Anda di halaman 1dari 117

GANGGUAN PPOK PADA SISTEM PERNAPASAN

Makalah disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Keperawatan Medikal Bedah I

Dosen Pengampu:
Ns. Fiora Ladesvita, M.Kep., Sp.Kep.MB

Disusun oleh :
Erika Deliana 1810711004 Dinda Noviyanti 1810711007

Siti Juhariyah 1810711011 Regita Siti N. 1810711013

Widya Astika S. 1810711022 Bunga Indah S. 1810711027

Alda Amatus S. 1810711028 Dinda Nur Aliya 1810711029

Nanda Syifa M. 1810711031 Mahdina Maulani1810711048

Mella Mahardika 1810711052 Likha Mahabbah 1810711078

Nur Rohmah 1810711083 Siska Agustina 1810711088

Sondang Mariani 1810711090 Zahrah Rasyida 1810711091

Widhi N. 1810711094 Dina Krismayanti1810711103

Rahmadia 1810711107 Vernanda Erlita 1810711108

Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jakarta


Fakultas Ilmu Kesehatan
S1 Keperawatan
Jakarta
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kemudahan untuk kami dalam menyusun makalah dengan judul Gangguan PPOK
Pada Sistem Pernapasan. Salawat dan salam tidak lupa kami kirimkan kepada
junjungan nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat manusia dari
peradaban hidup jahiliyah menuju peradaban hidup yang modern.

Makalah ini kami susun dengan harapan agar pembaca mengetahui


anatomi dan fisologi sistem pernapasan berserta gangguan pada sistem pernapasan
PPOK. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
saling membantu selama pembuatan makalah ini sampai dengan selesai dan tepat
waktu. Dalam pembuatan makalah ini tentu masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki
kesalahan kami.

Jakarta, 16 Oktober 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................

1.1 Latar Belakang........................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................4
1.3 Tujuan......................................................................................................4
1.4 Manfaat....................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi.................................................5


2.1.1 Klasifikasi Sistem Pernapasan.......................................................5
2.1.2 Fungsi Sistem Pernapasan..............................................................5
2.1.3 Rongga Hidung (Cavum Nasalis) .................................................6
2.1.4 Tekak (Faring) ..............................................................................6
2.1.5 Kotak Suara (Laring) ....................................................................7
2.1.6 Tenggorokan (Trakea) ...................................................................8
2.1.7 Bronkus..........................................................................................8
2.1.8 Bronkulius......................................................................................9
2.1.9 Alveolus.........................................................................................9
2.1.10 Paru-paru......................................................................................10
2.2 Gangguan Pada Sistem Respirasi............................................................11
2.2.1 Definisi PPOK................................................................................11
2.2.2 Etiologi PPOK................................................................................12
2.2.3 Patofisiologi PPOK........................................................................12
2.2.4 Manifestasi Klinis..........................................................................13
2.2.5 Penatalaksanaan PPOK..................................................................14
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang PPOK......................................................19
2.2.7 Komplikasi PPOK..........................................................................23
2.2.8 Asuhan Keperawatan PPOK..........................................................23
2.2.9 Telaah Jurnal PPOK.......................................................................25
2.2.10 Materi Edukasi.............................................................................27

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................28
2
LAMPIRAN 1.........................................................................................................29

LAMPIRAN JURNAL............................................................................................30

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Respirasi atau pernapasan merupakan pertukaran Oksigen (O 2) dan karbondioksida


(CO2) antara sel-sel tubuh serta lingkungan. Semua sel mengambil Oksigen yang akan
digunakan dalam bereaksi dengan senyawa-senyawa sederhana dalam mitokondria sel untuk
menghasilkan senyawa-senyawa kaya energi, air dan karbondioksida. Jadi, pernapasan juga
dapat di artikan sebagai proses untuk menghasilkan energi (Syaifuddin, 2009).
PPOK merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh
dunia. Data hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013 menunjukkan
bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. Prevalensi PPOK diperkirakan akan
terus meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia,
pergeseran pola penyakit infeksi yang menurun sedangkan penyakit degeneratif meningkat
serta meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara (Gantari, 2015).

1.2 RUMUSAN MASALAH

1) Bagaimana anatomi dan fisiologis sistem pernapasan?


2) Apa pengertian, etilogi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, pemeriksaan
penunjang, komplikasi, asuhan keperawatan, telaah jurnal, materi edukasi pada
gangguan sistem pernapasan PPOK?

1.3 TUJUAN

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa dan membuat


pembaca paham tentang sistem pernapasan yang mengacu pada gangguan PPOK.

1.4 MANFAAT

Makalah ini bermanfaat bagi pengajar, praktitisi kesehatan, mahasiswa, dan masyarakat
untuk memahami perihal gangguan PPOK yang patut diwaspadai dan mengatahui tentang
bahayanya dari PPOK.
4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN

Gambar 2.1 Gambar 2.2


Sumber: Learnfisiology, 2016 Sumber: Syaifuddin, 2009

2.1.1 Klasifikasi Sistem Pernapasan


Pernapasan dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Pernapasan Eksternal (luar) yaitu proses bernapas atau pengambilan Oksigen dan
pengeluaran Karbondioksida serta uap air antara organisme dan lingkungannya.
b. Pernapasan Internal (dalam) atau respirasi sel terjadi di dalam sel yaitu sitoplasma
dan mitokondria.
Sistem pernapasan terdiri atas saluran atau organ yang berhubungan dengan
pernapasan.

2.1.2 Fungsi Sistem Pernapasan


Fungsi utama sistem pernapasan adalah untuk memungkinkan ambilan
oksigen dari udara kedalam darah dan memungkinkan karbon dioksida terlepas dari
dara ke udara bebas.
Meskipun fungsi utama system pernapasan adalah pertukaran oksigen dan
karbon dioksida, masih ada fungsi-fungsi tambahan lain yaitu:
1) Tempat menghasilkan suara.

5
2) Untuk meniup (balon, kopi/the panas, tangan, alat musik dan lain
sebagainya)
3) Tertawa.
4) Menangis.
5) Bersin.
6) Batuk.
7) Homeostatis (pH darah).
8) Otot-otot pernapasan membantu kompresi abdomen (miksi, defekasi, partus).

2.1.3 Rongga Hidung (Cavum Nasalis)


Selain sebagai salah satu organ alat pernapasan manusia, hidung juga
berfungsi sebagai salah satu dari 5 indera. Hidung berfungsi sebagai alat untuk
menghirup udara, penyaring udara yang akan masuk ke paru-paru, dan sebagai indera
penciuman. Hidung terdiri atas batang hidung, cuping hidung, septum nasi, dinding
lateral hidung.
Rangka hidung bagian atas di bentuk oleh bagian-bagian di bawah ini:
1) Lamina kribrosa osisetmoidalis dan pars nasalis osis prontalis.
2) Dinding lateral: oleh tulang kerasdan tulang rawan.
3) Sekat hidung (septum nasi) oleh tulang karang dan tulang rawan.

Pada dinding lateral terdapat 4 tonjolan (conca): conca suprima, concanasalis


superior, concanasalis media, dan conca nasalis inferior. Selain itu juga terdapat celah
yang di sebut cavum nasi.

1) Prossesus spenoidalis: terletak diantara concasuprima dan concasuprior.


2) Meatus superior: terletak diantara conca superior dan concamedia.
3) Meatusnasimedia: terletak antara conca media dengan conca inverior.

Pembuluh darah hidung terdiri atas:


1) Arteri palatine.
2) Arteri Nasalis Anterior.
3) Vena Hidung Kribrosa Kribos.

Fungsi hidung antara lain:


1) Menghangatkan udara: oleh permukaan conca dan septum nasalis,setelah
melewati faring suhu udara 36 derajat celcius.
6
2) Sejumlah udara di lembabkan sebelummelewati hidung dan saat mencapai faring
kelembaban udaramenjadi 75%.
3) Udara di saring lebih banyak oleh bulu bulu hidung dan partikel di atas rongga
hidung disaring oleh rambut vestibular, lapisanmukosiliar, dan lisozim (protein
dalam air mata).
4) Pada pernafasan biasa,udara yang masuk melalui celah olfaktori sebsar 5-10%
sedangkan ketika menghirup udara dengan keras,udara pernafasan yg masuk
sebesar 20% (Syaifuddin, 2009).

2.1.4 Tekak (Faring)


Faring merupakan persimpangan antara rongga hidung ke tenggorokan
(saluran pernapasan) dan rongga mulut ke kerongkongan (saluran pencernaan). Pada
bagian belakang faring terdapat laring. Laring disebut pula pangkal tenggorok. Pada
laring terdapat pita suara dan epiglotis atau katup pangkal tenggorokan. Pada waktu
menelan makanan epiglotis menutupi laring sehingga makanan tidak masuk ke dalam
tenggorokan. Sebaliknya pada waktu bernapas epiglotis akan membuka sehingga
udara masuk ke dalam laring kemudian menuju tenggorokan.
Rongga tekak dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
1) Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana yg disebut nasofaring
2) Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring
3) Bagian bawah sekali dinamakan laringofaring (Drs. H. Syaifuddin, 1997).

Gambar 2.3
Sumber: Hajidah, 2011

2.1.5 Kotak Suara (Laring)


Laring adalah suatu katup yang rumit pada persimpangan antara lintasan
makanan dan lintasan udara. Laring terangkat dibawah lidah saat menelan dan

7
karenanya mencegah makanan masuk ke trakea. Fungsi utama pada laring adalah
untuk melindungi jalan napas atau jalan udara dari faring ke saluran napas lainnya,
namun juga sebagai organ pembentuk suara atau menghasilkan sebagian besar suara
yang dipakai berbicara dan bernyanyi.
Laring ditunjang oleh tulang-tulang rawan, diantaranya yang terpenting adalah
tulang rawan tiroid (Adam’s apple), yang khas nyata pada pria, namun kurang jelas
pada wanita. Di bawah tulang rawan ini terdapat tulang rawan krikoid, yang
berhubungan dengan trakea.
Epiglotis terletak diatas seperti katup penutup. Epiglotis adalah sekeping
tulang rawan elastis yang menutupi lubang larings sewaktu menelan dan terbuka
kembali sesudahnya. Pada dasarnya, Laring bertindak sebagai katup, menutup selama
menelan unutk mencegah aspirasi cairan atau benda padat masuk ke dalam batang
tracheobronchial.
Mamalia menghasilkan getaran dari pita suara pada dasar laring. Sumber
utama suara manusia adalah getaran pita suara (Frekuensi 50 Hertz adalah suara bas
berat sampai 1700 Hz untuk soprano tinggi). Selain pada frekuensi getaran, tinggi
rendah suara tergantung panjang dan tebalnya pita suara itu sendiri. Apabila pita lebih
panjang dan tebal pada pria menghasilkan suara lebih berat, sedangkan pada wanita
pita suara lebih pendek. Kemudian hasil akhir suara ditentukan perubahan posisi bibir,
lidah dan palatum molle.
Disamping fungsi dalam produksi suara, ada fungsi lain yang lebih penting,
yaitu Larings bertindak sebagai katup selama batuk, penutupan pita suara selama
batuk, memungkinkan terjadinya tekanan yang sangat tinggi pada batang
tracheobronchial saat otot-otot trorax dan abdominal berkontraksi, dan pada saat pita
suara terbuka, tekanan yang tinggi ini menjadi penicu ekspirasi yang sangat kuat
dalam mendorong sekresi keluar.

2.1.6 Tenggorokan (Trakea)


Tenggorokan berbentuk seperti pipa dengan panjang kurang lebih 10 cm. Di
paru-paru trakea bercabang dua membentuk bronkus. Dinding tenggorokan terdiri atas
tiga lapisan yaitu :
1)Lapisan paling luar terdiri atas jaringan ikat.
2)Lapisan tengah terdiri atas otot polos dan cincin tulang rawan. Trakea tersusun atas
16–20 cincin tulang rawan yang berbentuk huruf C. Bagian belakang cincin

8
tulang rawan ini tidak tersambung dan menempel pada esofagus. Hal ini berguna
untuk mempertahankan trakea tetap terbuka.
3)Lapisan terdalam terdiri atas jaringan epitelium bersilia yang menghasilkan banyak
lendir. Lendir ini berfungsi menangkap debu dan mikroorganisme yang masuk
saat menghirup udara.

Selanjutnya, debu dan mikroorganisme tersebut didorong oleh gerakan silia


menuju bagian belakang mulut. Akhirnya, debu dan mikroorganisme tersebut
dikeluarkan dengan cara batuk. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing
yang masuk bersama udara pernapasan.

Hubungan Trakea dengan alat sekitarnya sebagai berikut :

1) Sebelah kanan terdapat nervus pagus,arteri anonima, dan vena azigos.


2) Sebelah kiri terdapat aorta dan nervus rekurens sinistra
3) Bagian depan menyilang vena anonima sinistra dan fleksus kardiakus krokundus.
4) Bagian belakang esophagus pada sisi trachea berjalan cabang cabang nervuspagusdari
trunkus simpatikus berjalan kea rah fleksus kardiakus (Syaifuddin, 2009).

2.1.7 Bronkus
Bronkus merupakan cabang batang tenggorokan. Jumlahnya sepasang, yang
satu menuju paru-paru kanan dan yang satu menuju paru-paru kiri. Bronkus yang ke
arah kiri lebih panjang, sempit, dan mendatar daripada yang ke arah kanan. Hal inilah
yang mengakibatkan paru-paru kanan lebih mudah terserang penyakit. Struktur
dinding bronkus hampir sama dengan trakea. Perbedaannya dinding trakea lebih tebal
daripada dinding bronkus. Bronkus akan bercabang menjadi bronkiolus. Bronkus
kanan bercabang menjadi tiga bronkiolus sedangkan bronkus kiri bercabang menjadi
dua bronkiolus.

2.1.8 Bronkiolus
Bronkiolus merupakan cabang dari bronkus. Bronkiolus bercabang-cabang
menjadi saluran yang semakin halus, kecil, dan dindingnya semakin tipis. Bronkiolus
tidak mempunyai tulang rawan tetapi rongganya bersilia. Setiap bronkiolus bermuara
ke alveolus.
Bronkiolus merupakan cabang yang lebih kecil dari bronkus prinsipalis. Pada ujung
bronkioli terdapat gelembung paru atau alveoli yaitu :
9
1) Bronkus lobaris superior dekstra
2) Bronkus lobaris media dekstra
3) Bronkus lobaris inferior dekstra
4) Bronkus lobaris superior sinistra
5) Bronkus lobaris inferior sinistra (Syaifuddin, 2009).

2.1.9 Alveolus
Bronkiolus bermuara pada alveol (tunggal: alveolus), struktur berbentuk bola-
bola mungil yang diliputi oleh pembuluh-pembuluh darah. Epitel pipih yang melapisi
alveoli memudahkan darah di dalam kapiler-kapiler darah mengikat oksigen dari
udara dalam rongga alveolus.

2.1.10 Paru-paru
Paru-paru terletak di dalam rongga dada. Rongga dada dan perut dibatasi oleh
siuatu sekat disebut diafragma. Paru-paru ada dua buah yaitu paru-paru kanan dan
paru-paru kiri. Paru-paru kanan terdiri atas tiga gelambir (lobus) yaitu gelambir atas,
gelambir tengah dan gelambir bawah. Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua
gelambir yaitu gelambir atas dan gelambir bawah. Paru-paru diselimuti oleh suatu
selaput paru-paru (pleura).

Pleura dibagi menjadi dua: 1) Pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu
selaput paru yang langsung membungkus paru-paru; 2) Pleura parietal yaitu selaput
yang melapisi rongga Dada sebelah luar. Antara kedua pleura ini terdapat rongga
(kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum
(hampa udara) sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit
cairan (eksudart) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura),
menghindari gesekan antara paru –paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan
bernapas. Kapasitas maksimal paru-paru berkisar sekitar 3,5 liter.

Udara yang keluar masuk paru-paru pada waktu melakukan pernapasan biasa
disebut udara pernapasan (udara tidal). Volume udara pernapasan pada orang dewasa
lebih kurang 500 nl. Setelah kita melakukan inspirasi biasa, kita masih bisa menarik
napas sedalam-dalamnya. Udara yang dapat masuk setelah mengadakan inspirasi
biasa disebut udara komplementer, volumenya lebih kurang 1500 ml. Setelah kita
melakukan ekspirasi biasa, kita masih bisa menghembuskan napas sekuat-kuatnya.

10
Udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi biasa disebut udara
suplementer, volumenya lebih kurang 1500 ml. Walaupun kita mengeluarkan napas
dari paru-paru dengan sekuat-kuatnya ternyata dalam paru-paru masih ada udara
disebut udara residu. Volume udara residu lebih kurang 1500 ml. Jumlah volume
udara pernapasan, udara komplementer, dan udara suplementer disebut kapasitas vital
paru-paru.
Masing masing paru paru mempunyai apeks yang masing masing menjorok ke atas
2,5cm di atasklavikula fasies costalis yang berbentuk konfeks berhubungan dengan
dinding dada sedangkan pasies mediestinalis yang berbentuk conca membentuk
pericardium.pada pertengaan permukaan paruh kiri terdapat hilus pulmonalis yaitu
lekukan dimana bronkus, pembuluh darah, dan saraf masuk keparu paru membentuk
tradikspulmonalis, Apeks pulmo, basis pulmo, insura atau fisura.

2.2 GANGGUAN PADA SISTEM PERNAPASAN (PPOK)


2.2.1 Definisi PPOK
Obstruktif adalah penurunan kecepatan aliran ekspirasi atau ekspiratory flow
(Harrison’s, 2000). PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merujuk pada
beberapa hal yang menyebabkan terganggunya pergerakan udara masuk dan keluar
paru atau penurunan kecepatan aliran ekspirasi pada paru dalam jangka waktu yang
panjang. PPOK juga dapat didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan
hambatan aliran udara disaluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan
aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.
PPOK dapat terjadi sebagai hasil dari peningkatan resistansi sekunder
terhadap edema mukosa bronkus atau kontraksi otot polos. Hal tersebut juga bisa
diakibatkan oleh penurunan kelenturan, seperti pada emfisema.
PPOK merupakan penyebab utama dari morbiditas di seluruh dunia yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang progresif dan sebagian besar yang
irreversible (Macnee, 2006).

11
2.2.2 Etiologi PPOK

2.2.3 Patofisiologi PPOK

12
2.2.4 Manifestasi Klinis PPOK
Manifestasi klinis menurut Reeves (2006) dan Mansjoer (2008) pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis adalah perkembangan gejala-gejala yang merupakan
ciri dari PPOK, yaitu :

a. Malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan
batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang muncul di pagi hari.
b. Napas pendek sedang yang berkembang menjadi napas pendek akut.
(http://eprints.ums.ac.id/34292/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf)

Penyakit paru obstruksi kronis atau bronchitis obstruksi kronis merupakan


akibat dari inflamasi bronkus, yang merangsang peningkatan produksi mucus, batuk
kronis, dan kemungkinan terjadi luka pada lapisan bronkus. Berbeda dengan bronkus
13
akut, manifestasi klinis penyakit paru obstruksi kronis atau bronchitis obstruksi kronis
berlangsung minmal 3 bulan selama satu tahun dalam 2 tahun berturut-turut. Bila
klien memiliki rasio FEV/FVC kurang dari 70% setelah pemberian bronkodilator dan
bronkitis, yang menunjukan klien memiliki kombinasi penyakit obstruksi paru dengan
kronis. Penyakit paru obstruksi kronis atau bronchitis kronis ditandai dengan hal
sebagai berikut

a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar submukosa pada bronkus utama yang
menyebabkan peningkatan produksi mucus.
b. Peningkatan jumlah sel goblet yang juga memproduksi mucus.
c. Terganggunya fungsi silis, sehingga menurunkan pembersihan mucus.

Kemampuan pertahanan mukosilier paru berkurang sehingga paru akan lebih


mudah terinfeksi. Ketika terjadi infeksi, produksi mucus akan menjadi lebih banyak,
serta dinding bronkus akan meradang dan menebal. Bronchitis kronis awalnya hanya
mengenai bronkus besar, namun pada akhirnya seluruh saluran napas akan terlibat.
Mucus kental dan inflamasi bronkus akan menghalangi jalan napas, terutama saat
ekspirasi. Jalan napas yang tertutupmenyebabkan udara terjebak di bagian bawah
paru. Obstruksi ini menyebabkan ventilasi alveolus berkurang. Kemudian rasio
ventilasi-perfusi V/Q menjadi tidak normal dan berhubungan dengan PaO2. Akan
terjadi polisitemia (produksi eritrosit berlebihan), sebagai kompensasi dari
hipoksemia.

2.2.5 Penatalaksanaan PPOK


Tujuan dari terapi pada PPOK adalah untuk mengurangi gejala, mencegah
eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, serta
meningkatkan kualitas hidup penderita.

Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologis yang dapat dilakukan meliputi edukasi, rehabilitasi, dan
terapi nutrisi.

1. Edukasi

14
Edukasi diutamakan agar pasien berhenti merokok. Selain itu juga dijelaskan
tentang jenis obat yang dikonsumsi, cara penggunaan, waktu dan dosis pemakaian
obat yang tepat

2. Rehabilitasi

Rehabilitasi ditujukan untuk memperbaiki gejala sesak nafas dan toleransi


aktifitas fisik. Program dapat dilaksanakan di dalam atau diluar rumah sakit oleh suatu
tim multidispilin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, terapis respirasi dan psikolog.

3. Nutrisi

Malnutrisi merupakan hal yang sering terjadi pada PPOK. Malnutrisi pada
pasien PPOK sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi paru, penurunan
kapasitas aktifitas fisik, dan tingginya angka mortalitas. Oleh karena itu, pemberian
nutrisi yang tepat merupakan bagian dari terapi pada pasien PPOK.

Terapi Farmakologi

Bronkodilator masih menjadi fokus utama dalam penanganan sistomatik pada gejala
PPOK. Obat-obat tersebut meringankan obstruksi jalan napas dan diberikan
berdasarkan kebutuhan atau untuk mencegah dan meringankan gejala, serta
eksaserbasi. Bronkodilator biasa diberikan melalui inhalasi dan hanya pada kasus
tertentu diberikan secara oral atau intravena.

Terapi bronkodilator utama adalah agonis beta 2, antikolinergik, dan metilxantina


yang digunakan sendiri-sendiri atau secara kombinasi.

1) Agonis beta 2

Agonis beta 2 adalah obat simtomimetik yang bekerja pada otot polos saluran napas
dan menyebabkan bronkodilasi obat ini juga dapat membantu pembersihan mukus dan
memperbaiki kekuatan otot pernafasan. Dalam penggunaan obat Agonis beta 2 dapat
menimbulkan efek samping seperti takikardia, tremor, gugup, dan mual.

Jenis Obat dan Sediaan Golongan Beta 2 Agonis

15
Jenis Obat Jenis Sediaan
Short Acting B2 Agonis Inhalasi Nebulisasi Oral (mg) Injeksi Durasi
(SABA) (mcg) (mg/ml) (mg) kerja
(jam)
Salbutamol 90, 100, 1, 2, 2.5, 5 2, 4, 5 0.1, 0.5 4-6 jam
200
Fenoterol 100-200 1 2.5 4-6 jam
Levalbuterol 45-90 0.1, 0.21, 0.25 0.2, 0.25,
1 6-8 jam
Terbutaline 500 2.5, 5 4-6 jam

Long Acting B2 Agonis


(LABA)
ArformoterolFormoterol 4.5-9 12
Indacaterol 75-300 0.00750.01 24
Olodaterol 2.5, 5 24
Salmeterol 25-50 12
 

2) Antikolinergik

Antikolinergik memberikan efek bronkodilator yang lebih baik dan efek


samping yang lebih baik dibanding Agonis Beta 2. Obat ini bekerja
menghambat reseptor kolinergik yang terdapat disaluran napas yang besar,
sehingga terjadi dilatasi bronkus. Efek samping dari obat ini mulut kering,
gugup, pusing, kelelahan, dan sakit kepala.

Jenis Obat dan Sediaan Golongan Antikolinergik

Jenis Obat Jenis Sediaan

16
Short Acting Inhalasi Nebulisasi Oral (mg) Injeksi Durasi
Antikolinergik (SAMA) (mcg) (mg/ml) (mg) kerja
(jam)
Iptatropium 20, 40 0.2 6-8 jam
BromideOxitropium

Bromie 100 7-9 jam

Long Acting
Antikolinergik (LAMA)
Aclidinium 40, 50 12-24
BromideGlycorirronium
bromide
Trotropium 2.5, 5 1 0.2 24
Umeclidinium 62.5 24
 
3) Metilxantina

Metilxantina membantu pembersihan mukosilier, menstimulasi pusat


pernapasa sentral, menurunkan tahanan vascular paru, dan memperbaiki
fungsi paru selama tidur. Usia, status merokok, status sirkulasi, dan fungsi
liver merupakan faktor yang menentukan metabolism zat ini. Efek samping
dari metilxatina adalah dyspepsia, takikardia, mual, muntah( kemungkinan
keracunan), tremor, dan gugup. Jenis obat yang paling sering dipakai dari
golongan ini adalah teofilin.

Jenis Obat dan Sediaan Golongan Methylxanthine

Jenis Obat Sediaan Obat


Methylxanyhines Oral Injeksi (mg) Durasi kerja
(jam)
Aminophylline 105 mg/ml (larutan) 250, 500 Bervariasi, lebih
100-600 mg dari 24 jam
Theophylline 250, 400, 500 Bervariasi, lebih
dari 24 jam

17
Kombinasi Obat Bronkodilator

Kombinasi dari obat bronchodilator dengan mekanisme dan durasi kerja yang berbeda dapat
meningkatkan efek bronkodilatasi yang lebih lama. Kombinasi SABA dan SAMA diketahui
lebih baik dibandingkan pemberian tunggal dalam memperbaiki FEV1 dan gejala PPOK.

1) Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid inhalasi yang dikombinasi dengan LABA pada pasien PPOK
serangan berat hingga sedang diketahui dapat memperbaiki fungsi paru dan menurunkan
eksaserbasi dibandingkan jika diberi secara tunggal. Kortikosteroid sistemik juga dapat
diberikan pada pasien dengan eksaserbasi akut. Pilihan yang biasa digunakan adalah
metilprednisolon atau prednison.

2) Mukolitik

Mukolitik dapat diberikan untuk mengurangi kekentalan dan mempermudah pengeluaran


sputum. Penggunaan carbocysteine dan N-acetylcysteine diketahui dapat mengurangi
eksaserbasi.

3) Antibiotik

Terapi antibiotik empiris dapat diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut (peningkatan
sesak, batuk dan produksi sputum) dan adanya bukti suatu proses infeksi yang ditandai
dengan demam, peningkatan leukosit atau gambaran infiltrat pada foto thoraks.

Pilihan antibiotik lini pertama adalah makrolid dan amoxicillin atau makrolid. Sedangkan


untuk lini kedua dapat digunakan amoxicillin clavulanate, sefalosporin, dan kuinolon.
Gejala dan Pilihan Obat yang Bisa Digunakan

Gejala Golongan Sediaan Dosis

Tanpa gejala Tanpa obat

18
Gejala intermiten (pada
waktu aktivitas) Beta 2 Agonis Inhalasi kerja cepat Bila perlu

Ipratropium bromida 20 3-4 kali sehari, 2-3


Gejala terus menerus Antikolinergik mcg semprot

Inhalasi Beta 2 agonis Fenoterol 100 mcg/ 3-4 kali sehari, 2-3
kerja cepat semprot semprot

Salbutamol 100 3-4 kali sehari, 2-3


mcg/semprot semprot

Terbutalin 0.5 3-4 kali sehari, 2-3


mcg/semprot semprot

Prokaterol 10 3-4 kali sehari, 2-3


mcg/semprot semprot

Ipatropium bromida 20
mcg + salbutamol 100 3-4 kali sehari, 2-3
Terapi kombinasi mcg semprot

Pasien tetap mempunyai


gejala dan atau terbatas
dalam aktivitas harian
meskipun tatalaksana Prednison atau 30-40 mg/hari selama 2
adekuat Uji Kortikosteroid metilprednisolon minggu

Uji kortikosteroid Beklometason 50 mcg/ 2-4 kali/hari, 1-2


memberi respon positif Inhalasi kortikosteroid semprot semprot

200-400 mcg, 2 kali per


hari, maksimal 2400
Budesonid mcg/hari
 

2.2.6 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang PPOK


Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi
a) Purse-lips breathing (bernapas dengan mulut mecucu dan ekspirasi yang
memanjang. Kondisi tersebut merupakan mekanisme tubuh untuk

19
mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam tubuh yang terjadi pada pasien
dengan gagal napas kronik)

b) barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)

c) Penggunaan otot bantu napas.


d) Pelebaran sela iga
e) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai
f) Penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada pasien PPOK dengan
emfisema, tubuh pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips
breathing) atau blue bloater (keadaan yang khas pada bronkitis kronik, tubuh
pasien gemuk, serta terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru,
pasien juga mengalami sianosis baik di sentral maupun perife)

2. Palpasi

a) Pelebaran sela iga

3. Perkusi

a) pada kondisi emfisema hipersonor

b) batas jantung mengecil

c) letak diafragma rendah

d) hepar terdorong ke bawah

4. Auskultasi

a) suara napas vesikuler normal, atau melemah

b) terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa

c) ekspirasi memanjang

d) bunyi jantung terdengar jauh (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Pemeriksaan Penunjang

20
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Analisis gas darah
Digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan dan PPOK, pemeriksaan
menggunaan darah arteri untuk mengukur Pa02, PaC02, dan PH secara
langsung
b) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan rutin seperti Hb, Ht, leukosit, dll
c) Kultur sputum
Pengkajian mengenai bakteri, jamur, dll. Sputum sebaiknya dikumpulkan
sebelum pemberian terapi antibiotic.
d) Kultur hidung dan tenggorokan
Menggunakan apusan kasa steril yang fleksibel, kultur ini diambil untuk
mengidentifikasi bakteri abnormal, diambil sebelum diberikan antibiotic.

2. Pemeriksaan Diagnostik
a) Oksimetri nadi
Mengukur jumlah cahaya yang diserap oleh hemoglobin yang tersaturasi
oksigen.
b) Biopsy pleura
Biopsy pleura diselesaikan dengan jarum pleura atau dengan pleuroskopi,
yang merupakan eksplorasi visual bronskopi serat optic yang dimasukan
kedalam spasium pleura. Biopsy pleura dilakukan ketika terdapat eksudat
pleura yang tidak diketahui alasannya dan ketika terdapat kebutuhan untuk
kultur atau pewarnaan jaringan untuk mengidentifikasi tuberculosis atau
fungi.
c) Biopsy paru
Biopsy paru bronchial menggunakan forcep pemotong yang dimasukan
dengan bronskoskop serat optic.Biopsy di indikasikan ketika dicurigai lesi
paru dan pemeriksaan sputum rutin serta pencucian bronkoskopik
menunjukan hasil negative.
d) Laringoskopi dan bronkoskopi
Pemeriksaan visual laring, trakea, dan bronki untuk membantu diagnosis
penyakit paru menggunakan serat optik fleksibel.

3. Pemeriksaan Radiologi
a) Rontgen dada/foto paru
21
Film dada dapat menunjukkan abnormalitas walaupun tidak terdapat ciri fisik
penyakit paru. Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru
berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan
bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal
melebar.
b) Computed tomography (CT)
CT scan dapat membantu mengidentifikasi emfisena dini, identifikasi pleura
atau mediastinum dan gangguan interstisial paru seperti fibrosis paru.
c) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI memiliki tujuan sama dengan CT scan tetapi tidak menggunakan radiasi
dan pemeriksaan lebih spesifik.

Gambar 1. Foto toraks emfisema menunjukkan peningkatan lusensi, diafragma


mendatar dan ruang retrosternal melebar (Sumber: Harrison’s Principles of Internal
Medicine 18th ed., 2012: 2106)

Gambar 2. Foto toraks bronkitis kronis (Sumber: radiopaedia.org/articles/chronic-


bronchitis)

4. Pemeriksaan Spirometri

22
 Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan
spirometri merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau
lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau
dahak persisten .
 Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1(Forced Expiratory
Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah volume udara
yang pasien dapat keluarkan secara pak dalam satu detik pertama setelah
inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin
dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang pasien
dapat hembuskan secara paksasetelah inspirasi penuh.

Gejala klinis Spirometri


Derajat 0 1. Memiliki gejala batuk Normal
Beresiko PPOK kronis
2. produksi sputum, dan
dispnea
3. Ada paparan terhadap
faktor resiko.

Derajat I 1. Dengan atau tanpa batuk FEV1/FVC < 70%


PPOK ringan 2. Dengan atau tanpa FEV1 ≥ 80%.
produksi sputum.
3. Sesak napas derajat sesak
0 sampai derajat sesak 1

Derajat II 1. Dengan atau tanpa batuk. FEV1/FVC < 70%


PPOK sedang 2. Dengan atau tanpa 50% < FEV1 < 80%.
produksi sputum.
3. Sesak napas derajat sesak
2 (sesak timbul pada saat
aktivitas).

Derajat III 1. Sesak napas ketika FEV1/FVC < 70%


PPOK berat berjalan dan berpakaian. 30% < FEV1 < 50%
2. Eksaserbasi lebih sering

23
terjadi

Derajat IV 1. Pasien derajat III dengan FEV1/FVC < 70%


PPOK sangat berat gagal napas kronik. FEV1 < 30% atau < 50%.
2. Disertai komplikasi
korpulmonale atau gagal
jantung kanan

2.2.7 Komplikasi PPOK


PPOK mempengaruhi efek pertukaran gas dari semua jaringan. Komplikasi
meliputi:

1. Infeksi saluran nafas yang biasanya mengakibatkan gagal nafas akut


Infeksi saluran nafas biasanya muncul pada klien PPOK. Hal tersebut sebagai
akibat terganggunya mekanisme pertahanan normal paru dan penurunan imunitas.
Oleh karena status pernafasan sudah terganggu, infeksi biasanya mengakibatkan gagal
nafas akut dan menjadi alasan untuk perwataan di Rumah Sakit.
Risiko infeksi pernapasan meningkat karena peningkatan lendir dan oksigenasi
yang buruk. Infeksi bakteri adalah umum dan membuat manifestasi PPOK lebih
buruk dengan meningkatkan inflammation dan produksi lendir dan menginduksi lebih
banyak spasme bronkus. Aliran udara menjadi semakin terbatas, kerja pernapasan
meningkat, dan hasil dispnea.
2. Pneumotoraks spontan
Pneumothorak merupakan suatu keadaan terdapatnya udara di dalam rongga
paru pleura (Muntaqqin, 2008).Pneumotoraks spontan dapat terjadi akibat pecahnya
bleb pada emfisema. Pecahnya bleb menyebabkan pneumotoraks tertutup dan
membutuhkan pemasangan slang dada (chest tube) untuk membantu paru
mengembang kembali.
3. Hipoksemia dan asidosis
Hipoksemia dan asidosis terjadi karena pasien dengan PPOK telah
mengurangi pertukaran gas, yang menyebabkan penurunan oksigenasi dan
peningkatan kadar karbon dioksida. Masalah-masalah ini mengurangi fungsi seluler.
Seperti asma, bronchitis obstruktif dan emfisema dapat memburuk pada
malam hari. Klien sering melaporkan dispnea yang muncul saat tidur (sleep-onset
dyspnea) dan kerap terjaga dini hari. Selama tidur, terdapat penurunan tonus otot

24
menyebabkan hipoventilasi dan resistensi jalan napas menngkat, sehingga terjadi
ketidakseimbangan V/Q (rasio perfusi ventilasi) akhirnya pasien menjadi hipoksemia.
4. Gagal jantung
Gagal jantung, terutama cor pulmonale (gagal jantung sisi kanan yang
disebabkan oleh penyakit paru), terjadi pada bronkitis atau emfisema. Perangkap
udara, jalan napas runtuh, dan dinding alveolar yang kaku meningkatkan tekanan
jaringan paru-paru dan mempersempit pembuluh darah paru-paru, membuat aliran
darah lebih sulit. Tekanan yang meningkat menciptakan beban kerja yang berat di sisi
kanan jantung, yang memompa darah ke paru-paru. Untuk memompa darah melalui
pembuluh yang menyempit, sisi kanan jantung menghasilkan tekanan tinggi.
Menanggapi beban kerja yang berat ini, bilik kanan jantung membesar dan menebal,
menyebabkan gagal jantung sisi kanan dengan cadangan darah ke dalam sistem vena
umum.
5. Disritmia,
Disritmia jantung sering terjadi pada pasien dengan PPOK. Mereka hasil dari
hipoksemia (dari penurunan oksigen ke otot jantung), penyakit jantung lainnya, efek
obat, atau asidosis.

2.2.8 Asuhan Keperawatan PPOK


KASUS PPOK

Seorang pasien laki – laki, 49 th, datang ke IGD dengan keluhan utama dispneu, demam, dan
batuk – batuk disertai pengeluaran sputum sekurang – kurangnya 3 bulan berturut – turut
dalam satu tahun, dan paling sedikit 2 tahun. Saat dianamnesa pasien sering berkeringat,
anoreksia, dan letarghi, pasien juga mempunyai kebiasaaan merokok sudah 6 tahun dan
pasien profesinya sehari – hari adalah seorang kondektur metro mini (angkutan bus Jakarta).
Riwayat penyakit sebelumnya pasien menderita Bronkitis tetapi pasien tidak pernah
meminum obatnya saat dilakukan pemeriksaan fisik : TTV: TD: 140/90 mmHg, Nadi
100x/menit. Suhu 38,5°C, RR: 28x/menit. Pemeriksaan penunjang : Foto Rontgen: kesan:
Tubular shadow berupa bayangan garis – garis yang paralel keluar dari hilus menuju apex
paru dan corakan paru yang bertambah. Lalu dokter mendiagnosis pasien menderita PPOK
jenis Bronkitis Kronis. Pasien bertanya kenapa bisa terkena penyakit tersebut. Lalu dokter
memberikan O2 dan terapi ekserbasi akut: Kontrimoksazol. Perawat dan dokter serta
paramedik lainnya yang terkait, melakukan perawatan secara integrasi untuk menghindari
atau mengurangi resiko komplikasi lebih lanjut.

25
26
DATA FOKUS

Nama klien / Umur : Tn. X (49 th)


No. tempat tidur : 1
Ruang / RS : IGD – RS. UPN

No Data Subjektif Data Objektif

1. Ps. mengatakan dispneu TTV

2. Ps. mengatakan demam  TD : 140/90 mm Hg (meningkat)


 N : 100x/menit (meningkat)
3. Ps. mengatakan batuk – batuk disertai pengeluaran sputum
 RR : 28x/menit (meningkat)
4. Ps. mengatakan sebelumnya menderita bronchitis tetapi tidak minum obat  S : 38,5 °C (meningkat)

5. Ps. seorang perokok aktif

6. Ps. berprofesi sebagi kondektur metromini Pemeriksaan Fisik

 Ps. terlihat sering berkeringat


 Ps. terlihat anoreksia
 Ps. tampak letarghi (kesadaraan menurun)

27
Pemeriksaan Penunjang ( Hasil lab )

 Foto rontgen dengan hasil tubular shadow dengan bayangan gari


parallel dari hilus sampai apex paru dan corakan paru bertambah

Terapi dan obat

 Pemberian oksigen
 Terapi eksaserbasi akut : Kontrimoksazol

28
ANALISA DATA

Nama klien / Umur : Tn.X (49 th)


No. tempat tidur : 1
Ruang / RS : IGD – RS. UPN

N Data Masalah Etiologi


o

1. Ds : Ketidakefektifan bersihan jalan napas Berhubungan dengan mukus berlebihan ditandai dengan sputum
dalam jumlah yang berlebihan
Ps. mengatakan batuk – batuk

Do :

- RR : 28x/menit (meningkat)
- Pengeluaran sputum 3 bulan
berturut - turut dalam
setahun

2. Ds : Ketidakefektifan pola napas Berhubungan dengan keletihan otot pernapasan

29
Ps. mengatakan sulit bernapas
(dispnea)

Do :

- RR : 28x/menit (meningkat)
- N : 100x/menit (meningkat)
- Ps. tampak sesak napas

3. Ds : Hipetermia Berhubungan dengan penyakit

Ps. mengatakan demam

Do :

- S : 38,5 °C (meningkat)
- N : 100x/menit (meningkat)
- Ps. teraba hangat
4. Ds : Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan Berhubungan dengan asupan diet kurang ditandai dengan kurang
tubuh minat pada makanan dan enggan makan
Ps. mengatakan nafsu makan

30
menurun

Do :

- Ps. terlihat anoreksia


- Sebelum sakit makan 2x
dalam 1 porsi piring
- Selama sakit makan 1x
dalam ½ porsi piring

5. Ds : Intoleransi aktivitas Berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen ditandai dengan keletihan
Ps. mengatakan sering merasa letih

Do :

- Ps. tampak sering


berkeringat
- Ps. tampak letargi
- Ps. sering merasa letih

31
32
DIAGNOSA KEPERAWATAN

Nama klien / Umur : Tn.X (49 th)


No. tempat tidur : 1
Ruang / RS : IGD – RS.UPN

No Diagnosa Keperawatan Tanggal Tanggal Paraf &

( P&E) Ditemukan teratasi Nama jelas

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d mukus berlebihan ditandai 17/10/2019 18/10/2019 Kel.1
dengan sputum dalam jumlah yang berlebihan

- Domain: Keamanan/perlindungan (11)


- Kelas: Cedera fisik (2)
- Kode diagnosis: 00081
- Halaman: 384
- Definisi: Ketidakmampuan membersihkan sekresi atau
obstruksi dari saluran napas untuk mempertahankan bersihan
jalan napas

33
2. Ketidakefektifan pola napas b.d keletihan otot pernapasan 17/10/2019 18/10/2019 Kel.1

- Domain: Aktivitas/istirahat (4)


- Kelas:Respon kardiovaskular/pulmonal (4)
- Kode diagnosis : 00032
- Halaman : 228
- Definisi: Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi
ventilasi adekuat

3. Hipetermia b.d penyakit 17/10/2019 18/10/2019 Kel.1

- Domain: Keamanan/perlindungan (11)


- Kelas: Termoregulasi (6)
- Kode diagnosis: 00007
- Halaman: 434
- Definisi: Suhu inti tubuh diatas kisaran normal diurnal karena
kegagalan termoregulasi

4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan 17/10/2019 18/10/2019 Kel.1
diet kurang ditandai dengan kurang minat pada makanan dan enggan
makan

34
- Domain: Nutrisi (2)
- Kelas: Makan (1)
- Kode diagnosis: 00002
- Halaman: 153
- Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik
5. 17/10/2019 18/10/2019 Kel. 1

Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen ditandai dengan keletihan

- Domain: Aktivitas/istirahat
- Kelas:Respon kardiovaskular/pulmonal (4)
- Kode diagnosis: 00092
- Halaman: 226
- Definisi: Ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis
untuk mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari – hari yang harus atau yang ingin dilakukan

35
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Nama Klien/ Umur : Tn. A (45 thn)


No. Tempat Tidur : 1
Ruang / RS : IGD – RS. UPN

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Rasional Paraf


1. Setelah diberikan intervensi a. Monitor TTV
keperawatan 1x24 jam, pola 1) Observasi TTV klien 1) Mengetahui adanya perubahan keadaan
napas teratasi dengan kriteria umum klien
hasil: b. Manajemen Jalan Napas
a. TTV dalam batas normal - Domain: Fisiologis: Kompleks (2)
- TD: 100-140/70-90 - Kelas: Manajemen pernafasan (K)
mmHg - Kode intervensi: 3140
- N: 80-100x/menit - Halaman: 186
- RR: 16-20x/menit - Definisi: Fasilitasi kepatenan
- S: 36,5-37,2°C jalan nafas
b. Kepatenan jalan napas
- Domain: Kesehatan 1) Kaji adanya gangguan bunyi 1) PPOK menyebabkan efek luas pada
fisiologis (II) dengan cara aukskultasi dan paru dari bagian kecil
- Kelas: Jantung paru (E) palpasi bronchopneumonia sampai inflamasi

36
- Kode outcome: 0410 2) Kaji kemampuan untuk difusi luas, nekrosis, efusi pleura
- Halaman: 558 mengeluarkan mukosa/batuk 2) Pengeluaran sulit bila sekret sangat
- Definisi: Saluran efektif: Catat karakter, jumlah tebal. Sputum berdarah kental atau
trakeobronkinal yang sputum, adanya emoptisis darah cerah diakibatkan oleh kerusakan
terbuka dan lancar untuk paru atau luka bronkal dan dapat
pertukaran udara memerlukan evaluasi

c. Pengaturan Posisi
- Domain: Fisiologis: Dasar (1)
- Kelas: Manajemen immobilisasi
(C)
- Kode intervensi: 0840
- Halaman: 306
- Definisi: Menempatkan pasien
atau bagian tubuh tertentu dengan
sengaja untuk meningkatkan
kesejahteraan fungsi fisiologis
dan psikologis
1) Posisi semi fowler dapat
1) Tempatkan diatas matras atau mempermudah pasien untuk bernapas
tempat tidur semi fowler 2) Mengoptimalkan pola pernapasan
2) Dorong pasien untuk terlibat pasien sesuai dengan kondisi dan

37
dalam perbuahan posisi kemamuan pasien
3) Posisikan untuk mengurangi 3) Posisi yang sesuai dapat mengurangi
dispnea (misalnya posisi semi kesulitan bernapas
fowler) 4) Meningkatkan kenyamanan dan posisi
4) Sanggah dengan sandaran yang duduk memungkinkan pasien untuk
sesuai mengoptimalkan ekstansi paru-paru
dengan baik

d. Terapi Oksigen
- Domain: Fisiologis Kompleks (2)
- Kelas: Manajemen pernafasan (K)
- Kode intervensi: 3320
- Halaman: 444
- Definisi: Pemberian oksigen dan
pemantauan mengenai
aktivitasnya 1) Kepatenan jalan napas mempengaruhi
intake oksigen dari luar tubuh ke dalam
1) Pertahankan kepatenan jalan tubuh
napas 2) Keefektifan terapi oksigen dapat
2) Monitor efektivitas terapi membantu menentukan perlu atau
oksigen dengan tepat tidaknya terapi berikutnya
3) Anjurkan pasien untuk 3) Pasien yang memiliki kesulitan

38
mendapatkan oksigen tambahan bernapas cenderung membutuhkan
sebelum perjalanan udara atau tambahan oksigen pada ketinggian
perjalanan ke dataran tinggi tertentu
dengan cara yang tepat 4) Penggunaan oksigen tambahan selama
4) Konsultasi dengan tenaga aktifitas dan atau tidur dapat membantu
kesehatan lain mengenai pasien memenuhi kebutuhan oksigen
penggunaan oksigen tambahan saat istirahat
selama kegiatan dan atau tidur
2. Setelah dilalukan intervensi a. Fisioterapi Dada
keperawatan 1x24 jam, - Domain: Fisiologis Kompleks (2)
ketidakefektifan pola napas - Kelas: Manajemen pernafasan (K)
teratasi dengan kriteria hasil: - Kode intervensi: 3230
a. TTV dalam batas normal - Halaman: 111
- TD: 100-140/70-90 - Definisi: Membantu pasien untuk
mmHg mengeluarkan sekresi di jalan
- N: 80-100x/menit nafas dengan cara perkusi, vibrasi,
- RR: 16-20x/menit dan pengaliran postural
- S: 36,5-37,2°C
b. Status pernafasan baik 1) Lakukan fisioterapi dada minimal 1) Tapping dan clapping adalah suatu
- Domain: Kesehatan 2 jam setelah makan bentuk terapi dengan menggunakan
Fisiologis (II) 2) Jelaskan tujuan dan prosedur tangan, dalam posisi telungkup serta
- Kelas: Jantung Paru (E) tindakan fisioterapi dada kepada gerakan fleksi dan ekstensi wrist secara

39
- Kode outcome: 0415 pasien ritmis. Tujuan dari terapi clapping ini
- Halaman: 556 3) Monitor status respirasi dan adalah jalan nafas bersih, secara
- Definisi: Proses keluar kardiologi (denyut, irama nadi, mekanik dapat melepaskan sekret yang
masuknya udara ke suara, dan kedalaman napas) melekat pada dinding bronkus dan
paru-paru serta 4) Monitor jumlah dan karakteristik mempertahankan fungsi otot-otot
pertukaran sputum pernapasan
karbondioksida dan 5) Gunakan bantal untuk 2) Pasien harus memahami bahwa
oksigen di alveoli menompang posisi pasien tindakan fisioterapi dada dapat
6) Instruksi pasien untuk bermanfaat bagi penderita penyakit
mengeluarkan napas dengan respirasi yang sangat efektif dalam
napas dalam upaya mengeluarkan sekret dan
memperbaiki ventilasi pada pasien
dengan fungsi paru yang terganggu
3) Untuk mengidentifikasi secara dini
apakah ada atau tidaknya gangguan pola
napas pada pasien dan memastikan
kepatenan jalan nafas
4) Pengeluaran sulit bila sputum tebal,
sputum berdarah akibat kerusakan
paru/luka bronchial yang memerlukan
intervensi lanjut
5) Kegiatan ini dapat memperbaiki

40
ventilasi dengan mengurangi tekanan
pada dada
6) Penekanan napas dalam mampu
menguatkan upaya batuk yang dapat
memobilisasi dan membuang sekret
sesuai instruksi perawat
b. Peningkatan (Manajemen) Batuk
- Domain: Fisiologis Kompleks (2)
- Kelas: Manajemen pernafasan (K)
- Kode intervensi: 3250
- Halaman: 324
- Definisi: Meningkatkan inhalasi
dalam oleh pasien yang akan
memicu tekanan yang tinggi
dalam intra-toraks dan penekanan
pada bagian awal parenkim paru
untuk dapat mengeluarkan udara
yang kuat

1) Dampingi pasien untuk bisa duduk


pada posisi dengan kepala sedikit
lurus, bahu relaks, dan lutut 1) Jika posisi duduk yang benar sudah

41
ditekuk atau posisi fleksi dilakukan, sangat baik bagi kesehatan
2) Minta pasien untuk tarik napas punggung karena bisa membuat otot
dalam, bungkukkan ke depan, lebih santai dan tidak tegang
lakukan tiga atau empat kali 2) Membuat pernapasan yang terganggu
hembusan akibat adanya lendir atau tengah
3) Minta pasien untuk menarik napas mengalami sesak napas menjadi
dalam beberapa kali, keluarkan kembali normal
perlahan, dan batukkan diakhir 3) Bernapas lebih dalam berarti menghirup
ekshalasi lebih banyak oksigen, serta memberi
4) Tekan perut dibawah xiphoid ruang bagi paru-paru untuk
dengan tangan terbuka membantu mengembang dan menjalankan
pasien untuk fleksi ke depan fungsinya sebagaimana mestinya.
selama batuk. Minta pasien untuk Saluran napas dan udara yang lembap
batuk dilanjutkan dengan beberapa dapat memudahkan pengeluaran lendir
periode napas dalam sehingga membantu menenangkan
saluran napas.
4) Posisi yang sesuai dapat mempermudah
proses batuk dan pengeluaran
sputum/sekret yang benar.
3. Setelah dilakukan intervensi a. Monitor TTV
keperawatan 1x24 jam, 1) Observasi TTV klien 1) Mengetahui adanya perubahan keadaan
hipertermia teratasi dengan umum klien

42
kriteria hasil: b. Perawatan demam
a. TTV dalam batas normal - Domain: Fisologis Kompleks (2)
- TD: 100-140/70-90 - Kelas: Termoregulasi (M)
mmHg - Kode intervensi: 3740
- N: 80-100x/menit - Halaman: 355
- RR: 16-20x/menit - Definisi: Manajemen gejala dan
- S: 36,5-37,2°C kondisi terkait yang berhubungan
b. Status kenyamanan dengan peningkatan suhu tubuh
- Domain: Kondisi dimediasi oleh pirogen endogen
kesehatan yang dirasakan
(5) 1) Pantau suhu dan tanda-tanda vital 1) Mengetahui perubahan suhu dan
- Kelas: Kesehatan dan lainnya keadaan umum klien

kualitas hidup (U) 2) Tutupi pasien dengan selimut atau 2) Selimut dan pakaian tipis dapat
pakaian ringan, tergantung pada membuat suhu tubuh klien yang tinggi
- Kode outcome: 2008
fase demam menguap lebih cepat, menyebabkan
- Halaman: 528
3) Tingkatkan sirkulasi udara klien berkeringat dan suhu tubuh
- Definisi:: Keseluruhan
menurun
rasa nyaman dan aman
3) Sirkulasi udara yang baik dapat
individu secara fisik,
mendukung perbaikan kondisi klien
psikospiritual, sosial
budaya, dan lingkungan
4. Setelah dilalukan intervensi a. Monitor Nutrisi

43
keperawatan 1x24 jam, - Domain: Fisiologi Dasar (1)
ketidakseimbangan nutrisi - Kelas: Dukungan Nutrisi (D)
teratasi dengan kriteria hasil: - Kode intervensi: 1160
a. Status Nutrisi - Halaman: 235
- Domain: Kesehatan - Definisi: Pengumpulan dan analisis
Fisiologi (2) data pasien untuk mencegah atau
- Kelas: Pencernaan dan meminimalkan komplikasi
nutrisi (K) neurologis
- Kode outcome: 1004 1) Mengetahui berat badan klien sebelum

- Halaman: 551 1) Timbang BB pasien sakit

- Definisi: Sejauh mana 2) Identifikasi perubahan BB 2) Perubahan BB yang signifikan dapat


nutrisi dicerna dan diserap terakhir mengindikasikan suatu penyakit

untuk memenuhi 3) Identifikasi perubahan nafsu tertentu yang diderita klien dan

kebutuhan metabolik makan dan aktifitas akhir-akhir membantu diagnosis

b. Nafsu Makan ini 3) Nafsu makan dan aktivitas dapat

- Domain: Kesehatan 4) Monitor status mental (misalnya, berhubungan dengan perubahan berat

Fisiologis (2) bingung, depresi dan cemas) badan. Nafsu makan yang tidak baik
dapat menimbulkan penyakit bagi klien.
- Kelas: Pencernaan dan
4) Perubahan berat badan yang disebabkan
nutrisi (K)
status mental dapat mengindikasikan
- Kode outcome: 1014
klien menderita penyakit tertentu
- Halaman: 319
seperti anoreksia

44
- Definisi: Keinginan untuk
makan
b. Terapi Nutrisi
- Domain: Fisiologi Dasar (1)
- Kelas: Dukungan Nutrisi (D)
- Kode intervensi: 1120
- Halaman: 443
- Pemberian makanan dan cairan
untuk membantu proses metabolic 1) Setiap individu memiliki kebutuhan
pada pasien malnutrisi atau (pasien) kalori yang berbeda berdasarkan

yang berisiko tinggi mengalami kondisi tubuh dan aktivitasnya

malnutrisi 2) Suplemen dapat membantu


meningkatkan energi dan imunitas klien

1) Tentukan jumlah kalori dan tipe 3) Klien dengan nafsu makan yang tidak
nutrisi yang diperlukan untuk baik memerlukan motivasi agar ada

memenuhi kebutuhan nutrisi asupan yang masuk ke dalam tubuhnya,

dengan berkolaborasi bersama terutama ketika klien tersebut sedang

ahli gizi, sesuai kebutuhan tidak dalam kondisi tubuh yang baik

2) Pilih suplemen sesuai kebutuhan


3) Motivasi pasien untuk
mengkonsumsi makanan yang

45
bergizi
5. Setelah dilakukan intervensi a. Monitor TTV
1x24 jam, intervensi intoleransi 1) Kaji TTV 1) TTV merupakan acuan untuk
aktivitas teratasi dengan mengetahui keadaan umum klien
KH: b. Manajemen energi
TTV: - Domain: Fisiologis dasar (1)
TD: sistol: 100-140 - Kelas: Manajemen aktivitas dan
Diastol: 70-90 latihan (A)
N : 80-100x/menit - Kode intervensi: 0180
RR : 16-20x/menit - Halaman: 177
S : 36,5-37,2°C - Definisi: Pengaturan energi yang
digunakan untuk menangani atau
mencegah kelelahan dan
a. Konservasi Energi mengoptimalkan fungsi
- Domain: Fungsi
kesehatan (1)
- Kelas: Pemeliharaan 1) Batasi aktivitas fisik klien 1) Mencegah penggunaan energi yang
energi (A) 2) Monitor efek dan pengobatan berlebihan
- Kode outcome: 0002 klien 2) Mengetahui etiologi kelelahan,

- Halaman: 235 3) Anjurkan klien untuk membatasi apakah menimbulkan efek samping

- Definisi: Tindakan aktivitas yang cukup berat, seperti obat atau tidak

individu dalam berjalan jauh, mengangkat benda 3) Mencegah timbulnya sesak akibat

46
mengelola energi untuk berat aktivitas fisik yang terlalu berat
memulai dan
mempertahankan
aktivitas

47
2.2.9 Telaah Jurnal PPOK
Hasil Telaah Jurnal

PENERAPAN PRAKTIK KEPERAWATAN BERBASIS BUKTI PURSED


LIP BREATHING PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIK

DI RUANG RSU PUSAT PERSAHABATAN

JAKARTA

Pendahuluan

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) merupakan penyakit yang ditandai


dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Penyakit paru obstruktif kronik ini umumnya disebabkan oleh polusi udara, radang
akut saluran pernapasan yangberkepanjangan, radang kronis saluran pernapasan,
gangguan sistem imunitas paru, sekret bronkus yang berlebihan (Halim Danusantoso,
2014). Hasil studi pendahuluan yang di lakukan penulis melalui unit medical record
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan (2014), terdapat 1280 orang pasien PPOK
yang dirawat dan 92 orang pasien yang dilakukan perawatan di IGD selama enam
bulan terakhir. Tujuan penatalaksanaan pada pasien PPOK ini memperbaiki exercise
tolerance (Slamet H, dkk, 2013). Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan
dalam memperbaiki exercise tolerance adalah latihan pernapasan seperti pursed lip
breathing (PLB). Purse-lip breathing adalah suatu teknik pernapasan yang dilakukan
untuk mengeluarkan udara dengan menciptakan kekuatan melalui
merapatkan/memonyongkan bibir (Jadranka Sphahija, Michael de Marchie and
Alejandro Grassino, 2005).

Resume Jurnal

Pursed lip breathing ini merupakan salah satu terapi intervensi keperawatan
non farmakologi dan non invasive yang dapat mengurangi sesak napas (menurunkan
frekwensi pernapasan), meningkatkan saturasi oksigen dan meningkatkan arus puncak
respirasi. Pelaksanaan praktek keperawatan berbasis bukti yang diterapkan oleh
penulis adalah latihan napas dengan metode pursed lip breathing pada pasien PPOK.
Tahap kerja yang dilakukan, Tahap pertama yaitu sambil duduk dikursi, caranya: lipat
48
tangan diatas abdomen, hirup napas melalui hidung sambil menghitung hingga 3,
membungkuk ke depan 30 sampai 40 derajat dengan kepala terangkat dengan sudut 16
sampai 18 derajat dan hembuskan dengan lambat melalui bibir yang dirapatkan sambil
menghitung hingga 7. Sedangkan tahap yang kedua yaitu sambil berjalan, caranya:
hirup napas sambil melangkah dua langkah, hembuskan napas melalui bibir yang
dirapatkan sambil berjalan empat atau lima langkah.

Lama waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tahap kerja adalah 5 sampai
dengan 10 menit. Hasil penelitiannya adalah rata – rata usia responden yaitu 61,5
tahun ± 10,4 (95% CI : 58.8 ; 68.1). Rata – rata nilai APE (Arus Puncak Ekspirasi)
sebelum intervensi adalah 131.6 ± 44.6 (95% CI: 103.2 ; 160,0) dan rata-rata nilai
APE setelah intervensi adalah 175.0 ± 60.0 (95% CI: 136.8 ; 213,1). Rata – rata nilai
saturasi oksigen sebelum intervensi adalah 92.1 ± 2.44 (95% CI: 90.6 ; 93,7), dan rata-
rata nilai saturasi oksigen setelah intervensi adalah 97,1± 1,6 (95% CI: 96,0 ; 98,2).
Rata – rata nilai respiratori rate sebelum intervensi adalah 31.5 ± 2.1 (95% CI: (95%
CI: 30.1 ; 32,8), dan rata-rata nilai respiratori rate setelah intervensi adalah 22,6 ± 1,7
(95% CI: 21,5 ; 23,7).

Implikasi

Penatalaksanaan pada pasien PPOK ini dapat mencegah progresif penyakit,


menghilangkan gejala, memperbaiki status kesehatan, mencegah dan mengobati
penyulit, menurunkan mortalitas, mencegah dan mengobati eksaserbasi, memperbaiki
exercise tolerance. Namun penerapan latihan napas pursed lip breathing ini
mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat dilaksanakan bagi pasien yang menggunakan
gigi palsu atau ompong, hal disebabkan karena akan mengganggu tiupan pernapasan
pasien pada saat ekspirasi maksimal sehingga hasil APE yang didapat tidak akurat.

Kesimpulan

Penerapan praktek keperawatan berbasis bukti pursed lip breathing pada


pasien PPOK didapatkan hasil yang efektif sehingga dapat disimpulkan terdapat
pengaruh yang signifikan antara pemberian intervensi keperawatan latihan napas
pursed lip breathing terhadap arus puncak ekspirasi (APE), saturasi oksigen, dan
respiratory rate (RR).

49
Rekomendasi

Intervensi keperawatan berbasis bukti yang sudah diterapkan oleh penulis, dapat
dilaksanakan oleh perawat ruangan sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan. Namun sebelum diterapkan sebaiknya dibuat dulu standar
prosedur operasional (SPO) yang disahkan oleh direktur Rumah sakit umum pusat
Persahabatan.

2.2.10 Materi Edukasi PPOK


Terlampir.

2.2.11 Daftar Pustaka


Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2011. Global
Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2018. Global
Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease.
Ignatavicius & Workman. (2006). Medical Surgical Nursing Patient-Centered
Collaborative Care. Eight edition. Vol. 2. Elsevier sauders : Ohia.
Joyce M. Black & Jane Hokanson Hawks. (). Keperawatan Medikal Bedah
Manajemen Klinis Untuk Hasil yang Diharapkan. Edisi 8. Buku 1. Elsevier.
Mangunnegoro H, dkk. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronis : Pedoman Diagnosis
& Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Permatasari, Cintia Yuniasih. 2016. Studi Penggunaan Kortikosteroid Pada Pasien
Penyakit Paru Obstruksi Kronis di RSUD DR. Soetomo Surabaya. Surabaya.
Universitas Airlangga

Santoso, Imam Aji (2015) Asuhan Keperawatan Pada Tn. A dengan Pneumothorak di
Ruang Dahlia RSUD Banyumas. Diploma thesis, Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.

Susanti, Putri Fitriana Eka. (2015).“Eka Influence Of Smoking On Chronic


Obstructive Pulmonary Disease (Copd)”.J MAJORITY, Vol.4, No.5, hlm.67-75.

Syaifuddin. 2009. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC

50
2.3 GANGGUAN PADA SISTEM PERNAFASAN (Tuberculosis Paru)
2.3.1 Pengertian, Tipe/Grade/Klasifikasi Tuberculosis Paru
2.3.1.1 Pengertian Tuberculosis Paru
Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi. (Mansjoer, 2009:
hal 472). Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan Mycobacterium
Tuberkulosis terutama menyerang parenkim paru, dapat juga ditularkan ke bagian
tubuh lainnya, termaksuk meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe. (Brunner, 2002:
hal 349).
Tuberkulosis (TB) penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis yang mampu menginfeksi secara laten maupun progresif. (Elin, 2009:
hal 918). Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis dan biasanya menjangkiti paru. (Esther, 2010: hal 193).
Tuberkulosis adalah contoh lain infeksi saluran napas bawah. Penyakit ini
disebabkan oleh mikro-organisme Mycobacterium Tuberculosis, yang biasanya
ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), orang ke orang, dan
mengkolonisasi bronkiolus atau alveolus. (Elishabeth, 2001: hal 414). Tuberculosis
adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini bisanya mengenai paru, tetapi mungkin
menyerang semua organ atau jaringan di tubuh. (Robins, 2007: hal 544). Tuberkulosis
paru merupakan penyakit infeksi menular, menyerang pada paru, disebabkan oleh
basil mycobacterium tuberkulosa (Murwani, 2009: hal 11).

2.3.1.2 Klasifikasi Tuberculosis Paru


Menurut Sudoyo, dkk (2009 : hal 2233), klasifikasi tuberculosis Paru, yaitu :
a. Pembagian secara patologis:
1) Tuberculosis primer (childhood tuberculosis).
2) Tuberculosis post-primer ( adult tuberculosis)
b. Pembagian secara aktivitas radiologis tuberculosis paru (Koch Pulmonum) aktif ,
non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)
c. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
1) Tuberculosis minimal, terdapat sebagian kecil infiltrate nonka-vitas pada satu
paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
2)  Moderately advanced tuberculosis, ada kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm. jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih dari sepertiga bagian
satu paru.

51
3)  Far advanced tuberculosis, terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi
keadaan moderately advanced tuberculosis.
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang
diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat:
a. Kategori 0: Tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative,
tes tuberculin negatif.
b. Kategori I: Terpajan tuberculosis, tetapi tidak terbukti ada infeksi disini riwayat
kontak positif, tes tuberculin negatif.
c. Kategori II: Terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit, tes tuberculin positif,
radiologis dan sputum negatif.
d. Kategori III: Terinfeksi tuberculosis dan sakit.

Di Indonesia klasifikasi yang banyak di pakai adalah berdasarkan kelainan klinis, dan
mikro biologis:
a. Tuberculosis paru.
b. Bekas tuberculosis paru.
c. Tuberkulosis tersangka .
Tuberculosis tersangka terbagi menjadi tuberculosis tersangka yang diobati, disini
sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif. dan tuberculosis paru
tersangka yang tidak diobati, disini sputum BTA negatiaf, dan tanda-tanda lain
juga meragukan. Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan
apakah termaksuk TB paru aktif atau bekas TB paru. Dalam klsifikasi ini perlu
dicantumkan: status biakan bakteriologi, mikriskopik sputum BTA, (langsung),
biakan sputum BTA, status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberculosis
paru, dan status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkuosis.

WHO berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yaitu:


a. Kategori I, ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru
dengan bentuk TB berat.
b. Kategori II, ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan sputum
BTA positif.
c. Kategori III ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan yang tidak
luas dan kasus TB ekstra paru selain yang disebutkan dalam kategori I
d. Kategori IV ditujikan kepada : TB kronik.

2.3.2 Etiologi Tuberculosis Paru


Penyebab penyakit tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosis
dan Mycobacterium Bovis. Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5 – 4 mikron x 0,3 –
0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau
52
tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari
lipoid (terutama asam mikolat).
Bakteri ini mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan terhadap pencucian
warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA),
serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberculosis juga tahan dalam
keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan anaerob.
Bakteri tuberculosis ini mati pada pemanasan 100 0C selama 5 – 10 menit atau
pada pemanasan 60 oC selama 30 menit, dan dengan 70 – 95 % selama 15- 30 detik.
Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap
(bisa berbulan-bulan), dapaat hidup bertahun-tahun di dalam lemari es, hal ini terjadi
karena kuman berada dalam sifat dorman. Dari sifat dorman ini kuman dapat bangkit
kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi, namun tidak tahan terhadap sinar
atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90 %
udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali partukaran udara.
Di dalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni di dalam
sitoplasma makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya
karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru – paru lebih tinggi
dari bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberculosis. (Widoyono, 2008: hal 15).

2.3.3 Patofisiologi Tuberculosis Paru


Menurut Sudoyo, dkk (2009 : hal 2232), proses perjalanan penyakit tuberculosis Paru,
yaitu:
a. Tuberkulosis primer
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana
yang lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari - hari sampai berbulan – bulan.
Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran
napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <
5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofi, kemudian baru
oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh
makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama dengan gerakan silia
bersama sekretnya.

53
Bila kuman menetap di jaringn paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil
dan disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (focus) ghon. Sarang
primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke
pleura, maka akan terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulait, terjadi
limfedenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke
seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis
maka terjadi penjalaran ke seluaruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional =
kompleks primer (ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya menjadi :
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
klasifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pnemunia yang luasnya > 5
mm dan ± 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivitas lagi karena kuman yang
dormant.
3) Berkomplikasi dan menyebar secara: perkontinuitatum, yakini menyebar ke
sekitarnya. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di
sebelahnya, kuman dapat juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus. Secara limfogen ke organ tubuh lain- lainya.
Secara hematogen ke organ tubuh lainnya. Semua kejadian di atas tergolong
dalam perjalanan tuberculosis primer.
b. Tuberculosis pasca primer (sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan mucul bertahun –
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa. Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. Tuberculosis sekunder terjadi karena imunitas menurun
seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal.
Tuberculosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
region atas paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior). Invasinya
adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakini suatu granuloma yang terdiri dari sel-

54
sel histiosit dan sel datia-langerhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua tergantung dari jumlah kuman, virulensi nya dan imunitas
pasie, sarang dini ini dapat menjadi :
1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjdai keras, menimbulakan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukan keluar maka akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula
berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan
fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).
Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan
asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang
berlebihan sitokin dengan TNF nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah
cryptic dissesminaate TB yang terjadi pada immunodifisiensi dan usia lanjut.
Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak kavitas dapat:
o Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
ini masuk ke dalam peredaran darah arteri, maka akan teradi TB Milier.
Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk ke lambung dan
selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti
perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila rupture ke pleura .
o Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma ini dapat
mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi
kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti
aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma .
o Bersih dan menyembuh disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. kadang-kadang berkahir sebagai
kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut
stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat tiga macam sarang yakini :
1) Sarang yang sudah sembuh, sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.
2) Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan
sempurna.

55
3) Sarang yang berada diantara aktif dan sembuh , sarang bentuk ini dapat
sembuh spontan tetapi mengingat kemungkinan eksaserbasi kembali,
sebaiknya di berikan pengobatan yang sempurna juga.

2.3.4 Tanda dan Gejala Tuberculosis Paru


Menurut Sudoyo, dkk (2009: hal 2234), Tanda dan gejala tuberculosis Paru, yaitu :
 Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza tetapi panas badan kadang-
kadang dapat mencapai 40-41 oC. serangan demam pertama dapat sembuh
sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang
timbulnya demam influsnza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas
dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.
 Batuk atau batuk darah
Gejala ini banyak di temukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus.
Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-prosuk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus di setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada
setelah batuk berkembang dalam jaringan paru yakini setelah berminggu-
minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering (non Produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah
pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus
dinding bronkus.
 Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru.
 Nyeri dada
gejala ini agak jarang ditemukan, nyeri dada tibul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya.
 Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat randang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa aneroksia, tidak ada nafsu maka, badan makin kurus (berat
badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain.

56
Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.

2.3.5 Penatalaksanaan Medis Tuberculosis Paru


Menurut (Widuyono, 2008: hal 18), pengobatan yangdapat diberikan pada
klien dengan tuberculosis Paru, yaitu :
a. Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC baru.
b. Kategori II (2 HRZES / HRZE/5 H3R3E3) untuk pasien ulangan (pasien yang
pengobatan kategori 1 nya gagal).
c. Kategori III (2 HR/ 4H3R3) untuk pasien yang baru dengan BTA negative RO
positif
d. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila ada pemeriksaan akhir tahap
intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II ditemuukan BTA
positif. Obat diminum sekaligus 1 jam sebelum sarapan pagi.

Dosis pemberian obat kategori 1:

a. Tahap permulaan diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE) :


1) INH (H) : 300 mg – 1 tablet.
2) Rimfapisin (R) : 450 mg - 1 kaplet
3) Pirazinamid (P) :1500 mg - 3 kaplet @ 500 mg
4) Ethambutol (E) : 750 mg – 3 kaplet @250 mg
Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif sebanyak 60 kali regimen
ini di sebut kombipak II b    
b. Tahap lanjutan diberikan tiga kali dalam semingggu selang 4 bulan (4 H3R3) :
1) INH (H) : 600 mg – 2 tablet @ 300 mg
2) Rimfapisin (R) : 450 mg – 1 kaplet
Obat tersebut diminum 3 kali dalam seminggu (intermiten) sebanyak 54 kali
regimen ini disebut kombipak III.
Menurut Mansjoer (2000 : hal 474 ), pembedahan pada TB Paru.
Peranan pembedahan dengan adanya OAT yang poten telah berkembang. Indikasi
pembedahan dibedakan menjadi indikasi mutlak dan indikasi relative.
1) Indikasi mutlak pembedahan adalah:
 Semua pasien yang telah mendapat OAT tetapi sputum tetap posoitif.
 Pasien batuk darah masih tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
 Pasien dengan fisula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
2) Indikasi relative pembedahan adalah:
 Pasien dengan sputum negative dan batuk-batuk darah perulang
57
 Kerusakan 1 paru atau lobus dengan keluhan
 Sisa kavitas yang menetap.

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang Tuberculosis Paru


Menurut Mansjoer, dkk (1999 :hal 472), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
pada klien dengan tuberculosis Paru, yaitu :
a) Laboratorium darah rutin : LED normal / meningkat, limfositosis.
b) Pemeriksaan sputum BTA : untuk memastikan diagnostik TB paru, namun
pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30 – 70 % pasien yang dapat
didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
c) Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk
menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
d) Tes Mantoux / Tuberkulin
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk
menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
e) Tehnik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun hanya
satu mikroorganisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya resistensi.
f) Becton Dickinson diagnostic instrument Sistem (BACTEC)
Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam
lemak oleh mikobakterium tuberculosis.
g) MYCODOT
Deteksi antibody memakai antigen liporabinomannan yang direkatkan pada suatu
alat berbentuk seperti sisir plastic, kemudian dicelupkan dalam jumlah memadai
memakai warna sisir akan berubah.
h) Pemeriksaan radiology : Rontgen thorax PA dan lateral

Gambaran foto thorax yang menunjang diagnosis TB, yaitu :


 Bayangan lesi terletak di lapangan paru atas atau segment apikal lobus bawah
 Bayangan berwarna ( patchy ) atau bercak ( nodular )
 Adanya kavitas, tunggal atau ganda
 Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru
 Adanya klasifikasi
 Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
 Bayangan millier

58
Menurut Sudoyo, dkk (2009 : hal 2235), pemeriksaan diagnostic yang dapat
dilakukan pada klien dengan tuberculosis Paru, yaitu :
1) Pemeriksaan radiologis (Photo Thorax)
Lokasi lesi tuberculin umumnya di daerah apex paru (segmen apical lobus
atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
(bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada
tuberculosis endobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan
sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti
awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan
ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini
dikenal dengan tuberkuloma .
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada klasifikasi bayangannya tambak
sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat
seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian
atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberculosis millier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapang paru. Gambaran radiologis lain
yang sering menyertai tuberculosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis),
massa cairan dibagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam
radioulsen di pinggir paru/pleura (pnemothorax). Pada satu foto dada sering di
dapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada tuberculosis yang sudah
lanjut) seperti infiltrate, garis-garis fibrotik, klasivikasi kavitas (non
sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.
2) Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT-
Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibandingkan dengan radiologis biasa.
Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat
transversal.
3) Magnetic Resonsnce Imaging ( MRI )
Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT-Scan, tetapi dapat mengevalusai proses-
proses dekat apek paru, tulang belakang, perbatasan dada perut. Sayatan dapat
dibuat transversal, segital dan koronal.
4) Darah

59
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitive dan tidak spesifik. Pada saat tuberculosis
baru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit sedikit meninggi dengan
hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju
endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh jumlah leukosit
kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi, laju endap darah mulai turun
kearah normal lagi.
5) Sputum (BTA)
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000
kuman dalam 1 ml sputum.
6) Tes tuberculin/ tes mantoux
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakan
diagnosis tuberculosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes
mantoux yakini dengan menyuntikan 0,1 cc tuberculin P.P.D (purified protein
derivative).
Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U dapat diberikan dulu 1 atau 2
T.U ( first strength). kadang-kadang bila dengan 5 T.U masih memberikan hasil
negative, berarti tuberculosis dapat disingkirkan, umumnya tes mantoux dengan
5 T.U. Sudah cukup berarti. Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seorang
individu sedang atau pernah terserang Mycobacterium tuberculosis,
mycobacterium bovis.
Tes mantoux ini dapat dibagi kedalam beberapa kategori yaitu :
a. Indurasi 0-5 mm (diameternya ) mantoux negative = golongan non
sensitivity.
b. Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Disini
peran antibody normal masih menonjol.
c. Indurasi 10-15 mm: mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity disini
peran antibody selular paling menonjol.

2.3.7 Komplikasi Tuberculosis Paru


Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut (Bahar,
2007):

a. Komplikasi dini:
1. Pleuritis

60
Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau
tuberkulosis post primer (reaktivasi). Pada awalnya terjadi pleuritis karena
adanya fokus pada pleura sehingga pleura robek atau fokus masuk melalui
kelenjar limfe, kemudian cairan melalui sel mesotelial masuk kedalam
rongga pleura dan juga dapat masuk ke pembuluh limfe sekitar pleura. Proses
penumpukan cairan pleura karena proses peradangan. Secara tradisional,
pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi
pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan
Pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB
primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi
pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium
TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang sebelumnya
telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh
karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi
akumulasi cairan di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara umum adalah
eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung
sedikit basil TB (Light, 2002).
2. Efusi pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura
dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Efusi
cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena bukan dari primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom nefrotik dan sebagainya.
Efusi yang berbentuk eksudat karena proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboid dan akhirnya terjadi
pengeluaran cairan ke rongga pleura. Cairan pleura dibentuk dalam jumlah
kecil untuk melumasi permukaan pleura (pleura adalah selaput tipis yang
melapisi rongga dada dan membungkus paru-paru). Bisa terjadi 2 jenis efusi
yang berbeda:
a. Efusi pleura transudativa
Biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan normal di dalam
paru-paru. Jenis efusi transudativa yang paling sering ditemukan adalah
gagal jantung kongestif.
b. Efusi pleura eksudativa

61
Terjadi akibat peradangan pada pleura, yang seringkali disebabkan oleh
penyakit paru-paru. Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi
obat, asbetosis dan sarkoidosis merupakan beberapa contoh penyakit
yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa (Light, 2002).
3. Empiema
Empiema adalah penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada cavitas pleura
(Baughman, 1997). Proses penumpukan cairan pleura karena proses
peradangan. Bila peradangan karena bakteri piogenik akan membentuk pus/
nanah sehingga terjadi empiema.
4. Laringitis
Laringitis tuberkulosa sebagai akibat tuberculosis paru. Sering kali
walaupun tuberculosis paru sembuh akan tetapi laryngitis tuberkulosisnya
menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat
dengan kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila
infeksi sudah mengenai kartilago, sehingga bila infeksi telah mengenai
kartilago (Light, 2002).
5. Menjalar ke organ lain yaitu usus
Komplikasi ini bisa timbul karena penderita mengonsumsi
makanan/minuman yang tercemar bakteri TBC. Bakteri ini bisa
menyebabkan gangguan seperti penyumbatan, penyempitan, bahkan
membusuknya usus (Light, 2002).

b. Komplikasi lanjut
1. Obstruksi jalan nafas – SOPT (Syndrome Obstruksi Pasca Tuberkulosis)
Obstruksi jalan nafas Komplikasi lanjut dari TB paru karena adanya
peradangan pada sel-sel otot jalan nafas. Dari keradangan yang kronis itu
menyebabkan paralisis silia sehingga terjadi statis mukus dan adanya infeksi
kuman. Karena adanya infeksi sehingga menyebabkan erosi epitel, fibrosis,
metaplasi sel skamosa serta penebalan lapisan mukosa sehingga terjadi
obstruksi jalan nafas yang irreversibel (stenosis). Dari Infeksi tersebut terjadi
proses inflamasi yang menyebabkan bronkospasme sehingga terjadi obstruksi
jalan nafas yang reversibel. Selain itu dari proses inflamasi tadi juga dapat
menyebabkan hipertrofi hiperplasi kelenjar mukus sehingga produksi mukus
berlebih akhirnya terjadi erosi epitel, fibrosis, metaplasi skuamosa serta
penebalan lapisan mukosa sehingga terjadi obstruksi jalan nafas yang
irreversibel. Dari obstruksi tadi juga dapat menyebabkan gagal nafas
(Antariksa, 2009).

62
Sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru yang kelainan
obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT), sangat
kompleks kemungkinannya antara lain :
1) Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan, sehingga
dapat menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena
tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif.
2) Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena proses TB.
3) Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis dan
oksidasi akibat infeksi TB.
4) TB paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis
diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya proses.proteolisis dan
oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi
matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan pant yang
menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat
dideteksi secara spirometri (Wilson, 2006).
2. Amioloidosis
Amiloidosis adalah suatu penyakit dimana amiloid (suatu protein yang tidak
biasa, yang dalam keadaan normal tidak ditemukan dalam tubuh), terkumpul
dalam berbagai jaringan. Terdapat beberapa bentuk amiloidosis:
a. Amiloidosis primer.
Penyebabnya tidak diketahui. Penyakit ini dihubungkan dengan kelainan
sel plasma.
b. Amiloidosis sekunder.
Amiloidosis terjadi sekunder terhadap penyakit lain seperti tuberkulosis,
artritis rematoid, demam Mediterranian familial atau ileitis
granulomatosa.
c. Amiloidosis herediter.
Mengenai saraf dan organ tertentu. Terjadi pada orang-orang dari
Portugal, Swedia, Jepang dan banyak negara lainnya. Bentuk lain dari
amiloidosis berhubungan dengan penuaan normal dan terutama
mengenai jantung. Penyebnya biasanya tidak diketahui. Penumpukan
sejumlah besar amiloid dapat mengganggu fungsi normal berbagai organ
(Wilson, 2006).
3. CA paru
Pada awalnya terjadi karena adanya infeksi dari kuman TB yang masuk ke
dalam paru. Dalam tubuh infeksi tersebut ditangkap oleh sel stresor yang
nantinya akan diapoptosis. Jika imunitas seseorang itu baik maka orang

63
tersenut tidak sakit TB jika imun seseorang tersebut rendah maka kuman
tersebut akan menyebar ke seluruh tubuh sehingga menjadi sakit TB. Dari dari
sel stresor yang tidak mampu mengapoptosis kuman TB sel tersebut bisa
melakukan mutasi gen. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara
fungsi onkogen dan gen tumor suppresor dalam proses tumbuh kembangnya
sel. Mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan atau
hilangnya fungsi gen suppresor yamng menyebabkan sel tumbuh dan
berkembang tak terkendali sehingga menjadi ca paru (PDPI, 2003).
4. Kor Pulmunal Penyakit paru kronis menyebabkan: berkurangnya
“vascularted” paru, disebabkan oleh terdesaknya pembuluh darah pembuluh
darah oleh paruyang mengembang atau kerusakan paru, Asidosis dan
hiperkapnia, hipoksia alveolar yang merangsang vasokonstriksi pembuluh
paru, polisitemiadan hiperviskositas darah. Ke empat kelainan ini akan
menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal. Dalam jangka panjang
mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudia akan
berlanjut menjadi gagal jantung kanan (Harun, 2006).

2.3.8 Asuhan Keperawatan Tuberculosis Paru


KASUS
Seorang buruh pabrik berusia 45 tahun datang ke IGD Rumah Sait UPN. Dengan
keluhan utama batuk darah, dispneu dan demam. Saat dilakukan anamnesa pasien
setiap malam sering berkeringat, anoreksia, TTV: TD: 130/90 mmHg, HR: 95x/mnt,
Suhu: 38°C, RR: 26x/mnt, BB menurun. BB menurun. BB sebelumnya: 70 kg, BB
saat ini: 55 kg. malise dan nyeri dada. Pasien mengatakan ada keluarga yang
menglami penyakit TBC. Hasil pemeriksaan lab LED meningkat, limfosit meningkat,
tes tuberculin (+) dan tes BTA I dan II (+) dan dokter mendiagnosis suspect TB Paru.
Dokter memberikan oksigen/nasal kanul dan terapi OAT dan menganjuran kepada
pasien untuk tidak boleh putus OAT-nya.

DATA FOKUS
Nama Klien/ Umur : Tn. A (45 thn)
No. Tempat Tidur : 1
Ruang / RS : IGD – RS. UPN

Data Subjektif Data Objektif

64
 Pasien mengatakan mengalami batuk TTV
darah  TD : 130/90 mmHg
 Pasien mengatakan dispneu (sesak  HR : 95 x/menit
nafas)  S : 38°C
 Pasien mengatakan demam  RR : 26 x/menit
 Pasien mengatakan sering berkeringat
setiap malam Pemeriksaan Fisik
 Pasien merasa lemas (malaise)  Pasien terlihat sesak napas
 Pasien mengatakan nyeri dada  Pasien teraba hangat
 Pasien tidak nafsu makan  Pasien terlihat lemas
 Pasien mengatakan ada keluarga yang  Sputum bercampur darah
mengalami penyakit TBC  Napas pendek
 Anoreksia
 TB : 166 cm
 BB : (Sebelum:70 kg), (Setelah:55 kg)

Hasil Lab
 Laju endap darah (LED) meningkat
 Limfosit meningkat
 Tes tuberculin (+)
 Tes BTA I dan BTA II (+)

Terapi dan obat


 Terapi OAT
 Oksigen/nasal kanul

65
ANALISA DATA

Nama Klien/ Umur : Tn. A (45 thn)


No. Tempat Tidur : 1
Ruang / RS : IGD – RS. UPN

No. Data Masalah Etiologi


1. Ds : Ketidakefektifan bersihan jalan Berhubungan
 Pasien mengatakan napas dengan
batuk darah (Domain 11, kelas 2, kode penumpukan
 Pasien mengatakan diagnosis 00031) sekret
dispnea (sesak)
 Pasien mengatakan
demam
 Pasien mengatakan
merasa lemas
Do :
 TD: 130/90 mmHg
 HR: 95 x/menit
 S : 38°C
 RR : 26 x/menit
 BB : (Sebelum:70 kg),
(Setelah:55 kg)
2. Ds: Ketidakefektifan pola napas Berhubungan
Pasien mengatakan dispneu (Domain 4, kelas 4, kode dengan dispnea
(sesak nafas) diagnosis 00032)

Do:
RR: 26x/menit
3. Ds: Hipertermia Berhubungan
 Pasien merasa lemas (Domain 11, kelas 6, kode dengan dehidrasi
 Pasien mengatakan diagnosis 00007)
demam
Do:
 S : 38°C
 Pasien teraba hangat
4. Ds: Ketidakseimbangan nutrisi: Berhubungan

66
 Pasien merasa lemas kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia
(malaise) (Domain 2, kelas 1, kode
 Pasien mengatakan tidak diagnosis 00002)
nafsu makan
Do:
Berat badan menurun

67
DIAGNOSA KEPERAWATAN

Nama Klien/ Umur : Tn. A (45 thn)


No. Tempat Tidur : 1
Ruang / RS : IGD – RS. UPN

No Diagnosa Keperawatan (P&E) Tanggal Tanggal Paraf dan


. Ditemukan Teratasi Nama Jelas

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas,


berhubungan dengan penumpukan sekret
- Domain: Keamanan/perlindungan (11)
- Kelas: Cedera fisik (2)
- Kode diagnosis: 00031
25/03/2019 26/03/2019
- Halaman: 384
- Definisi: Ketidakmampuan
membersihkan sekresi atau obstruksi
dari saluran napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas
2. Ketidakefektifan pola napas, berhubungan
dengan dispnea
Domain: Aktivitas/istirahat (4)
Kelas: Respons kardiovaskular/pulmonal
(4) 25/03/2019 26/03/2019
Kode diagnosis: 00032
Halaman: 229
Definisi: Inspirasi dan/atau ekspirasi yang
tidak memberi ventilasi adekuat
3. Hipertermia, berhubungan dengan
dehidrasi
Domain: Keamanan/perlindungan (11)
Kelas: Termoregulasi (6)
Kode diagnosis: 00007 25/03/2019 26/03/2019
Halaman: 434
Definisi: Suhu inti tubuh diatas kisaran
normal diurnal karena kegagalan
termoregulasi
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari 25/03/2019 26/03/2019
68
kebutuhan tubuh, berhubungan dengan
anoreksia
Domain: Nutrisi (2)
Kelas: Makan (1)
Kode diagnosis: 00002
Halaman: 153
Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik

69
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Nama Klien/ Umur : Tn. A (45 thn)


No. Tempat Tidur : 1
Ruang / RS : IGD – RS. UPN

No Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional Paraf


Diagnos Hasil
a
1. Setelah diberikan e. Monitor TTV
intervensi keperawatan 2) Observasi TTV 2) Mengetahui
1x24 jam, pola napas klien adanya
teratasi dengan kriteria perubahan
hasil: f. Manajemen Jalan keadaan umum
c. TTV dalam batas Napas klien
normal - Domain:
- TD: 100-140/70- Fisiologis:
90 mmHg Kompleks (2)
- N: 80-100x/menit - Kelas: Manajemen
- RR: 16-20x/menit pernafasan (K)
- S: 36,5-37,2°C - Kode intervensi:
d. Kepatenan jalan 3140
napas - Halaman: 186 3) TB paru
- Domain: - Definisi: Fasilitasi menyebabkan
Kesehatan kepatenan jalan efek luas pada
fisiologis (II) nafas paru dari bagian
- Kelas: Jantung 3) Kaji adanya kecil
paru (E) gangguan bunyi bronchopneumon
- Kode outcome: dengan cara ia sampai
0410 aukskultasi dan inflamasi difusi
- Halaman: 558 palpasi luas, nekrosis,
- Definisi: Saluran 4) Kaji kemampuan efusi pleura
trakeobronkinal untuk 4) Pengeluaran sulit
yang terbuka dan mengeluarkan bila sekret sangat
lancar untuk mukosa/batuk tebal. Sputum
pertukaran udara efektif: Catat berdarah kental
karakter, jumlah atau darah cerah

70
sputum, adanya diakibatkan oleh
emoptisis kerusakan paru
atau luka bronkal
dan dapat
memerlukan
g. Pengaturan Posisi evaluasi
- Domain:
Fisiologis: Dasar
(1)
- Kelas: Manajemen
immobilisasi (C)
- Kode intervensi:
0840
- Halaman: 306
- Definisi:
Menempatkan
pasien atau bagian
tubuh tertentu
dengan sengaja 5) Posisi semi
untuk fowler dapat
meningkatkan mempermudah
kesejahteraan pasien untuk
fungsi fisiologis bernapas
dan psikologis 6) Mengoptimalkan
5) Tempatkan diatas pola pernapasan
matras atau tempat pasien sesuai
tidur semi fowler dengan kondisi
6) Dorong pasien dan kemamuan
untuk terlibat pasien
dalam perbuahan 7) Posisi yang
posisi sesuai dapat
7) Posisikan untuk mengurangi
mengurangi kesulitan
dispnea (misalnya bernapas
posisi semi 8) Meningkatkan
fowler) kenyamanan dan
8) Sanggah dengan posisi duduk

71
sandaran yang memungkinkan
sesuai pasien untuk
mengoptimalkan
ekstansi paru-
h. Terapi Oksigen paru dengan baik
- Domain: Fisiologis
Kompleks (2)
- Kelas: Manajemen
pernafasan (K)
- Kode intervensi:
3320
- Halaman: 444
- Definisi:
Pemberian oksigen 5) Kepatenan jalan
dan pemantauan napas
mengenai mempengaruhi
aktivitasnya intake oksigen
5) Pertahankan dari luar tubuh
kepatenan jalan ke dalam tubuh
napas 6) Keefektifan
6) Monitor terapi oksigen
efektivitas terapi dapat membantu
oksigen dengan menentukan
tepat perlu atau
7) Anjurkan pasien tidaknya terapi
untuk berikutnya
mendapatkan 7) Pasien yang
oksigen tambahan memiliki
sebelum kesulitan
perjalanan udara bernapas
atau perjalanan ke cenderung
dataran tinggi membutuhkan
dengan cara yang tambahan
tepat oksigen pada
8) Konsultasi dengan ketinggian
tenaga kesehatan tertentu
lain mengenai 8) Penggunaan

72
penggunaan oksigen
oksigen tambahan tambahan selama
selama kegiatan aktifitas dan atau
dan atau tidur tidur dapat
membantu pasien
memenuhi
kebutuhan
oksigen saat
istirahat
2. Setelah dilalukan d. Fisioterapi Dada
intervensi keperawatan - Domain: Fisiologis
1x24 jam, Kompleks (2)
ketidakefektifan pola - Kelas: Manajemen
napas teratasi dengan pernafasan (K)
kriteria hasil: - Kode intervensi:
c. TTV dalam batas 3230
normal - Halaman: 111
- TD: 100-140/70- - Definisi:
90 mmHg Membantu pasien 7) Tapping dan
- N: 80-100x/menit untuk clapping adalah
- RR: 16-20x/menit mengeluarkan suatu bentuk
- S: 36,5-37,2°C sekresi di jalan terapi dengan
d. Status pernafasan nafas dengan cara menggunakan
baik perkusi, vibrasi, tangan, dalam
- Domain: dan pengaliran posisi telungkup
Kesehatan postural serta gerakan
Fisiologis (II) 7) Lakukan fisioterapi fleksi dan
- Kelas: Jantung dada minimal 2 ekstensi wrist
Paru (E) jam setelah makan secara ritmis.
- Kode outcome: 8) Jelaskan tujuan dan Tujuan dari terapi
0415 prosedur tindakan clapping ini
- Halaman: 556 fisioterapi dada adalah jalan nafas
- Definisi: Proses kepada pasien bersih, secara
keluar masuknya 9) Monitor status mekanik dapat
udara ke paru- respirasi dan melepaskan
paru serta kardiologi (denyut, sekret yang
pertukaran irama nadi, suara, melekat pada
karbondioksida dan kedalaman dinding bronkus
73
dan oksigen di napas) dan
alveoli 10) Monitor jumlah mempertahankan
dan karakteristik fungsi otot-otot
sputum pernapasan
11) Gunakan bantal 8) Pasien harus
untuk menompang memahami bahwa
posisi pasien tindakan
12) Instruksi pasien fisioterapi dada
untuk dapat bermanfaat
mengeluarkan bagi penderita
napas dengan penyakit respirasi
napas dalam yang sangat
efektif dalam
upaya
mengeluarkan
sekret dan
memperbaiki
ventilasi pada
pasien dengan
fungsi paru yang
terganggu
9) Untuk
mengidentifikasi
secara dini
apakah ada atau
tidaknya
gangguan pola
napas pada pasien
dan memastikan
e. Peningkatan kepatenan jalan
(Manajemen) Batuk nafas
- Domain: Fisiologis 10) Pengeluaran sulit
Kompleks (2) bila sputum tebal,
- Kelas: Manajemen sputum berdarah
pernafasan (K) akibat kerusakan
- Kode intervensi: paru/luka
3250 bronchial yang

74
- Halaman: 324 memerlukan
- Definisi: intervensi lanjut
Meningkatkan 11) Kegiatan ini dapat
inhalasi dalam oleh memperbaiki
pasien yang akan ventilasi dengan
memicu tekanan mengurangi
yang tinggi dalam tekanan pada
intra-toraks dan dada
penekanan pada 12) Penekanan napas
bagian awal dalam mampu
parenkim paru menguatkan
untuk dapat upaya batuk yang
mengeluarkan dapat
udara yang kuat memobilisasi dan
5) Damping pasien membuang sekret
untuk bisa duduk sesuai instruksi
pada posisi dengan perawat
kepala sedikit lurus,
bahu relaks, dan
lutut ditekuk atau
posisi fleksi
6) Minta pasien untuk
tarik napas dalam,
bungkukkan ke
depan, lakukan tiga
atau empat kali
hembusan
7) Minta pasien untuk
menarik napas
dalam beberapa 5) Jika posisi duduk
kali, keluarkan yang benar sudah
perlahan, dan dilakukan, sangat
batukkan diakhir baik bagi
ekshalasi kesehatan
8) Tekan perut punggung karena
dibawah xiphoid bisa membuat
dengan tangan otot lebih santai

75
terbuka membantu dan tidak tegang
pasien untuk fleksi 6) Membuat
ke depan selama pernapasan yang
batuk. Minta pasien terganggu akibat
untuk batuk adanya lendir atau
dilanjutkan dengan tengah
beberapa periode mengalami sesak
napas dalam napas menjadi
kembali normal
7) Bernapas lebih
dalam berarti
menghirup lebih
banyak oksigen,
serta memberi
ruang bagi paru-
paru untuk
mengembang dan
menjalankan
fungsinya
sebagaimana
mestinya. Saluran
napas dan udara
yang lembap
dapat
memudahkan
pengeluaran
lendir sehingga
membantu
menenangkan
saluran napas.
8) Posisi yang sesuai
dapat
mempermudah
proses batuk dan
pengeluaran
sputum/sekret
yang benar.
3. Setelah dilalukan c. Monitor TTV
76
intervensi keperawatan 2) Observasi TTV 1) Mengetahui
1x24 jam, hipertermia klien adanya
teratasi dengan kriteria perubahan
hasil: d. Perawatan demam keadaan umum
c. TTV dalam batas - Domain: Fisologis klien
normal Kompleks (2)
- TD: 100-140/70-90 - Kelas:
mmHg Termoregulasi (M)
- N: 80-100x/menit - Kode intervensi:
- RR: 16-20x/menit 3740
- S: 36,5-37,2°C - Halaman: 355
d. Status kenyamanan - Definisi: Manajemen
- Domain: Kondisi gejala dan kondisi
kesehatan yang terkait yang
dirasakan (5) berhubungan dengan 4) Mengetahui
- Kelas: Kesehatan peningkatan suhu perubahan suhu

tubuh dimediasi oleh dan keadaan


dan kualitas hidup
pirogen endogen umum klien
(U)
- Kode outcome: 4) Pantau suhu dan 5) Selimut dan
tanda-tanda vital pakaian tipis
2008
lainnya dapat membuat
- Halaman: 528
5) Tutupi pasien suhu tubuh klien
- Definisi::
dengan selimut yang tinggi
Keseluruhan rasa
atau pakaian menguap lebih
nyaman dan aman
ringan, tergantung cepat,
individu secara
pada fase demam menyebabkan
fisik,
6) Tingkatkan klien berkeringat
psikospiritual,
sirkulasi udara dan suhu tubuh
social budaya, dan
menurun
lingkungan
6) Sirkulasi udara
yang baik dapat
mendukung
perbaikan kondisi
klien
4. Setelah dilalukan c. Monitor Nutrisi
intervensi keperawatan - Domain: Fisiologi
1x24 jam, Dasar (1)
ketidakseimbangan - Kelas: Dukungan
77
nutrisi teratasi dengan Nutrisi (D)
kriteria hasil: - Kode intervensi:
c. Status Nutrisi 1160
- Domain: Kesehatan - Halaman: 235
Fisiologi (2) - Definisi:
- Kelas: Pencernaan Pengumpulan dan 5) Mengetahui berat
dan nutrisi (K) analisis data pasien badan klien
- Kode outcome: untuk mencegah atau sebelum sakit
1004 meminimalkan 6) Perubahan BB
- Halaman: 551 komplikasi yang signifikan

- Definisi: Sejauh neurologis dapat

mana nutrisi dicerna 5) Timbang BB mengindikasikan

dan diserap untuk pasien suatu penyakit

memenuhi 6) Identifikasi tertentu yang

kebutuhan perubahan BB diderita klien dan

metabolik terakhir membantu

d. Nafsu Makan 7) Identifikasi diagnosis

- Domain: Kesehatan perubahan nafsu 7) Nafsu makan dan


Fisiologis (2) makan dan aktivitas dapat
aktifitas akhir- berhubungan
- Kelas: Pencernaan
akhir ini dengan
dan nutrisi (K)
8) Monitor status perubahan berat
- Kode outcome:
mental (misalnya, badan. Nafsu
1014
bingung, depresi makan yang tidak
- Halaman: 319
dan cemas) baik dapat
- Definisi: Keinginan
menimbulkan
untuk makan
penyakit bagi
klien.
8) Perubahan berat
badan yang
disebabkan status
d. Terapi Nutrisi mental dapat

- Domain: Fisiologi mengindikasikan

Dasar (1) klien menderita

- Kelas: Dukungan penyakit tertentu

Nutrisi (D) seperti anoreksia

- Kode intervensi:

78
1120
- Halaman: 443
- Pemberian makanan
dan cairan untuk
membantu proses
metabolic pada
pasien malnutrisi
atau (pasien) yang
berisiko tinggi
mengalami 4) Setiap individu
malnutrisi memiliki
4) Tentukan jumlah kebutuhan kalori
kalori dan tipe yang berbeda
nutrisi yang berdasarkan
diperlukan untuk kondisi tubuh dan
memenuhi aktivitasnya
kebutuhan nutrisi 5) Suplemen dapat
dengan membantu
berkolaborasi meningkatkan
bersama ahli gizi, energi dan
sesuai kebutuhan imunitas klien
5) Pilih suplemen 6) Klien dengan
sesuai kebutuhan nafsu makan
6) Motivasi pasien yang tidak baik
untuk memerlukan
mengkonsumsi motivasi agar ada
makanan yang asupan yang
bergizi masuk ke dalam
tubuhnya,
terutama ketika
klien tersebut
sedang tidak
dalam kondisi
tubuh yang baik
2.3.9 Telaah Jurnal Kasus Tuberculosis Paru
Judul : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tb Paru dan Upaya
Penanggulangannya

79
a. Pendahuluan
Di Indonesia Tuberkulosis masih merupakan salah satu penyakit yang
menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat. Penderita TB di Indonesia
merupakan urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah
pasien, sekitar 10 % dari total jumlah pasien TB didunia. Penyebab utama
meningkatnya masalah TB antara lain adalah : (a) Kemiskinan pada berbagai
kelompok masyarakat, seperti pada Negara yang sedang berkembang. (b)
Kegagalan TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen
politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB ( kurang
terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat
tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus
(diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus
yang didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG,
infrastruktur kesehatan yang buruk pada Negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat. (c) Perubahan demografik karena
meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan. (d)
Dampak pandemik HIV. (Depkes 2007). Upaya penanggulangan penyakit TB
sudah dilakukan melalui berbagai program kesehatan di tingkat Puskesmas,
berupa pengembangan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS (directly observed treatment, Short course = pengawasan langsung
menelan obat jangka pendek), yang telah terbukti dapat menekan penularan, juga
mencegah perkembangannya MDR (multi drugs resistance = kekebalan ganda
terhadap obat )-TB, tetapi hasilnya masih dirasakan belum sesuai dengan yang
diharapkan. Penularan dan pemberantasan penyakit TB paru juga tidak lepas dari
aspek sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu para petugas
kesehatan seperti dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan
keterampilan agar dapat lebih sempurna untuk mendeteksi serta mendiagnosa
penyakit TB pada stadium dini. Oleh karena itu tulisan ini dibuat untuk
mengungkapkan masalah faktor sosial budaya terutama menyangkut kebiasaan
dan atau tindakan masyarakat yang kurang menunjang upaya pemberantasan
penyakit TB paru.

b. Resume Jurnal
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium
Tuberculosis. Terjadinya peningkatan kasus TB dipengaruhi oleh daya tahan
80
tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan
tempat tinggal (disitir dari http://librarv.usu.ac.id/download/fkmhiswani6.pdf
2009). Hiswani (2009) mengatakan bahwa keterpaparan penyakit TBC pada
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi, status
gizi, umur, jenis kelamin dan faktor sosial lainnya. Upaya penanganan dan
pemberantasan TB paru telah dilakukan pada awal tahun 1990 -an WHO telah
mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS. Focus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan
prioritas pasien TB tipe menular. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Helper
Manalu dkk (2009), sampai saat ini masih ada anggota masyarakat yang belum
mengetahui ada program pelayanan kesehatan TB paru gratis di Puskesmas.
Demikian pula hasil survei prevalensi tuberculosis (2004) menunjukkan bahwa
lebih dari 80 % responden ternyata tidak mengetahui adanya program obat anti
TBC gratis. Dan hanya 19 % yang mengetahui adanya pemberian obat anti TBC
gratis. (Depkes. 2004). Rendahnya pengetahuan ini akan menghambat penderita
TBC mencari pengobatan gratis atau menjadi penyebab putus berobat.

c. Implikasi
Upaya penanganan dan pemberantasan TB paru telah dilakukan pada awal tahun
1990 -an WHO telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal
sebagai strategi DOTS. Focus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan
pasien, dengan prioritas pasien TB tipe menular. Namun, dalam pelaksanaan di
lapangan, keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS ini mengalami
beberapa hambatan seperti putus berobat dan meninggal, pola hidup masayarakat
yang tidak taat kesehatan dan keterbatasan pendidikan petugas P2 TB-Paru.

d. Kesimpulan
TB paru masih merupakan masalah di negara berkembang, bahkan di negara maju
masalah ini kembali muncul dengan adanya HIV-AIDS. Berbagai upaya telah
dilakukan melalui bermacam-macam pendekatan untuk mengobati atau paling
tidak mengurangi timbulnya TB. Seperti program strategi DOTS diharapkan
dapat memberikan kesembuhan dan mencegah penularan. Namun dalam
pelaksanaan di lapangan, keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS ini
mengalami beberapa hambatan seperti putus berobat (termasuk pindah berobat)
dan meninggal sehingga tidak memberikan hasil yang maksimal. Faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan yaitu faktor sarana,

81
faktor penderita dan faktor keluarga dan masyarakat lingkungan. Akan tetapi bila
melihat realitas yang ada membuktikan bahwa pengobatan tuberkulosis tidaklah
semudah yang dipikirkan.

e. Rekomendasi
Perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan khusus program P2 TB terhadap
petugas yang belum dilatih. Upaya meningkatkan peranserta pasien dan
masyarakat dalam upaya penanggulangan TB dan memberi peningkatan
informasi yang tepat dan lengkap melalui penyuluhan yang intensif. Dan petugas
P2 TB-Paru diharapkan tidak merangkap tugas-tugas lain. Serta melakukan
pemeriksaan secara aktif, khususnya pada kelompok risiko tinggi dan status gizi
kurang untuk mengurangi risiko penularan TB paru.

Jurnal Terlampir

2.3.10 Materi dan Persiapan Edukasi Pasien Tuberculosis Paru


a. Pengertian Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis (TB) merupakan contoh lain infeksi saluran napas bawah.


Penyakit ini disebabkan oleh mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis yang
biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), dari satu individu
ke individu lainya, dan membentuk kolonisasi di bronkioulus atau alveolus.
Kuman juga dapat masuk ke tubuh melalui saluran cerna, melalui ingesti susu
tercemar yang tidak dipasteurisasi, atau kadang – kadang melalui lesi kulit.
Apabila bakteri tuberkulin dalam jumlah yang bermakna berhasil menembus
mekanisme pertahanan sistem pernapasan dan berhasil menempati saluran napas
bawah, pejamu akan melakukan respons imun dan inflamasi yang kuat. Karena
respons yang hebat ini, terutama yang diperantarai sel-T hanya sekitar 5% orang
yang terpajan basil tersebut akan menderita tuberkulosis aktif. Hanya individu
yang mengidap infeksi tuberkulosis aktif yang menularkan penyakit ke individu
lain dan hanya selama masa infeksi aktif. (Corwin, Elizabeth J.2009.Buku Saku
Patofisiologi.Jakarta:Buku Kedokteran EGC)

Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infektius yang terutama menyerang


parenkim paru. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh basil mikrobakterium tuberkulosis yang merupakan salah satu
penyakit saluran pernapasan bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkulosis
masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya

82
mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon (Hood Alsagaff,
1995: 73)

(Wijaya, Andra Saferi, Skep dan Yessie Mariza Putri, Skep.2013.Keperawatan


Medikal Bedah Jilid I.Yogyakarta:Nuha Medika)

b. Penyebab Tuberkulosis Paru

Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) disebabkan oleh kuman TBC


(Mycobacterium tuberculosis) yang sebagian kuman TBC menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut
pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama
selama beberapa tahun.

c. Tanda dan Gejala Tuberkulosis Paru

Pada sejumlah klien gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan
kadang – kadang asimptomatik. Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan
TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :

Keluhan Respiratoris
a. Batuk
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk bersifat
nonproduktif/produktif atau sputum bercampur darah.

a. Batuk Darah
Keluhan batuk darah pada klien dengan TB paru selalu menjadi alasan
utama klien untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa
takut klien pada darah yang keluar dari jalan napas. Perawat harus
menanyakan seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood
streak, berupa garis, atau bercak-bercak.

b. Sesak Napas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks,
anemia, dll.

c. Nyeri Dada
83
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini
timbul apabila sistem pernapasan di pleura terkena TB.

Keluhan Sistemis
a. Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam
hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin
panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek.

d. Keluhan sistem lain


Keluhan yang biasa timbul adalah keringat malam, anoreksia, penurunan
berat badan, dan malaise. Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual
muncul dalam beberapa minggu/bulan. Akan tetapi penampilan akut dengan
batuk, panas dan sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai
gejala pneumonia.

(Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan


Gangguan Sistem Pernapasan.Jakarta:Salemba Medika)

d. Penularan TBC

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan
pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa.
Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan
berkembangbiak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh
yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening.
Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh
seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah
bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling
sering terkena yaitu paru-paru. Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil
menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang
berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri
TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling
bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya
menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-
bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan
fotorontgen.

84
Penularan Penyakit TBC, terbagi menjadi 2 yaitu :
1) Langsung
Percikan ludah atau cairan hidung penderita TBC yang berpindah secara
langsung pada waktu mereka berbicara , berhadapan, berciuman, atau bersin.
2) Tidak Langsung
Bila penderita TB paru meludah disembarang tempat, kemudian ludah yang
mengandung kuman TB paru mengering , bertebangan dan dihirup orang lain.

e.  Cara Pencegahan TBC

Adapan tujuan dari pencegahan TBC, yaitu;

a.     Menyembuhkan penderita.
b.     Mencegah kematian.
c.     Mencegah kekambuhan.
d.     Menurunkan tingkat penularan.

       Cara-cara pencegahan TBC sebagai berikut;

1. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin


2. Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan (air
sabun)
3. Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan
4. Menghindari udara dingin
5. Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam
tempat tidur
6. Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari
7. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga
mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain
8. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein

F. Pengobatan TBC
1.  Jenis Obat :
Ø Isoniasid
Ø Rifampicin
Ø Pirasinamid
Ø Streptomicin

85
2.   Prinsip Obat
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,supaya semua kuman dapat
dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan dalam dosis
tunggal,sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yangdigunakan
tidak adekuat, kuman TB akan berkembangmenjadi kuman kebal. Pengobatan
TB diberikan dalan 2 Tahap yaitu:
a)   Tahap intensif 
Pada tahap intensif penderita mendapat obat (minum obat) setiap hari
selama 2 - 3 bulan.
b)   Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat (minum obat) tiga kali
seminggu selama 4 – 5 bulan.

3. Efek Samping Obat


Beberapa efek samping yang mungkin muncul akibat mengkonsumsi obat
TB bervariasi mulai dari ringan hingga berat. Efek samping ringan dapat berupa
berubahnya warna urine menjadi kemerahan yang diakibatkan oleh rifampisin.
Efek samping lainnya dapat berupa nyeri sendi, tidak ada nafsu makan,
mual, kesemutan dan rasa terbakar di hati, gatal dan kemerahan dikulit
gangguan keseimbangan hingga kekuningan (ikterus). Jika pasien merasakan
hal-hal tersebut, pasien harus segera berkonsultasi dengan dokter untuk
memperoleh penanganan lebih lanjut, fase lanjutan. Dalam beberapa kasus
pengobatan bisa berlangsung hingga delapan bulan.

86
Leaflet Edukasi Tuberkulosis
Apa Itu TB Paru? Pencegahan TB Paru

Tuberkulosis atau TB Cara Penularan TB Paru 1. Menutup mulut pada


adalah penyakit waktu batuk dan bersin
1. Langsung
infektius yang terutama 2. Meludah hendaknya pada
Percikan ludah atau
menyerang parenkim tempat tertentu yang
paru. Tuberkulosis paru cairan hidung sudah diberi desinfektan
adalah suatu penyakit penderita TBC yang (air sabun)
menular yang disebabkan 3. Imunisasi BCG diberikan
berpindah secara
oleh basil pada bayi berumur 3-14
mikrobakterium langsung pada waktu bulan
tuberkulosis yang mereka berbicara , 4. Menghindari udara dingin
merupakan salah satu 5. Mengusahakan sinar
berhadapan,
penyakit saluran matahari dan udara
pernapasan bagian berciuman, atau segar masuk secukupnya
bawah yang sebagian bersin. ke dalam tempat tidur
besar basil tuberkulosis 6. Menjemur kasur,
2. Tidak Langsung
masuk ke dalam jaringan bantal,dan tempat tidur
paru melalui airbone Bila penderita TB
terutama pagi hari
infection dan paru meludah 7. Semua barang yang
selanjutnya mengalami digunakan penderita
disembarang tempat,
proses yang dikenal harus terpisah begitu
kemudian ludah yang
sebagai focus primer juga mencucinya dan
dari ghon (Hood mengandung kuman TB tidak boleh digunakan
Alsagaff, 1995: 73) paru mengering , oleh orang lain
8. Makanan harus tinggi
bertebangan dan
karbohidrat dan tinggi
Penyebab TB Paru ? dihirup orang lain. protein

Disebabkan oleh kuman TBC


(Mycobacterium Pengobatan TB Paru
tuberculosis)
1) Lama pengobatan 6-8
bulan, tergantung berat
ringannya penyakit
Tanda dan Gejala :
2) Penderita harus minum
Keluhan Respiratoris obat secara lengkap dan
teratur sesuai jadwal
1. Batuk berobat sampai
2. Batuk darah dinyatakan sembuh
3. Sesak Nafas 3) Dilakukan tiga kali
87
2.3.11. Daftar Pustaka

Keliat, Budi Anna, dkk. 2017. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020, Ed. 11. Jakarta: EGC.

Bulechek, Gloria M, dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Edisi 5.


Yogyakarta: Elsevier.

Moorhead, Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classifications (NOC). Edisi 6.


Yogyakarta: Elsevier.

Zettira, Zahra & Merry Indah Sari. 2017. Penatalaksanaan Kasus TB Paru dengan
Pendekatan Kedokteran Keluarga. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Link :
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/824/pdf

https://www.academia.edu/16676989/ASUHAN_KEPERAWATAN_TBC

https://www.academia.edu/83033809/Askep_KASUS_Lengkap

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/download/4078/4456

https://id.scribd.com/document/117983968/Komplikasi-Penata-Laksanana-Tb

88
LAMPIRAN 1

Penyusun Makalah : Likha Mahabbah 1810711078

Bab I Pendahuluan : Likha Mahabbah 1810711078

Anatomi dan Fisiologi : Mella Mahardika 1810711052

Definisi : Dina Krismayanti 1810711103

Etiologi : Vernanda Erlita 1810711108

Patofisiologi : Regita Siti N. 1810711013


Nur Rohmah 1810711083
Zahrah Rasyida 1810711091

Manifestasi Klinis : Dinda Nur Aliya 1810711029


Sondang Mariani 1810711090

Penatalaksanaan : Siska Agustina 1810711088


Rahmadia 1810711107

Pemeriksaan Penunjang : Nanda Syifa M. 1810711031

Komplikasi : Alda Amatus S. 1810711028

Asuhan Keperawatan : Erika Deliana 1810711004


Siti Juhariah 1810711011
Mahdina Maulani 1810711048
Widhi N. 1810711094

Telaah Jurnal : Widya Astika S. 1810711022

Materi Edukasi : Dinda Noviyanti 1810711007


Bunga Indah S. 1810711027

89
LAMPIRAN JURNAL

Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2


No.2 /Desember 2015

PENERAPAN PRAKTIK KEPERAWATAN BERBASIS BUKTI PURSED


LIP BREATHING PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIK

DI RUANG RSU PUSAT PERSAHABATAN

JAKARTA

Seven Sitorus

Staf Pengajar Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”


Jakarta Kampus FIKES UPNVJ, Jl. Limo Raya RT 03/05, Limo, Depok, Jawa Barat –
16515;

Email: sevens1973@yahoo.co.id

Abstract

Background: Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD) is disease characterized by


obstruction air flow in the breath not wholly reversible. One treatment can be done on
improving exercise tolerance is exercise respiration as pursed lip breathing ( PLB ). Purse
lip breathing is a techniques of breathing carried out to expelling air by creating power
through in move closer /pursed lips. Purpose: provide an illustration of the application of
the practice of evidence based nursing of pursed lip breathing in patients COPD in RSUP
Persahabatan Jakarta. Method: the implementation of the practice of evidence based
nursing pursed lip breathing is applied to 12 people sample ( 10 men and 2 women )
diagnosed with COPD exacerbation. Result: the majority of sex respondents is man as
many as 10 ( 83,3 % ) persons and women as many as 2 ( 16,7 % ) a person .mean the age
of respondents is 61,5 years ± 10.4 .mean the value of PEF ( Peak Expiratory Flow ), the
value of the saturation oxygen , the value of respiratori rate before the intervention in a
consecutive manner is 131.6 ± 44.6; 92.1 ± 2.44; 31.5 ± 2 . While value after the
intervention is 175.0 ± 60.0; 97,1 ± 1.6; 22,6 ± 1.7 with P value = 0.001, α = 0.05.
Conclusions: there are significant influence the application of pursed lip breathing
between before and after the intervention in patients COPD. Advice: Intervention evidence

90
based nursing can be applied to all patients COPD so reached the quality of care of
nursing based on research .

