KUSMARIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pilihan Saluran
Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi
Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Kusmaria
NIM H351130271
RINGKASAN
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PILIHAN SALURAN PEMASARAN OLEH PETANI UBI
KAYU DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH,
PROVINSI LAMPUNG
KUSMARIA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suharno, M.ADev
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah pemasaran, dengan
judul Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung
Tengah, Provinsi Lampung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi
Asmarantaka, MS dan Bapak Dr Ir Harianto, MS selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Suharno, M.ADev
selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr Rita Nurmalina, MS selaku penguji dari
program studi yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada mamak, suamiku Kak Jojo, anakku Shofi, mbak, mas, dan
seluruh keluarga besar, serta sahabat-sahabat penulis atas segala doa, kasih
sayang, dan dukungannya kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada BP3K Bandar Mataram, Bapak Fatkur dan Bapak Fitriyanto
beserta keluarga besar yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir
penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan rekan-rekan
Magister Sains Agribisnis Angkatan IV.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Kusmaria
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR LAMPIRAN iv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 9
Manfaat Penelitian 9
Ruang Lingkup Penelitian 9
2 TINJAUAN PUSTAKA 10
Sistem Pemasaran Ubi Kayu 10
Saluran Pemasaran 11
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran 12
Kualitas Produk Komoditas Pertanian 13
3 KERANGKA PEMIKIRAN 14
Kerangka Pemikiran Konseptual 14
Kerangka Pemikiran Operasional 22
4 METODE 25
Lokasi dan Waktu Penelitian 25
Sumber dan Jenis Data 25
Metode Pengumpulan Data 25
Metode Penentuan Sampel 25
Metode Analisis dan Pengolahan Data 26
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31
Keadaan Geografis Kabupaten Lampung Tengah 31
Karakteristik Petani Responden 34
6 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PILIHAN SALURAN
PEMASARAN OLEH PETANI UBI KAYU 38
Saluran Pemasaran dan Lembaga Pemasaran Ubi Kayu 38
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran 41
7 MEKANISME PENENTUAN RAFAKSI UBI KAYU 49
Rafaksi Ubi Kayu 49
Mekanisme Penentuan Rafaksi Ubi Kayu 50
8 PENGARUH SALURAN PEMASARAN TERHADAP PENDAPATAN
USAHATANI UBI KAYU 55
Keuntungan Usahatani Ubi Kayu 55
Pengaruh Saluran Pemasaran terhadap Keuntungan Usahatani
Ubi Kayu 60
9 SIMPULAN DAN SARAN 62
Simpulan 62
Saran 62
DAFTAR PUSTAKA 63
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Ubi kayu (Manihot utilisima) merupakan tanaman lokal daerah tropis yang
di Indonesia sendiri banyak digunakan sebagai pangan alternatif. Ubi kayu
menjadi salah satu bahan pangan potensial setelah beras dan jagung yang berperan
cukup besar dalam mencukupi pangan nasional. Selain sebagai sumber bahan
pangan, ubi kayu juga digunakan sebagai bahan pakan (ransum) ternak dan bahan
baku berbagai industri. Beberapa negara bahkan telah mengembangkan ubi kayu
sebagai sumber bahan bakar energi alternatif (biofuel).
Hasil olahan ubi kayu diperlukan dalam berbagai industri seperti industri
pakan, tekstil, kertas, perekat dan farmasi. Konsumsi ubi kayu di Indonesia masih
cukup tinggi, yaitu 24 juta ton pada tahun 2011 dan angka ini terus meningkat
setiap tahunnya (Pusdatin 2012). Prospek agribisnis ubi kayu cukup baik
mengingat kebutuhan ubi kayu yang tinggi dengan jumlah penduduk yang
semakin bertambah. Ubi kayu sendiri cukup mudah untuk dibudidayakan dalam
artian ringan perawatannya, dapat bertahan terhadap ketersediaan air yang sedikit
di lahan kering maupun kurang subur, memiliki daya tahan terhadap penyakit dan
tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk panen. Sehingga keberadaan
ubi kayu menjadi kebutuhan yang selain untuk memenuhi pangan dan industri
juga menjadi sumber penghasilan bagi petani yang mengusahakannya.
Ubi kayu menjadi komoditas penting mengingat Indonesia menjadi salah
satu produsen utama ubi kayu di dunia dengan produksi mencapai 23 juta ton
pada tahun 2014 dan produktivitas mencapai 23.36 ton/ha (BPS 2016). Indonesia
dan negara penghasil utama ubi kayu seperti Nigeria, Kongo, Brazil dan Thailand,
mampu menguasai 95 persen luas panen (FAO 2016) dengan jenis produk ubi
kayu yang diekspor ke luar negeri adalah gaplek dan pati ubi kayu (Saliem dan
Nuryanti 2011). Pada tahun 2014 total ekspor ubi kayu Indonesia mencapai 114
ribu ton dengan negara tujuan utama adalah China, Malaysia, Amerika Serikat dan
Taiwan (Kementan 2016). Selain menjadi pengekspor, pada kenyataannya
Indonesia juga mengimpor ubi kayu dalam bentuk pati ubi kayu dengan negara
pengimpor utama pada tahun 2015 adalah Thailand dan Vietnam (Kementan
2016). Tabel 1 menunjukkan jumlah ekspor dan impor ubi kayu Indonesia tahun
2011 sampai 2015.
sampai dengan 2015 tren produksi ubi kayu Indonesia cukup fluktuatif mengalami
peningkatan yang kemudian mengalami penurunan. Peningkatan produksi ubi
kayu meningkat tajam pada kurun waktu 2009 hingga 2010, dan terus meningkat
sampai tahun 2012. Namun pada tahun-tahun berikutnya, yaitu tahun 2013, 2014
dan 2015 produksi ubi kayu Indonesia terus menurun (BPS 2016). Hal ini
menunjukkan ketersediaan ubi kayu dalam negeri masih belum cukup stabil.
Grafik di bawah ini menunjukkan perkembangan produksi ubi kayu Indonesia
selama tujuh tahun terakhir.
24500000
24000000
Produksi (ton)
23500000
23000000
22500000
22000000
21500000
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Gambar 1 Produksi Ubi Kayu Indonesia tahun 2009-2016
Sumber : Badan Pusat Statistik 2016
Sektor hulu menjadi penting dalam rangka menjaga ketersediaan ubi kayu
nasional dimana petani memegang peranan didalamnya. Permasalahan ubi kayu di
Indonesia selama ini diantaranya produktivitas ubi kayu yang belum optimal,
kepastian pemasaran yang tidak ada serta harga jual ubi kayu yang rendah.
Produktivitas ubi kayu di Indonesia masih tergolong rendah dikarenakan ilmu
pengetahuan dan teknologi petani ubi kayu juga masih rendah, saprodi yang masih
sulit, mahal dan tidak mencukupi serta adanya ketiadaan/kekurangan modal.
Tidak adanya kepastian pemasaran berarti petani tidak memiliki kepastian
mengenai harga ubi kayu.
Harga ubi kayu di tingkat petani belum mampu membuat petani untuk
meningkatkan produksinya hingga mampu menjaga ketersediaan ubi kayu di
dalam negeri dan beralih pada komoditas lain yang lebih menguntungkan. Harga
ubi kayu yang rendah diduga karena struktur pasar yang tidak efisien, petani tidak
memiliki keterkaitan dengan industri ubi kayu, kelembagaan kelompok tani yang
masih lemah serta pembinaan pemerintah yang belum baik. Zakaria (2000) dan
Sugino et al. (2009) menyebutkan bahwa struktur pasar ubi kayu di tingkat pabrik
dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung oligopsoni dengan
monopsony power yang lemah. Kondisi pasar yang demikian menyebabkan pabrik
tapioka mempunyai kelebihan dalam price control, padahal antara petani dan
industri memiliki keterkaitan untuk saling mendapat keuntungan. Selain itu di
Lampung sendiri pemerintah tidak memiliki kebijakan yang cukup mendukung
petani dalam rangka perlindungan harga terhadap harga ubi kayu.
3
Gambar 2 Saluran pemasaran ubi kayu di Gunung Batin Udik, Lampung Tengah
Sumber : Asmarantaka dkk 2014.
Perumusan Masalah
Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu per provinsi tahun 2015
No Provinsi Luas Panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Produksi (ton)
1 Lampung 301 684 26.64 8 038 963
2 Jawa Timur 149 094 23.19 3 458 614
3 Jawa Tengah 153 201 24.09 3 758 552
4 Jawa Barat 93 921 24.07 2 020 214
5 Sumatera Utara 45 052 33.18 1 495 169
Sumber : Badan Pusat Statistik 2016
Gambar pohon industri ubi kayu di bawah ini menunjukkan bahwa ubi
kayu di Lampung diolah menjadi beberapa produk seperti pakan ternak, tepung
cassava, pembuatan makanan ringan dan mengolahnya menjadi etanol. Namun
sebagian besar ubi kayu di Lampung diolah menjadi tapioka yang dibuktikan
dengan banyaknya perusahaan tapioka yang tumbuh dan berkembang di Lampung
(Lampung Tengah Dalam Angka 2013). Hal ini juga dikarenakan ubi kayu yang
banyak dihasilkan di Provinsi Lampung adalah jenis ubi kayu yang mengandung
HCN tinggi. Dari kadar HCN pada umbinya, ubi kayu dibedakan menjadi (1) ubi
kayu dengan kadar racun rendah yang dicirikan dengan ubi kayu manis dan aman
untuk dikonsumsi, (2) ubi kayu dengan kadar racun sedang yang dicirikan dengan
rasa agak pahit dan aman untuk dikonsumsi setelah ada perlakuan khusus, (3) ubi
kayu dengan kadar racun tinggi yang dicirikan dengan rasa pahit dan tidak aman
untuk dikonsumsi, harus dibuat gaplek atau tepung terlebih dahulu. Semua jenis
5
ubi kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku tapioka tetapi ubi kayu dengan kadar
racun lebih tinggi menghasilkan tapioka dengan kualitas lebih baik (Purba 2002).
Kulit Pakan
ternak
Tapioka Onggok
Daging Ellot
Ubi Kayu
Dextrin
Gula Gula
Glukosa Fruktosa
Gaplek Pellet Etanol
Asam
Sawut Tepung
organik
Casava
Senyawa kimia
Makanan lain
ringan
Gambar 3 Pohon Industri Ubi Kayu
Sumber : BPTP Provinsi Lampung 2008
Tabel 3 Luas dan produksi ubi kayu per kabupaten di Provinsi Lampung
tahun 2012
No Kabupaten Luas (ha) Produksi (ton)
1 Lampung Tengah 130 781 3 371 618
2 Lampung Utara 51 782 1 357 275
3 Lampung Timur 47 555 1 236 925
4 Tulang Bawang Barat 38 926 1 058 194
5 Tulang Bawang 19 767 532 395
6 Way Kanan 15 725 373 832
7 Lampung Selatan 10 100 214 730
8 Mesuji 4 629 126 661
9 Pesawaran 3 323 71 001
10 Pringsewu 621 12 850
11 Lampung Barat 674 13 680
12 Tanggamus 585 12 270
13 Bandar Lampung 159 3 390
14 Metro 122 2 530
Jumlah 324 749 8 387 351
Sumber : Lampung Dalam Angka 2013
9193676
1001 8637594 8387351
7721882
8329201
832 7569178
697 6394906
608 637
4984616 5499403
306 4806254
345 337
299 4673091
236
229
Harga (Rp)/kg Produksi (ton)
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 4. Perkembangan Harga (kiri) dan Produksi Ubi Kayu (kanan) di
Lampung tahun 2003-2013
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Lampung 2014; BPS 2016
dana untuk usahatani, petani terlibat dalam kelembagaan saluran pemasaran yang
memiliki kontrak yang tinggi dan sulit untuk berpindah pada alternatif saluran
pemasaran yang lain. Hal ini dikarenakan pedagang yang bertindak menjadi
saluran pemasaran juga dapat menjadi sumber keuangan bagi petani untuk
mendapatkan modal.
Kualitas ubi kayu yang dijual oleh petani memiliki keterkaitan dengan
saluran pemasaran yang dipilih petani dalam memasarkan produknya. Pabrik
melihat kualitas ubi kayu dari kadar aci ubi kayu, jenis varietas ubi kayu, usia
panen dan banyaknya kotoran atau materi lain yang terbawa pada saat panen ubi
kayu (Sagala 2011). Selain hal tersebut ukuran diameter ubi kayu, tingkat
kelayuan dan kebusukan, serta persentase bonggol juga diduga menjadi
pertimbangan. Pabrik atau pedagang ubi kayu memberlakukan sistem potongan
berat atau penalti yang dikenal dengan istilah rafaksi kuantitas untuk menilai
kualitas ubi kayu petani. Semakin sedikit kadar aci, kotoran, tua usia panen maka
semakin kecil potongan berat atau rafaksi yang diberikan pada hasil panen yang
dijual oleh petani, begitu pula sebaliknya.
Selama ini petani tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai
penentuan rafaksi oleh pabrik atau pedagang. Rafaksi sangat subyektif apabila
petani sebagai penjual produk tidak dapat menduga nilai rafaksi dan hanya
ditentukan sepihak oleh pembeli. Penentuan rafaksi seharusnya menjadi
kesepakatan kedua belah pihak, dan kedua belah pihak memiliki pengatahuan
yang sama tentang cara penentuannya. Rafaksi menjadi salah satu bentuk
standardisasi produk, yaitu persetujuan dari partisipan (pembeli, penjual, pabrik)
terhadap produk untuk dimensi ukuran dan kualitas produk termasuk atribut
produk seperti tingkat kematangan, warna, volume per unit, tingkat keseragaman
dan lain-lain dimana partisipan sepakat mengelompokkan dalam kelas-kelas
tertentu (Asmarantaka 2013).
Rafaksi yang diberlakukan oleh pabrik atau pedagang pada hasil panen
petani melalui sistem perhitungan yang tidak transparan dan cenderung dianggap
merugikan petani ubi kayu. Rafaksi yang seharusnya menjadi ukuran agar ubi
kayu yang dijual petani sesuai dengan kualitas yang ditentukan oleh pembeli,
namun dalam prakteknya penentuan rafaksi yang merupakan potongan berat
terkadang menjadi salah satu sarana bagi pabrik atau pedagang untuk
mendapatkan pendapatan lebih dari selisih rafaksi yang ditetapkan pada masing-
masing lembaga. Dalam 20 ton hasil panen petani misalnya, pabrik bisa
menetapkan rafraksi 15 persen, sehingga tonase yang dibayar hanya 17 ton dan 3
ton sisanya dianggap sebagai rafraksi. Sementara pada level pedagang nilai rafaksi
yang ditetapkan bisa lebih tinggi lagi. Penentuan rafaksi yang demikian tentu akan
menjadi permasalahan sangat serius jika terus menerus tidak terdapat penyelesaian
bagi petani karena menyangkut masa depan ubi kayu di Lampung. Ketika petani
tidak lagi merasa memperoleh pendapatan yang baik dari usahatani ubi kayu maka
lambat laun produksi dan luas panen ubi kayu di Lampung akan semakin menurun
dan menyebabkan impor semakin meningkat.
Saluran pemasaran berperan dalam menentukan harga dan rafaksi ubi kayu
sehingga berpengaruh pada pendapatan yang diterima petani. Selain menawarkan
pilihan harga, saluran pemasaran juga kerap kali berperan dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh petani yang mungkin saja tidak ditawarkan oleh
saluran pemasaran lain. Adanya pilihan saluran pemasaran, diharapkan mampu
9
memberikan alternatif harga jual yang lebih baik bagi petani ubi kayu sehingga
memberikan pendapatan yang maksimal.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang ingin dikaji dalam
penelitian ini adalah :
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh
petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah?
2. Bagaimana mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu di Kabupaten Lampung
Tengah?
3. Bagaimana pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing saluran
pemasaran?
4. Bagaimana pengaruh saluran pemasaran yang dipilih terhadap pendapatan
yang diperoleh oleh petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
usahatani ubi kayu. Penelitian hanya melihat perilaku ditingkat petani dan tidak
mengarah pada lembaga pemasaran selanjutnya serta sistem pemasaran ubi kayu
secara keseluruhan. Pada faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran
pemasaran, saluran yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi
dua, yaitu pabrik dan selain pabrik. Hal ini dikarenakan untuk melihat perbedaan
antara lembaga yang melakukan fungsi utamanya dalam hal fungsi pertukaran
(penjualan dan pembelian) yaitu pedagang, dengan lembaga yang fungsi
utamanya selain fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), juga melakukan
fungsi fisik (pengolahan ubi kayu) yaitu pabrik. Pedagang mendapatkan
keuntungan dari kegiatan jual beli ubi kayu sedangkan pada pabrik mendapatkan
keuntungan selain dari jual beli ubi kayu juga dari hasil pengolahan ubi kayu.
Pada penelitian ini pengukuran kualitas ubi kayu hanya dibatasi pada pengukuran
berdasarkan persepsi dari petani dan tidak menghimpun informasi dari lembaga
lain seperti pedagang atau pabrik. Penelitian hanya dilakukan di Kabupaten
Lampung Tengah yang merupakan sentra ubi kayu di Lampung, sehingga dengan
asumsi sudah mewakili daerah sentra produksi ubi kayu di Indonesia.
2 TINJAUAN PUSTAKA
dengan pedagang, karena antar makelarpun ada perkumpulan yang tidak bisa
dilanggar, terutama untuk ubi kayu yang berasal dari luar daerah setempat.
Pedagang pengumpul yang berupa pemborong/penebas umumnya membeli
langsung ke petani dengan cara tebasan. Dalam melakukan tawar menawar agar
tidak rugi, maka penebas biasanya sudah memiliki ilmu dalam jenis varietas,
kesuburan tanah, umur tanam dan informasi harga. Ubi kayu yang didapat dari
petani kemudian dijual ke pengusaha tapioka.
Zakaria (2000) dalam penelitiannya mengenai analisis penawaran dan
permintaan produk ubi kayu Lampung menyatakan bahwa pasar ubi kayu di
tingkat pabrik dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung
oligopsoni dengan monopsony power yang lemah. Pasar terdiri dari banyak
penjual (petani) serta pembeli (pabrik dan pedagang) yang tergolong sedikit.
Dengan demikian dalam melakukan penjualan produknya petani penerima harga
(price taker) dan petani terpaksa menerima rafraksi yang cukup besar. Biaya
transportasi ubi kayu dari lokasi sentra produksi ubi kayu ke sentra pabrik gaplek
atau tapioka belum optimal. Alternatif kelembagaan transaksi yang mampu
memberikan biaya trasportasi ubi kayu minimal adalah kelembagaan kemitraan
yang dibentuk oleh para petani di suatu sentra produksi dengan pabrikan di sentra
industri gaplek atau tapioka yang lokasi lahan usahatani dan pabriknya saling
berdekatan.
Saluran Pemasaran
perusahaan inti, akibatnya petani hanya menerima laporan jumlah produksi CPO
(crude palm oil), keadaan demikian ini terjadi karena sampai saat ini KUD belum
melakukan pengawasan terhadap pengelolaan rendemen. (4). Ketidak setaraan
pengetahuan dan informasi pasar antara perusahaan inti dengan petani plasma,
sering terjadi pada saat pembelian TBS, perusahaan inti membeli TBS dari petani
plasma dengan harga lokal (rupiah), sedangkan peruasahaan inti menjual CPO
dengan harga $ (US Dollar), hal ini terjadi karena perusahaan inti mempunyai
akses pasar ekspor, sedangkan petani tidak pernah mengetahui harga CPO di pasar
luar negeri, terjadilah disparasi harga, kondisi ini merugikan pihak petani plasma
(Badri, 2011).
Asmarantaka dkk (2014) meneliti mengenai pemasaran ubi kayu di
Lampung memberikan hasil bahwa umumnya terdapat tiga saluran ubi kayu dari
petani ke pabrik. Saluran pertama yaitu dari petani langsung ke pabrik, saluran
kedua dari petani ke pemborong lalu ke pabrik, dan saluran ke tiga dari petani ke
lapak lalu ke pabrik. Ayatillah (2013) yang melakukan penelitian mengenai
komparasi saluran pasar dan modern di Kabupaten Bandung menyatakan bahwa
adanya saluran pasar modern terhadap petani berdampak pada meningkatnya
produktivitas sayuran yang dihasilkan oleh petani, meningkatnya pendapatan dan
meningkatnya kualitas sayuran yang dipasarkan. Adapun dampak saluran pasar
modern terhadap saluran pasar tradisional antara lain berkurangnya volume
perdagangan sayuran di pasar tradisional, bertambahnya fungsi pemasaran, serta
saluran pemasaran tradisional menjadi lebih pendek.
air dan kotoran. Penilaian kualitas ini disebut rafaksi, yang bisa berupa
pengurangan terhadap harga ataupun berat terhadap kualitas jagung yang diluar
standar. Namun informasi mengenai standar kualitas ini tidak cukup pada level
pedagang desa. Terlebih lagi mereka tidak memiliki alat dan hanya memiliki
metode sederhana untuk menghitung kadar air. Sedangkan karakteristik kualitas
lain terus ditambahkan oleh industri pakan seperti benih busuk, jamur, warna dan
lain-lain. Petani dan pedagang tidak dapat menemukan syarat tersebut pada pasar
ditingkat bawah.
Kualitas ubi kayu sering dinilai dari banyaknya penalti kuantitas atau
disebut dengan rafaksi yang diberikan melalui potongan berat terhadap hasil
panen ubi kayu yang dijual petani. Akiyama dan Nishio (1996) menyebutkan
bahwa dalam penentuan rafaksi ubi kayu di Lampung, petani tidak diizinkan
untuk melihat proses penentuannya, seperti kadar aci dan kemurnian ubi, termsuk
juga proses penimbangan. Sugino dan Henny (2009) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa pabrik di Lampung Timur tidak terbuka mengenai standar
kualitas yang mereka tentukan dan bagaimana cara mereka dalam mengetes ubi
kayu untuk menentapkan kualitas ubi kayu yang dijual petani. Petani ubi kayu di
Lampung tidak diperkenankan melihat proses penimbangan ubi kayu yang
dilakukan oleh pabrik. Oh (1983) dalam tulisannya menyebutkan transaksi jual
beli komoditi pertanian dalam negeri cenderung tidak menggunakan standardisasi
dan grading dibandingkan dengan transaksi komoditi yang diekspor. Meskipun
dalam hal ini sebenarnya terdapat standard dan grading. Dan yang lebih penting
lagi kualitas grading dan klasifikasi dari komoditi lebih banyak dilakukan oleh
pembeli. Pembeli memiliki posisi yang lebih baik dalam memperdebatkan hal ini.
Wiyanto dan Kusnadi (2013) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat menyatakan bahwa
penyebab rendahnya kualitas karet di tingkat petani adalah penggunaan pembeku
selain pembeku terbaik dan dianjurkan lembaga penelitian karet yakni asam semut.
Selain pembeku, penyebab rendahnya kualitas karet di tingkat petani adalah
tercampurnya koagulump dengan kotoran seperti tatal, daun dan karet kering yang
berwarna hitam. Dengan adanya hal ini petani melakukan perbaikan kualitas karet,
yang ternyata menyebabkan adanya peningkatan keuntungan dengan lebih
tingginya harga karet tersebut. Karena peningkatan kualitas karet di tingkat petani
hanya akan berhasil jika terdapat keuntungan dari peningkatan kualitas yang
dilakukan petani berupa tambahan pendapatan.
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Pemasaran
yang terjadi dalam upaya menciptakan atau menambah nilai guna (bentuk, tempat,
waktu dan kepemilikan) dengan tujuan memenuhi kepuasan konsumen akhir
(Kohls 1967; Asmarantaka 2013).
Alma (2011) mengatakan bahwa pemasaran mencakup berbagai kegiatan
seperti membeli, menjual, dengan segala macam cara, mengangkut barang,
menyortir, menyimpan dan sebagainya, yang bersifat produktif dan dapat
menimbulkan kegunaan (utility). Cramer (1998) juga menjelaskan mengenai
konsep kegunaan ini. Pemasaran didefinisikan sebagai kegiatan usaha yang
menggerakkan aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen atau pengguna
akhir. Baik yang berakhir pada konsumen yang membeli produk di toko eceran
atau sebagai bahan baku untuk tahap produksi lain. Pemasaran mencakup
perusahaan pasokan input yang melayani pertanian dan peternakan. dengan
demikian, pemasaran terdiri dari usaha-usaha yang transfer pengaruh kepemilikan
dan yang menciptakan kegunaan waktu, tempat dan bentuk.
Pada negara yang maju kegiatan pemasaran lebih berorientasi pada
keinginan masyarakat (buyer’s market), sedangkan untuk negara berkembang
kegiatan pemasaran berorientasi pada kebutuhan masyarakat (seller’s market).
Dan setiap komoditas pemasaran memiliki cara yang khusus untuk mencapai
pergerakan produk dari produsen ke konsumen akhir melalui berbagai lembaga
yang disebut dengan saluran pemasaran (Kohls 1967). Dalam kegiantannya
pemasaran memiliki tiga pendekatan. Pendekatan tersebut yaitu pendekatan
kelembagaan (institutional approach), pendekatan fungsi (fungtional approach)
yang terdiri atas fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas, serta
pendekatan komoditi (commodity approach) (Alma 2011 ; Seperich 1994).
Kebanyakan orang mengira marketing (pemasaran) adalah selling
(penjualan) atau advertising (iklan), meskipun benar selling dan advertising
adalah bagian dari marketing. Namun marketing lebih luas dibandingkan dengan
selling atau advertising (Mc Carthy dan William 1991). Pemasaran menekankan
pada apa yang diinginkan konsumen, perusahaan merancang produk yang
bertujuan untuk memuaskan selera konsumen, berorientasi pada profit atau laba
total, bukan pada laba per unit barang, dan rencana dibuat dalam jangka panjang
untuk memikirkan pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang (Stanton
1981 dalam Alma 2011). Sedangkan penjualan lebih menekankan kegiatan pada
produk, dimana perusahaan mula-mula membuat produk lalu menjualnya,
manajemen berusaha pada tercapainya volume penjualan sebesar-besarnya, dan
biasanya rencana dibuat dalam jangka pendek.
Pemasaran mencakup dua aspek yaitu aspek ekonomi atau makro dan
aspek manajemen atau mikro. Pemasaran dalam aspek makro adalah proses sosial
yang mengarahkan aliran ekonomi barang dan jasa dari produsen ke konsumen
dengan cara yang efektif, sesuai penawaran dan permintaan masyarakat.
Pemasaran dalam aspek mikro adalah kegiatan yang berusaha untuk mencapai
tujuan organisasi/perusahaan dengan memenuhi kebutuhan dan kepuasan
pelanggan atau klien, dan mengarahkan aliran kebutuhan barang dan jasa dari
produsen ke konsumen atau klien (Mc Carthy dan William 1991; Asmarantaka
2013).
Fungsi-fungsi dalam pemasaran yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan
fungsi fasilitas mencakup sembilan fungsi-fungsi lagi didalamnya (Kohls 1967;
Seperich 1994; Mc Carthy 1991; Cramer 1988), seperti ditunjukkana pada Tabel 4.
16
Pada pasar ekonomi terbuka kesembilan fungsi tersebut normalnya dilakukan oleh
middlemen. Middlemen ada dikarenakan perantara mampu melakukan beberapa
tugas-tugas pemasaran yang lebih efisien daripada harus dilakukan oleh
perusahaan. Perantara membantu untuk mengatasi perbedaan dalam jumlah,
tempat, waktu pilihan dan kepemilikan yang timbul. Perantara adalah perusahaan
bisnis yang membantu perusahaan menemukan pelanggan atau mendekatkan
penjualan kepada perusahaan. Terbagi menjadi dua jenis, yaitu agen perantara dan
pedagang perantara. Agen perantara (agen, broker, wakil-wakil produsen)
bertugas mencari pelanggan atau melakukan negoisasi kontrak tetapi tidak
melakukan pemindahan hak milik barang. Perusahaan akan membayar mereka
berupa komisi. Sedangkan pedagang perantara adalah (pedagang grosir, eceran)
berfungsi untuk membeli, melakukan pemidahan hak milik dan menjual kembali
barang-barang tersebut.
Pemasaran yang baik dilihat melalui efisiensi pemasaran. Secara umum
pasar dinilai efisien apabila mampu menyampaikan barang dan jasa dari produsen
ke konsumen dengan biaya sekecil-kecilnya dan mampu mengadakan pembagian
yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen kepada semua pihak
yang ikut dalam produksi dan pemasaran barang/jasa tersebut. Namun ukuran
efisiensi tidak hanya dinilai dari hal tersebut, Asmarantaka (2013) menyebutkan
bahwa ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen maupun
lembaga-lembaga yang terlibat di dalam mengalirkan barang/jasa mulai dari
petani sampai konsumen akhir. Oleh karena itu, banyak pakar yang
mempergunakan ukuran efisiensi dengan menggunakan efisiensi operasional,
efisiensi harga dan efisiensi relatif. Efisiensi teknis berkaitan dengan cara dimana
fungsi-fungsi pemasaran fisik dilakukan untuk mencapai output maksimum per
unit input sedangkan efisiensi harga dipengaruhi oleh kekakuan biaya pemasaran,
sifat dan tingkat kompetisi di industri (Kohls 1967; Cramer 1988).
organisasi dalam proses penyaluran barang dan jasa dari produsen hingga ke
konsumen disebut lembaga pemasaran atau perantara (Bovee dan Thill 1992).
