OLEH :
AYU CHANDANI
2019.04.007
BANYUWANGI
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Hari :
Tanggal :
Mahasiswa
Ayu Chandani
2019.04.007
Menyetujui,
Pembimbing Institusi
CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE
(CVA-SAH)
A. DEFINISI
Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang mengacu kepada setiap
gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya
aliran darah melalui sistem suplai arteri di otak. Istilah stroke atau penyakit
serebrovaskular mengacu kepada setiap gangguan neurologik mendadak yang
terjadi akibat pembatasan atau berhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri
otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark
serebrum. Istilah yang masih lama dan masih sering digunakan adalah
cerebrovaskular accident (CVA) (Price & Wilson, 2006)
Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) pada
tahun 2009 mendefinisikan subarakhnoid hemorrhage (SAH) adalah stroke
perdarahan dimana darah dari pembuluh darah memasuki ruang subarachnoid yaitu
ruang di antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arachnoid mater) dari
jaringan selaput otak (meninges). Penyebab paling umum adalah pecahnya tonjolan
(aneurisma) dalam arteri basal otak atau pada sirkulasi willisii.
C. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi aneurisma
SAH menurut Feigin et al. (2005) dan Teunissen et al. (1996) dalam Lemonick
(2010) meliputi:
Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial
Hipertensi
Merokok
Atherosklerosis
Kontrasepsi oral
Usia lanjut
Jenis kelamin
Pecandu alkohol berat
D. PATOFISIOLOGI
CVA subarakhnoid hemorrhage (SAH) sebagian besar disebabkan oleh
rupturnya aneurisma serebral. Segera setelah perdarahan, rongga subarakhnoid
dipenuhi dengan eritrosit di CSF. Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa
jalan kecil di otak. Beberapa eritrosit akan berikatan menjadi bekuan pada area
perdarahan. Sebagian besar eritrosit akan berikatan dengan arachnoid villi dan
trabekulae. Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit juga berpindah dari
ruang subarakhnoid melalui fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah
perdarahan. Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki
ruang subarakhnoid melalui pembuluh meningeal, dapat secara langsung memecah
eritrosit di CSF atau merubahnya menjadi bekuan darah (Hayman et al., 1989).
Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak menjadi berkurang, sehingga
menyebabkan terjadinya iskemi pada jaringan otak dan lama-lama akan
menyebabkan terjadinya infark serebri.
Selanjutnya, jaringan otak yang mengalami iskemi/ infark akan menyebabkan
gangguan/ kerusakan pada sistem saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih
hidup, sering mengalami kelumpuhan pada saraf kranial kiri, paralisis, aphasia,
kerusakan kognitif, kelainan perilaku, dan gangguan psikiatrik (Bellebaum et al.,
2004 dalam American Association of Neuroscience Nurses, 2009).
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009, gejala CVA
SAH dapat dilihat dari derajat nya, yaitu:
Deraja GCS Gejala
t
1 15 Asimtomatik atau nyeri kepala minimal serta kaku
kuduk ringan.
2 15 Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku kuduk, defisit
neurologis tidak ada (selain parese saraf otak).
3 13-14 Kesadaran menurun (drowsiness) atau defisit neurologis
fokal.
4 8-12 Stupor, hemiparesis moderate sampai berat, permulaan
desebrasi, gangguan vegetatif.
5 3-7 Koma berat, deserebrasi.
F. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Persyarafan
- Reflex hammer
- Garputala
- Kapas dan lidi
- Penlight atau senter kecil
- Opthalmoskop
- Jarum streril
- Spatel tongue
- 2 tabung berisi air hangat dan air dingin
- Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh
- Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum
- Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula, atau cuka
- Baju periksa
- Sarung tangan
b. Reflex biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa
ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul
dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi
fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi
penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu
c. Reflex triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila
ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar
keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
d. Reflex abdominal
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa
gerakan plantar fleksi kaki.
e. Reflek Babinski
Merupakan refleks yang paling penting. Ia hanya dijumpai pada penyakit
traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian
lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian
melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki
melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal
adalah fleksi plantar semua jari kaki.
Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan
selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan:
1. Kaku Kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak
dapat menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain
didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala
klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua
tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi
panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi
panggul dan lutut.
4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah
pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 135°
terhadap tungkai atas. Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan
menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.
5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan
nyeri sepanjang m. ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
a. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal.
Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua
pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan
memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.
b. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau
diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi,
ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki
plantar fleksi.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologis
a. CT Scan
CT-scan kepala harus dilakukan pertama kali pada setiap pasien dengan
suspek perdarahan subaraknoid. Hasil yang di dapatkan menunjukkan
bahwa darah SAH pada CT Scan tanpa bentuk berarti pada ruang
subarakhnoid disekitar otak, kemudian membentuk sesuatu yang secara
normal berwarna gelap muncul menjadi putih. Efek ini secara khas muncul
sebagai bentuk bintang putih pada pusat otak seperti gambar berikut ini.
Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di basal cisterns, fisura
sylvian, atau fisura interhemisper yang mengindikasikan ruptur saccular
aneurysma. Darah berada di atas konfeksitas atau dalam parenkim
superfisial otak sering mengindikasikan arteriovenous malformation atau
mycotic aneurysm rupture (AANN, 2009).
b. Pungsi Lumbal
Dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT Scan kepala tidak dapat
dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan klinis sangat
mencurigakan suatu perdarahan subaraknoid dan tidak ada kontraindikasi
lumbal punksi. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat xanthochromia (CSF
berwarna kuning yang disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana
sensitivitas pemeriksaan ini lebih besar dari 99% (AANN, 2009).
c. CTA (Computed Tomography Angiography)
Dilakukan jika diagnosis SAH telah dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP.
d. Rotgen Toraks
Untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI).
MRI harus dilakukan untuk menutup kemungkinan malformasi vaskular
pada otak, batang otak atau batang spinal. MRI dapat menunjukkan
perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau
leukositosis setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik (Dewanto et
al., 2009).
b. Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis
(Weiner, 2000).
c. Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati
sebelumnya.
d. Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.
H. PENATALAKSANAAN
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline
Stroke 2007:
1. Pedoman Tatalaksana
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA)
- Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk
upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Bed rest total
dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan
lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3
L/menit.
- Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
- Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-
kelainan neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih
intensif:
- Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang
gawat darurat.
- Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang
nafas yang adekuat.
- Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
- Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan
penilaian status neurologi.
2. Tindak lanjut mencegah perdarahan ulang setelah PSA
a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan
antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan
ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam
pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan
pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk
terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi
yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.
Penekanan
Edema serebri Infark serebri
jaringan otak
Defisit neurologis
Kehilangan
kontrol
Kerusakan
volunter komunikasi
verbal
Penurunan
kesadaran
Hemiplegia dan
hemiparese Kerusakan Defisit perawatan diri:
mobilitas fisik Mandi dan eliminasi
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Anamnesis
1) Identitas Klien
a) Umur.
Stroke dapat menyerang semua umur, tetapi lebih sering dijumpai pada
populasi usia tua. Setelah berumur 55 tahun, risikonya berlipat ganda
setiap kurun waktu sepuluh tahun (Wiratmoko, 2008).
b) Jenis kelamin.
Dari seluruh subjek penderita stroke, proporsi terbanyak adalah laki-laki
(51,95%) namun tidak jauh berbeda dengan jenis kelamin perempuan
(48,1%) (Sofyan dkk, 2012).
c) Pekerjaan
Beberapa ahli menyebutkan bahwa stroke cenderung diderita oleh
golongan dengan sosial ekonomi yang tinggi karena berhubungan dengan
pola hidup, pola makan, istirahat dan aktivitas(Sulansi, 2015).
