Anda di halaman 1dari 18

PROPOSAL BEDSIDE TEACHING

“STEMI (ST ELEVATION INFARK MIOKARD) & PCI


(PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION)”
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Kelompok Profesi Ners Departemen Medical
Surgical di Ruang Instalasi Pelayan Jantung Terpadu di

RSU Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
KELOMPOK 1

ANI LISTIORINI (2019.04.004)


MAULANA YUSUF EFENDI (2019.04.041)
RATNA SULISTYOWATI (2018.04.074)
ULFA MEDIYA SAPUTRI (2019.04.076)

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
2020
PROPOSAL BEDSIDE TEACHING

1. Pendahuluan

Percutaneous Coronary Intervention umumnya dikenal sebagai angioplasty


koroner atau angioplasty saja, adalah salah satu prosedur terapi yang digunakan
untuk mengobati penyempitan pulmonalis arteri koroner dari jantung yang
ditemukan pada kasus penyakit jantung koroner. Istilah angioplasty biasa
digunakan untuk menggambarkan intervensi coroner perkutan yang
menggambarkan inflasi balon dalam arteri koroner untuk menghancurkan plak ke
dalam dinding arteri.
Sebuah pemeriksaan yang lengkap akan terdiri diri penilaian kondisi pasien
secara umum dan sistem organ yang spesifik. Dalam prakteknya, tanda vital atau
pemeriksaan suhu, denyut dan tekanan darah selalu dilakukan pertama kali.

2. Tujuan

1. Mengetahui definisi PCI atau Percutaneous Coronary Intervention.


2. Memahami tujuan PCI atau Percutaneous Coronary Intervention.
3. Mengetahui metode dan langkah PCI atau Percutaneous Coronary
Intervention.
4. Mengetahui tentang PCI atau Percutaneous Coronary Intervention.

3. Sasaran
Pasien di Ruangan 5 RSU. Dr. Saiful Anwar Malang
4. Materi

1. Pengertian Definisi dari PCI atau Percutaneous Coronary Intervention.


2. Tujuan dari PCI atau Percutaneous Coronary Intervention.
3. Metode dan langkah dalam PCI atau Percutaneous Coronary Intervention.
4. Pemeriksaan PCI atau Percutaneous Coronary Intervention.

5. Metode.
Praktikum, Diskusi dan Bedside Teaching

6. Media
Persiapan Alat

7. Proses
Langkah-langkah yang diperlukan dalam Bedside Teaching adalah sebagai
berikut:
PP Tahap Prapelaksanaan

a. Penetapan kasus minimal 1 hari sebelum waktu pelaksanaan bedside

penjelasan difokuskan pada masalah keperawatan dan rencana tindakan yang


Penjelasan tentang klien oleh perawat primer dalam hal ini
Penetapan Pasien
Proposal

akan dilaksanakan dan memiliki prioritas yang perlu didikusikan.


Diskusi antar anggota tim tentang kasus tersebut
Persiapan pasien:
Informed consent
Hasi pengkajian/intervensi data

b. Pemberian informed consent kepada klien dan keluarga


Apa yang menjadi masalah
Penyajian masalah Cross cek data yang ada
Apa yang menyebabkan masalah yang
tersebut
Bagaimana pendekatan (Proses Kep,
SOP)
Validitas data

Pelaksanaan BST
Tahap implementasi
pada bed pasien Diskusi karu, PP, perawat

teaching
konselor

Persiapan
Tahap BST pada bed

1.

2.
pasien Analisa data

7.1

7.2
Masalah Teratasi Aplikasi hasil analisa dan
diskusi
3. Pemberi justifikasi oleh perawat primer atau perawat
konselor/manajer tetang masalah klien serta rencana tindakan yang akan
dilakukan.
4. Tindakan keperawatan pada masalah prioritas yang telah ada
akan ditetapkan
7.3 Pasca BST
Mendikusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta menetapkan
tindakan yang perlu dilakukan

8. Waktu dan tempat


Hari / Tanggal : Kamis, 20 Februari 2020
Waktu : 10.00 WIB
Tempat : Ruang Pertemuan IPJT Lantai 2

9. Peran Masing-masing anggota tim


a. Peran perawat primer
- Menjelaskan data pasien yang mendukung masalah pasien
- Menjelaskan diagnosis keperawatan
- Menjelaskan intervensi yang dilakukan
- Menjelaskan hasil yang didapat
- Menjelaskan rasional dari tindakan yang diambil
- Menggali masalah-masalah yang belum terkaji

10. Kriteria Evaluasi.


a. Bagaimana koordinasi dan persiapan BST
b. Bagaimana peran perawat primer pada saat BST

11. Kegiatan Bedside Teaching


1. Tahapan Pra-BST
a. Preparation
b. Planning
c. Briefing : 4P 1R
1) Problem : masalah yang ditemukan pada klien
2) Practice : tindakan yang akan dilakukan terkait masalah klien
3) Preparation : persiapan alat, persiapan pasien, persiapan lingkungan
4) Procedure : prosedur pelaksanaan
5) Role : aturan yang disampaikan oleh pembimbing klinik
2. Round : fase kerja (Pelaksanaan) dan fase terminasi (evaluasi)
3. Post round : evaluasi dari pembimbing klinik terhadap tindakan yang
dilakukan.
12. Penutup
Demikianlah proposal ini kami buat dengan sebenar-benarnya, kiranya dapat
dijadikan masukan dalam pengembangan dan pengaplikasian metode pembelajaran.

Malang, Februari 2020


Mengetahui,
Pembimbing Klinik Ketua Kelompok,

(..........................................................) (.........................................................)

Mengetahui,
Kepala Ruang IPJT
RS dr. Saiful Anwar Malang

(...........................................................)
Lampiran Materi

1. DEFINISI
IKP adalah suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan
pembuluh darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon dan
seringkali dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini dapat menghilangkan
penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali,
sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari (Majid, 2009).
Prosedur intervensi koroner diukur dari keberhasilan dan komplikasi yang
dihubungkan dengan mekanisme alat-alat yang digunakan dan juga
memperhatikan klinis dan faktor anatomi pasien (AHA, 2012).

2. PROSEDUR
Persiapan pasien yang akan dilakukan pemasangan cincin atau balon jantung.
Persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum tindakan PCI Jantung yaitu :
a. Pemeriksaan laboratorium darah
b. Pemeriksaan EKG.
c. Uji latih beban (Treadmill).
d. Foto dada ( Rontgen Dada .)
e. Puasa makan 4 - 6 jam sebelum tindakan, minum obat seperti biasa.
f. Mendapat penjelasan tentang prosedur tindakan.
g. Diminta untuk menandatangi persetujuan tindakan (inform consent).
h. Dicukur pada daerah mana kateter akan dimasukkan.
i. Dipasang infus di lengan / tungkai kiri.
j. Minum Obat Platelet sesuai terapi dokter.

Perawatan pasien PCI PTCA Kateterisasi adalah sebagai berikut :


