Anda di halaman 1dari 3

Benarkah Kita Memang Mencintai

Sepakbola?
Juli 21, 2011 |  Tagged indonesia, korupsi, pssi, Sepakbola Indonesia, tim nasional |

“Yusuf, ceritakan pada saya tentang tim


impian yang tadi ada di filmmu?” maka berkisahlah saya sekilas tentang Persija yang para
pendukungnya saya abadikan ke sebuah karya dokumenter. Malam itu The Jak baru saja
merebut kategori Dokumenter Panjang terbaik di Thessaloniki International Film Festival
2007 dan Theofanis adalah pejabat festival yang menyebut dirinya sebagai fans berat
Olympiacos.

Lelaki berkacamata itu hanya sekilah mengetahui Indonesia, ia hanya memahami bahwa
sepupunya pernah bertugas di Singapore yang terletak tak jauh dari Indonesia. Ia sama sekali
tak tahu bahwa di negeri tempat saya lahir itu Sepakbola begitu dicintai dan dipuja setengah
mati. Maka mendongenglah saya kepadanya dan karena kisah-kisah saya menggambarkan
betapa dahsyatnya atmosfer pertandingan di tanah air, tak segan pula saya untuk sekalian saja
memanipulasi data bahwa kitalah yang terhebat di Asia Tenggara dan liga kita adalah tujuan
banyak pemain papan atas di Asia Tenggara.

Saya memang berasal dari negeri yang tak masuk akal. Negeri dengan tanah yang subur
namun sama sekali tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Negara agraris yang bahkan
lulusan Institut Pertaniannya lebih suka jadi wartawan daripada jadi petani, negeri bergaris
pantai terpanjang di dunia program eksplorasi pantai baru dicanangkan beberapa hari
lalu……negeri yang lautannya membentang di sana sini namun seumur-umur teman-teman
saya yang bapaknya nelayan saja tidak tertarik untuk juga menjadi nelayan. Negeri yang
hukum dan keadilan bisa disesuaikan dengan kalimat “Damai aja ya pak,”

Saya takut Theo mati berdiri jika sadar bahwa di negeri saya yang katanya gila bola itu, yang
para pendukungnya rela mati atau bahkan tak bawa uang demi timnya itu jumlah pemain
profesionalnya sangat sedikit. Bisa jadi juga dia akan jantungan setelah menyaksikan betapa
gempitanya dukungan pendukung Persija pada timnya namun tim itu punya lapangan latihan
saja tidak….asetnya saja konon hanya beberapa komputer di kantor secretariat. Stadion? Ah
saya malas membuat ia berpikir bahwa piala yang saya pegang di tangan itu adalah hasil
membuat kisah fiksi bukan dokumenter.

Sepakbola digemari setengah mati di negeri ini. Siaran langsung Sepakbola adalah bentuk
pencitraan paling strategis yang dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi. Pemandu acara dan
komentatornya adalah duta besar stasiun televisi yang bersangkutan. Setiap siaran langsung
yang disiarkan tak peduli tayang di jam berapa adalah magnet kuat bagi masyarakat
Indonesia untuk rela melek di depan si layar datar.

Namun cuma sampai disitu saja, segala kegilaan itu tak pernah diikuti oleh pencapaian riil di
arena sesungguhnya. Bagai juara Winning Eleven yang tak bisa menendang bola, kecintaan
kita pada Sepakbola berhenti pada segala bentuk fanatisme—baik yang nyata maupun yang
semu—pada permainan ini. Praktis prestasi tertinggi kita hanyalah ajang regional SEA
Games yang memang sejak era 1950an selalu sulit kita taklukkan…..anehnya banyak orang
merasa bahwa kita adalah macan Asia, padahal masuk Piala Asia saja kita tak pernah di era
itu.

Jujur, saya tak yakin bahwa kita sebenarnya


memahami apa itu Sepakbola. Sama seperti kita tak bisa memahami lautan yang luas bersama
habitatnya serta tanah yang luar biasa subur anugerah Tuhan selama ini. Kita hanya tahu
bahwa ada sesuatu yang kuat bernama Sepakbola, seperti kegagalan kita memahami
kesuburan tanah di Nusantara, kita juga gagal memahami bahwa kecintaan dan fanatisme
pada permainan ini adalah modal besar yang bisa membawa Sepakbola kita kearah manapun
yang kita mau.

Kita berhenti pada pujaan orang asing “Negeri Anda punya potensi Sepakbola yang besar,”
atau “Suatu hari Indonesia akan menjadi negara yang kuat,” atau “Saya tak pernah melihat
bakat sebanyak ini di negara lain selain di Indonesia,” dan segala puja-puji basa basi kancut
meong khas imperialis yang bahkan sudah ayah saya dengar saat ia masih bujangan

Jika memang kita hebat, kenapa tak satupun pemain kita bermain di liga atas Eropa, kenapa
juga di level Asia saja kita kerap jadi bulan-bulanan dan jika memang kita negeri Sepakbola
mengapa menjadi juara Asia Tenggara saja kita cuma bisa mimpi sembari mengisap jempol
ini.

Apa iya kita mencintai Sepakbola seperti yang tergambar di keriuhan Stadion-Stadion itu?
Apa iya kita ini gila dan memahami permainan itu seperti segala diskusi yang kita ucapkan
serta segala kritik yang kita berikan pada aksi-aksi mega bintang dunia di siaran langsungnya
yang bisa kita nikmati secara gratis di televisi rumah kita. Apa iya kita negeri Sepakbola?

Saya kok yakin sebenarnya tidak. Kita ini hanyalah bangsa yang kebingungan mencari
identitas dirinya, kita ini menggilai Sepakbola dan rela mati karenanya hanya karena kita
butuh eskapisme semu akibat kegagalan hidup kita sebagai sebuah negara multi etnis yang
dipersatukan oleh sebuah Republik. Jikapun ada yang pandai bermain Sepakbola, bisa jadi itu
hanya karena permainan ini memang permainan paling sederhana, dengan jumlah peraturan
tersedikit dibandingkan permainan lain….bonus menendang dan berlari adalah insting
sederhana manusia.

Tak cukupkah setiap minggu kita menyaksikan Liga Eropa yang megah itu untuk bisa
mengopi segala kelebihan mereka ke dalam Sepakbola kita? Atau seapesnya bisa
menjadikannya sekedar industri yang bisa menggerakkan unsur ekonomi lainnya yang
berujung pada kemenangan tim nasional. Tak cukupkah segala keterbukaan via internet, buku
asing yang diimpor atau bahkan kedatangan para bintang Eropa itu kesini untuk dijadikan
acuan kemampuan…..dan bukan sekedar ajang tanya jawab dengan pertanyaan standar
“Bagaimana menurut Anda Sepakbola Indonesia?” atau “Apakah Anda mau bermain di
Indonesia?”

“Sepakbola adalah refleksi sebuah bangsa,” ujar Franz Beckenbauer, salah satu kutipan
favorit saya. Bukan karena diucapkan olehnya dari jarak hanya sekitar 5 meter dari saya atau
juga bukan karena dikutip juga oleh ebook ini. Kalimat bermakna luas itu betapa
menggambarkan ketololan demi ketololan yang menghinggapi bangsa ini. Mulai dari ketidak
mampuan mengurus kesuburan alam serta potensi rakyatnya sampai ke bentuk ketololan
berjamaah untuk memilih Presiden hanya karena ia korban rejim terdahulu….atau
kebodohoan tingkat tinggi untuk percaya seorang pelarian mau kabur ke negara modern
penuh shopping mal yang praktis membuatnya menjadi mudah dicari (bahkan di film
Hollywood saja seorang pelarian akan menyepi dan menjauh dari keramaian)

Tak usah heran bila kita tak mampu mengurus


Sepakbola, jika mengurus negeri indah ini saja tak mampu. Jika menjual pariwisata Timur
Indonesia yang luar biasa itu saja tak mampu, jangan heran jika kita lalu tak juga mampu
menciptakan industri Sepakbola yang benar, yang bahkan sebenarnya dipahami oleh
siapapun…..bahkan oleh seorang Hasby penulis buku ini yang lulus kuliah saja belum.

Apakah benar kita mencintai Sepakbola? Apakah benar kita punya niat baik kepadanya,
menjadikannya sumber kebahagiaan dan kebanggaan bangsa? Jika jawabannya iya, saya
yakin jikapun bangsa ini harus terus nungging dan tiarap…setidaknya biarkanlah rakyat bisa
percaya bahwa setiap empat tahun sekali kita bisa menyaksikan 11 lelaki berlogo Garuda di
dadanya itu bermain di ajang tertinggi permainan ini.

Punyakah kita hasrat sebesar itu? Ataukah hasrat itu harus selalu mati dengan cepat oleh
kerakusan atas uang dan kebodohan atas makna kata politik?

Anda mungkin juga menyukai