VOLUME 38
IK :
K O M
B A L I AS K
EP ALA
K E M ETAPKER
A T
IHDENGAN DAYA &T
E L
MBERJAYA
SWA
DAFTAR ISI VOLUME 38
Surat merupakan newsletter berkala empat bulanan
yang diterbitkan oleh Indonesian Visual Art Archive
(IVAA) sebagai bentuk kepedulian terhadap dunia seni
khususnya seni visual kontemporer di sekitar kita
Dipublikasikan oleh:
Indonesian Visual Art Archive (IVAA)
Jalan Patehan Tengah No. 37
Yogyakarta 55133 INDONESIA
Tel. +62 274 375 247
Tel./Fax. +62 274 372 095
Email: ivaa@ivaa-online.org
Website: Http://www.ivaa-online.org
Mailing list: Http://groups.yahoo.com/group/ivaa-
online
ISSN: 2085-5621
Penanggungjawab:
Direktur Eksekutif
Tim Redaksi:
Farah Wardani
Pitra Ayu Hutomo
Yoshi Fajar Kresno Murti
Kontributor
Hikmat Darmawan
4 Klik, klik, klik, 32 Bagaimana Mereka dan Kita Rosa Sekar Mangalandum
David Copperfield, Mewarta Seni Visual? Yoshi Fajar Kresno Murti
Digikomik Dokumentasi foto:
40 Obrolan Ahistoris dan Dwi Rahmanto
10 Blogosfer Obrolan Subversif Colin Cahill
Inggra Parandaru
Presentasi-Diskusi Colin Cahill SERRUM - Prophagraphic Movement
16 Galeri Koleksi Arsip Komik
48 IVAA Researchers Exchange IT Programmer:
M. Dzulfahmi Yahya
22 IVAA: Penyedap Rasa yang Program
Terkunci Pada Mata Desain:
52 Rangkaian Perjalanan IVAA Johanes Budi (Barakuda)
2010 Ilustrasi:
Komik Cover oleh: Aji Prasetyo (Dari Buku “Hidup Itu
Indah”, Cendana Art Media, Jakarta 2010, Hal. 31)
Drawing Halaman 16 oleh: Feri Pradigdo
Komik Halaman 24 oleh: Sunardi
TENTANG INDONESIAN VISUAL ART ARCHIVE
Indonesian Visual Art Archive (IVAA) adalah sebuah lembaga nirlaba yang berbasis di Yogyakarta, Terbit Atas Dukungan:
yang melakukan pemberdayaan infrastruktur seni visual di Indonesia. Bidang utamanya adalah Humanist Institute for Co-operation withDeveloping
dokumentasi, riset, perpustakaan serta penyelenggaraan program edukasi dan eksplorasi seni Countries, HIVOS
FORD Foundation
visual. Berdiri pada tahun 1995 dengan nama Yayasan Seni Cemeti (YSC). Mulai April 2007, YSC
berganti nama menjadi IVAA. Dengan ini IVAA juga berfungsi sebagai sebuah think-tank atau
laboratorium kreatif untuk menggagas berbagai pemikiran serta kegiatan yang mendukung
perkembangan seni visual dan budaya kontemporer, baik secara praktek maupun wacana.
PENGANTAR
K
omik, kini pada akhirnya untuk memahami
telah umum menjadi fenomena komik tersebut.
bacaan. Dulu ia dianggap e-Surat 38
semacam “tulisan” gambar menghadirkan tulisan
dengan predikat yang tidak baik “Digikomik” untuk
karena isinya dianggap dangkal, membuka diskusi lebih Sigit Soetjipto, Komik Ngisup, ‘Dajjal Alay’ (atas), ‘Dajjal Curhat’ (bawah), 2010.
3
Hasil peserta WORKSHOP KOMIK bersama AKADEMI SAMALI
(AKADEMI SAMALI Vs. FIGHT FOR RICE), Indonesian Visual Art
Archive (IVAA), Selasa, 26 Oktober 2010, Yogyakarta
Hikmat Darmawan*
KLIK-KLIK-KLIK,
DAVID COPPERFIELD,
DIGIKOMIK
S
ejak kapan hidup kita Digital, digit. Kalau dari
menjadi serba digital? segi bahasa, akhiran –al di
*Esai ini pernah disampaikan sebagai Sejarah mungkin bisa situ membuat “digital” berarti
makalah dalam Seminar “Digital
Freedom” menyajikan tanggal-tanggal. Tapi “mengandung sifat digit”. Digit
Pekan Komik dan Animasi Indonesia V, 25 dari segi kesadaran kolektif, adalah sistem besaran angka.
Juli 2005, di Kampus Maranatha, Bandung.
zap! zap! zap! …semua begitu Dalam kata ini, “digit” mengacu
Siapa saja yang ingin menanggapi
atau memberi masukan untuk tulisan cepat terjadi. Tahu-tahu tangan pada sistem biner 1-0 yang jadi
ini lebih jauh, silakan menghubungi kita lekat pada mouse, mata basis teknologi ini. Dalam sistem
penulis di hikmatdarmawan@gmail.
kita terpaku pada layar monitor, ini, nyaris apapun bisa diolah
com, atau hikmatdarmawan.facebook.
com. Saat ini, penulis sedang meneliti pikiran kita menyelami window menjadi informasi yang tersusun
globalisasi subkultur manga (komik demi window, dan umat manusia dari bit-bit 1-0 ini.
Jepang) di Jepang dan Thailand selama
setahun, dalam program API (Asian Public
seakan tak bisa lepas lagi dari Sedemikian mendasarnya
Intellectual) Fellowship 2010. segala yang serba digital ini. bit, atau byte, sampai-sampai
4
banyak yang memperhadapkannya (misalnya yang diterbitkan oleh Comics, Scott mendefinisikan
dengan atom, unsur pembangun Prancis juga), ia cukup membuka komik sebagai:
segala benda di alam. Orang koneksi internet, dan dalam
lantas bicara tentang ekonomi sekejap akan tersaji. …Juxtaposed pictorial
berbasis bit, misalnya, dan Tapi bagaimana kalau kita,
membandingkannya dengan misalnya di Indonesia ini, memang
or other image in
ekonomi berbasis atom. Malah menginginkan air atau anggur dari deliberate sequences…
budaya berbasis bit pun disebut- Prancis? Cobalah pikirkan, kalau (Imaji piktorial atau
sebut. Misalnya, kalau orang sekarang orang membayangkan
membaca buku yang dicetak rumah digital, kan itu bukan
lainnya yang dijajarkan
–maka tangannya memegang berarti rumah yang sepenuhnya dalam urutan yang
benda yang tersusun dari atom. terbangun dari bit, tapi rumah disengaja.)
Lain soal kalau kita membaca yang tersusun dari atom yang
e-book di monitor atau ponsel mengandung berbagai perangkat Walau sejak semula ia tak
kita –nah, itu budaya berbasis bit. digital canggih? Lha, komputer membatasi bentuk fisik komik
Malah, seperti Nicolas sendiri, sang wahana segala sebagai, dalam bukunya itu Scott
Nigroponte dalam Being Digital, peradaban digital kini, bukankah lebih banyak mengulas komik
ada juga yang mengunggulkan itu benda yang tersusun dari atom dalam bentuk buku atau majalah
budaya/ekonomi/peradaban bit di juga? (komik strip pun lazimnya dimuat
atas budaya/ekonomi/peradaban Tanpa memasuki perdebatan dalam koran atau majalah).
atom. Negroponte meminta kita dulu apakah peradaban bit lebih Yang membuat definisi di atas
membayangkan jika sebotol unggul daripada peradaban cenderung terterapkan dengan
air murni (semacam Aqua, lah) atom, komik sendiri mengalami pada komik berbentuk buku
diimpor dari Prancis ke mejanya. persoalan-persoalan khas dalam atau majalah, menurut hemat
Pasti itu melibatkan proses menghadapi dunia digital ini. saya, adalah kata “urutan yang
yang sangat panjang dan mahal: Persoalan yang bahkan menyergap disengaja” –ungkapan ini masih
pengepakan, shipment, bisnis di tahap definisi. Paling tidak, punya asosiasi dengan logika
retail yang membutuhkan toko- jika kita menyimak upaya Scott ruang dalam sebuah halaman
toko dan gudang-gudang, dan McCloud mendefinisikan komik. buku/majalah. Paling tidak,
sebagainya. Sedang kalau ia ingin Dalam bukunya yang ungkapan ini masih punya asosiasi
edisi koran elektronik terbaru fenomenal, Understanding urutan ke satu arah.
5
Scott rupanya butuh definisi
yang lebih cair. Ia, misalnya,
memikirkan kemungkinan
sebuah komik yang progresi
ceritanya mengembang ke segala
arah (konsep infinite canvas).
Kemungkinan ini terbuka,
menurut hematnya, dalam dunia
digital. Maka pada buku sekuelnya
tentang komik, Reinventing
Comics, Scott mengajukan definisi
ini:
…(Comics is)
Hasil peserta WORKSHOP KOMIK bersama AKADEMI SAMALI (AKADEMI SAMALI Vs. FIGHT FOR RICE), Indonesian
Visual Art Archive (IVAA), Selasa, 26 Oktober 2010, Yogyakarta
6
berbagai kemungkinan dalam Manipulasi juga adalah salah
komik. satu kata kunci dalam dunia
digital. Tengoklah karya Rowal,
1. Dunia David Copperfield The Alligator, yang diwarnai
Nah, mari kita membicarakan secara digital oleh Sani (studio
berbagai kemungkinan yang Graveyard Shift). Seakan karya itu
disediakan dalam dunia digital diwarnai oleh cat air. Manipulasi
kepada komik. warna ini atas bantuan program-
Dunia digital adalah dunia program grafis yang banyak
di mana semua ‘penduduknya’ tersedia dan murah. Dikerjakan
dapat menjadi David Copperfield. di PC, dan bukan perangkat
Kita tahu pesulap kelas dunia komputer Mac yang mahal.
ini masyhur karena aksi-aksi Soal menghilangkan benda-
Didoth Comics, 2003
sulapnya yang mengejutkan. benda besar atau kecil, dunia
Ia bisa menghilangkan pesawat digital jagonya. (Gambar) Cole, setelah sang ayah meninggal
tempur, menembus tembok Cina, pesawat, misalnya, kan gampang untuk waktu lama.
bahkan terbang. Ada yang bilang, saja dihilangkan –dihapus (delete), Komik jelas bisa
itu sihir dan atas bantuan jin. atau disembunyikan sementara memanfaatkan kemampuan
Ada yang bilang, itu penciptaan (dengan menyembunyikan layer manipulatif dunia digital.
ilusi yang canggih dan cerdas. yang mengandung gambar Contoh kecil, untuk menajamkan
Apapun yang benar, prinsip pesawat itu). Ingat “manipulasi dan merapikan sebuah karya.
dasarnya boleh dibilang sama: sejarah” dalam film Forest Gump? Saya punya teman muda yang
manipulasi. Entah jin membantu (Gambar) Tom Hanks disisipkan berbakat. Kalau dia menggambar
David memanipulasi dan secara digital pada dokumentasi di atas kertas, gambarnya pasti
membengkokkan hukum-hukum sejarah, sehingga seakan ia penuh coret-moret yang terkesan
fisika dan logika; entah rekayasa sedang bercakap-cakap dengan kotor. Lantas ia men-scan
nan mahal dirancang David untuk Lennon, Nixon, dan sebagainya. gambar itu, dan mengolahnya
memanipulasi persepsi kita akan Manipulasi digital pula yang dengan program Photoshop atau
realitas sehingga seolah terjadi memungkinkan penyanyi Natalie Freehand, kadang memberi pula
keajaiban. Manipulasi adalah kata Cole berduet mesra dengan warna secara digital. Kadang,
kunci. almarhum ayahnya, Nat King garis-garis dan bentuk-bentuk
7
yang tak memuaskan dibuang saja sang “manipulator” (pengguna
dengan mudah. Dan voila!, jadilah teknologi digital) termanipulasi.
karyanya ciamik dan sedap di
mata. 2. Seni Tanpa Tubuh? Seni
Jangankan sekadar merapi Tanpa Jiwa?
kan. Manipulasi bentuk secara Memang, teknologi digital
lebih ekstrim pun bisa dilakukan membuat proses produksi komik
dengan mudah secara digital. lebih cepat, lebih murah, dan
Distorsi? Bukan masalah. Filter? lebih mudah. Secara ekonomi, Awas Penguasa Tipu Rakya, Eko Prasetyo dan Terra
Bajraghosa 2006
Ada. Alterasi? Gampang. Memberi ini bagus sekali. Apakah secara
bayangan? Pencahayaan? Kesan estetik-artistik, ini bagus juga? Dengan kata lain, di situlah
tiga dimensi? Semua tinggal drag Sebermula, aktivitas kita bisa bicara tentang sebuah
dan klik. Dan demikian banyaknya menggambar dan melukis adalah karya yang berjiwa atau tidak.
fasilitas manipulasi yang aktivitas yang melibatkan tubuh (Oh, dan jangan kira ini hanya
tersedia, hingga kini para artist secara total. Tentu saja, dalam terjadi pada dunia seni rupa
bisa mencipta bentuk-bentuk menggambar atau melukis, praktis saja. Musik juga demikian. Begitu
figuratif (atau bentuk lain yang hanya tangan yang (kelihatan) pula –yang ada hubungannya
nonrepresentatif) yang hanya ada bekerja. Tapi, seperti terbaca dengan komik—menulis. Seperti
dalam imajinasi dunia digital. dalam beberapa buku teks ungkap Goenawan Mohamad
Contoh lain, fasilitas pelajaran menggambar, aktivitas dalam sebuah esai di jurnal Kalam
ctrl+Z atau “undo”. Fasilitas tangan itu harus didukung oleh tentang menyair, dan Rendra
ini sederhana, tapi dahsyat: ia tubuh yang prima. Gurisan dan dalam beberapa tulisannya,
mampu membentuk mentalitas ayunan kuas atau pena yang menulis adalah juga sebuah
bahkan modus berkarya. Fasilitas terbaik melibatkan disiplin tubuh totalitas kerja tubuh.)
