Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN dan ASUHAN KEPERAWATAN

MRSA
DI RUANG 12 RS Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh :

Nama : Ni Putu Kusumawardani


NIM : 2019.04.051

PROGRAM STUDI PROFESI (NERS)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

BANYUWANGI

2019- 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
MULTIPLE RESISTEN STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA)

A. Pengertian
MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus) adalah jenis bakteri
Staph ditemukan pada kulit dan dalam hidung ataupun pada lipatan kulit lainnya
yang resisten terhadap antibiotik yaitu kemampuan untuk menolak antibiotik.
Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) adalah bakteri yang
bertanggung jawab untuk beberapa sulit-untuk-mengobati infeksi pada manusia. Hal
ini juga dapat disebut multidrug-resistant Staphylococcus aureus atau oksasilin-
resistant Staphylococcus aureus (Orsa). (Nathwani,2010)
MRSA adalah sangat mengganggu di rumah sakit dan panti jompo di mana
pasien dengan luka terbuka, perangkat invasif dan sistem kekebalan tubuh yang lemah
beresiko tinggi infeksi dari masyarakat umum.
Staphylococcus Aureus Resisten Metilisin (MRSA) adalah infeksi nasokomial
yang biasa terjadi di rumah sakit dan di fasilitas kesehatan lain (Brunner and
Suddarth,2012) .
    MRSA adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan S. Aureus yang
resisten terhadap metilisin atau obat lain, oksasilisin dan nafsillin (Brunner and
Suddarth,2012) .
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang merupakan bakteri Gram
positif yang resistan terhadap antibiotik semisintetis (Kodim,2010).

B. Etiologi
Staphylococcus adalah jenis umum bakteri. Pada sekitar 1 dari setiap 4 orang
sehat, kuman Staph hidup di kulit atau pada bagian hidung, tetapi tidak menyebabkan
masalah atau infeksi. Orang-orang ini dikatakan dijajah dengan Staph.
Jika bakteri Staph memasuki tubuh seseorang melalui luka, sakit, kateter, atau tabung
pernapasan, dapat menyebabkan infeksi (Sari,2016).
a. Infeksi bisa ringan dan lokal (misalnya, jerawat), atau lebih serius (melibatkan
jantung, paru-paru, darah, atau tulang).
b. Infeksi Staph serius lebih umum pada orang dengan sistem kekebalan tubuh
lemah. Ini termasuk pasien di rumah sakit dan jangka panjang fasilitas
perawatan dan orang-orang yang menerima dialisis ginjal atau pengobatan
kanker.
Di masa lalu, infeksi Staph yang paling menanggapi Gorup antibiotik yang
disebut beta-laktam. Antibiotik ini termasuk methicillin dan lainnya, lebih
banyak antibiotik umum seperti oksasilin, penisilin, dan amoksisilin.
Sekitar 2 dari setiap 100 orang membawa strain Staph yang resisten terhadap
antibiotik ini. Menjadi tahan berarti antibiotik tidak dapat untuk mengobati
dan menyembuhkan infeksi dengan jenis bakteri. Ini strain Staph disebut
MRSA, atau methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Infeksi MRSA
sering terjadi pada orang yang berada di rumah sakit atau layanan kesehatan
lainnya. Mereka yang telah dirawat di rumah sakit atau menjalani operasi
dalam satu tahun terakhir juga meningkatkan risiko. Bakteri MRSA yang
menyebabkan jumlah yang lebih tinggi dari infeksi Staph yang dimulai di
rumah sakit. Infeksi MRSA yang terjadi di masyarakat terlihat pada orang
sehat yang tidak baru-baru ini di rumah sakit. Sebagian besar infeksi ini
melibatkan kulit.
c. Infeksi telah terjadi di antara atlet yang memiliki peralatan atau barang-barang
pribadi (seperti handuk atau pisau cukur) dan anak-anak di fasilitas penitipan.
d. Anggota militer dan mereka yang mendapatkan tato juga berisiko. Jumlah
masyarakat yang didapat kasus MRSA meningkat.
C. Manifestasi Klinis
Infeksi kulit Staph menyebabkan area merah, bengkak, dan nyeri pada kulit.
Mungkin ada drainase nanah atau cairan lain dari situs. Gejala lebih mungkin terjadi
di mana kulit telah dipotong atau digosok, atau di daerah di mana ada rambut tubuh
lebih (Brooks, 2012).
Ketika pasien mendapatkan MRSA di fasilitas perawatan kesehatan, infeksi
cenderung menjadi parah. Infeksi ini dapat Staph dalam aliran darah, jantung atau
paru-paru, urin, atau di lokasi operasi terakhir (Brooks, 2012).
Gejala infeksi ini parah termasuk:
1. Nyeri dada
2. Kedinginan
3. Batuk
4. Kelelahan
5. Demam
6. Merasa sakit umum (Malaise)
7. Sakit kepala
8. Otot nyeri
9. Ruam
10. Sesak napas
D. Patofisiologi
Perkembangan penyakit stafilokokus terkait dengan ketahanan hospes
terhadap infeksi dan virulensi organisme. Kulit dan membrana mukosa utuh berperan
sebagai perintang terhadap invasi oleh stafilokokus. Defek pada perintang mukokutan
karena trauma, pembedahan, permukaan asing (misal jahitan, shunt, kateter
intravaskuler) dan luka bakar menambah resiko infeksi. Adhesi S. Aureus pada sel
mukosa diperantarai oleh asam teikoat pada dinding sel, dan pemajanan pada tempat-
tempat submukosa atau subkutan menambah adhesi terhadap fibrinogen, fibronektin,
laminin, dan mungkin kolagen IV. Kemampuan stafilokokus virulen untuk
membentuk penyakit dapat dikaitkan secara langsung pada kapasitasnya menghambat
kemotaksis (Cuang dan Huang,2013).