a. Pasien diperbolehkan makan atau minum.
b. Kaki area tindakan tidak boleh ditekuk selama 12 jam.
c. Apabila tindakan dari lengan, 4 jam setelah tindakan tangan tidak boleh ditekuk
atau untuk mengenggam.
d. Dirawat di ruang ICCU selama 1 hari untuk pengawasan.
e. Bila tidak ada komplikasi atau kelainan lainnya, pada keesokan harinya bisa
diperbolehkan pulang.Jadi tindakan ini biasanya hanya 3 hari.Hari pertama
masuk dan cek laborat lengkap, hari kedua tindakan dan hari ketiganya boleh
diperbolahkan pulang.
Adapun prosedur melakukan tindakan IKP terdiri dari beberapa langkah.
a. Pertama melakukan akses perkutan. Dalam proses ini arteri femoralis harus
diidentifikasi lebih dahulu (atau yang lebih jarang bisa menggunakan arteri
radialis atau arteri brachialis pada lengan) dengan menggunakan suatu alat yang
disebut jarum pembuka. (Eileen, 2009)
b. Setelah jarum sudah masuk, sheath introducer diletakkan pada jalan pembuka
untuk mempertahankan arteri tetap terbuka dan mengontrol perdarahan. Melalui
sheath introducer ini, guiding catheter dimasukkan. Ujung guiding catheter
ditempatkan pada ujung arteri koroner. Dengan guiding catheter, penanda
radiopak diinjeksikan ke arteri koroner, hingga kondisi dan lokasi kelainan dapat
diketahui.
c. Selama visualisasi sinar X , ahli jantung memperkirakan ukuran arteri koroner
dan memilih ukuran balon kateter serta guide wire coronary yang sesuai.
Guiding wire coronary adalah sebuah selang yang sangat tipis dengan ujung
radio opak yang fleksibel yang kemudian dimasukkan melalui guiding cathether
mencapai arteri koroner. Dengan visualisasi langsung, ahli jantung memandu
kabel mencapai tempat terjadinya blokade . Ujung kabel kemudian dilewatkan
menembus blokade.
d. Setelah kabel berhasil melewati stenosis, balon kateter dilekatkan dibelakang
kabel. Angioplasti kateter kemudian didorong kedepan sampai balon berada di
dalam blokade. Kemudian baru balon balon dikembangkan dan balon akan
mengkompresi atheromatous plak dan menekan arteri sehingga mengembang.
Jika stent ada pada balon, maka stent diimplantkan atau ditinggalkan pada tubuh
untuk mendukung arteri dari dalam agar tetap mengembang.
IKP seharusnya dilakukan oleh orang berpengalaman, dari operator dan
institusi tinggi. Dalam melaksanakan tindakan ini tidak diperlukan anastesi,
walaupun pasien dikasi obat pereda nyeri/sedatif. Pasien biasanya boleh bergerak
beberapa jam selepas tindakan, dan pulang pada hari yang sama atau besoknya.
(AHA, 2012).
Setelah tindakan IKP dilakukan, pasien diberi obat antitrombolisis. Semua
pasien harus mengambil aspirin tanpa batas waktu (sebagai pencegahan sekunder
dari CVD). Dual terapi antitrombosis diperlukan untuk pasien dengan stent
koroner untuk mengurangi risiko trombosis stent: Hal ini biasanya terjadi aspirin
dan clopidogrel. Lamanya pengobatan clopidogrel tergantung pada penetapan
klinik (Grossman,2008).
Jika operasi diperlukan, maka harus dipertimbangkan apakah antitrombolisis
