Dosen Pengampu:
Ns. Fiora Ladesvita, M.Kep., Sp.Kep.MB
Disusun oleh :
Erika Deliana 1810711004 Dinda Noviyanti 1810711007
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kemudahan untuk kami dalam menyusun makalah dengan judul Gangguan PPOK
Pada Sistem Pernapasan. Salawat dan salam tidak lupa kami kirimkan kepada
junjungan nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat manusia dari
peradaban hidup jahiliyah menuju peradaban hidup yang modern.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................28
2
LAMPIRAN 1.........................................................................................................29
LAMPIRAN JURNAL............................................................................................30
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
1.4 MANFAAT
Makalah ini bermanfaat bagi pengajar, praktitisi kesehatan, mahasiswa, dan masyarakat
untuk memahami perihal gangguan PPOK yang patut diwaspadai dan mengatahui tentang
bahayanya dari PPOK.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
2) Untuk meniup (balon, kopi/the panas, tangan, alat musik dan lain
sebagainya)
3) Tertawa.
4) Menangis.
5) Bersin.
6) Batuk.
7) Homeostatis (pH darah).
8) Otot-otot pernapasan membantu kompresi abdomen (miksi, defekasi, partus).
Gambar 2.3
Sumber: Hajidah, 2011
7
karenanya mencegah makanan masuk ke trakea. Fungsi utama pada laring adalah
untuk melindungi jalan napas atau jalan udara dari faring ke saluran napas lainnya,
namun juga sebagai organ pembentuk suara atau menghasilkan sebagian besar suara
yang dipakai berbicara dan bernyanyi.
Laring ditunjang oleh tulang-tulang rawan, diantaranya yang terpenting adalah
tulang rawan tiroid (Adam’s apple), yang khas nyata pada pria, namun kurang jelas
pada wanita. Di bawah tulang rawan ini terdapat tulang rawan krikoid, yang
berhubungan dengan trakea.
Epiglotis terletak diatas seperti katup penutup. Epiglotis adalah sekeping
tulang rawan elastis yang menutupi lubang larings sewaktu menelan dan terbuka
kembali sesudahnya. Pada dasarnya, Laring bertindak sebagai katup, menutup selama
menelan unutk mencegah aspirasi cairan atau benda padat masuk ke dalam batang
tracheobronchial.
Mamalia menghasilkan getaran dari pita suara pada dasar laring. Sumber
utama suara manusia adalah getaran pita suara (Frekuensi 50 Hertz adalah suara bas
berat sampai 1700 Hz untuk soprano tinggi). Selain pada frekuensi getaran, tinggi
rendah suara tergantung panjang dan tebalnya pita suara itu sendiri. Apabila pita lebih
panjang dan tebal pada pria menghasilkan suara lebih berat, sedangkan pada wanita
pita suara lebih pendek. Kemudian hasil akhir suara ditentukan perubahan posisi bibir,
lidah dan palatum molle.
Disamping fungsi dalam produksi suara, ada fungsi lain yang lebih penting,
yaitu Larings bertindak sebagai katup selama batuk, penutupan pita suara selama
batuk, memungkinkan terjadinya tekanan yang sangat tinggi pada batang
tracheobronchial saat otot-otot trorax dan abdominal berkontraksi, dan pada saat pita
suara terbuka, tekanan yang tinggi ini menjadi penicu ekspirasi yang sangat kuat
dalam mendorong sekresi keluar.
8
tulang rawan ini tidak tersambung dan menempel pada esofagus. Hal ini berguna
untuk mempertahankan trakea tetap terbuka.
3)Lapisan terdalam terdiri atas jaringan epitelium bersilia yang menghasilkan banyak
lendir. Lendir ini berfungsi menangkap debu dan mikroorganisme yang masuk
saat menghirup udara.
2.1.7 Bronkus
Bronkus merupakan cabang batang tenggorokan. Jumlahnya sepasang, yang
satu menuju paru-paru kanan dan yang satu menuju paru-paru kiri. Bronkus yang ke
arah kiri lebih panjang, sempit, dan mendatar daripada yang ke arah kanan. Hal inilah
yang mengakibatkan paru-paru kanan lebih mudah terserang penyakit. Struktur
dinding bronkus hampir sama dengan trakea. Perbedaannya dinding trakea lebih tebal
daripada dinding bronkus. Bronkus akan bercabang menjadi bronkiolus. Bronkus
kanan bercabang menjadi tiga bronkiolus sedangkan bronkus kiri bercabang menjadi
dua bronkiolus.
2.1.8 Bronkiolus
Bronkiolus merupakan cabang dari bronkus. Bronkiolus bercabang-cabang
menjadi saluran yang semakin halus, kecil, dan dindingnya semakin tipis. Bronkiolus
tidak mempunyai tulang rawan tetapi rongganya bersilia. Setiap bronkiolus bermuara
ke alveolus.
Bronkiolus merupakan cabang yang lebih kecil dari bronkus prinsipalis. Pada ujung
bronkioli terdapat gelembung paru atau alveoli yaitu :
9
1) Bronkus lobaris superior dekstra
2) Bronkus lobaris media dekstra
3) Bronkus lobaris inferior dekstra
4) Bronkus lobaris superior sinistra
5) Bronkus lobaris inferior sinistra (Syaifuddin, 2009).
2.1.9 Alveolus
Bronkiolus bermuara pada alveol (tunggal: alveolus), struktur berbentuk bola-
bola mungil yang diliputi oleh pembuluh-pembuluh darah. Epitel pipih yang melapisi
alveoli memudahkan darah di dalam kapiler-kapiler darah mengikat oksigen dari
udara dalam rongga alveolus.
2.1.10 Paru-paru
Paru-paru terletak di dalam rongga dada. Rongga dada dan perut dibatasi oleh
siuatu sekat disebut diafragma. Paru-paru ada dua buah yaitu paru-paru kanan dan
paru-paru kiri. Paru-paru kanan terdiri atas tiga gelambir (lobus) yaitu gelambir atas,
gelambir tengah dan gelambir bawah. Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua
gelambir yaitu gelambir atas dan gelambir bawah. Paru-paru diselimuti oleh suatu
selaput paru-paru (pleura).
Pleura dibagi menjadi dua: 1) Pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu
selaput paru yang langsung membungkus paru-paru; 2) Pleura parietal yaitu selaput
yang melapisi rongga Dada sebelah luar. Antara kedua pleura ini terdapat rongga
(kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum
(hampa udara) sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit
cairan (eksudart) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura),
menghindari gesekan antara paru –paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan
bernapas. Kapasitas maksimal paru-paru berkisar sekitar 3,5 liter.
Udara yang keluar masuk paru-paru pada waktu melakukan pernapasan biasa
disebut udara pernapasan (udara tidal). Volume udara pernapasan pada orang dewasa
lebih kurang 500 nl. Setelah kita melakukan inspirasi biasa, kita masih bisa menarik
napas sedalam-dalamnya. Udara yang dapat masuk setelah mengadakan inspirasi
biasa disebut udara komplementer, volumenya lebih kurang 1500 ml. Setelah kita
melakukan ekspirasi biasa, kita masih bisa menghembuskan napas sekuat-kuatnya.
10
Udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi biasa disebut udara
suplementer, volumenya lebih kurang 1500 ml. Walaupun kita mengeluarkan napas
dari paru-paru dengan sekuat-kuatnya ternyata dalam paru-paru masih ada udara
disebut udara residu. Volume udara residu lebih kurang 1500 ml. Jumlah volume
udara pernapasan, udara komplementer, dan udara suplementer disebut kapasitas vital
paru-paru.
Masing masing paru paru mempunyai apeks yang masing masing menjorok ke atas
2,5cm di atasklavikula fasies costalis yang berbentuk konfeks berhubungan dengan
dinding dada sedangkan pasies mediestinalis yang berbentuk conca membentuk
pericardium.pada pertengaan permukaan paruh kiri terdapat hilus pulmonalis yaitu
lekukan dimana bronkus, pembuluh darah, dan saraf masuk keparu paru membentuk
tradikspulmonalis, Apeks pulmo, basis pulmo, insura atau fisura.
11
2.2.2 Etiologi PPOK
12
2.2.4 Manifestasi Klinis PPOK
Manifestasi klinis menurut Reeves (2006) dan Mansjoer (2008) pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis adalah perkembangan gejala-gejala yang merupakan
ciri dari PPOK, yaitu :
a. Malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan
batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang muncul di pagi hari.
b. Napas pendek sedang yang berkembang menjadi napas pendek akut.
(http://eprints.ums.ac.id/34292/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf)
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar submukosa pada bronkus utama yang
menyebabkan peningkatan produksi mucus.
b. Peningkatan jumlah sel goblet yang juga memproduksi mucus.
c. Terganggunya fungsi silis, sehingga menurunkan pembersihan mucus.
Terapi non farmakologis yang dapat dilakukan meliputi edukasi, rehabilitasi, dan
terapi nutrisi.