ini membuat para pegrafis atau yang tinggi. Ada sebuah hubungan Karya digital, karya yang
komikus merasa lebih aman mesra antara karya dan tubuh diproses teknologi digital,
menjelajah. Tapi di tangan yang sang seniman. seringkali membuyarkan
salah, fasilitas ini malah membuat Karena hubungan mesra dan hubungan karya dan tubuh.
sembrono –proses kreatif intim antara aktivitas berkarya Tangan direduksi menjadi kerja
direduksi tak lebih dari proses dan tubuh si pembuat karya, jari, tubuh diminta duduk saja.
coba-coba. Jika sudah begini, terbit sebuah totalitas berkarya. Memang, ada teknologi digital
8
Wedhar Riyadi, Daging Tumbuh vol1 2000; Aji Prasetyo, Hidup Itu Indah 2010; Suasana WORKSHOP KOMIK bersama AKADEMI SAMALI (AKADEMI SAMALI Vs. FIGHT FOR RICE),
Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Selasa, 26 Oktober 2010, Yogyakarta
pen yang meniru aktivitas distribusi digital –yang tentu Di sisi lain, kita ingat
tangan dalam berkarya secara saja menyangkut aspek ekonomi pergeseran mania dotcom
tradisional. Tapi perangkat sebuah karya—menjadi persoalan menjadi dot-bomb antara akhir
ringkih ini memerlukan kelunakan lain. Di satu sisi, internet menjadi 1990-an hingga awal 2000-an.
tertentu, dan entah bagaimana artefak esensial dalam dunia Ternyata, banyak sekali hip
masih tak bisa mengusir jarak baru ini. Sebagai contoh kecil seputar dot-economy tak lebih
antara tubuh dan karya. tapi menggembirakan, beberapa dari gelembung yang mudah
Apakah dengan begini, karya- komikus kita berhasil menembus pecah. Bagaimanakah kita
karya yang dihasilkan dalam dunia pasar internasional, menjual mengantisipasi ini?
digital akan kehilangan jiwanya? keterampilan mereka ke negeri- Lagipula, jika kita tak bisa
negeri maju, atas bantuan beranjak dari hanya mengolah
3. Gelombang atau internet ini. Jika dulu, pada 1980- proses produksi digital dan
Gelembung? an, hanya Teguh Santosa yang distribusi digital, bagaimana
Bagaimanapun, proses digital berhasil menembus Amerika, dengan aspek lain yang lebih
dalam komik maupun karya-karya itupun setelah penerbit Marvel mendasar dari janji-janji digital
grafis mutakhir di, misalnya, bersengaja berburu bakat ke ini: bagaimana penjelajahan kita
media massa telah menjadi Asia; kini, banyak komikus muda atas konsep digikomik (komik
kenyataan besar. Ia telah menjadi kita enteng saja menawarkan digital)?
gelombang. portofolio ke penerbit-penerbit
Aspek dunia digital asing melalui jalan tol dunia Marilah kita menyelami soal ini
selain produksi, yakni aspek cyber. dalam diskusi kita kali ini.***
9
BLOGOSFER
http://pragatcomic.com/new/index.
php?option=com_frontpage&Itemid=1
K
ali ini BLOGOSFER menurunkan sebagian
kecil dari situs-situs Indonesia yang berba-
sis komik. Ada situs komunitas komik, ada
situs berita komik (termasuk di dalamnya artikel
komik) dan ada pula situs yang ngomik. Situs
komik Indonesia jumlahnya sangat banyak. Ada
yang aktif update, ada pula yang jarang update.
Ada yang dibuat dengan serius, ada pula yang
dibuat baru setengah jalan. Namun, membukai
situs-situs komik ini terasa sangat mengasyikkan.
Beragam ide, visualisasi, dan cerita terham-
par sangat menarik. Situs-situs komik ini tidak
saja menjadi “bacaan” yang perlu dan bergizi,
mereka secara tidak langsung telah mendoku-
mentasikan sekaligus merekam jejak dan kisah
secuil perjalanan kita sebagai bagian dari warga
“Indonesia”. Simaklah...
http://komikindonesia.com/
10
http://akademisamali.multiply.com/
http://komikpalsu.blogspot.com/
http://yellowteethcomic.multiply.com/
http://ngomik.com/
http://www.rokkicomic.com/starman/episode_01.html
http://klewang.multiply.com/
http://arixx.blogdetik.com/
GALERI KOLEKSI Surat 38 menurunkan sebagian kecil
koleksi komik dari Rak Perpustakaan
IVAA. Variasi jenis komiknya sangat
Cover komik “Tersesat di Byzantium”
Cover komik “Antara Hak Kekayaan Intelektual dan Seni Tradisi”, Prof.DR Agus Sardjono
Cover komik “Awas Penguasa Tipu Rakyat”, Eko Prasetyo dan Terra Bajraghosa
A
Yoshi Fajar Kresno Murti pa yang dilihat mata
merupakan penyedap
rasa. Sejak manusia ada
Ilustrasi Drawing oleh Feri Pradigdo ia telah mengenal dan meracik
bumbu dan bahan-bahan lainnya
untuk dijadikan penyedap
rasa. Penyedap rasa tidak saja
memroduksi efek-efek rasa
kenikmatan (pleasure), tetapi
lebih dari itu, ia memroduksi
efek-efek rasa pada sejarah
manusia. Melalui kopi, teh,
tembakau, candu, gula, merica,
pala, dan rempah-rempah
lainnya, orang-orang di daratan
Eropa bergerak, terstimulasi
hingga kemudian mengalami
‘sakau’ pada kolonisasi. Zaman
sekarang, penyedap rasa terkunci
pada mata. Melalui mata, kota-
kota baru direproduksi, barang-
barang dikemas, dan tingkah laku
disajikan. Lalu, banyak orang di
pasar berteriak: “Anjrit, ketipu
nih,... ternyata rasanya nggak
seenak tampilannya!”
22
Indonesian Visual Art Archive
(IVAA) hadir dalam konteks
zaman “apa yang dilihat mata
merupakan penyedap rasa”.
Lebih jelas lagi dapat dikatakan,
kehadiran IVAA berada pada
konteks perkembangan budaya
visual dan visual art. Kata
visual art itulah yang menjadi
jendela sekaligus fokus kerjanya.
Kerja mendokumentasikan dan
mencermati tidak saja pada
bagaimana seni visual memroduksi
efek-efek kenikmatan (estetika
dan ekonomi), tetapi lebih dari
itu, pada bagaimana seni visual
Foto Koleksi IVAA
memroduksi efek-efek pada
budaya kontemporer masyarakat. sebelum kemerdekaan, lalu SIM masak yang mengumpulkan
Pun pula, IVAA lahir ketika seni (Seniman Indonesia Muda) yang bahan, meracik bumbu, mengolah
visual (yang berarti seni rupa) eksis pada masa kemerdekaan, dan menyajikannya kepada orang-
semakin menjadi satu bidang hingga generasi Seni Rupa Baru di orang (melalui hasil kerja dan
pengetahuan dan praktik sosial masa pembangunan Orde Baru, program kerjanya). Sebagai juru
tersendiri di dalam perkembangan semua menunjukkan seni rupa masak, ia harus kreatif untuk
masyarakat. Meskipun di dalam di Indonesia telah memroduksi mengomposisikan penyedap rasa
gerak perjalanannya, seni rupa efek-efek sosial budaya pada (dalam hal ini visual art) supaya
(modern) sebagai satu bidang perkembangan masyarakat. Efek- mampu menstimulasi efek-
telah menunjukkan dirinya lahir efek yang justru sangat mendasar efek kenikmatan (dalam hal ini
sebagai bagian dari kelahiran bagi perkembangan budaya energi kreatif di sekitarnya) dan
dan perkembangan nation state sebuah bangsa. berdampak meluas (dalam hal ini
Indonesia. Sejak kelompok Persagi Sebagai lembaga dokumentasi pada pengetahuan dan praktik
(Persatuan Ahli Gambar Indonesia) seni visual, IVAA ibarat juru seni visual masyarakat).
23
Foto Koleksi IVAA
Sebagai lembaga dokumentasi acak tatanan fungsinya. Namun, museum, menjadi tempat
seni visual, IVAA bisa dikatakan pada semua itulah justru terletak pendidikan, tempat pameran,
menjadi representasi perkem energi kreatif orang-orangnya: maupun tempat berdiskusi. Di
bangan budaya, selera dan rasa di membuat hidup (yang berat) dalamnya ada perpustakaannya,
negara bekas jajahan yang terus menjadi hidup. Sebagai lembaga, bisa ngenet sepuasnya, ada
bergerak dan tidak pernah fiks, IVAA seperti halnya lembaga- warung makannya, dan juga ada
seperti Indonesia. Sebuah negara lembaga yang lainnya, juga tidak toko yang menjual barang pernak-
bangsa yang tidak pernah bisa pernah secara fiks didefinisikan. pernik. Begitulah... di IVAA ada
menciptakan museumnya dengan Sebagai lembaga dokumentasi banyak variasi rasa dan penyedap
benar, yang selalu terengah- IVAA juga membangun komunitas, rasa yang muncul dari mata. Dari
engah mengabstraksikan sejarah mempunyai jaringan dan mata, rasa itu bisa menstimulasi
pengetahuannya, dan yang selalu melakukan movement (gerakan). apa saja, sekarang dan juga
punya siasat untuk mengacak- Kadang-kadang ia bisa menjadi kelak, di masa yang akan datang.
24
Kerja: Dokumentasi – Mendidik - Menjelajah
dari berbagai sumber dokumen IVAA (Indonesian Visual Art Archive)
25
Foto Koleksi IVAA, Pameran Arsip “ Kawan-kawan Revolusi” dalam rangka Jogja
Biennale 2009, Gedung Bank Indonesia, Yogyakarta
Haji Usmar Ismail. IVAA secara gagasan kontemporer dalam kursus menulis, pameran arsip,
spesifik telah mengambil ranah kehidupan bermasyarakat melalui workshop, seminar, dll. Sesuai
seni rupa kontemporer sebagai jendela seni visual. Dengan dengan visi IVAA, setiap program
dasar dokumentasinya. Kelahiran demikian IVAA tidak hanya kerja IVAA selalu mengandung
IVAA seolah menjadi tonggak menjadi fasilitator informasi 3 hal, yaitu: documenting,
hadirnya pengelolaan informasi, dan dokumentasi seni visual exploring, educating.
data, dokumen, maupun buku untuk masyarakat, tetapi juga Sampai saat ini IVAA
teks mengenai wacana dan melakukan gerakan pendidikan sedang membangun dan terus
praktik seni rupa Indonesia yang dalam hidup bermasyarakat. Hal menyempurnakan IVAA Digital
terlembagakan. Perkembangannya ini dioperasikan melalui berbagai Database and Information
kemudian, keberadaan IVAA program kerja IVAA, seperti: seri Centre. Melalui situsnya di www.
bahkan didorong menjadi ruang penelitian, pertukaran peneliti ivaa-online.org, IVAA semakin
dan tempat persemaian gagasan- dan residensi, penerbitan, menegaskan dirinya sebagai
26
lembaga penyedia informasi dan
database digital mengenai seni
visual Indonesia yang bersifat
terbuka, sistematis dan mudah
diakses. Pada Bulan Agustus 2009
IVAA Online Archive diluncurkan
di Jakarta, dan mendapat
tanggapan dan kerjasama yang
luas – tidak saja dari kalangan
dunia seni rupa, tetapi juga
akademisi bahkan pemerintah.
Selain Online Archive, IVAA
juga telah mulai membangun
Perpustakaan Online yang
integral. Informasi perpustakaan
- tidak saja mengenai informasi
koleksi dan informasi kegiatan
perpustakaan, tetapi juga wacana
terbaru mengenai seni visual pekerjaan mengumpulkan dokumen merupakan
dari sudut pandang referensi
dan database – secara cepat dan
pekerjaan yang tidak akan pernah selesai
sistematis akan bisa diakses dan Melalui berbagai media memiliki modal sosial-budaya
tersebar kepada setiap orang kerjanya (seri penelitian, yang dikenal luas kompetensinya
dimanapun ia berada. IVAA juga penerbitan, forum diskusi, di bidang seni visual, terutama
sedang membangun sistem lokal perpustakaan, workshop, di Kota Yogyakarta, Jakarta dan
Online Video Archive. Dengan warung, pameran, toko, dll), Bandung. Melalui media reguler
sistem ini IVAA diharapkan dapat dan melalui jalinan kerjasama kelas menulis kreatif AKSARA dan
menjadi pusat database video dengan berbagai kalangan Bulletin SURAT yang secara rutin
seni visual yang bisa dikreasi (seniman, akademisi, pemerintah, dikerjakan IVAA, telah mampu
secara mandiri oleh komunitas aktivis, komunitas-komunitas membangun komunitas partisipan
penggunanya. anak muda, dll), IVAA telah dan jaringan audience yang luas.
27
dokumen seni visual dalam
sebuah perhelatan event yang
hidup, yang membuka ruang
interaksi dengan wacana
dan gagasan audiences yang
datang, merupakan kerja yang
menantang. Pameran arsip
Sanggar Bumi Tarung di Bentara
Budaya Yogyakarta Bulan
Oktober 2008, Pameran iClick.
IVAA di Galeri Nasional di Bulan
Agustus 2009, Pameran Arsip
Biennale Yogya I-X dan Kawan-
kawan Revolusi: Yogyakarta
circa 1940-60 di Gedung Bank
Indonesia Yogyakarta pada Bulan
Desember 2009, merupakan
Melalui berbagai macam saluran, beberapa program ekplorasi
kerja dan mitra yang telah dan eksperimentasi pameran
terjalin selama satu dasawarsa arsip IVAA. Dengan demikian,
lebih, penyebarluasan ide-ide kerja-kerja IVAA baik sebagai
inspiratif, pengetahuan kritis dan lembaga dokumentasi maupun
kerja-kerja inovatif IVAA yang sebagai lembaga riset seni visual,
berbasis pada seni visual telah pada akhirnya bermuara pada
dijalankan selama ini. Hal ini semangat pendidikan, yaitu
Foto Koleksi IVAA, Pameran Arsip “ Sanggar Bumi terlihat dalam inovasi-inovasi bersama-sama menggunakan seni
Tarung”, Indonesian Visual Art Archive, Bentara Budaya
Yogyakarta, Oktober 2008 yang dilakukan IVAA misalnya di visual sebagai sarana ekspresi,
dalam penyelenggaraan pameran refleksi dan analisa budaya
arsip. Bagaimana menyajikan, kontemporer dalam masyarakat,
mengolah, mendekatkan, bolak-balik antara masa lalu,
bahkan mengkritisi arsip dan sekarang dan yang akan datang.
28
Pameran Arsip IVAA: Media dan Masa Depan kembali. Di baca ulang, tak
Yoshi Fajar Kresno Murti dari interpretasi Diskusi Farah Wardani berhenti. Kerja mengumpulkan,
melacak dan memelihara
arsip serta membacanya
merupakan kerja mengkreasi
arsip menjadi dokumentasi.
Apalagi dokumentasi seni
visual Indonesia, bukanlah
kerja yang main-main. 15
tahun lebih IVAA telah bergelut
dengan arsip-arsip seni visual:
mengumpulkan, melacak,
memelihara, dan membacanya.
Kreasi dokumentasinya bisa
dilihat, dibaca, dan ditelusuri di
perpustakaannya maupun tersedia
secara online, www.online-
archive.org.
Selanjutnya, dari koleksi
15 tahun lebih IVAA telah bergelut dengan
dokumentasi IVAA, dibuatlah
arsip-arsip seni visual: mengumpulkan, pameran arsip. Pameran bisa
melacak, memelihara, dan membacanya diselenggarakan dimana saja. Di
kebun atau halaman, di warung,
Ini cerita mengenai pameran Pertama-tama, arsip memang di perpustakan, di galeri, di
arsip. Salah satu kerja IVAA harus dikumpulkan, dilacak, gedung kesenian, ruang kelas,
yang sungguh menarik. Pada dipelihara dan dibaca. Karya seni lorong atau gang, gedung tua, dan
pameran arsip terletak arsip- bisa berharga selangit, bisa juga lain sebagainya. Format pameran
arsip, produk, maupun peristiwa tak akan dihargai. Namun, ketika bisa kecil-kecilan, bisa juga skala
(event). Bagaimana mengkreasi karya seni atau apapun menjadi besar. Kerja mengkreasi pameran,
pameran arsip sebagai produk dan arsip, maka ia akan selalu tidak sama dengan kerja
peristiwa? berharga. Berharga untuk dibuka mendisplay arsip. Beda dengan
29
Ilustrasi Komik oleh Sunardi
Foto Koleksi IVAA
museum atau pusat layanan arsip. idak saja disuguhi oleh digeluti IVAA, sebuah pameran
Pameran arsip mendatangi dan pengetahuan yang disusun dari arsip juga menjadi momen untuk
mengajak partisipasi pengunjung. arsip-arsip, tetapi mereka juga mengaitkan praktik sosial seni
Dalam mengkreasi pameran diajak untuk berkomunikasi dan rupa dengan perkembangan
arsip, banyak sisi dan bidang mengkritisinya. sosial yang terjadi di masyarakat.
yang diperhatikan. Misalnya, Selama ini IVAA telah Bagaimana arsip seni rupa
ia harus bisa menghibur dan mengkreasi beberapa pameran menjadi refleksi perkembangan
rekreatif. Tidak monoton. arsipnya. Diturunkan dari budaya masyarakat sekaligus
Selain soal pelestarian dan re- koleksi dokumentasi IVAA prediksi perkembangan
klasifikasi hasil pembacaan arsip, selama ini, sebuah pameran kebudayaannya.
pameran arsip dapat dikatakan arsip bagi IVAA juga merupakan Itulah yang telah dicoba IVAA
merupakan presentasi audio- siklus untuk mengumpulkan, dalam mengerjakan pameran
visual. Maka, diperhatikan pula melacak, memelihara dan arsipnya. Barangkali di tahun
soal artistik, sekaligus edukatif. membaca kembali arsip dan 2050 nanti, IVAA akan membuat
Ia juga menampilkan perspektif dokumentasinya. Dengan pameran arsip dari pameran-
dan metode dari penyelenggara demikian, arsip menjadi hidup. pameran arsipnya selama ini dan
pameran arsip dan ditawarkan Ia menjadi media. Media untuk yang akan datang. Bagaimana itu
kepada pengunjung. Pengunjung apa saja. Dan, sesuai bidang yang dikreasikan dan dibaca kembali?
31
BAGAIMANA
MEREKA DAN
KITA MEWARTA
SENI VISUAL?
Review Diskusi
Peluncuran E-Surat
1
Traceable dipilih sebagai istilah yang
ringkas untuk menyatakan bahwa kabar-
kabar tersebut seperti memiliki “rekam
jejak” sehingga dapat didokumentasi atau
diarsipkan. Foto Koleksi IVAA
32
I
ndonesian Visual Art Archive
(IVAA) “merayakan” peluncuran
edisi elektronik dari jurnal
Surat dengan menggelar sebuah
diskusi publik. Diselenggarakan di
perpustakaan IVAA pada Jumat
sore, 18 Juni 2010 pukul 16.00
WIB, diskusi publik ini diberi
tema “Seni Visual: Tekstualitas
dan Informasi”. Tema tersebut
sama dengan tema E-Surat
volume 37 yang diluncurkan
sore itu. IVAA mengundang tiga
orang pembicara: Heri Pemad Foto Koleksi IVAA. Dari kiri ke kanan: Putu Sutawijaya, Heri Pemad, Ferial Afiff
33
kerja manajerial Heri Pemad
Art Management dengan banyak
seniman Yogyakarta. Proses
berinteraksi dan berdialog secara
langsung dan nyata (!) membawa
Pemad tidak saja pada semangat,
pencerahan, tetapi juga mengenal
mentalitas, gaya hidup, gaya
berkarya, hingga gaya bicara
seniman. Dari antara pencerahan
yang diperolehnya, Pemad sampai
pada keyakinan bahwa semua
kesulitan bisa terjawab dalam
ruang komunikasi langsung, ruang
rasa.
Ketika komunikasi dan
pertukaran informasi memang
diarahkan kepada seniman
(kreator), komunikasi langsung
sangat ideal dilakukan.
Kesempatan untuk mengenal
secara personal dan menjadi lebih
memahami seniman bersangkutan
lebih mudah diraih. Tetapi, ketika
sasaran komunikasi diperluas
menjadi publik seni visual,
misalnya spektator pameran
(reseptor), mesti ditemukan cara
dan media yang lebih sesuai.
Mengupayakan proses komunikasi
secara langsung dengan spektator Cover Surat, Foto Koleksi IVAA
34
pameran, umpamanya, tidak
efisien untuk dilakukan meskipun,
bisa jadi, efektif.
Sebagai salah satu mata rantai
jejaring dalam jagad seni visual,
Sangkring Art Space mengabarkan
kegiatan-kegiatan keseniannya
melalui newsletter Sangkring
Art Review. Terbitan berkala ini
berfungsi baik sebagai review
setelah event maupun sebagai
katalog pameran. Bagi spektator
pameran, Sangkring Art Review
menjalankan fungsi publikatifnya, Foto Koleksi IVAA
35
Cover Surat, Foto Koleksi IVAA
36
iCan merangkul seniman-seniman
yang bergabung dengan Wips
untuk proses berdiskusi intens
serta bekerja kreatif. “Kami
menawarkan kepada seniman-
seniman, di tengah pekerjaan
mereka, untuk menjelaskan
konsep karya mereka. Kami
kemudian mendiskusikannya.
Kami membatasi hanya untuk
15 orang sehingga lebih intens
untuk membahas persoalan
bagaimana membuat konsep,
bagaimana merumuskannya, dan Foto Koleksi IVAA, Suasana Ngobrol bersama IVAA
37
sisi lain, sebagai pemilik Regol antusias. Redaksinya pernah
Magazine, ia mesti menghadapi menghadapi permintaan agar
pertanyaan bagaimana agar Regol terbit dengan dwibahasa,
majalahnya sampai ke tangan Indonesia dan Inggris. Jika
pembaca yang ia inginkan. pengalaman Regol ini dibaca
Pratitasari mengungkapkan, secara cerdas dan meluas,
“Media yang diterbitkan oleh terasalah betapa signifikannya
company client saya itu jelas bahasa dalam perputaran
distribusinya, yakni kepada informasi yang global. Ini pula
customer—customer dengan yang dapat menjadi salah satu
beberapa segmen—dan kepada jawaban bagi niat Titarubi
agen mereka. Entah dibaca agar iCan menjangkau dunia
entah tidak, sesampainya media internasional. Ketika pemilik
Foto Koleksi IVAA, Suasana Pameran iClick IVAA, 19-26 Agustus itu ke tangan mereka, itu jelas informasi mampu mewarta
2009, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
pendistribusiannya. Nah, ketika dalam bahasa yang internasional,
Apa pun bentuk dan sifat sarana menerbitkan media sendiri [Regol pintu menuju dunia global telah
mewarta yang dimanfaatkan, Magazine], saya merasakan terbuka baginya.
lebih penting lagi menetapkan kesulitan mendistribusikan
sasaran yang konkret untuk supaya [majalah] ini bisa dibaca MENJADI ONLINE
pewartaan itu. Jika tidak, media oleh yang kami inginkan. Karena Di tengah rupa-rupa media
tersebut akan dibayang-bayangi [majalah] ini tentang Yogyakarta, seni yang kini begitu bervariasi,
hambatan dalam distribusinya. setidaknya ini dibaca oleh ada banyak seniman yang resah.
Inilah yang patut dipelajari dari [orang-orang] yang datang ke Tidak kunjung ada media cetak
pengalaman Suluh Pratitasari Yogyakarta. Waktu itu, saya yang, secara terpusat, mengelola
mengerjakan media. Semasa sempat bekerja sama dengan agenda seluruh kegiatan seni
mengerjakan media cetak sejumlah hotel, soal distribusi.” di kota Yogyakarta. Kompas
untuk sebuah perusahaan Ini menandakan bahwa untuk mencoba memberi perhatian
telekomunikasi, ia melihat mewarta, jejaring sungguh pada pengagendaan semacam
bahwa konsumen yang disasar penting. ini. Namun, hasilnya masih
oleh perusahaan tersebut telah Regol Magazine bukan tidak belum komprehensif sebab
ditetapkan secara jelas. Di disambut pembaca dengan agenda Kompas melewatkan
38
event-event yang berskala internet. Dengan menjadi on-line,
tidak-besar. Mau tidak mau, informasi bisa cepat berganti.
publik laiknya dihadapkan Media cetak tidak mampu
pada tumpuk-menumpuk event menjadi secepat itu.
kesenian. Waktu pelaksanaannya Sehubungan dengan hal ini, Heri
bersamaan, tetapi lokasi dan Pemad mempunyai pendapat
penyelenggaranya berlainan. berbeda. Menurutnya, ketika
Di balik situasi di atas, ternyata komunikasi beralih on-line,
terdapat ketidakcocokan metode ruang rasa tereduksi. Mengamati
kerja antara redaksi media cetak secara langsung suatu karya
dengan komunitas seni. Media seni akan memberi makna
cetak berdenyut senantiasa yang jauh lebih detail, lebih
dalam nama tenggat. Di sisi mendalam. Pengamatan langsung,
lain, sebagian besar komunitas seperti komunikasi langsung, Foto Koleksi IVAA, Suasana Open House IVAA
39
“Saya lewat sebuah
pasar terus ada
ibu-ibu pakai kaus
“Nirvana” Kurt Cobain
terus tulisannya I hate
myself and I want
to die. Saya merasa,
kecil kemungkinannya
ibu itu membenci
hidupnya dan
ingin mati saat itu
juga karena dia
bawa belanjaan.”
Pengalaman tersebut
diceritakan Dina,
salah seorang peserta
OBROLAN AHISTORIS DAN diskusi, untuk
menanggapi presentasi
OBROLAN SUBVERSIF
Colin Cahill pada
IKONOGRAFI DAN KONTEKS HISTORIS DALAM
BUDAYA MENG-KOPI Kamis sore, 15 Juli
PRESENTASI-DISKUSI COLIN CAHILL
2010 di Warung Mbak
Catatan oleh Rosa Sekar Mangalandum Iva, IVAA.
C
olin Cahill mempelajari DISTRO DAN SENI JALANAN Jangan-jangan
antropologi di Haverford Presentasi yang dibawakan
University, Pennsylvania, Cahill menuai tanggapan penggunaan
Amerika Serikat. Tahun ini, ia ramai dari audiens. Berjudul
menjadi Fulbright Research Fellow “Iconography and Violence: the gambar wajah
untuk masa 10 bulan (hingga Value of Historical Context in
Agustus 2010). Ia meneliti di Copy Culture”1, presentasi Cahill Hitler di atas
Yogyakarta dengan Pusat Sejarah merupakan sebagian dari sebuah
dan Etika Politik (PUSdEP), penelitian yang lebih luas, yang kaus-kaus
Universitas Sanata Dharma bertopik seni jalanan (street
sebagai local host. Sebelum art), konsepsi ruang publik, distro itu
mengakhiri masa tinggalnya di dan praktik demokrasi di Kota
kota ini, Cahill bekerja sama Yogyakarta. Dalam presentasinya, telah menjadi
Indonesian Visual Art Archive yang dimunculkan Cahill sebagai
(IVAA) mempresentasikan permasalahan utama yaitu ahistoris.
penelitiannya ke hadapan publik tampilnya wajah Adolf Hitler
bersama seorang penanggap, Alit di atas banyak kaus distro di 1
“Ikonografi dan Kekerasan: Nilai Konteks
Ambara. Yogyakarta. Dengan mendudukkan Kesejarahan dalam Budaya Menjiplak”
41
Foto Koleksi IVAA,
Suasana Nobrol bersama IVAA
Di Bandung, distro fenomena tersebut sebagai salah selera seni dan bisa memiskinkan
satu praktik menjiplak (copying), kreativitas. Para seniman jalanan
dilahirkan dengan Cahill lalu mempertanyakan berusaha menumbuhkan praktik
nilai kesejarahan di balik kaus- seni rupa yang lebih bebas dan
sikap sinis pada
kaus Hitler itu. Jangan-jangan menyempal dari arus utama.2
segala hasil desain penggunaan gambar wajah Hitler Di Yogyakarta, seni jalanan
di atas kaus-kaus distro itu telah telah menjadi bagian dari ruang-
yang tidak kreatif, menjadi ahistoris. ruang kota. Lihatlah grafiti di
tidak orisinal, tidak Walau tidak satu kali jembatan Kali Code dan mural
pun disinggung Cahill ketika di balik lapangan SMA Negeri
dibuat oleh tangan berpresentasi, seni jalanan dan 3 Padmanaba. Dalam asal-
distro punya sejarah. Sejarah muasalnya untuk memberontak
perancangnya
awal seni jalanan bermula dari cengkeraman pasar dan
sendiri. pemberontakan terhadap praktik kemiskinan kreativitas, distro
seni elitis yang dimapankan sejalur dengan seni jalanan.
di galeri atau museum. Pasar Yogyakarta “mengadopsi” distro
2
Ilham Khoiri, “Mencari Jalan Tengah”,
rubrik Seni, Kompas edisi Minggu, 25 Juli dihindari karena cengkeramannya dari Bandung. Di Bandung, distro
2010. semakin kuat mengarahkan dilahirkan dengan sikap sinis pada
42
distro di Yogyakarta. Ia datang distro dan mereka bilang, ‘Oh
ke dan menemukan banyak kaus ya, saya tidak tahu dia (Hitler)
berikon Adolf Hitler—wajah Hitler, siapa, tapi dia mirip satu orang
kumisnya yang khas, posenya, komedi (pelawak). Saya melihat
simbol swastika partainya di televisi,’ atau, ‘Dia hanya lucu
(Partai Nazi). Bagi mereka, karena moustache3-nya aneh.’”
melihat Hitler ada pada kaus Di sini, tampaknya pengetahuan
distro menimbulkan perasaan sejarah para pekerja distro sudah
tidak aman, mengingatkan akan luntur dan Cahill mencurigai
kejahatan genosida yang di bahwa budaya menjiplaklah
masa lalu didalangi Hitler atas penyebabnya. Apabila membuat
kaum Yahudi. “Dari sejarah, dari jiplakan (copy) wajah Hitler telah
Foto Koleksi Colin Cahill
cerita-cerita, dari film-film, kami demikian mudah untuk dilakukan,
segala hasil desain yang tidak bisa menginterpretasikan ikon arti kesejarahan tiap copy telah
kreatif, tidak orisinal, tidak dibuat [Hitler]. Jadi, fungsi sejarah itu berkurang banyak sekali. Cahill
oleh tangan perancangnya sendiri. adalah memberi konteks untuk pun merumuskan pertanyaannya,
Sesampainya di Yogyakarta, distro menginterpretasikan gambaran,” “Apakah lebih mudah membuat
bertahan dengan desain yang papar Cahill. kaus-kaus yang ada gambaran
“lebih bebas dan menyempal dari Tetapi, sejauh yang diteliti “keras” dalam budaya fotokopi
arus utama”, misalnya arus desain Cahill, orang-orang yang bekerja (copy culture), karena bisa
produk pabrik konveksi atau di distro tidak memahami mengambil gambaran-gambaran
pusat perbelanjaan (department perasaan tidak aman yang datang tanpa pikiran tentang konteks
store). Tetapi, yang dilihat Cahill pada kawan-kawan Yahudi Cahill. atau tentang isi, tetapi hanya
adalah bahwa baik seni jalanan Mereka tidak mengenal Hitler tentang estetika?”
(yang karyanya memang di jalan- dalam konteks kesejarahan. Bagi Cahill yang mempunyai
jalan) maupun distro sama-sama “Saya sudah ada percakapan banyak kawan berkebangsaan
memanfaatkan ikon. Ikon yang dengan orang yang bekerja di Yahudi, kaus berikon Hitler dan
bermacam-macam.
Cahill memandang wajah ‘Oh ya, saya tidak tahu dia (Hitler) siapa, tapi
Hitler yang muncul di atas kaus
sebagai ikon yang diangkat dia mirip satu orang komedi (pelawak).
43
Nazi merupakan “a maniacal call
for the eradication of the Jewish
religion and race”4. Demikian
ia mengungkapkan dalam
ringkasan topik presentasinya. Ia
mengumpamakan gambaran yang
anti-PKI dengan yang anti-Yahudi
sebagai sama-sama memberi
perasaan marjinal bagi kelompok
minoritas yang bersangkutan.
Karena itu, Cahill merasa
perlu bersikap kritis terhadap
mengikonnya Hitler pada kaus
distro. Ia mempertanyakan
bagaimana halnya dengan ikon
polisi pada sampul Tempo
“Rekening Gendut Perwira Polisi”
edisi 28 Juni-4 Juli 2010. Di
Indonesia, ikon itu menuai kritik
dari pihak tertentu, maka Cahil
bertanya, “Kenapa orang seperti
ini bisa mengkritik gambaran
atau kenapa mereka mereka
mengkritik gambaran dan kenapa
orang lain tidak bisa?”
3
kumis
4
‘seruan maniak agar bangsa dan agama
Yahudi dibasmi’
44
KONTEKS KESEJARAHAN DAN
MASALAH SUDUT PANDANG
Sebelum digulirkan ke
antara audiens, presentasi
Cahill ditanggapi dahulu oleh
Alit Ambara. Serang aktivis
budaya dan seniman rupa,
Ambara berperan sebagai
penanggap untuk acara sore
Foto oleh Prophagraphic Movement
itu. Ia mengkritisi kelemahan
orang Indonesia dewasa ini,
yakni tercerabut dari dan lupa pengaruh sosialisme Jerman adalah keadaan ahistoris dan
pada sejarah. Maka itu, ketika sempat merambah Belanda, pemakaian istilah subversif.
mengenakan kaus berikon entah sementara pada saat itu terjadi, Soal keadaan ahistoris ini,
Adolf Hitler ataupun kelompok Belanda menjajah Indonesia. dipertanyakan apakah memng
musik Nirvana, orang gagal Fakta yang dikemukakan Ambara di Indonesia tokoh Hitler
menangkap dan mengetahui ini menunjukkan jejak salah satu telah “kehilangan” konteks
konteks kesearahan di balik saluran masuknya wacana dan kesejarahannya. Konteks
gambar dan tulisan itu. gerakan sosialisme ke Indonesia kesejarahan yang dimaksud
Banyak orang pernah melihat dalam masa-masa pra-Perang tentulah yang bersumber dari
wajah Adolf Hitler dalam gambar. Dunia II. Terbilang dua dekade sejarah Barat. Namun, benarkah
Adapun wajah itu mungkin orang seusai Perang Dunia II, sosialisme kehilangan konteks kesejarahan
cepat menandai kemiripan kumis menjadi “alergi” bagi penguasa di atau justru mempunyai sejarah
Hitler dengan kumis pelawak Indonesia. Seumpama saja para tersendiri bagi Indonesia?
