Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

FIKIH JINAYAH

Irtikab Mubasyir dan Irtikab

Makalah ini buat guna memenuhi matakuliah Fikih Jinayah Dosen Pengampu : Dr. Zainudin

Mansur M.Ag

Disusun Oleh

Kelompok 3

1. Moh. Patoni Said : 180201086

2. Nanda Aulia Nazila :180201085

3. Muhammad Nasir : 180201087

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM


BAB II

PEMBAHASAN

1. Irtikab Mubasyir

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Jadikan Sebab/Prantara Sebagai Kabar Gembira ALLÂH

SUBHANAHU WA TA’ALA JADIKAN SEBAB/PRANTARA SEBAGAI KABAR

GEMBIRA

ِ ‫ب َو ِزيَا َد ِة ا ِإل ْي َم‬


‫ان‬ ْ ‫ت لِت‬
ِ ْ‫َط ِمي ِْن ْالقُلُو‬ ٍ ‫ب ْال َعالِيَ ِة ُمبَ ِّش َرا‬
ِ ِ‫اب لِ ْل َمطَال‬
َ َ‫َج َع َل هللاُ األَ ْسب‬

Allâh menjadikan prantara bagi semua tujuan yang tinggi sebagai mubassyirat (pembawa

kabar gembira) agar hati menjadi tenang dan iman bertambah Allâh Azza wa Jalla Mahakuasa

untuk mewujudkan semua tujuan dan maksud yang diinginkan oleh para hamba-Nya tanpa

melalui sebab atau prantara. Namun Allâh Azza wa Jalla sengaja menjadikan dan menetapkan

prantara atau sebab bagi sebuah tujuan agar menjadi mubassyirat (pembawa kabar gembira),

sehingga dengan demikian hati akan menjadi tenang dan keimanan akan bertambah. Ini bisa

ditemukan di banyak tempat, misalnya, ketika Allâh Azza wa Jalla menerangkan tentang

pengiriman bala bantuan dalam perang Badr. Pengiriman bala bantun ini menjadi prantara atau

penyebab kemenangan yang diinginkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kaum

Muslimin. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

ْ ‫َو َما َج َعلَهُ هَّللا ُ إِاَّل بُ ْش َر ٰى َولِت‬


‫َط َمئِ َّن بِ ِه قُلُوبُ ُك ْم‬

Dan Allâh tidak menjadikannya (maksudnya pengiriman bala bantuan itu), melainkan

sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya (al-Anfâl 10) Allâh Azza wa

Jalla mampu untuk memberikan kemenangan tanpa harus mengirimkan bala bantuan. Namun
supaya ini menjadi isyarat kemenangan, maka bala bantuan dikirimkan. Jadi, pengiriman bala

bantuan sebagai mubassyirat (pembawa kabar gembira) bahwa kemanangan akan segera tiba,

sehingga hati kaum Muslimin menjadi tenang dan keimanan mereka bertambah.

Dalam ayat lain, ketika menjelaskan tentang penyebab dan prantara datangnya rizki dan

turunnya hujan, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

‫ك بِأ َ ْم ِر ِه َولِتَ ْبتَ ُغوا ِم ْن فَضْ لِ ِه‬


ُ ‫ي ْالفُ ْل‬ ٍ ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن يُرْ ِس َل ال ِّريَا َح ُمبَ ِّش َرا‬
َ ‫ت َولِيُ ِذيقَ ُك ْم ِم ْن َرحْ َمتِ ِه َولِتَجْ ِر‬

Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai

pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya

kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya dan (juga) supaya kamu dapat mencari karunia-Nya;

[ar-Rûm/30:46] Rizki dan hujan termasuk tujuan yang diinginkan oleh manusia. Allâh Azza wa

Jalla Yang Mahakuasa mampu mendatangkan itu semua tanpa prantara dan sebab. Namun Allâh

Azza wa Jalla menjadikan sebab dan prantara bagi tujuan ini yaitu berupa tiupan angin. Allâh

Azza wa Jalla meniupkan angin pertanda akan turun hujan itu sebagai mubassyirat (pembawa

kabar gembira) bahwa hujan akan segera turun dan tumbuh-tumbuhan akan menghijau, sehingga

hati orang yang berharap mendapatkan rizki bisa tenang dan imannya akan bertambah. Baca Juga

Al-Qur'ân Memberikan Pengarahan Agar Tidak Melakukan Perbuatan Yang Mubah Makna yang

lebih umum dari dua ayat diatas yaitu busyra yang ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla:

‫ ُّد ْنيَا َوفِي‬Ÿ‫ا ِة ال‬ŸŸَ‫﴾لَهُ ُم ْالبُ ْش َر ٰى فِي ْال َحي‬٦٣﴿ َ‫﴾الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َكانُوا يَتَّقُون‬٦٢﴿ َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ َزنُون‬
ٌ ْ‫أَاَل إِ َّن أَوْ لِيَا َء هَّللا ِ اَل خَ و‬

‫ت هَّللا ِ ۚ ٰ َذلِكَ ه َُو ْالفَوْ ُز ْال َع ِظي ُم‬


ِ ‫اآْل ِخ َر ِة ۚ اَل تَ ْب ِدي َل لِ َكلِ َما‬

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan

tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.

Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak
ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allâh. yang demikian itu adalah kemenangan

yang besar. [Yûnus 62-64] Busyra maksudnya semua isyarat yang menunjukkan kepada mereka

bahwa Allâh Azza wa Jalla menginginkan kebaikan buat mereka atau isyarat yang menunjukkan

bahwa mereka adalah wali-wali Allâh Azza wa Jalla . Dengan demikian, pujian yang baik,

mimpi yang bagus,

kelembutan Allâh Azza wa Jalla yang bisa mereka saksikan, juga taufiq, kemudahan yang

Allâh berikan serta terhindarkan dari berbagai kesulitan dan lain sebagainya, ini semua

merupakan busyra atau mubassyirat (pembawa kabar gembira) sebelum mereka mendapatkan

tujuan akhir yaitu surga dengan beragam kenikmatannya. Termasuk prantara dari sebuah tujuan

yang Allâh Azza wa Jalla jadikan sebagai isyarat kabar gembira namun jarang diketahui orang

yaitu Allâh Azza wa Jalla menjadikan kesusahan atau kesulitan sebagai isyarat datangnya jalan

keluar atau solusi. Jika kita perhatikan dan merenungi kisah para nabi dan kesulitan mereka,

yang Allâh Azza wa Jalla ceritakan dalam al-Qur’ân, maka tentu akan mendapatkan suatu yang

sangat memukau.

َّ ‫أَ ْم َح ِس ْبتُ ْم أَ ْن تَ ْد ُخلُوا ْال َجنَّةَ َولَ َّما يَأْتِ ُك ْم َمثَ ُل الَّ ِذينَ َخلَوْ ا ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم ۖ َم َّس ْتهُ ُم ْالبَأْ َسا ُء َوال‬
ُ ‫و َل الر‬ŸŸُ‫ضرَّا ُء َو ُز ْل ِزلُوا َحتَّ ٰى يَق‬
‫و ُل‬Ÿ ‫َّس‬

ٌ‫َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا َم َعهُ َمت َٰى نَصْ ُر هَّللا ِ ۗ أَاَل إِ َّن نَصْ َر هَّللا ِ قَ ِريب‬

Mengenal Kisah-Kisah Dalam Al-Qur`an Apakah kamu mengira bahwa kamu akan

masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang

terdahulu sebelum kamu mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan

(dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman

bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allâh?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allâh

itu amat dekat. (al-Baqarah214)


Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah

kesulitan itu ada kemudahan.

ٍ ‫َسيَجْ َع ُل هَّللا ُ بَ ْع َد ُعس‬


‫ْر يُ ْسرًا‬

Allâh kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. Ketahuilah,

sesungguhnya kemenangan bersama kesabaran, dan sesungguhnya solusi itu bersama keusahan

dan sesunggunya kemudahan it bersama kesulitan. Dan masih banyak contoh dari penerapan

kaidah ini dalam al-Qur’an. Semoga ini bermanfaat. (Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân,

Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, halaman. )

Sebagaimana telah kita ulas sebelumnya, bahwa kerugian kadang disebabkan oleh pelaku

secara langsung (mubâsyarah) menimbulkan kerugian, namun adakalanya bersifat tidak langsung

(mutasabbib). Kerugian yang diakibatkan perilaku secara langsung ini adakalanya disengaja, dan

adakalanya tidak disengaja. Saat ini, kita akan membahas mengenai tindakan merugikan yang

secara langsung namun bersifat tidak disengaja/tersalah.

ADVERTISEMENT Contoh kasus misalnya ada seseorang memegangkan pisau ke

anak kecil. Karena belum mengerti tentang fungsi dari pisau tersebut, secara tidak disengaja,

pisau itu digunakan untuk membunuh diri anak kecil itu sendiri, atau bahkan digunakan untuk

membunuh anak kecil lain. Wajibkah bagi si pelaku membayar ganti rugi jinayat? Dalam kasus

ini, para ulama memberikan pernyataan bahwa pendapat yang dipilih adalah orang yang

memegangkan pisau tersebut wajib membayar ganti rugi jinayat. Namun, pendapat yang berbeda

disampaikan oleh kalangan Hanafiyah, yang menyatakan pendapat bahwa pihak yang

memegangi berlaku sebagai mutasabbib (penyebab tidak langsung). Oleh karenanya tidak wajib

tempuh risiko baginya.


‫خطأ المتضرر فهو أن يقع الضرر مباشرة منه بالرغم من وجود متسبب له مثل أن يضع شخص سكينا في يد صبي فيقتل نفسه‬

‫من‬ŸŸ‫ه يض‬ŸŸ‫دهم أن‬ŸŸ‫ار عن‬ŸŸ‫و المخت‬ŸŸ‫ر وه‬ŸŸ‫ول اآلخ‬ŸŸ‫ة والق‬ŸŸ‫د الحنفي‬ŸŸ‫ول عن‬ŸŸ‫ذا في ق‬ŸŸ‫ه ه‬ŸŸ‫ل نفس‬ŸŸ‫بي قت‬ŸŸ‫رة الص‬ŸŸ‫بب لمباش‬ŸŸ‫من المتس‬ŸŸ‫فال يض‬

Artinya: “Kekeliruan yang berakibat merugikan pihak lain, yaitu kekeliruan tindakan yang

menyebabkan kerugian secara langsung karenanya dengan seumpama adanya kemungkinan ia

sebagai penyebab tidak langsung atas peristiwa yang terjadi. Misalnya seseorang menaruh pisau

di tangan anak kecil. Tiba-tiba pisau itu digunakan untuk bunuh diri oleh si anak itu. Maka dalam

kasus ini, pihak yang menyerahkan pisau tidak bisa dimintai pertanggungan jawab disebabkan ia

berlaku sebagai penyebab tidak langsung dari perbuatan langsungnya Si anak yang membunuh

dirinya sendiri tersebut. Pernyataan ini adalah pendapat kalangan hanafiyah. Sementara itu ulama

lain (selain hanafiyah) menyatakan pendapat terpilih, bahwa pihak yang menyerahkan tersebut

wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya.” (Wahbah Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlamân

aw Ahkâm al-Mas’uliyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhi al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-

Fikr, 1998: 38-39).

Anda mungkin juga menyukai