Anda di halaman 1dari 10

MAKAKAH

TENTANG ‘ARIYAH
DOSEN PENGAMPU : Drs. H. M. Fachrir Rahman, MA

DI SUSUN OLEH KELOMPOK IX :

1. Susi Faknur Hidayati (180201113)

2. Baiq Annisa Qotrunnada (180201118)

3. Nanda Aulia Nazila (180201085)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2019/202
PEMBAHASAN

A. Pengertian 'ariyah

Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa adalah pinjaman. Sedangkan


menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat, yaitu:

1. Menurut Hanafiyah, ‘ariyah adalah:

“Memilikkan manfaat secara cuma-cuma.”

2. Menurut Malikiyah, ‘ariyah adalah:

‫تمليك منفعة مؤ قتة ال بعو ض‬

“Memilikkan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa


imbalan.”

3. Menurut Syafi’iyah, ‘ariyah adalah:

‫ابا حة اال نتفا ع من شخص فيه اهلية التبر ع بما يحن اال نتفا ع به مع بقاء عينه ليرده على‬
‫المتبرع‬

“Kebolehan mengambil manfaat dari dari seseorang yang


membebaskannya, apa yang mungkin dimanfaatkan, serta tetap zat
barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”

4. Menurut Hanabilah, ‘ariyah ialah:

“Kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dan


peminjam atau yang lainnya.”

5. Ibnu Rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah


adalah:

“Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta


tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.”
Dengan dikemukakannya definisi-definisi menurut para ahli fiqh diatas,
kiranya dapat dipahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang berbeda,
namun materi permasalahannya dari definisi tentang ‘ariyah tersebut sama. Jadi,
yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari
seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan
sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah.

B. Dasar Hukum 'ariyah

Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong [ariyah] adalah sunnah.


Sedangkan menurut al-Ruyani,sebagaimana dikitip oleh Taqiy al-Din, bahwa
ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash
alquran ialah:

) ٢: ‫وتعا ونوا على البر والتقوى وال تعا ونوا على اال ثم والعدوان ( الما ئدة‬

“Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan
janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” [Al-
Maidah:2]

)٥٨: ‫ان هللا يأ مر كم ان تؤ د و ااال ما نا ت ا لى اهلها (النساء‬

Asbabun Nuzul:

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa setelah Fathul Makkah, Rasulullah


SAW memanggil Utsman bin Talhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika
Utsman datang menghadap Rasul untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Al
Abbas seraya berkata : “Ya Rasulullah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku.
Saya akan merangkap jabatan itu dengan jabatan urusan pengairan”. Utsman
menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah: “Berikanlah kunci itu
kepadaku, wahai Utsman !” Utsman berkata: “Inilah dia amanat dari Allah”. Maka
berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan kemudian keluar untuk thawaf di
baitullah. Lalu turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan
kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca surat An
Nisa’ ayat 58.

Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain Al-Qur’an landasan hukum


yang kedua ialah Al-Hadis, dalam landasan ini, ariyah dinyatakan sebagai berikut:

) ‫اداآل ما نة الى من ائتمنك} وال تخن من خانك ( رواه أبو داود‬

“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan


janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” [Dikeluarkan oleh Abu
Dawud].

‫من أخذ اموا ل الناس يريد أداء ها ادى هللا عنه ومن أخذ يريد اتال فها اتلفه هللا‬

“Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka


Allah akan membayarkannya, barang siapa yang meminjam hendak
melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya” [Riwayat Buhari].

C. Rukun dan Syarat-Syarat ‘Ariyah

1. Rukun ‘Ariyah

Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak
wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam
barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.

Menurut Syafi’ah, rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut:

1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “Saya utangkan


benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata”Saya mengaku
berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan
syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Musta’ir yaitu
orang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak
menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:

a) Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil;

b) Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur
dan orang gila;

c) Orang tersebut tida dimahjur (di bawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah
yang dilakukan oleh orang berada di bawah perlindungan (curatelle),
seperti pemboros.

3. Benda yang dipinjamkan. Pada rukun yang ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:

a) Materi yang dipinjamkan dapat di manfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah


yang materi nya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang
sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimnapn padi.

b) Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan


manfaat materinya dibatalkan oleh Syara’, seperti meminjam benda-benda
najis.

2. Syarat-syarat ‘Ariyah

Berkaitan dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang
meminjamkan, orang yang meminjam, barang/benda yang dipinjamkan.

Adapun syarat-syart al-‘ariyah itu diperinci oleh para ulama fiqh sebagai
berikut

a) Mu’ir (orang yang meminjamkan)

Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya atau pemilik yang berhak


menyerahkannya. Orang yang berakal dan cakap bertindak hukum. Anak kecil
dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
b) Mus’tair (orang yang menerima pinjaman)

- Baligh

- Berakal

Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau orang yang berada
dibawah perlindungan, seperti pemboros. Hendaklah seorang yang ahli (berhak)
menerima kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu
karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.

c) Mu’ar (benda yang dipinjamkan)

- Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang
mu’arnya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah
hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.

- Pemanfaatan itu dibolehkan oleh syara’ (tolong menolong dalam hal


kebaikan), maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya
dibatalkan oleh syara’. Misalnya kendaraan yang dipinjam harus
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti
bersilaturahmi, berziarah dan sebagainya. Dan apabila kendaraan tersebut
digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela oleh
syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah.

- Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan,


sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa karena meminjam hanya
bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh
karena itu, orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang
dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya bukan miliknya.
Dia hanya diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang
boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia
meminjam rumah selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama 15 hari,
maka sisanya boleh diberikan kepada orang lain.
- Jenis barang yang apabila diambil manfaatnya bukan yang akan habis atau
musnah seperti rumah, pakaian, kendaraan. Bukan jenis barang yang
apabila diambil manfaatnya akan habis atau musnah seperti makanan.

- Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).

D. Pembayaran Pinjaman

Setiap pinjaman wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau
mengembalikan pinjaman, bahkan melalaikannya juga termasuk aniaya. Perbuatan
aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda: “Orang
kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya” (Riwayat
Bukhari dan Muaslim). Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman
diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang
semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang mengembalikan pinjaman.
Rasulallah Saw. Bersabda: “sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu
adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang” (Riwayat Bukhari dan
Muslim) Rasulallah pernah meminjam hewan, kemudian beliau membayar hewan
itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.
Kemudian Rasu bersabda: “ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang
yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik” (Riwayat Ahmad) Jika
penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi
perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang
berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda: “ Tiap-tiap piutang yang
mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).

E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan

Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan


benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum
mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan
pemakaian pinjaman.Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan
barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama
peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram
hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seiring
pemilik barang. Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman
tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak
meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti
ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang
memegang ketika barang itu rusak.

F. Tanggung Jawab Peminjam

Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian


barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang
berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah,
Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah,
Rasulallah Saw. Bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima,
hingga ia mengambilkannya”.

Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa,


peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena
tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:

“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti


kerusakan” (Dikeluarkan al-Daruquthin)

G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau
utang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah
sebagai berikut :

a) pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang


meminjam dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau
seorang saksi laki-laki dan 2 (dua) orang saksi perempuan.

Allah SWT berfirman,

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah : 282)

b) Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak


disertai niat dalam hati akan membayar/mengembalikannya.

c) Pihak yang memberi pinjaman hendaknya berniat memberikan


pertolongan kepada pihak yang meminjam. Bila yang meminjam tidak
mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya
membalaskannya.

d) Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya


dipercepat pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran
pinjaman berarti berbuat zalim.
DAFTAR PUSTAKA

Helmi, Karim. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mardani. 2012. Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group.

Suhendi, Hendi. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai