun
kombinasinya dengan resistensi insulin yang merupakan penyebab awal
(DMT2) (Tjokroprawiro dkk, 2015).
- Efusi Pleura
Efusi pleura adalah jumlah cairan nonpurulen yang berlebihan dalam
rongga pleural,antara lapisan visceral dan parietal.(Mansjoer Arif ,2001)

Diagnosis Banding
 PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) disebabkan oleh adanya
keterbatasan aliran udara yang terus menerus yang diikuti respon inflamasi
pada saluran napas dan paru-paru akibat adanya partikel asing atau gas
beracun (GOLD, 2010).
2. Etiologi dan factor resiko

Etiologi gagal ginjal kronis :


Penyebab paling umum untuk gagal ginjal kronik meliputi
glomerululonefritis, pielonefritis, hypoplasia konginetal, penyakit ginjal,
polikistik, diabetes militus, hipertensi dan sistemik lupus.
Faktor resiko :
Penyakit gagal ginjal kronis merupakan multihit process disease
sekali mengalami gangguan fungsi ginjal, banyak faktor yang akan
memperberat perjalanan penyakit. Faktor tersebut dikenal sebagai faktor
progresivitas. (Suwitra, 2014)
Etiologi gagal jantung kongestif :
Mekanisme fisiologis yang menjadi penyebab gagal jantung dapat berupa :
A. Meningkatnya beban awal karena regurgitasi aorta dan adanya cacat
septum ventrikel
B. Meningkatnya beban akhir karena stenosis aorta serta hipertensi sistemik
C. Penrunan kontraktilitas miokardium karena infark miokard, ataupun
kardiomiopati.

Gagal jantung dan adanya faktor eksaserbasi ataupun beberapa


penyakit lainnya, mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam
penagannya dan seharusnya dilakukan dengan penuh pertimbangan (Fallis,
2013)

Faktor resiko gagal jantung kongestif :


A. Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, hipertrofi
pada LV, infark miokard, obesitas, diabetes
B. Faktor resiko minor meliputi merokok, dyslipidemia, gagal ginjal kronik ,
albuminuria , anemia, strees
C. Sistem imun yaitu adanya hipersensifitas
D. Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasite dan bakteri
E. Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi
F. Faktor genetic seperti riwayat dari keluarga.

Etiologi diabetes melitus :


Pasien DM terjadi kerusakan sel beta pancreas akibat proses
autoimun ata idiopatik. Secara umum. American Diabetes Association
membagi klasifikasi DM seperti berikut :
1. DM tipe 1 autoimun atau idopatik
2. DM tipe 2
3. DM tipe lain yang disebabkan oleh :
a. Defek genetic fungsi sel beta pancreas, umumnya ditandai dengan
hiperglikemia ringan pada usia muda, biasanya sebelum 25 tahun.
Sementrra NDM merupakan diabetes yang terjadi dalam enam
bulan pertama kehidupan.
b. Defek genetic kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
d. Gangguan endokrin : akromegali, sindrom Cushing, glucagonoma,
feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma.
e. Terinduksi obat : vacor, pentamidine , asam nikotinat ,
glukokortikoid
f. Infeksi : rubella kongenital
g. DM bentuk immunde – mediated
Etiologi efusi pleura :
Penyebab efusi pleura adalah :
1. Peningkatan tekanan negative intra pleura
2. Penuruna tekanan osmotik koloid darah
3. Peningkatan tekanan kapiler subpleural
4. Ada inflamasi atau neoplastic. (Motors and Europe, 2000)

3. Patofisiologi

PATFIS GGK

Kerusakan nefron yang terus berlanjut namun sisa nefron yang masih utuh
tetap bekerja secara normal untuk mempertahankan keseimbangan air dan
elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi
beban solute dan reabsorbsi tubular dalam ginjal turun di bawah nilai normal.
Akhirnya 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban
solute bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerolus,
tubulus tidak lagi di pertahankan (keseimbangan antara peningkatan filtrasi,
reabsorsi dan fleksibilitas proses ekskresi maupan konservasi solute dan air
menjadi berkurang). Sedikit perubahan dapat mengubah keseimbangan yang
rawan karena makin rendah GFR semakin besar perubahan kecepatan ekskresi
pernefron, hilang kemampuan memekatkan / mengencerkan kemih menyebabkan
berat jenis urine 1,010 atau 285 m Os mol sehingga menybabkan poliuria dan
nokturia. (Price, 1995).

