Anda di halaman 1dari 87

PILIHAN SALURAN PEMASARAN OLEH PETANI UBI

KAYU DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH,


PROVINSI LAMPUNG

KUSMARIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pilihan Saluran
Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi
Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016

Kusmaria
NIM H351130271
RINGKASAN

KUSMARIA. Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten


Lampung Tengah. Dibimbing oleh RATNA WINANDI ASMARANTAKA dan
HARIANTO.

Ubi kayu menjadi komoditas penting di Indonesia mengingat Indonesia


merupakan salah satu produsen utama ubi kayu di dunia. Selain mengekspor ubi
kayu, kenyataanya Indonesia juga mengimpor ubi kayu dalam jumlah yang besar.
Harga ubi kayu yang meningkat di Provinsi Lampung ironisnya belum mampu
membuat petani meningkatkan produksi ubi kayu, sebaliknya dalam empat tahun
terakhir produksi dan luas panen ubi kayu mengalami penurunan. Pabrik dan
pedagang juga menetapkan rafaksi (potongan berat) yang nilainya cukup tinggi
pada hasil panen yang dijual petani. Saluran pemasaran ubi kayu berperan dalam
menentukan harga dan rafaksi yang diterima oleh petani yang pada akhirnya akan
mempengaruhi keuntungan yang diterima oleh petani. Tujuan dari penelitian ini
adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang yang mempengaruhi pilihan saluran
pemasaran oleh petani ubi kayu (2) menganalisis mekanisme penentuan rafaksi
ubi kayu (3) menganalisis pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing
saluran pemasaran (4) menganalisis pengaruh saluran pemasaran terhadap
pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.
Kabupaten Lampung Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian karena
merupakan sentra ubi kayu terbesar di Provinsi Lampung. Data primer diperoleh
dari 74 responden yang diambil secara acak di kecamatan sentra. Metode yang
digunakan adalah model regresi logistik biner untuk menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran ubi kayu, metode deskriptif dan
analisis korelasi untuk menganalisis mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu, serta
metode regresi linier berganda dan analisis keuntungan untuk menganalisis
pengaruh saluran pemasaran pada pendapatan usahatani ubi kayu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pilihan saluran pemasaran petani ubi kayu adalah harga, jumlah hasil panen,
rafaksi dan adanya pinjaman modal. Rafaksi memiliki nilai peluang paling tinggi
dibandingkan variabel lain. Mekanisme penentuan rafaksi menurut persepsi
petani yaitu tidak terdapat kriteria yang pasti untuk menentukan rafaksi kecuali
dalam hal usia panen dan varietas. Kadar aci dan kotoran hanya menggunakan
pengamatan secara visual dan tidak terdapat alat ukur untuk mengukurnya. Selain
itu tidak terdapat hubungan nyata antara usia panen dan varietas ubi kayu dengan
rafaksi yang diterima petani. Pendapatan usahatani ubi kayu paling besar
diperoleh petani yang menggunakan saluran pemasaran pabrik, namun nilai R/C
rasio menunjukkan petani yang menggunakan saluran pemasaran pemborong
memiliki R/C rasio yang lebih tinggi. Namun demikian saluran pemasaran tidak
memiliki berpengaruh pada pendapatan usahatani ubi kayu.

Kata kunci: channel choice, pendapatan usahatani, rafaksi, ubi kayu


SUMMARY

KUSMARIA. Choice of Marketing Channels by Cassava Farmers’ in Central


Lampung. Supervised by RATNA WINANDI ASMARANTAKA and
HARIANTO.

Cassava become an important commodity in Indonesia because Indonesia


is one of the major producer of cassava in the world. Besides exporting cassava, in
fact Indonesia also imported cassava in large quantities. Prices of cassava growing
in Lampung have not been able to make farmers to increase production,
considering factories and traders also set rafaksi the farmers sold crops, moreover
in the last four years of production and harvested area of cassava has decreased.
Cassava marketing channels play a role in determining the price and rafaksi
(penalty quantity) received by farmers will ultimately affect the benefits received
by the farmer. This research aims are (1) to analyze the factors that influence the
choice of marketing channels by cassava farmers (2) analyze the mechanism of
determination rafaksi (3) analyze farming profit cassava in each marketing
channel (4) analyze the influence choice of marketing channels to farming profit
cassava in Central Lampung Regency.
Central Lampung regency chosen as the study site because it is the center
of the largest cassava in Lampung Province. Primary data were collected from 74
respondents drawn at random in the district centers. The method used is the model
of binary logistic regression to analyze the factors that influence the choice of
marketing channels cassava, descriptive and correlation analysis to analyze the
mechanism of determination rafaksi cassava, then multiple linear regression
method and profit analysis to analyze the effect of marketing channels to farming
profit cassava.
The results shows that price, amount of harvest, rafaksi and capital loan
significantly affected choice of marketing channels. Rafaksi has the highest value
opportunities compared with other variables. Rafaksi determination mechanism by
farmers perception are there is no definitive criteria for determining rafaksi except
in the age of harvest and varieties. Starch levels and soiled just using the visual
observations and there is no measuring instrument to measure it. But there was no
real connection between the ages of harvest and varieties of cassava with rafaksi
cassava received by farmers. Cassava farming profit gained most farmers who use
the factories marketing channel, but the value of R / C ratio showed farmers using
marketing channels contractor has a R / C ratio is higher. However marketing
channel has no real influence on the cassava farming profit.

Keywords: cassava, channel choice, farming profit, rafaksi (penalty quantity),


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PILIHAN SALURAN PEMASARAN OLEH PETANI UBI
KAYU DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH,
PROVINSI LAMPUNG

KUSMARIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suharno, M.ADev

Penguji Wakil Program Studi : Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS


Judul Tesis : Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten
Lampung Tengah, Provinsi Lampung
Nama : Kusmaria
NIM : H351130271

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS Dr. Ir Harianto, MS


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 11 Maret 2016 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah pemasaran, dengan
judul Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung
Tengah, Provinsi Lampung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi
Asmarantaka, MS dan Bapak Dr Ir Harianto, MS selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Suharno, M.ADev
selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr Rita Nurmalina, MS selaku penguji dari
program studi yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada mamak, suamiku Kak Jojo, anakku Shofi, mbak, mas, dan
seluruh keluarga besar, serta sahabat-sahabat penulis atas segala doa, kasih
sayang, dan dukungannya kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada BP3K Bandar Mataram, Bapak Fatkur dan Bapak Fitriyanto
beserta keluarga besar yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir
penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan rekan-rekan
Magister Sains Agribisnis Angkatan IV.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

Kusmaria
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR LAMPIRAN iv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 9
Manfaat Penelitian 9
Ruang Lingkup Penelitian 9
2 TINJAUAN PUSTAKA 10
Sistem Pemasaran Ubi Kayu 10
Saluran Pemasaran 11
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran 12
Kualitas Produk Komoditas Pertanian 13
3 KERANGKA PEMIKIRAN 14
Kerangka Pemikiran Konseptual 14
Kerangka Pemikiran Operasional 22
4 METODE 25
Lokasi dan Waktu Penelitian 25
Sumber dan Jenis Data 25
Metode Pengumpulan Data 25
Metode Penentuan Sampel 25
Metode Analisis dan Pengolahan Data 26
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31
Keadaan Geografis Kabupaten Lampung Tengah 31
Karakteristik Petani Responden 34
6 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PILIHAN SALURAN
PEMASARAN OLEH PETANI UBI KAYU 38
Saluran Pemasaran dan Lembaga Pemasaran Ubi Kayu 38
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran 41
7 MEKANISME PENENTUAN RAFAKSI UBI KAYU 49
Rafaksi Ubi Kayu 49
Mekanisme Penentuan Rafaksi Ubi Kayu 50
8 PENGARUH SALURAN PEMASARAN TERHADAP PENDAPATAN
USAHATANI UBI KAYU 55
Keuntungan Usahatani Ubi Kayu 55
Pengaruh Saluran Pemasaran terhadap Keuntungan Usahatani
Ubi Kayu 60
9 SIMPULAN DAN SARAN 62
Simpulan 62
Saran 62
DAFTAR PUSTAKA 63
DAFTAR TABEL

1 Perkembangan ekspor impor ubi kayu tahun 2010 -2015 1


2 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayudi Indonesia
tahun 2015 4
3 Luas dan produksi ubi kayu per kabupaten di Provinsi Lampung
tahun 2012 6
4 Fungsi – fungsi Pemasaran 16
5 Interpretasi koefisien korelasi nilai r 29
6 Komposisi responden berdasarkan usia 34
7 Komposisi responden berdasarkan pendidikan 35
8 Komposisi responden berdasarkan pengalaman bertani 35
9 Komposisi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga 36
10 Komposisi respionden berdasarkan pekerjaan utama 37
11 Komposisi responden berdasarkan luas lahan 37
12 Komposisi responden berdasarkan kepemilikan lahan 38
13 Fungsi-fungsi pemasaran ubi kayu berdasarkan lembaga
pemasarannya 40
14 Uji Wald (parsial) faktor-faktor yang berpengaruh pada pilihan
saluran pemasaran 42
15 Contoh tabel rafaksi harga pembelian beras di luar kualitas
Inpres Nomor 1 Tahun 2008 49
16 Kriteria penentuan kualitas ubi kayu secara visual berdasarkan
persepsi petani 51
17 Korelasi antara rafaksi dengan usia panen dan varietas ubi kayu 52
18 Analisis keuntungan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah
tahun 2015 56
19 Hasil pendugaan pengaruh saluran pemasaran pada keuntungan usahatani
ubi kayu 61

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi Ubi Kayu Indonesia tahun 2009 – 2016 2


2 Saluran pemasaran ubi kayu di Gunung Batin Udik,
Lampung Tengah 3
3 Pohon Industri Ubi Kayu 5
4 Perkembangan Harga dan Luas Panen Ubi Kayu di Lampung
tahun 2003-2013 7
5 Kerangka pemikiran operasional penelitian 24
6 Peta Kabupaten Lampung Tengah dan Kecamatan Bandar Mataram 31
7 Pedagang pengumpul ubi kayu, lapak dan pemborong 39
8 Agen ubi kayu, supir truk dan mitra 39
9 Saluran pemasaran ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah 40
10 Saluran pemasaran yang digunakan dalam analisis 41
11 Nota hasil timbangan ubi kayu petani 50
12 Ubi kayu casesart, usia panen 7 bulan, masih terdapat sedikit bonggol
dan kotoran tanah, serta dipanen saat penelitian (musim kemarau) 52
13 Timbangan mobil dan timbangan kecil yang digunakan dalam
Penimbangan jual beli ubi kayu 53

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Estimasi Fungsi Regresi Logistik Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran Petani Ubi Kayu 68
2 Hasil Estimasi Fungsi Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Keuntungan Usahatani Ubi Kayu 69
3 Hasil Estimasi Korelasi antara Rafaksi Ubi Kayu dengan Usia Panen
dan Rafaksi Ubi Kayu dengan Varietas Ubi Kayu 70
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ubi kayu (Manihot utilisima) merupakan tanaman lokal daerah tropis yang
di Indonesia sendiri banyak digunakan sebagai pangan alternatif. Ubi kayu
menjadi salah satu bahan pangan potensial setelah beras dan jagung yang berperan
cukup besar dalam mencukupi pangan nasional. Selain sebagai sumber bahan
pangan, ubi kayu juga digunakan sebagai bahan pakan (ransum) ternak dan bahan
baku berbagai industri. Beberapa negara bahkan telah mengembangkan ubi kayu
sebagai sumber bahan bakar energi alternatif (biofuel).
Hasil olahan ubi kayu diperlukan dalam berbagai industri seperti industri
pakan, tekstil, kertas, perekat dan farmasi. Konsumsi ubi kayu di Indonesia masih
cukup tinggi, yaitu 24 juta ton pada tahun 2011 dan angka ini terus meningkat
setiap tahunnya (Pusdatin 2012). Prospek agribisnis ubi kayu cukup baik
mengingat kebutuhan ubi kayu yang tinggi dengan jumlah penduduk yang
semakin bertambah. Ubi kayu sendiri cukup mudah untuk dibudidayakan dalam
artian ringan perawatannya, dapat bertahan terhadap ketersediaan air yang sedikit
di lahan kering maupun kurang subur, memiliki daya tahan terhadap penyakit dan
tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk panen. Sehingga keberadaan
ubi kayu menjadi kebutuhan yang selain untuk memenuhi pangan dan industri
juga menjadi sumber penghasilan bagi petani yang mengusahakannya.
Ubi kayu menjadi komoditas penting mengingat Indonesia menjadi salah
satu produsen utama ubi kayu di dunia dengan produksi mencapai 23 juta ton
pada tahun 2014 dan produktivitas mencapai 23.36 ton/ha (BPS 2016). Indonesia
dan negara penghasil utama ubi kayu seperti Nigeria, Kongo, Brazil dan Thailand,
mampu menguasai 95 persen luas panen (FAO 2016) dengan jenis produk ubi
kayu yang diekspor ke luar negeri adalah gaplek dan pati ubi kayu (Saliem dan
Nuryanti 2011). Pada tahun 2014 total ekspor ubi kayu Indonesia mencapai 114
ribu ton dengan negara tujuan utama adalah China, Malaysia, Amerika Serikat dan
Taiwan (Kementan 2016). Selain menjadi pengekspor, pada kenyataannya
Indonesia juga mengimpor ubi kayu dalam bentuk pati ubi kayu dengan negara
pengimpor utama pada tahun 2015 adalah Thailand dan Vietnam (Kementan
2016). Tabel 1 menunjukkan jumlah ekspor dan impor ubi kayu Indonesia tahun
2011 sampai 2015.

Tabel 1 Perkembangan ekspor impor ubi kayu tahun 2010-2015


Tahun Impor (ton) Ekspor (ton)
2011 435 423 157 662
2012 856 126 52 415
2013 220 189 185 679
2014 365 085 114 501
2015* 498 647 15 152
*Sampai Oktober 2015. Sumber : Kementerian Pertanian 2016

Impor ubi kayu terjadi mengingat ketersediaan ubi kayu di Indonesia


belum mampu mencukupi kebutuhan ubi kayu di Indonesia. Selama periode 2009
2

sampai dengan 2015 tren produksi ubi kayu Indonesia cukup fluktuatif mengalami
peningkatan yang kemudian mengalami penurunan. Peningkatan produksi ubi
kayu meningkat tajam pada kurun waktu 2009 hingga 2010, dan terus meningkat
sampai tahun 2012. Namun pada tahun-tahun berikutnya, yaitu tahun 2013, 2014
dan 2015 produksi ubi kayu Indonesia terus menurun (BPS 2016). Hal ini
menunjukkan ketersediaan ubi kayu dalam negeri masih belum cukup stabil.
Grafik di bawah ini menunjukkan perkembangan produksi ubi kayu Indonesia
selama tujuh tahun terakhir.