Protein A. ada pada kebanyakan strain S. Aureus tetapi tidak ada pada S. Epidermidis,
beraksi secara spefisik dengan IgG1, IgG2, dan IgG4. Protein ini terletak pada selaput
bakteri paling luar dan dapat menyerap imunoglobulin serum, mencegah antibodi
antibakteri bekerja sebagai opsonin dan dengan demikian menghambat fagositosis.
Leukosidin, menyebakan degranulasi leukasit, dan hemolisin stafilokokus yang toksik
terhadap eritrosit dan leukosit juga turut membantu terhadap virulensi S. aureus.
Proliferasi stafilokokus pada saluran gastrointestinal juga dikendalikan oleh
prevalensi spesies bakteri lain. Jika keseimbangan ini terganggu selama terapi
antibiotik, stafilokokus beresisten dapat berproliferasi dan menginvasi dinding usus.
Perluasan enterotoksin oleh stafilokokus dalam saluran gastrointestinal atau penelanan
enterotoksin yang telah terbentuk dapat menimbulkan penyakit bila tidak ada invasi
jaringan (Mahmuda,2013).

Bayi mungkin mendapat imunitas humoral tipe-spesifik terhadap stafilokokus secara


transplasenta. Anak yang lebih tua dan orang dewasa mengembangkan antibodi
terhadap stafilokokus sebagai akibat infeksi minor kulit dan jaringan lunak sebentar-
sebentar, titer antistafilokokus serum biasanya naik pasca-penyakit stafilokokus yang
jelas. Namun, adanya antibodi tidak selalu melindungi individu dari penyakit
stafilokokus. Ada beberapa indikasi yang menyebarkan penyakit S. aureus pada anak
yang sebelumnya sehat dapat terjadi sesudah infeksi virus yang menekan fungsi
neutrofil atau sel epitel saluran pernapasan.
Individu dengan cacat kongenital atau didapat pada sistem komplemen yang
diperlukan untuk kemotaksis, kemotaksis yang tidak sempurna (sindrom Job, Chediak
Higashi, Wikott Aldrich, dan leukosit malas), fagositosis tidak sempurna, dan
imunitas humoral tidak sempurna (antibodi diperlukan untuk opsonisasi) serta
individu yang dengan kapasitas bakterisid intraseluler terganggu bertambah resiko
infeksinya dengan stafilokokus. Penderita dengan penyakit granulomatosis kronis,
yang fagositosisnya berlangsung secara normal tetapi pembunuhan bakteri katalase-
positif yang tertelan sangat terganggu, terutama rentan terhadap penyakit stafilokokus.
Mobilisasi leukosit polimorfonuklear yang terganggu telah didokumentasi pada anak
dengan ketoasidosis diabetik dan pada individu sehat sesudah minum alkohol.
Penderita dengan infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV) mempunyai neutrofil
yang tidak sempurna dalam kemampuannya membunuh S. aureus in vitro.
(Nurkusuma,2010).
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikrobiologi adalah satu pemeriksaan yang sangat penting dalam
menunjang penegakkan diagnosis serta terapi penyakit infeksi terutama dalam
penanganan infeksi Nosokomial. Salah satu penyebab infeksi nosokomial adalah
Methicillin Resistent Staphylococcus aureus (MRSA).
Prosedur yang tepat pada pengambilan spesimen yang aseptis, penanganan
pemeriksaan laboratorium mikrobiologi untuk menegakkan diagnosis infeksi MRSA
dan prosedur standar uji bioaktivitas obat antimikroba berguna dalam diagnosis dan
terapi infeksi MRSA (Biantoro,2012).
Pilihan antibiotik :
Untuk pasien rawat jalan, klindamisin, trimetroprim/sulfametoksazol, tetrasiklin,
doksisiklin, monosiklin, dan linezolid dianggap sama efektifnya. Supaya mencakup
Streptococcus grup A sekaligus MRSA (“selulitis non-purulen”), dapat digunakan:
a. Klindamisin, atau
b. Amoksisilin plus trimetrprin/sulfametoksasol atau tetrasiklin, atau
c. Linezolid.
F. Komplikasi
1. Impetigo
Impetigo merupakan infeksi kulit yang paling menular yang kebanyakan
menyerang bayi dan anak-anak. Impetigo biasanya ditandai dengan
munculnya luka borok warna merah pada wajah, terutama di sekitar hidung,
mulut anak-anak. Meski infeksi ini umumnya terjadi akibat masuknya bakteri
ke dalam kulit melalui luka atau gigitan serangga, tapi impetigo  bisa juga
tumbuh dalam kulit yang benar-benar sehat. Pada orang dewasa, impetigo
biasanya mengakibatkan luka pada kulit (Brooks, 2012).
2. Infeksi luka pasca-operasi Infeksi luka pasca-operasi merupakan komplikasi
yang sering ditemukan pada tindakan operasi superfisial, profunda, dan organ.
Salah satu agen biologis penyebab penting adalah MRSA yang merupakan
bakteri gram positif yang resisten terhadap antibiotik semisintesis (Brooks,
2012).
3. Pneumonia
Pneumonia karena Stafilokokus aureus dapat merupakan infeksi primer
(Hematogen) atau sekunder sesudah infeksi virus seperti influensa.pneumonia
inhalasi disebabkan oleh perubahan pembersihan mukosiliare, disfungsi
leukosit, atau perlekatan bakteri yang dimulai oleh infeksi virus. Pada anak
yang lebih muda dari usia lebih dari 1 tahun, mulainya dapat ditunjukan oleh
mengi ekspiratoir, dengan cepat menyerupai bronkitis. Lebih lazim adalah
demam tinggi, nyeri perut, takipnea, dispneadan bronkopneumania setempat
atau penyakit lobar (Brooks, 2012).
4. Abses
Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi
(biasanya oleh bakteri dan parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya,
serpihan, luka peluru, atau jarum suntik) (Brooks, 2012).
G. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Penanganan infeksi MRSA dapat dengan preventif dengan pengendalian
infeksi dan kuratif. Pengendalian infeksi dilakukan dengan higiene tangan, penapisan
dan isolasi pasien, eradikasi kolonisasi, kebersihan lingkungan. Sedangkan terapi
medikamentosa menggunakan preparat vancomisin, teicoplanin, linezolid,
quinupristin/dalfopristin dan beberapa preparat lain yang masih dapat digunakan
seperti kotrimoksazol (Salmenlinna, 2014).
Higiene tangan berperan pada transmisi infeksi nosokomial pada pekerja
kesehatan, namun kesadaran akan hal tersebut masih rendah, bahkan pada suatu
rumah sakit pendidikan saja hanya 48% yang mematuhi hal tersebut. Cara mencuci
tangan merupakan hal yang harus diketahui dengan baik, penggunaan sabun yang
mengandung alkohol akan mengurangi waktu yang diperlukan untuk mencuci tangan.
Hal ini berguna pada instalasi intensif yang mobilisasinya lebih cepat dibandingkan
instalasi rawat biasa (Salmenlinna, 2014).
Reservoir MRSA dapat berasal dari kolonisasi dan proses infeksi. Dilaporkan
kolonisasi dan infeksi MRSA pada seseorang berkaitan erat dengan jumlah pasien
yang mempunyai MRSA saat perawatan. Hal ini menyebabkan pentingnya
identifikasi dini guna melakukan isolasi dan pengendalian infeksi. Penapisan
dilakukan minimal setiap minggu dengan pengambilan sampel dari hidung dan
perineum. Jika didapatkan hasil positif maka sebaiknya dilakukan isolasi pasien
namun hal ini dianggap sama efektifnya dengan pengaturan penggunaan antibiotik.
Eradikasi kolonisasi MRSA tidak banyak diyakini efektifitasnya, namun mupirosin
topikal dapat mengurangi jumlah kolonisasi. Penularan melalui faktor lingkungan
perlu menjadi perhatian tersendiri dan kemampuan S.aureus hidup saat berada
dilingkungan menentukan transmisi cara ini. Beberapa penelitian melaporkan
kemampuan hidup mikroorganisme ini pada lingkungan rumah sakit dapat bertahan
dalam 24 jam bahkan jika berada pada material poliester dan polietilen akan bertahan
56 hari dan 90 hari (Salmenlinna, 2014).
Medikamentosa digunakan pada penanganan kuratif infeksi MRSA. Preparat
glikopeptida seperti vankomisin dan teikoplanin merupakan pilihan utama. Namun
sejak dilaporkan adanya glikopeptida resistensi intermdiate S.aureus (GISA) tahun