2) Keluhan utama
Keluhan utama ini seringkali yang menjadi alasan klien untuk datang
meminta pertolongan rumah sakit. Pasien akan mengeluh kelemahan anggota
gerak, badan, bicara agak pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan
tingkat kesadaran (Muttaqin, 2008).
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Setelah melakukan aktivitas, tiba-tiba terjadi keluhan neurologis misalnya
sakit kepala dan penurunan kesadaran (Rendy, 2012). Serangan stroke
hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang
melakukan aktivitas, biasanya terjadi nyeri kepala, mual muntah bahkan
kejang sampai pasien tidak sadar, selain gejala kelumpuhan seluruh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain.Adanya penurunan atau perubahan pada
tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intracranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai dengan perkembangan
penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsive, dan koma (Muttaqin, 2008).
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dilakukan adanya pengkajian DM, hipertensi, dan kelainan jantung
(disritmia) karena hal ini berhubungan dengan penurunan kualitas pembuluh
darah otak menjadi menurun (Rendy, 2012). Selain itu tanyakan apakah
pasien pernah mengalami trauma kepala atau tidak (Batticaca, 2008).
Tanyakan juga tentang penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif. Pengkajian obat-obatan yang sering digunakan
pasien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta
dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alcohol dan penggunaan
obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pegkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya (Muttaqin, 2008).
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain
atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetis maupun tidak (Rendy, 2012).
Seperti riwayat hipertensi, penyakit jantung atau DM (Batticaca, 2008).
6) Pola Fungsi Kesehatan Gordon
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Kesehatan Berkaitan dengan fungsi peran
yang tergambar dari penyesuaian atau pencerminan diri yang tidak adekuat
terhadap peran baru setelah stroke serta masih menerapkan pola tidak
sehat yang dapat memicu serangan stroke berulang. Pengkajian perilaku
adaptasi interdependen pada pasien paska stroke antara lain identifikasi
sistem dukungan sosial pasien baik dari keluarga, teman, maupun
masyarakat (Dharma, 2015).
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pasien stroke sering mengalami disfagia
yang menyebabkan gangguan intake dan pola nutisi. Respons adaptasi
tidak efektif yang sering ditunjukkan pasien antara lain mual, muntah,
penurunan asupan nutrisi dan perubahan pola nutrisi. Stimulus fokal yang
sering menyebabkan respons adaptasi tidak efektif pada pola nutrisi pasien
stroke yaitu disfagia dan penurunan kemampuan mencerna makanan.
Stimulus konstekstual yaitu kelumpuhan saraf kranial, faktor usia dan
kurangnya pengetahuan tentang cara pemberian makanan pada pasien
stroke yang mengalami disfagia. Stimulus residual yaitu faktor budaya
serta pemahaman pasien dan keluarga tentang manfaat nutrisi bagi
tubuh(Dharma, 2015).
c) Pola Eliminasi
Pengkajian eliminasi meliputi BAB dan BAK, konsistensi feses, jumlah
dan warna urin, inkontinensia urin, inkontinensia bowel, dan konstipasi.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermitten dengan teknik steril.
Inkontinensia urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas
(Muttaqin, 2008).
d) Pola Aktivitas dan Latihan
Sulit beraktivitas, kehilangan sensasi penglihatan, gangguan tonus otot,
gangguan tingkat kesadaran (Batticaca, 2008).
e) Pola Tidur dan Istirahat
Mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri atau kejang otot) (Judha dan Rahil,
2011).
f) Pola Hubungan dan Peran Adanya perubahan hubungan dan peran karena
klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara
(Muttaqin, 2008).
g) Pola Persepsi Dan Konsep Diri
Konsep diri merupakan pandangan individu tentang dirinya yang
terbentuk dari persepsi internal dan persepsi berdasarkan reaksi orang lain
terhadap dirinya. Konsep diri terbagai menjadi dua aspek yaitu fisik diri
dan personal diri. Fisik diri adalah pandangan individu tentang kondisi
fisiknya yang meliputi atribut fisik, fungsi tubuh, seksual, status sehat dan
sakit, dan gambaran diri. Personal diri adalah pandangan individu tentang
karakteristik diri, ekspresi, nilai yang meliputi konsistensi diri, ideal diri,
dan moral etika spiritual diri (Dharma, 2015).