Hampir 1 juta unit nefron ada pada setiap ginjal yang menyumbang
kepada jumlah akhir laju filtrasi glomerulus (LFG). Tanpa mengambil kira
penyebab kerusakan jaringan ginjal, yang progresif dan menahun, ginjal
mempunyai keupayaan untuk terus mempertahankan LFG menerusi hiperfiltrasi
dan mekanisme kompensasi kerja yaitu hipertrofi pada nefron yang masih
berfungsi. Keupayaan ginjal ini dapat meneruskan fungsi normal ginjal untuk
mensekresi bahan buangan seperti urea dan kreatinin sehingga bahan tersebut
meningkat dalam plasma darah hanya setelah LFG menurun pada tahap50% dari
yang normal. Kadar kretinin plasma akan mengganda pada penurunan LFG 50%.
Walaupun kadar normalnya adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2 mg/dL, ia
menunjukkan penurunan fungsi nefron telah menurun sebanyak 50% (Arora,
2010). Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi dan
hipertrofi, walaupun amat berguna, tetapi telah menyebabkan kerusakan ginjal
yang progresif. Ini dipercayai terjadi karena berlaku peningkatan tekanan pada
kapilari glomerulus, yang seterusnya bisa mengakibatkan kerusakan kapilari
tersebut dan menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian glomerulosklerosis
segmental dan fokal (Arora, 2010).

Antara faktor-faktor lain yang menyebabkan kerusakan jaringan ginjal yang


bersifat progresif adalah :

1. Hipertensi sistemik
2.Nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal
3. Proteinuria
4. Hiperlipidemia

Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir
metabolisme protein yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun dalam
darah. Ini menyebabkan uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh penderita.
Semakin banyak timbunan produk bahan buangan, semakin berat gejala yang
terjadi. Penurunan jumlah glomerulus yang normal menyebabkan penurunan
kadar pembersihan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Dengan menurunnya LFG, ia mengakibatkan penurunan pembersihan kreatinin
dan peningkatan kadar kreatinin serum terjadi. Hal ini menimbulkan gangguan
metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea dan
vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin yang sampai ke otak bisa mempengaruhi fungsi
kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu
blood urea nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap
akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga
terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Penderita akan menjadi
sesak nafas, akibat ketidakseimbangan asupan zat oksigen dengan kebutuhan
tubuh. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal
ini menimbulkan risiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu
diperhatikan keseimbangan cairannya. Semakin menurunnya fungsi ginjal, terjadi
asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Juga terjadi penurunan produksi hormon eritropoetin yang
mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal
terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium.
Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis
berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan
adanya hipertensi (Smeltzer, 2001).

PATFIS GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu
sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga
jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal
jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal
yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah
satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan
pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung
menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah
perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari
mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh
ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik. (Maryono, H.H & Santoso, A., 2007)

Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump


function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa
keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai
pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula
terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda
gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat
CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan
sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang
kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan
darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan
curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan
volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme
kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu
akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan
meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini
tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi
dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal
jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi
sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume
ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum
Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misal pada penyakit koroner)
selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas.20 Selain itu kekakuan
ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. (Sibuea, W.H.,
Panggabean, M.M & Gultom, S.P., 2009)

Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi


sistemik dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter.24 Disamping itu
keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan
menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard
dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung.
Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik
menunjukan peningkatan presentase kematian jantung mendadak, karena
frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menurun. WHO menyebutkan
kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi mekanis jantung,
seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik
(emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas. (Maryono,
H.H & Santoso, A., 2007)