Jojon dan Charlie Chaplin. desainer, pedagang, dan pemakai Mengenai istilah subversif itu
Meskipun demikian, lebih sedikit kaus distro bergambar Hitler ikut pun kurang lebih sama. Apakah
yang tahu tentang Nazi, partai menyimak tanggapan Ambara, topik Cahill subversif dari sudut
sosialis nasional yang dipimpin kira-kira apa yang akan mereka pandang Indonesia juga ataukah
Hitler pada rentang tahun 1921- pikirkan tentang kaus tersebut? hanya dari sudut pandang Barat?
1945 di Jerman. Lebih sedikit Dalam termin diskusi, dua Bukankah perspektif Barat yang
pula yang menyadari bahwa pokok pembahasan yang muncul menganggap “tabu” Hitler?
45
Meskipun banyak orang sejarahnya selalu ada. Jadi, tidak
pendukung kebudayaan distro ada yang ahistoris. Kita harus
(pendesain kaus, pedagangnya, cari sejarahnya yang relevan
pembeli, dan pemakai kaus-kaus saja.” Pada hemat Brown,
tersebut) tidak mengeti konteks segala sesuatu yang berkarakter
historis, seperti yang tersirat kuat memancarkan daya tarik
dalam pengalaman Dina, distro tersendiri. Di Indonesia pada
itu sendiri mempunyai sejarah tahun-tahun 1950-a, Hitler
kelahiran, pertumbuhan, dan dipandang sebagai sosok pimpinan
persebarannya. Sejarah distro negara yang kuat. Soekarno
dengan desain kausnya yang tidak- memujinya karena sanggup
mainstream inilah yang tidak menyatukan Jerman yang pada
dituliskan Cahill. Karena sejarah masa itu dilanda kehancuran.
distro tidak disinggung, forum Berdasarkan itu, terpahamilah T-shirt with Hitler’s face on it?”5,
pun tidak sampai pada konteks bahwa Indonesia sesungguhnya Cahill berkata tidak. Menurutnya,
historis yang ada di balik praktik tidak asing dengan Hitler sejak mengenakan kaus bergambar
pengkopian, padahal ini menjadi dulu. Citra Hitler di Indonesia Hitler sama seperti memberi
bagian dari judul presentasi. berbeda dari citra Hitler yang dukungan pada diktator Jerman,
Lebih dalam lagi, Cahill luput masih saja “tabu” dalam pada pembantaian terhadap
dari memetakan bagaimana kacamata sejarah Barat. bangsa dan agama Yahudi.
sejarah Indonesia (sejak Di samping itu, subversif bagi Suara yang berbeda datang
dekade ‘50-an, masa Soeharto) Cahill dan subversif bagi audiens dari audiens. Di Indonesia,
memandang Adolf Hitler. merupakan persoalan sudut yang dinamakan subversif
Antropolog Chris Brown yang pada pandang yang berbeda. Meski bukanlah mengenakan kaus
sore itu duduk di antara audiens mengakui bahwa kata subversif bergambar Hitler atau Nazi. Kaus
mendapati kelemahan tersebut. bukanlah term pilihannya bertuliskan singkatan PKI (Partai
Karenanya, ia mengkritik, sendiri, yang subversif bagi Cahill Kaus Indonesia) atau mungkin
“Istilah ahistoris mungkin kurang rupanya adalah jika orang-orang bergambar D. N. Aidit barulah
tepat, Yang ahistoris adalah mengenakan kaus bergambar subversif.
presentasinya, bukan penggunaan Hitler. Ketika “ditodong” dengan Berkaca pada ramainya
wajah Hitler. [...] Pada umumnya, pertanyaan, “Would you wear a tanggapan untuk presentasi
46
Foto oleh Prophagraphic Movement
47
Sepanjang tahun 2010 IVAA telah menjadi host
institution dari beberapa orang peneliti dan
menjadi institusi yang melakukan inisiasi program
pertukaran peneliti. Sebuah kerja yang semakin
memantapkan IVAA untuk menjadikan database-
dokumentasi dan dinamika perkembangan seni
visual sebagai jendela untuk melihat perkembangan
masyarakat.
IVAA RESEARCHERS
EXCHANGE
PROGRAM
2010
Wulan Dirgantoro
Sejak Juni hingga Agustus 2010, IVAA kedatangan seorang
peneliti yang saat ini sedang menyusun disertasinya
untuk School of Asian Languages and Studies, University
of Tasmania. Wulan Dirgantoro, salah satu kontributor
untuk buku Indonesian Women Artists: The Curtain Opens,
(bersama Farah Wardani dan Carla Bianpoen), kali ini
memresentasikan temuan-temuan awal dari disertasinya
mengenai “strategi alternatif membaca isu gender dalam
seni visual”
Grace Samboh
Peneliti muda terpilih dalam program pertukaran peneliti
yang di sponsori ANA/Art Network Asia. Pertukaran
berlangsung antara dua lembaga arsip: IVAA/Indonesian
Visual Art Archive (Yogyakarta-Indonesia), dengan AAA/Asia
Art Archive (Hong Kong-Pepole’s Republic of China). Sebagai
bagian program tersebut, Grace melakukan penelitian
selama dua minggu (9-21 Agustus 2010) di Hong Kong dengan
tema “Self Archiving Archive”
Wen Yau
Seorang seniman
lintas media,
penulis, peneliti, dan kurator dari Hongkong. Beberapa
tahun terakhir Wen Yau mempunyai ketertarikan yang kuat
pada performance/live art yang berbasis media, terutama
isu perbedaan budaya dan keintiman (intimacy) ruang publik.
melakukan riset di Indonesian Visual Art Archive/IVAA,
dalam program “Research Exchange IVAA-AAA”, didukung
oleh Arts Network Asia/ANA. Selama tiga minggu (antara Bulan Juni – Juli 2010) masa risetnya di Indonesia fokus
penelitiannya mengenai perkembangan performance art di Indonesia.
Elly Kent
Seorang seniman dan ‘artist
educator’, bekerja di National Portrait Gallery (NPG)
Australia. Selama tiga bulan (Oktober hingga Desember
2010) Elly menyaksikan, terlibat dan mendokumentasi
program-program seni bagi anak-anak. Melalui tema
penelitiannya mengenai program seni dan pendidikan,
Elly secara intens berinteraksi, berpraktik dan
berjaringan bersama komunitas-komunitas yang
berpraktik atau menyelenggarakan program seni dan
pendidikan anak-anak di Yogyakarta dan Jawa Tengah.