24500000

24000000
Produksi (ton)

23500000

23000000

22500000

22000000

21500000
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Gambar 1 Produksi Ubi Kayu Indonesia tahun 2009-2016
Sumber : Badan Pusat Statistik 2016

Sektor hulu menjadi penting dalam rangka menjaga ketersediaan ubi kayu
nasional dimana petani memegang peranan didalamnya. Permasalahan ubi kayu di
Indonesia selama ini diantaranya produktivitas ubi kayu yang belum optimal,
kepastian pemasaran yang tidak ada serta harga jual ubi kayu yang rendah.
Produktivitas ubi kayu di Indonesia masih tergolong rendah dikarenakan ilmu
pengetahuan dan teknologi petani ubi kayu juga masih rendah, saprodi yang masih
sulit, mahal dan tidak mencukupi serta adanya ketiadaan/kekurangan modal.
Tidak adanya kepastian pemasaran berarti petani tidak memiliki kepastian
mengenai harga ubi kayu.
Harga ubi kayu di tingkat petani belum mampu membuat petani untuk
meningkatkan produksinya hingga mampu menjaga ketersediaan ubi kayu di
dalam negeri dan beralih pada komoditas lain yang lebih menguntungkan. Harga
ubi kayu yang rendah diduga karena struktur pasar yang tidak efisien, petani tidak
memiliki keterkaitan dengan industri ubi kayu, kelembagaan kelompok tani yang
masih lemah serta pembinaan pemerintah yang belum baik. Zakaria (2000) dan
Sugino et al. (2009) menyebutkan bahwa struktur pasar ubi kayu di tingkat pabrik
dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung oligopsoni dengan
monopsony power yang lemah. Kondisi pasar yang demikian menyebabkan pabrik
tapioka mempunyai kelebihan dalam price control, padahal antara petani dan
industri memiliki keterkaitan untuk saling mendapat keuntungan. Selain itu di
Lampung sendiri pemerintah tidak memiliki kebijakan yang cukup mendukung
petani dalam rangka perlindungan harga terhadap harga ubi kayu.
3

Petani dan industri seharusnya memiliki keterkaitan untuk saling


menguntungkan. Apa yang menjadi kebutuhan industri adalah terpenuhinya
jumlah bahan baku ubi kayu dalam kegiatan operasional dengan kualitas baik,
sementara tujuan petani adalah produksi ubi kayu terserap, adanya jaminan harga
dan pembayaran yang tidak ditunda. Seringkali pada saat panen raya harga ubi
kayu menjadi anjlok karena adanya kelebihan pasokan. Disamping itu itu kualitas
ubi kayu yang dianggap rendah oleh pabrik menyebabkan petani merugi karena
pabrik lebih mempunyai power untuk memberlakukan rafaksi sesuai dengan
kualitas ubi kayu petani menurut persepsi pabrik. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia, rafaksi berarti pemotongan (pengurangan) terhadap harga
barang yang diserahkan karena mutunya lebih rendah daripada contohnya atau
karena mengalami kerusakan dalam pengirimannya, namun pada ubi kayu
merupakan pemotongan terhadap berat barang. Sehingga pada ubi kayu rafaksi
merupakan sistem potongan berat atau penalti kuantitas untuk menilai kualitas ubi
kayu petani.
Saluran pemasaran berperan penting dalam menentukan harga ubi kayu
yang akan berimbas pada pendapatan yang diterima petani ubi kayu. Setiap
saluran pemasaran yang dipilih oleh petani kerap kali memiliki peran dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh petani yang mungkin saja tidak
ditawarkan oleh saluran pemasaran lain. Chirwa (2009) menyatakan bahwa setiap
saluran pemasaran menawarkan pilihan harga yang berbeda dan pelayanan
penjualan yang berbeda pula, yang menentukan petani dalam memilih saluran
pemasaran. Meskipun saluran yang lebih pendek kerap kali diidentikkan lebih
efisien, margin yang rendah dalam pemasaran produk serta memiliki harga jual
lebih tinggi, namun petani ubi kayu tidak selalu menggunakan saluran tersebut
mengingat pada ubi kayu terdapat potongan berat atau rafaksi yang diberlakukan
oleh pembeli. Adanya rafaksi diduga membuat pemasaran ubi kayu menjadi tidak
efisien. Asmarantaka dkk (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
terdapat beberapa lembaga yang ikut menyalurkan ubi kayu ke berbagai pabrik
pengolahan ubi kayu seperti lapak atau pemborong (Gambar 2). Selain melalui
kedua lembaga tersebut, petani ada yang langsung menjual ke pabrik.
2,82%
Lapak Pabrik Tapioka
0,78%
Petani ubi kayu Pemborong
96,4%

Gambar 2 Saluran pemasaran ubi kayu di Gunung Batin Udik, Lampung Tengah
Sumber : Asmarantaka dkk 2014.

Hinson and Steven (1994) mendefinisikan saluran pemasaran sebagai


aliran yang dilalui oleh produk untuk bergerak dari produsen ke konsumen. Pada
berbagai komoditi pertanian, saluran pemasaran membawa pada penggunaan
secara langsung (sebagai makanan atau pakan) atau untuk diolah kembali. Akses
ke pasar dalam bentuk saluran yang berbeda bagi petani sangat penting untuk
memanfaatkan potensi produksi dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan
petani (Anteneh 2011). Qhoirunisa (2014) menyebutkan bahwa saluran pemasaran
yang dipilih dan digunakan oleh petani dalam memasarkan komoditas hasil
4

pertanian memiliki pengaruh terhadap pendapatan yang akan diterima karena


berkaitan dengan harga, sehingga petani akan memilih saluran yang lebih
menguntungkan baginya. Pada masa lalu keputusan produksi seringkali terlepas
dari keputusan pemasaran produk agribisnis. Sedangkan saat ini, keputusan
produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh bentuk dari lembaga pemasaran
(marketing firms) dan konsumen. Hal ini juga guna mengurangi risiko
ketidakpastian dan fluktuasi penawaran yang biasanya dilakukan penjualan
dengan sistem kontrak antara lembaga pemasaran dengan petani produsen
(Asmarantaka 2013). Penelitian ini akan melihat faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi petani dalam memilih saluran pemasaran, mekanisme penentuan
rafaksi serta bagaimana pengaruh saluran pemasaran yang dipilih oleh petani
terhadap pendapatan petani.

Perumusan Masalah

Secara historis, Provinsi Lampung merupakan pengahasil ubi kayu


terbesar di Indonesia. Hal ini menyebabkan Lampung menjadi andalan pemasok
ubi kayu nasional dan ekspor ubi kayu Indonesia ke luar negeri. Dari lima
provinsi penghasil utama ubi kayu di Indonesia, Lampung memiliki luas panen,
dan produksi ubi kayu terbesar di Indonesia, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Komoditas ubi kayu menjadi komoditas utama yang memiliki areal tanam terluas
di Lampung yaitu 324 749 ha, yang kemudian disusul oleh komoditas lain yaitu
kopi seluas 161 677 ha, karet seluas 94 579 ha, lada seluas 63 640 ha dan kakao
seluas 50 328 ha (Lampung Dalam Angka, 2013).

Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu per provinsi tahun 2015
No Provinsi Luas Panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Produksi (ton)
1 Lampung 301 684 26.64 8 038 963
2 Jawa Timur 149 094 23.19 3 458 614
3 Jawa Tengah 153 201 24.09 3 758 552
4 Jawa Barat 93 921 24.07 2 020 214
5 Sumatera Utara 45 052 33.18 1 495 169
Sumber : Badan Pusat Statistik 2016

Gambar pohon industri ubi kayu di bawah ini menunjukkan bahwa ubi
kayu di Lampung diolah menjadi beberapa produk seperti pakan ternak, tepung
cassava, pembuatan makanan ringan dan mengolahnya menjadi etanol. Namun
sebagian besar ubi kayu di Lampung diolah menjadi tapioka yang dibuktikan
dengan banyaknya perusahaan tapioka yang tumbuh dan berkembang di Lampung
(Lampung Tengah Dalam Angka 2013). Hal ini juga dikarenakan ubi kayu yang
banyak dihasilkan di Provinsi Lampung adalah jenis ubi kayu yang mengandung
HCN tinggi. Dari kadar HCN pada umbinya, ubi kayu dibedakan menjadi (1) ubi
kayu dengan kadar racun rendah yang dicirikan dengan ubi kayu manis dan aman
untuk dikonsumsi, (2) ubi kayu dengan kadar racun sedang yang dicirikan dengan
rasa agak pahit dan aman untuk dikonsumsi setelah ada perlakuan khusus, (3) ubi
kayu dengan kadar racun tinggi yang dicirikan dengan rasa pahit dan tidak aman
untuk dikonsumsi, harus dibuat gaplek atau tepung terlebih dahulu. Semua jenis
5

ubi kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku tapioka tetapi ubi kayu dengan kadar
racun lebih tinggi menghasilkan tapioka dengan kualitas lebih baik (Purba 2002).

Kulit Pakan
ternak
Tapioka Onggok

Daging Ellot
Ubi Kayu
Dextrin

Gula Gula
Glukosa Fruktosa
Gaplek Pellet Etanol

Asam
Sawut Tepung
organik
Casava
Senyawa kimia
Makanan lain
ringan
Gambar 3 Pohon Industri Ubi Kayu
Sumber : BPTP Provinsi Lampung 2008

Pengembangan agribisnis ubi kayu di Lampung masih tersekat-sekat yang


nampak dari kenyataan bahwa sub sistem agribisnis hilir dikuasai oleh pengusaha
menengah/besar bukan oleh petani, sedangkan petani hanya menguasai subsistem
usahatani (on farm) dan sangat sedikit melakukan pengolahan terhadap ubi kayu
menjadi produk lain. Pada pasar output atau produk, petani menghadapi kekuatan
pasar yang terdiri dari perusahaan-perusahaan besar dan sangat sedikit hubungan
organisasi fungsional misalnya kemitraan dengan perusahaan pengolah, serta nilai
tambah terbesar yang banyak dinikmati oleh perusahaan dibanding oleh petani. Di
Kabupaten Lampung Tengah sebagai pusat sentra ubi kayu di Lampung, terdapat
37 industri pengolahan ubi kayu yang menjadi pasar bagi petani dalam menjual
ubi kayunya (Lampung Tengah Dalam Angka 2013). Tabel 3 menunjukkan luas
lahan dan produksi ubi kayu per kabupaten di Lampung.
Adanya industri-industri besar di Lampung merupakan peluang pasar yang
baik bagi petani untuk menyalurkan hasil panennya, karena hasil panen petani
akan mudah terserap oleh pasar. Adanya pedagang perantara baik lapak atau
pemborong turut membantu penyampaian produk ke pabrik. Namun kondisi pasar
yang demikian tidaklah efisien karena industri tapioka lebih memiliki power
dibandingkan petani. Seperti disebutkan sebelumnya struktur pasar ubi kayu di
Lampung cenderung oligopsoni dengan monopsony power yang lemah, dimana
pasar terdiri dari banyak penjual dan sedikit pembeli. Dalam menjual hasil
produknya, petani sebagai penjual memiliki posisi tawar yang lebih rendah dan
tidak bisa mempengaruhi harga, hal sebaliknya pada pabrik yang memiliki power
of buyers lebih kuat karena jumlahnya yang sedikit (Lipczynski et al. 2005).
6

Tabel 3 Luas dan produksi ubi kayu per kabupaten di Provinsi Lampung
tahun 2012
No Kabupaten Luas (ha) Produksi (ton)
1 Lampung Tengah 130 781 3 371 618
2 Lampung Utara 51 782 1 357 275
3 Lampung Timur 47 555 1 236 925
4 Tulang Bawang Barat 38 926 1 058 194
5 Tulang Bawang 19 767 532 395
6 Way Kanan 15 725 373 832
7 Lampung Selatan 10 100 214 730
8 Mesuji 4 629 126 661
9 Pesawaran 3 323 71 001
10 Pringsewu 621 12 850
11 Lampung Barat 674 13 680
12 Tanggamus 585 12 270
13 Bandar Lampung 159 3 390
14 Metro 122 2 530
Jumlah 324 749 8 387 351
Sumber : Lampung Dalam Angka 2013

Harga ubi kayu di Lampung cenderung meningkat (Gambar 4), namun


ironisnya produksi ubi kayu di Lampung semakin menurun (Gambar 5). Sebuah
paradoks dimana harga yang semakin meningkat pada kenyataannya tidak diiringi
dengan meningkatnya produk yang ditawarkan. Luas lahan ubi kayu di Lampung
juga semakin menurun dari 368 096 ha pada tahun 2011, menjadi 301 684 ha pada
tahun 2015 atau berkurang 18.04 persen dalam lima tahun. Hal ini diduga
dikarenakan harga yang diterima petani belum mampu menjadi insentif bagi
petani untuk tetap bertahan menanam ubi kayu dan tidak beralih pada komoditas
lain yang dianggap lebih menguntungkan. Harga yang diterima petani juga masih
tergolong rendah bila mempertimbangkan adanya rafaksi kuantitas yang nilainya
cukup besar pada hasil panen yang dijual petani sehingga membuat sistem
pemasaran ubi kayu tidak efisien. Rafaksi menjadi loss (kerugian) yang
menyebabkan berkurangnya berat timbangan hasil panen ubi kayu petani yang
dijual.
Pada skala nasional menurunnya produksi dan luas lahan ubi kayu di
Lampung menyebabkan menurunnya produksi ubi kayu nasional dan
memungkinkan semakin meningkatnya impor ubi kayu. Impor ubi kayu bisa
ditekan jika petani dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu. Di
Lampung sendiri yang merupakan sentra ubi kayu di Indonesia kondisi impor
masih terjadi ketika produksi ubi kayu petani tidak mampu memenuhi kebutuhan
industri. Beberapa pabrik tapioka akan mengimpor pati ubi kayu dari Thailand
karena harganya yang lebih murah. Namun yang cukup menjadi perhatian bahwa
harga ubi kayu dalam bentuk umbi pada level petani di Thailand lebih mahal bila
dibandingkan dengan harga ubi kayu pada level petani di Indonesia. Sementara itu
harga pati tapioka lebih murah di Thiland daripada di Indonesia. Ini artinya biaya
pengolahan oleh pabrik tapioka di Indonesia memiliki biaya yang begitu tinggi.
Selain itu permasalahan juga terletak pada pemasaran ubi kayu.
7