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan


kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah
jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan
CO= HR X SV dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung X volume
sekuncup.15 Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis
akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai,
maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama
kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan
curah jantung normal masih dapat dipertahankan.(Maryono, H.H & Santoso, A.,
2007)

Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung
pada tiga faktor yaitu:

1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang
mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan
oleh panjangnya regangan serabut jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang
terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang
serabut jantung dan kadar kalsium.
3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan
untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan
oleh tekanan arteriole. Sibuea, W.H., Panggabean, M.M & Gultom, S.P.,
2009)

PATFIS ANEMIA

Pasien GGK biasanya mengalami anemia. Penyebab utamanya adalah


defisiensi produksi eritropoietin (EPO) yang dapat meningkatkan risiko kematian,
uremia penghambat eritropoiesis, pemendekan umur eritrosit, gangguan
homeostasis zat besi. Antagonis EPO yaitu sitokin proinflamasi bekerja dengan
menghambat sel-sel progenitor eritroid dan menghambat metabolisme besi.
Resistensi EPO disebabkan oleh peradangan maupun neocytolysis. Beberapa
mekanisme patofisiologi mendasari kondisi ini, termasuk terbatasnya ketersediaan
besi untuk eritropoiesis, gangguan proliferasi sel prekursor eritroid, penurunan
EPO dan reseptor EPO, dan terganggunya sinyal transduksi EPO.15 Penyebab
lain anemia pada pasien GGK adalah infeksi dan defisiensi besi mutlak.
Kehilangan darah adalah penyebab umum dari anemia pada GGK. Hemolisis,
kekurangan vitamin B12 atau asam folat, hiperparatiroidisme, hemoglobinopati
dan keganasan, terapi angiotensin-converting-enzyme (ACE) inhibitor yang
kompleks dapat menekan eritropoiesis. (Yuni, NE, 2015)

Pasien GGK mengalami defisiensi zat besi yang ditunjukkan dengan


ketidakseimbangan pelepasan zat besi dari penyimpanannya sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan untuk eritropoiesis yang sering disebut juga
reticuloendothelial cell iron blockade. Reticuloendothelial cell iron blockade dan
gangguan keseimbangan absorbsi zat besi dapat disebabkan oleh kelebihan
hepsidin. Hepsidin merupakan hormon utama untuk meningkatkan homeostasis
sistemik zat besi yang diproduksi di liver dan disekresi ke sirkulasi darah.
Hepsidin mengikat dan menyebabkan pembongkaran ferroportin pada enterosit
duodenum, retikuloendotelial makrofag, dan hepatosit untuk menghambat zat besi
yang masuk ke dalam plasma. Peningkatan kadar hepsidin pada pasien GGK
dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. (Hoffbrand, AV., Pettit, JE.,
Moss, PAH, 2005)

PATFIS EFUSI PLEURA

Dalam rongga Plaura terdapat kurang lebih 5 ml cairan yang cukup untuk
membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura Viseralis. Cairan ini
dihasilkan oleh kapiler Plaura parietalis karena adanya sebagian cairan ini diserap
kembali oleh kapiler paru dan plaura Viseralis sebagian kecil lainnya (10%-20%)
mengalir ke dalam pembuluh limfe. Bila kesinambungan antara produksi dan
absorbsi terganggu maka akan terjadi penumpukan cairan dirongga plaura (R.
Syamsuhidayat, 1997).

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis gagal jantung kongestif


Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien,
beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang
terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta
derajat gangguan penampilan jantung. Pada penderita gagal jantung kongestif,
hampir selalu ditemukan:
1. Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
2. Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah,
asites, hepatomegali, dan edema perifer.
3. Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk
sampai delirium.

Manifestasi klinis efusi pleura


Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu nyeri
dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi pleura oleh
karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada yang ditimbulkan
oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri pleuritik menunjukkan iritasi lokal
dari pleura parietal, yang banyak terdapat serabut saraf. Karena dipersarafi oleh
nervus frenikus, maka keterlibatan pleura mediastinal menghasilkan nyeri dada
dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga bisa menjalar hingga ke perut melalui
persarafan interkostalis. Sedangkan batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial
disebabkan kompresi parenkim paru. (Roberts JR et al, 2010)

Manifestasi gagal ginjal kronik


Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai dengan
penyakit yang mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi. Pada stadium
dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal dimana GFR masih normal atau justru
meningkat. Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%,
barulah terasa keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang,
dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien
menunjukkan gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi gangguan keseimbangan
elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka timbul gejala dan komplikasi
serius dan pasien membutuhkan RRT (Suwitra, 2009).
Gejala klinis DM yang klasik : mula-mula polifagi, poliuri, dan polidipsi.
Apabila keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul gejala dekompensasi
Pankreas, yang disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan polifagi.
Ketiga gejala klasik tersebut diatas disebut pula “TRIAS SINDROM DIABETES
AKUT” bahkan apabila tidak segera diobati dapat disusul dengan mual-muntah
dan ketoasidosis diabetik. Gejala kronis DM yang sering muncul adalah lemah
badan, kesemutan, kaku otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan
penglihatan yang sering berubah, sakit sendi dan lain-lain (Tjokroprawiro, 2007 ).

5. Tatalaksana

Penatalaksanaan gagal jantung kongestif

ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)

Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal


jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup
(kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).

ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal,


hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab
itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar
kalium normal.

Indikasi pemberian ACEI

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala

Kontraindikasi pemberian ACEI

 Riwayat angioedema

 Stenosis renal bilateral


 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L

 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL

 Stenosis aorta berat

PENYEKAT β

Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien


gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
Indikasi

pemberian penyekat β

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)

 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan

 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)

Kontraindikasi pemberian penyekat β

 Asma

 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu


jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

ANTAGONIS ALDOSTERON

Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil


harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan
hidup.

Indikasi pemberian antagonis aldosteron

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)

 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)

Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron

 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L

 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL

 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium

 Kombinasi ACEI dan ARB

ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)

Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung


dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,
ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.

Indikasi pemberian ARB

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk

Kontraindikasi pemberian ARB

 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema

 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan

 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama
ACEI

HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,


kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN

 Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi

 Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat
ditoleransi

 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β
dan ARB atau antagonis aldosteron

Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN

 Hipotensi simtomatik

 Sindroma lupus

 Gagal ginjal berat

DIGOKSIN

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)

INDIKASI

Fibrilasi atrial

 dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 - 120
x/menit Irama sinus

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)

 Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada
indikasi.

KONTRAINDIKASI

 Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga
sindroma sinus sakit

 Sindroma pre-eksitasi

 Riwayat intoleransi digoksin

DIURETIK

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis


atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI), 2015)
Penatalaksanaan gagal ginjal kronis

Penatalaksanaan

1. Terapi konservatil Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah


memburuknya laal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit

a. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah


atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk iangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan iumlah kalori

Kebutuhan iumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus


adekuat dengan tuiuan utama yaitu mempertahankan keseimbangan positil
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > '150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 liter Per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan iumlah mineral dan elektrolit bersifat individual


tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolik

asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium


(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodlum bicarbonat) harus segera
diberikan intavena bila pH < 7,35 atau serum bikarbonat < 20 mEq/l.

b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cel/ (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering


dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan si mtomatik.

d. Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.

e. Kelainanneuromuscular.

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu ter,api hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

3. Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 mTmenit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Husna, 2010)

Penatalaksanaan Anemia

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah dengan mengobati


penyakit dasarnya. Terdapat juga beberapa pilihan untuk menangani anemia pada
penyakit kronis, diantaranya yaitu :
 Transfusi
Transfusi merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai dengan
dengan gangguan hemodinamik. Beberapa literature menyebutkan bahwa
pasien anemia pada penyakit kronik yang disertai infark miokard, transfusi
dapat mengurangi resiko kematian secara bermakna. Tidak ada batasan
yang pasti pemberian transfusi harus dilakukan pada kadar hemoglobin
berapa, namun sebaiknya kadar hemoglobin pada pasien dipertahankan
pada 10-11 gr/dL.
 Eritropoietin
Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi beserta efek
sampingnya, pemberian eritropoietin juga mempunyai beberapa
keuntungan, yaitu:
a. Mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi dari
TNF-α dan interferon-γ.
b. Pemberian eritropoetin juga akan menambah proliferasi dari sel-sel
kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan
leher.