1. Edukasi
14
Edukasi diutamakan agar pasien berhenti merokok. Selain itu juga dijelaskan
tentang jenis obat yang dikonsumsi, cara penggunaan, waktu dan dosis pemakaian
obat yang tepat
2. Rehabilitasi
3. Nutrisi
Malnutrisi merupakan hal yang sering terjadi pada PPOK. Malnutrisi pada
pasien PPOK sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi paru, penurunan
kapasitas aktifitas fisik, dan tingginya angka mortalitas. Oleh karena itu, pemberian
nutrisi yang tepat merupakan bagian dari terapi pada pasien PPOK.
Terapi Farmakologi
Bronkodilator masih menjadi fokus utama dalam penanganan sistomatik pada gejala
PPOK. Obat-obat tersebut meringankan obstruksi jalan napas dan diberikan
berdasarkan kebutuhan atau untuk mencegah dan meringankan gejala, serta
eksaserbasi. Bronkodilator biasa diberikan melalui inhalasi dan hanya pada kasus
tertentu diberikan secara oral atau intravena.
1) Agonis beta 2
Agonis beta 2 adalah obat simtomimetik yang bekerja pada otot polos saluran napas
dan menyebabkan bronkodilasi obat ini juga dapat membantu pembersihan mukus dan
memperbaiki kekuatan otot pernafasan. Dalam penggunaan obat Agonis beta 2 dapat
menimbulkan efek samping seperti takikardia, tremor, gugup, dan mual.
15
Jenis Obat Jenis Sediaan
Short Acting B2 Agonis Inhalasi Nebulisasi Oral (mg) Injeksi Durasi
(SABA) (mcg) (mg/ml) (mg) kerja
(jam)
Salbutamol 90, 100, 1, 2, 2.5, 5 2, 4, 5 0.1, 0.5 4-6 jam
200
Fenoterol 100-200 1 2.5 4-6 jam
Levalbuterol 45-90 0.1, 0.21, 0.25 0.2, 0.25,
1 6-8 jam
Terbutaline 500 2.5, 5 4-6 jam
2) Antikolinergik
16
Short Acting Inhalasi Nebulisasi Oral (mg) Injeksi Durasi
Antikolinergik (SAMA) (mcg) (mg/ml) (mg) kerja
(jam)
Iptatropium 20, 40 0.2 6-8 jam
BromideOxitropium
Long Acting
Antikolinergik (LAMA)
Aclidinium 40, 50 12-24
BromideGlycorirronium
bromide
Trotropium 2.5, 5 1 0.2 24
Umeclidinium 62.5 24
3) Metilxantina
17
Kombinasi Obat Bronkodilator
Kombinasi dari obat bronchodilator dengan mekanisme dan durasi kerja yang berbeda dapat
meningkatkan efek bronkodilatasi yang lebih lama. Kombinasi SABA dan SAMA diketahui
lebih baik dibandingkan pemberian tunggal dalam memperbaiki FEV1 dan gejala PPOK.
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid inhalasi yang dikombinasi dengan LABA pada pasien PPOK
serangan berat hingga sedang diketahui dapat memperbaiki fungsi paru dan menurunkan
eksaserbasi dibandingkan jika diberi secara tunggal. Kortikosteroid sistemik juga dapat
diberikan pada pasien dengan eksaserbasi akut. Pilihan yang biasa digunakan adalah
metilprednisolon atau prednison.
2) Mukolitik
3) Antibiotik
Terapi antibiotik empiris dapat diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut (peningkatan
sesak, batuk dan produksi sputum) dan adanya bukti suatu proses infeksi yang ditandai
dengan demam, peningkatan leukosit atau gambaran infiltrat pada foto thoraks.
18
Gejala intermiten (pada
waktu aktivitas) Beta 2 Agonis Inhalasi kerja cepat Bila perlu
Inhalasi Beta 2 agonis Fenoterol 100 mcg/ 3-4 kali sehari, 2-3
kerja cepat semprot semprot
Ipatropium bromida 20
mcg + salbutamol 100 3-4 kali sehari, 2-3
Terapi kombinasi mcg semprot
1. Inspeksi
a) Purse-lips breathing (bernapas dengan mulut mecucu dan ekspirasi yang
memanjang. Kondisi tersebut merupakan mekanisme tubuh untuk
19
mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam tubuh yang terjadi pada pasien
dengan gagal napas kronik)
2. Palpasi
3. Perkusi
4. Auskultasi
b) terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
c) ekspirasi memanjang
Pemeriksaan Penunjang
20
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Analisis gas darah
Digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan dan PPOK, pemeriksaan
menggunaan darah arteri untuk mengukur Pa02, PaC02, dan PH secara
langsung
b) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan rutin seperti Hb, Ht, leukosit, dll
c) Kultur sputum
Pengkajian mengenai bakteri, jamur, dll. Sputum sebaiknya dikumpulkan
sebelum pemberian terapi antibiotic.
d) Kultur hidung dan tenggorokan
Menggunakan apusan kasa steril yang fleksibel, kultur ini diambil untuk
mengidentifikasi bakteri abnormal, diambil sebelum diberikan antibiotic.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a) Oksimetri nadi
Mengukur jumlah cahaya yang diserap oleh hemoglobin yang tersaturasi
oksigen.
b) Biopsy pleura
Biopsy pleura diselesaikan dengan jarum pleura atau dengan pleuroskopi,
yang merupakan eksplorasi visual bronskopi serat optic yang dimasukan
kedalam spasium pleura. Biopsy pleura dilakukan ketika terdapat eksudat
pleura yang tidak diketahui alasannya dan ketika terdapat kebutuhan untuk
kultur atau pewarnaan jaringan untuk mengidentifikasi tuberculosis atau
fungi.
c) Biopsy paru
Biopsy paru bronchial menggunakan forcep pemotong yang dimasukan
dengan bronskoskop serat optic.Biopsy di indikasikan ketika dicurigai lesi
paru dan pemeriksaan sputum rutin serta pencucian bronkoskopik
menunjukan hasil negative.
d) Laringoskopi dan bronkoskopi
Pemeriksaan visual laring, trakea, dan bronki untuk membantu diagnosis
penyakit paru menggunakan serat optik fleksibel.
3. Pemeriksaan Radiologi
a) Rontgen dada/foto paru
21
Film dada dapat menunjukkan abnormalitas walaupun tidak terdapat ciri fisik
penyakit paru. Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru
berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan
bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal
melebar.
b) Computed tomography (CT)
CT scan dapat membantu mengidentifikasi emfisena dini, identifikasi pleura
atau mediastinum dan gangguan interstisial paru seperti fibrosis paru.
c) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI memiliki tujuan sama dengan CT scan tetapi tidak menggunakan radiasi
dan pemeriksaan lebih spesifik.
4. Pemeriksaan Spirometri
22
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan
spirometri merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau
lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau
dahak persisten .
Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1(Forced Expiratory
Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah volume udara
yang pasien dapat keluarkan secara pak dalam satu detik pertama setelah
inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin
dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang pasien
dapat hembuskan secara paksasetelah inspirasi penuh.
23
terjadi
24
menyebabkan hipoventilasi dan resistensi jalan napas menngkat, sehingga terjadi
ketidakseimbangan V/Q (rasio perfusi ventilasi) akhirnya pasien menjadi hipoksemia.
4. Gagal jantung
Gagal jantung, terutama cor pulmonale (gagal jantung sisi kanan yang
disebabkan oleh penyakit paru), terjadi pada bronkitis atau emfisema. Perangkap
udara, jalan napas runtuh, dan dinding alveolar yang kaku meningkatkan tekanan
jaringan paru-paru dan mempersempit pembuluh darah paru-paru, membuat aliran
darah lebih sulit. Tekanan yang meningkat menciptakan beban kerja yang berat di sisi
kanan jantung, yang memompa darah ke paru-paru. Untuk memompa darah melalui
pembuluh yang menyempit, sisi kanan jantung menghasilkan tekanan tinggi.
Menanggapi beban kerja yang berat ini, bilik kanan jantung membesar dan menebal,
menyebabkan gagal jantung sisi kanan dengan cadangan darah ke dalam sistem vena
umum.
5. Disritmia,
Disritmia jantung sering terjadi pada pasien dengan PPOK. Mereka hasil dari
hipoksemia (dari penurunan oksigen ke otot jantung), penyakit jantung lainnya, efek
obat, atau asidosis.
Seorang pasien laki – laki, 49 th, datang ke IGD dengan keluhan utama dispneu, demam, dan
batuk – batuk disertai pengeluaran sputum sekurang – kurangnya 3 bulan berturut – turut
dalam satu tahun, dan paling sedikit 2 tahun. Saat dianamnesa pasien sering berkeringat,
anoreksia, dan letarghi, pasien juga mempunyai kebiasaaan merokok sudah 6 tahun dan
pasien profesinya sehari – hari adalah seorang kondektur metro mini (angkutan bus Jakarta).
Riwayat penyakit sebelumnya pasien menderita Bronkitis tetapi pasien tidak pernah
meminum obatnya saat dilakukan pemeriksaan fisik : TTV: TD: 140/90 mmHg, Nadi
100x/menit. Suhu 38,5°C, RR: 28x/menit. Pemeriksaan penunjang : Foto Rontgen: kesan:
Tubular shadow berupa bayangan garis – garis yang paralel keluar dari hilus menuju apex
paru dan corakan paru yang bertambah. Lalu dokter mendiagnosis pasien menderita PPOK
jenis Bronkitis Kronis. Pasien bertanya kenapa bisa terkena penyakit tersebut. Lalu dokter
memberikan O2 dan terapi ekserbasi akut: Kontrimoksazol. Perawat dan dokter serta
paramedik lainnya yang terkait, melakukan perawatan secara integrasi untuk menghindari
atau mengurangi resiko komplikasi lebih lanjut.
25
26
DATA FOKUS
27
Pemeriksaan Penunjang ( Hasil lab )
Pemberian oksigen
Terapi eksaserbasi akut : Kontrimoksazol
28
ANALISA DATA
1. Ds : Ketidakefektifan bersihan jalan napas Berhubungan dengan mukus berlebihan ditandai dengan sputum
dalam jumlah yang berlebihan
Ps. mengatakan batuk – batuk
Do :
- RR : 28x/menit (meningkat)
- Pengeluaran sputum 3 bulan
berturut - turut dalam
setahun
29
Ps. mengatakan sulit bernapas
(dispnea)
Do :
- RR : 28x/menit (meningkat)
- N : 100x/menit (meningkat)
- Ps. tampak sesak napas
Do :
- S : 38,5 °C (meningkat)
- N : 100x/menit (meningkat)
- Ps. teraba hangat
4. Ds : Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan Berhubungan dengan asupan diet kurang ditandai dengan kurang
tubuh minat pada makanan dan enggan makan
Ps. mengatakan nafsu makan
30
menurun
Do :
Do :
31
32
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d mukus berlebihan ditandai 17/10/2019 18/10/2019 Kel.1
dengan sputum dalam jumlah yang berlebihan
33
2. Ketidakefektifan pola napas b.d keletihan otot pernapasan 17/10/2019 18/10/2019 Kel.1
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan 17/10/2019 18/10/2019 Kel.1
diet kurang ditandai dengan kurang minat pada makanan dan enggan
makan
34
- Domain: Nutrisi (2)
- Kelas: Makan (1)
- Kode diagnosis: 00002
- Halaman: 153
- Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik
5. 17/10/2019 18/10/2019 Kel. 1
- Domain: Aktivitas/istirahat
- Kelas:Respon kardiovaskular/pulmonal (4)
- Kode diagnosis: 00092
- Halaman: 226
- Definisi: Ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis
untuk mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari – hari yang harus atau yang ingin dilakukan
35
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
36
- Kode outcome: 0410 2) Kaji kemampuan untuk difusi luas, nekrosis, efusi pleura
- Halaman: 558 mengeluarkan mukosa/batuk 2) Pengeluaran sulit bila sekret sangat
- Definisi: Saluran efektif: Catat karakter, jumlah tebal. Sputum berdarah kental atau
trakeobronkinal yang sputum, adanya emoptisis darah cerah diakibatkan oleh kerusakan
terbuka dan lancar untuk paru atau luka bronkal dan dapat
pertukaran udara memerlukan evaluasi
c. Pengaturan Posisi
- Domain: Fisiologis: Dasar (1)
- Kelas: Manajemen immobilisasi
(C)
- Kode intervensi: 0840
- Halaman: 306
- Definisi: Menempatkan pasien
atau bagian tubuh tertentu dengan
sengaja untuk meningkatkan
kesejahteraan fungsi fisiologis
dan psikologis
1) Posisi semi fowler dapat
1) Tempatkan diatas matras atau mempermudah pasien untuk bernapas
tempat tidur semi fowler 2) Mengoptimalkan pola pernapasan
2) Dorong pasien untuk terlibat pasien sesuai dengan kondisi dan
37
dalam perbuahan posisi kemamuan pasien
3) Posisikan untuk mengurangi 3) Posisi yang sesuai dapat mengurangi
dispnea (misalnya posisi semi kesulitan bernapas
fowler) 4) Meningkatkan kenyamanan dan posisi
4) Sanggah dengan sandaran yang duduk memungkinkan pasien untuk
sesuai mengoptimalkan ekstansi paru-paru
dengan baik
d. Terapi Oksigen
- Domain: Fisiologis Kompleks (2)
- Kelas: Manajemen pernafasan (K)
- Kode intervensi: 3320
- Halaman: 444
- Definisi: Pemberian oksigen dan
pemantauan mengenai
aktivitasnya 1) Kepatenan jalan napas mempengaruhi
intake oksigen dari luar tubuh ke dalam
1) Pertahankan kepatenan jalan tubuh
napas 2) Keefektifan terapi oksigen dapat
2) Monitor efektivitas terapi membantu menentukan perlu atau
oksigen dengan tepat tidaknya terapi berikutnya
3) Anjurkan pasien untuk 3) Pasien yang memiliki kesulitan
38
mendapatkan oksigen tambahan bernapas cenderung membutuhkan
sebelum perjalanan udara atau tambahan oksigen pada ketinggian
perjalanan ke dataran tinggi tertentu
dengan cara yang tepat 4) Penggunaan oksigen tambahan selama
4) Konsultasi dengan tenaga aktifitas dan atau tidur dapat membantu
kesehatan lain mengenai pasien memenuhi kebutuhan oksigen
penggunaan oksigen tambahan saat istirahat
selama kegiatan dan atau tidur
2. Setelah dilalukan intervensi a. Fisioterapi Dada
keperawatan 1x24 jam, - Domain: Fisiologis Kompleks (2)
ketidakefektifan pola napas - Kelas: Manajemen pernafasan (K)
teratasi dengan kriteria hasil: - Kode intervensi: 3230
a. TTV dalam batas normal - Halaman: 111
- TD: 100-140/70-90 - Definisi: Membantu pasien untuk
mmHg mengeluarkan sekresi di jalan
- N: 80-100x/menit nafas dengan cara perkusi, vibrasi,
- RR: 16-20x/menit dan pengaliran postural
- S: 36,5-37,2°C
b. Status pernafasan baik 1) Lakukan fisioterapi dada minimal 1) Tapping dan clapping adalah suatu
- Domain: Kesehatan 2 jam setelah makan bentuk terapi dengan menggunakan
Fisiologis (II) 2) Jelaskan tujuan dan prosedur tangan, dalam posisi telungkup serta
- Kelas: Jantung Paru (E) tindakan fisioterapi dada kepada gerakan fleksi dan ekstensi wrist secara
39
- Kode outcome: 0415 pasien ritmis. Tujuan dari terapi clapping ini
- Halaman: 556 3) Monitor status respirasi dan adalah jalan nafas bersih, secara
- Definisi: Proses keluar kardiologi (denyut, irama nadi, mekanik dapat melepaskan sekret yang
masuknya udara ke suara, dan kedalaman napas) melekat pada dinding bronkus dan
paru-paru serta 4) Monitor jumlah dan karakteristik mempertahankan fungsi otot-otot
pertukaran sputum pernapasan
karbondioksida dan 5) Gunakan bantal untuk 2) Pasien harus memahami bahwa
oksigen di alveoli menompang posisi pasien tindakan fisioterapi dada dapat
6) Instruksi pasien untuk bermanfaat bagi penderita penyakit
mengeluarkan napas dengan respirasi yang sangat efektif dalam
napas dalam upaya mengeluarkan sekret dan
memperbaiki ventilasi pada pasien
dengan fungsi paru yang terganggu
3) Untuk mengidentifikasi secara dini
apakah ada atau tidaknya gangguan pola
napas pada pasien dan memastikan
kepatenan jalan nafas
4) Pengeluaran sulit bila sputum tebal,
sputum berdarah akibat kerusakan
paru/luka bronchial yang memerlukan
intervensi lanjut
5) Kegiatan ini dapat memperbaiki
40
ventilasi dengan mengurangi tekanan
pada dada
6) Penekanan napas dalam mampu
menguatkan upaya batuk yang dapat
memobilisasi dan membuang sekret
sesuai instruksi perawat
b. Peningkatan (Manajemen) Batuk
- Domain: Fisiologis Kompleks (2)
- Kelas: Manajemen pernafasan (K)
- Kode intervensi: 3250
- Halaman: 324
- Definisi: Meningkatkan inhalasi
dalam oleh pasien yang akan
memicu tekanan yang tinggi
dalam intra-toraks dan penekanan
pada bagian awal parenkim paru
untuk dapat mengeluarkan udara
yang kuat
41
ditekuk atau posisi fleksi dilakukan, sangat baik bagi kesehatan
2) Minta pasien untuk tarik napas punggung karena bisa membuat otot
dalam, bungkukkan ke depan, lebih santai dan tidak tegang
lakukan tiga atau empat kali 2) Membuat pernapasan yang terganggu
hembusan akibat adanya lendir atau tengah
3) Minta pasien untuk menarik napas mengalami sesak napas menjadi
dalam beberapa kali, keluarkan kembali normal
perlahan, dan batukkan diakhir 3) Bernapas lebih dalam berarti menghirup
ekshalasi lebih banyak oksigen, serta memberi
4) Tekan perut dibawah xiphoid ruang bagi paru-paru untuk
dengan tangan terbuka membantu mengembang dan menjalankan
pasien untuk fleksi ke depan fungsinya sebagaimana mestinya.
selama batuk. Minta pasien untuk Saluran napas dan udara yang lembap
batuk dilanjutkan dengan beberapa dapat memudahkan pengeluaran lendir
periode napas dalam sehingga membantu menenangkan
saluran napas.
4) Posisi yang sesuai dapat mempermudah
proses batuk dan pengeluaran
sputum/sekret yang benar.
3. Setelah dilakukan intervensi a. Monitor TTV
keperawatan 1x24 jam, 1) Observasi TTV klien 1) Mengetahui adanya perubahan keadaan
hipertermia teratasi dengan umum klien
42
kriteria hasil: b. Perawatan demam
a. TTV dalam batas normal - Domain: Fisologis Kompleks (2)
- TD: 100-140/70-90 - Kelas: Termoregulasi (M)
mmHg - Kode intervensi: 3740
- N: 80-100x/menit - Halaman: 355
- RR: 16-20x/menit - Definisi: Manajemen gejala dan
- S: 36,5-37,2°C kondisi terkait yang berhubungan
b. Status kenyamanan dengan peningkatan suhu tubuh
- Domain: Kondisi dimediasi oleh pirogen endogen
kesehatan yang dirasakan
(5) 1) Pantau suhu dan tanda-tanda vital 1) Mengetahui perubahan suhu dan
- Kelas: Kesehatan dan lainnya keadaan umum klien
kualitas hidup (U) 2) Tutupi pasien dengan selimut atau 2) Selimut dan pakaian tipis dapat
pakaian ringan, tergantung pada membuat suhu tubuh klien yang tinggi
- Kode outcome: 2008
fase demam menguap lebih cepat, menyebabkan
- Halaman: 528
3) Tingkatkan sirkulasi udara klien berkeringat dan suhu tubuh
- Definisi:: Keseluruhan
menurun
rasa nyaman dan aman
3) Sirkulasi udara yang baik dapat
individu secara fisik,
mendukung perbaikan kondisi klien
psikospiritual, sosial
budaya, dan lingkungan
4. Setelah dilalukan intervensi a. Monitor Nutrisi
43
keperawatan 1x24 jam, - Domain: Fisiologi Dasar (1)
ketidakseimbangan nutrisi - Kelas: Dukungan Nutrisi (D)
teratasi dengan kriteria hasil: - Kode intervensi: 1160
a. Status Nutrisi - Halaman: 235
- Domain: Kesehatan - Definisi: Pengumpulan dan analisis
Fisiologi (2) data pasien untuk mencegah atau
- Kelas: Pencernaan dan meminimalkan komplikasi
nutrisi (K) neurologis
- Kode outcome: 1004 1) Mengetahui berat badan klien sebelum
untuk memenuhi 3) Identifikasi perubahan nafsu tertentu yang diderita klien dan
- Domain: Kesehatan 4) Monitor status mental (misalnya, berhubungan dengan perubahan berat
Fisiologis (2) bingung, depresi dan cemas) badan. Nafsu makan yang tidak baik
dapat menimbulkan penyakit bagi klien.
- Kelas: Pencernaan dan
4) Perubahan berat badan yang disebabkan
nutrisi (K)
status mental dapat mengindikasikan
- Kode outcome: 1014
klien menderita penyakit tertentu
- Halaman: 319
seperti anoreksia
44
- Definisi: Keinginan untuk
makan
b. Terapi Nutrisi
- Domain: Fisiologi Dasar (1)
- Kelas: Dukungan Nutrisi (D)
- Kode intervensi: 1120
- Halaman: 443
- Pemberian makanan dan cairan
untuk membantu proses metabolic 1) Setiap individu memiliki kebutuhan
pada pasien malnutrisi atau (pasien) kalori yang berbeda berdasarkan
1) Tentukan jumlah kalori dan tipe 3) Klien dengan nafsu makan yang tidak
nutrisi yang diperlukan untuk baik memerlukan motivasi agar ada
ahli gizi, sesuai kebutuhan tidak dalam kondisi tubuh yang baik
45
bergizi
5. Setelah dilakukan intervensi a. Monitor TTV
1x24 jam, intervensi intoleransi 1) Kaji TTV 1) TTV merupakan acuan untuk
aktivitas teratasi dengan mengetahui keadaan umum klien
KH: b. Manajemen energi
TTV: - Domain: Fisiologis dasar (1)
TD: sistol: 100-140 - Kelas: Manajemen aktivitas dan
Diastol: 70-90 latihan (A)
N : 80-100x/menit - Kode intervensi: 0180
RR : 16-20x/menit - Halaman: 177
S : 36,5-37,2°C - Definisi: Pengaturan energi yang
digunakan untuk menangani atau
mencegah kelelahan dan
a. Konservasi Energi mengoptimalkan fungsi
- Domain: Fungsi
kesehatan (1)
- Kelas: Pemeliharaan 1) Batasi aktivitas fisik klien 1) Mencegah penggunaan energi yang
energi (A) 2) Monitor efek dan pengobatan berlebihan
- Kode outcome: 0002 klien 2) Mengetahui etiologi kelelahan,
- Halaman: 235 3) Anjurkan klien untuk membatasi apakah menimbulkan efek samping
- Definisi: Tindakan aktivitas yang cukup berat, seperti obat atau tidak
individu dalam berjalan jauh, mengangkat benda 3) Mencegah timbulnya sesak akibat
46
mengelola energi untuk berat aktivitas fisik yang terlalu berat
memulai dan
mempertahankan
aktivitas
47
2.2.9 Telaah Jurnal PPOK
Hasil Telaah Jurnal
JAKARTA
Pendahuluan
Resume Jurnal
Pursed lip breathing ini merupakan salah satu terapi intervensi keperawatan
non farmakologi dan non invasive yang dapat mengurangi sesak napas (menurunkan
frekwensi pernapasan), meningkatkan saturasi oksigen dan meningkatkan arus puncak
respirasi. Pelaksanaan praktek keperawatan berbasis bukti yang diterapkan oleh
penulis adalah latihan napas dengan metode pursed lip breathing pada pasien PPOK.
Tahap kerja yang dilakukan, Tahap pertama yaitu sambil duduk dikursi, caranya: lipat
48
tangan diatas abdomen, hirup napas melalui hidung sambil menghitung hingga 3,
membungkuk ke depan 30 sampai 40 derajat dengan kepala terangkat dengan sudut 16
sampai 18 derajat dan hembuskan dengan lambat melalui bibir yang dirapatkan sambil
menghitung hingga 7. Sedangkan tahap yang kedua yaitu sambil berjalan, caranya:
hirup napas sambil melangkah dua langkah, hembuskan napas melalui bibir yang
dirapatkan sambil berjalan empat atau lima langkah.
Lama waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tahap kerja adalah 5 sampai
dengan 10 menit. Hasil penelitiannya adalah rata – rata usia responden yaitu 61,5
tahun ± 10,4 (95% CI : 58.8 ; 68.1). Rata – rata nilai APE (Arus Puncak Ekspirasi)
sebelum intervensi adalah 131.6 ± 44.6 (95% CI: 103.2 ; 160,0) dan rata-rata nilai
APE setelah intervensi adalah 175.0 ± 60.0 (95% CI: 136.8 ; 213,1). Rata – rata nilai
saturasi oksigen sebelum intervensi adalah 92.1 ± 2.44 (95% CI: 90.6 ; 93,7), dan rata-
rata nilai saturasi oksigen setelah intervensi adalah 97,1± 1,6 (95% CI: 96,0 ; 98,2).
Rata – rata nilai respiratori rate sebelum intervensi adalah 31.5 ± 2.1 (95% CI: (95%
CI: 30.1 ; 32,8), dan rata-rata nilai respiratori rate setelah intervensi adalah 22,6 ± 1,7
(95% CI: 21,5 ; 23,7).
Implikasi
Kesimpulan
49
Rekomendasi
Intervensi keperawatan berbasis bukti yang sudah diterapkan oleh penulis, dapat
dilaksanakan oleh perawat ruangan sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan. Namun sebelum diterapkan sebaiknya dibuat dulu standar
prosedur operasional (SPO) yang disahkan oleh direktur Rumah sakit umum pusat
Persahabatan.
Santoso, Imam Aji (2015) Asuhan Keperawatan Pada Tn. A dengan Pneumothorak di
Ruang Dahlia RSUD Banyumas. Diploma thesis, Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
50
2.3 GANGGUAN PADA SISTEM PERNAFASAN (Tuberculosis Paru)
2.3.1 Pengertian, Tipe/Grade/Klasifikasi Tuberculosis Paru
2.3.1.1 Pengertian Tuberculosis Paru
Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi. (Mansjoer, 2009:
hal 472). Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan Mycobacterium
Tuberkulosis terutama menyerang parenkim paru, dapat juga ditularkan ke bagian
tubuh lainnya, termaksuk meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe. (Brunner, 2002:
hal 349).
Tuberkulosis (TB) penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis yang mampu menginfeksi secara laten maupun progresif. (Elin, 2009:
hal 918). Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis dan biasanya menjangkiti paru. (Esther, 2010: hal 193).
Tuberkulosis adalah contoh lain infeksi saluran napas bawah. Penyakit ini
disebabkan oleh mikro-organisme Mycobacterium Tuberculosis, yang biasanya
ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), orang ke orang, dan
mengkolonisasi bronkiolus atau alveolus. (Elishabeth, 2001: hal 414). Tuberculosis
adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini bisanya mengenai paru, tetapi mungkin
menyerang semua organ atau jaringan di tubuh. (Robins, 2007: hal 544). Tuberkulosis
paru merupakan penyakit infeksi menular, menyerang pada paru, disebabkan oleh
basil mycobacterium tuberkulosa (Murwani, 2009: hal 11).
51
3) Far advanced tuberculosis, terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi
keadaan moderately advanced tuberculosis.
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang
diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat:
a. Kategori 0: Tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative,
tes tuberculin negatif.
b. Kategori I: Terpajan tuberculosis, tetapi tidak terbukti ada infeksi disini riwayat
kontak positif, tes tuberculin negatif.
c. Kategori II: Terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit, tes tuberculin positif,
radiologis dan sputum negatif.
d. Kategori III: Terinfeksi tuberculosis dan sakit.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak di pakai adalah berdasarkan kelainan klinis, dan
mikro biologis:
a. Tuberculosis paru.
b. Bekas tuberculosis paru.
c. Tuberkulosis tersangka .
Tuberculosis tersangka terbagi menjadi tuberculosis tersangka yang diobati, disini
sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif. dan tuberculosis paru
tersangka yang tidak diobati, disini sputum BTA negatiaf, dan tanda-tanda lain
juga meragukan. Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan
apakah termaksuk TB paru aktif atau bekas TB paru. Dalam klsifikasi ini perlu
dicantumkan: status biakan bakteriologi, mikriskopik sputum BTA, (langsung),
biakan sputum BTA, status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberculosis
paru, dan status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkuosis.
53
Bila kuman menetap di jaringn paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil
dan disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (focus) ghon. Sarang
primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke
pleura, maka akan terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulait, terjadi
limfedenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke
seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis
maka terjadi penjalaran ke seluaruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional =
kompleks primer (ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya menjadi :
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
klasifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pnemunia yang luasnya > 5
mm dan ± 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivitas lagi karena kuman yang
dormant.
3) Berkomplikasi dan menyebar secara: perkontinuitatum, yakini menyebar ke
sekitarnya. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di
sebelahnya, kuman dapat juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus. Secara limfogen ke organ tubuh lain- lainya.
Secara hematogen ke organ tubuh lainnya. Semua kejadian di atas tergolong
dalam perjalanan tuberculosis primer.
b. Tuberculosis pasca primer (sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan mucul bertahun –
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa. Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. Tuberculosis sekunder terjadi karena imunitas menurun
seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal.
Tuberculosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
region atas paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior). Invasinya
adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakini suatu granuloma yang terdiri dari sel-
54
sel histiosit dan sel datia-langerhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua tergantung dari jumlah kuman, virulensi nya dan imunitas
pasie, sarang dini ini dapat menjadi :
1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjdai keras, menimbulakan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukan keluar maka akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula
berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan
fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).
Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan
asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang
berlebihan sitokin dengan TNF nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah
cryptic dissesminaate TB yang terjadi pada immunodifisiensi dan usia lanjut.
Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak kavitas dapat:
o Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
ini masuk ke dalam peredaran darah arteri, maka akan teradi TB Milier.
Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk ke lambung dan
selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti
perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila rupture ke pleura .
o Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma ini dapat
mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi
kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti
aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma .
o Bersih dan menyembuh disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. kadang-kadang berkahir sebagai
kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut
stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat tiga macam sarang yakini :
1) Sarang yang sudah sembuh, sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.
2) Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan
sempurna.
55
3) Sarang yang berada diantara aktif dan sembuh , sarang bentuk ini dapat
sembuh spontan tetapi mengingat kemungkinan eksaserbasi kembali,
sebaiknya di berikan pengobatan yang sempurna juga.
56
Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.
58
Menurut Sudoyo, dkk (2009 : hal 2235), pemeriksaan diagnostic yang dapat
dilakukan pada klien dengan tuberculosis Paru, yaitu :
1) Pemeriksaan radiologis (Photo Thorax)
Lokasi lesi tuberculin umumnya di daerah apex paru (segmen apical lobus
atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
(bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada
tuberculosis endobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan
sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti
awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan
ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini
dikenal dengan tuberkuloma .
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada klasifikasi bayangannya tambak
sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat
seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian
atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberculosis millier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapang paru. Gambaran radiologis lain
yang sering menyertai tuberculosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis),
massa cairan dibagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam
radioulsen di pinggir paru/pleura (pnemothorax). Pada satu foto dada sering di
dapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada tuberculosis yang sudah
lanjut) seperti infiltrate, garis-garis fibrotik, klasivikasi kavitas (non
sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.
2) Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT-
Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibandingkan dengan radiologis biasa.
Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat
transversal.
3) Magnetic Resonsnce Imaging ( MRI )
Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT-Scan, tetapi dapat mengevalusai proses-
proses dekat apek paru, tulang belakang, perbatasan dada perut. Sayatan dapat
dibuat transversal, segital dan koronal.
4) Darah
59
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitive dan tidak spesifik. Pada saat tuberculosis
baru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit sedikit meninggi dengan
hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju
endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh jumlah leukosit
kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi, laju endap darah mulai turun
kearah normal lagi.
5) Sputum (BTA)
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000
kuman dalam 1 ml sputum.
6) Tes tuberculin/ tes mantoux
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakan
diagnosis tuberculosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes
mantoux yakini dengan menyuntikan 0,1 cc tuberculin P.P.D (purified protein
derivative).
Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U dapat diberikan dulu 1 atau 2
T.U ( first strength). kadang-kadang bila dengan 5 T.U masih memberikan hasil
negative, berarti tuberculosis dapat disingkirkan, umumnya tes mantoux dengan
5 T.U. Sudah cukup berarti. Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seorang
individu sedang atau pernah terserang Mycobacterium tuberculosis,
mycobacterium bovis.
Tes mantoux ini dapat dibagi kedalam beberapa kategori yaitu :
a. Indurasi 0-5 mm (diameternya ) mantoux negative = golongan non
sensitivity.
b. Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Disini
peran antibody normal masih menonjol.
c. Indurasi 10-15 mm: mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity disini
peran antibody selular paling menonjol.
a. Komplikasi dini:
1. Pleuritis
60
Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau
tuberkulosis post primer (reaktivasi). Pada awalnya terjadi pleuritis karena
adanya fokus pada pleura sehingga pleura robek atau fokus masuk melalui
kelenjar limfe, kemudian cairan melalui sel mesotelial masuk kedalam
rongga pleura dan juga dapat masuk ke pembuluh limfe sekitar pleura. Proses
penumpukan cairan pleura karena proses peradangan. Secara tradisional,
pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi
pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan
Pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB
primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi
pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium
TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang sebelumnya
telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh
karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi
akumulasi cairan di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara umum adalah
eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung
sedikit basil TB (Light, 2002).
2. Efusi pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura
dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Efusi
cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena bukan dari primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom nefrotik dan sebagainya.
Efusi yang berbentuk eksudat karena proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboid dan akhirnya terjadi
pengeluaran cairan ke rongga pleura. Cairan pleura dibentuk dalam jumlah
kecil untuk melumasi permukaan pleura (pleura adalah selaput tipis yang
melapisi rongga dada dan membungkus paru-paru). Bisa terjadi 2 jenis efusi
yang berbeda:
a. Efusi pleura transudativa
Biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan normal di dalam
paru-paru. Jenis efusi transudativa yang paling sering ditemukan adalah
gagal jantung kongestif.
b. Efusi pleura eksudativa
61
Terjadi akibat peradangan pada pleura, yang seringkali disebabkan oleh
penyakit paru-paru. Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi
obat, asbetosis dan sarkoidosis merupakan beberapa contoh penyakit
yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa (Light, 2002).
3. Empiema
Empiema adalah penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada cavitas pleura
(Baughman, 1997). Proses penumpukan cairan pleura karena proses
peradangan. Bila peradangan karena bakteri piogenik akan membentuk pus/
nanah sehingga terjadi empiema.
4. Laringitis
Laringitis tuberkulosa sebagai akibat tuberculosis paru. Sering kali
walaupun tuberculosis paru sembuh akan tetapi laryngitis tuberkulosisnya
menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat
dengan kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila
infeksi sudah mengenai kartilago, sehingga bila infeksi telah mengenai
kartilago (Light, 2002).