1996, beberapa preparat antibiotik alternatif mulai dikembangkan. Linezolid
merupakan golongan oksazolidinon yang sudah digunakan di Inggris tahun 2001.
Preparat ini bekerja pada proses sintesis protein dan sama efektifnya dengan
vankomisin pada pneumonia nosokomial serta sediaan oral menjadi keunggulan
lainnya. Namun biaya yang diperlukan lebih besar 10 kali dibandingkan vankomisin.
Quinopristin-dalfopristin merupakan golongan makrolide-linkosamid-streptogramin
dan terdiri dari streptogramin pristamisin IA dan IIB dengan rasio 30:70. Kendati
efektif pada mikroorganisme gram positif nammun tidak demikian dengan
Enterococcus faecalis. Preparat ini hanya mempunyai sediaan parenteral dengan
efektifitas terapi MRSA antara 64-76%. Preparat lain yang sedang dikembangkan
diantaranya tigesiklin (GAR-936) yang merupakan derivat minosiklin dari antibiotik
golongan terbaru, glisilsiklin. Selain itu terdapat 2 preparat lain yang masing-masing
dari golongan karbapenem (CP5609 dan CS-023) dan sefalosporin (BAL9141 dan S-
3578) (Salmenlinna, 2014).
H. Pengkajian Keperawatan
a. Riwayat kesehatan yang lalu
 Kaji riwayat pribadi atau kelurga tentang penyakit MRSA sebelumnya
 Kaji riwayat pekerjaan pasien
b. Pernapasan
Gejala : sesak napas dan batuk.
c. Aktivitas atau istrahat
Gejala : merasa sakit umum (Malaise) dan kelelahan
d. Keamanan
Gejala : Demam, sakit kepala, ruam dan kedinginan
e. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : nyeri otot, nyeri dada.
f. Pola eliminasi
Ibu klien mengatakan selama sakit, klien melakukan BAB dan BAK dengan
dibantu oleh keluarga.
g. Pola kognitif
Selama pengkajian berlangsung klien tidak menunjukkan gangguan
kognitifnya, tidak ada gannguan panca indera yakni penciuman, pendengaran,
penglihatan, pengecap dan peraba.
h. Pola hubungan dan peran dalam keluarga,
klien berperan sebagai anak.
i. Pola nilai dan keyakinan
Klien menganut nilai budaya Jawa dan berkeyakinan terhadap agama Islam.
Dalam nilai dan keyakinan klien tidak ada yang merugikan bagi kesehatan
klien.
j. Pola nutrisi
Sebelum dan saat sakit klien makan 3x sehari, tidak ada penurunan nafsu
makan. Diit yang diberikan rumah sakit selalu dihabiskan.
k. Pola cairan, elektrolit dan asam basah
Ibu klien mengatakan klien dapat minum ASI dengan baik. Ibu klien juga
mengatakan daya hisap klien baik . Turgor kulit elastis.
l. Pola pernapasan
Ibu klien mengatakan klien tidak mengalami gangguan pernapasan.
m. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Kesadaran klien compos metis GCS : 15 (M : 6, V : 5, E : 4), dari hasil
pemeriksaan vital sign didapatkan,
TD = 130/80,
nadi = 175x/menit,
RR = 30x/menit
suhu 390C.
2. Pemeriksaan kepala
Kulit kepala bersih, tidak terdapat hematoma, lesi atau kotor. Rambut
bersih, tidak mudah patah saat dicabut dan rambut berwarna hitam.
3. Pemeriksaan leher
Pada leher klien tidak terdapat pembesaran tyroid, tidak terdapat
pelebaran vena jugularis, tidak terdapat hematoma dan lesi.
4. Wajah
Wajah klien bersih tidak ada lesi.
5. Mata
Mata klien secara umum konjungtiva anemis tidak terdapat hiperemis,
sclera tidak ikterik, pupil isokor.
6. Hidung
Hidung klien bersih, tidak terdapat sputum.
7. Mulut
Keadaan mulut klien bersih, tidak terlihat adanya peradangan pada
rongga mulut dan tidak ada pembesaran tonsil. Mukosa bibir klien
lembab, gusi klien berwarna merah dan lidah klien bersih.
8. Telinga
Telinga kanan dan kiri klien simetris, keadaan telinga bersih, tidak
terdapat serumen. Fungsi pendegaran baik, klien tidak menggunakan
alat bantu pendengaran.
9. Pemeriksaan dada
 Pulmo
Inspeksi : bentuk dada klien simetris, pengembangan dada
simetris
Palpasi : vokal fremitus klien kanan dan kiri sama
Perkusi : ketika di perkusi didapatkan bunyi sonor.