Dalam kegiatan pemasaran, keputusan memilih saluran pemasaran
merupakan keputusan penting (Kotler 1997). Lebih lanjut Kotler dan Keller
(2009) menyebutkan bahwa saluran yang dipilih mempengaruhi keputusan
pemasaran lainnya, seperti keputusan terhadap harga. Dalam memilih saluran
pemasaran, harga dan kenyamanan dalam kegiatan pemasaran dapat menjadi salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan saluran. Coughlan et al. (2006)
menyebutkan bahwa keputusan dalam pemilihan saluran pemasaran dapat
mempengaruhi efektivitas dan efisiensi dari struktur saluran.
Peran lembaga pemasaran adalah untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas keseluruhan dari suatu saluran pemasaran. Levens (2010) menjelaskan
bahwa lembaga pemasaran terdiri dari empat tipe yang meliputi:
1. Pedagang besar/grosir,yaitu perusahaan yang memperoleh produk dalam
jumlah besar dari perusahaan manufaktur dan kemudian melakukan proses
sortasi, penyimpanan, dan penjualan kembali kepada pedagang pengecer atau
bisnis lain.
2. Pedagang pengecer, yaitu seluruh anggota saluran yang terlibat secara langsung
dalam penjualan produk atau jasa untuk konsumen.
3. Agen, yaitu orang yang memfasilitasi pertukaran barang atau jasa tetapi tidak
memiliki barang yang yang mereka jual.
4. Fasilitator, yaitu orang yang membantu dalam pendistribusian barang dan jasa
tetapi tidak memiliki barang yang mereka jual dan tidak ikut serta dalam
negosiasi penjualan.
banyak kualitas yang heterogen satu sama lain. Konsumen akan bersedia
membayar dengan harga yang berbeda jika kualitas produk juga berbeda karena
akan menghasilkan tingkat kepuasan yang berbeda pula. Namun yang menjadi
catatan penting adalah bahwa perbedaan dalam kualitas harus dapat dilihat atau
diamati (observable). Ketika konsumen tidak menemukan perbedaan dalam
kualitas, maka produk tersebut tidak dapat dibayar dengan harga yang berbeda.
Produk pertanian (on farm) maupun produk agribisnis mempunyai
fluktuasi kualitas, tingkat kematangan, karakteristik mudah rusak, dan lain-lain
sehingga standardisasi dan grading sangat penting yang dapat meningkatkan
potensi dan nilai tambah produk tersebut. Pengolahan komoditi pertanian menjadi
produk yang siap dikonsumsi konsumen, dilakukan proses pengolahan seperti
pabrik. Untuk menjaga kualitas dan keseragaman produk akhir, biasanya pengolah
meminta bahan baku pertanian yang seragam dengan syarat-syarat standard dan
grading yang telah ditentukan. Biasanya mengandung karakteristik tingkat
kematangan, warna, kadar air, kadar kotoran, dan lain-lain (Asmarantaka 2013).
Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa produk agribisnis yang kualitas
berdasarkan grade dan standardisasi tertentu akan meningkatkan efisiensi
pemasaran (efisiensi harga dan efisiensi teknis). Efisiensi teknis berkaitan dengan
pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan rasio output-input
pemasaran yang biasanya diukur melalui margin pemasaran dan farmer’s share.
Sedangkan efisiensi harga menekankan pada kemampuan sistem pemasaran dalam
mengalokasikan sumberdaya, dan mengkordinasikan seluruh produksi pertanian
dan proses pemasaran sehingga efisien yang sesuai dengan keinginan konsumen.
Efisiensi harga dapat tercapai apabila (1) masing-masing pihak yang terlibat puas
dan responsif terhadap harga, (2) penggunaan sumberdaya mengalir dari
penggunaan bernilai guna rendah ke nilai yang tinggi, dan (3) mengkordinasikan
aktivitas antara pembeli dan penjual.
Aktivitas grading akan meningkatkan efisiensi harga dan efisiensi
operasional. Meningkatkan efisiensi harga karena meningkatkan arti kuota harga
dari informasi pasar, meningkatkan ketepatan harga, meningkatkan kompetisi
alokasi produk sesuai dengan permintaan dari produk-produk yang telah
mengalami grading dan standardisasi. Demikian pula akan meningkatkan efisiensi
opersional karena menghemat waktu dan meningkatkan kemampuan menjual
produk dengan produk yang standar, mengurangi biaya penjualan dan iklan karena
dapat dilakukan melalui sampel, dan penjualan akan efektif dan efisien karena
pergerakan produk sesuai dengan segmen pasar yang aka dituju (Asmarantaka
2013).
Beberapa kriteria grading dan standardisasi yang diperlukan, sehingga
informasinya mempunyai arti (Kohls dan Uhl 2002), yaitu :
1. Stadardisasi karakteristiknya harus mudah dikenal, grading berorientasi
kepada penggunaan nilai opini.
2. Standardisasi harus berdasarkan karakteristik atribut yang seragam,
konsisten, dan mudah diinterpretasikan.
3. Standardisasi harus mempergunakan faktor-faktor dan terminologi yang
membuat grading mempunyai arti dan manfaat sebanyak mungkin.
4. Standardisasi dan grading harus sama kriterianya antara konsumen dan
produsen atau pelaku-pelaku pasar, pengklasifikasiannya harus mencakup
21
Pendapatan Usahatani
Dimana:
Π = pendapatan (Rp)
Y = output (Kg)
Py = harga output (Rp)
Xi = faktor produksi (I = 1, 2, 3, … , n)
Pxi = harga faktor produksi ke-I (Rp)
TFC = Biaya tetap total (Rp)
Ketidaksamaannya yaitu dari segi sifat dan behavior petani bersangkutan. Petani
besar seringkali berprinsip bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya melalui pendekatan profit maximization karena mereka tidak dihadapkan
pada keterbatasan biaya. Sebaliknya petani kecil bertindak memperoleh
keuntungan dengan keterbatasan yang dimiliki (Daniel 2004).
Harga menjadi sinyal utama bagi petani dalam memilih saluran pemasaran,
karena dengan harga tinggi petani mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Hasil
panen yang sedikit diduga akan membuat petani memilih saluran pemasaran
pedagang. Jarak ladang dengan pembeli diduga mempengaruhi pilihan saluran
pemasaran karena berkaitan dengan biaya transportsi. Tingkat pendidikan yang
tinggi diduga membuat petani memiliki informasi yang lebih baik dan
kemampuan untuk bernegosiasi sehingga mambuatnya memilih saluran
pemasaran yang lebih menguntungkan. Usia panen akan mempengaruhi pilihan
saluran pemasaran karena usia yang cukup maka kualitas ubi kayu lebih baik.
Semakin sedikit kadar aci, kotoran, tua usia panen maka semakin kecil
potongan berat atau rafaksi yang diberikan pada hasil panen yang dijual oleh
petani. Begitu pula sebaliknya. Namun petani tidak memiliki pengetahuan yang
baik mengenai penentuan rafaksi oleh pabrik atau pedagang. Rafaksi sangat
subyektif ketika petani tidak dapat menduga nilai rafaksi. Penentuan rafaksi
seharusnya menjadi kesepakatan kedua belah pihak, dan kedua belah pihak
memiliki pengatahuan yang sama tentang cara penentuannya. Pada penelitian ini
akan dilihat juga bagaimana mekanisme penentuan potongan berat atau rafaksi
yang diterima oleh petani pada saat menjual ubi kayu. Modal menjadi faktor
berikutnya yang diduga ikut mempengaruhi petani dalam memilih saluran
pemasaran. Dalam hal ini ada lapak atau pemborong yang berdiri indenpenden
atau menjadi salah satu bentuk perpanjangan tangan dari pabrik guna mendapat
bahan baku ubi kayu dari petani. Lembaga pemasaran ini memperoleh sebagian
atau seluruh modal usaha dari pabrik, perilaku ini juga dilakukan oleh mereka
pada petani sehingga petani memiliki keterikatan untuk menjual ubi kayu
kepadanya.
Setiap saluran pemasaran yang berbeda yang dilalui petani memiliki
tingkat harga penjualan dan biaya yang berbeda pula. Petani bisa melakukan
pemilihan terhadap saluran pemasaran yang akan digunakan sebagai jalur
penjualan produknya untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Dalam
melakukan keputusan pemilihan saluran pemasaran yang akan digunakan untuk
menjual produknya petani mempertimbangkan beberapa faktor seperti harga,
jumlah hasil panen, jarak, tingkat pendidikan, rafaksi, usia panen atau bahkan
keterlibatan pedagang perantara yang ikut memberikan modal usaha pada petani.
Oleh karena itu penelitian ini akan melihat faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pilihan petani ubi kayu di lokasi penelitian dalam menentukan
saluran pemasaran penjualan ubi kayu.
Tujuan penelitian selanjutnya adalah melihat apakah keputusan pemilihan
saluran pemasaran mempengaruhi pendapatan petani ubi kayu. Pendapatan petani
selain dipengaruhi oleh saluran pemasaran juga diduga mempengaruhi pendapatan
petani seperti luas lahan, harga bibit, pupuk, obat, tenaga kerja dan biaya panen.
Pada akhir penelitian ini akan dapat memberikan rekomendasi saluran pemasaran
yang memberikan solusi atas saluran yang memberikan pendapatan lebih tinggi,
serta penentuan rafaksi yang lebih baik. Gambar 5 menunjukkan kerangka
operasional penelitian.
24
Saluran pemasaran
4 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data
primer dan data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data
primer berasal dari petani ubi kayu dan pelaku pemasaran ubi kayu di Kabupaten
Lampung Tengah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan instansi
terkait yang menyediakan data relevan dengan penelitian.
.
( )
( ) ( )
+ 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + 4 D4 + D5+ D6 7 D7
e 5 6
(x) = + 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + 4 D4 + D5+ D6
1+ e 5 6 7 D7
27
Keterangan :
π (x) = P (Y = 1 | x) adalah peluang bersyarat kejadian Y = 1.
Keterangan :
g (x) = saluran pemasaran yang ditransformasi dalam dua variabel
nominal yakni 1 untuk saluran pemasaran pabrik, dan 0 untuk
saluran lembaga pemasaran selain pabrik.
= konstanta
X1 = Harga jual (Rupiah/kilogram)
X2 = Jumlah hasil panen (Kilogram)
X3 = Jarak ladang ke pembeli (Kilometer)
X4 = Lama pendidikan terakhir (Tahun)
X5 = Rafaksi (persen)
X6 = Usia panen (bulan)
X7 = Ada pinjaman modal (dummy, 1 = ya, 0 = tidak)
Pengujian Parameter
Pengujian parameter dalam binomial logit penting untuk dilakukan. Hal ini
dikarenakan pengujian tersebut digunakan untuk menentukan apakah variabel
penjelas dalam model signifikan terhadap variabel respon.
Keterangan :
Lu : likelihood model tereduksi
Lk : likelihood model penuh
Statistic G ini mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas p.
28
̂
(̂ )
Keterangan :
̂ : penduga untuk parameter ( )
SE ̂ : penduga galat baku untuk koefisien
( ) ( )
( ) ( )
Analisis Pendapatan
Pendapatan ( )
Dimana :
Π : Pendapatan (Rp)
TR : Total Revenue (Rp)
TC : Total Cost (Rp)
Dimana :
π = pendapatan usahatani (Rp)
X1 = luas lahan (ha)
X2 = harga bibit (Rp)
X3 = harga pupuk (Rp)
X4 = harga obat-obatan (Rp)
X5 = tenaga kerja (Rp)
X6 = biaya panen (Rp)
X7 = saluran pemasaran ( ̂)
α = konstanta
1,2,3,4,5,6 = koefisien atau parameter yang hendak dihitung
ε = error
Untuk memperoleh hasil pengujian yang baik, maka semua data yang
dibutuhkan dalam penelitian harus diuji terlebih dahulu agar tidak melanggar
asumsi klasik. Sehingga hasil pengujian yang dilakukan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara tegas dan nyata. Beberapa hal yang
dilakukan dalam uji asumsi klasik meliputi uji multikolinieritas, autokorelasi dan
heteroskedastis (Sitepu dan Bonar 2002).
Multikolinearitas yaitu kondisi persamaan antar variabel independent
berkorelasi dan koefisien determinasinya (R2) tinggi tetapi uji hipotesis secara
individual tidak banyak yang nyata atau bahkan tidak ada yang nyata. Untuk
menentukan masalah multicollinearity dapat dilihat nilai Variance Inflation
Factor (VIF), yang mana bila VIF lebih besar dari 10 menunjukkan masalah
sangat serius. Autokorelasi, yaitu korelasi antar variabel itu sendiri pada observasi
individu yang berbeda, mendeteksinya dengan uji Durbin-Watson (DW). Dalam
penelitian, apabila DW terletak antara 2 dan 1.77 atau antara lebih dari 2 dan
kurang dari 2.23 maka menunjukkan tidak terdapat autokorelasi negatif atau
positif. Autokorelasi biasanya tidak muncul dalam data cross section. Data cross
section menunjukkan titik waktu, sehingga ketergantungan sementara tidak
dimungkinkan oleh sifat data itu sendiri. Selanjutnya, heteroskesdastisitas, yaitu
dimana kondisi sebaran variansnya semakin melebar atau membesar (tidak
konstan) dan dideteksi dengan grafik plot residual atau metode Park.
31
Keadaaan Geografis
Desa Mataram Udik merupakan salah satu dari 13 desa yang terdapat di
Kecamatan Bandar Mataram. Luas wilayah desa ini 164.24 km2 dan merupakan
desa terluas kedua di Kecamatan Bandar Mataram. Desa Mataram Udik berjarak
38 km dari ibukota kabupaten. Desa ini terdiri atas 9 dusun, yaitu dusun Subing
Mataram, Sumedang, Tridaya, Bandung Jaya, Sido Mukti, Moro Seneng, Sukolilo,
Purwodadi dan Karya Mataram. Jumlah penduduk Desa Mataram Udik sebanyak
13 505 jiwa, terdiri atas 2 496 kk dan kepadatan penduduk mencapai 211.6
jiwa/km2 (Profil Desa Mataram Udik 2013). Secara geografis Desa Mataram Udik
dibatasi oleh wilayah sebagai berikut :
Sebelah utara : Kabupaten Tulang Bawang
Sebelah timur : Desa Mataram Jaya dan Sumber Rejeki Mataram
33
Masyarakat Desa Mataram Udik terdiri dari penduduk asli dan pendatang.
Sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh
Desa Mataram Udik merupakan desa sentra penghasil ubi kayu di Kecamatan
Bandar Mataram. Luas areal ubi kayu mencapai 4 679 ha, dengan produktivitas 20
ton/ha, dan produksi 93 580 ton pada tahun 2012 (Bandar Mataram dalam Angka
2013). Areal pertanian di Desa Mataram Udik sebagian besar merupakan areal
perladangan untuk bercocok tanam ubi kayu dan terdapat areal persawahan yang
merupakan sawah tadah hujan. Sumber pengairan untuk kegiatan pertanian
berasal dari sungai dan hujan. Terdapat 23 kelompok tani di desa tersebut yang
masih aktif dalam aktivitas kelembagaan petani sampai saat ini.
Desa Terbanggi Ilir memiliki luas areal tanam ubi kayu 655 ha, dengan
produktivitas 20 ton/ha dan produksi mencapai 13 100 ton pada tahun 2012. Tidak
seperti Desa Mataram Udik yang hanya mengandalkan hujan sebagai sumber
pengairan, areal pertanian di Desa Terbanggi Ilir memiliki pengairan ½ teknis dan
tadah hujan (Bandar Mataram dalam Angka 2013). Petani di desa Terbanggi Ilir
mengusahakan padi, ubi kayu dan jagung sebagai komoditi utama. Terdapat 15
kelompok tani di desa ini dan sebagian besar petani tergabung di dalamnya.
kayu yang banyak diusahakan oleh petani diantaranya varietas casesart dan
varietas BW. Di Desa Mataram Jaya terdapat 22 kelompok tani dimana petani di
desa tersebut banyak tergabung didalamnya.
Usia
Dari hasil penelitian petani responden memiliki usia rata-rata 47.13 tahun.
Sebagian besar petani responden yaitu 96.88 persen berada pada kelompok usia
produktif. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 penduduk
tergolong sebagai tenaga kerja atau masuk dalam usia produktif jika penduduk
tersebut telah memasuki usia kerja, usia kerja yang dimaksud disini sebagai usia
produktif manusia adalah kelompok usia 15 tahun – 64 tahun. Sementara
penduduk di luar usia tersebut bukan termasuk tenaga kerja, yaitu mereka yang
berada pada usia dibawah 15 tahun atau disebut anak-anak dan diatas usia 64
tahun atau disebut lansia.
Usia minimal responden di wilayah penelitian pada kelompok usia
produktif adalah 28 tahun, dan usia maksimal responden pada kelompok usia
produktif adalah 62 tahun. Sementara itu terdapat 5 orang atau 6.75 persen
responden yang berada pada usia lanjut. Usia produktif responden menunjukkan
pengusahaan kegiatan usahatani ubi kayu di wilayah penelitian dilakukan oleh
tenaga kerja dengan kemampuan fisik yang masih baik. Selain itu juga, hal ini
mengindikasikan bahwa di wilayah penelitian potensi pengembangan komoditas
ubi kayu di masa datang memiliki peluang yang cukup menjanjikan, bila
didasarkan pada usia petani saat ini. Sebaran responden berdasarkan usia dapat
dilihat dalam Tabel 6.
Pendidikan
Pengalaman Bertani
Pekerjaan Utama
Luas Lahan
Petani responden memiliki lahan ubi kayu yang telah berproduksi rata-rata
sebesar 1.67 hektar, dengan rentang nilai 0.25 hektar hingga 15 hektar. Sebanyak
57 responden atau 77.02 persen memiliki lahan dengan luas antara 0.25 – 2.25 ha.
Sementara itu sebanyak 12 orang atau 16.21 persen responden memiliki lahan
dengan luas antara 2.26 – 4.25 ha, sebanyak 5 orang atau 6.75 persen responden
memiliki lahan dengan luas 4.26 – 6.25 ha dan terdapat satu orang responden yang
memiliki lahan dengan luas 15 ha. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
kepemilikan lahan ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah masih dalam skala
yang cukup luas. Luas lahan diduga akan memengaruhi keinginan petani untuk
meningkatkan pendapatan dengan peningkatan produksi dan produktivitas.
Semakin luas lahan yang diusahakan maka petani akan bertindak lebih komersial
dalam mengusahakan usahataninya. Sebaran responden berdasarkan luas lahan
dapat dilihat dalam Tabel 11.
mereka sampai menyewa lahan guna melakukan budidaya ubi kayu. Sebaran
responden berdasarkan status kepemilikan lahan dapat dilihat dalam Tabel 12.
Gambar 8. Agen ubi kayu, supir truk (kiri) dan mitra (kanan)
16.22%
Agen (Supir truk) Pabrik Tapioka
12.16%
Petani ubi kayu Pedagang pengumpul
(Pemborong )
4.05%
Pedagang pengumpul
(Lapak)
13.51%
Agen (Mitra)
Perantara (pedagang
pengumpul dan agen)
usia panen ubi kayu maka kemungkinan petani untuk memilih pabrik
sebagai saluran pemasaran semakin besar dan sebaliknya
5. Lama pendidikan. Lama pendidikan diharapkan memiliki efek positif pada
saluran pemasaran yang dipilih oleh petani ubi kayu. Artinya semakin
lama (tinggi) pendidikan yang ditempuh oleh petani maka kemungkinan
petani ubi kayu untuk memilih saluran pemasaran pabrik semakin besar
dibandingkan dengan saluran pemasaran selain pabrik dan sebaliknya.
6. Rafaksi atau potongan berat. Rafaksi diharapkan memiliki efek positif
pada saluran pemasaran yang diplih oleh petani ubi kayu. Artinya semakin
besar (tinggi) rafaksi yang ditetapkan pada hasil panen ubi kayu petani,
maka kemungkinan petani untuk memilih saluran pemasaran pabrik
semakin besar dan begitu pula sebaliknya.
7. Adanya pinjaman modal. Pinjaman modal diharapkan memiliki efek
negatif pada saluran pemasaran yang dipilih petani. Adanya pinjaman
modal dari pihak mitra kepada petani menyebabkan peluang petani ubi
kayu untuk memilih saluran pemasaran pabrik semakin kecil dan
sebaliknya.
berdasarkan insentif ekonomi dan rasionalitas, tapi juga ada faktor-faktor sosial,
ekonomi dan politik yang mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya.
Sisfahyuni et al. (2011) menyebutkan bahwa adanya keterbatasan
informasi menyebabkan rasionalitas petani menjadi terbatas (bounded rationality),
sehingga petani bertindak seolah-olah tidak rasional. Petani yang memiliki skala
usaha dan luas lahan relatif kecil cenderung memilih menjual melalui agen karena
keterbatasan informasi pasar dan kurangnya kemampuan bernegoisasi dengan
pembeli. Dengan menjual melalui agen petani biasanya mendapatkan bagi hasil
atas fee yang diberikan pabrik kepada agen sebesar Rp10/kg. Fee merupakan
bagian dari aturan main (kontrak) dalam hubungan antara petani dengan supir truk
atau mitra. Petani yang memiliki skala usaha dan luas lahan lebih besar lebih
banyak memilih sendiri mengenai keputusan kemana ubi kayunya akan dijual.
Pada petani yang seperti ini agen hanya melakukan fungsi utama sebagai supir
truk yang menyediakan jasa transportasi pengangkutan ubi kayu.
Sementara itu dalam rangka mendapatkan modal, petani juga terlibat
hubungan dengan agen yaitu mitra, yang memiliki keterikatan kontrak sangat kuat
meskipun tidak dilakukan perjanjian tertulis. Kesepakatan-kesepakatan yang
terjadi antara petani dan mitra hanya atas dasar kepercayaan. Petani yang
mendapatkan modal dari mitra maka secara otomatis saat panen harus menjual ubi
kayunya melalui mitra.
Variabel kedua yaitu jumlah hasil panen memiliki nilai koefisien bertanda
positif dan odds ratio sebesar 1.000. Nilai ini bermakna bahwa setiap kenaikan
atau perbedaan satu kilogram kuantitas hasil panen petani, maka peluang untuk
memilih tujuan penjualan hasil panen ke pabrik lebih besar 1.000 kalinya dari
peluang untuk memilih tujuan penjualan ubi kayu ke lembaga selain pabrik atau
bisa dikatakan peluang antara ke pabrik dengan ke selain parik adalah sama.
Beberapa responden mengaku kemudahan dalam menjual dirasakan ketika
menjual hasil panen dalam jumlah yang besar ke pabrik dibanding dalam jumlah
yang sedikit. Dalam jumlah besar, petani dapat melakukan tawar menawar
mengenai rafaksi yang akan dikenakan pada hasil panen ubi kayunya. Sementara
petani yang memiliki jumlah panen sedikit tidak bisa mempengaruhi rafaksi
dengan cara tawar menawar. Selain itu dalam jumlah sedikit petani terkadang
merasa enggan untuk menjual ke pabrik dan lebih cenderung untuk memilih
menjual ke pedagang pengumpul atau agen.
Keberadaan agen disini menjadi penjamin bagi pabrik untuk menerima
hasil panen petani meskipun hanya dalam jumlah yang kecil. Agen dianggap
dapat memastikan kualitas hasil panen petani meskipun hanya dalam jumlah
sedikit. Selain itu hal ini juga mempengaruhi keberlangsungan hubungan antara
agen dan pabrik untuk tetap terjaga dan agar agen dapat selalu menyuplai
kebutuhan ubi kayu pabrik sesuai dengan jumlah ubi kayu yang dibutuhkan pabrik.
Pabrik memilih untuk melakukan kerjasama dengan agen atau pedagang
pengumpul seperti lapak karena dengan melakukan kerjasama ini pabrik dapat
lebih efisien dalam hal biaya untuk memperoleh ubi kayu, dibandingkan dengan
membentuk unit sendiri dalam perusahaannya yang berperan untuk memperoleh
input (Baye 2010). Baye (2010) menyebutkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan
inputnya perusahaan dapat menggunakan spot markets, kontrak kerjasama seperti
antara pabrik tapioka dengan agen/pedagang pengumpul, atau melalui integrasi
46
menunjukkan hal ini signifikan. Pabrik tetap bersedia menerima ubi kayu yang
masih muda ketika ubi kayu tersebut dijual melalui agen, lapak atau pemborong.
Seperti alasan yang telah disebutkan sebelumnya bahwa disini pabrik telah
memiliki kepercayaan dan hubungan kerjasama dengan pedagang pengumpul atau
agen sehingga bersedia menerima ubi kayu meskipun usianya masih muda. Hal ini
untuk menjaga keberlangsungan hubungan pabrik dengan pedagang pengumpul
atau agen agar tetap bersedia menyuplai kebutuhan ubi kayu ke pabrik. Tidak
jarang lapak juga berlaku curang kepada pabrik seperti mengoplos ubi kayu yang
muda dengan yang tua sehingga ubi kayu yang dijual oleh lapak secara
keseluruhan tampak berusia tua.
Variabel yang terakhir yaitu pinjaman modal memiliki nilai koefisien
bertanda negatif dan odds ratio sebesar 0.001. Nilai ini bermakna bahwa peluang
petani yang ada pinjaman modal untuk memilih menjual hasil panen ke pabrik
adalah 0.0001 lebih kecil dari peluang petani yang tidak ada pinjaman modal.
Ketika petani menginginkan pinjaman modal, maka ia harus memilih untuk
menjual ubi kayu melalui lembaga pemasaran selain pabrik, yaitu mitra. Mitra
disini adalah sebutan bagi supir truk yang tidak hanya memberikan jasa
pengangkutan ubi kayu tapi juga memberikan bantuan modal kepada petani
seperti uang, bibit, pupuk dan obat-obatan. Tujuan supir truk memberikan bantuan
modal adalah agar petani memiliki keterikatan dengannya sehingga petani
menjual hasil panen ubi kayunya melalui supir truk mitra tersebut. Beberapa lapak
juga disinyalir ada yang melakukan hal demikian. Keadaan ini merupakan bagian
dari strategi pedagang pengumpul dan agen dalam memperebutkan produk supaya
mengalir melalui lembaga pemasaran tersebut. Karena pasar di tingkat pedagang
pengumpul dan agen juga terdiri dari beberapa pelaku dan terdapat persaingan
sehingga mereka berupaya untuk menarik petani untuk menjual hasil panen
kepadanya.
Petani yang bekerjasama melalui kemitraan dengan supir mitra tidak hanya
mendapatkan manfaat berupa bantuan modal, namun juga memberikan kerugian
dengan adanya perbedaan harga yang ditetapkan oleh mitra atas modal yang
dipinjam petani. Misalkan pupuk urea yang dijual di pasaran dengan harga Rp95
000/sak, petani yang meminjam pupuk kepada mitra maka pada saat panen
dikemudian hari diharuskan membayarkan Rp115 000/sak. Rata-rata margin yang
ditetapkan oleh mitra adalah sebesar Rp20 000/sak dari harga umum di pasaran.
Sedangkan keuntungan yang diperoleh petani selain memperoleh bantuan modal
adalah berupa bagi hasil fee yang diberikan pabrik kepada supir mitra. Rata-rata
setiap agen yaitu supir truk dan mitra akan memperoleh fee dari pabrik sebesar
Rp20/kg. Fee ini oleh agen akan dibagi dua dengan petani sehingga masing-
masing memperoleh Rp10/kg.
Permasalahan modal masih cukup banyak dialami oleh petani ubi kayu
terutama petani dalam skala luas lahan yang kecil. Kurangnya peran pemerintah
dan kelembagaan seperti kelompok tani dalam menyelesaikan hal ini membuat
lembaga pemasaran seperti supir truk memanfaatkan hal ini. Selain itu pemerintah
juga kurang berperan dalam memberikan kebijakan yang dapat memberikan
perlindungan harga bagi petani ubi kayu. Padahal ubi kayu sendiri sangat berperan
dalam membangun perekonomian desa. Sedangkan untuk pabrik selama ini sangat
jarang menjalin kerjasama berupa kemitraan dengan petani. Jika diantara pabrik
dan petani terjalin suatu hubungan kemitraan tentu saja dapat menjadi salah satu
49
alternatif penyelesaian persoalan modal yang dihadapi petani. Selain itu adanya
kemitraan antara pabrik dan petani juga akan memberikan beberapa solusi seperti
menjamin kepastian pemasaran dan menghindari anjloknya harga yang sering
terjadi saat panen raya. Hal ini misalnya dengan pengaturan jadwal tanam dan
waktu supply (panen), pengaturan tonase supply, penjagaan kualitas sehingga
petani terhindar dari rafaksi yang tinggi serta pembinaan budidaya teknik ubi kayu.
sebagai rafraksi. Sementara pada level pedagang seperti lapak nilai rafaksi yang
ditetapkan bisa lebih tinggi lagi dari rafaksi yang ditetapkan oleh pabrik.