h) Pola Sensori dan Kognitif Sinkop atau pingsan, vertigo, sakit kepala,
penglihatan berkurang atau ganda, hilang rasa sensorik kontralateral,
afasia motorik, reaksi pupil tidak sama (Batticaca, 2008).
i) Pola Reproduksi Seksual Biasanya terjadi penurunan gairah seksual
(Doenges dkk., 2009).
7) Pemeriksaan Fisik
. Kepala
Pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hemato atau riwayat
operasi.
b. Mata
Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus optikus
(nervus II), gangguan dalam mengangkat bola mata (nervus III),
gangguan dalam memotar bola mata (nervus IV) dan gangguan dalam
menggerakkan bola mata kelateral (nervus VI).
c. Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karena terganggu pada nervus
olfaktorius (nervus I).
d. Mulut
Adanya gangguan pengecapan (lidah) akibat kerusakan nervus vagus,
adanya kesulitan dalam menelan.
e. Dada
o Inspeksi : Bentuk simetris
o Palpasi : Tidak adanya massa dan benjolan.
o Perkusi : Nyeri tidak ada bunyi jantung lup-dup.
o Auskultasi : Nafas cepat dan dalam, adanya ronchi, suara
jantung I dan II murmur atau gallop.
f. Abdomen
o Inspeksi : Bentuk simetris, pembesaran tidak ada.
o Auskultasi : Bisisng usus agak lemah.
o Perkusi : Nyeri tekan tidak ada, nyeri perut tidak ada
g. Ekstremitas
Pada pasien dengan stroke hemoragik biasnya ditemukan hemiplegi
paralisa atau hemiparase, mengalami kelemahan otot dan perlu juga
dilkukan pengukuran kekuatan otot, normal : 5
Pengukuran kekuatan otot menurut (Arif mutaqqin,2008)
1) Nilai 0 : Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
2) Nilai 1 :Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada
sendi.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/ hemiplegia,
kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area
bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan
kelemahan secara umum.
4. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan sensari, luas lapang pandang.
5. Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
6. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak
7. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume
intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan Kriteria Hasil
Pernafasan 1 2 3 4 5
cuping
hidung
Frekuensi 1 2 3 4 5
nafas
Pola nafas 1 2 3 4 5
Intervensi:
sehari-hari secara
Meningkat Cukup Sedang Cupuk Menurun
mandiri. meningkat menurun
Nyeri 1 2 3 4 5
Kecemasan 1 2 3 4 5
Kaku sendi 1 2 3 4 5
Gerakan 1 2 3 4 5
terbatas
Kelemahan 1 2 3 4 5
fisik
Intervensi:
1) Identifikasi adanya nyeri atau kelemahan fisik
2) Monitor ttv
3) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
4) Fasilitasi melakukan pergerakan
5) Anjurkan melakukan mobilisasi dini
6) Anjarkan mobilisi sederhana yang dapat dilakukan
Intervensi:
1) Monitor kecepatan tekanan kuantitas volume dan diksi berbicara
2) Monitor proses kognitif, anatomi dan fisiologi yang berkaitan dengan bicara
3) Gunakan metode komunikasi alternatif
4) Berikan dukungan psikologis
5) Anjurkan berbicara perlahan
6) Ajarkan pasien dan keluarga proses kognitif, anatomis, fisiologis yang
berhubungan dengan kemampuan bicara
7) Kolaborasi dengan ahli patologi bicara atau terapis untuk terapi lanjutan
DAFTAR PUSTAKA
American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care of the Patient with
Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage. www.aann.org
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58.
Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Weiner, Howard L. 2000. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta:EGC