Saat ini telah terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa,
eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing - masing eritropoietin ini berbeda
struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor serta waktu paruhnya sehingga
memungkinkan untuk memilih mana yang lebih tepat dalam menangani suatu
kasus. (Sudoyo AW, dkk. 2014)

Penatalaksanaan efeusi pleura

Karena efusi pleura timbul sebagai komplikasi dari penyakit-penyakit lain, maka
pengobatan yang harus dilakukan adalah dengan cara menyembuhkan kondisi-
kondisi yang menyebabkannya. Contoh yang bisa diambil di sini adalah
pengobatan kanker dengan radioterapi dan kemoterapi, atau pengobatan
pneumonia dengan antibiotik.
Apabila cairan pada efusi pleura sudah terlalu banyak atau sudah terdapat infeksi,
maka prosedur yang harus dilakukan guna untuk mengeluarkan cairan yang
menumpuk, di antaranya:

 Prosedur thoracocentesis atau punksi pleura selain untuk mengambil


sampel cairan pleura untuk dianalisis, juga dapat untuk mengeluarkan
cairan pleura dengan volume besar.
 Pemasangan chest tube selama beberapa hari ke dalam rongga pleura
melalui bedah torakotomi.
 Pemasangan kateter secara jangka panjang lewat kulit ke dalam ruang
pleura (pleural drain), untuk efusi pleura yang terus muncul.
 Penyuntikan zat pemicu iritasi (misalnya talk, doxycycline,
atau bleomycin) ke dalam ruang pleura melalui selang khusus guna
mengikat kedua lapisan pleura, sehingga rongga pleura tertutup. Prosedur
yang dinamakan pleurodesis ini biasanya diterapkan untuk mencegah efusi
pleura yang kerap kambuh. (Kharkanis, dkk. 2012)

6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang gagal jantung kongestif


Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosa CHF yaitu:
1. Elektro kardiogram (EKG)
Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia,
takikardi, fibrilasi atrial
2. Scan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan Memperkirakan dinding.
3. Sonogram echokardiogram doppler)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katub atau Pergerakan (echocardiogram, area penurunan
kontraktilitas ventricular.
4. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katub atau insufisiensi.
5. Rongent Dada
Dapat menunjukan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi
atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal
6. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal,
terapi diuretic
7. Oksimetri Nadi
Saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif
akut menjadi kronis.
8. Analisa Gas Darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir)
9. Pemeriksaan Tiroid
Peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung kongestif

Pemeriksaan penunjang CKD


emeriksaan Penunjang
a. Radiologi Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi
ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit
dan asam basa.
b. Foto Polos Abdomen Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu
atau obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko
terjadi penurunan faal ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan
nefropati asam urat.
d. USG Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi
sistem pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan
prostat.
e. Renogram Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan
(vaskuler, parenkhim) serta sisa fungsi ginjal
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung Mencari adanya kardiomegali, efusi
perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi Tulang Mencari osteodistrofi (terutama pada
falangks /jari) kalsifikasi metatastik
h. Pemeriksaan radiologi Paru Mencari uremik lung yang disebabkan karena
bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde Dilakukan bila dicurigai adanya
obstruksi yang reversible
j. EKG Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-
tanda perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi Ginjal dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal
ginjal kronis atau perlu untuk mengetahui etiologinya.

Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal :


1. Laju endap darah
2. Urin
3. Ureum dan kreatinin
4. Hiponatremia
5. Hiperkalemia
6. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8. Gula darah tinggi
9. Hipertrigliserida
10. Asidosis metabolic

7. Komplikasi dan Prognosis


1. Gagal ginjal kronik

A. Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai
berikut:

1. Hiperkalemia.
2. Asidosis metabolik Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan
CHF ).
3. Kelainan hematologi (anemia).
4. Osteodistrofi renal.
B. Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnyaburuk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal.
Penatalaksanaan yang dilakukansekarang ini, bertujuan hanya untuk
mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri.Selain itu, biasanya GGK
sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjutdan
menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.