Selain nilai rafaksi yang dinilai tinggi, cara penentuan rafaksi bagi petani
menjadi sesuatu yang tidak bisa diprediksikan dan terkesan dirahasiakan oleh
pembeli. Petani ubi kayu tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai
bagaimana penentuan rafaksi oleh pabrik atau pedagang. Rafaksi sangat subyektif
ketika petani tidak dapat menduga nilai rafaksi. Penentuan rafaksi seharusnya
menjadi kesepakatan kedua belah pihak, dan kedua belah pihak memiliki
pengatahuan yang sama tentang cara penentuannya. Rafaksi menjadi salah satu
bentuk standardisasi produk, yaitu persetujuan dari partisipan (pembeli, penjual,
pabrik) terhadap produk untuk dimensi ukuran dan kualitas produk termasuk
atribut produk seperti tingkat kematangan, warna, volume per unit, tingkat
keseragaman dan lain-lain dimana partisipan sepakat mengelompokkan dalam
kelas-kelas tertentu (Asmarantaka 2013).
Beberapa hal yang dinyatakan sebagai kriteria penentuan kualitas ubi kayu
di Kabupaten Lampung Tengah menurut Sagala (2011) adalah dari kadar aci ubi
kayu, jenis varietas ubi kayu, usia panen dan banyaknya kotoran atau materi lain
yang terbawa pada saat panen ubi kayu. Kenyatanya seringkali kriteria kualitas
yang dinginkan oleh pabrik atau lapak juga tidak cukup terstandardisasi, seperti
kadar aci dan banyaknya kotoran. Sehingga beberapa kriteria yang menjadi nilai
kualitas terkadang tidak bisa dijelaskan secara terukur oleh pabrik atau pedagang,
maupun petani.
Perbedaan persepsi terhadap kualitas ubi kayu dalam proses jual beli ubi
kayu menyebabkan sulitnya pendataan mengenai kualitas ubi kayu yang
ditransaksikan. Perlu transparansi oleh pembeli dalam penentuan rafaksi tehadap
ubi kayu petani agar potongan berat sesuai dengan kondisi obyektif ubi kayu.
Selain usia panen dan varietas ubi kayu yang dapat ditentukan secara pasti,
kriteria lain seperti kotoran pada ubi kayu tidak dapat ditentukan secara pasti dan
terukur. Petani umumnya tidak menggunakan alat ukur untuk memastikan kualitas
51
Tabel 16. Kriteria Penentuan Kualitas Ubi kayu secara Visual Berdasarkan
Persepsi petani
No Kriteria Derajat Kualitas
1 Usia panen >8 bulan
2 Varietas Casesart
3 Bonggol atau batang Terpotong rapi
4 Tanah atau kotoran Sedikit
Gambar 12 Ubi kayu varietas casesart, usia panen 7 bulan, terdapat sedikit
bonggol dan kotoran tanah dan dipanen saat penelitian (musim
kemarau). Rafaksi 14 persen.
Tabel 17 Korelasi antara rafaksi dengan usia panen dan rafaksi dengan varietas
Usia Varietas
Rafaksi Pearson correlation -0.186 -0.073
P value 0.138 0.565
53
memiliki jumlah panen sedang atau sedikit dibandingkan dengan petani skala
besar. Petani dengan skala usaha lebih besar memiliki bargain position lebih
tinggi dibanding dengan petani yang skala usahanya kecil untuk dapat melakukan
tawar menawar rafaksi.
Gambar 13 Timbangan mobil (kiri) dan timbangan kecil (kanan) yang digunakan
dalam penimbangan jual-beli ubi kayu
potongan berat atau rafaksi. Sementara itu harga rata-rata ubi kayu per kilogram
pada saluran pemasaran pabrik adalah sebesar Rp1 096.88, saluran pemasaran
lapak adalah sebesar Rp1 018.33, saluran pemasaran mitra sebesar Rp975.73 dan
saluran pemasaran supir truk adalah sebesar Rp1 008,18. Dengan demikian harga
paling tinggi diperoleh oleh petani yang menjual ubi kayu melalui saluran pabrik.
Rafaksi 3 506 608.82 3 413 696.67 0.00 2 495 390.55 2 596 410.39
B.2 Biaya
Diperhitungkan
Bibit 195 367.80 233 333.33 301 176.47 145 455.55 384 156.84
TK Dalam 75 124.10 64 285.71 82 773.11 186 597.40 289 068.65
Keluarga
Sewa Lahan 2 518 018.02 3 055 556.56 2 056 372.55 2 506 060.61 2 285 714.29
Penyusutan Alat 33 280.57 53 361.11 32 125.00 53 975.76 51 903.68
Total Biaya Tunai 12 866 913.98 9 963 119.70 5 146 152.52 11 934 390.99 9 402 878.76
Total Biaya 2 821 790.49 3 406 536.71 2 472 447.13 2 892 089.32 3 010 843.46
Diperhitungkan
Total Biaya 15 688 704.47 13 369 656.41 7 618 599.65 14 826 480.31 12 413 722.22
Pendapatan atas 13 414 354.36 10 247 213.63 8 492 082.77 6 692 189.81 8 799 507.60
Biaya Tunai
Pendapatan atas 10 592 563.87 6 840 676.92 6 019 635.64 3 800 100.49 5 788 664.14
Biaya Total
R/C atas Biaya 2.04 2.03 2.65 1.56 1.94
Tunai
R/C atas Biaya 1.68 1.51 1.79 1.26 1.47
Total
Jika dilihat dari struktur biaya, komponen biaya terbesar pada usahatani
ubi kayu terdapat pada pupuk (19,21 persen), rafaksi (18,79 persen) dan biaya
panen (15,31 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pada usahatani ubi kayu
kebutuhan akan pupuk untuk mengembalikan kesuburan tanah menjadi hal yang
sangat mendasar mengingat ubi kayu adalah tanaman yang rakus akan hara.
Sebagian besar petani di lokasi penelitian sudah mulai mengaplikasikan
penggunaan pupuk organik untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
Pada saluran pemasaran mitra komponen biaya pupuk dan obat-obatan
paling besar jika dibandingkan dengan kelompok responden pada saluran
57
pemasaran lain. Hal ini dikarenakan harga yang dikenakan pada input-input
tersebut oleh mitra yang meminjamkan pada petani, lebih tinggi dibandingkan
dengan harga dipasaran, bukan karena jumlah atau kuantitas pupuk beserta obat-
obatan yang digunakan petani mitra adalah paling tinggi diantara kelompok
responden lainnya. Masing-masing setiap satu sak pupuk atau botol obat-obatan
memiliki selisih harga kurang lebih Rp20 000 dari harga normal. Meskipun
demikian kelompok responden petani ubi kayu yang menjual ubi kayu ke mitra
tidak memiliki alternatif solusi lain atas kendala modal yang dihadapinya selain
berhutang input produksi kepada mitra. Selama ini tidak ada lembaga pembiayaan
lain yang memberikan pinjaman modal kepada mereka. Hal ini yang dimanfaatkan
oleh mitra untuk mengikat petani agar menjual ubi kayu melaluinya dengan
meminjamkan modal. Oleh karena itu keberadaan mitra tidak hanya berperan
dalam menyalurkan ubi kayu hasil panen petani, tapi lebih penting lagi karena
bersedia menyediakan modal.
Kelompok petani responden yang menggunakan saluran pemasaran pabrik
secara aktual lah yang menggunakan jumlah pupuk dan obat paling tinggi,
sehingga menghasilkan komponen biaya yang juga lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok petani responden pada saluran lain. Secara umum kelompok
responden petani yang menjual ubi kayu ke pabrik memiliki karakter luas areal
yang diusahakan dan produktivitas ubi kayu per hektar lebih tinggi dibandingkan
dengan yang lain. Hal ini menunjukkan pada kelompok petani responden yang
menggunakan saluran pemasaran pabrik adalah petani yang mengusahakan
usahataninya secara intensif. Berbeda dengan petani pada saluran pemasaran lain
yang relatif lebih tidak intensif dalam menggunakan input-input dalam budidaya
ubi kayu karena luas lahan yang diusahakan juga relatif lebih kecil dan lebih
efisien dalam penggunaan input.
Rafaksi menjadi komponen biaya terbesar selanjutnya, walaupun rafaksi
disini bukan termasuk sebagai bentuk pengeluaran, namun dalam perhitungan
pendapatan usahatani ubi kayu, rafaksi menjadi loss atau kerugian yang
mengurangi pendapatan petani. Struktur pasar ubi kayu yang cenderung
oligopsoni dengan monopsony power yang lemah, dimana pasar terdiri dari
banyak penjual (petani) serta pembeli (pabrik dan pedagang) yang tergolong
sedikit, membuat pabrik memiliki kekuatan sebagai price control dan penentu
nilai rafaksi. Sehingga dalam melakukan penjualan produk, petani sebagai
penerima harga (price taker) dan terpaksa menerima rafaksi yang nilainya cukup
besar.
Biaya panen yang terdiri atas kuli cabut dan biaya transportasi menjadi
komponen biaya terbesar ketiga yang nilainya juga relatif besar. Bagi petani yang
menjual ubi kayu melalui pemborong maka pengeluaran untuk biaya panen tidak
ada, karena biaya panen menjadi tanggungan penebas atau pemborong. Hal ini
juga yang menjadikan sebagian alasan bagi petani responden yang menjual ubi
kayu melalui pemborong, bahwa sebagaian besar dari mereka enggan untuk
mengeluarkan biaya panen yang relatif tinggi. Oleh sebab itu pilihan menjual
melalui pemborong menjadi alternatif bagi petani yang menginginkan menjual
dengan proses yang oleh mereka dinilai “tidak ribet” tersebut.
Beberapa jenis biaya lain seperti biaya bibit dan biaya sewa lahan menjadi
biaya tunai oleh sebagian petani dan menjadi biaya diperhitungkan bagi sebagian
petani yang lain. Hal ini dikarenakan biaya bibit tidak selalu menjadi pengeluaran
58
tunai oleh setiap petani. Beberapa petani ubi kayu menggunakan bibit dari hasil
panennya sendiri sehingga tidak perlu lagi membeli bibit baru. Sementara
sebagian yang lain ada yang melakukan pembelian bibit secara tunai. Begitu juga
dengan sewa lahan. Beberapa petani ubi kayu ada yang menyewa lahan guna
melakukan kegiatan usahatani ubi kayu, dengan rata-rata biaya sewa Rp4 000 000
– 5 000 000 per hektar lahan. Namun beberapa petani lain menggunakan lahannya
sendiri sehingga komponen biaya sewa masuk kedalam biaya yang diperhitungkan.
Berdasarkan hasil analisis usahatani, pendapatan rata-rata per hektar yang
diperoleh petani dari usahatani ubi kayu adalah sebesar Rp6 608 328.21 dengan
R/C rasio sebesar 1.54. Secara umum kondisi usahatani ubi kayu di Kabupaten
Lampung Tengah masih menguntungkan untuk diusahakan melihat nilai
pendapatan dan R/C rasio yang dihasilkan dari perhitungan analisis usahatani.
Namun yang perlu diperhatikan bahwasannya usahatani ubi kayu membutuhkan
waktu yang relatif lama, yaitu antara 7-9 bulan untuk sekali panen. Dengan
demikian penghasilan rata-rata yang diperoleh petani setiap bulan hanya berkisar
antara Rp734 258 - Rp944 046 dalam satu hektar luas panen. Nilai ini bisa
menjadi perhatian karena mungkin saja petani lebih untung ketika mengusahakan
tanaman lain yang memiliki usia panen lebih pendek seperti jagung contohnya.
Jika dilihat dari kelompok responden, diperoleh pendapatan rata-rata
perhektar petani ubi kayu yang menggunakan saluran pemasaran pabrik adalah
sebesar Rp10 592 563.87, petani yang menggunakan saluran pemasaran lapak
adalah sebesar Rp6 840 676.92, saluran pemasaran pemborong sebesar Rp6 019
635.64, saluran pemasaran mitra sebesar Rp3 800 100.49 dan saluran pemasaran
supir truk sebesar Rp5 788 664.14. Nilai pendapatan rata-rata petani yang
menggunakan saluran pemasaran pabrik paling besar dibandingkan dengan yang
lain. Hal ini diduga dikarenakan petani yang menjual ke pabrik memperoleh harga
yang paling baik dibandingkan dengan petani yang menggunakan saluran
pemasaran lain, seperti data harga pada masing-masing saluran pemasaran yang
telah disebutkan sebelumnya. Selain itu hal ini dikarenakan petani yang
menggunakan saluran pemasaran pabrik adalah petani yang mengusahakan
usahataninya dengan intensif dibandingkan dengan kelompok petani pada saluran
pemasaran yang lain sehingga menghasilkan pendapatan yang lebih baik.
Sementara itu petani yang menggunakan saluran pemasaran mitra memperoleh
nilai pendapatan yang paling rendah bila dibandingkan dengan saluran pemasaran
yang lain. Hal ini diduga karena adanya biaya tambahan yang harus ditanggung
petani berupa margin harga atas input-input produksi yang dipinjamnya melalui
mitra.
Tingkat pendapatan yang diperoleh petani berbanding lurus dengan biaya
yang dikeluarkan. Dari Tabel 19 menunjukkan bahwa biaya usahatani yang
dikeluarkan oleh kelompok responden yang menggunakan saluran pemasaran
pabrik lebih besar dibandingkan dengan semua kelompok responden lain, namun
demikian penerimaanya juga lebih besar dibandingkan dengan kelompok
responden yang lain. Oleh karena itu mengakibatkan pendapatan yang diterima
oleh kelompok responden ini juga relatif besar. Akan tetapi nilai rasio penerimaan
(R/C) dengan biaya tunai maupun biaya total menunjukkan bahwa kelompok
petani responden yang menggunakan saluran pemasaran pemborong lebih besar
dibandingkan dengan yang menggunakan saluran pemasaran pabrik. Meskipun
petani yang menggunakan saluran pemasaran pemborong memiliki pendapatan
59
karena jarak lebih dekat juga menjadi pertimbangan petani untuk memilih saluran
pemasaran ke selain pabrik.
Pada hasil analisis ini variabel biaya panen dan saluran pemasaran tidak
sesuai harapan. Variabel biaya panen bertanda positif, mengindikasikan bahwa
penambahan biaya panen justru akan meningkatkan pendapatan yang tentu saja
hal ini bertentangan dengan dugaan awal bahwa seharusnya peningkatan biaya
panen akan mengurangi pendapatan. Menurut pengamatan di lapangan adanya
ketidaksesuaian tanda hasil perhitungan mungkin terjadi karena ada beberapa
responden yang tidak mengeluarkan biaya panen (nol rupiah) yaitu kelompok
responden yang menjual panen melalui pemborong tetapi memiliki nilai
pendapatan yang relatif tinggi.
Selain itu variabel saluran pemasaran juga tidak memiliki pengaruh nyata
terhadap variabel dependen pendapatan. Namun nilai parameter dugaan saluran
pemasaran memiliki angka yang cukup besar, yaitu Rp2 898 816.27. Hal ini berarti
apabila petani memilih saluran pemasaran pabrik, maka akan menaikkan
pendapatan sebesar 2 898 816.27 rupiah. Seperti diketahui pada perhitungan
pendapatan usahatani ubi kayu pada tabel 21, bahwa kelompok responden yang
menjual melalui saluran pabrik mendapat pendapatan paling tinggi dibandingkan
dengan kelompok responden lainnya yaitu sebesar 10 592 563.87 rupiah. Dari
nilai pendapatan ini, sebesar Rp2 898 816.27 disumbangkan oleh karena adanya
pemilihan saluran pemasaran yang dilakukan oleh petani, yaitu melalui saluran
pemasaran pabrik. Nilai ini tentu juga lebih besar bila dibandingkan dengan nilai
parameter dugaan untuk variabel lain, seperti biaya bibit, pupuk dan obat-obatan.
Namun demikian penelitian ini belum mampu memberikan hasil yang signifikan
untuk variabel saluran pemasaran.
Selain itu saluran pemasaran yang tidak berpengaruh nyata mungkin
terjadi karena banyaknya outlier pada pendeteksian probabilitas saluran
pemasaran. Nurrunnabi dan Mohammed (2009) menyatakan bahwa outlier
merupakan pendeteksian terhadap keberadaan satu atau sekelompok pengamatan
yang tidak mengikuti pola pada umumnya. Pada Regresi Logistik Biner,
pengamatan dengan respon “pabrik” tetapi probabilitasnya ditaksir rendah dan
pengamatan dengan respon “selain pabrik” tetapi probabilitasnya ditaksir tinggi.
Dalam penelitian ini yaitu jika nilai probabilitas saluran pemasaran kurang dari
0.5 namun kenyataan responden petani ubi kayu melakukan penjualan ubi kayu ke
pabrik, atau sebaliknya jika nilai probabilitas saluran pemasaran lebih dari 0.5
62
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
68
Lower Upper
1 8.535 8 .383
Model Summary
Chi-square df Sig.
a
Coefficients
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig. Collinearity Statistics
Coefficients
B Std. Error Beta Tolerance VIF
(Constant) -1276306.924 1255346.729 -1.017 .313
bibit -2.285 1.131 -.190 -2.020 .047 .195 5.125
pupuk -.617 .322 -.147 -1.919 .059 .294 3.404
1 obat -6.009 2.503 -.185 -2.401 .019 .290 3.445
TK -.254 .838 -.039 -.303 .763 .104 9.639
Panen 4.175 .494 .954 8.454 .000 .135 7.395
saluran 2898816.275 2384041.306 .062 1.216 .228 .662 1.510
luaslahan 6070052.894 1271245.623 .397 4.775 .000 .249 4.015
a. Dependent Variable: keutungan
a
ANOVA
1510325674939 2157608107055 b
Regression 7 73.448 .000
1710.000 958.800
1938807670025 2937587378826
1 Residual 66
417.200 3.900
1704206441941
Total 73
7128.000
b
Model Summary
Lampiran 3. Hasil Estimasi Korelasi antara Rafaksi Ubi Kayu dengan Usia Panen
dan Rafaksi Ubi Kayu dengan Varietas Ubi Kayu di Kabupaten
Lampung Tengah
Correlations
rafaksi usia
N 65 65
Pearson Correlation -.186 1
N 65 65
Correlations
rafaksi varietas
N 65 65
Pearson Correlation .073 1
N 65 65
71
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Metro, Lampung pada tanggal 7 Juli 1989 dari ayah
Karisun (alm) dan ibu Sumirah. Penulis merupakan anak terakhir dari tujuh
bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Metro pada tahun 2007 dan
melanjutkan studi sarjana di Universitas Lampung melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada program studi Sosial Ekonomi
Pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Selama mengikuti pendidikan S1 di Universitas Lampung, penulis
menerima beasiswa SPMB, beasiswa Supersemar dan beasiswa Peningkatan
Prestasi Akademik (PPA) secara bergantian mulai tahun pertama sampai tahun
keempat. Penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di Universitas
Lampung diantaranya organisasi mahasiswa muslim Forum Studi Islam (FOSI)
FP Unila tahun 2008–2010 dan Birohmah Unila tahun 2008-2010. Sejak tahun
2009-2011 penulis bekerja sebagai asisten praktikum beberapa mata kuliah di
antaranya adalah Pengantar Ilmu Ekonomi dan Dasar-Dasar Akuntansi. Penulis
juga berkesempatan bekerja sebagai surveyor di BI Bandar Lampung,
berpartisipasi sebagai enumerator dalam berbagai penelitian Kementerian
Perdagangan dan BAPPENAS, serta bekerja selama dua tahun yaitu dari tahun
2011-2013 sebagai dosen bantu di STIPER Dharma Wacana Metro. Penulis
menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 2011 dan pada tahun 2013 melanjutkan
studi ke jenjang S2 pada program studi Magister Sains Agribisnis Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor yang disponsori oleh BPPDN
(Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana Dalam Negeri) Dikti.