9193676
1001 8637594 8387351
7721882
8329201
832 7569178
697 6394906
608 637
4984616 5499403
306 4806254
345 337
299 4673091
236
229
Harga (Rp)/kg Produksi (ton)
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 4. Perkembangan Harga (kiri) dan Produksi Ubi Kayu (kanan) di
Lampung tahun 2003-2013
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Lampung 2014; BPS 2016

Keputusan memilih saluran pemasaran merupakan keputusan penting


dalam manajemen pemasaran (Kotler 1997). Saluran pemasaran yang dipilih
dapat menentukan harga dan biaya sehingga mempengaruhi pendapatan yang
diterima petani. Dalam memilih saluran pemasaran, diduga petani dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti harga, jumlah hasil panen, jarak, usia panen, tingkat
pendidikan, rafaksi atau potongan berat sampai adanya pinjaman modal yang
diberikan oleh lembaga saluran pemasaran. Harga yang dijanjikan oleh pedagang
atau pabrik menjadi sinyal pertama yang dapat mempengaruhi petani dalam
memilih saluran pemasaran yang digunakannya.
Jumlah panen juga diduga ikut mempengaruhi pemilihan saluran
pemasaran ubi kayu dikarenakan pada jumlah-jumlah panen tertentu petani akan
memilih lembaga yang sesuai dengan jumlah panen yang dihasilkannya. Petani
diduga akan memilih saluran pemasaran selain pabrik jika memiliki hasil panen
lebih sedikit untuk dijual. Selain itu lokasi ladang juga mempengaruhi petani
dalam memilih saluran pemasaran karena berkaitan dengan jarak tempuh yang
berefek pada biaya transportasi. Tingkat pendidikan berhubungan dengan
informasi yang dimiliki oleh petani. Semakin baik informasi yang dimiliki petani
maka diduga petani akan memilih saluran pemasaran pabrik atau saluran yang
dianggap paling menguntungkan dan paling mudah dalam proses penjualan.
Adanya keterlibatan pedagang dalam memberikan pinjaman modal kepada
petani juga diduga ikut mempengaruhi pilihan saluran pemasaran. Seperti
disebutkan sebelumnya bahwa petani ubi kayu kerap kali terkendala oleh modal,
terutama untuk petani berskala kecil. Pedagang ubi kayu sendiri yang menjadi
saluran pemasaran bisa berdiri independen atau tidak. Artinya dalam beberapa
pedagang, struktur pasar yang berlaku yaitu pedagang dalam skala/tingkatan yang
lebih kecil merupakan perpanjangan tangan dari pedagang atau perusahaan yang
skala/tingkatan yang lebih besar. Dengan demikian terjadi jalinan perdagangan
dimana pihak pedagang/pabrik yang lebih besar bisa berkontribusi memberikan
modal kerja kepada pedagang yang lebih kecil. Dan perilaku ini diduga ikut
menurun oleh pedagang untuk memberikan modal kepada petani agar petani
menjual produk kepada pedagang tersebut. Sehingga dalam rangka mendapatkan
8

dana untuk usahatani, petani terlibat dalam kelembagaan saluran pemasaran yang
memiliki kontrak yang tinggi dan sulit untuk berpindah pada alternatif saluran
pemasaran yang lain. Hal ini dikarenakan pedagang yang bertindak menjadi
saluran pemasaran juga dapat menjadi sumber keuangan bagi petani untuk
mendapatkan modal.
Kualitas ubi kayu yang dijual oleh petani memiliki keterkaitan dengan
saluran pemasaran yang dipilih petani dalam memasarkan produknya. Pabrik
melihat kualitas ubi kayu dari kadar aci ubi kayu, jenis varietas ubi kayu, usia
panen dan banyaknya kotoran atau materi lain yang terbawa pada saat panen ubi
kayu (Sagala 2011). Selain hal tersebut ukuran diameter ubi kayu, tingkat
kelayuan dan kebusukan, serta persentase bonggol juga diduga menjadi
pertimbangan. Pabrik atau pedagang ubi kayu memberlakukan sistem potongan
berat atau penalti yang dikenal dengan istilah rafaksi kuantitas untuk menilai
kualitas ubi kayu petani. Semakin sedikit kadar aci, kotoran, tua usia panen maka
semakin kecil potongan berat atau rafaksi yang diberikan pada hasil panen yang
dijual oleh petani, begitu pula sebaliknya.
Selama ini petani tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai
penentuan rafaksi oleh pabrik atau pedagang. Rafaksi sangat subyektif apabila
petani sebagai penjual produk tidak dapat menduga nilai rafaksi dan hanya
ditentukan sepihak oleh pembeli. Penentuan rafaksi seharusnya menjadi
kesepakatan kedua belah pihak, dan kedua belah pihak memiliki pengatahuan
yang sama tentang cara penentuannya. Rafaksi menjadi salah satu bentuk
standardisasi produk, yaitu persetujuan dari partisipan (pembeli, penjual, pabrik)
terhadap produk untuk dimensi ukuran dan kualitas produk termasuk atribut
produk seperti tingkat kematangan, warna, volume per unit, tingkat keseragaman
dan lain-lain dimana partisipan sepakat mengelompokkan dalam kelas-kelas
tertentu (Asmarantaka 2013).
Rafaksi yang diberlakukan oleh pabrik atau pedagang pada hasil panen
petani melalui sistem perhitungan yang tidak transparan dan cenderung dianggap
merugikan petani ubi kayu. Rafaksi yang seharusnya menjadi ukuran agar ubi
kayu yang dijual petani sesuai dengan kualitas yang ditentukan oleh pembeli,
namun dalam prakteknya penentuan rafaksi yang merupakan potongan berat
terkadang menjadi salah satu sarana bagi pabrik atau pedagang untuk
mendapatkan pendapatan lebih dari selisih rafaksi yang ditetapkan pada masing-
masing lembaga. Dalam 20 ton hasil panen petani misalnya, pabrik bisa
menetapkan rafraksi 15 persen, sehingga tonase yang dibayar hanya 17 ton dan 3
ton sisanya dianggap sebagai rafraksi. Sementara pada level pedagang nilai rafaksi
yang ditetapkan bisa lebih tinggi lagi. Penentuan rafaksi yang demikian tentu akan
menjadi permasalahan sangat serius jika terus menerus tidak terdapat penyelesaian
bagi petani karena menyangkut masa depan ubi kayu di Lampung. Ketika petani
tidak lagi merasa memperoleh pendapatan yang baik dari usahatani ubi kayu maka
lambat laun produksi dan luas panen ubi kayu di Lampung akan semakin menurun
dan menyebabkan impor semakin meningkat.
Saluran pemasaran berperan dalam menentukan harga dan rafaksi ubi kayu
sehingga berpengaruh pada pendapatan yang diterima petani. Selain menawarkan
pilihan harga, saluran pemasaran juga kerap kali berperan dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh petani yang mungkin saja tidak ditawarkan oleh
saluran pemasaran lain. Adanya pilihan saluran pemasaran, diharapkan mampu
9

memberikan alternatif harga jual yang lebih baik bagi petani ubi kayu sehingga
memberikan pendapatan yang maksimal.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang ingin dikaji dalam
penelitian ini adalah :
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh
petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah?
2. Bagaimana mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu di Kabupaten Lampung
Tengah?
3. Bagaimana pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing saluran
pemasaran?
4. Bagaimana pengaruh saluran pemasaran yang dipilih terhadap pendapatan
yang diperoleh oleh petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka


penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran
oleh petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.
2. Menganalisis mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu di Kabupaten
Lampung Tengah.
3. Menganalisis pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing saluran
pemasaran di Kabupaten Lampung Tengah.
4. Menganalisis pengaruh saluran pemasaran yang dipilih terhadap
pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.

Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran


pemasaran dan hubungannya dengan pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten
Lampung Tengah, diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Petani dan lembaga pemasaran lainnya, yaitu memberikan informasi
penentuan rafaksi yang lebih baik dan pelaksanaan fungsi pemasaran bagi
setiap lembaga pemasaran yang terlibat agar terjadi pembagian harga yang
sesuai dan peningkatan keuntungan.
2. Pemerintah dan pengambil keputusan, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan dan rujukan untuk pengembangan ubi kayu yang lebih
baik di Lampung.
3. Penulis sendiri, penelitian ini merupakan salah satu proses belajar dalam
menganalisa suatu permasalahan dan menambah daya analisis pemasaran
ubi kayu dan pendapatan usahataninya. Hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi tambahan untuk penelitian yang
berkaitan dengan pemasaran ubi kayu selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan


saluran pemasaran ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah, mekanisme
penentuan rafaksi dan pengaruh pilihan saluran pemasaran pada pendapatan
10

usahatani ubi kayu. Penelitian hanya melihat perilaku ditingkat petani dan tidak
mengarah pada lembaga pemasaran selanjutnya serta sistem pemasaran ubi kayu
secara keseluruhan. Pada faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran
pemasaran, saluran yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi
dua, yaitu pabrik dan selain pabrik. Hal ini dikarenakan untuk melihat perbedaan
antara lembaga yang melakukan fungsi utamanya dalam hal fungsi pertukaran
(penjualan dan pembelian) yaitu pedagang, dengan lembaga yang fungsi
utamanya selain fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), juga melakukan
fungsi fisik (pengolahan ubi kayu) yaitu pabrik. Pedagang mendapatkan
keuntungan dari kegiatan jual beli ubi kayu sedangkan pada pabrik mendapatkan
keuntungan selain dari jual beli ubi kayu juga dari hasil pengolahan ubi kayu.
Pada penelitian ini pengukuran kualitas ubi kayu hanya dibatasi pada pengukuran
berdasarkan persepsi dari petani dan tidak menghimpun informasi dari lembaga
lain seperti pedagang atau pabrik. Penelitian hanya dilakukan di Kabupaten
Lampung Tengah yang merupakan sentra ubi kayu di Lampung, sehingga dengan
asumsi sudah mewakili daerah sentra produksi ubi kayu di Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Pemasaran Ubi Kayu

Beberapa negara penghasil ubi kayu di dunia memiliki permasalahan yang


relatif sama dengan di Indonesia. Di Nigeria, petani ubi kayu banyak menghadapi
kendala dalam pengolahan dan pemasaran ubi kayu. Sistem pemasaran ubi kayu
terdiri dari tengkulak yang membeli dari para petani di pedesaan dengan harga
murah dan menjual dengan harga tinggi kepada konsumen perkotaan dan prosesor.
Share petani sangat rendah karena kendala pemasaran dan ada kebutuhan untuk
mengolah ubi kayu menjadi produk yang lebih bernilai tinggi sehingga memenuhi
kebutuhan konsumen. Petani tidak mampu untuk menjual ubi kayu ke daerah
perkotaan karena mereka miskin dan tidak memiliki sarana untuk mengangkut ubi
kayu ke pasar (Otukpe 2010; Fefa and Cristopher 2014; Asogwa 2013).
Sementara itu di Kamerun harga ubi kayu lebih banyak dipengaruhi oleh biaya
transportasi, akses ke jalan beraspal, harga beras dan jagung (Mvodo dan Dapeng
2012). Secara umum pemasaran ubi kayu di negara berkembang masih banyak
terkendala dengan kurang baiknya saluran pemasaran, infrastruktur dan informasi
pasar yang buruk, pasokan yang tidak menentu dan kualitas ubi kayu (Prakash,
2005).
Sementara itu perdagangan ubi kayu dalam negeri didominasi oleh umbi
segar terutama untuk industri tapioka. Pemanenan ubi kayu yang dilakukan petani
tergantung pada kebutuhan dan harga pasar. Pada saat harga dapat diterima oleh
petani maka mereka melakukan pemanenan. Demikian juga dengan kondisi
memaksa, maka petani akan memanen berapapun harganya (Bantacut 2009).
Darwis et al. (2007) dalam penelitiannya mengenai sistem pemasaran ubi kayu di
Pati, Jawa Tengah menyebutkan bahwa petani dalam memasarkan ubi kayu tidak
bisa langsung menjual hasil produksinya ke perusahaan karena adanya aturan
yang tidak tertulis yang sudah menjadi kebiasaan antara makelar maupun calo
11

dengan pedagang, karena antar makelarpun ada perkumpulan yang tidak bisa
dilanggar, terutama untuk ubi kayu yang berasal dari luar daerah setempat.
Pedagang pengumpul yang berupa pemborong/penebas umumnya membeli
langsung ke petani dengan cara tebasan. Dalam melakukan tawar menawar agar
tidak rugi, maka penebas biasanya sudah memiliki ilmu dalam jenis varietas,
kesuburan tanah, umur tanam dan informasi harga. Ubi kayu yang didapat dari
petani kemudian dijual ke pengusaha tapioka.
Zakaria (2000) dalam penelitiannya mengenai analisis penawaran dan
permintaan produk ubi kayu Lampung menyatakan bahwa pasar ubi kayu di
tingkat pabrik dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung
oligopsoni dengan monopsony power yang lemah. Pasar terdiri dari banyak
penjual (petani) serta pembeli (pabrik dan pedagang) yang tergolong sedikit.
Dengan demikian dalam melakukan penjualan produknya petani penerima harga
(price taker) dan petani terpaksa menerima rafraksi yang cukup besar. Biaya
transportasi ubi kayu dari lokasi sentra produksi ubi kayu ke sentra pabrik gaplek
atau tapioka belum optimal. Alternatif kelembagaan transaksi yang mampu
memberikan biaya trasportasi ubi kayu minimal adalah kelembagaan kemitraan
yang dibentuk oleh para petani di suatu sentra produksi dengan pabrikan di sentra
industri gaplek atau tapioka yang lokasi lahan usahatani dan pabriknya saling
berdekatan.