boleh diteruskan. Setelah itu diperlukan konsul dengan ahli kardiologi
berhubungan dengan risiko penghentian obat-obatan dan segala yang diperlukan.
Penggunaan proton-pump inhibitor bersamaan dengan clopidogrel (untuk
mencegah pendarahan gastrik) adalah kontroversial, setelah bukti-bukti
menunjukkan bahwa PPI dapat memperburuk hasil dan bahwa dua obat dapat
berinteraksi.
Dalam melakukan tindakan IKP dapat dilakukan pemasangan stent bersalut
obat atau sering disebut Drug-Eluting Stent (DES). Pada prinsipnya DES
merupakan stent bersalut obat. Obat yang dipakai harus mempunyai efek
antiploriferatif dan antiinflamasi sehingga dapat menekan hiperflasia neointima.
Dengan demikian secara teoritis, obat yang potensial toksik bila diberikan secara
sistemik dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang amat kecil, tetapi efektif
dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel pada stent diperlukan polimer.
Polimer berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan
mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding pembuluh (Sudoyo, 2009).
Stent koroner merupakan benda asing bagi tubuh yang dapat menimbulkan
adhesi platelet dan mengaktivasi kaskade koagulasi. Implantasi dengan tekanan
tinggi dapat menimbulkan trauma pada pembuluh darah (Hasse, 2010)
Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi tubuh terhadap polimer dan obat
dan juga terhadap stent itu sendiri. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu dengan
stent bersalut emas, juga dengan QuaDS stent, aktinomisin, dan batimastat,
ternyata gagal karena DES ini lebih menyebabkan reaksi ploriferasi, peradangan
atau lebih trombogenik daripada stent biasa.
Selain DES, cutting balloon juga merupakan tindakan pada intervensi
coroner. Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4 pisau
pemotong yang ditempel secara longitudinal pada balon. Dengan demikian bila
dikembangkan, maka plak akan mengalami insisi longitudinal dan diharapkan
akan terjadi redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan tekanan yang
lebih rendah dibandingkan angioplasti balon biasa. Pada beberapa penelitian
menyebutkan bahwa penggunaan cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk
terapi instent restenosis (Sudoyo, 2009)
Saat melakukan tindakan IKP, Intravascular Ultrasound merupakan bagian
yang terpisahkan dari penelitian-penelitian mengenai Drug Eluting Stent.
Penggunaan IVUS dapat menentukan lokasi yang tepat serta ekspansi stent yang
optimal terhadap seluruh pembuluh endotel pada waktu IKP (Jeremias, 2009).
Indikasi pemeriksaan IVUS sewaktu DES adalah pada kelompok pasien
berisiko tinggi yaitu :
 gagal ginjal
 tidak dapat menggunakan pengobatan antiplatelet ganda
 diabetes mellitus
 fungsi ventrikel kiri jelek
 kelompok lesi risiko tinggi yakni, penyakit cabang utama kiri (left main),
percabangan (bifurkasi), lesi ostial, pembuluh darah.

3. SKEMA IKP

4. INDIKASI IKP
ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan PCI
sebagai berikut :
a. Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang
mengatakan bahwa tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.
b. Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan
efikasi tindakan tersebut.
c. Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat
d. Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.
e. Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang
mengatakan bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta
pada beberapa kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2012).
Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut
a. Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai
dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non
STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan
EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu
dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan
lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten
(<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada
STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat
dugaan Non STEMI (Jeremias, 2009) . Pada NSTEMI dan angina pectoris
stabil tindakan PCI bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas
coroner.
Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :
i. Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat
ii. Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau
elevasi segmen ST sementara <30 <0,1mv)
iii. Peningkatan nilat troponin I, troponin II, atau CKMB
iv. Pada observasi hemodinamis pasien tidak stabil
v. Adanya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel
vi. Angina tidak stabil pada pasca infark dini
vii. Diabetes mellitus
Pasien yang tergolong pada kelompok berisiko tinggi mempunyai
manfaat yang lebih besar bila dilakukan IKP daripada kelompok risiko
rendah. (Hassan, 2009)
b. Sindroma koroner akut dengan elevai segmen ST (STEMI)
Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat
ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan
perubahan EKG. Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut
disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung
kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi
a≥40 tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥
2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010).
ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih
dari 2 minggu.
IKP yang berpengalaman yang terdiri dari kardiologis intervensi yang
terampil. Stategi reperfusi IKP telah menjadi modalitas pengobatan yang
sangat penting dari STEMI dengan banyak mengalami pada tahun-tahun
terakhir ini. Sedangkan terapi trombolitik dimana dapat digunakan secara
luas, mudah diberikan, dan tidak mahal tetap merupakan pilihan alernatif.
IKP telah terbukti lebih superior disbanding trombolitik dalam pencapaian
TIMI 3 flow (perfusi komplit), iskemik berlang sistemik, mortalitas 30 hari
lebih baik dan insiden stroke pendarahan lebih rendah (AHA, 2012).
Sedangkan menurut AHA indikasi IKP adalah sebagai berikut
a. Asimptomatik dan angina ringan
b. Angina kelas II hingga IV atau angina tidak stabil.
Banyak pasien dengan angina stable yng moderate dan severe atau
unstable angina tidak memberi respon yang adekuat terhadap pemberian
terapi obat-obatan dan lebh sering memberikan efek yang signifikan
dengan revaskularisasi Percutaneus Coronary Intervention.
c. Infark miokardiak Percutaneus Coronary Intervention merupakan
tindakan yang efektif untuk memperbaiki perfusi coroner dan cocok
dilakukan untuk lebih dari 90% pasien.
d. Percutaneus Coronary Intervention pada pasien dengan prior coronary
bypass surgery
e. Penggunaan teknologi (AHA, 2012)
Indikasi primer PCI dilakukan pada pasien dengan STEMI kurang dari 12
jam, dengan Left Bundle Branch Block (LBBB), dan juga STEMI dengan
komplikasi gagal jantung yang severe (Griff, 2008).
Meskipun intervensi perkutan dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat dapat
meningkatkan risiko, revaskulerisasi dapat mengurangi iskemik dan
meningkatkan prognosis jangka panjang (Ellis, 2009).
Pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas dengan fungsi ventrikel kiri
yang lebih buruk mempunyai survival yang lebih lama setelah operasi pintas
koroner meskipun pasien asimptomatis. Pada pasien PJK stabil tindakan
intervensi koroner perkutan dilakukan hanya pada pasien dengan adanya keluhan
dan tanda-tanda iskemik akibat penyempitan pembuluh darah. Pada penelitian
awal dijumpai manfaat yang lebih kecil terhadap survival pasien yang dilakukan
IKP tanpa stent dibandingkan dengan operasi pintas koroner. Tetapi dengan
adanya stent dan stent bersalut obat dan tersedianya obat-obat ajuvan, tindakan
IKP ini menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan operasi pintas
koroner ( Hasan, 2009)