5. Menjalar ke organ lain yaitu usus
Komplikasi ini bisa timbul karena penderita mengonsumsi
makanan/minuman yang tercemar bakteri TBC. Bakteri ini bisa
menyebabkan gangguan seperti penyumbatan, penyempitan, bahkan
membusuknya usus (Light, 2002).
b. Komplikasi lanjut
1. Obstruksi jalan nafas – SOPT (Syndrome Obstruksi Pasca Tuberkulosis)
Obstruksi jalan nafas Komplikasi lanjut dari TB paru karena adanya
peradangan pada sel-sel otot jalan nafas. Dari keradangan yang kronis itu
menyebabkan paralisis silia sehingga terjadi statis mukus dan adanya infeksi
kuman. Karena adanya infeksi sehingga menyebabkan erosi epitel, fibrosis,
metaplasi sel skamosa serta penebalan lapisan mukosa sehingga terjadi
obstruksi jalan nafas yang irreversibel (stenosis). Dari Infeksi tersebut terjadi
proses inflamasi yang menyebabkan bronkospasme sehingga terjadi obstruksi
jalan nafas yang reversibel. Selain itu dari proses inflamasi tadi juga dapat
menyebabkan hipertrofi hiperplasi kelenjar mukus sehingga produksi mukus
berlebih akhirnya terjadi erosi epitel, fibrosis, metaplasi skuamosa serta
penebalan lapisan mukosa sehingga terjadi obstruksi jalan nafas yang
irreversibel. Dari obstruksi tadi juga dapat menyebabkan gagal nafas
(Antariksa, 2009).
62
Sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru yang kelainan
obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT), sangat
kompleks kemungkinannya antara lain :
1) Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan, sehingga
dapat menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena
tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif.
2) Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena proses TB.
3) Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis dan
oksidasi akibat infeksi TB.
4) TB paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis
diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya proses.proteolisis dan
oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi
matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan pant yang
menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat
dideteksi secara spirometri (Wilson, 2006).
2. Amioloidosis
Amiloidosis adalah suatu penyakit dimana amiloid (suatu protein yang tidak
biasa, yang dalam keadaan normal tidak ditemukan dalam tubuh), terkumpul
dalam berbagai jaringan. Terdapat beberapa bentuk amiloidosis:
a. Amiloidosis primer.
Penyebabnya tidak diketahui. Penyakit ini dihubungkan dengan kelainan
sel plasma.
b. Amiloidosis sekunder.
Amiloidosis terjadi sekunder terhadap penyakit lain seperti tuberkulosis,
artritis rematoid, demam Mediterranian familial atau ileitis
granulomatosa.
c. Amiloidosis herediter.
Mengenai saraf dan organ tertentu. Terjadi pada orang-orang dari
Portugal, Swedia, Jepang dan banyak negara lainnya. Bentuk lain dari
amiloidosis berhubungan dengan penuaan normal dan terutama
mengenai jantung. Penyebnya biasanya tidak diketahui. Penumpukan
sejumlah besar amiloid dapat mengganggu fungsi normal berbagai organ
(Wilson, 2006).
3. CA paru
Pada awalnya terjadi karena adanya infeksi dari kuman TB yang masuk ke
dalam paru. Dalam tubuh infeksi tersebut ditangkap oleh sel stresor yang
nantinya akan diapoptosis. Jika imunitas seseorang itu baik maka orang
63
tersenut tidak sakit TB jika imun seseorang tersebut rendah maka kuman
tersebut akan menyebar ke seluruh tubuh sehingga menjadi sakit TB. Dari dari
sel stresor yang tidak mampu mengapoptosis kuman TB sel tersebut bisa
melakukan mutasi gen. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara
fungsi onkogen dan gen tumor suppresor dalam proses tumbuh kembangnya
sel. Mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan atau
hilangnya fungsi gen suppresor yamng menyebabkan sel tumbuh dan
berkembang tak terkendali sehingga menjadi ca paru (PDPI, 2003).
4. Kor Pulmunal Penyakit paru kronis menyebabkan: berkurangnya
“vascularted” paru, disebabkan oleh terdesaknya pembuluh darah pembuluh
darah oleh paruyang mengembang atau kerusakan paru, Asidosis dan
hiperkapnia, hipoksia alveolar yang merangsang vasokonstriksi pembuluh
paru, polisitemiadan hiperviskositas darah. Ke empat kelainan ini akan
menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal. Dalam jangka panjang
mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudia akan
berlanjut menjadi gagal jantung kanan (Harun, 2006).
DATA FOKUS
Nama Klien/ Umur : Tn. A (45 thn)
No. Tempat Tidur : 1
Ruang / RS : IGD – RS. UPN
64
Pasien mengatakan mengalami batuk TTV
darah TD : 130/90 mmHg
Pasien mengatakan dispneu (sesak HR : 95 x/menit
nafas) S : 38°C
Pasien mengatakan demam RR : 26 x/menit
Pasien mengatakan sering berkeringat
setiap malam Pemeriksaan Fisik
Pasien merasa lemas (malaise) Pasien terlihat sesak napas
Pasien mengatakan nyeri dada Pasien teraba hangat
Pasien tidak nafsu makan Pasien terlihat lemas
Pasien mengatakan ada keluarga yang Sputum bercampur darah
mengalami penyakit TBC Napas pendek
Anoreksia
TB : 166 cm
BB : (Sebelum:70 kg), (Setelah:55 kg)
Hasil Lab
Laju endap darah (LED) meningkat
Limfosit meningkat
Tes tuberculin (+)
Tes BTA I dan BTA II (+)
65
ANALISA DATA
Do:
RR: 26x/menit
3. Ds: Hipertermia Berhubungan
Pasien merasa lemas (Domain 11, kelas 6, kode dengan dehidrasi
Pasien mengatakan diagnosis 00007)
demam
Do:
S : 38°C
Pasien teraba hangat
4. Ds: Ketidakseimbangan nutrisi: Berhubungan
66
Pasien merasa lemas kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia
(malaise) (Domain 2, kelas 1, kode
Pasien mengatakan tidak diagnosis 00002)
nafsu makan
Do:
Berat badan menurun
67
DIAGNOSA KEPERAWATAN
69
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
70
sputum, adanya diakibatkan oleh
emoptisis kerusakan paru
atau luka bronkal
dan dapat
memerlukan
g. Pengaturan Posisi evaluasi
- Domain:
Fisiologis: Dasar
(1)
- Kelas: Manajemen
immobilisasi (C)
- Kode intervensi:
0840
- Halaman: 306
- Definisi:
Menempatkan
pasien atau bagian
tubuh tertentu
dengan sengaja 5) Posisi semi
untuk fowler dapat
meningkatkan mempermudah
kesejahteraan pasien untuk
fungsi fisiologis bernapas
dan psikologis 6) Mengoptimalkan
5) Tempatkan diatas pola pernapasan
matras atau tempat pasien sesuai
tidur semi fowler dengan kondisi
6) Dorong pasien dan kemamuan
untuk terlibat pasien
dalam perbuahan 7) Posisi yang
posisi sesuai dapat
7) Posisikan untuk mengurangi
mengurangi kesulitan
dispnea (misalnya bernapas
posisi semi 8) Meningkatkan
fowler) kenyamanan dan
8) Sanggah dengan posisi duduk
71
sandaran yang memungkinkan
sesuai pasien untuk
mengoptimalkan
ekstansi paru-
h. Terapi Oksigen paru dengan baik
- Domain: Fisiologis
Kompleks (2)
- Kelas: Manajemen
pernafasan (K)
- Kode intervensi:
3320
- Halaman: 444
- Definisi:
Pemberian oksigen 5) Kepatenan jalan
dan pemantauan napas
mengenai mempengaruhi
aktivitasnya intake oksigen
5) Pertahankan dari luar tubuh
kepatenan jalan ke dalam tubuh
napas 6) Keefektifan
6) Monitor terapi oksigen
efektivitas terapi dapat membantu
oksigen dengan menentukan
tepat perlu atau
7) Anjurkan pasien tidaknya terapi
untuk berikutnya
mendapatkan 7) Pasien yang
oksigen tambahan memiliki
sebelum kesulitan
perjalanan udara bernapas
atau perjalanan ke cenderung
dataran tinggi membutuhkan
dengan cara yang tambahan
tepat oksigen pada
8) Konsultasi dengan ketinggian
tenaga kesehatan tertentu
lain mengenai 8) Penggunaan
72
penggunaan oksigen
oksigen tambahan tambahan selama
selama kegiatan aktifitas dan atau
dan atau tidur tidur dapat
membantu pasien
memenuhi
kebutuhan
oksigen saat
istirahat
2. Setelah dilalukan d. Fisioterapi Dada
intervensi keperawatan - Domain: Fisiologis
1x24 jam, Kompleks (2)
ketidakefektifan pola - Kelas: Manajemen
napas teratasi dengan pernafasan (K)
kriteria hasil: - Kode intervensi:
c. TTV dalam batas 3230
normal - Halaman: 111
- TD: 100-140/70- - Definisi:
90 mmHg Membantu pasien 7) Tapping dan
- N: 80-100x/menit untuk clapping adalah
- RR: 16-20x/menit mengeluarkan suatu bentuk
- S: 36,5-37,2°C sekresi di jalan terapi dengan
d. Status pernafasan nafas dengan cara menggunakan
baik perkusi, vibrasi, tangan, dalam
- Domain: dan pengaliran posisi telungkup
Kesehatan postural serta gerakan
Fisiologis (II) 7) Lakukan fisioterapi fleksi dan
- Kelas: Jantung dada minimal 2 ekstensi wrist
Paru (E) jam setelah makan secara ritmis.
- Kode outcome: 8) Jelaskan tujuan dan Tujuan dari terapi
0415 prosedur tindakan clapping ini
- Halaman: 556 fisioterapi dada adalah jalan nafas
- Definisi: Proses kepada pasien bersih, secara
keluar masuknya 9) Monitor status mekanik dapat
udara ke paru- respirasi dan melepaskan
paru serta kardiologi (denyut, sekret yang
pertukaran irama nadi, suara, melekat pada
karbondioksida dan kedalaman dinding bronkus
73
dan oksigen di napas) dan
alveoli 10) Monitor jumlah mempertahankan
dan karakteristik fungsi otot-otot
sputum pernapasan
11) Gunakan bantal 8) Pasien harus
untuk menompang memahami bahwa
posisi pasien tindakan
12) Instruksi pasien fisioterapi dada
untuk dapat bermanfaat
mengeluarkan bagi penderita
napas dengan penyakit respirasi
napas dalam yang sangat
efektif dalam
upaya
mengeluarkan
sekret dan
memperbaiki
ventilasi pada
pasien dengan
fungsi paru yang
terganggu
9) Untuk
mengidentifikasi
secara dini
apakah ada atau
tidaknya
gangguan pola
napas pada pasien
dan memastikan
e. Peningkatan kepatenan jalan
(Manajemen) Batuk nafas
- Domain: Fisiologis 10) Pengeluaran sulit
Kompleks (2) bila sputum tebal,
- Kelas: Manajemen sputum berdarah
pernafasan (K) akibat kerusakan
- Kode intervensi: paru/luka
3250 bronchial yang
74
- Halaman: 324 memerlukan
- Definisi: intervensi lanjut
Meningkatkan 11) Kegiatan ini dapat
inhalasi dalam oleh memperbaiki
pasien yang akan ventilasi dengan
memicu tekanan mengurangi
yang tinggi dalam tekanan pada
intra-toraks dan dada
penekanan pada 12) Penekanan napas
bagian awal dalam mampu
parenkim paru menguatkan
untuk dapat upaya batuk yang
mengeluarkan dapat
udara yang kuat memobilisasi dan
5) Damping pasien membuang sekret
untuk bisa duduk sesuai instruksi
pada posisi dengan perawat
kepala sedikit lurus,
bahu relaks, dan
lutut ditekuk atau
posisi fleksi
6) Minta pasien untuk
tarik napas dalam,
bungkukkan ke
depan, lakukan tiga
atau empat kali
hembusan
7) Minta pasien untuk
menarik napas
dalam beberapa 5) Jika posisi duduk
kali, keluarkan yang benar sudah
perlahan, dan dilakukan, sangat
batukkan diakhir baik bagi
ekshalasi kesehatan
8) Tekan perut punggung karena
dibawah xiphoid bisa membuat
dengan tangan otot lebih santai
75
terbuka membantu dan tidak tegang
pasien untuk fleksi 6) Membuat
ke depan selama pernapasan yang
batuk. Minta pasien terganggu akibat
untuk batuk adanya lendir atau
dilanjutkan dengan tengah
beberapa periode mengalami sesak
napas dalam napas menjadi
kembali normal
7) Bernapas lebih
dalam berarti
menghirup lebih
banyak oksigen,
serta memberi
ruang bagi paru-
paru untuk
mengembang dan
menjalankan
fungsinya
sebagaimana
mestinya. Saluran
napas dan udara
yang lembap
dapat
memudahkan
pengeluaran
lendir sehingga
membantu
menenangkan
saluran napas.
8) Posisi yang sesuai
dapat
mempermudah
proses batuk dan
pengeluaran
sputum/sekret
yang benar.
3. Setelah dilalukan c. Monitor TTV
76
intervensi keperawatan 2) Observasi TTV 1) Mengetahui
1x24 jam, hipertermia klien adanya
teratasi dengan kriteria perubahan
hasil: d. Perawatan demam keadaan umum
c. TTV dalam batas - Domain: Fisologis klien
normal Kompleks (2)
- TD: 100-140/70-90 - Kelas:
mmHg Termoregulasi (M)
- N: 80-100x/menit - Kode intervensi:
- RR: 16-20x/menit 3740
- S: 36,5-37,2°C - Halaman: 355
d. Status kenyamanan - Definisi: Manajemen
- Domain: Kondisi gejala dan kondisi
kesehatan yang terkait yang
dirasakan (5) berhubungan dengan 4) Mengetahui
- Kelas: Kesehatan peningkatan suhu perubahan suhu
- Kode intervensi:
78
1120
- Halaman: 443
- Pemberian makanan
dan cairan untuk
membantu proses
metabolic pada
pasien malnutrisi
atau (pasien) yang
berisiko tinggi
mengalami 4) Setiap individu
malnutrisi memiliki
4) Tentukan jumlah kebutuhan kalori
kalori dan tipe yang berbeda
nutrisi yang berdasarkan
diperlukan untuk kondisi tubuh dan
memenuhi aktivitasnya
kebutuhan nutrisi 5) Suplemen dapat
dengan membantu
berkolaborasi meningkatkan
bersama ahli gizi, energi dan
sesuai kebutuhan imunitas klien
5) Pilih suplemen 6) Klien dengan
sesuai kebutuhan nafsu makan
6) Motivasi pasien yang tidak baik
untuk memerlukan
mengkonsumsi motivasi agar ada
makanan yang asupan yang
bergizi masuk ke dalam
tubuhnya,
terutama ketika
klien tersebut
sedang tidak
dalam kondisi
tubuh yang baik
2.3.9 Telaah Jurnal Kasus Tuberculosis Paru
Judul : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tb Paru dan Upaya
Penanggulangannya
79
a. Pendahuluan
Di Indonesia Tuberkulosis masih merupakan salah satu penyakit yang
menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat. Penderita TB di Indonesia
merupakan urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah
pasien, sekitar 10 % dari total jumlah pasien TB didunia. Penyebab utama
meningkatnya masalah TB antara lain adalah : (a) Kemiskinan pada berbagai
kelompok masyarakat, seperti pada Negara yang sedang berkembang. (b)
Kegagalan TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen
politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB ( kurang
terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat
tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus
(diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus
yang didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG,
infrastruktur kesehatan yang buruk pada Negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat. (c) Perubahan demografik karena
meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan. (d)
Dampak pandemik HIV. (Depkes 2007). Upaya penanggulangan penyakit TB
sudah dilakukan melalui berbagai program kesehatan di tingkat Puskesmas,
berupa pengembangan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS (directly observed treatment, Short course = pengawasan langsung
menelan obat jangka pendek), yang telah terbukti dapat menekan penularan, juga
mencegah perkembangannya MDR (multi drugs resistance = kekebalan ganda
terhadap obat )-TB, tetapi hasilnya masih dirasakan belum sesuai dengan yang
diharapkan. Penularan dan pemberantasan penyakit TB paru juga tidak lepas dari
aspek sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu para petugas
kesehatan seperti dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan
keterampilan agar dapat lebih sempurna untuk mendeteksi serta mendiagnosa
penyakit TB pada stadium dini. Oleh karena itu tulisan ini dibuat untuk
mengungkapkan masalah faktor sosial budaya terutama menyangkut kebiasaan
dan atau tindakan masyarakat yang kurang menunjang upaya pemberantasan
penyakit TB paru.
b. Resume Jurnal
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium
Tuberculosis. Terjadinya peningkatan kasus TB dipengaruhi oleh daya tahan
80
tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan
tempat tinggal (disitir dari http://librarv.usu.ac.id/download/fkmhiswani6.pdf
2009). Hiswani (2009) mengatakan bahwa keterpaparan penyakit TBC pada
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi, status
gizi, umur, jenis kelamin dan faktor sosial lainnya. Upaya penanganan dan
pemberantasan TB paru telah dilakukan pada awal tahun 1990 -an WHO telah
mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS. Focus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan
prioritas pasien TB tipe menular. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Helper
Manalu dkk (2009), sampai saat ini masih ada anggota masyarakat yang belum
mengetahui ada program pelayanan kesehatan TB paru gratis di Puskesmas.
