Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindroma hiperglikemia yang sering


disertai kelainan metabolisme yang terkait (lemak dan protein) yang disebabkan
karena defek sekresi dan jumlah insulin (DMT1), ataupun kombinasinya dengan
resistensi insulin yang merupakan penyebab awal (DMT2) defek sekresi dan jumlah
insulin tersebut. Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) disebabkan karena destruksi sel
beta pancreas yang kebanyakan akibat proses autoimun ataupun idiopatik. Diabetes
mellitus tipe 2 (DMT2) adalah bentuk DM yang lebih sering (>95%) dengan awal
penyebabnya adalah resistensi insulin yang akhirnya menimbulkan dekompensasi
pancreas mensekresi insuli (Tjokroprawiro, 2015).
Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi diabetes di Indonesia
pada tahun 2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2007. Proporsi
diabetes melitus di Indonesia sebesar 6,9 %, toleransi glukosa terganggu (TGT)
sebesar 29,9% dan glukosa darah puasa (GDP) terganggu sebesar 36,6%. Proporsi
penduduk di pedesaan yang menderita diabetes melitus hampir sama dengan
penduduk di perkotaan. Prevalensi diabetes melitus meningkat dari 1,1 persen (2007)
menjadi 2,1 persen (2013).
Penyakit diabetes mellitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai penyulit menahun, seperti penyakit
serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai,
gangguan pada mata, ginjal dan syaraf. Penyandang diabetes melitus mempunyai
risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami penyakit jantung koroner dan penyakit
pembuluh darah otak, 5 kali lebih mudah menderita ulkus/gangren, 7 kali lebih
mudah mengidap gagal ginjal terminal, dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan
akibat kerusakan retina daripada pasien non diabetes. Usaha untuk menyembuhkan
kembali menjadi normal sangat sulit jika sudah terjadi penyulit, karena kerusakan
yang terjadi umumnya akan menetap. Usaha pencegahan diperlukan lebih dini untuk
mengatasi penyulit tersebut dan diharapkan akan sangat bermanfaat untuk
menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan (PERKENI, 2015).
Kegawatdaruratan DM adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang
terkait dengan komplikasi akut DM sehingga perlu mendapatkan pertolongan segera.
Keadaan gawat darurat DM adalah hipoglikemia dan krisis hiperglikemia
(ketoasidosis diabetic, hyperosmolar hyperglycemic state, koma laktoasidosis)
(Tjokroprawiro, 2015). Hipoglikemia secara definisi didasarkan rendahnya kadar
glukosa darah seseorang. Kejadian hipoglikemi berkaitan dengan diabetes mellitus,
baik DMT1 maupun DMT2. Penyebab tersering dari hipoglikemi pada pasien DM
adalah obat diabetes yang berperan dalam meningkatkan kadar insulin serum.
Namun demikian, sebagian kecil dari kejadian hipoglikemi disebabkan oleh
penyebab lainnya termasuk tumor pancreas, penyakit hati kronis, penyakit ginjal
kronis, keganasan, dan beberapa kelainan lain. Hipoglikemi adalah suatu keadaan
klinis yang serius bahkan dapat membawa kematian. Oleh karena itu, baik para
pelayan kesehatan maupun mereka yang beresiko tinggi terhadap kejadian ini harus
memahaminya.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Tempat,tanggal lahir : Lamongan, 2 Januari 1960
Umur : 59 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Serabutan
Alamat : Mantup, Lamongan
Tanggal MRS : 13 November 2019
Tanggal KRS : 19 November 2019
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Penurunan kesadaran
2. Riwayat penyakit sekarang (RPS)
Tn. H dibawa keluarga ke IGD Soegiri dengan keluhan penurunan
kesadaran mendadak sejak 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien
awalnya tidak nyambung saat diajak bicara kemudian mendadak tidak
sadar. Pasien mengeluh lemas seluruh tubuh dan nyeri kepala sejak 1
hari sebelum masuk RS. Pasien tidak mual maupun muntah. Riwayat
trauma, demam, kejang, kelemahan anggota gerak separuh, sesak, nyeri
dada, batuk lamadisangkal. BAB dan BAK normal, Menurut keluarga,
pasien tidak napsu makan sejak 5 hari sebelum masuk RS. Berat badan
pasien turun +- 5kg dalam 3 bulan.
3. Riwayat penyakit dahulu (RPD)
a. Riwayat MRS dengan keluhan serupa tanggal 2 November 2019
b. Riwayat MRS dengan gastritis bulan Agustus 2019
c. Riwayat DM (+) sejak +- 7 tahun
d. Riwayat HT (+)
e. Riwayat penyakit jantung (-)
f. Riwayat penyakit ginjal (-)
g. Riwayat penyakit asma (-)
4. Riwayat penyakit keluarga
-
5. Riwayat Kebiasaan
Minum jamu (-) , minum minuman berenergi (-)
6. Riwayat peggunaan obat (RPO)
Pasien tidak rutin konsumsi obat DM dan HT. Diminum hanya jika ada
keluhan. Pasien lupa nama obat yang biasa diminum.
7. Anamnesis psikososial
a. Pendidikan terahir : SMA
b. Pekerjaan : Serabutan
c. Riwayat merokok :-
d. Riwayat Minum Alkohol : -
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Lemah
2. Kesadaran
Stupor, GCS E1V1M3
3. Tanda vital
a. TD : 170/80 mmHg
b. N : 98 x/menit; regular; kuat angkat
c. S : 36,80C (aksilla)
d. RR : 24 x/menit
e. SpO2 : 99%
4. Kepala dan leher
a. a/i/c/d : +/-/-/-
b. Mata : Konjungtiva anemis, sklera normal, lensa jernih,
pupil isokorΦ 4mm/4 mm, reflek cahaya (+/+)
c. Hidung : Tidak ada sekret, tidak ada bau, tidak ada
perdarahan, pernafasan cuping hidung (+)
d. Telinga : Tidak ada sekret, tidak ada bau, tidak ada
perdarahan
e. Mulut : Tidak ada sianosis , tidak ada gusi berdarah, tidak
di temukan bercak-bercak putih pada mulut
f. Leher : Trakea ditengah, tidak ada pembesaran KGB,
tiroid tidak membesar, peningkatan JVP (-), kaku kuduk (-)
5. Thoraks
a. Inspeksi: Simetris, iktus kordis tidak tampak, retraksi (-), RR
24x/menit.
b. Palpasi: Gerak nafas simetris, fremitus raba simetris, fremitus
suara simetris.
c. Perkusi: sonor, batas paru hepar ICS 5
d. Auskultasi:
- Pulmo: vesikuler +/+; rhonki -/-; wheezing -/-
- Cor: S1/S2 tunggal; Murmur (-); Gallop (-)
6. Abdomen
Inspeksi : Perut tidak membesar, tidak ada luka dan bekas operasi,
caput medusa (-), kolateral (-), ruam merah (-)
Auskultasi : Bising usus positif 12x/menit, kesan normal
Palpasi : Soepel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba,
asites (-)
Perkusi : Tympani
7. Ekstrimitas
Superior : Akral hangat (+/+), eritema palmaris (-/-) edema (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), eritema palmaris (-/-) edema (-/-)
8. Pemeriksaan Neurologis
Kesan lateralisasi (-)
Refleks patologis (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
Planning Diagnostik :
a. Laboratorium : Darah Lengkap, Elektrolit, Faal Hati, Faal Ginjal, GDA
b. Radiologi : Foto Thorax
Hasil Pemeriksaan Instalasi Patologi Klinik (13 November 2019)
No Jenis Periksa Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
.
HEMATOLOGI ANALYZER
1. Hemoglobin 8,2 13,2-17,3 g/dl
2. Lekosit 15.150 3.800-10.600/uL
3. LED 90-110 10-20/jam
4. Diff Count 2-0-0-71-17-10 2-4/0-1/3-5/50-70/25-40/2-8
5. PCV 23,6 40-52%
6. Trombosit 348.000 150.000-440.000/uL
ELEKTROLIT
1. Chlorida Serum 101 94-111 meg/L
2. Kalium Serum 2,6 3,8-5,0meq/l
3. Natrium Serum 140 136-144meq/l
FAAL GINJAL
1. Serum kreatinin 4,27 0,50-1,10
2. Ureum 64 10-50 mg/dl
FAAL HATI
1. SGOT 22 <37U/L
2. SGPT 21 <39U/L
GULA DARAH
1. GDA STICK 27 <200 mg/dl
Perhitungan GFR
Rumus Cockroft-Gault:
140−Umur ( ta h un ) × BB(kg)
GFR = xf
72×Creatinin serum (mg/dL)
( 140−59 ) ×75
= x1
72 ×4,27
= 19,75 ml/menit/ 1,73
¿ f =1 ( laki−laki )
¿ f =0,85 ( perempuan )
E. Foto Thorax AP
Gambar 1: Foto x-ray Thorax AP
Cor: besar dan bentuk normal, tampak kalsifikasi aortic knob
Pulmo: tak tampak infiltrate
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Tulang dan soft tissue tampak baik
Kesan: Aortosclerosis
F. Diagnosis Kasus
Penurunan kesadaran ec DM Hipoglikemi + Low Intake
CKD Stage-IV
Hipokalemia+Anemia
G. Planning Terapi
Non medikamentosa
 Tirah baring
 Diit DM RGRP
Planning terapi
 O2 nasal kanul 3lpm
 Inf. D10% lifeline
 Inj Omeprazole 2x40mg
 Inj Ceftriaxone 2x1gr
 Koreksi Kalium, drip KCl 50meq/24jam dalam PZ 500cc
 Pasang DC
Planning monitoring :
 Observasi tanda-tanda vital
 Cek GDA/hari
 Cek SE post koreksi Kalium
Planning edukasi :
 Batasi pemberian cairan peroral
H. Follow Up Pasien
Tanggal Keadaan klinis Terapi
14/11/19 S: Badan lemas (+) nyeri kepala (+) tidak Cek GDA perhari, cek
napsu makan elektrolit post koreksi
O: KU: lemah Kes : Compos mentis kalium
GCS : E4V5M6 GDA: 145 mg/dL
Suhu = 36,5° C Kalium: 2,7
Frek. nadi = 88 x/menit lemah Inf. D10% lifeline
Frek. Pernapasan = 20 x/menit Drip KCl 50meq/24jam
Tekanan darah = 160/100 mmHg dalam PZ 500cc
K/L: a+/i-/c-/d- Inj Omeprazole 2x40mg
Thorax: C/ s1s2 tunggal, ST (-) Inj Ceftriaxone 2x1gr
P/ ves(+/+) rh (-/-) wh (-/-)
Abdomen: supel, timpani, nyeri tekan (-),
bising usus normal
Ektremitas: akral hangat nadi kuat, edema
(-)
A: DM hipoglikemi + CKD st IV + low
intake + Hipokalemia + Anemia

15/11/19 S: Badan lemas (+) nyeri kepala (+) tidak Cek SE ulang
napsu makan GDA: 104 mg/dL
O: KU: lemah Kes : Compos mentis Terapi lanjut
GCS : E4V5M6
Suhu = 36,5° C
Frek. nadi = 88 x/menit lemah
Frek. Pernapasan = 20 x/menit
Tekanan darah = 130/90 mmHg
K/L: a+/i-/c-/d-
Thorax: C/ s1s2 tunggal, ST (-)
P/ ves(+/+) rh (-/-) wh (-/-)
Abdomen: supel, timpani, nyeri tekan (-),
bising usus normal
Ektremitas: akral hangat nadi kuat, edema
(-)
A: DM hipoglikemi + CKD st IV + low
intake + Hipokalemia + Anemia

16/11/19 S: Badan lemas (+) tidak napsu makan GDA: 114 mg/dL
O: KU: lemah Kes : Compos mentis Kalium: 2,7
GCS : E4V5M6 Drip KCl 50meq/24jam
Suhu = 36,5° C dalam PZ 500cc
Frek. nadi = 88 x/menit lemah Terapi lain lanjut
Frek. Pernapasan = 20 x/menit
Tekanan darah = 130/80 mmHg
K/L: a+/i-/c-/d-
Thorax: C/ s1s2 tunggal, ST (-)
P/ ves(+/+) rh (-/-) wh (-/-)
Abdomen: supel, timpani, nyeri tekan (-),
bising usus normal
Ektremitas: akral hangat nadi kuat, edema
(-)
A: DM hipoglikemi + CKD st IV + low GDA: 121 mg/dL
intake + Hipokalemia + Anemia Cek SE ulang
Terapi lanjut

17/11/19 S: Badan lemas (+) GDA: 65 mg/dL


O: KU: lemah Kes : Compos mentis Kalium: 3,1
GCS : E4V5M6 Pump Ondancetron 4
Suhu = 36,5° C ampul/24jam
Frek. nadi = 90 x/menit lemah Terapi lain lanjut
Frek. Pernapasan = 20 x/menit
Tekanan darah = 150/90 mmHg
K/L: a+/i-/c-/d-
Thorax: C/ s1s2 tunggal, ST (-)
P/ ves(+/+) rh (-/-) wh (-/-)
Abdomen: supel, timpani, nyeri tekan (-),
bising usus normal
Ektremitas: akral hangat nadi kuat, edema
(-)
A: DM hipoglikemi + CKD st IV + low
intake + Hipokalemia + Anemia

18/11/19 S: Mual (+) muntah (+) 5x lemas (+) GDA: 142 mg/dL
O: KU: lemah Kes : Compos mentis KRS
GCS : E4V5M6
Suhu = 36,5° C Terapi pulang:
Frek. nadi = 96 x/menit lemah Asam folat 1x1
Frek. Pernapasan = 20 x/menit KSR 1x1
Tekanan darah = 120/80 mmHg Domperidone 3x1
K/L: a+/i-/c-/d-
Thorax: C/ s1s2 tunggal, ST (-)
P/ ves(+/+) rh (-/-) wh (-/-)
Abdomen: supel, timpani, nyeri tekan (-),
bising usus normal
Ektremitas: akral hangat nadi kuat, edema
(-)
A: DM hipoglikemi + CKD st IV + low
intake + Hipokalemia + Anemia
19/11/19 S: Mual (+) muntah (-)
O: KU: lemah Kes : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Suhu = 36,5° C
Frek. nadi = 80 x/menit lemah
Frek. Pernapasan = 20 x/menit
Tekanan darah = 120/80 mmHg
K/L: a+/i-/c-/d-
Thorax: C/ s1s2 tunggal, ST (-)
P/ ves(+/+) rh (-/-) wh (-/-)
Abdomen: supel, timpani, nyeri tekan (-),
bising usus normal
Ektremitas: akral hangat nadi kuat, edema
(-)
A: DM hipoglikemi + CKD st IV + low
intake + Hipokalemia + Anemia
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes Mellitus
A. Definisi dan Patogenesis DM
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya (PERKENI, 2015).
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi
sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free
Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan
mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-
dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim
DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis
glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%
sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
14
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
B. Penegakan Diagnosis DM
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam < 140 mg/dl.
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma
puasa.
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

15
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam.

atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.

atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.

atau

Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh


National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Tabel 2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes
Glukosa plasma 2
Glukosa darah
HbA1c (%) jam setelah TTGO
puasa (mg/dL)
(mg/dL)
Diabetes ≥6,5 ≥ 126 mg/dL ≥200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes


Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23
kg/m2 ) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai
berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan
BBL >4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus
gestasional (DMG).

16
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi
untuk hipertensi).
f. HDL 250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa
plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok
prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
C. Komplikasi Akut DM: Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Pendekatan diagnosis kejadian hipoglikemia juga dilakukan dengan bantuan Whipple’s
Triad yang meliputi:
 Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
 Kadar glukosa darah yang rendah
 Gejala berkurang dengan pengobatan.
Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi yang dihadapi oleh penderita
diabetes melitus. Tidak seperti nefropati diabetik ataupun retinopati diabetik yang
berlangsung secara kronis, hipoglikemia dapat terjadi secara akut dan tiba – tiba dan
dapat mengancam nyawa. Hal tersebut disebabkan karena glukosa adalah satu –
satunya sumber energi otak dan hanya dapat diperoleh dari sirkulasi darah karena
jaringan otak tidak memiliki cadangan glukosa. Kadar gula darah yang rendah pada
kondisi hipoglikemia dapat menyebabkan kerusakan sel – sel otak. Kondisi inilah yang
menyebabkan hipoglikemia memiliki efek yang fatal bagi penyandang diabetes
melitus, di mana 2% – 4% kematian penderita diabetes melitus disebabkan oleh
hipoglikemia.
Gejala yang muncul saat terjadi hipoglikemia dapat dikategorikan sebagai
gejala neuroglikopenik dan neurogenik (otonom). Gejala neuroglikopenik merupakan
dampak langsung dari defisit glukosa pada sel – sel neuron sistem saraf pusat, meliputi
perubahan perilaku, pusing, lemas, kejang, kehilangan kesadaran, dan apabila
hipoglikemia berlangsung lebih lama dapat mengakibatkan terjadinya kematian. Gejala

17
neurogenik (otonom) meliputi berdebar – debar, tremor, dan anxietas (gejala
adrenergik) dan berkeringat, rasa lapar, dan paresthesia (gejala kolinergik). Sebagian
pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah rendah tetapi
menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak semua pasien diabetes
mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya
rendah. Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia.

Tabel 3. Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa


Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, Pucat, takikardi, widened
gelisah, paresthesia, pulse pressure
palpitasi, Tremulousness
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, Cortical blindness,
confusion, perubahan hipotermia, kejang, koma
sikap, gangguan kognitif,
pandangan kabur, diplopia

Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terakit dengan


derajat keparahannya, yaitu :
 Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.
 Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70mg/dL disertai gejala
hipoglikemia.
 Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS 70mg/dL dengan gejala
hipoglikemia.
 Probable hipoglikemia apabila gejala hipogllikemia tanpa
pemeriksaan GDS.
Penurunan kadar gula darah dapat memicu serangkaian respon yang bertujuan
meningkatkan kadar gula darah.
Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap hipoglikemia adalah penurunan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes melitus tipe 1 yang menerima
terapi substitusi insulin tidak memiliki penurunan sekresi insulin fisiologis (sekresi

18
insulin berkurang saat kadar gula darah rendah) karena insulin yag beredar dalam
tubuh merupakan insulin penggantui yang berasal dari luar (eksogen).

Tabel 4. Respon fisiologis terhadap penurunan kadar gula darah plasma


Batas Kadar Gula
Respon Efek fisiologis
Darah (mg/dl)

Meningkatkan glukoneogenesis
Penurunan sekresi
80-85 Menghambat penggunaan glukosa
insulin
oleh jaringan

Peningkatan sekresi
65-70 Meningkatkan glukoneogenesis
glucagon
Meningkatkan glukoneogenesis
Peningkatan sekresi
65-70 Menghambat penggunaan glukosa
epinephrine
oleh jaringan
Peningkatan sekresi Meningkatkan glukoneogenesis
cortisol dan growth 65-70 Menghambat penggunaan glukosa
hormone oleh jaringan
Sebagai tanda bagi pasien untuk
Simptom hipoglikemia 50-55
konsumsi glukosa

Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap hipoglikemia adalah peningkatan


sekresi glukagon. Sekresi glukagon meningkatkan produksi glukosa di hepar dengan
memacu glikogenolisis.
Pertahanan fisiologis yang ketiga terhadap hipoglikemia adalah peningkatan
sekresi epinefrin adrenomedullar. Sekresi ini terjadi apabila sekresi glukagon tidak
cukup untuk meningkatkan kadar gula darah. Sekresi epinefrin adrenomedullar
meningkatkan kadar gula darah dengan cara stimulasi hepar dan ginjal untuk
memproduksi glukosa, membatasi penyerapan glukosa oleh jaringan yang sensitif
terhadap insulin, perpindahan substrat glukoneogenik (laktat dan asam amino dari otot,
dan gliserol dari jaringan lemak).
Sekresi insulin dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah
dalam pulau Langerhans di pankreas. Sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas
simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh sistem saraf pusat.

19
Bila pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar
glukosa plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang lebih hebat
yang menyebabkan gejala neurogenik sehingga penderita hipoglikemia menyadari
keadaan hipoglikemia dan bertujuan agar penderita segera mengkonsumsi karbohidrat.
Seluruh mekanisme pertahanan ini berkurang pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan
pada advanced diabetes mellitus tipe 2.
Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain:
 Kendali glikemik terlalu ketat
 Hipoglikemia berulang
 Hilangnya respon glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun
terdiagnosis DMT1
 Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone,
cortisol responses
 Neuropati otonom
 Tidak menyadari hipoglikemia
 End Stage Renal Disease (ESRD)
 Penyakit / gangguan fungsi hati
 Malnutrisi
 Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan
insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus
diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan
glukosa darah pasien harus dilakukan selama 24-72 jam, terutama pada pasien dengan
gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat
dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien.
Faktor yang Mempengaruhi Hipoglikemia
a. Usia
Menurut Lefebvre, gejala (symptom) hipoglikemia muncul lebih berat dan
terjadi pada kadar gula darah yang lebih tinggi pada orang tua dibanding dengan usia
yang lebih muda. Sedangkan menurut Studenski dalam buku ajar Harrison’s Princle of
Internal Medicine 18th Ed dikemukankan bahwa hipoglikemia pada penderita diabetes
usia lanjut lebih sulit diidentifikas karena simptom autonomik dan neurogenik terjadi

20
pada kadar gula darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penderita diabetes
pada usia yang lebih muda. sedangkan reaksi metabolik dan efek cedera neurologisnya
sama saja antara pasien diabetes muda dan usia lanjut. Simptom autonom hipoglikemia
sering tertutupi oleh penggunaan betablocker. Penderita diabetes usia lanjut memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia daripada penderita diabetes
usia lanjut yang sehat dan memiliki fungsi yang baik.
b. Ekses insulin disertai mekanisme kontra regulasi glukosa yang terganggu
Hipoglikemi merupakan interaksi antara kelebihan (ekses) insulin dan terganggunya
mekanisme kontra regulasi glukosa. Kejadian ekses insulin saja belum tentu
menyebabkan terjadinya hipoglikemia.
Faktor risiko yang relevan dengan terganggunya mekanisme kontra regulasi
glukosa pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 tahap lanjut
antara lain:
 Defisiensi insulin pancreas
Menandakan bahwa insulin yang ada merupakan insulin eksogen,
sehingga apabila gula darah turun di bawah batas normal, tidak terjadi
penurunan sekresi insulin.
 Riwayat hipoglikemia berat
 Terapi penurunan kadar gula darah yang agresif, ditandai dengan
kadar HbA1c yang rendah
c. Frekuensi hipoglikemia
Pasien yang sering mengalami hipoglikemia akan mentoleransi kadar gula
darah yang rendah dan mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang
lebih rendah daripada orang normal
d. Obat hipoglikemik oral yang beresiko menyebabkan hipoglikemia
Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan
sekresi insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia.
Obat – obat tersebut antara lain:
 Sulfonylurea: Sulfonylurea bekerja dengan memacu pelepasan insulin
dari sel beta pankreas dengan cara berikatan dengan reseptor
sulfonylurea pada sel beta pankreas yang menyebabkan inhibisi efluks
ion kalium dan menyebabkan depolarisasi dan pelepasan insulin.
Pemakaian sulfonylurea jangka panjang pada pasien DM tipe 2 dapat

21
menurunkan kadar serum glukagon yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya hipoglikemia. Mekanisme inhibisi glukagon ini terjadi karena
stimulasi pelepasan insulin dan somatostatin menghambat sekresi sel
alfa pankreas. Obat golongan sulfonylurea yang saat ini cukup banyak
digunakan merupakan sulfonylurea generasi ke-2 yaitu glibenclamide
dan glimepiride. 15 Glibenclamide (glyburide) dimetabolisme di hepar
menjadi produk dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah.
Dosis awal pemberian Glibenclamide yaitu 2,5 mg per hari dan dapat
ditingkatkan hinga mencapai 5-10 mg dosis tunggal per hari dan
diberikan pada pagi hari. Pemberian dosis lebih dari 20 mg per hari
tidak direkomendasikan. Glibenclamide berisiko menyebabkan
hipoglikemia. Efek samping glibenclamide yang lain adalah dapat
menyebabkan flushing apabila berinteraksi dengan alkohol. Insufisiensi
ginjal dan hepar merupakan kontraindikasi penggunaan glibenclamide.
Glimepiride digunakan dengan dosis sekali sehari, sebagai terapi
tunggal ataupun sebagai kombinasi dengan terapi insulin. Glimepiride
mencapai pengendalian gula darah pada dosis yang paling rendah bila
dibandingkan dengan sulfonylurea yang lain. Dosis tunggal 1 mg tiap
hari dapat menunjukkan kerja yang efektif dan dapat digunakan dosis
hingga 8 mg per hari. Glimepiride memiliki waktu paruh selama 5 jam
sehingga dapat diberikan dalam dosis tunggal sekali sehari. Glimepiride
dimetabolisme di hepar menjadi bentuk yag inaktif.
 Meglitinide: Meglitinide bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin
sel beta pankreas dengan mengatur efluks kanal kalsium. Meglitinide
memiliki tempat perlekatan (binding sites) yang sama dengan yang
dimiliki oleh golongan sulfonylurea. Obat yang termasuk dalam
golongan meglitinide yaitu repaglinide. Repaglinide memiliki onset
kerja sangat cepat, dengan konsentrasi puncak dan efek puncak kurang
dari satu jam setelah obat ditelan, sedangkan durasi kerja repaglinide
selama 5–8 jam. Repaglinide dimetabolisme di hepar oleh enzim
CYP3A4 dengan waktu paruh plasma selama 1 jam. Sifat kerja yang
cepat ini membuat Repaglinide diindikasikan untuk mengatasi
peningkatan glukosa setelah makan (post-prandial). Repaglinide
diminum tepat sebelum makan, dengan dosis 0.25–4 mg (maksimum 16
22
mg per hari) Repaglinide berisiko menimbulkan hipoglikemia bila
pasien tidak segera makan setelah mengkonsumsi obat, atau makan
dengan jumlah karbohidrat yang tidak adekuat. Repaglinide perlu
mendapat perhatian khusus pada pasien dengan gangguan hepar dan
ginjal. Repaglinide dapat digunakan sebagai terapi tungal ataupun
dikombinasikan dengan biguanide (metformin). Repaglinide dapat
diberikan pada pasien diabetes yang alergi dengan sulfonylurea karena
repaglinide tidak mengandung unsur sulfur.
e. Terapi salisilat
Salisilat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan sekresi insulin yang
distimulasi glukosa (glucose-stimulated insulin secretion) pada orang normal
dan pasien diabetes. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin pada berbagai
jaringan, termasuk jaringan pankreas. Penurunan produksi prostaglandin di
pankreas berhubungan dengan peningkatan sekresi insulin, dibuktikan dalam
penelitian sebelumnya bahwa pada orang normal, infus prostaglandin E2 dan
analog E2 termetilasi menghambat respon insulin akut setelah asupan glukosa.
Pemberian aspirin dalam dosis 1,8g – 4,5g per hari dapat menurunkan
kebutuhan suntikan insulin pada pasien diabetes dan pemberian 6g aspirin per
hari selama 10 hari menurunkan rata-rata gula darah puasa dari 371mg/dl
menjadi 128mg/dl.
f. Terapi insulin
Terapi insulin dapat menyebabkan hipoglikemia karena apabila kadar gula
darah turun melampaui batas normal, tidak terjadi fisiologi penurunan kadar
insulin dan pelepasan glukagon, dan juga refleks simpatoadrenal. Berdasarkan
berbagai penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin pada pasien
hiperglikemia memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat memperbaiki
status metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki
efek lain yang bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi. Pada awalnya,
terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe 1 (DMT1).
Namun demikian, pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh
pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan
DMT1. Pasien DMT2 yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak baik
dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk
penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin
23
tunggal. Berdasarkan onset kerjanya, terapi insulin diklasifikasikan sebagai
berikut:
 Rapid acting insulin (insulin kerja sangat cepat): Insulin kerja sangat
cepat memiliki onset kerja dan puncak kerja yang memungkinkan terapi
insulin yang menyerupai fisiologi sekresi insulin post-prandial. Insulin
kerja sangat cepat dapat digunakan sesaat sebelum pasien makan.
Durasi kerja insulin kerja sangat cepat tidak lebih dari 4 – 5 jam,
dengan demikian memiliki risiko hipoglikemia pasca makan (late
postmeal hypoglycemia) yang lebih kecil. Yang termasuk insulin kerja
sangat cepat antara lain insulin lispro, insulin aspart, dan insulin
glulisine.
 Short acting insulin (insulin kerja singkat): Insulin reguler adalah
insulin kerja singkat yang larut dalam bentuk kristal zinc. Efek kerja
insulin kerja singkat muncul dalam 30 menit, mencapai puncak kerja
dalam 2-3 jam setelah injeksi subkutan, dan memiliki durasi kerja 5-8
jam. Dalam konsentrasi yang tinggi, molekul insulin ini mengalamai
aggregasi di sekitar ion zinc sehingga membentuk molekul heksamer.
Bentuk heksamer inilah yang menyebabkan insulin reguler
membutuhkan waktu untuk dapat bekerja aktif. Setelah injeksi
subkutan. molekul hexamer insulin akan mengalami pengenceran
(dilusi) oleh cairan interstitial jaringan dan terpecah menjadi molekul
dimer dan monomer. Insulin kerja singkat baru dapat bekerja optimal
dalam bentuk monomer tersebut. Apabila insulin disuntikan pada saat
pasien makan, maka akan terjadi kenaikan kadar gula darah setelah
makan (early post-prandial hyperglycemia) karena insulin belum
bekerja, dan berisiko menimbulkan hipoglikemia pasca makan (late
post-prandial hypoglycemia) karena kerja insulin yang terlambat.
Insulin kerja singkat harus disuntikkan 30 – 45 menit sebelum makan
untuk mencapai penurunan kadar gula yang tepat. Insulin kerja singkat
bermanfaat dalam terapi intravena pada pasien ketoasidosis diabetes
dan pada pembedahan ataupun infeksi akut.
 Intermediate acting insulin (insulin kerja sedang): Neutral Protamine
Hagedorn insulin (NPH) insulin kerja sedang yang absorbsi dan

24
kerjanya dihambat dengan cara mengkombinasikan insulin dengan
protamine dalam jumlah yang tepat. Setelah penyuntikan subkutan,
enzim proteolitik jaringan menguraikan protamin sehingga insulin dapat
diabsorbsi dan diedarkan ke seluruh tubuh. NPH memiliki onset kerja 2
– 5 jam dan masa kerja 4 – 12 jam. NPH biasanya dicampur dengan
rapid acting insulin (lispro, aspart, atau glulisin) dan diberikan 2-4 kali
sehari sebagai pengganti insulin endogen (replacement therapy). Dosis
NPH mempengaruhi profil kerja, misal dosis kecil memiliki puncak
kerja yang lebih rendah dan lebih cepat dan masa kerja yang singkat,
dan terjadi sebaliknya pada penambahan dosis yang lebih besar. Kerja
NPH sangat sulit diprediksi dan memliki variabilitas absorbsi yang
tinggi.
 Long acting insulin (insulin kerja panjang): Insulin glargine adalah
insulin kerja panjang yang tidak memliki puncak masa kerja (peakless).
Insulin glargine didesain untuk mencapai terpi insulin yang nyaman dan
stabil. Molekul Insulin glargine larut dalam suasana yang asam (pH
pelarut = 4,0) dan mengalami presipitasi sesaat setelah disuntikkan
secara subkutan karena pH tubuh yang netral. Monomer insulin secara
perlahan-lahan dilepaskan dari kumpulan presipitat insulin pada
jaringan sekitar lokasi penyuntikan sehingga menghasilkan profil
insulin plasma yang rendah, stabil, dan kontinyu Insulin glargine
memiliki onset kerja yang lambat (1 – 1,5 jam) dan mencapai kerja
maksimum dalam 4-6 jam. Kerja maksimum ini bertahan selama 11 –
24 jam. Glargine diberikan dalam suntikan sekali sehari, atau dapat
dibagi dalam 2 dosis untuk pasien dengan resistensi insulin ataupun
hipersensitivitas terhadap insulin. Glargine tidak dapat dicampur
dengan insulin jenis lain karena dapat menurunkan efikasinya karena
glargine harus dilarutkan dalam suasana asam. Pencampuran dengan
insulin lain dalam spuit yang sama juga harus dihindari dan harus
disuntikkan dengan spuit yang berbeda. Pola absorbsi insulin glargine
tidak terikat dengan letak penyuntikan. 15 Insulin detemir adalah
insulin kerja panjang yang dikembangkan paling baru dan memiliki
efek hipoglikemik yang lebih rendah daripada NPH insulin. Insulin
detemir memiliki onset kerja yang bergantung pada dosis (dose
25
dependent) selama 1 – 2 jam dan durasi kerja 24 jam. Insulin detemir
diberikan dua kali sehari untuk mencapai kadar insulin yang tepat.
g. Aktifitas fisik/ olahraga
Aktivitas fisik atau olahraga berperan dalam pencegahan dan penanganan
diabetes. Olahraga dapat memicu penurunan berat badan, meningkatkan
sensitivitas insulin pada jaringan hepar dan perifer, meningkatkan pemakaian
glukosa, dan kesehatan sistem kardiovaskuler. Namun pada penderita diabetes
dengan pengendalian gula darah yang intensif, olahraga dapat meningkatkan
risiko terjadinya hipoglikemia bila tanpa disertai penyesuaian dosis terapi
insulin, dan atau suplementasi karbohidrat. Hipoglikemia dapat terjadi saat
berolah raga, sesaat setelah berolahraga, ataupun beberapa jam setelah
berolahraga. Beberapa studi terakhir menemukan bahwa hipoglikemia setelah
olah raga dipengaruhi oleh kegagalan sistem otonom pada penderita diabetes.
Pada saat olah raga terjadi penurunan insulin secara fisiologis, sedangkan pada
penderita diabetes yang tergantung pada terapi insulin eksogen, penurunan
insulin fisiologis ini tidak terjadi karena insulin yang beredar di dalam tubuh
adalah insulin eksogen dan tidak dapat dikendalikan oleh pankreas. Berbeda
dengan penurunan sekresi insulin yang tidak terjadi pada penderita diabetes,
pada saat berolah raga sekresi glukagon dari sel – sel alfa pankreas tetap terjadi
pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Hilangnya penurunan kadar
insulin juga menghambat proses glikogenolisis dan glukoneogenesis karena
kadar insulin yang relatif tinggi beredar dalam darah. Pada penderita diabetes
juga terjadi kegagalan sekresi epinefrin. Secara fisiologis, epinefrin berfungsi
meningkatkan glikogenolisis dan menghambat pemakaian glukosa pada saat
olahraga.
h. Keterlambatan asupan glukosa
Berkurangnya asupan karbohidrat atau glukosa pada pasien hiperglikemia
karena terlambat makan atau menjalani puasa dengan tidak mengurangi dosis
obat – obatan antidiabetes, dapat terjadi hipoglikemia karena berkurangnya
asupan glukosa dari saluran cerna.
i. Gangguan ginjal
Hipoglikemia pada gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh penurunan
glukoneogenesis, kerja insulin yang berlebih atau berkurangnya asupan kalori.
Pada gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penurunan kebutuhan insulin karena
26
perubahan pada metabolisme dan ekskresi insulin (insulin clearance). Insulin
eksogen secara normal dimetabolisme oleh ginjal. Pada gangguan fungsi ginjal,
waktu paruh insulin memanjang karena proses degradasi insulin berlangsung
lebih lambat.
Tata Lakasana Hipoglikemi
a. Terapi Hipoglikemia Ringan
 Glukosa 15-20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air
 Jika pada pemantauan gula darah mandiri setelah 15 menit
pengobatan hipoglikemi masih ada maka pengobatan dilanjutkan
 Jika pada pemantauan gula darah mandiri kadar gula darah sudah
normal, pasien diminta untuk makan makanan berat atau snack untuk
mencegah berulangnya hipoglikemia.

b. Terapi Hipoglikemia Berat


 Jika ada gejala neuroglikopeni, maka diperlukan terapi parenteral
 Dekstrose 40% 25 ml, diikuti dengan infuse D5% atau D10%,
menggunakan rumus 3-2-1-1
 Lakukan pemantauan gula darah setiap 1-2 jam, jika terjadi
hipoglikemi berulang pemberian dekstrose 40% dapat diulang.
 Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia

Rumus 3-2-1-1
Dekstrose 40% 25 mengandung 10 g glukosa
 Rumus 3: diberikan 3 flakon bila kadar gula darah < 30mg/dL
 Rumus 2: diberikan 2 flakon bila kadar gula darah 30-50 mg/dL
 Rumus 1: diberikan 1 flakon bila kadar gula darah 50-70 mg/dL
 Rumus 1: diberikan 1 flakon bila kadar gula darah 70-90 mg/dL,
namun disertai dengan tanda klinis hipoglikemia (hipoglikemia
reaktif)
Bila setelah 15 menit dilakukan pemeriksaan gula darah masih menunjukkan
hipoglikemia maka terapi dapat diulangi lagi. Bila gagal dilanjutkan dengan:

27
 Injekis metilprednisolon 62,5-125mg IV dan dapat diulang, serta
dapat dikombinasi dengan injeksi fenitoin 3x100mg IV atau fenitoin
oral dengan dosis 3x100 mg sebelum makan
 Bila perlu injeksi efedrin (bila tidak ada kontra indikasi: jantung, dan
lain-lain) 25-50 mg atau injeksi glucagon 1mg IM.
Pencegahan Hipoglikemia
a. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemi, penanganan
sementara, dan hal lain harus dilakukan
b. Anjurkan melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM),
khususnya bagi pengguna insulin atau obat oral golongan insulin
sekretagog.
c. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi,
tentang: dosis, waktu megkonsumsi, efek samping
d. Bagi dokter yang menghadapi penyandang DM dengan kejadian
hipoglikemi perlu melalukan:
 Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien.
 Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila
diperlukan melalukan program ulang dengan memperhatikan
berbagai aspek seperti: jadwal makan, kegiatan oleh raga, atau
adanya penyakit penyerta yang memerlukan obat lain yang
mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
 Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil
kemungkinan menimbulkan hipoglikemi.

2. CKD (Chronic Kidney Disease)


A. Pendahuluan
Selama ini dikenal istilah gagal ginjal kronis (GGK) yang merupakan
sindroma klinis karena penurunan fungsi ginjal secara menetap akibat kerusakan
nefron. Proses penurunan fungsi ginjal ini berjalan secara kronis dan progresif
sehingga pada akhirnya akan terjadi gagal ginjal terminal (GGT) atau End Stage

28
Renal Disease (ESRD). Ada beberapa istilah yang dipakai untuk meyatakan
penurunan fungsi ginjal ini, antara lain:
 Gangguan fungsi ginjal
Adanya penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat terjadi dalam derajat
ringan, sedang, atau berat.
 Azotemia
Adanya peningkatan kadar urea plasma, atau peningkatan BUN oleh karena
retensi sampah nitrogen akibat gangguan fungsi ginjal.
 Uremia
Sindroma klinis dan laboratorium yang menunjukkan adanya disfungsi
berbagai system organ akibat gagal ginnjal akut maupun kronis, biasanya
pada derajat lanjut.
 GGT
Keadaan dimana ginjal tidak dapat lagi menopang kehidupan tanpa diikuti
tindakan dialysis atau transplantasi ginjal.
Penyakit Ginjal Kronis di dunia saat ini mengalami peningkatan dan menjadi
masalah kesehatan serius, hasil penelitian Global Burden of Disease tahun 2010,
Penyakit Ginjal Kronis merupakan penyebab kematian peringkat ke 27 di dunia
tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta
penduduk di dunia mendapatkan perawatan dengan dialisis atau transplantasi ginjal
dan hanya sekitar 10% yang benar-benar mengalami perawatan tersebut. Sepuluh
persen penduduk di dunia mengalami Penyakit Ginjal Kronis dan jutaan meninggal
setiap tahun karena tidak mempunyai akses untuk pengobatan. Pada tahun 2011
sekitar 113.136 pasien di Amerika Serikat mengalami  End Stage Renal
Diseasse (ESDR), penyebab utamanya adalah diabetes dan hipertensi dengan
jumlah kasus terbanyak ditemukan pada usia lebih dari 70 tahun. Penelitian di
Amerika Serikat risiko 2,3 kali mengalami PGK bagi orang yang mengonsumsi
cola dua gelas atau lebih per hari. Pada tahun 2013, sebanyak 2 per 1000 penduduk
atau 499.800 penduduk Indonesia menderita Penyakit Gagal Ginjal. Sebanyak 6
per 1000 penduduk atau 1.499.400 penduduk Indonesia menderita Batu Ginjal
(Riskesdas, 2013). Dengan demikian kewaspadaan terhadap penyakit ginjal kronik
perlu ditingkatkan mulai dari dasar diagnosisnya, factor-faktor yang berpengaruh
terhadap kepekaan dan progresi PGK serta pilihan terapinya. Identifikasi dan terapi

29
dini terhadap kondisi yang umum berkaitan dengan PGK seperti hipertensi, DM,
dan penurunan resiko kardiovaskuler tetap merupakan pendektan terapi yang
utama.
B. Definisi Penyakit Ginjal Kronis
Definisi CKD menurut NFK-K/DOQI adalah:
1. Kerusakan ginjal selama ≥3 bulan
Yang dimaksud dengan kerusakan ginjal adalah bila dijumpai kelainan
struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR.
2. GFR < 60 ml/men/ 1,73 m2 ≥3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
GFR < 60 ml/men/ 1,73 m2 ≥3 bulan diklasifikasikan sebagai CKD tanpa
memperhatikan ada atau tidaknya kerusakan ginjal oleh karena pada tingkat
GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah kehilangan fungsinya ≥ 50% dan
terdapat komplikasi (Tjokroprawiro, 2015).

Sedangkan Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) pada tahun


2012 mendefinisikan CKD sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang
terjadi > 3 bulan disertai implikasi pada kesehatan. Adapun kriteria yang digunakan
sebagai kriteria CKD:(KDIGO. 2013).

Tabel 5 :Kriteria CKD berdasarkan KDIGO (KDIGO. 2013)


Criteria for CKD (either of the following present for 43 months)
Markers of kidney damage - Albuminuria (AER ≥30 mg/24 hours;
(one or more) ACR ≥30 mg/g (≥3 mg/mmol])
- Urine sediment abnormalities
- Electrolyte and other abnormalities due
to tubular disorders
- Abnormalities detected by histology
- Structural abnormalities detected by
imaging
- History of kidney transplantation
Decreased GFR GFR <60 ml/min/1.73 m2 (GFR categories
G3a–G5)
Abbreviations: CKD, chronic kidney disease; GFR, glomerular filtration rate.

30
Sumber: KDIGO, 2012
Sedangkan KDIGO pada tahun 2012 merekomendasikan bahwa CKD dapat
diklasifikasikan berdasarkan kategori GFR dan kategori albuminuria:

Tabel 6 : Kategori GFR pada CKD berdasarkan KDIGO


Kategori GFR GFR (ml/min/1.73 m2) Ketentuan
G1 ≥90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Penurunan ringan
G3a 45-59 Penurunan ringan-sedang
G3b 30-44 Penurunan sedang-berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 <15 Gagal ginjal
Sumber: KDIGO, 2012

Tabel 7:Kategori albuminuria pada CKD berdasarkan KDIGO


AER ACR
Kategori Ketentuan
(mg/24jam) mg/mmol mg/g
A1 <30 <3 <30 Normal s/d peningkatan ringan
A2 30-300 3-30 30-300 Peningkatan sedang
A3 >300 >30 >300 Peningkatan berat
Abbreviations: AER, albumin excretion rate; ACR, albumin-to-creatinine ratio; CKD,
chronic kidney disease.
*Relative to young adult level.
**Including nephrotic syndrome (albumin excretion usually >2200 mg/24 hours
(ACR >2220 mg/g; >220 mg/mmol]).
Sumber: KDIGO, 2012
C. Etiologi CKD
CKD adalah kemunduran fungsi ginjal irreversible yang terjadi beberapa
bulan atau tahun. Penyakit ginjal terminal (ESRD) merupakan kelanjutan dari CKD
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk mempertahankan keseimbangan
substansi tubuh. Penyebab CKD meliputi berbagai faktor yang congenital dan
didapat, termasuk (1) penyakit glomerular (pielonefritis, glomerulonefrits,
glomerulopati, (2) uropati obstruktif (refluks vesikouretral), (3) hipoplasia atau
dysplasia ginjal, (4) gangguan ginjal yang diturunkan (penyakit ginjal polikistik,
sindrom nefrotik congenital, sindrom Alport), (5) neuropati vascular, dan (6)
kerusakan atau kehilangan ginjal (trauma berat, tumor Wilms) (Tjokroprawiro,
2015).

31
Berdasarkan penyebabnya, NKF-K/DOQI membagi CKD menjadi 3
kelompok besar:
Tabel 8: Kelompok penyebab CKD menurut NKF-K/DOQI
Penyakit Contoh penyakit terbanyak
Penyakit Ginjal Diabetik Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal Non Diabetik : - Penyakit glomerular (penyakit otoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasia)
- Penyakit vascular (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
- Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
- Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Transplantasi : - Rejeksi kronik
- Keracunan obat (siklosporin/ takrolimus)
- Penyakit recurrent (glomerular)
- Transplant glomerulopathy
Sumber: NKF-K/DOQI, 2002

Gambar 2. Pasien CKD stage 5 berdasarkan etiologi di Indonesia tahun 2017


Etiologi CKD sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain.
Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2017 etiologi CKD stage 5
paling banyak adalah hipertensi sebanyak 36% dan Nefropati diabetic atau dikenal
dengan diabetic kidney disease sebagai urutan kedua sebanyak 29% (Pernefri, 2017).
D. Patofisiologi CKD
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunan produk sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang

32
sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal
ginjal kronis mungkin minimal karena nefron-nefron yang lain yang sehat
mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan laju
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi dan menghasilkan
filtrat dalam jumlah banyak. Kompensasi nefron yang masih utuh dapat membuat
ginjal mempertahankan fungsi nya sampai tiga perempat nefron rusak. Solute dalam
cairan menjadi lebih banyak dari yang dapat direabsorpsi dan mengakibatkan diuresis
osmotic daengan poliuria dan haus. Akhirnya nefron yang rusak bertambah dan
terjadi oliguria akibat sisa metabolisme tidak terekskresikan dan timbul uremia
(Tjokroprawiro, 2015).
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa
menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak
dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan
tuntunan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein.
Seiring dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan
penurunan aliran darah ginjal. Pelepasan renin dapat meningkat, dan bersama
dengan kelebihan beban cairan, dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi
mempercepat gagal ginjal, mungkin dengan meningkatkan filtrasi (karena tuntunan
untuk reabsorpsi) protein plasma dan menimbulkan stress oskdatif(Tjokroprawiro,
2015).
E. Tatalaksana CKD
1. Pengobatan untuk initiation factors
Initiation factors adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan
ginjal secara langsung. Yang termasuk adalah DM, HT, uropati obstruktif,
keracunan obat, infeksi saluran kemih, mekanisme yang diperantarai imun, dan
toksisitas obat secara langsung.Pengobatan terhadap berbagai faktor inisisasi
yang masih dapat dikoreksi, mutlak harus dilakukan. DM merupakan penyebab
utama CKD diseluruh dunia.(Tjokroprawiro, 2015).
Target pengendalian gula darah menurut KDIGO 2012 adalah HbA1c 7
untuk mencegah dan menghambat komplikasi mikrovaskuler, untuk pasien
dengan resiko hipoglikemia disarankan tidak mengobati sampai HbA1c <7, dan
untuk pasien dengan komorbid atau harapan hidup terbatas disertai resiko
hipoglikemia, diusulkan HbA1c >7. statin, dan terapi antiplatelet sesuai indikasi
klinik.
33
2. Pengendalian keseimbangan air dan garam
Pemberian cairan per 24 jam disesuaikan dengan produksi urin, yaitu
produksi urin 24 jam ditambah 500ml. Furosemid dosis tinggi masih dapat
dipakai pada awal CKD, akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi bermanfaat.
Asupan garam tergantung evaluasi elelktrolit, KDIGO 2012 merekomendasikan
untuk membatasi asupan sodium <90mmol/hari atau <2 gram/hari pada orang
dewasa.(Tjokroprawiro, 2015).
3. Diet rendah protein dan rendah kalori
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein
penderita CKD adalah 20-40 gram.Kebutuhan kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari.
Diet rendah protein tinggi kalori diharapkan dapat memperbaiki keluhan mual,
menurunkan BUN, dan dapat memperbaiki gejala uremik.(Tjokroprawiro, 2015).
Menurut KDIGO 2012 mengusulkan asupan protein 0,8 g/kgBB/hari untuk
orang dewasa disertai DM atau tidak dan GFR <30 ml/menit/1,73m2.

4. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit asam-basa


Gangguan keseimbangan elektrolit yang paling sering dijumpai pada CKD
adalah hiperkalemia. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah
mengancam jiwa.(Tjokroprawiro, 2015).
Pengobatan konservatif hiperkalemia adalah:
a. Tahap pertama adalah menstabilkan myokardium dengan pemberian Ca
Glukonat 10% sebanyak 10ml dalam waktu lebih dari 2 menit.
b. Tahap kedua adalah usaha untuk mendorong perpindahan K dari CES masuk
ke CIS, sehingga K serum dapat segera diturunkan:
 Insulin : Insulin diberikan 5-10 ui IV. Untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia secara simultan diberikan Dekstrosa 50% sebanyak 50ml
secara IV pelan lebih dari 5 menit. Pada pasien DM hiperglikemi, cukup
beri insulin tanpa Dekstrosa.
 B-Agonis: diberikan Albuterol 10-20 mg dengan NaCl 0.9% 4 cc melalui
nebulizer dala waktu lebih dari 10 menit.
 Sodium Bicarbonat (Nabic): banyak penelitian melaporkan bahwa
pemberian Nabic tidak atau hanya sedikit menurunkan K serum.
Diberikan bila juga didapatkan asidosis metabolik.
34
c. Mengeluarkan K dari tubuh dengan pemberian/tindakan:
 Diuretik: hanya bisa bekerja bila fungsi ginjal masih adekuat, bermanfaat
bila produksi urin masih cukup.
 Pottasium exchange resin
 Hemodialisis: merupakan terapi definitif untuk mengeluarkan K dari
tubuh.
Pencegahan hiprekalemia meliputi diit K dibatasi 40-60 mEq/ hari, hindari
obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar K serum.
Asidosis metabolik merupakan gangguan asam-basa yang paling sering
dijumpai pada pasien CKD, menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger, dan
drawsiness.Pada pemeriksaan fisik didapatkan nafas cepat dan dalam
(kussmaul).Pengobatan IV dengan NaHCO3 hanya diberikan pada keadaan
asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat diberikan peroral. Bila konsentrasi
bikarbonat serum < 22 mmol/l, berikan terapi bikarbonat oral untuk memelihara
bikarbonat serum dalam rentang normal.(Tjokroprawiro, 2015).
5. Pengelolaan Hipertensi
Pembatasan cairan mutlak dilakukan untuk pengendalian hipertensi pada CKD,
KDIGO 2012 merekomendasikan pengelolaan hipertensi sebagai berikut:
o Pada pasien DM maupun non DM dewasa disertai CKD dan ekskresi albumin
< 30 mg/24 jam (atau ekivalen dengan TDS > 140 mmHg atau TDD ≤ 90
mmHg
o Pada pasien DM maupun non DM dewasa disertai CKD dan ekskresi albumin
urin ≥ 30 mg/24 jam dengan TDS > 130 mmHg atau TDD > 80 mmHg,
diterapi dengan obat antihipertensi untuk memelihara TDS ≤ 130 mmHg atau
TDD ≤ 80 mmHg.
o Diusulkan bahwa ARB atau ACE-I digunakan pada pasien DM dewasa
dengan CKD dan eksresi albumin urin 30-300 mg/24 jam (atau ekivalen).
o Direkomendasikan bahwa ARB atau ACE-I digunakan pada pasien DM
maupun non DM dewasa dengan PGK dan eksresi albumin urin > 300 mg/24
jam (atau ekivalen)
o Bukti-bukti yang ada tidak cukup untuk merekomendasikan kombinasi ACE-I
dengan ARB untuk mencegah progesi CKD.
6. Pencegahan dan Pengobatan Metabolic Bone Disease

35
Adanya CKD berpengaruh terhadap regulasi Ca dan P, yang kemudian akan
menyebabkan hiperparatiroid sekunder dan penyakit tulang metabolik. Lebih
jauh, akibat dari gangguan metabolisme mineral atau terapi yang diberikan
(penambahan Ca atau vitamin D) dikaitkan dengan komplikasi ke ekstraskeletal
dan kardiovaskuler. Pendekatan terapi yang dilakukan adalah: diit rendah
phospatase (800-1000 mg/hari), pemberian oral phospatase binder, bisa yang
berbasis Ca (Ca karbonat, Ca asetat) atau yang tidak berbasis Ca (sevelamer,
lanthanum karbonat) sesuai indikasi, pemberian suplemen vitamin D atau analog
vitamin D, dan bila tetap terjadi hiperparatiroid refrakter dilakukan
paratiroidektomi. KDIGO 2012 merekomendasikan: (1) pemeriksaan kadar Ca, P,
PTH serum, dan aktivitas alkali phospatase, setidaknya PTH serum dan aktivitas
alkali phospatase, setidaknya sekali pada GFR <45 ml/men/1.73 m2 sebagai data
dasar. (2) pada nilai GFR tersebut diusulkan tidak melakukan pemeriksaan
densitas mineral tulang secara rutin. (3) Pada nilai GFR tersebut diusulkan untuk
memelihara konsentrasi P serum pada rentang normal, sesuai nilai laboratorium
di daerahnya, (4) pada nilai GFR tersebut, kadar PTH optimal tidak diketahui.
Diusulkan bila kadar iPTH diatas harga normal, maka perlu evaluasi awal adanya
hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan defisiensi vitamin D. (5) diusulkan untuk
tidak meresepkan secara rutin vitamin D atau vitamin D analog untuk menekan
peningkatan konsentrasi PTH bila tidak ada kecurigaan atau data adanya
defisiensi pada pasien CKD non dialisis.(Tjokroprawiro, 2015).
7. Pengelolaan anemia
Anemia terjadi pada mayoritas pasien yang mengalami penurunan fungsi
ginjal, dengan penyebab defisiensi eritropoietin, defisiensi besi fungsional
maupun absolut, kehilangan darah, adanya inhibitor uremik, umur sel darah
merah di sirkulasi memendek, defisiensi asam folat, dan vitamin B12, kombinasi.
(Tjokroprawiro, 2015).
Menurut KDIGO 2012, dikatakan anemia bila Hb < 13 g/dL untuk laki-laki
atau < 12 g/dL untuk perempuan. Evaluasi anemia pada CKD adalah
pemeriksaan darah lengkap, juga dilengkapi dengan pemeriksaan serum iron (SI),
Total Iron Binding Capacity (TIBC), dan feritin serum. Terapi eritropoietin
rekombinan bisa diberikan pada penderita CKD pra-HD.
8. Deteksi dan Pengobatan Infeksi

36
Penderita CKD merupakan penderita dengan respons imun yang rendah,
sehingga kemungkinan mengalami infeksi harus selalu dipertimbangkan.Gejala
febris terkadang tidak muncul karena keadaan respons imun yang rendah ini.
(Tjokroprawiro, 2015).
9. Tata laksana pengobatan dan keselamatan pasien
Beberapa obat memerlukan penyesuaian dosis karena ekskresi metabolitnya
melalui ginjal.Penggunaan obat nefrotoksik misalnya aminoglikosida,
cotrimoxazole, amphotericin sebaiknya dihindari dan hanya diberikan pada
keadaan khusus dengan pertimbangan yang matang.(Tjokroprawiro, 2015).
Menurut KDIGO 2012 merekomendasikan untuk menghentikan sementara
obat-obat yang berpotensi nefrotoksik dan diekskresi melalui ginjal pada GFR <
60 ml/menit/1,73 m2 pada individu dengan penyakit serius yang meningkatkan
resiko terjadinya AKI, termasuk disini adalah penggunaan RAAS Blokers (ACE-
I, ARBs, inhibitor aldosteron, direct renin nhibitor), diuretik, NSAIDs,
metformin, lithium, dan digoxin. KDIGO juga merekomendasikan untuk tidak
menggunakan herbal pada pasien CKD.
10. Persiapan dialisis dan transplantasi
Penderita CKD dan keluarganya sudah harus diberitahu sejak awal bahwa
pada suatu saat penderita akan memerlukan HD atau transplantasi ginjal.
Pembuatan akses vaskuler sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin
dibawah 15 ml/menit.Dianjurkan pembuatan akses vaskuler jika klirens kreatinin
di bawah 20 ml/menit. Perlu membatasi pungsi pembuluh darah daerah
ekstrimitas yang akan dipakai akses vaskuler. Disamping persiapan dari segi
medik perlu pula persiapan non medik.(Tjokroprawiro, 2015).
11. Terapi pengganti ginjal
Menurut Tjokroprawiro, 2015 ada beberapa komplikasi merupakan indikasi
untuk segera dilakukan hemodialisis (HD) meskipun penderita belum sampai
pada tahap CKD stadium 5. Komplikasi yang merupakan indikasi untuk tindakan
HD antara lain:
 Ensefalopati uremikum
 Perikarditis atau pleuritis
 Neuropati perifer progresif

