Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu hadis merupakan salah satu ilmu pengetahuan agama Islam yang
harus dipelajari dan dipahami bagi masyarakat muslim, khususnya bagi para
intelektual muslim yang tertarik dan menekuni disiplin ilmu hadis. Ilmu ini
merupakan pengetahuan yang didalamnya mengandung pembicaraan tentang
segala perkataan, perbuatan serta segala sifat dan keadaan Nasbi Muhammad
saw. Atau secara umum sebuah pengetahuan yang berhubungan tentang
keadaan para perawi yang hendak diterima atau ditolaknya dalam
meriwayatkan sebuah hadis nabi.1
Hadis bagi umat Islam merupakan suatu yang penting karena didalamnya
terungkap sebagai tradisi yang bekembang masa Rasulullah saw. tradisi-tradisi
yang hidup masa kenabian tersebut mengacu kepada pribadi Rasulullah saw.
sebagai utusan Allah swt. Di dalamnya sarat akan berbagai ajaran Islam. Oleh
karena itu keberlajutannya terus berjalan dan berkembang sampai sekarang.
Adanya keberlanjutan tradisi itulah sehingga umat manusia zaman sekarang
bisa memahami, merekam dan melaksanakan tuntunan ajaran Islam.2
Pada zaman Rasulullah tidak diperbolehkan menulis selain ayat Al-
Quran dan juga begitu banyak hadis dikhawatirkan merupakan hadis palsu,
maka bermunculan penelitian-penelitian tentang kajian ulmu hadis. Salah
satunya adalah melihat hadis dari banyak atau sedikitnya jumlah perawi.
Seorang muslim tidak boleh meyakini bahwa semua hadis shahih dan juga
tidak benar bila menganggap semua hadis adalah palsu. Maka dalam
menentukan status suatu hadis dapat lebih dipertimbangkan jika mengetahui
banyak sedikitnya perawi hadis tersebut. Pembagian hadis berdasarkan
kuantitasnya ada dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Dalam makalah
ini penulis akan memaparkan pengertian, macam-macam dan syarat hadis
mutawatir dan ahad.

1
Abdul Fatah Idris, Ulumul Hadis (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hal. 1.
2
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), hal.
1.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hadis ahad?
2. Apa saja pembagian hadis ahad?
3. Apa hujjah hadis ahad ?
4. Apa pengertian hadis mutawatir ?
5. Apa syarat-syarat hadis mutawatir dan apa saja pembagian hadis mutawatir?
6. Apa hujjah hadis mutawatir?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian hadis ahad
2. Mengetahui pembagian hadis ahad
3. Mengetahui hujjah hadis ahad
4. Mengetahui pengertian hadis mutawatir
5. Mengetahui syarat-syarat hadis mutawatir dan pembagian hadis mutawatir
6. Mengetahui hujjah hadis mutawatir

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADIS AHAD


Secara bahasa ahad adalah satu-satu. Menurut istilah, hadis ahad adalah
hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang, atau lebih yang tidak
memenuhi syarat hadis mutawatir; atau hadis yang tidak mencapai derajat
mutawatir.3

B. JENIS HADIS AHAD


Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqat, maka hadis ahad dibagi
menjadi tiga macam :
1. Hadis Masyhur
Secara bahasa, masyhur berarti yang sudah tersebut atau yang
sudah populer. Menurut istilah, hadits masyhur adalah hadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun tidak mencapai derajat
mutawatir. Dalam hadis masyhur terdapat hadis shahih, hasan dan juga
dhaif. Jadi tidak selamanya berstatus shahih, akan tetapi tergantung
keadaan perawi.4
Contoh hadis masyhur yang shahih:
‫ْض ْال ُعلَ َما ِء؛ َحتَّى‬
ِ ‫ َولَ ِك ْن يَ ْقبِضُ ْال ِع ْل َم بِقَب‬،‫إِ َّن هللاَ الَ يَ ْقبِضُ ْال ِع ْل َم ا ْنتِ َزاعًا يَ ْنت َِز ُعهُ ِم ْن ْال ِعبَا ِد‬
‫ضل‬ َ َ‫ض ُّلوا َوأ‬
َ َ‫فَ ُسئِلُوا فَأ َ ْفتَوْ ا بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم ف‬،ً‫ْق عَالِ ًما اتَّ َخ َذ النَّاسُ ُر ُءوسًا ُجهَّاال‬ ِ ‫إِ َذا لَ ْم يُب‬
“SesungguhnyaAllah tidakakan mencabut ilmudengan mencabutnya dari
hamba, namun Allah mencabutnya dengan mematikan orang-orang alim.
Sehingga di saat Allah tidak menyisakan seorangpun dari mereka,
manusia mengangkat orang-orang yang jahil sebagai pemimpin mereka.
Mereka ditanya, merekapun berfatwa tanpa dasar ilmu sehingga sesat
dan menyesatkan.”5