Demikian pula hasil survei prevalensi tuberculosis (2004) menunjukkan bahwa
lebih dari 80 % responden ternyata tidak mengetahui adanya program obat anti
TBC gratis. Dan hanya 19 % yang mengetahui adanya pemberian obat anti TBC
gratis. (Depkes. 2004). Rendahnya pengetahuan ini akan menghambat penderita
TBC mencari pengobatan gratis atau menjadi penyebab putus berobat.
c. Implikasi
Upaya penanganan dan pemberantasan TB paru telah dilakukan pada awal tahun
1990 -an WHO telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal
sebagai strategi DOTS. Focus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan
pasien, dengan prioritas pasien TB tipe menular. Namun, dalam pelaksanaan di
lapangan, keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS ini mengalami
beberapa hambatan seperti putus berobat dan meninggal, pola hidup masayarakat
yang tidak taat kesehatan dan keterbatasan pendidikan petugas P2 TB-Paru.
d. Kesimpulan
TB paru masih merupakan masalah di negara berkembang, bahkan di negara maju
masalah ini kembali muncul dengan adanya HIV-AIDS. Berbagai upaya telah
dilakukan melalui bermacam-macam pendekatan untuk mengobati atau paling
tidak mengurangi timbulnya TB. Seperti program strategi DOTS diharapkan
dapat memberikan kesembuhan dan mencegah penularan. Namun dalam
pelaksanaan di lapangan, keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS ini
mengalami beberapa hambatan seperti putus berobat (termasuk pindah berobat)
dan meninggal sehingga tidak memberikan hasil yang maksimal. Faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan yaitu faktor sarana,
81
faktor penderita dan faktor keluarga dan masyarakat lingkungan. Akan tetapi bila
melihat realitas yang ada membuktikan bahwa pengobatan tuberkulosis tidaklah
semudah yang dipikirkan.
e. Rekomendasi
Perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan khusus program P2 TB terhadap
petugas yang belum dilatih. Upaya meningkatkan peranserta pasien dan
masyarakat dalam upaya penanggulangan TB dan memberi peningkatan
informasi yang tepat dan lengkap melalui penyuluhan yang intensif. Dan petugas
P2 TB-Paru diharapkan tidak merangkap tugas-tugas lain. Serta melakukan
pemeriksaan secara aktif, khususnya pada kelompok risiko tinggi dan status gizi
kurang untuk mengurangi risiko penularan TB paru.
Jurnal Terlampir
82
mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon (Hood Alsagaff,
1995: 73)
Pada sejumlah klien gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan
kadang – kadang asimptomatik. Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan
TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :
Keluhan Respiratoris
a. Batuk
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk bersifat
nonproduktif/produktif atau sputum bercampur darah.
a. Batuk Darah
Keluhan batuk darah pada klien dengan TB paru selalu menjadi alasan
utama klien untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa
takut klien pada darah yang keluar dari jalan napas. Perawat harus
menanyakan seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood
streak, berupa garis, atau bercak-bercak.
b. Sesak Napas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks,
anemia, dll.
c. Nyeri Dada
83
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini
timbul apabila sistem pernapasan di pleura terkena TB.
Keluhan Sistemis
a. Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam
hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin
panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek.
d. Penularan TBC
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan
pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa.
Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan
berkembangbiak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh
yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening.
Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh
seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah
bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling
sering terkena yaitu paru-paru. Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil
menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang
berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri
TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling
bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya
menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-
bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan
fotorontgen.
84
Penularan Penyakit TBC, terbagi menjadi 2 yaitu :
1) Langsung
Percikan ludah atau cairan hidung penderita TBC yang berpindah secara
langsung pada waktu mereka berbicara , berhadapan, berciuman, atau bersin.
2) Tidak Langsung
Bila penderita TB paru meludah disembarang tempat, kemudian ludah yang
mengandung kuman TB paru mengering , bertebangan dan dihirup orang lain.
a. Menyembuhkan penderita.
b. Mencegah kematian.
c. Mencegah kekambuhan.
d. Menurunkan tingkat penularan.
F. Pengobatan TBC
1. Jenis Obat :
Ø Isoniasid
Ø Rifampicin
Ø Pirasinamid
Ø Streptomicin
85
2. Prinsip Obat
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,supaya semua kuman dapat
dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan dalam dosis
tunggal,sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yangdigunakan
tidak adekuat, kuman TB akan berkembangmenjadi kuman kebal. Pengobatan
TB diberikan dalan 2 Tahap yaitu:
a) Tahap intensif
Pada tahap intensif penderita mendapat obat (minum obat) setiap hari
selama 2 - 3 bulan.
b) Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat (minum obat) tiga kali
seminggu selama 4 – 5 bulan.
86
Leaflet Edukasi Tuberkulosis
Apa Itu TB Paru? Pencegahan TB Paru
Keliat, Budi Anna, dkk. 2017. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020, Ed. 11. Jakarta: EGC.
Zettira, Zahra & Merry Indah Sari. 2017. Penatalaksanaan Kasus TB Paru dengan
Pendekatan Kedokteran Keluarga. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Link :
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/824/pdf
https://www.academia.edu/16676989/ASUHAN_KEPERAWATAN_TBC
https://www.academia.edu/83033809/Askep_KASUS_Lengkap
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/download/4078/4456
https://id.scribd.com/document/117983968/Komplikasi-Penata-Laksanana-Tb
88
LAMPIRAN 1
89
LAMPIRAN JURNAL
JAKARTA
Seven Sitorus
Email: sevens1973@yahoo.co.id
Abstract
90
based nursing can be applied to all patients COPD so reached the quality of care of
nursing based on research .
91
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember
2015
92
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2
No.2 /Desember 2015
93
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember
2015
94
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2
No.2 /Desember 2015
Tabel 1
(n) (%)
Kelamin POST
47
96
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember
2015
Puncak 0,001
Post 175.0 60.0
Ekspirasi
Rata-rata selisih nilai APE sebelum
Saturasi Pre 92.1 2.4
97
Respiratori Pre 31.5 2.1 napas pursed lip breathing.
0,001
Rate Post 22.6 1.7
98
50 ± 21% prediksi). Hasilnya:
diatas menggunakan uji Dependent T-
Signifika
Terdapat hubungan yang n
test di dapatkan nilai P value = 0.001,
antara PLB dengan sesak napas saat
yang berarti pada alpha 5% ada
pengaruh penerapan pursed lip aktivitas terutama pada Puncak
99
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2
No.2 /Desember 2015
ekpirasi pernapasan dengan nilai fungsi paru dan analisa gas darah, pola
estimasi p=0,002). Kesimpulan: pernapasan, dan otot pernapasan.
pengaruh PLB pada sesak napas terkait
Kesimpulannya: PLB dapat
dengan perubahan kenaikan tidal
memperbaiki fungsi pernapasan
volume dan puncak ekspirasi
pasien dengan penyakit primer
pernapasan.
maupun sekunder. Hubungan pola
Rata-rata selisih nilai saturasi pernapasan dengan prosedur PLB
oksigen sebelum dan sesudah digambarkan terlebih pada masalah
intervensi latihan napas pursed lip psikologis dan ventilasi yang efisien.
Adanya tahanan fase ekspirasi
breathing.
pernapasan terutama dikaitkan pada
Beranjak pada penerapan praktik keterlibatan mulut namun secara
keperawatan berbasis bukti mengenai signifikan perubahan sementara
latihan napas pursed lip breathing terjadi pada pola pernapasan dan
terhadap saturasi oksigen, dapat penggunaan otot-otot pernapasan.
disimpulkan ada pengaruh yang Hasilnya adalah tidal volume
signifikan dengan p=0,001, α 0,05. meningkat, penurunan konsumsi
hasil ini sejalan dengan penelitian oksigen, perbaikan analisa gas darah
yang dilakukan oleh G.A.de.F. (saturasi oksigen).
Fregonezi, V.R.Resqueti, and R.Guell
Rata-rata selisih nilai RR sebelum
Rous (2004). Pada artikel ini, mereka
dan sesudah intervensi
mereview artikel tentang PLB yang
latihan napas pursed lip breathing.
sudah dipublikasikan mulai tahun
1964 sampai dengan 2003 sebanyak Beranjak pada penerapan praktik
15 penelitian dengan desain RCT keperawatan berbasis bukti mengenai
(Randomized Clinical Trials) baik latihan napas pursed lip breathing
menggunakan kontrol group maupun terhadap saturasi oksigen, dapat
tidak menggunakan kontrol group. disimpulkan ada pengaruh yang
Lebih jelasnya, mereka melihat signifikan dengan p=0,001, α 0,05. Hasil
beberapa sesi mengenai salinan ini sejalan dengan penelitian yang
tulisan mengenai pengaruh PLB pada dilakukan oleh Frank J.Visser,
100
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2
No.2 /Desember 2015
KESIMPULAN
Penerapan praktek keperawatan berbasis bukti pursed lip breathing pada pasien
PPOK didapatkan hasil yang efektif sehingga dapat disimpulkan terdapat pengaruh
yang signifikan antara pemberian intervensi keperawatan latihan napas pursed lip
breathing terhadap arus puncak ekspirasi (APE), saturasi oksigen, dan respiratory
rate (RR) dengan p=0,001, α 0,05. Namun penerapan latihan napas pursed lip
breathing ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat dilaksanakan bagi pasien yang
menggunakan gigi palsu atau ompong, hal disebabkan karena akan mengganggu
tiupan pernapasan pasien pada saat ekspirasi maksimal sehingga hasil APE yang
didapat tidak akurat.
SARAN
Intervensi keperawatan berbasis bukti yang sudah diterapkan oleh penulis, Dapat
dilaksanakan oleh perawat ruangan sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan. Namun sebelum diterapkan sebaiknya dibuat dulu
standar prosedur operasional (SPO) yang disahka oleh direktur rumah sakit
umum pusat Persahaatan.
101
LAMPIRAN JURNAL 2
102
103
104
105
106
107
108
LAMPIRAN 2
109
LAMPIRAN JURNAL 3
110
111
112
113
114
115
116