37
 Hiperkalemia yang tak dapat dikendalikan dengan pengobatan
medikamentosa
 Sindroma overload
 Infeksi yang mengancam jiwa
 Keadaan sosial

38
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien atas nama Tn H datang ke IGD RS pada pukul 12.30 dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS. Menurut keluarga pasien, sebelumnya pasien
mengeluh lemas seluruh tubuh dan nyeri kepala kemudian lama kelamaan pasien tidak
nyambung saat diajak berkomunikasi dan tidak sadarkan diri. Menurut keluarga, pasien tidak
mau makan sejak 5 hari yang lalu. Berdasarkan anamnesis pasien memiliki riwayat DM sejak
7 tahun yang lalu dan riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu. Pasien juga memiliki
riwayat keluhan serupa 10 hari yang lalu. Pemeriksaan tingkat kesadaran pasien didapatkan
GCS E1V1M3. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah pasien tinggi yaitu
170/80mmHg dan respiratory rate 24 kali/menit. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
konjungtiva anemis, pupil isokhor diameter 4mm reflex cahaya (+/+). Tidak didapatkan
deficit neurologis, maka kelainan neurologi seperti CVA, dapat disingkirkan. Pasien
kemudian diperiksa GDA didapatkan hasil 27 mg/dL. Pasien kemudian diberi bolus 3 flakon
D40%. Satu jam kemudian pasien dievaluasi, kesadaran pasien membaik dan gula darah
pasien menjadi 145mg/dL. Pasien kemudian didiagnosis penurunan kesadaran et causa DM
Hipoglikemi. Hal ini sesuai dengan literature bahwa penurunan kesadaran yang terjadi pada
penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia.
Tanda dan gejala pasien sesuai dengan Whipple’s Triad yaitu terdapat gejala hipoglikemi,
kadar glukosa darah rendah, dan gejala berkurang dengan pengobatan (PERKENI,2015).
Tatalaksana awal yang dilakukan oleh pasien sudah sesuai yaitu pemberian bolus D40%
sebanyak 3 flakon. Pada literature disebutkan bahwa 1 flakon D40% (25mL) mengandung 10
gram glukosa. Satu flakon D40% diperhitungkan dapat menaikkan kadar glukosa darah
sebanyak 25-50mg/dl. Kadar glukosa pasien dipertahankan 130 mg/dl atau lebih. Keadaan
hipoglikemi berat yang terjadi pada pasien harus segera ditangani karena otak memerlukan
setidaknya 6 gram setiap jam. Hipoglikemi dapat menyebabkan kerusakan otak yang
irreversible (Tjokroprawiro, 2015).
Pemeriksaan laboratorium lainnya menunjukkan kadar serum kreatinin 4,27, ureum
64mg/dl. Laju filtrasi glomerulus pasien dihitung dengan estimasi berat badan pasien 75kg
menggunakan rumus Cockroft-Goult didapatkan nilai 19,75 ml/menit/1,73. Hal ini
menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal berat. Perlu dilakukan pemeriksaan tambahan
untuk menegakkan diagnosis CKD mengingat pasien memiliki factor resiko CKD yaitu DM
dan Hipertensi yang tidak terkontrol. Pemeriksaannya yaitu pemeriksaan urine lengkap, USG

39
abdomen, dan histopatologi. Jika kerusakan atau penurunan fungsi ginjal berlangsug selama
3 bulan atau lebih maka pasien dapat didiagnosis CKD stage IV (KDIGO, 2013).
Tatalaksana awal pada pasien CKD adalah pengobatan pada factor yang dapat
menyebabkan kerusakan ginjal, yaitu DM dan Hipertensi. Target pengendalian gula darah
menurut KDIGO 2012 adalah HbA1C 7 untuk mencegah dan menghambat komplikasi
mikrovaskuler, untuk pasien dengan resiko hipoglikemia disarankan tidak mengobati sampai
HbA1c <7, dan untuk pasien dengan komorbid atau harapan hidup terbatas disertai resiko
hipoglikemia, diusulkan HbA1c >7 (Tjokroprawiro, 2015). Target tekanan darah sistolik
<140mmHg dan tekanan darah diastolic <90mmHg. ARB dan ACE-I direkomendasikan
untuk pasien DM dewasa dengan PGK (Tjokroprawiro, 2015).
Asupan protein pasien perlu dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Kebutuhan kalori
minimal 35kcal/kgBB/hari. Diet rendah protein tinggi kalori diharapkan dapat memperbaiki
keluhan mual, menurunkan BUN, dan dapat memperbaiki gejala uremik (Tjokroprawiro,
2015).
Penderita CKD dan keluarganya sudah harus diberitahu sejak awal bahwa pada suatu
saat penderita akan memerlukan HD atau transplantasi ginjal jika terdapat komplikasi seperti
encephalopathy uremikum, overload cairan, dan hiperkalemia refrakter.
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan hemoglobin 8,2 g/dl. Anemia terjadi pada
mayoritas pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal, dengan penyebab defisiensi
eritropoietin, defisiensi besi fungsional maupun absolut, kehilangan darah, adanya inhibitor
uremik, umur sel darah merah di sirkulasi memendek, defisiensi asam folat, dan vitamin B12,
kombinasi (Tjokroprawiro, 2015).
Gangguan keseimbangan elektrolit sering dijumpai pada pasien CKD. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Giligan dan Raphaell tahun 2017 prevalensi terjadinya
hiperkalemi dan hipokalemi pada pasien CKD adalah sama. Selain itu hiperkalemi dan
hipokalemi dapat memperburuk fungsi ginjal. Pada kasus kadar kalium pasien rendah yaitu
2,6 meq/l. Menurut Wang, dkk pada penelitiannya tahun 2013 disebutkan bahwa kejadian
hipokalemi pada pasien CKD berhubungan dengan penggunaan diuretic dan malnutrisi.

40
BAB IV

KESIMPULAN

1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diagnosa


kasus ini adalah Penurunan kesadaran e.c DM Hipoglikemia+ CKD st IV+ Anemia+
Hipokalemia
2. Pencegahan tersier diperlukan pada pasien DM dengan penyulit seperti pasien pada
kasus untuk mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas
hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan
menetap. Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan
terintegrasi antar disiplin yang terkait. Kerjasama yang baik antara para ahli
diberbagai disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain-lain.) sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

41
DAFTAR PUSTAKA

Askandar J.P, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press.
Alwi I., Salim S., Hidayat R., Kurniawan J., Thapary D. L. (Ed). (2015). Panduan Praktis
Klini Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
2013. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
Briscoe VJ, Davis SN. Hypoglycemia in type 1 and type 2 diabetes: Physiology,
pathophysiology, and management. Clin Diabetes 2006; 24: 115 – 21
Cryer PE. Hypoglycemia. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL,
Loscalzo J (eds.) Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: Mc
Graw Hill; 2011: 1325 – 9
Gilligan, Sarah, and Kalani L. Raphael. "Hyperkalemia and hypokalemia in CKD:
prevalence, risk factors, and clinical outcomes." Advances in chronic kidney
disease 24.5 (2017): 315-318.
Kushner P. Minimizing the risk of hypoglycemia in patients with type 2 diabetes melitus.
Diabetes, Metabolic Syndrome, and Obesity : Targets and Therapy 2011; 3: 49–53
KDIGO. 2013. Kidney International Supplements Volume 3. http://www.kidney-
international.org hal. 18-31
Larasati, T.A, 2012, Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RS Abdul Moeloek
Propinsi Lampung. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung. Vol.2,
No.2. Pp. 17-20
Lefebvre PJ, Scheen AJ. Hypoglycemia. In: Porte D, Sherwin RS, Baron A (eds.) Ellenberg
& Rifkin’s Diabetes Melitus. 6th ed. New York: Mc Graw Hill; 2003: 122 – 8
NKF-K/DOQI. 2002. Clinical Practice Guidelines For Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. New York: National Kidney Foundation. Hal: 81-180
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB.PERKENI. Jakarta. 2015
Perkumpulan Nefrologi Indonesia, 2017, 5 th Annual Report of IRR (Indonesia Renal
Registry). PERNEFRI.
Sudoyo A. W., Setiyohadi B., Alwi I., K. M. S., Setiati S. (Ed). (2014). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta Pusat: Interna Publishing

42
Wang, Hsiao-Han, et al. "Hypokalemia, its contributing factors and renal outcomes in
patients with chronic kidney disease." PloS one 8.7 (2013): e67140.

43

Anda mungkin juga menyukai