5. KOMPLIKASI
Meskipun intervensi ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah yang
menyempit, dalam kenyataannnya juga memiliki komplikasi. Komplikasi dapat
dibagi menjadi dua kategori yaitu yang secara umum berkaitan dengan kateterisasi
arteri dan yang berhubungan dengan teknologi yang spesifik yang digunakan
untuk prosedur pada koroner (AHA, 2012).
 Trombolisis stent
Walaupun angka kejadian hanya 1-2%, kejadian trombolisis stent masih
berisiko sehingga stent harus itu dilapisi oleh endothelium dan hal tersebut
biasanya muncul sebagai MI akut, dengan tingkat kematian tinggi.
Trombolisis stent sering sewaktu bulan pertama pemasangan, tapi bisa
muncul berbulan dan bertahun setelah pemasangan PCI.
 Stenosis stent
Hal ini berhubungan dengan proses „penyembuhan‟ yang berlebihan dari
dinding pembuluh darah yang bertimbun pada lumen stent. Stenosis biasanya
terbentuk dalam 3-6 bulan dan tidak jarang angina muncul kembali, tetapi
jarang menyebabkan MI. Stenosis stent terjadi dalam 4-20% dari stent.
a. Komplikasi mayor
Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa
mengakibatkan kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut (1%) yang
mungkin memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%), termponade jantung (0,5%)
dan perdarahan sistemik (0,5%). Kematian terjadi saat proses di rumah sakit.
Stroke terjadi saat otak kehilangan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
iskemik 24 jam setelah onset.
b. Komplikasi minor
Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati dan
komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma. Gagal
ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2 mg/dl.(Butman,
2005).
Prediktor keberhasilan atau terjadinya komplikasi adalah sebagai berikut :
a. Faktor anatomi
Morfologi lesi dan keparahan stenosis diidentifikasikan sebagai predictor
keberhasilan IKP.
b. Faktor klinis
Kondisi klinis dapat mempengaruhi tingkat keparahan. Misalnya, terjadi
komplikasi 15,4% pada pasien dengan diabetes mellitus dan hanya 5,8%
pada pasien yang tidak terkena diabetes mellitus. Faktor-faktor ini meliputi
usia, jenis kelamin, angina yang tidak stabil, gagal jantung kongestif dan
diabetes.
c. Risiko kematian
Kematian pasien yang mendapat tindakan IKP berhubungan dengan oklusi
orkelamin wanita, diabetes, dan infark miokardium.
d. Wanita
Dibandingkan dengan laki-laki, wanita yang mendapat tindakan IKP
memiliki insiden lebih tinggi mendapatkan hipertensi dan
hiperkolestrolemia.
e. Usia lanjut
Usia diatas 75 tahun merupakan kondisi klinis yang cukup besar
dihubungkan dengan peningkatan risiko mendapatkan komplikasi.
f. Diebetes mellitus
Dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami diabetes mellitus,
pasien diabetes mellitus memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi.
g. Coronary Angioplasty setelah pembedahan CABG
IKP direkomendasikan sebagai prosedur paliatif yang bias menunda CABG
berulang.
h. Konsiderasi teknik yang spesifik
Perforasi arteri coroner dapat sering terjadi saat melakukan intervensi
menggunakan teknologi. Kejadian ini dapat terjadi meliputi terjadinya rotasi
ataupun ekstraksi atherectomy.
i. Faktor hemodinamik
Perubahan tekanan darah dapat dihubungkan dengan LV ejection fraction
dan risiko rusaknya miokardium (AHA, 2012)

6. LOKASI PENYEMPITAN
Dalam tindakan IKP ini harus diketahui anatomi dari pembuluh darah yang
mengalami penyempitan. Sesuai dengan pengertiannya, tindakan IKP ini
dilakukan untuk melebarkan daerah yang menyempit pada pembuluh darah.
Selain itu, faktor anatomi ini mempengaruhi keberhasilan ataupun komplikasi
IKP.
Klasifikasi baru membedakan penyempitan berdasarkan tingkat keparahan
yaitu mild, moderate dan severe. Perbedaan tingkatan ini dibedakan berdasarkan
ada tidaknya thrombus da nada tidaknya oklusi (Grech, 2011).
a. Anatomi kasar
Jantung adalah organ berongga dan memiliki empat ruang yang terletak
diantara kedua paru-paru di bagian tengah toraks. Dua per tiga jantung
terletak di sebelah kiri garis midsternal. Jantung dilindungi oleh
mediastinum, jantung memiliki ukuran kurang lebih segenggaman kepalan
tangan pemiliknya. Ujung atas yang lebar mengarah bahu kanan dan ujung
bawah yang mengerucut mengarah panggul kiri. Pelapis terdiri dari
perikardium dan rongga perikardial.
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu epikardium di bagian luar
yang terdiri atas lapisan mesotelium yang berada di atas jaringan ikat.
Miokardium di bagian tengah terdiri atas otot jantung yang berkontraksi
untuk memompa darah. Yang terakhir adalah endothelial yang terletak di
atas jaringan ikat (Slonane, 2009).
b. Ruang Jantung
Jantung terdiri atas empat ruang yaitu atrium kanan dan atrium kiri yang
dipisahkan oleh septum intratial, ventrikel kanan dan ventrikel kiri yang
dipisahkan oleh septum interventrikular. Dinding atrium relatif tipis. Atrium
membawa darah dari vena yang membawa darah kembali ke jantung. Atrium
kanan terletak di bagian superior kanan jantung, menerima darah dari
seluruh tubuh kecuali paru-paru. Vena kave superior dan inferior membawa
darah yang tidak mengandung oksigen.
Arteri koroner terdiri atas Left Coronary Artery (LCA), Left Marginal
Artery (LMA), Right Coronary Artery (RCA), Left Anterior Descending
(LAD), Right Marginal Artery (RMA), Circumflex Artery dan Posterior
Descending Artery.