3
Mohammad Ghufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), hal. 109.
4
Mohammad Ghufron dan Rahmawati, Ulumul Hadists… hal. 110.
5
Mohammad Ghufron dan Rahmawati, Ulumul Hadists… hal. 110.

3
Hadis masyhur berdasarkan popularitasnya dibagi menjadi enam,
yaitu:
a. Hadis yang masyhur dikalangan ulama hadis, misalnya :
َ‫وع يَ ْدعُو َعلَى ِر ْع ٍل َو َذ ْك َوان‬
ِ ‫قَنَتَ َش ْهرًا بَ ْع َد الرُّ ُك‬
“Bahwasannya Rasulullah membaca kunut dalam satu bulan
setelah ruku mendoakan kebinasaan kabilah Ri’il dan Dzakwan”
(HR. Bukhari Muslim).
b. Hadis yangmasyhur dikalangan ulama hadis, para ulama dan juga
masyarakat umum, seperti :
‫ال ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم ال ُم ْسلِ ُمونَ ِم ْن لِ َسانِ ِه َويَ ِد ِه‬
“Orang Islam adalah orang yang menyebabkan orang-orang
Islam selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari Muslim).

c. Hadis masyhur dikalangan ulama fiqih (fuqoha’), seperti :


ُ ‫أَ ْبغَضُ ْال َحاَل ِل إِلَى هللاِ الطَّاَل‬
‫ق‬
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalak”
(disahihkan oleh Hakim).

d. Hadis masyhur dikalangan ahli Ushul Fiqih. seperti :


‫ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا َعلَ ْي ِه‬، َ‫ َوالنِّ ْسيَان‬،َ‫ُرفِ َع ع َْن أُ َّمتِي ْالخَ طَأ‬
“Diangkat (dimaafkan) dari umatku (sesuatu perbuatan yang
dilakukan karena) tersalah, lupa atau karena dipaksakan."(HR.
Ibn Hibban dan al-Hakim).

e. Hadits yang masyhur dikalangan ulama bahasa Arab, seperti :


ِ ‫نعم ال َعبْد صُ هَيْب لَو لم يخف هللا لم يَع‬
‫ْصه‬
“Hamba yang paling baik adalah Suhayb, meskipun tidak takut
kepada Allah, ia tidak maksiat kepada-Nya”.

f. Hadits yang masyhur di kalangan masyarakat umum, seperti:


‫ال َع َجلَةُ ِمنَ ال َّش ْيطَا ِن‬
“Terburu-buru termasuk (perbuata) setan”(HR al-Turmudzi dan
dia menilainya sebagai hadis hasan).6

Kitab-kitab hadis masyhur yang populer adalah :


6
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 52.

4
a. Al-Maqashid al-Hasanah fima Isytahara ‘ala al-Alsinah, karya al-
Sakhawi.
b. Kasyfu al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas fima Isytahara min al-Hadis
‘ala al-Sinah al-Nas, karya Isma’il al-Syafi’I al-‘Ajluni.
c. Tamyiz at-Thayyib min al-Khabits fima Yadur ‘ala al-Sinati al-Nas
min al-Hadis, karya Ibnu al-Daiba’ al-Syaibani. 7
2. Hadis ‘Aziz
Secara bahasa,‘aziz berarti mulia atau kuat.Sedangkan secara istilah,
hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang perawi saja,
meskipun dalam satu thabaqah (tingkatan).Apabila pada salah satu
thabaqah didapati dua orang perawi, maka pada hadis tersebut
dinamakan hadis ‘aziz.Dengan demikian, terdapat dua perawi pada salah
satu thabaqah, walaupun setelah itu yang menerima dari keduanya
terdapat sekelompok perawi.8
Sebagaimana halnya hadis masyhur, hadis ‘aziz ada yang shahih,
hasan, dha’if bahkan mawdhu’ tergantung pada keberadaan sanad dan
matan hadis yang bersangkutan. Karena itu, tidak setiap hadis ‘aziz itu
shahih dan tidak pula setiap hadis shahih adalah ‘aziz.9
Contoh hadis ‘aziz adalah:
َ‫ الَ ي ُْؤ ِمنُ أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُكون‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ِ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬
ِ ‫ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬
. َ‫اس أَجْ َم ِعين‬
ِ َّ‫أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬
"Dari Abu Hurairah r.a bahwasa Rasulullah saw., bersabda: 'Tidaklah
beriman seseorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada
ayahnya, anaknya dan seluruh manusia.”(HR. Bukhari Muslim).10

3. Hadis Gharib
Menurut bahasa gharib berarti sendiri, jauh dari kerabat atau asing.
Menurut istilah, hadis gharib adalah hadis yang terdapat dalam sanad-
nya seseorang yang menyendiri di mana saja penyendirian dalam sanad
itu terjadi. Dengan demikian, dinamakan hadis gharib, karena terdapat
satu perawi pada salah satu thabaqah. Jika perawinya tsiqat maka disebut
7
Mohammad Ghufron dan Rahmawati, Ulumul Hadists… hal. 112
8
Mohammad Ghufron dan Rahmawati, Ulumul Hadists… hal. 113
9
Zarkasih, Pengantar… hal. 55
10
Zarkasih, Pengantar… hal. 55

5
hadis shahih, jika perawinya dibawah kualitas tsaqat maka disebut hadis
hasan, dan jika perawinya dha’if maka disebut hadis dha’if.
Hadis gharib disebut juga hadis fard. Namun sebagaian ulama
membedakan, hadis fard untuk hadis gharib mutlak. Sedangkan hadis
gharib untuk hadis gharib nisbi.11
Terdapat dua jenis hadis gharib yaitu :
a. Gharib Mutlak
Gharib mutlak terjadi apabila penyendiriannya menyangkut
personalia periwayat. Penyendirian periwayat hadis gharib mutlak
tidak terjadi pada level sahabat, tetapi generasi setelah sahabat. Sebab
penyedirian periwayat dari generasi sahabat harus dikembalilkan
pada prinsip yang dipegang teguh oleh para ulama hadis, yakni al-
sahabat kulluhum ‘udulun, semua periwayat hadis dijamin
keadilannya. Karena tujuan untama pembahasan penyendirian
periwayat pada hadis gharib adalah apakah riwayatnya masih
diterima atau ditolak sama sekali. Penyendirian periwayat itu bisa
terjadi pada tingkat tabiin saja, dan bisa juga terjadi pada seluruh
generasi sanad.12
Contoh hadis gharib mutlak adalah hadis yang diriwayatkan oleh
‘Umar ibn al-Khatab bahwa Nabi bersabda:
ِ ‫إِنَّ َما ْاألَ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
ٍ ‫ت َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬
‫ئ َما نَ َوى‬
“Sesungguhnya amal perbuatan itu terganting pada niat, dan
ganjaran seseorang tergantung pada apa yang ia niatkan” (HR.
Bukhori-Muslim).13

b. Gharib Nisby
Gharib nisby terjadi apabila penyendirian berkaitan dengan sifat
atau keadaan periwayat. Penyendirian model ini terdiri dari:
penyendirian mengenai sifat keadilan dan kedhabitan periwayat,
penyendirian asal-usul periwayat, penyendirian karena meriwayatkan
dari periwayat tertentu (para periwayat lain mengambil hadis dari
11
Mohammad Ghufron dan Rahmawati, Ulumul Hadists… hal. 115
12
Ikhrom, Pengantar Ulumul Hadits (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hal. 176
13
Zarkasih, Pengantar… hal. 176

6
periwayat tsiqah, sementara ada seorang periwayat yang mengambil
dari seorang guru yang tidak tsiqah), gharib pada sanad dan matan,
gharib pada aspek sanad saja, dan gharib pada aspek matannya saja.14
Contoh hadis gharib nisbi adalah:
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َد َخ َل َم َّكةَ َو َعلَى َر ْأ ِس ِه ْال ِم ْغفَ ُر‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

“Bahwasannya Nabi saw. Mekkah dan di atas kepalanya terdapat


penghapus” (HR. Bukhari Muslim).15

Dilihat dari segi cara periwayatannya, dikalangan ulama hadis,


hadis gharib nisbi dibagi menjadi beberapa kategorigharib. Mahmud
al-Thahhan membaginya sebagai berikut:
1) Seorang periwayat menyendiri dalam meriwayatkan hadis.
2) Periwayat tertentu secara tersendiri meriwayatkan dari
periwayat tertentu pula.
3) Periwayat menyendiri dari daerah atau tempat tertentu.
4) Periwayat menyendiri dari daerah atau tempat tertentu dan tidak
dari daerah atau tempat yang lain.16
Kitab-kitab hadis gharib yang populer yaitu :
a. Athraf al-Gharaib wa al-Afrad, karya Muhammad ibn Thahit al-
Maqdisi.
b. Al-Ifrad, karya al-Daruqthni (306-385 H)
c. Al-Sunan allati Tafarrad bikulli Sunnah minha Ahl Baldah, karya Abu
Daud ak-Sijistani.17

C. Kehujjahan Hadis Ahad

14
Ikhrom, Pengantar… hal. 177
15
Zarkasih, Pengantar… hal. 57
16
Zarkasih, Pengantar… hal. 57
17
Mohammad Ghufron dan Rahmawati, Ulumul Hadists… hal. 118

7
Jumhur ulama sepakat, bahwa hadis ahad yang telah memenuhi
ketentuan maqabul (diterima), maka hukumnya adalah wajib untuk
diamalkan.
Ibnu Qayyim menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad
sebagai dasar beramal dengan mengatakan, ada tiga segi keterkaitan
Sunnah dengan al-Qur’an, yaitu kesesuaian terhadap ketentuan yang ada
dalam al-Qur’an, menjelaskan maksud al-Qur’an dan menetapkan hukum
yang tidak ada dalam al-Qur’an.18

D. Pengertian Hadits Mutawatir


Menurut bahasa, kata mutawatir berarti : ‫ متابع‬atau £‫ متتبع‬maksudnya:
Yang datang beriringan antara satu dengan lainnya dengan tidak ada
perselangannya. Menurut istilah: Hadits Mutawatir ialah hadits yang
diriwayatkan oleh orang banyak, berdasarkan panca indera yang menurut
adat, mustahil mereka terlebih dahulu untuk sepakat berdusta. Keadaan
periwayatan itu terus menerus demikian, sejak thabaqah yang pertama
sampai thabaqah yang terakhir. 19
Dalam ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Shubhi al-Shalih
mendefinisikan hadits mutawatir sebagai berikut:
Hadits sahih yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut akal
sehat dan adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (yang
diriwayatkan) dari banyak periwayat pada awal, tengah dan akhir
sanadnya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits
mutawatir itu merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh sejumlah
periwayat yang menurut logika dan adat istiadat mustahil untuk mereka
sepakat berdusta. Hadits ini diriwayatkan banyak orang periwayat pada
awal, tengah sampai akhir sanad dengan jumlah tertentu. Sandaran
beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat diindra seperti disaksikan,
didengar, diraba, dicium, ataupun dirasa.20

18
Mohammad Ghufron dan Rahmawati, Ulumul Hadists… hal. 119
19
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa, 2016), hal. 135
20
Zarkasih, Pengantar… hal. 42