Auskultasi : hasil auskultasi didapatkan bunyi vesikuler.
 Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
10. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : abdomen menunjukkan kulit abdomen bersih, tidak asites
dan tidak ada distensi kandung kemih.
Auskultasi : abdomen didapatkan suara peristaltik usus 15x/menit.
11. Pemeriksaan genitalia
Genitalia normal, tidak ada kelainan pada lubang uretranya (hipospadia
maupun epispadia).
12. Pemeriksaan rektum 
Normal, tidak ada hemoroid, dan tidak ada tumor.
I. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
2) Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau traum
3) Pola napas tidak efekti berhubungan dengan nyeri
J. Rencana Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang
Kriteria Hasil: Klien menyatakan nyeri berkurang dan bisa beristirahat.
Intervensi:
 Ajarkan teknik relaksasi dan destraksi
Rasional : mengurangi rasa nyeri
 Beri penjelasan kepada klien dan keluarga tentang penyebab nyeri
Rasional : membantu mengontrol rasa nyeri
 Bantu klien menentukan posisi yang nyaman bagi klien
Rasional : membantu klien dapat beristirahat dengan nyaman
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik
Rasional : pemberian analgetik dapat membantu mengurangi rasa nyeri
2. Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma
Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu kembali normal
Kriteria hasil :
 Badanya tidak panas lagi
 Suhu tubuh dalam rentang normal 370C
 Nadi dalam rentang normal
Intervensi :
 Pantau tekanan darah, nadi dan pernapasan
Rasional :Mengetahui perubahan pada tanda-tanda vital.
 Pantau suhu minimal dua jam, sesuai dengan kebutuhan  :
Rasional : Mengetahui adanya penurunan atau peningkatan suhu pada
anak
 Ajarkan keluarga dalam mengukur suhu
Rasional : Mencegah dan mengenali secara dini hipertermi (misalnya,
sengatan panas, dan keletihan karena panas
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat (antipiretik)
Rasional : membantu menurunkan panas
3. Pola napas tidak efekti berhubungan dengan nyeri
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pola napas klien efektif
( pergerakan udara kedalam dan keluar paru-paru efektif)
Kriteria Hasil :
 Kedalaman inspirasi dan kemampuan bernapas
 Ekspansi dada simetris
 Tidak ada penggunaan otot bantu napas
 Tidak sweezing
 Tidak ada napas pendek
Intervensi :
 Kaji TTV klien
Rasional: mengetahui keadaan umum klien dan mengetahui adanya
penyimpangan respon tubuh.
 Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha pernapasan
Rasional : perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya
ventilasi mekanis
 Perhatikan pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot
bantu, serta retraksi otot supraklavikula dan interkosta
Rasional : pengembangan dada yang efektif menandakan pola napas
efektif
 Pantau pola napas: bradipnea, takipnea, hiperventilasi, pernapasan
kussmaul
Rasional : mengetahui perubahan pola napas sehingga dapat
memberikan tindakan yang tepat
 Catat perubahan AGD dengan tepat
Rasional : menentukan kecukupan pernapasan keseimbangan asam
basa dan kebutuhan akan terapi
 Pertahankan oksigen aliran rendah dengan kanul nasal, masker,
sungkup atau tenda.
Rasional : memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu
dalam pencegahan hipoksia
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian bronkodilator
Rasional : melebarkan bronkus akibat bronkuspasme sehingga jalan
udara tidak terganggu.
DAFTAR PUSTAKA

Judha, Mohammad & Rizky Erwanto. 2011. Anatomi dan Fisiologi. Yogyakarta : Gosyen
Publishing
Nelson, Waldo E. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC
Wilkinson. Judith M. 2002.  Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai