dan Wahyu
RUSMADI
Renungkan Pertanyaan-
Pertanyaan Berikut...
Dua macam instink (ilham) tersebut terdapat dalam jiwa setiap manusia
juga diungkapkan dalam Aquran dengan sebutan Fujur dan Taqwa
Surat Al-Syams/91: 8, Artinya : “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya” (QS. Asy-Syams/91:8).
Dua macam ilham tersebut merupakan potensi manusia “untuk
berbuat baik dan berbuat buruk”
Karena sifatnya berupa potensial, maka aktualisasi instink ini tergantung
pada kecendrungan/kemauan manusia untuk mengaktualkan instink
mana dari kedua instink tersebut, mau memaksimalkan insting kebaikan
atau insting keburukan Di sinilah Allah SWT memberi agama
(melalui wahyu) dan kemudian menegakan hukum melalui reward
and punishment. Melalui wahyu juga manusia menjadi tahu
tentang bagaimana berterima kasih kepada Allah SWT.
Itulah kenapa kita tetap membutuhkan tuntunan Allah
berupa wahyu, meskipun akal kita mampu menemukan
kebenaran
Apakah pertanyaan di awal tadi
terjawab?
SUDAH BELUM
Tetapi ada pertanyaan
selanjutnya…
1) Ali bin Abi Talib, menghimpun al-Qur’an setelah Rasullullah saw wafat. ia datang membawa
mushaf al-Qur’an dengan seekor unta dan berkata: Inilah al-Qur’an yang saya himpun. Ia
membagi mushaf al-Qur’an menjadi tujuh juz, yaitu: Juz al-Baqorah, juz Ali Imran, juz an-Nisa,
juz al-Maidah, juz al-An’am, juz al-araf dan juz al-Anfal. Bagian-bagian itu diberi nama dengan
lafat yang disebut pada permulaan tiap-tiap juz.
2) Ubai bin Ka’b Mushafnya masih dipelihara di Basrah, di kampung “Qaryah al-Ansar” disimpan
oleh Muhammad bin Abd al-Malik al-Ansariy, Mushafnya antara lain : Fatihul- kitab, al-Baqarah,
an-Nisa, Ali Imran, an-An’am dst.
3) Abdullah bin Mas’ud tidak menulis al- Mu’awwizatain dalam mushafnya dan tidak menulis
fatihatul-Kitab. Mushafnya antara lain : Al-Baqarah, an-Nisa’, Ali Imran, Sad, al- An’am al-
Maidah, Yunus, Bara’ah, dts.
5) Perdebatan susunan Surat al-Anfal dan al-Baroah sebagaimana hadits berikut ini:
Susunan al-Qur’an bersifat
Tauqifi atau ijtihadi?
Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Tirmizi. Al-Nasa’i, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari
abbas ia berkata : “ Aku berkata kepada usman: Apakah yang mendorong
engkau sengaja memasukan surat al-Anfal padahal ia termasuk “ al-Masani”
( surat-surat yang dibawah 100 ayat jumlahnya) dan juga surat Bara’ah padahal
ini termasuk “al-miun” (surat-surat yang terdiri dari lebih kurang 100 ayat
jumlahnya). Kemudian engkau gabungkan kedua ayat ini dan tidak menulis
antara kedua surat itu basmalah dan engkau letakkan keduanya didalam
kelompok” tujuh surat yang panjang” . Maka Usman berkata “ Adalah
Rasullullah turun kepadanya ( menerima) surat-surat yang mempunyai bilangan
ayat yang berbeda. Maka apabila turun wahyu kepadanya , ia memanggil
sebagai penulis wahyu, dengan pesan agar meraka meletakkan ayat-ayat ini di
dalam surat Nabi sebutkanlah nama suratnya ini dan itu” dan adalah surat al-
Anfal itu termasuk fase permulaan dari surat-surat madaniyah, dan surat
bara’ah termasuk surat yang akhir turunya, sedang qisah yang ada padaq
kedua surat itu serupa. Maka saya kira surat Bara’ah itu masih sebagian dari
surat al-Anfal. Kemudian Nabi wafat. Dan ia tidak menjelaskan kepada kami
bahwa surat bara’ah itu sebagai dari surat al-Anfal. Karena itulah, saya
gabuingkan keduanya, dan saya letakkan keduanya di dalam kelompak “ tujuh
surat panjang”
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT, tetapi ia
menggunakan bahasa manusia (Bahasa Arab). Apakah al-
Qur’an itu kalamullah atau produk budaya? Apa sih
sesungguhnya pengertian wahyu itu?
Al-Qur’an = Produk Budaya
Nashr Hamid Abu Zayd menyebut bahwa “Al-Qur’an adalah produk budaya,
dan sekaligus produsen budaya”
Abu Zayd menganggap Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu
merupakan seseorang yang memiliki kecerdasan kenabian yang luar biasa
(termasuk kecerdasan linguistik), yang mampu menerima pesan dan
mengolahnya menjadi sebuah komunikasi yang bisa dipahami oleh
masyarakat Abu Zayd memahami bahwa wahyu (al-Qur’an) itu
diturunkan secara maknawi kepada Jibril, sedangkan lafaznya (teks) dari
Jibril dan Muhammad yang meriwayatkannya dan mengolahnya
Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah sebagai “spirit wahyu” al-Qur’an
merupakan bentuk perubahan dari wahyu (yang berupa “pesan rahasia”)
menjadi teks (yang berupa pesan untuk ummat). Artinya, pada saat telah
berubah menjadi teks, maka ia adalah realitas kultural. Ia adalah produk
budaya.
Al-Qur’an = Bukan Produk
Budaya