c. Sirkulasi koroner memperdarahi jantung


Arteri koroner kanan dan kiri merupakan cabang aorta tepat di atas katup
semilunar aorta. Arteri ini terletak di atas sulkus koroner. Cabang utama dari
arteri koroner kiri adalah sebagai berikut :
i. Arteri interventrikuler arterior (desenden) yang mensuplai darah ke
bagian anteriorventrikel kanan dan kiri serta membentuk suatu
cabang, arteri marginalis kiri, yang mensuplai darah ke ventrikel kiri.
ii. Arteri sirkumpleksa menyuplai darah ke atrium kiri dan ventrikel kiri.
Di sisi anterior, arteri sirkumfleksa beranastomosis dengan arteri
koroner kanan.
Cabang utama dari arteri koroner kanan adalah sebagai berikut:
iii. Arteri intraventrikular posterior (desenden) yang mensuplai darah
untuk kedua dinding ventrikel.
iv. Arteri marginalis kanan yang mensuplai darah untuk atrium kanan dan
ventrikel kanan.
Vena jantung (besar,kecil,oblik) mengalirkan darah dari miokardium ke
sinus koroner yang kemudian bermuara di atrium kanan. Darah mengalir melalui
arteri koroner terutama saat otoo-otot jantung berelaksasi karena arteri koroner
juga tertekan pada saat kontraksi berlangsung.
Ada beragam anatomi sirkulasi pada manusia. Sebagian besar orang
memiliki sirkulasi koroner yang seimbang, tetapi ada orang tertentu yang
memiliki dominan koroner kanan atau dominan koroner kiri (Slonane,2009).
Pada pengklasifikasian lesi dikenal istilah deskripsi lesi risiko tinggi atau
lesi C yaitu sebagai berikut :
 Adanya difusi lebih dari 2 cm
 Excessive tortuosity dari segmen proksimal
 Segmen terakumulasi lebih dari 900
 Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral
 Ketidakmampuan untuk melindungi cabang yang lebih besar
 Vena yang terdegenerasi
Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral dan vena
yang terdegenerasi adalah untuk kegagalan teknik dan peningkatan restenosis
dan tidak untuk komplikasi akut (AHA, 2005).
Adapun klasifikasi lesi berdasarkan SCAI, lesi dibagi menjadi 4 tipe lesi
Sebagai berikut :
i. Tipe I ( angka keberhasilan tertinggi, risiko terendah)
 Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C
 Patent
ii. Tipe II
 Ada beberapa kriteria lesi C
- Difusi ( lebih dari 2 cm)
- Excessive Turtuosity dari segmen proksimal
- Segmen terakumulasi >900
- Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar
- Vena yang terdegenerasi
 Patent
iii. Tipe III
 Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C
 Oklusi
iv. Tipe IV
 Ada kriteria lesi C
- Difusi lebih dari 2 cm
- Excessive tortuosity dari segmen proksimal.
- Segmen terangulasi >900
- Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar
- Vena yang terdegenerasi
- Oklusi lebih dari 3 bulan
 Oklusi (AHA, 2005)

7. DERAJAT PENYEMPITAN
Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual
oleh operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif
untuk mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan (Gray dkk,
2005). Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥
50 % pada LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun
1997 dalam Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan
dibagi menjadi :
a. Grade 0 : penyempitan < 25%
b. Grade 1 : penyempitan 25-49 %
c. Grade 2 : penyempitan 50-74%
d. Grade 3 : penyempitan 75-94 %
e. Grade 4 : penyempitan ≥ 95%

Anda mungkin juga menyukai