Saluran Pemasaran

Hasil penelitian mengenai saluran pemasaran produk pertanian primer di


beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa pada saluran pemasaran
kentang di Eritrea saluran pemasaran potensial adalah melalui pedagang grosir,
pengecer dan langsung kepada konsumen. Mayoritas (78.3 persen) dari petani
mengindikasikan bahwa sebagian besar produk mereka dipasarkan melalui grosir
diikuti oleh pengecer (27.5 persen) (Ghebreslassie 2014). Sementara itu di
Swazinland petani sayuran sangat sulit untuk bisa menjual produknya di pasar
secara langsung, sehingga pedagang besar yang menjadi pilihan (Xaba 2013).
Chirwa (2009) menyatakan bahwa setiap saluran pemasaran menawarkan pilihan
harga yang berbeda dan pelayanan penjualan yang berbeda pula, yang
menentukan petani dalam memilih saluran pemasaran.
Adanya pilihan harga yang ditawarkan pada saluran pemasaran memiliki
pengaruh pada pendapatan yang diterima oleh petani. Pada model kerjasama
petani plasma dan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten OKI Sumatra Selatan,
yang memberlakukan pola kerjasama petani dengan mitra berupa perkebunan
sawit, petani justru merasa dirugikan dengan penjualan TBS (tandan buah segar)
ke perkebunan kelapa sawit. Hal ini dikarenakan (1) perusahaan inti lebih
mendahulukan mengolah TBS yang dihasilkan kebun milik perusahaan ini, dalam
kondisi seperti ini petani plasma dirugikan karena TBS-nya terpaksa menginap di
kebun yang pada akhirnya menurunkan kualitas TBS yang berimplikasi terhadap
harga TBS menjadi rendah. (2). Perusahaan inti pada saat membeli TBS dari
petani plasma tidak melakukan pembayaran secara tunai (non cash and carry),
akan tetapi pembayaran dilakukan satu bulan kemudian karena menunggu
penetapan harga dari pemerintah. (3). Rendemen TBS (bahan baku CPO) yang
berasal dari petani plasma pada prakteknya belum transparan dilakukan oleh
12

perusahaan inti, akibatnya petani hanya menerima laporan jumlah produksi CPO
(crude palm oil), keadaan demikian ini terjadi karena sampai saat ini KUD belum
melakukan pengawasan terhadap pengelolaan rendemen. (4). Ketidak setaraan
pengetahuan dan informasi pasar antara perusahaan inti dengan petani plasma,
sering terjadi pada saat pembelian TBS, perusahaan inti membeli TBS dari petani
plasma dengan harga lokal (rupiah), sedangkan peruasahaan inti menjual CPO
dengan harga $ (US Dollar), hal ini terjadi karena perusahaan inti mempunyai
akses pasar ekspor, sedangkan petani tidak pernah mengetahui harga CPO di pasar
luar negeri, terjadilah disparasi harga, kondisi ini merugikan pihak petani plasma
(Badri, 2011).
Asmarantaka dkk (2014) meneliti mengenai pemasaran ubi kayu di
Lampung memberikan hasil bahwa umumnya terdapat tiga saluran ubi kayu dari
petani ke pabrik. Saluran pertama yaitu dari petani langsung ke pabrik, saluran
kedua dari petani ke pemborong lalu ke pabrik, dan saluran ke tiga dari petani ke
lapak lalu ke pabrik. Ayatillah (2013) yang melakukan penelitian mengenai
komparasi saluran pasar dan modern di Kabupaten Bandung menyatakan bahwa
adanya saluran pasar modern terhadap petani berdampak pada meningkatnya
produktivitas sayuran yang dihasilkan oleh petani, meningkatnya pendapatan dan
meningkatnya kualitas sayuran yang dipasarkan. Adapun dampak saluran pasar
modern terhadap saluran pasar tradisional antara lain berkurangnya volume
perdagangan sayuran di pasar tradisional, bertambahnya fungsi pemasaran, serta
saluran pemasaran tradisional menjadi lebih pendek.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran

Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan


lembaga pemasaran kakao di Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa
karakteristik petani seperti (1) luas lahan kakao, (2) hasil produksi kakao, (3)
pendidikan, (4) jumlah tanggungan keluarga, (5) pendapatan keluarga petani
(Dewi 2012) serta umur petani dan harga jual biji kakao (Akbar 2013)
mempengaruhi petani dalam memilih kelembagaan tataniaga kakao. Sebagian
besar petani memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan pedagang
pengumpul desa/kecamatan dalam hal meminjam uang/modal. Hal ini
menyebabkan petani tidak memiliki pilihan lain dalam menjual hasil produksinya
dan harga jual yang relatif rendah ditentukan sepihak oleh pedagang. Semua
faktor yang berpengaruh terhadap pilihan kelembagaan tataniaga oleh masing-
masing petani menggunakan pendekatan model fungsi logistik, yaitu
pengembangan model probabilitas linear (Dewi 2012; Chirwa 2009; Xaba 2013).
Sisfahyuni et al. (2011) menyatakan bahwa pedagang pengumpul kakao di
Sulawesi Tengah sebagai pembeli kakao tergolong sedikit dan bermitra dengan
pedagang diatasnya secara vertikal, sehingga struktur pasar biji kakao di tingkat
petani adalah oligopsoni. Sesama pedagang pengumpul melakukan kerjasama
melalaui sharing informasi dan dana. Kerjasama tersebut menguntungkan
pedagang pengumpul yang berhadapan langsung dengan petani, sehingga
memperkuat posisi tawar pedagang pengumpul. Jadi dalam kasus sharing
informasi harga kakao biji di Sulawesi Tengah pedagang pengumpul mendapatkan
keuntungan yang besar. Hal ini tidak sejalan dengan yang dilaporkan Hueuth dan
Marcoul (2006) dalam Sisfahyuni (2011) bahwa sharing informasi meningkatkan
13

keuntungan petani dan menurunkan keuntungan perusahaan perantara. Sebagian


besar petani (71 persen) terlibat dalam kelembagaan pedagang principal agent
yang begitu kuat.
Suatu kelembagaan principal-agent merupakan suatu hubungan agensi
yang lebih dihubungkan sebagai suatu kontrak dimana satu orang atau lebih
(principal) mengajak orang lain (agent) menyelenggarakan beberapa jasa dengan
pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen. Purwaningsih
(2006) menyebutkan bahwa principle agent adalah pola kerjasama keagenan,
dimana satu perusahaan besar bekerja sama dengan beberapa agen, baik dalam
distribusi input produksi maupun dalam pemasaran hasil. Beberapa hal
diantaranya yang manjadi faktor yang mempengaruhi petani dalam memilih
saluran pemasaran yaitu informasi dan ketersediaan kontrak perjanjian (Jari 2009).
Namun keterbatasan informasi menyebabkan rasionalitas petani terbatas (bounded
rationality) (Urquieta 2009). Sehingga petani bertindak seakan-akan tidak rasional.
Menurut Wiliamson (1996), dengan alasan bounded rationality, kontrak yang
komprehensif merupakan suatu pilihan yang tidak layak. Karena kondisi
pengetahuan petani tidak memungkinkan baginya dalam memahami keluasan
kontrak tersebut.
Qhoirunisa (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh petani padi dalam menjual
hasil panennya adalah lama pendidikan petani dan kemudahan dalam menjual
hasil panen. Sementara itu peluang petani untuk memilih koperasi sebagai
lembaga pemasaran akan semakin besar dengan semakin tingginya tingkat
pendidikan formal petani dan apabila petani menjadi anggota koperasi pada
pemasaran sawit di Banyuasin (Malini dan Desi 2010 ). Mzyece (2010) mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kacang di Zambia dalam
pemilihan saluran pasar diantaranya harga, jumlah persediaan, transportasi,
tingkat mekanisasi dan status perkawinan. Sementara untuk kopi di Southern
Ethiopia faktor yang mempengaruhi diantaranya pendidikan, proporsi lahan yang
dialokasikan untuk kopi, proporsi pendapatan petani keseluruhan terhadap total
pendapatan, kinerja kandang, kepuasan terhadap kinerja koperasi, dan cara
pembayaran (Anteneh 2011; Ogunleye 2007). Faktor sosial, seperti tingkat
kedekatan dan kekerabatan juga menjadi hal bisa yang mempengaruhi pilihan
saluran pemasaran (Jari 2009).
Studi mengenai pemilihan saluran pemasaran lebih banyak mengkaji pada
level petani, sementara itu Sujarwo et al. (2014) yang melakukan studi mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran pada tingkat
pedagang karet di Jambi menyatakan bahwa faktor-faktor yang signifikan
mempengaruhi pilihan saluran pemasaran pedagang adalah lokasi, akses kredit,
akses informasi, keuntungan dan karakteristik pedagang. Pedagang cenderung
tidak menjual ke pabrik jika jumlah karet sedikit, akses informasi lebih baik, dan
proses birokrasi yang lebih mudah, meskipun lokasinya lebih jauh.

Kualitas Produk Komoditas Pertanian

Yonekura (1996) dalam penelitiannya mengenai standar kualitas pada


pasar jagung di Jawa Timur mengatakan bahwa standarisasi jagung disebabkan
adanya respon permintaan dari industri pakan yang cukup kuat, menyangkut kadar
14

air dan kotoran. Penilaian kualitas ini disebut rafaksi, yang bisa berupa
pengurangan terhadap harga ataupun berat terhadap kualitas jagung yang diluar
standar. Namun informasi mengenai standar kualitas ini tidak cukup pada level
pedagang desa. Terlebih lagi mereka tidak memiliki alat dan hanya memiliki
metode sederhana untuk menghitung kadar air. Sedangkan karakteristik kualitas
lain terus ditambahkan oleh industri pakan seperti benih busuk, jamur, warna dan
lain-lain. Petani dan pedagang tidak dapat menemukan syarat tersebut pada pasar
ditingkat bawah.
Kualitas ubi kayu sering dinilai dari banyaknya penalti kuantitas atau
disebut dengan rafaksi yang diberikan melalui potongan berat terhadap hasil
panen ubi kayu yang dijual petani. Akiyama dan Nishio (1996) menyebutkan
bahwa dalam penentuan rafaksi ubi kayu di Lampung, petani tidak diizinkan
untuk melihat proses penentuannya, seperti kadar aci dan kemurnian ubi, termsuk
juga proses penimbangan. Sugino dan Henny (2009) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa pabrik di Lampung Timur tidak terbuka mengenai standar
kualitas yang mereka tentukan dan bagaimana cara mereka dalam mengetes ubi
kayu untuk menentapkan kualitas ubi kayu yang dijual petani. Petani ubi kayu di
Lampung tidak diperkenankan melihat proses penimbangan ubi kayu yang
dilakukan oleh pabrik. Oh (1983) dalam tulisannya menyebutkan transaksi jual
beli komoditi pertanian dalam negeri cenderung tidak menggunakan standardisasi
dan grading dibandingkan dengan transaksi komoditi yang diekspor. Meskipun
dalam hal ini sebenarnya terdapat standard dan grading. Dan yang lebih penting
lagi kualitas grading dan klasifikasi dari komoditi lebih banyak dilakukan oleh
pembeli. Pembeli memiliki posisi yang lebih baik dalam memperdebatkan hal ini.
Wiyanto dan Kusnadi (2013) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat menyatakan bahwa
penyebab rendahnya kualitas karet di tingkat petani adalah penggunaan pembeku
selain pembeku terbaik dan dianjurkan lembaga penelitian karet yakni asam semut.
Selain pembeku, penyebab rendahnya kualitas karet di tingkat petani adalah
tercampurnya koagulump dengan kotoran seperti tatal, daun dan karet kering yang
berwarna hitam. Dengan adanya hal ini petani melakukan perbaikan kualitas karet,
yang ternyata menyebabkan adanya peningkatan keuntungan dengan lebih
tingginya harga karet tersebut. Karena peningkatan kualitas karet di tingkat petani
hanya akan berhasil jika terdapat keuntungan dari peningkatan kualitas yang
dilakukan petani berupa tambahan pendapatan.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Konseptual

Konsep Pemasaran

Berbagai konsep mengenai pemasaran telah banyak dijabarkan oleh para


ahli. Pemasaran atau tataniaga (marketing) dari perspektif makro (ekonomi)
merupakan aktivitas atau kegiatan dalam mengalirkan produk, mulai dari petani
(produsen primer) sampai ke konsumen akhir. Dalam aktivitas mengalirnya
produk sampai ke tangan konsumen akhir (end user), banyak kegiatan produktif
15

yang terjadi dalam upaya menciptakan atau menambah nilai guna (bentuk, tempat,
waktu dan kepemilikan) dengan tujuan memenuhi kepuasan konsumen akhir
(Kohls 1967; Asmarantaka 2013).
Alma (2011) mengatakan bahwa pemasaran mencakup berbagai kegiatan
seperti membeli, menjual, dengan segala macam cara, mengangkut barang,
menyortir, menyimpan dan sebagainya, yang bersifat produktif dan dapat
menimbulkan kegunaan (utility). Cramer (1998) juga menjelaskan mengenai
konsep kegunaan ini. Pemasaran didefinisikan sebagai kegiatan usaha yang
menggerakkan aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen atau pengguna
akhir. Baik yang berakhir pada konsumen yang membeli produk di toko eceran
atau sebagai bahan baku untuk tahap produksi lain. Pemasaran mencakup
perusahaan pasokan input yang melayani pertanian dan peternakan. dengan
demikian, pemasaran terdiri dari usaha-usaha yang transfer pengaruh kepemilikan
dan yang menciptakan kegunaan waktu, tempat dan bentuk.
Pada negara yang maju kegiatan pemasaran lebih berorientasi pada
keinginan masyarakat (buyer’s market), sedangkan untuk negara berkembang
kegiatan pemasaran berorientasi pada kebutuhan masyarakat (seller’s market).
Dan setiap komoditas pemasaran memiliki cara yang khusus untuk mencapai
pergerakan produk dari produsen ke konsumen akhir melalui berbagai lembaga
yang disebut dengan saluran pemasaran (Kohls 1967). Dalam kegiantannya
pemasaran memiliki tiga pendekatan. Pendekatan tersebut yaitu pendekatan
kelembagaan (institutional approach), pendekatan fungsi (fungtional approach)
yang terdiri atas fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas, serta
pendekatan komoditi (commodity approach) (Alma 2011 ; Seperich 1994).
Kebanyakan orang mengira marketing (pemasaran) adalah selling
(penjualan) atau advertising (iklan), meskipun benar selling dan advertising
adalah bagian dari marketing. Namun marketing lebih luas dibandingkan dengan
selling atau advertising (Mc Carthy dan William 1991). Pemasaran menekankan
pada apa yang diinginkan konsumen, perusahaan merancang produk yang
bertujuan untuk memuaskan selera konsumen, berorientasi pada profit atau laba
total, bukan pada laba per unit barang, dan rencana dibuat dalam jangka panjang
untuk memikirkan pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang (Stanton
1981 dalam Alma 2011). Sedangkan penjualan lebih menekankan kegiatan pada
produk, dimana perusahaan mula-mula membuat produk lalu menjualnya,
manajemen berusaha pada tercapainya volume penjualan sebesar-besarnya, dan
biasanya rencana dibuat dalam jangka pendek.
Pemasaran mencakup dua aspek yaitu aspek ekonomi atau makro dan
aspek manajemen atau mikro. Pemasaran dalam aspek makro adalah proses sosial
yang mengarahkan aliran ekonomi barang dan jasa dari produsen ke konsumen
dengan cara yang efektif, sesuai penawaran dan permintaan masyarakat.
Pemasaran dalam aspek mikro adalah kegiatan yang berusaha untuk mencapai
tujuan organisasi/perusahaan dengan memenuhi kebutuhan dan kepuasan
pelanggan atau klien, dan mengarahkan aliran kebutuhan barang dan jasa dari
produsen ke konsumen atau klien (Mc Carthy dan William 1991; Asmarantaka
2013).
Fungsi-fungsi dalam pemasaran yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan
fungsi fasilitas mencakup sembilan fungsi-fungsi lagi didalamnya (Kohls 1967;
Seperich 1994; Mc Carthy 1991; Cramer 1988), seperti ditunjukkana pada Tabel 4.
16

Pada pasar ekonomi terbuka kesembilan fungsi tersebut normalnya dilakukan oleh
middlemen. Middlemen ada dikarenakan perantara mampu melakukan beberapa
tugas-tugas pemasaran yang lebih efisien daripada harus dilakukan oleh
perusahaan. Perantara membantu untuk mengatasi perbedaan dalam jumlah,
tempat, waktu pilihan dan kepemilikan yang timbul. Perantara adalah perusahaan
bisnis yang membantu perusahaan menemukan pelanggan atau mendekatkan
penjualan kepada perusahaan. Terbagi menjadi dua jenis, yaitu agen perantara dan
pedagang perantara. Agen perantara (agen, broker, wakil-wakil produsen)
bertugas mencari pelanggan atau melakukan negoisasi kontrak tetapi tidak
melakukan pemindahan hak milik barang. Perusahaan akan membayar mereka
berupa komisi. Sedangkan pedagang perantara adalah (pedagang grosir, eceran)
berfungsi untuk membeli, melakukan pemidahan hak milik dan menjual kembali
barang-barang tersebut.
Pemasaran yang baik dilihat melalui efisiensi pemasaran. Secara umum
pasar dinilai efisien apabila mampu menyampaikan barang dan jasa dari produsen
ke konsumen dengan biaya sekecil-kecilnya dan mampu mengadakan pembagian
yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen kepada semua pihak
yang ikut dalam produksi dan pemasaran barang/jasa tersebut. Namun ukuran
efisiensi tidak hanya dinilai dari hal tersebut, Asmarantaka (2013) menyebutkan
bahwa ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen maupun
lembaga-lembaga yang terlibat di dalam mengalirkan barang/jasa mulai dari
petani sampai konsumen akhir. Oleh karena itu, banyak pakar yang
mempergunakan ukuran efisiensi dengan menggunakan efisiensi operasional,
efisiensi harga dan efisiensi relatif. Efisiensi teknis berkaitan dengan cara dimana
fungsi-fungsi pemasaran fisik dilakukan untuk mencapai output maksimum per
unit input sedangkan efisiensi harga dipengaruhi oleh kekakuan biaya pemasaran,
sifat dan tingkat kompetisi di industri (Kohls 1967; Cramer 1988).

Tabel 4 Fungsi – Fungsi Pemasaran


Exchange functions
Buying Ownership separation
Selling Ownership separation
Physical fuctions
Storage Time separation
Transportation Space separation
Processing Value separation
Facilitating functions
Grades/standards Information separation
Financing Value separation
Risk taking Time separation
Market information Information separation
Sumber : Seperich (1994)

Seperich (1994) mengungkapkan bahwa sistem pemasaran yang berjalan


baik dapat dilihat dengan dua kriteria yaitu :
1. Efficiency, bagaimana barang dan jasa mengalir dari produsen ke
konsumen.
2. Fairness, bagaimana sistem pemasaran mampu memenuhi kebutuhan
konsumen.
17

Pasar memiliki struktur yang dapat dilihat dari konsentrasi industrinya


(Baye 2010). Cramer (1988) menjelaskan bahwa struktur pasar menekankan sifat
persaingan pasar, dan upaya untuk menghubungkan variabel kinerja pasar
terhadap jenis struktur pasar dan perilaku pasar yang terbentuk. Struktur pasar
adalah deskripsi dari jumlah dan sifat peserta dalam pasar. Termasuk jumlah dan
distribusi ukuran pembeli dan penjual di pasar, tingkat diferensiasi produk dan
hambatan untuk pendatang potensial. Pada kondisi pasar yang terkonsentrasi,
kekuatan dari perusahaan yang besar pada pasar bisa mempengaruhi harga produk
pada pasar tersebut. Dominasi dari satu atau sedikit perusahaan akan memberikan
kemampuan untuk memanipulasi harga tidak hanya dengan menaikkan harga
produk, tapi juga memperluas pasar dengan menurunkan harga produk.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk mengatakan bahwa pasar
memiliki struktur yang efisien dan adil (Seperich 1994), diantaranya :
1. Jumlah dan ukuran perusahaan dalam industri. Keberadan banyak
perusahaan kecil dan sedikit perusahaan besar adalah yang terbaik.
Perusahaan memang perlu untuk memperbesar usahnyanya untuk
memperkecil biaya produksi per unit output, namun tidak terlalu besar
sehingga tidak mendominasi pasar.
2. Tidak ada hambatan untuk masuk atau keluar pasar.
3. Kompetisi diantara perusahaan-perusahaan memaksa perusahaan untuk
melakukan yang lebih baik.

Asmarantaka (2013) menyebutkan bahwa dalam garis besarnya ada dua


kelompok struktur pasar yaitu pasar persaingan sempurna (perfect competition)
dan pasar tidak bersaing (monopoli atau monopsoni), sedangkan jenis lainnya
merupakan struktur pasar dengan jenis diantara kedua struktur tersebut
(persaingan monopolistic, oligopoly, dan duopoly). Diantara semua jenis pasar,
struktur pasar yang efisien adalah pasar persaingan sempurna. Tingkat kompetisi
yang menurun, mempunyai konsekuensi penurunan efisiensi pasar. Oleh sebab itu,
struktur pasar yang cenderung memiliki karakteristik mendekati pasar persaingan
sempurna adalah pasar yang efisien. Sebaliknya dengan struktur pasar monopoli
(hanya ada satu penjual) atau monopsony (hanya ada satu pembeli), dikatakan
struktur pasar yang tidak efisien.

Pilihan Saluran Pemasaran

Levens (2010) mendefinisikan saluran pemasaran sebagai jaringan semua


pihak yang terlibat dalam menggerakkan produk atau jasa dari produsen ke
konsumen atau pelanggan bisnis. Sedangkan Kotler dan Keller (2009)
menyebutkan bahwa saluran pemasaran adalah sekelompok organisasi yang saling
bergantung dan terlibat dalam proses pembuatan produk atau jasa yang disediakan
untuk digunakan dan dikonsumsi. Bovee dan Thill (1992) menyatakan bahwa
saluran pemasaran adalah sebuah sistem yang dirancang untuk memindahkan
barang dan jasa dari produsen ke konsumen, yang terdiri dari orang-orang dan
organisasi yang didukung oleh berbagai fasilitas, peralatan, dan sumber daya
informasi. Saluran pemasaran mencakup semua pihak yang terlibat dalam proses
penyaluran produk. Lembaga-lembaga yang terlibat baik perorangan maupun
18

organisasi dalam proses penyaluran barang dan jasa dari produsen hingga ke
konsumen disebut lembaga pemasaran atau perantara (Bovee dan Thill 1992).
Dalam kegiatan pemasaran, keputusan memilih saluran pemasaran
merupakan keputusan penting (Kotler 1997). Lebih lanjut Kotler dan Keller
(2009) menyebutkan bahwa saluran yang dipilih mempengaruhi keputusan
pemasaran lainnya, seperti keputusan terhadap harga. Dalam memilih saluran
pemasaran, harga dan kenyamanan dalam kegiatan pemasaran dapat menjadi salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan saluran. Coughlan et al. (2006)
menyebutkan bahwa keputusan dalam pemilihan saluran pemasaran dapat
mempengaruhi efektivitas dan efisiensi dari struktur saluran.
Peran lembaga pemasaran adalah untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas keseluruhan dari suatu saluran pemasaran. Levens (2010) menjelaskan
bahwa lembaga pemasaran terdiri dari empat tipe yang meliputi:
1. Pedagang besar/grosir,yaitu perusahaan yang memperoleh produk dalam
jumlah besar dari perusahaan manufaktur dan kemudian melakukan proses
sortasi, penyimpanan, dan penjualan kembali kepada pedagang pengecer atau
bisnis lain.
2. Pedagang pengecer, yaitu seluruh anggota saluran yang terlibat secara langsung
dalam penjualan produk atau jasa untuk konsumen.
3. Agen, yaitu orang yang memfasilitasi pertukaran barang atau jasa tetapi tidak
memiliki barang yang yang mereka jual.
4. Fasilitator, yaitu orang yang membantu dalam pendistribusian barang dan jasa
tetapi tidak memiliki barang yang mereka jual dan tidak ikut serta dalam
negosiasi penjualan.

Seringkali petani sebagai penjual memiliki kelemahan dalam penguasaan


informasi dan kemampuan bernegosiasi. Oleh karena itu lembaga pemasaran
kerap kali menjembatani petani ketika menjual produknya karena memiliki
kelebihan dalam hal tersebut. Lembaga pemasaran seperti agen membantu petani
dalam proses penjualan produk dan menjadi wakil petani dalam berjual beli. Suatu
permasalahan dalam hubungan ini muncul ketika para lembaga pemasaran justru
mencari cara untuk memaksimalkan keuntungan mereka sendiri dibandingkan
keinginan petani sebagai pemilik produk. Sementara itu Soekartawi (1987)
menjelaskan bahwa saluran pemasaran amat penting fungsinya bagi petani,
khususnya dalam melihat tingkat harga pada masing-masing lembaga pemasaran.
Saluran pemasaran memiliki panjang yang berbeda-beda. Bentuk saluran
pemasaran yang paling sederhana adalah pemasaran langsung atau langsung atau
zero-level channel, dimana produsen sekaligus memasarkan produk atau jasanya
langsung kepada konsumen. Sedangkan pemasaran tidak langsung melibatkan
satu atau lebih perantara antara produsen dan konsumen. Dengan adanya perantara
tersebut, efisiensi dan efektivitas saluran pemasaran akan tercapai. Pemasaran
langsung maupun tidak langsung dapat dilakukan dengan cara business to
consumer (B2C) atau business to business customers (B2B). Business to
consumer (B2C) artinya pemasaran yang langsung menuju pada konsumen
pengguna akhir dari produk, sedangkan business to business customers (B2B)
artinya pemasaran yang menuju pada konsumen bisnis, yang menggunakan
produk tersebut untuk dijual kembali.
19

Kotler (2005) menyebutkan bahwa anggota-anggota saluran pemasaran


melaksanakan sejumlah fungsi utama yaitu:
1. Mengumpulkan informasi mengenai calon pelanggan dan pelanggan sekarang,
pesaing, dan pelaku serta kekuatan lainnya dalam lingkungan pemasaran
tersebut.
2. Mengembangkan dan menyebarkan informasi persuasif untuk merangsang
pembelian.
3. Mencapai kesepakatan mengenai harga dan ketentuan-ketentuan lain sehingga
peralihan kepemilikan dapat terlaksana.
4. Melakukan pemesanan kepada produsen.
5. Memperoleh dana untuk membiayai persediaan pada tingkat yang berbeda
dalam saluran pemasaran.
6. Menanggung risiko yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi pemasaran.
7. Mengatur kesinambungan penyimpanan dan perpindahan produk-produk fisik.
8. Mengatur pelunasan tagihan kepada pembeli melalui bank dan lembaga
keuangan lainnya. Mengawasi peralihan kepemilikan aktual dari suatu
organisasi atau orang kepada organisasi atau orang lainnya.

Grading dan Standardisasi Produk

Standardisasi dan grading pada produk-produk agribisnis akan


meningkatkan potential benefits. Standardisasi merupakan kesepakatan dari
partisipan (pembeli, penjual, pabrik) terhadap produk untuk dimensi ukuran dan
kualitas produk termasuk atribut produk seperti tingkat kematangan, warna,
volume per unit, tingkat keseragaman dan lain-lain dimana partisipan sepakat
mengelompokkan dalam kelas-kelas tertentu. Grading merupakan perlakuan
terhadap produk untuk memilah-milah produk berdasarkan kelompok tertentu di
dalam standardisasi tersebut. Standardisasi maupun grading merupakan komponen
dari informasi pasar yang penting. Informasi harga yang akurat tentang produk
harus disertai dengan kelompok standardisasi dari produk tersebut (Asmarantaka
2013).
Seringkali pembeli dan penjual komoditas-komoditas pertanian tidak
memiliki informasi yang sama mengenai kualitas produk yang mereka perjual
belikan atau sering dikenal sebagai informasi asimetris. Salvatore (2007)
menyebutkan informasi asimetris adalah kondisi dimana salah satu pihak yang
bertransaksi mempunyai informasi yang lebih banyak dibandingkan pihak lain
untuk mutu dari suatu produk (yaitu dengan adanya informasi asimetris), dimana
produk bermutu rendah atau “lemon” akan mendorong produk bermutu tinggi
keluar dari pasar. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi hal ini
adalah dengan pemberian isyarat pasar. Merek dagang dan jaminan digunakan
sebagai isyarat untuk produk yang lebih bermutu tinggi, dimana pembeli akan
membayar dengan harga yang lebih tinggi.
Hudson (2007) menyatakan bahwa kualitas produk akan mempengaruhi
harga. Pada hedonic price theory, kualitas produk mempengaruhi keputusan
seseorang untuk mengkonsumsi barang, sehingga kualitas akan mempengaruhi
harga. Teori ini berbeda dengan teori neoklasik, dimana pada teori hedonic
berdasarkan kualitas sementara pada teori neoklasik berdasarkan kuantitas atau
jumlah barang. Seperti diketahui satu jenis produk pertanian bisa memiliki begitu
20

banyak kualitas yang heterogen satu sama lain. Konsumen akan bersedia
membayar dengan harga yang berbeda jika kualitas produk juga berbeda karena
akan menghasilkan tingkat kepuasan yang berbeda pula. Namun yang menjadi
catatan penting adalah bahwa perbedaan dalam kualitas harus dapat dilihat atau
diamati (observable). Ketika konsumen tidak menemukan perbedaan dalam
kualitas, maka produk tersebut tidak dapat dibayar dengan harga yang berbeda.
Produk pertanian (on farm) maupun produk agribisnis mempunyai
fluktuasi kualitas, tingkat kematangan, karakteristik mudah rusak, dan lain-lain
sehingga standardisasi dan grading sangat penting yang dapat meningkatkan
potensi dan nilai tambah produk tersebut. Pengolahan komoditi pertanian menjadi
produk yang siap dikonsumsi konsumen, dilakukan proses pengolahan seperti
pabrik. Untuk menjaga kualitas dan keseragaman produk akhir, biasanya pengolah
meminta bahan baku pertanian yang seragam dengan syarat-syarat standard dan
grading yang telah ditentukan. Biasanya mengandung karakteristik tingkat
kematangan, warna, kadar air, kadar kotoran, dan lain-lain (Asmarantaka 2013).
Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa produk agribisnis yang kualitas
berdasarkan grade dan standardisasi tertentu akan meningkatkan efisiensi
pemasaran (efisiensi harga dan efisiensi teknis). Efisiensi teknis berkaitan dengan
pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan rasio output-input
pemasaran yang biasanya diukur melalui margin pemasaran dan farmer’s share.
Sedangkan efisiensi harga menekankan pada kemampuan sistem pemasaran dalam
mengalokasikan sumberdaya, dan mengkordinasikan seluruh produksi pertanian
dan proses pemasaran sehingga efisien yang sesuai dengan keinginan konsumen.
Efisiensi harga dapat tercapai apabila (1) masing-masing pihak yang terlibat puas
dan responsif terhadap harga, (2) penggunaan sumberdaya mengalir dari
penggunaan bernilai guna rendah ke nilai yang tinggi, dan (3) mengkordinasikan
aktivitas antara pembeli dan penjual.
Aktivitas grading akan meningkatkan efisiensi harga dan efisiensi
operasional. Meningkatkan efisiensi harga karena meningkatkan arti kuota harga
dari informasi pasar, meningkatkan ketepatan harga, meningkatkan kompetisi
alokasi produk sesuai dengan permintaan dari produk-produk yang telah
mengalami grading dan standardisasi. Demikian pula akan meningkatkan efisiensi
opersional karena menghemat waktu dan meningkatkan kemampuan menjual
produk dengan produk yang standar, mengurangi biaya penjualan dan iklan karena
dapat dilakukan melalui sampel, dan penjualan akan efektif dan efisien karena
pergerakan produk sesuai dengan segmen pasar yang aka dituju (Asmarantaka
2013).
Beberapa kriteria grading dan standardisasi yang diperlukan, sehingga
informasinya mempunyai arti (Kohls dan Uhl 2002), yaitu :
1. Stadardisasi karakteristiknya harus mudah dikenal, grading berorientasi
kepada penggunaan nilai opini.
2. Standardisasi harus berdasarkan karakteristik atribut yang seragam,
konsisten, dan mudah diinterpretasikan.
3. Standardisasi harus mempergunakan faktor-faktor dan terminologi yang
membuat grading mempunyai arti dan manfaat sebanyak mungkin.
4. Standardisasi dan grading harus sama kriterianya antara konsumen dan
produsen atau pelaku-pelaku pasar, pengklasifikasiannya harus mencakup
21

rata-rata produksi yang ada di pasar sehingga klasifikasi tersebut


mempunyai arti.
5. Biaya operasional dari grading dan standardisasi harus layak dan wajar
(reasonable), sehingga efisiensi dapat tercapai.

Pendapatan Usahatani

Pendapatan didefinisikan sebagai selisih antara total penerimaan suatu usaha


dengan biaya yang dikeluarkan. Pendapatan terdiri dari berapa banyak perusahaan
yang menjual berbagai output dikali harga masing-masing output dikurangi biaya
yaitu berapa banyak perusahaan menggunakan masing-masing input dikali harga
tiap input. Dalam menentukan kebijakan yang optimal terkait pendapatan atau
keuntungan, petani umumnya terkendala pada dua jenis kendala yaitu teknologi
dan pasar. Petani sebagai produsen yang berlaku sebagai price taker pada pasar,
hanya bisa mengoptimalkan keuntungan dengan berkonsentrasi pada tingkat
output dan input yang digunakan. Hal ini dikarenakan perilaku perusahaan yang
berstruktur monopsony pada pasar input adalah hampir sama dengan monopolis
pada pasar output (Tian 2013).
Pindyck dan Rubinfield (1995) merumuskan secara matematis untuk
menghitung pendapatan adalah sebagai berikut :
Π = TR - TC
Π = Py.Y – Pxi. Xi – TFC

Dimana:
Π = pendapatan (Rp)
Y = output (Kg)
Py = harga output (Rp)
Xi = faktor produksi (I = 1, 2, 3, … , n)
Pxi = harga faktor produksi ke-I (Rp)
TFC = Biaya tetap total (Rp)

Petani dapat melalukan peningkatan pendapatan jika melakukan


usahataninya secara efisien. Usahatani dikatakan efisien ketika pemanfaatan
sumberdaya menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input)
(Soekartawi 2006). Daniel (2004) menyatakan konsep efisien dikenal dengan
konsep teknis, efisiensi harga dan ekonomi. Kalau petani meningkatkan hasilnya
dengan menekan harga faktor produksi, dan menjual hasilnya dengan harga yang
tinggi, maka petani tersebut melakukan efisiensi harga dan efisiensi teknis
bersamaan atau sering disebut istilah efisiensi ekonomi. Dalam ilmu ekonomi,
cara berpikir demikian disebut dengan pendekatan memaksimumkan pendapatan
(profit maximization). Dilain pihak, manakala petani dihadapkan pada
keterbatasan biaya dalam melaksanakan usahataninya, maka mereka tetap
mencoba bagaimana meningkatkan pendapatan dengan kendala biaya terbatas.
Suatu tindakan yang dapat dilakukan adalah bagaimana memperoleh pendapatan
yang lebih besar dengan biaya produksi yang sekecil-kecilnya atau terbatas.
Pendekatan ini dikenal istilah dengan meminimumkan biaya (cost minimization).
Pendekatan profit maximization dan cost minimization pada prinsipnya
sama, yaitu bagaimana memaksimumkan keuntungan atau pendapatan.
22

Ketidaksamaannya yaitu dari segi sifat dan behavior petani bersangkutan. Petani
besar seringkali berprinsip bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya melalui pendekatan profit maximization karena mereka tidak dihadapkan
pada keterbatasan biaya. Sebaliknya petani kecil bertindak memperoleh
keuntungan dengan keterbatasan yang dimiliki (Daniel 2004).

Kerangka Pemikiran Operasional

Lampung merupakan penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia yang


berkontribusi sebanyak 34.69 persen terhadap produksi ubi kayu nasional (BPS
2014) dan keberadaan ubi kayu menjadi komoditas yang menjadi usahatani utama
di Provinsi Lampung (Lampung Dalam Angka 2013). Berkembangnya ubi kayu
sebagai tanaman utama petani juga didukung dengan adanya berbagai macam
industri sedang/besar yang bergerak mengolah ubi kayu menjadi berbagai produk
yang berfungsi sebagai pasar ubi kayu. Kebutuhan industri yang begitu tinggi
akan bahan baku ubi kayu membuat industri sebagai pasar utama bagi petani
dalam menjual produknya dan penyerap ubi kayu terbesar di Lampung.
Harga ubi kayu di Lampung secara perlahan mengalami peningkatan,
namun pada kenyataan produksi dan luas lahan ubi kayu di Lampung semakin
menurun. Pada skala nasional penurunan produksi ubi kayu di Lampung diikuti
dengan penurunan produksi ubi kayu nasional yang menyebabkan kurangnya
pasokan ubi kayu di dalam negeri yang juga mengakibatkan meningkatnya impor
ubi kayu. Meskipun mengalami peningkatan, harga ubi kayu masih rendah bila
mempertimbangkan adanya rafaksi yang diterima petani. Pabrik atau pedagang
ubi kayu memberlakukan sistem potongan berat yang dikenal dengan istilah
rafaksi untuk menilai kualitas ubi kayu petani.
Zakaria (2000) yang menyatakan bahwa pasar ubi kayu di tingkat pabrik
gaplek dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung oligopsoni
dengan monopsony power yang lemah. Petani dengan adanya hal ini dihadapkan
pada kondisi pasar yang cenderung mengarah pada oligopsoni dan sebagai
penerima harga (price taker). Pabrik dan petani seharusnya dapat saling
menguntungkan. Apa yang menjadi kebutuhan industri ubi kayu adalah
terpenuhinya jumlah bahan baku ubi kayu dalam kegiatan operasional dengan
kualitas baik, sementara kebutuhan petani adalah produksi ubi kayu terserap,
adanya jaminan harga dan pembayaran yang tidak ditunda. Seringkali pada saat
panen raya menyebabkan harga ubi kayu menjadi anjlok karena adanya kelebihan
pasokan. Disamping itu itu kualitas ubi kayu yang dijual oleh petani tidak sesuai
dengan yang diinginkan oleh pabrik. Hal ini menyebabkan petani merugi karena
pabrik lebih mempunyai power untuk menentukan harga dan memberlakukan
rafaksi yang tidak sesuai dengan kualitas ubi kayu petani.
Saluran pemasaran berperan penting dalam menentukan harga ubi kayu
dan rafaksi yang diterima petani ubi kayu. Dalam menjual produknya petani dapat
memilih beberapa alternatif saluran pemasaran, yaitu langsung ke pabrik atau
melalui pedagang. Beberapa pertimbangan menjadi hal yang diduga dapat
mempengaruhi petani dalam memilih saluran pemasaran seperti harga, jumlah
hasil panen, jarak, tingkat pendidikan, usia panen, pinjaman modal yang diberikan
oleh pedagang sampai dengan rafaksi yang diberlakukan oleh pabrik atau
pedagang berkaitan dengan kualitas ubi kayu petani.
23

Harga menjadi sinyal utama bagi petani dalam memilih saluran pemasaran,
karena dengan harga tinggi petani mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Hasil
panen yang sedikit diduga akan membuat petani memilih saluran pemasaran
pedagang. Jarak ladang dengan pembeli diduga mempengaruhi pilihan saluran
pemasaran karena berkaitan dengan biaya transportsi. Tingkat pendidikan yang
tinggi diduga membuat petani memiliki informasi yang lebih baik dan
kemampuan untuk bernegosiasi sehingga mambuatnya memilih saluran
pemasaran yang lebih menguntungkan. Usia panen akan mempengaruhi pilihan
saluran pemasaran karena usia yang cukup maka kualitas ubi kayu lebih baik.
Semakin sedikit kadar aci, kotoran, tua usia panen maka semakin kecil
potongan berat atau rafaksi yang diberikan pada hasil panen yang dijual oleh
petani. Begitu pula sebaliknya. Namun petani tidak memiliki pengetahuan yang
baik mengenai penentuan rafaksi oleh pabrik atau pedagang. Rafaksi sangat
subyektif ketika petani tidak dapat menduga nilai rafaksi. Penentuan rafaksi
seharusnya menjadi kesepakatan kedua belah pihak, dan kedua belah pihak
memiliki pengatahuan yang sama tentang cara penentuannya. Pada penelitian ini
akan dilihat juga bagaimana mekanisme penentuan potongan berat atau rafaksi
yang diterima oleh petani pada saat menjual ubi kayu. Modal menjadi faktor
berikutnya yang diduga ikut mempengaruhi petani dalam memilih saluran
pemasaran. Dalam hal ini ada lapak atau pemborong yang berdiri indenpenden
atau menjadi salah satu bentuk perpanjangan tangan dari pabrik guna mendapat
bahan baku ubi kayu dari petani. Lembaga pemasaran ini memperoleh sebagian
atau seluruh modal usaha dari pabrik, perilaku ini juga dilakukan oleh mereka
pada petani sehingga petani memiliki keterikatan untuk menjual ubi kayu
kepadanya.
Setiap saluran pemasaran yang berbeda yang dilalui petani memiliki
tingkat harga penjualan dan biaya yang berbeda pula. Petani bisa melakukan
pemilihan terhadap saluran pemasaran yang akan digunakan sebagai jalur
penjualan produknya untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Dalam
melakukan keputusan pemilihan saluran pemasaran yang akan digunakan untuk
menjual produknya petani mempertimbangkan beberapa faktor seperti harga,
jumlah hasil panen, jarak, tingkat pendidikan, rafaksi, usia panen atau bahkan
keterlibatan pedagang perantara yang ikut memberikan modal usaha pada petani.
Oleh karena itu penelitian ini akan melihat faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pilihan petani ubi kayu di lokasi penelitian dalam menentukan
saluran pemasaran penjualan ubi kayu.
Tujuan penelitian selanjutnya adalah melihat apakah keputusan pemilihan
saluran pemasaran mempengaruhi pendapatan petani ubi kayu. Pendapatan petani
selain dipengaruhi oleh saluran pemasaran juga diduga mempengaruhi pendapatan
petani seperti luas lahan, harga bibit, pupuk, obat, tenaga kerja dan biaya panen.
Pada akhir penelitian ini akan dapat memberikan rekomendasi saluran pemasaran
yang memberikan solusi atas saluran yang memberikan pendapatan lebih tinggi,
serta penentuan rafaksi yang lebih baik. Gambar 5 menunjukkan kerangka
operasional penelitian.
24

 Ubi kayu sebagai usahatani utama petani di Lampung


 Harga yang meningkat diiringi dengan penurunan produksi dan luas lahan ubi kayu
 Petani menilai harga ubi kayu rendah dan rafaksi tinggi
 Saluran pemasaran menetukan harga dan rafaksi
 Saluran pemasaran memberikan pendapatan yang berbeda

Saluran pemasaran

Pabrik Pedagang dan agen

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kualitas ubi kayu


pilihan saluran pemasaran ubi kayu :
1. Harga
2. Jumlah hasil panen Rafaksi
Analisis marketing channel choice 3. Usia Panen
4. Jarak
5. Lama Pendidikan Mekanisme penentuan
6. Rafaksi rafaksi
7. Ada pinjaman modal Analisis deskriptif&korelasi

Keputusan pemilihan saluran pemasaran Faktor-faktor yang


mempengaruhi
pendapatan usahatani :
1. Luas lahan
2. Bibit
3. Pupuk
Pendapatan
Analisis pendapatan 4. Obat
usahatani 5. Tenaga kerja
6. Biaya panen
7. Probabilitas saluran

Analisis regresi linier berganda


Rekomendasi saluran pemasaran dan Keterangan :
penentuan rafaksi yang lebih baik Menyebabkan
Mempengaruhi

Gambar 5 Kerangka pemikiran operasional pilihan saluran pemasaran oleh petani


ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah
25

4 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Lampung Tengah. Lokasi dipilih secara


purposive karena Kabupaten Lampung Tengah merupakan sentra penanaman ubi
kayu di Provinsi Lampung dan kabupaten dengan produksi ubi kayu tertinggi
(Lampung Dalam Angka 2013). Waktu penelitian yaitu bulan Maret-Juni 2015.

Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data
primer dan data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data
primer berasal dari petani ubi kayu dan pelaku pemasaran ubi kayu di Kabupaten
Lampung Tengah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan instansi
terkait yang menyediakan data relevan dengan penelitian.
.

Metode Pengumpulan Data


Metode yang digunakan dalam pengumpulan data primer adalah metode
survey dengan melakukan observasi langsung di lapangan dan pengisian
kuesioner melalui wawancara langsung kepada petani ubi kayu yang menjadi
responden. Pengumpulan data dengan wawancara. yang dipandu kuesioner,
dimana kuesioner tersebut tidak diberikan langsung kepada responden, tetapi
peneliti menjadikan kuesioner sebagai panduan pertanyaan agar lebih terstruktur
dengan baik. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui data statistik, jurnal
atau hasil penelitian ilmiah.

Metode Penenetuan Sampel

Dari tingkat kabupaten secara sengaja dipilih satu kecamatan yang


memiliki produksi dan luas lahan ubi kayu terbesar di Lampung Tengah yaitu
Kecamatan Bandar Mataram. Selanjutnya dipilih tiga desa sebagai lokasi
pengambilan sampel, yaitu Desa Mataram Udik dengan alasan adalah desa sentra
penghasil ubi kayu di kecamatan tersebut, dan dua desa disekitar Desa Mataram
Udik yaitu Desa Terbanggi Ilir dan Desa Mataram Jaya. Cluster sampling
digunakan untuk memilih responden dari masing-masing desa terpilih.
Pengambilan responden di ketiga desa tersebut diklaster berdasarkan
keikutsertaan pada kelompok tani yang ada di desa tersebut. Identifikasi kelompok
tani dan nama-nama anggota dilakukan dengan menggunakan data Rencana
Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Dari masing-masing kelompok tani
dipilih petani responden secara proporsional secara random. Jumlah total
responden adalah 74 responden, yaitu 37 responden dari Desa Mataram Udik dan
37 responden dari desa Terbanggi Ilir dan Desa Mataram Jaya. Penentuan jumlah
sampel didasarkan pada asumsi populasi menyebar normal, dengan ukuran sampel
yang cukup besar (n ≥ 30), rata-rata sampel terdistribusi di sekitar rata-rata
populasi yang mendekati distribusi normal (Cooper dan Emory, 1996 dalam Yoko
2015).
26

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan terhadap data yang akan dikumpulkan untuk


selanjutnya dianalisis lebih lanjut dan memperoleh hasil yang dapat menjawab
permasalahan dalam penelitian. Sebelum data dianalisis lebih lanjut, terlebih
dahulu dilakukan pengolahan data dengan melakukan pentabulasian data primer
dari kuesioner agar lebih mudah dipahami. Analisis data dilakukan secara
deskriptif dan kuantitatif. Data dijabarkan secara deskriptif untuk
mendeskripsikan karakteristik responden dan mekanisme penentuan rafaksi.
Sedangkan data kuantitatif diolah dengan analisis regresi logistik biner untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran,
analisis korelasi untuk melihat hubungan usia panen dan varietas ubi kayu
terhadap rafaksi, analisis pendapatan untuk melihat pendapatan usahatani ubi kayu
dan analisis regresi linier berganda untuk menganalisis pengaruh saluran
pemasaran terhadap pendapatan petani ubi kayu. Pengolahan data kuantitatif
menggunakan Microsoft Excell 2010 dan SPSS 20.

Analisis Pilihan Saluran Pemasaran

Analisis pilihan saluran pemasaran digunakan untuk mengidentifikasi


faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam memilih saluran pemasaran.
Adapun pilihan saluran pemasaran yang dihadapi oleh petani ubi kayu meliputi
saluran pemasaran melalui pabrik dan lembaga lain selain pabrik, seperti
pedagang pengumpul dan agen. Penentuan pilihan saluran pemasaran dalam
penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis regresi logistik biner yaitu
model regresi dengan variabel dependen yang bersifat dikotomous, karena
variabel respon yang dihadapi adalah variabel kategorik yang berjumlah dua.
Variabel penjelas (X1, X2, …, X7) yang dimasukkan dalam analisis regresi logistik
ini adalah faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani ubi kayu
berdasarkan kajian literatur dan kondisi di lapang dalam memilih saluran
pemasaran.
Analisis regresi logistik adalah analisis yang digunakan untuk variabel
respon dengan tipe kualitatif. Variabel respon dalam regresi logistik dapat
berbentuk dikotomus (binomial) maupun politomus (Hosmer dan Lemeshow,
2000). Variabel respon berbentuk dikotomus (binomial) memiliki dua kategori
pada variabel responnya, sedangkan variabel politomus (multinominal) memiliki
kategori lebih dari dua kategori pada variabel responnya. Fungsi sebaran peluang
dari regresi logistik dapat dilihat sebagai berikut (Hosmer dan Lemeshow 2000):

( )
( ) ( )

+ 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + 4 D4 + D5+ D6 7 D7
e 5 6
(x) = + 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + 4 D4 + D5+ D6
1+ e 5 6 7 D7
27

Keterangan :
π (x) = P (Y = 1 | x) adalah peluang bersyarat kejadian Y = 1.

Sehingga setelah persamaan di atas disubstitusikan akan diperoleh


persamaan fungsi logit sebagai berikut:
g (x) = 0 + 1X1+ 2X2+ 3X3+ 4X4+ 5X5+ 6X6+ 7X7

Keterangan :
g (x) = saluran pemasaran yang ditransformasi dalam dua variabel
nominal yakni 1 untuk saluran pemasaran pabrik, dan 0 untuk
saluran lembaga pemasaran selain pabrik.
= konstanta
X1 = Harga jual (Rupiah/kilogram)
X2 = Jumlah hasil panen (Kilogram)
X3 = Jarak ladang ke pembeli (Kilometer)
X4 = Lama pendidikan terakhir (Tahun)
X5 = Rafaksi (persen)
X6 = Usia panen (bulan)
X7 = Ada pinjaman modal (dummy, 1 = ya, 0 = tidak)

Uji Kesesuaian Model (Goodness of Fit)

Uji kesesuaian model (goodness of fit) digunakan untuk mengetahui


kesesuaian atau derajat bebas kecocokan dari model yang telah terbentuk. Uji
kesesuaian model yang digunakan adalah uji Deviance yang mengikuti distribusi
chi-square dengan derajat bebas J-p-1, dimana J adalah banyaknya sampel dan p
adalah banyaknya parameter dalam model. Daerah penolakan H0 adalah jika nilai
statistik uji χ2 hitung ≥ χ2 (j-p-1) atau nilai signifikansi ≤ α.

Pengujian Parameter

Pengujian parameter dalam binomial logit penting untuk dilakukan. Hal ini
dikarenakan pengujian tersebut digunakan untuk menentukan apakah variabel
penjelas dalam model signifikan terhadap variabel respon.

a. Uji Likelihood Ratio (Uji Simultan)


Uji likelihood ratio digunakan untuk mengetahui apakah variabel penjelas
mempunyai pengaruh yang signifikan terhdap variabel respon secara bersamaan.
Pada penelitian ini digunakan uji likelihood ratio dengan persamaan sebagai
berikut (Hosmer dan Lemeshow, 2000):

Keterangan :
Lu : likelihood model tereduksi
Lk : likelihood model penuh
Statistic G ini mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas p.
28

Statistik uji likelihood ratio mengikuti distribusi chi-square, sehingga


untuk mengambil keputusan dalam pengujian, dibandingkan dengan tabel chi
square dengan derajat bebas p, dimana p adalah banyaknya parameter dalam
model. Variabel penjelas mempunyai pengaruh yang signifikan terhdap variabel
respon secara bersamaan jika G ≥ χ2 atau dengan nilai signifikansi ≤α.

b. Uji Wald (Uji Parsial)


Pengujian ini dilakukan untuk menguji setiap variabel secara individual.
Hasil pengujian secara individual akan menunjukkan apakah suatu variabel
penjelas layak untuk masuk ke dalam model atau tidak. Statistik uji Wald ini
mengikuti distribusi normal dan kriteria penolakan (H0 ditolak) jika nilai W > Z1-
atau W > - Z1- . Rumus persamaan uji Wald adalah sebagai berikut (Hosmer
dan Lemeshow, 2000) :

̂
(̂ )
Keterangan :
̂ : penduga untuk parameter ( )
SE ̂ : penduga galat baku untuk koefisien

Rasio Kencederungan (Odds Ratio)

Odds ratio digunakan untuk mengetahui resiko kecenderungan faktor-


faktor yang berpengaruh terhadap variabel respon yaitu pilihan lembaga
pemasaran. Nilai odds ratio yang dinotasikan dengan OR, di definisikan sebagai
nilai perbandingan antara nilai odds untuk x = 1 dan nilai odds untuk x = 0. Nilai
odds ratio ditunjukkan oleh persamaan:

( ) ( )
( ) ( )

Rafaksi Ubi Kayu

Kualitas ubi kayu petani di Kabupaten Lampung Tengah dinilai dari


potongan berat atau rafaksi. Pengukuran kualitas ubi kayu sendiri pada penelitian
ini tidak mudah dilakukan. Selain karena secara teknis tidak tersedia alat yang
memadai, petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah juga tidak memiliki
cukup pengetahuan untuk dapat menilai kualitas ubi kayunya. Sementara itu pada
level pedagang dan pabrik, kriteria yang menjadi penilaian kualitas ubi kayu juga
tidak bisa dijelaskan secara terukur oleh pabrik atau pedagang.
Mekanisme penentuan rafaksi akan dijawab melalui penjelasan secara
deskriptif. Selain itu untuk mempertajam dalam pendeskripsian, dilakukan analisis
korelasi untuk melihat hubungan antara varietas ubi kayu dengan rafaksi dan usia
panen dengan rafaksi. Varietas ubi kayu dinilai dengan dummy, dimana dummy
=1 adalah varietas ubi kayu casesart, dan dummy = 0 adalah varietas ubi kayu
selain casesart.
29

Analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk


menetukan kuatnya atau derajat hubungan linier antara dua variabel atau lebih.
Korelasi dilambangkan dengan r dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari angka (-
1 ≤ r ≤ 1). Apabila nilai r = -1 artinya korelasi negatif sempurna; r = 0 artinya
tidak ada korelasi; dan r = 1 artinya korelasi sangat kuat (Pratisto 2009).

Tabel 5 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r


Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0.80<α≤ 1.00 Sangat kuat
0.60<α≤0.80 Kuat
0.40<α≤0.60 Cukup kuat
0.20<α≤0.40 Lemah
0.00<α≤0.20 Sangat lemah

Analisis Pendapatan

Penerimaan Usahatani Ubi Kayu

Perhitungan pendapatan masing-masing petani diestimasi menggunakan


rumus umum pendapatan, yaitu penerimaan dikurangi biaya yang dikeluarkan
dalam kegiatan usahatani. Sedangkan penerimaan usahatani merupakan hasil
perkalian antara produksi ubi kayu dengan harga ubi kayu. Persamaan ini dapat
dituliskan sebagai berikut :

Total revenue (TR) = Produksi (Q) * Harga (P)

Pendapatan Usahatani Ubi Kayu

Pendapatan merupakan total revenue dikurangi dengan total biaya


usahatani ubi kayu, sehingga formulasi rumus umum pendapatannya ialah:

Pendapatan ( )
Dimana :
Π : Pendapatan (Rp)
TR : Total Revenue (Rp)
TC : Total Cost (Rp)

Selanjutnya untuk melihat pengaruh pilihan saluran pemasaran terhadap


pendapatan digunakan analisis regresi berganda dimana faktor-faktor yang
diambil sebagai variabel independen merupakan faktor-faktor yang dinggap
berpengaruh pada pendapatan usahatani ubi kayu. Data yang diambil pada
penelitian ini merupakan data cross section, sehingga harga input-input tidak
terlalu bervariasi. Sementara itu pengaruh saluran pemasaran dilihat dengan
memasukkan variabel saluran pemasaran yang diperoleh dengan menghitung nilai
probabilitas saluran pemasaran pada tujuan pertama ( ̂ ). Berdasarkan studi
literatur dan kondisi di lapangan terdapat beberapa variabel yang diduga
berpengaruh terhadap pendapatan petani ubi kayu diantaranya. Persamaan
regresinya adalah sebagai berikut :
30

Dimana :
π = pendapatan usahatani (Rp)
X1 = luas lahan (ha)
X2 = harga bibit (Rp)
X3 = harga pupuk (Rp)
X4 = harga obat-obatan (Rp)
X5 = tenaga kerja (Rp)
X6 = biaya panen (Rp)
X7 = saluran pemasaran ( ̂)
α = konstanta
1,2,3,4,5,6 = koefisien atau parameter yang hendak dihitung
ε = error

Uji Kesesuaian Model (Goodness of Fit)

Data-data yang telah diperoleh akan dievaluasi dengan kriteria statistik


melalui uji kesesuaian (goodness of fit) untuk melihat kesesuaian atau derajat
bebas kecocokan dari model yang telah terbentuk yang dilihat melalui koefisien
determinasi (R2). Besarnya koefisien determinasi adalah antara 0 hingga 1
(0<R2<1), dimana nilai koefisien mendekati 1. Selanjutnya dilakukan uji t (uji
parsial) dan uji F (uji serempak), dimana uji t melihat pengaruh variabel-variabel
secara individual dan uji F melihat pengaruh variabel-variabel secara bersama-
sama.

Uji Asumsi Klasik

Untuk memperoleh hasil pengujian yang baik, maka semua data yang
dibutuhkan dalam penelitian harus diuji terlebih dahulu agar tidak melanggar
asumsi klasik. Sehingga hasil pengujian yang dilakukan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara tegas dan nyata. Beberapa hal yang
dilakukan dalam uji asumsi klasik meliputi uji multikolinieritas, autokorelasi dan
heteroskedastis (Sitepu dan Bonar 2002).
Multikolinearitas yaitu kondisi persamaan antar variabel independent
berkorelasi dan koefisien determinasinya (R2) tinggi tetapi uji hipotesis secara
individual tidak banyak yang nyata atau bahkan tidak ada yang nyata. Untuk
menentukan masalah multicollinearity dapat dilihat nilai Variance Inflation
Factor (VIF), yang mana bila VIF lebih besar dari 10 menunjukkan masalah
sangat serius. Autokorelasi, yaitu korelasi antar variabel itu sendiri pada observasi
individu yang berbeda, mendeteksinya dengan uji Durbin-Watson (DW). Dalam
penelitian, apabila DW terletak antara 2 dan 1.77 atau antara lebih dari 2 dan
kurang dari 2.23 maka menunjukkan tidak terdapat autokorelasi negatif atau
positif. Autokorelasi biasanya tidak muncul dalam data cross section. Data cross
section menunjukkan titik waktu, sehingga ketergantungan sementara tidak
dimungkinkan oleh sifat data itu sendiri. Selanjutnya, heteroskesdastisitas, yaitu
dimana kondisi sebaran variansnya semakin melebar atau membesar (tidak
konstan) dan dideteksi dengan grafik plot residual atau metode Park.
31

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaaan Geografis

Kecamatan Bandar Mataram

Kecamatan Bandar Mataram merupakan salah satu kecamatan di


Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Tengah
terletak pada 104° 35’ - 105° 50’ Bujur Timur dan 4° 30’ - 4° 15’ Lintang Selatan.
Kabupaten Lampung Tengah di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten
Tulang Bawang dan Lampung Utara, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten
Lampung Timur dan Kota Metro, bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten
Pesawaran, dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus dan
Lampung Barat. Peta dan lokasi Kabupaten Lampung Tengah dapat dilihat pada
Gambar 7.