8
E. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Dari beberapa definisi di atas diketahui syarat atau kriteria-kriteria
Hadits Mutawatir, yaitu:
1. Diriwayatkan oleh periwayat yang banyak;
Sehubungan dengan syarat pertama, diriwayatkan oleh periwayat
yang banyak, para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal dari
kriteria jam’un (banyak). Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah
minimal ‘banyak’ itu adalah empat. Ulama lain berpendapat 5, 7, 10,
12, 40, 70, dan bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih.
Mengutip pendapat sebagian ulama, al-Suyuthi menyatakan bahwa
pendapat yang terpilih (al-mukhthar) adalah sepuluh orang karena
merupakan batas minimal bilangan banyak. Jumlah sepuluh ini juga
dinyatakan oleh Mahmud Al-Thahhan. Tetapi Ibn Hajar al-Asqalani,
tidak disyaratkan bilangan dalam jumlah tertentu. Karena ‘banyak’ itu
adalah jumlah yang menghasilkan keyakinan pasti terhadap kebenaran
sebuah berita. Para Ulama menetapkan jumlah tertentu dengan
menyebut angka nominal antara empat sampai tiga ratusan, seperti 5,
7, 10, 12, 40 dan 70 bahkan 313 orang. Penyebutan angka tertentu itu
didasarkan pada pertimbangan tertentu pula.

Jika diperhatikan dasar argumentasi yang dikemukakakan oleh


masing-masing pedapat di atas terdapat kesan bahwa jumlah itu tidak
menunjukkan nilai akuntabilitas yang valid, apalagi pendapat-
pendapat itu tidak dapat dikompromikan sehingga sulit dipilih
pendapat yang paling benar dan dapat dijadikan patokan. Sebenarnya,
inti dari penentuan jumlah itu adalah ‘banyak orang’ yang karenanya
mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Jadi, yang penting adalah
bukan angka-angka yang menunjukkan jumlah orang yang
meriwayatkan hadits pada tiap generasi periwayat, tetapi jumlah
periwayat tertentu yang menyebabkan mereka mustahil untuk berdusta
baik diukur berdasarkan akal sehat maupun adat kebiasaan. Dengan
demikian, pendapat yang dikemukakan Ibn Hajar al-Asqalani di atas

9
merupakan pedapat yang lebih rajah dengan tidak mensyaratkan
bilangan dalam jumlah tertentu asalkan dapat menghasilkan keyakinan
pasti terhadap kebenaran dalam sebuah berita.

2. Mustahil secara logika atau adat mereka sepakat berdusta;


Hal ini disamping menunjukkan bahwa penentuan jumlah tertentu
bukan merupakan ukuran pokok untuk menetukan suatu hadits
mutawatir, tetapi yang menjadi ukuran adalah apakah dengan jumlah
orang-orang yang membawa berita itu dapat diperoleh keyakinan pasti
atau belum berdasar logika atau adat istiadat bahwa diantara mereka
tidak mungkin melakukan kesepakatan berdusta, juga menunjukkan
bahwa logika dan adat istiadat yang dijadikan ukuran adalah
pemikiran rasional yang benar dan adat istiadat yang bersifat umum
yang berlaku di berbagai tempat bukan pada tempat tertentu saja.
Dengan demikian, maka ukuran berapa pun jumlah periwayatnya,
asalkan dalam kategori banyak dapat memastikan suatu hadits disebut
mutawatir. Sebaliknya, jika keyakinan pasti belum tercapai,
berapapun banyak periwayatnya, maka tidak dapat dikategorikan ke
dalam kelompok hadits ini.
3. Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap
thabaqah (generasi/tingkatan) periwayat;
Mengenai ukuran kesamaan atau keseimbangan ini ada dua
kemungkinan. Pertama, ukuran kesamaan atau keseimbangan adalah
jumlah periwayat pada masing-masing generasi berada pada kisaran
yang sama, tidak terlalu jauh jumlahnya. Misalnya, dari kalangan
sahabat 10 orang, tabi’in 9 orang, atba’ al-tabi’in 10, dan seterusnya.
Kedua, ukuran kesamaan atau keseimbangan adalah pada jumlah
minimal yang harus dipenuhi. Misalnya, jika suatu hadits
diriwayatkan oleh sepuluh orang sahabat kemudian diterima oleh dua
puluh orang tabi’in, dan selanjutnya diriwayatkan oleh lima atau
empat orang atba’ al-tabi’in dan seterusnya dengan tidak kurang dari
jumlah itu, maka dapat disebut sebagai hadits mutawatir.

10
4. Sandaran berita berdasar pada indra.
Sandaran berita yang disampaikan oleh periwayat hadits harus
didasarkan pada jangkauan pancaindra, seperti sesuatu yang dilihat,
didengar, disentuh, dirasakan, dicium. Dengan kata lain, suatu hadits
dapat dinyatakan mutawatir antara lain apabila berita dalam hadits itu
bersifat empiris seperti hasil pendengaran, penglihatan, penciuman,
dan sentuhan. Bukan hasil kontemplasi, pemikiran atau konklusi dari
suatu peristiwa atau istinbath dari suatu dalil. Misalnya: َ ‫( َسمعْنا‬kami
mendengar), ‫(راَ ْينَـا‬kami
َ melihat), ْ َ‫(ل‬kami menyentuh), dan
‫نَا‬£££‫مس‬
sebagainya.21

F. Pembagian Hadits Mutawatir.


Hadits Mutawatir dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir
lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga ulama yang membaginya
menjadi tiga, yaitu ditambah dengan hadits mutawatir amali.
1. Hadits mutawatir lafdzi adalah adalah hadits yang mutawatir baik
lafadz maupun maknanya atau ‫ظ واحد‬££‫ت روايَتُهُ عَل َى لَ ْف‬
ْ ‫ َما تَ َواتَ َر‬Menurut
Muhammad al-Shabbagh, hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat sejak awal sampai akhir sanadnya
dengan memakai redaksi yang sama. Serta kandungan hukum yang
sama pula.
Sehubungan dengan hadits mutawatir lafdzi yang mensyaratkan:
(1) dari segi sanad harus banyak periwayat yang meriwayatkannya
sejak awal sampai akhir sanad; dan (2) matan hadits yang diriwayatkan
menggunakan redaksi yang sama, maka tidak banyak pula hadits yang
diriwayatkan dengan cara ini.
Dari hasil penelitian para ulama, mereka menyimpulkan bahwa:
(1) tidak ada hadits mutawatir lafdzi (pendapat ibn Hibban al-Khazmi);
(2) jumlah hadits mutawatir lafdzi sangat sedikit sehingga sukar
dikemukakan (pendapat Ibn al-Shalah dan al-Nawawi); (3) hadits

21
Zarkasih, Pengantar… hal. 43

11
mutawatir lafdzi memang sedikit tetapi bukan sangat sedikit apalagi
tidak ada. Menurut Ibn Hajar pendapat bahwa hadits mutawator sedikit
sekali atau tidak ada itu terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang
jalan-jalan atau keadaan-keadaan para periwayat serta sifat-sifatnya
yang menghendaki bahwa mereka itu tidak mungkin mufakat untuk
berdusta.
Diantara contoh hadits mutawatir lafdzi adalah sabda Rasulullah
SAW.:

“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah


dia siap untuk menduduki tempatnya di api neraka”

Menurut Al-Bazzar, Hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat,


An-Nawawy menyatakan, diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.22
2. Hadits Mutawatir Ma’nawi
Yakni hadits mutawatir maknanya saja bukan lafalnya ‫ما تواتر معناه‬
‫دون لفظة‬. Hadits mutawatir kategori ini disepakati penukilannya secara
makna tetapi redaksinya berbeda-beda. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib
mendefinisikan hadits mutawatir ma’nawi sebagai “Hadits yang
periwayatannya disepakati maknanya, akan tetapi lafalnya tidak”.”
Contoh hadits mutawatir ma’nawi:
a. Hadits tentang mengangkat tangan waktu berdo’a di luar sholat. Ada
sekitar 100 hadits yang bila dikumpulkan dapat disimpulkan, bahwa
Nabi bila berdo’a di luar shalat, beliau selalu mengangkat tangan. Di
antara hadits tersebut adalah sebagai berikut:
1) Yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَل يَرْ فَ ُع يَ َد ْي ِه فِي َش ْي ٍء ِم ْن ُدعَائِ ِه إِاَّل فِي ااِل ْستِ ْسقَا ِء‬
َ ‫ال َكانَ النَّبِ ُّي‬
َ َ‫ق‬
‫َوإِنَّهُ يَرْ فَ ُع َحتَّى يُ َرى بَيَاضُ إِ ْبطَ ْي ِه‬
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengangkat
tangannya saat berdoa kecuali ketika berdoa dalam shalat