PENDAHULUAN obstruktif kronik ini umumnya


disebabkan oleh polusi udara,
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
radang akut saluran pernapasan
Kronik) merupakan penyakit yang
yang berkepanjangan, radang
ditandai dengan hambatan aliran
kronis saluran pernapasan,
udara di saluran nafas yang tidak
gangguan sistem imunitas paru,
sepenuhnya reversibel. Hambatan
sekret bronkus yang berlebihan
aliran udara ini bersifat progresif dan
(Halim Danusantoso, 2014).
berhubungan dengan respons
Gambaran klinis penyakit paru
inflamasi paru terhadap partikel atau
obstruktif kronik ini adalah:
gas yang beracun atau berbahaya.
Onset (awal terjadinya
(Depkes, 2008). Penyakit paru
penyakit) biasanya

91
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember
2015

pada usia pertengahan, perkembangan Hasil studi pendahuluan yang di


gejala bersifat progresif lambat, riwayat lakukan penulis melalui unit medical
pajanan, seperti merokok, polusi udara record Rumah Sakit Umum Pusat
(di dalam ruangan, luar tempat kerja), Persahabatan (2014), terdapat 1280
sesak pada saat melakukan aktivitas, orang pasien PPOK yang dirawat dan
hambatan aliran udara umumnya 92 orang pasien yang dilakukan
ireversibel (tidak bisa kembali normal). perawatan di IGD selama enam bulan
terakhir. Hasil observasi yang
PPOK merupakan salah satu penyebab
dilakukan penulis selama satu bulan
utama kesakitan dan kematian di seluruh
pada bulan November 2014 di
dunia. Data hasil Riset Kesehatan Dasar
Instalasi Gawat Darurat pada pasien
(RISKESDAS) pada tahun 2013
PPOK yang mengalami eksarsebasi
menunjukkan bahwa prevalensi PPOK
akut ditangani dengan pemberian
di Indonesia sebanyak 3,7%. Prevalensi
oksigen, dan obat-obatan
PPOK diperkirakan akan terus
bronkodilator melalui nebulizer
meningkat sehubungan dengan
maupun intravena dan pasien jarang
peningkatan usia harapan hidup
sekali di ajarkan teknik latihan
penduduk dunia, pergeseran pola
pernapasan seperti pursed lip
penyakit infeksi yang menurun
breathing dan kalaupun diajarkan
sedangkan penyakit degeneratif
masih belum ada keseragaman antara
meningkat serta meningkatnya
satu perawat dengan perawat yang
kebiasaan merokok dan polusi udara.
lainnya, hal ini mungkin disebabkan
WHO (2013) memprediksi bahwa
karena belum adanya SOP yang
PPOK yang saat ini merupakan
dibakukan mengenai pursed lip
penyebab kematian ke-4 di seluruh
breathing.
dunia diperkirakan pada tahun 2020
akan menjadi penyebab kematian ketiga
di seluruh dunia. Sebagai pengingat
Melihat peliknya permasalahan pada pasien
pentingnya masalah PPOK, WHO
menetapkan hari PPOK sedunia (COPD dengan PPOK, maka penatalaksanaan yang tepat
day) diperingati setiap tanggal 18 sangatlah
November.

92
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2
No.2 /Desember 2015

diperlukan. Tujuan penatalaksanaan memperbaiki pola nafas,


pada pasien PPOK ini adalah meningkatkan volume tidal dan
mencegah progresif penyakit, mengurangi sesak nafas. Selain itu
menghilangkan gejala, memperbaiki
PLB juga ditujukan untuk
status kesehatan, mencegah dan
memperbaiki pertukaran gas dan
mengobati penyulit, menurunkan
penggunaan otot pernapasan. Manfaat
mortalitas, mencegah dan mengobati
lainnya dari PLB membantu menjaga
eksaserbasi, memperbaiki exercise
jalan napas agar tetap terbuka dalam
tolerance (Slamet H, dkk, 2013).
mempertahankan tekanan positip jalan
Salah satu penatalaksanaan yang dapat napas. Tujuan lain dari pursed lips
dilakukan dalam memperbaiki exercise breathing ini adalah untuk membantu
tolerance adalah latihan pernapasan klien memperbaiki transport oksigen,
seperti pursed lip breathing (PLB). menginduksi pola napas lambat dan
Purse-lip breathing adalah suatu dalam, membantu pasien untuk
teknik pernapasan yang dilakukan mengontrol pernapasan, mencegah
untuk mengeluarkan udara dengan kolaps dan melatih otot-otot ekspirasi
menciptakan kekuatan melalui untuk memperpanjang ekshalasi dan
merapatkan/memonyongkan bibir meningkatkan tekanan jalan napas
(Jadranka Sphahija, Michael de selama ekspirasi, dan mengurangi
Marchie and Alejandro Grassino, jumlah udara yang terjebak (Smeltzer
2005). & Bare, 2013).

Purse-lip breathing sering dilakukan Pursed-lip breathing ini juga


oleh pasien secara spontan, saat purse- bertujuan untuk memberikan manfaat
lip breathing diaktifkan otot perut subjektif pada penderita yaitu
selama ekspirasi ternyata dapat mengurangi sesak, rasa cemas dan
memperbaiki pertukaran gas yang tegang karena sesak. Pernafasan
dapat dilihat dengan membaiknya pursed lip breathing dilakukan
saturasi oksigen arteri (John E, dengan cara penderita duduk dan
Hodgkin., Bartolome R, Celli., bernafas dengan cara
Gerilynn L. Connors , 2009). menghembuskan melalui mulut yang

Purse-lip breathing atau PLB

93
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember
2015

hampir tertutup (seperti bersiul) Pelaksanaan praktek keperawatan berbasis bukti


selama 4-6 detik. Cara itu diharapkan yang diterapkan oleh penulis adalah latihan napas
dapat menimbulkan tekanan saat dengan metode pursed lip breathing pada pasien
ekspirasi sehingga aliran udara PPOK di ruang instalasi gawat
melambat dan meningkatkan tekanan
darurat RSUP Persahabatan Jakarta. Pasien yang
dalam rongga perut yang diteruskan
terlibat dalam penerapan praktek keperawatan
sampai bronkioli sehingga kolaps
berbasis bukti ini sebanyak 12 orang ( 10 orang
saluran nafas saat ekspirasi dapat
laki-laki dan 2 orang perempuan) yang
dicegah.
terdiagnosa PPOK eksarsebasi. Tahap kerja yang
Pursed lip breathing ini merupakan dilakukan dengan menggunakan dua metode
salah satu terapi intervensi tergantung dari kondisi pasien tersebut.
keperawatan non farmakologi dan
Tahap pertama yaitu sambil duduk dikursi,
non invasive yang dapat mengurangi
caranya: lipat tangan diatas abdomen, hirup napas
sesak napas (menurunkan frekwensi
melalui hidung sambil menghitung hingga 3,
pernapasan), meningkatkan saturasi
membungkuk ke depan 30 sampai 40 derajat
oksigen dan meningkatkan arus
dengan kepala terangkat dengan sudut 16 sampai
puncak respirasi. Pursed lip
18 derajat dan hembuskan dengan lambat melalui
breathing sangat mudah untuk
bibir yang dirapatkan sambil menghitung hingga
dilakukan, oleh sebab itu penulis
7. Sedangkan tahap yang kedua yaitu sambil
tertarik untuk menerapkan Evidence
berjalan, caranya: hirup napas sambil melangkah
Based Nursing
dua langkah, hembuskan napas melalui bibir yang
Practice (EBNP)/ praktik dirapatkan sambil berjalan empat atau lima
keperawatan berbasis bukti tentang langkah. Lama waktu yang dibutuhkan untuk
Pursed lip breathing ini. melaksanakan tahap kerja adalah 5 sampai dengan
10 menit. Setelah itu baru dilakukan evaluasi
METODE PENELITIAN
untuk pendokumentasian. Adapun evaluasi yang
dilakukan adalah dengan mencatat hasil sebelum

94
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2
No.2 /Desember 2015

dan sesudah dilakukan intervensi 10 (83,3%) orang dan


pursed lip breathing mencakup perempuan sebanyak 2 (16,7%)
frekwensi pernapasan, arus puncak orang.
respirasi (APE) serta saturasi oksigen.
Tabel 2
Alat yang digunakan untuk mengukur
hasil evaluasi yaitu jam tangan, peak Distribusi frekuensi pasien PPOK
flow metry, oksimetri. Berikut hasil
penerapan praktek keperawatan
berbasis bukti di ruang IGD RSUP berdasarkan usia, APE (pre dan
Persahabatan Jakarta: post), Saturasi Oksigen (pre dan
post), RR (pre dan post) di Ruang
HASIL PENELITIAN
IGD RSUP Persahabatan Jakarta
(n = 12)

Tabel 1

Distribusi frekuensi pasien PPOK Variabel Mean SD 95% CI


berdasarkan jenis kelamin Di Ruang
IGD RSUP Persahabatan Jakarta (n
Usia 61.5 10.4 58.8 ; 68.1
= 12)

APE PRE 13 44.6 103.2;160.0

Variabel Jumlah Persentase 1.6

(n) (%)

Jenis APE 175.0 60.0 136.8;213.1

Kelamin POST

Laki – laki 10 83,3


Perempuan 2 16,7 Saturasi 92.1 2.44 90.6; 93.7
Oksigen
Pre
Tabel 1. Menunjukkan
mayoritas jenis kelamin responden
berjenis kelamin laki – laki sebanyak Saturasi 97.1 1.6 96.0; 98.2
95
131.6 ± 44.6 (95% CI: 103.2 ; 160,0)

Oksigen dan rata-rata nilai APE setelah


intervensi adalah 175.0 ± 60.0 (95%
Post
CI: 136.8 ; 213,1). Rata – rata nilai
saturasi oksigen sebelum intervensi
RR Pre 31.5 2.1 30.1; 32.8
adalah 92.1 ± 2.44 (95% CI: 90.6 ;
93,7), dan rata-rata nilai saturasi
RR Post 22.6 1.7 21.5;23-7 oksigen setelah intervensi adalah 97,1

± 1,6 (95% CI: 96,0 ; 98,2). Rata –


Tabel 2. Menampilkan rata – rata usia rata nilai respiratori rate sebelum
responden yaitu 61,5 tahun ± 10,4 (95% CI : intervensi adalah 31.5 ± 2.1 (95% CI:
58.8 ; 68.1). Rata – rata nilai APE (Arus (95% CI: 30.1 ; 32,8), dan rata-rata
Puncak Ekspirasi) sebelum intervensi adalah

47

96
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember
2015

nilai respiratori rate setelah intervensi breathing sebelum dan sesudah


adalah 22,6 ± 1,7 (95% CI: 21,5 ; intervensi pada pasien PPOK. Karena
23,7) . nilai p ˂ 0.05 maka Ho di tolak. Jadi
dapat disimpulkan ada pengaruh yang
Tabel 3 signifikan antara nilai sebelum dan
Analisis rata-rata selisih nilai
APE,

Saturasi Oksigen, RR sebelum Sesudah penerapan Pursed lip


dan
sesudah dilakukan intervensi Pursed

Lip Breathing di Ruang IGD breathing sebelum dan sesudah


RSUP
Persahabatan (n =
Jakarta 12) intervensi pada pasien PPOK.

Variabel Kelompok Mean SD P Value

Arus Pre 131.6 44.6 PEMBAHASAN

Puncak 0,001
Post 175.0 60.0
Ekspirasi
Rata-rata selisih nilai APE sebelum
Saturasi Pre 92.1 2.4

Oksigen Post 97.1 1.6 0,001


dan sesudah intervensi latihan

97
Respiratori Pre 31.5 2.1 napas pursed lip breathing.

0,001
Rate Post 22.6 1.7

Hasil penerapan praktik keperawatan


berbasis bukti mengenai latihan napas
Berdasarkan hasil analisis
pursed lip breathing terhadap APE,
pengukuran rata-rata arus puncak
dapat disimpulkan ada pengaruh yang
ekspirasi sebelum intervensi adalah
signifikan dengan p=0,001, Α 0,05.
sebesar 131.6 ± 44.6 dan setelah
Hasil ini sejalan dengan penelitian
intervensi adalah Sebesar 175.0 ±

Saturas yang dilakukan Oleh Jadranka


60.0; rata-rata i oksigen
Spahija, Michel De Marchie and
sebelum intervensi adalah sebesar
Alejandro Grassino, (2005) pada 8
92.1 ± 2.4 dan Setelah intervensi
orang pasien PPOK (6 laki-laki dan 2
adalah sebesar 97,2 ± 1,6; rata-rata
perempuan) dengan rata-rata (±SD)
respiratori rate sebelum intervensi
umur 58 tahun ± 11 tahun dan rata-
adalah sebesar 31,5 ± 2,1 dan setelah
rata arus puncak ekspirasi Menit
intervensi adalah sebesar 22,6 ± 1,7
dengan 12 responden pada tabel.3 pertama terdiri dari 1,34 ± 0,44± L (

98
50 ± 21% prediksi). Hasilnya:
diatas menggunakan uji Dependent T-
Signifika
Terdapat hubungan yang n
test di dapatkan nilai P value = 0.001,
antara PLB dengan sesak napas saat
yang berarti pada alpha 5% ada
pengaruh penerapan pursed lip aktivitas terutama pada Puncak

99
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2
No.2 /Desember 2015

ekpirasi pernapasan dengan nilai fungsi paru dan analisa gas darah, pola
estimasi p=0,002). Kesimpulan: pernapasan, dan otot pernapasan.
pengaruh PLB pada sesak napas terkait
Kesimpulannya: PLB dapat
dengan perubahan kenaikan tidal
memperbaiki fungsi pernapasan
volume dan puncak ekspirasi
pasien dengan penyakit primer
pernapasan.
maupun sekunder. Hubungan pola
Rata-rata selisih nilai saturasi pernapasan dengan prosedur PLB
oksigen sebelum dan sesudah digambarkan terlebih pada masalah
intervensi latihan napas pursed lip psikologis dan ventilasi yang efisien.
Adanya tahanan fase ekspirasi
breathing.
pernapasan terutama dikaitkan pada
Beranjak pada penerapan praktik keterlibatan mulut namun secara
keperawatan berbasis bukti mengenai signifikan perubahan sementara
latihan napas pursed lip breathing terjadi pada pola pernapasan dan
terhadap saturasi oksigen, dapat penggunaan otot-otot pernapasan.
disimpulkan ada pengaruh yang Hasilnya adalah tidal volume
signifikan dengan p=0,001, α 0,05. meningkat, penurunan konsumsi
hasil ini sejalan dengan penelitian oksigen, perbaikan analisa gas darah
yang dilakukan oleh G.A.de.F. (saturasi oksigen).
Fregonezi, V.R.Resqueti, and R.Guell
Rata-rata selisih nilai RR sebelum
Rous (2004). Pada artikel ini, mereka
dan sesudah intervensi
mereview artikel tentang PLB yang
latihan napas pursed lip breathing.
sudah dipublikasikan mulai tahun
1964 sampai dengan 2003 sebanyak Beranjak pada penerapan praktik
15 penelitian dengan desain RCT keperawatan berbasis bukti mengenai
(Randomized Clinical Trials) baik latihan napas pursed lip breathing
menggunakan kontrol group maupun terhadap saturasi oksigen, dapat
tidak menggunakan kontrol group. disimpulkan ada pengaruh yang
Lebih jelasnya, mereka melihat signifikan dengan p=0,001, α 0,05. Hasil
beberapa sesi mengenai salinan ini sejalan dengan penelitian yang
tulisan mengenai pengaruh PLB pada dilakukan oleh Frank J.Visser,

100
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2
No.2 /Desember 2015

Dekhuijzen, Yvonne F.Heijdra (2010) yang menyatakan nilai rata-rata frekuensi


pernapasan menurun secara signifikan dengan p˂0,001dan SD: 3,1 kali
pernapasan/menit, sehingga dapat disimpulkan perbaikan kapasitas inspirasi setelah
PLB mengindikasikan berkurangnya sedikit hiperinflasi pada pasien PPOK berat.

KESIMPULAN

Penerapan praktek keperawatan berbasis bukti pursed lip breathing pada pasien
PPOK didapatkan hasil yang efektif sehingga dapat disimpulkan terdapat pengaruh
yang signifikan antara pemberian intervensi keperawatan latihan napas pursed lip
breathing terhadap arus puncak ekspirasi (APE), saturasi oksigen, dan respiratory
rate (RR) dengan p=0,001, α 0,05. Namun penerapan latihan napas pursed lip
breathing ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat dilaksanakan bagi pasien yang
menggunakan gigi palsu atau ompong, hal disebabkan karena akan mengganggu
tiupan pernapasan pasien pada saat ekspirasi maksimal sehingga hasil APE yang
didapat tidak akurat.

SARAN

Intervensi keperawatan berbasis bukti yang sudah diterapkan oleh penulis, Dapat
dilaksanakan oleh perawat ruangan sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan. Namun sebelum diterapkan sebaiknya dibuat dulu
standar prosedur operasional (SPO) yang disahka oleh direktur rumah sakit
umum pusat Persahaatan.

101
LAMPIRAN JURNAL 2

102
103
104
105
106
107
108
LAMPIRAN 2

Penyusun Makalah : Alda Amatus Syahidah 1810711028

Mella Mahardika 1810711052

Definisi : Widhi. N 1810711084

Etiologi : Mella Mahardika 1810711052

Patofisiologi : Nanda Syifa Melinda 1810711031

Manifestasi Klinis : Siti Juhariyah 1810711011

Penatalaksanaan : Widya Astika Sari 1810711022

Pemeriksaan Penunjang : Nur Rohmah 1810711083

Siska Agustina 1810711088

Komplikasi : Alda Amatus Syahidah 1810711028

Mella Mahardika 1810711052

Asuhan Keperawatan : Siti Juhariyah 1810711011

Dinda Noviyanti 1810711007

Telaah Jurnal : Sondang Mariani 1810711090

Materi Edukasi : Nur Rohmah 1810711083

Klasifikasi : Dinda Noviyanti 1810711007

Sondang Mariani 1810711090

109
LAMPIRAN JURNAL 3

110
111
112
113
114
115
116

Anda mungkin juga menyukai