2. Gagal jantung kongestif

A. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita gagal jantung antara
lain :
1. Gangguan pertumbuhan
Pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama
biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih
terhambat daripada tinggi badan.
2. Dispneu
Pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan an pada
ventrikel kiri dapat mengakibatkan Bendungan paru dan
selanjutnya dapat menyebabkan dan ventrikel kanan
berkompensasi dengan mengalami hipertrofi dan menimbulkan
dispnea dan gangguan pada sistem pernapasan lainnya
3. Gagal ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah pada ginjal
sehingga akan dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak
ditangani.
4. Hepatomegali, acites, bendungan pada vena perifer dan
gangguan gastrointestinal pada gagal jantung kanan.
5. Serangan jantung dan stroke
Disebabkan karena aliran darah pada jantung rendah sehingga
menimbulkan terjadinya jendalan darah yang dapat
meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
6. Syok kardiogenik
Akibat ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup darah ke
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Biasanya
terjadi pada gagal jantung refrakter.

B. Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung :
1. Umur
Pada sebagian kecil pasien gagal jantung yang berat terjadi
pada hari atau minggu minggu pertama pasca lahir, misalnya
sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia aorta, koarktazio aorta
atau anomall total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi.
Oleh karena itu terapi medikamentosa saja sulit memberikan
hasil, tindakan invasif diperlukan segera setelah pasien stabil.
Kegagalan untuk melakukan operasi pada golongan pasien ini
hampir selalu akan berakhir dengan kematian.
2. Berat ringannya penyakit primer
Pada gagal jantung yang kurang berat, pendekatan awal adalah
dengan terapi medis adekuat, bila ini terlihat menolong maka
dapat diteruskan sambil menunggu saat yang baik untuk
koreksi bedah. Pada pasien penyakit jantung rematik yang berat
yang disertai gagal jantung, obat obat gagal jantung terus
diberikan sementara pasien memperoleh profilaksis sekunder,
pengobatan dengan profilaksis sekunder mungkin dapat
memperbaiki keadaan jantung.

3. Diabetes militus
Komplikasi kronik
Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan
peransentran terjadi komplikasi pada DM. Pada keadaan
hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol,
peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimatik serta
peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan
peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan
komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun
nefropati diabetika.
Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular,
yaitu:
• Komplikasi mikrovaskular
• Komplikasi makrovaskular
• Komplikasi neurologis

Komplikasi Mikrovaskular

Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan
gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain
pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati
diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non
proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif
merupkan stadium awal dengan ditandai adanya
mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan
adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan
adanya hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat
diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan
pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya
dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk
apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu
singkat.

A. Nefropati diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati
paling banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal
terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM
mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga
molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam
kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat
timbul kegagalan ginjal yang progresif.Nefropati diabetic
ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam),
terdapat retino pati dan hipertensi. Dengan demikian upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan
kontrol tekanan darah.
Komplikasi Makrovaskular

Penyakit Jantung Koroner


Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan
suatu faktor risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan
pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada
koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri
dada paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan didaerah
rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang
timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan mereda setelah
beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.Akibat yang paling
serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan
lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun
gejala-gejala mi dapat tidak timbul pada pendenita diabetes
sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua
tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita
stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan
dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes.
Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri
vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa
pusing, sinkop, hemiplegia parsial atau total, afasia sensorik
dan motorik, keadaan pseudo-dementia
Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya
aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh
darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka
akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada
akhirnuya terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5
kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal.
Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan
keadaan seperti dislipidemia, obes, hipertensi atau merokok.
Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih
awal terjadi pada penderita diabetes dan biasanya mengenai
arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh
darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah
mencapai fase IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan
mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan factor utama
terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan
gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai
factor pencetus koma, ataupun kematian.

4. Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang
sering terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh
penderita DM. MAnifestasi klinis dapat berupa gangguan
sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati
biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut
saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang
terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau
lengan.Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi
pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol,
penurunan pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP
ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf,
demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.

Prognosis
Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang
dilakukan oleh pasien dalam mengontrol kadar gula nya.
Pasien dengan kontrol glikemik ketat (HbA1c < 7%), tanpa
disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan juga tidak ada
gangguan mikrovaskuler serta makrovaskuler akan mempunyai
harapan hidup lebih lama. Namun jika pasien memiliki riwayat
penyakit kardiovaskuler dan telah menderita diabetes lama (≥
15 tahun) akan mempunyai harapan hidup lebih singkat,
walaupun telah melakukan kontrol glikemik ketak sekalipun.
DM dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas karena
dapat berkomplikasi pada penyakit kardiovaskuler, penyakit
ginjal, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan saraf
(neuropati), dan retinopati. Pengontrolan kadar glikemik
merupakan cara efektif untuk pencegahan DM.
5. Efusi pleura
komplikasi
penatalaksanaan efusi pleura yang tidak memadai, dapat
menimbulkan komplikasi seperti empyema, sepsis,kontriktif fibrosis.
selain itu etiologi yang mendasari terjadinya efusi pleura juga dapat
menyebabkan komplikasi pada pasien.

Prognosis
prognosis pasien sangat erat kaitannya dengan penyakit yang
mendasari, Apabila penyakit yang mendasari semakin berat, prognosis
semakin buruk
DAFTAR PUSTAKA

Sutjahjo, Ari. 2015. Dasar Dasar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga


University Press. Surabaya
Tjokroprawiro Askandar. 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya
Loscalzo Joseph. 2010. Harrison’s Cardiovascular Medecine. Mc Graww
Hil. New York
Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran jilid 3. Jakarta Media
Aesculapius
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2010, Global
Strategy For The Diagnosis Management And Prevention Of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease, USA.
Price, Sylvia. A, Lorraine, M. Wilson. (1995). Buku 1 Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi : 4. Jakarta : EGC

Arora, P., Varelli, M, 2010. Chronic Renal Failure. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001, “Buku Ajar Keperawatan Medikal-


Bedah Brunner &Suddarth. Vol. 2. E/8”, EGC, Jakarta.

R. Syamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 1997.

Hoffbrand, AV., Pettit, JE., Moss, PAH, 2005. Kapita Selekta Hematologi
Edisi 4. Jakarta: EGC.

Yuni, NE, 2015. Kelainan Darah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Maryono, H.H & Santoso, A., 2007, Gagal Jantung, Denpasar, Fakultas
Kedokteran UNUD

Sibuea, W.H., Panggabean, M.M & Gultom, S.P., 2009, Ilmu Penyakit
Dalam, Jakarta, Rineka Cipta

Roberts ME, Neville E, Berrisford RG, Antunes G, Ali NJ, 2010,


Management of Malignant Pleural Effusions: British Thoracic Society Pleural
Disease Guideline
Suwitra K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, et al., 3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing
Manifestasi klinis Diabetes mellitus
Tjokroprawiro, Askandar. 2007. ILMU PENYAKIT DALAM. Surabaya :
Airlangga University Press.
Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2006 ini dafpus ckd
Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Dalam UPH
Karkhanis VS, Joshi JM. Pleural effusion: diagnosis, treatment, and
management. Open Access Emerg Med. 2012; 4: 31-52
Konsesus Pencegahan dan Pengelolaan Nasional Penatalaksanaan
Diabetes
Mellitus tipe 2 di Indonesia, Perkeni, 2006
Marewa, L. W. (2015). Kencing Manis (Diabetes Mellitus) di Sulawsi
Selatan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Karkhanis VS, Joshi JM. Pleural effusion: diagnosis, treatment, and
management. Open Access Emerg Med. 2012; 4: 31-52

Anda mungkin juga menyukai