22
Zarkasih, Pengantar… hal. 47

12
istisqa'. Beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih
kedua ketiaknya." (HR. Bukhori Muslim)
2) Yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim:
( ‫ه َكانَ ) رواه احمد و ابو داود الحاكم‬£ِ ‫ه َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي‬£ِ ‫يَرْ فَ ُع يَ َد ْي‬
“(Pada saat berdo’a) Rasulullah mengangkat kedua tangannya,
sejajar dengan kedua pundaknya”.

b. Hadits-hadits tentang syafa’ah Rasulullah, tentang bermimpi melihat


Rasulullah, tentang terbitnya air diantara jari-jari Rasulullah, dan
sebagainya. Demikian menurut Ibnu Taimiyah.23
3. Hadits Mutawatir Amaly
Yaitu sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk
urusan agama dan telah mutawatir antara dikalangan umat Islam,
bahwa Nabi SAW. mengajarkannya, menyuruhnya, atau selain dari itu.
Dalam artian yaitu, amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh
Rasulullah SAW. kemudian diikuti oleh para sahabat, lalu diikuti oleh
para Tabi’in dan seterusnya diikuti oleh generasi demi generasi, sampai
saat kita sekarang ini.
Macam-macam hadits mutawatir ini banyak jumlahnya, seperti
hadits yang menerangkan waktu shalat, rakaat shalat, shalat jenazah,
sholat ‘id, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain. Prof. Hasbi
berpendapat, bahwa segala rupa amal ibadah yang telah menjadi ijma’
dikalangan ulama, dikategorikan sebagai hadits mutawatir Amaly.24

G. Kehujjahan Hadis Mutawatir


Para ulama sepakat tentang hadis mutawatir yang memberi faedah
ilmu dharuri (suatu keharusan menerimanya secara utuh yang diberitakan
hadis mutawatir tersebut), hingga membawanya kepada keyakinan yang
qath’i (pasti) dalam penerimaannya.
Hadis mutawatir merupakan tingkat riwayat tertinggi. Jenis hadis
mutawatir bersifat qath’i al-tsubut (abash secara mutlaq) dan disejajarkan

23
Syuhudi Ismail, Pengantar … hal. 138
24
Zarkasih, Pengantar… hal. 49

13
dengan wahyu. Adapun orang yang mengingkari hadis mutawatir dinilai
kafir.25

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
25
Mohammad Ghufron dan Rahmawati, Ulumul Hadists… hal. 108

14
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa :

1. Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, dua
orang, atau lebih yang tidak memenuhi syarat hadis mutawatir.
2. Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqat, maka hadis ahad
dibagi menjadi tiga macam, yaitu Hadis Masyhur, Hadis ‘Aziz dan
Hadis Gharib.

3. Hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqabul (diterima),


maka hukumnya adalah wajib untuk diamalkan.
4. Hadits Mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak,
berdasarkan panca indera yang menurut adat, mustahil mereka
terlebih dahulu untuk sepakat berdusta.

5. Hadits Mutawatir dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir


lafdzi, mutawatir ma’nawi dan mutawatir amali.

6. Hadis mutawatir merupakan tingkat riwayat tertinggi. Jenis hadis


mutawatir bersifat qath’i al-tsubut (abash secara mutlaq) dan
disejajarkan dengan wahyu.

B. SARAN

Demikianlah makalah yang kami buat, kami berharap agar para


pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini. Dalam pembuatan
makalah ini kami sadar bahwa banyak kekurangan dan kesalahan, oleh
karenanya kami butuh saran dan kritik yang sangat membangun untuk
kedepannya.

15

Anda mungkin juga menyukai