Gambar 6. Peta Kabupaten Lampung Tengah dan Kecamatan Bandar Mataram


Sumber : Lampung Tengah Dalam Angka 2013

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2013 Kabupaten Lampung


Tengah merupakan kabupaten yang memiliki luas areal ubi kayu terluas di
Provinsi Lampung, yaitu 130 781 ha atau 40.27 persen dari total areal tanam ubi
kayu di Provinsi Lampung yang menghasilkan 3 371 618 ton ubi kayu. Dari total
areal ubi kayu di Lampung Tengah tersebut Kecamatan Bandar Mataram memiliki
luas areal terbesar yaitu 20 920 ha atau 16.01 persen dari total luas areal ubi kayu
di Lampung Tengah, kemudian disusul oleh Kecamatan Terusan Nunyai dan
32

Kecamatan Rumbia. Produktivitas ubi kayu di Kecamatan Bandar Mataram


sebesar 25.79 ton/ha dengan produksi ubi kayu mencapai 539 539 ton pada tahun
2012 (Lampung Tengah dalam Angka, 2013). Jumlah tersebut merupakan jumlah
terbesar bila dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Lampung
Tengah.
Kecamatan Bandar Mataram terletak di bagian timur Kabupaten Lampung
Tengah. Secara geografis Kecamatan Bandar Mataram dibatasi oleh wilayah-
wilayah sebagai berikut:
Sebelah utara : Kabupaten Tulang Bawang.
Sebelah selatan : Kecamatan Way Seputih, Bumi Nabung dan
Seputih Surabaya
Sebelah barat : Kecamatan Terusan Nunyai, Way Pangubuan dan
Seputih Mataram.
Sebelah timur : Kabupaten Tulang Bawang

Kecamatan Bandar Mataram merupakan daerah dataran dengan luas


519.45 km2. Kecamatan ini beribukota di Kampung Jati Datar Mataram yang
berjarak 38 kilometer dari ibukota Kabupaten Lampung Tengah. Kecamatan
Bandar Mataram terdiri dari 13 desa yaitu Desa Uman Agung, Sri Wijaya,
Sendang Agung Mataram, Jati Datar Mataram, Terbanggi Mulya, Terbanggi Ilir,
Mataram Udik, Mataram Jaya, Sumber Rejeki, UPT Way Terusan SP1, UPT Way
Terusan SP2, dan UPT Way Terusan SP3 (Statistik Daerah Bandar Mataram
2013).
Kecamatan Bandar Mataram menghasilkan beberapa jenis komoditi
pertanian seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan
ubi jalar. Ubi kayu menjadi komoditi utama yang dihasilkan dan diusahakan oleh
petani di wilayah tersebut, selanjutnya jagung dan padi. Menurut data Bandar
Mataram dalam Angka tahun 2013 harga rata-rata produsen untuk ubi kayu pada
tahun 2012 adalah sebesar Rp840. Di wilayah ini juga terdapat banyak industri
pengolahan ubi kayu seperti PT SPM, PT Bumi Mas Hamparan Jaya atau yang
dikenal dengan PT Kapal Api, PT Young Feed, PT Etanol, dan Industri Tepung
Tapioka Rakyat atau yang dikenal dengan Ittara. Selain itu perusahaan gula
seperti PT Gula Putih Mataram (Sugar Group) dan PT Gunung Madu Plantation
juga terdapat di Kecamatan Bandar Mataram.

Desa Mataram Udik

Desa Mataram Udik merupakan salah satu dari 13 desa yang terdapat di
Kecamatan Bandar Mataram. Luas wilayah desa ini 164.24 km2 dan merupakan
desa terluas kedua di Kecamatan Bandar Mataram. Desa Mataram Udik berjarak
38 km dari ibukota kabupaten. Desa ini terdiri atas 9 dusun, yaitu dusun Subing
Mataram, Sumedang, Tridaya, Bandung Jaya, Sido Mukti, Moro Seneng, Sukolilo,
Purwodadi dan Karya Mataram. Jumlah penduduk Desa Mataram Udik sebanyak
13 505 jiwa, terdiri atas 2 496 kk dan kepadatan penduduk mencapai 211.6
jiwa/km2 (Profil Desa Mataram Udik 2013). Secara geografis Desa Mataram Udik
dibatasi oleh wilayah sebagai berikut :
Sebelah utara : Kabupaten Tulang Bawang
Sebelah timur : Desa Mataram Jaya dan Sumber Rejeki Mataram
33

Sebelah selatan : Desa Jati Datar


Sebelah barat : Desa Terbanggi Ilir

Masyarakat Desa Mataram Udik terdiri dari penduduk asli dan pendatang.
Sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh
Desa Mataram Udik merupakan desa sentra penghasil ubi kayu di Kecamatan
Bandar Mataram. Luas areal ubi kayu mencapai 4 679 ha, dengan produktivitas 20
ton/ha, dan produksi 93 580 ton pada tahun 2012 (Bandar Mataram dalam Angka
2013). Areal pertanian di Desa Mataram Udik sebagian besar merupakan areal
perladangan untuk bercocok tanam ubi kayu dan terdapat areal persawahan yang
merupakan sawah tadah hujan. Sumber pengairan untuk kegiatan pertanian
berasal dari sungai dan hujan. Terdapat 23 kelompok tani di desa tersebut yang
masih aktif dalam aktivitas kelembagaan petani sampai saat ini.

Desa Terbanggi Ilir

Desa Terbanggi Ilir merupakan desa terluas di Kecamatan Bandar


Mataram. Desa ini memiliki luas 248 km2, terletak 40 km dari ibukota kabupaten,
namun demikian desa ini merupakan desa yang paling rendah tingkat kepadatan
penduduknya dibandingkan desa lain yaitu sebesar 22 jiwa/km2. Secara geografis
Desa Terbanggi Ilir dibatasi oleh wilayah sebagai berikut :
Sebelah utara : PT Gunung Madu Plantations
Sebelah timur : Desa Mataram Udik
Sebelah selatan : PT Gunung Madu Plantations
Sebelah barat : Desa Terbanggi Mulya

Desa Terbanggi Ilir memiliki luas areal tanam ubi kayu 655 ha, dengan
produktivitas 20 ton/ha dan produksi mencapai 13 100 ton pada tahun 2012. Tidak
seperti Desa Mataram Udik yang hanya mengandalkan hujan sebagai sumber
pengairan, areal pertanian di Desa Terbanggi Ilir memiliki pengairan ½ teknis dan
tadah hujan (Bandar Mataram dalam Angka 2013). Petani di desa Terbanggi Ilir
mengusahakan padi, ubi kayu dan jagung sebagai komoditi utama. Terdapat 15
kelompok tani di desa ini dan sebagian besar petani tergabung di dalamnya.

Desa Mataram Jaya

Desa Mataram Jaya terletak bersebelahan dengan Desa Mataram Udik


yang mempunyai luas wilayah 1 423 ha dan berjarak 52 km dari ibukota
kabupaten. Kepadatan penduduk di Desa mataram Jaya mencapai 281 jiwa/km2.
Secara geografis Desa Mataram Jaya dibatasi oleh wilayah-wilayah berikut:
Sebelah selatan : Desa Sriwijaya
Sebelah utara : Desa Sumber Rejeki
Sebelah barat : Desa Mataram Udik
Sebelah timur : Kecamatan Rumbia
Desa Mataram Jaya memiliki luas areal ubi kayu sebanyak 915 ha, dengan
produktivitas rata-rata 20 ton/ha dan produksi pada tahun 2012 mencapai 18 300
ton. Sumber pengairan areal pertanian di desa ini berasal dari hujan saja dan
berupa pertanian perladangan seperti ubi kayu dan jagung. Beberapa varietas ubi
34

kayu yang banyak diusahakan oleh petani diantaranya varietas casesart dan
varietas BW. Di Desa Mataram Jaya terdapat 22 kelompok tani dimana petani di
desa tersebut banyak tergabung didalamnya.

Karakteristik Petani Responden

Beberapa variabel yang dianggap penting untuk dijadikan kriteria dalam


melihat karakteristik petani responden yaitu umur, lama pendidikan terakhir, lama
bertani, jumlah tanggungan keluarga, pekerjaan utama, luas lahan yang
diusahakan dan status kepemilikan lahan.

Usia

Dari hasil penelitian petani responden memiliki usia rata-rata 47.13 tahun.
Sebagian besar petani responden yaitu 96.88 persen berada pada kelompok usia
produktif. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 penduduk
tergolong sebagai tenaga kerja atau masuk dalam usia produktif jika penduduk
tersebut telah memasuki usia kerja, usia kerja yang dimaksud disini sebagai usia
produktif manusia adalah kelompok usia 15 tahun – 64 tahun. Sementara
penduduk di luar usia tersebut bukan termasuk tenaga kerja, yaitu mereka yang
berada pada usia dibawah 15 tahun atau disebut anak-anak dan diatas usia 64
tahun atau disebut lansia.
Usia minimal responden di wilayah penelitian pada kelompok usia
produktif adalah 28 tahun, dan usia maksimal responden pada kelompok usia
produktif adalah 62 tahun. Sementara itu terdapat 5 orang atau 6.75 persen
responden yang berada pada usia lanjut. Usia produktif responden menunjukkan
pengusahaan kegiatan usahatani ubi kayu di wilayah penelitian dilakukan oleh
tenaga kerja dengan kemampuan fisik yang masih baik. Selain itu juga, hal ini
mengindikasikan bahwa di wilayah penelitian potensi pengembangan komoditas
ubi kayu di masa datang memiliki peluang yang cukup menjanjikan, bila
didasarkan pada usia petani saat ini. Sebaran responden berdasarkan usia dapat
dilihat dalam Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi responden berdasarkan usia


No. Usia (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
1. < 15 0 0
2. 15 – 64 69 93.24
3. >64 5 6.75
Total 74.00 100.00

Pendidikan

Petani responden di wilayah penelitian memiliki pendidikan beragam,


mulai dari sekolah dasar sebanyak 39 orang (52.71 persen), menengah pertama 11
orang (14.86 persen), menengah atas sebanyak 19 orang (25.67 persen), strata satu
sebanyak 1 orang (1.35 persen), dan beberapa ada juga yang tidak mengikuti
pendidikan formal sebanyak 4 orang (5.40 persen). Dengan demikian lama
pendidikan petani responden masih rendah dan dibawah standar pendidikan wajib
belajar. Tingkat pendidikan akan berpengaruh pada respon inovasi teknologi serta
35

penguasaan informasi. Tingkat pendidikan juga memiliki pengaruh pada


bagaimana cara petani dalam membudidayakan ubi kayu sehingga menghasilkan
tingkat produksi dan keuntungan yang lebih baik. Sebaran responden berdasarkan
pendidikan dapat dilihat dalam Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi responden berdasarkan pendidikan


No. Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Tidak sekolah 4 5.40
2. SD 39 52.71
3. SMP 11 14.86
4. SMA 19 25.67
5. S1 1 1.35
Total 74.00 100.00

Pengalaman Bertani

Pengalaman bertani petani responden di Kecamatan Bandar Mataram


Kabupaten Lampung Tengah dalam usaha tani ubi kayu sudah cukup tinggi yaitu
rata-rata 21 tahun. Responden dengan pengalaman usahatani 9 – 15 tahun
memiliki persentase paling tinggi yaitu 29.72 persen. Persentase terbesar kedua
yaitu responden dengan pengalaman usahatani 16 – 22 tahun, sebanyak 22.97
persen dan responden dengan pengalaman 23 – 29 tahun sebanyak 16.21. Sisanya
ditempati oleh responden dengan pengalaman antara 2 – 8 tahun, 30 – 36 tahun,
37 – 43 tahun dan pengalaman diatas 44 tahun.
Pengalaman yang lebih banyak dan lebih lama mengusahakan ubi kayu
diharapkan memberikan tambahan pengetahuan dan informasi mengenai
pengusahaan ubi kayu yang lebih baik daripada yang berpengalaman lebih sedikit.
Pengalaman dalam usaha tani juga diperlukan dalam hal respon inovasi teknologi.
Pengalaman petani dalam usaha tani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah
juga terkait dengan awal mulanya dibudidayakan tanaman ubi kayu yaitu sekitar
1990-an. Faktor umur, pendidikan, dan pengalaman berusaha tani mempunyai
peranan penting bagi petani dalam mengembangkan usaha taninya, baik dari segi
produksi maupun produktivitas. Sebab dalam usia produktif, tingkat pendidikan
dan pengalaman yang memadai, petani akan lebih rasional dalam mengambil
keputusan untuk memilih jenis komoditas dan skala usahanya. Sebaran responden
berdasarkan pengalaman bertani dapat dilihat dalam Tabel 8.

Tabel 8 Komposisi responden berdasarkan pengalaman bertani


No. Pengalaman bertani (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
1. 2–8 7 9.45
2. 9 – 15 22 29.72
3. 16 – 22 17 22.97
4. 23 – 29 12 16.21
5. 30 – 36 7 9.45
6. 37 – 43 7 9.45
7. ≥44 2 2.70
Total 74.00 100.00
36

Jumlah Tanggungan Keluarga

Petani responden di wilayah penelitian pada umumnya memiliki jumlah


tanggungan keluarga rata-rata sebanyak 4 orang. Jumlah tanggungan keluarga
dengan persentase terbesar yaitu tanggungan keluarga dengan jumlah 4 – 6 yaitu
sebanyak 59.45 persen. Selanjutnya jumlah tanggungan keluarga ≤3 orang
sebanyak 36.48 persen dan jumlah tanggungan keluarga ≥ 7 orang sebanyak 4.05
persen.
Jumlah anggota keluarga memberi gambaran mengenai ketersediaan
tenaga kerja dalam keluarga. Bagi petani kecil (smallholder farmer), ketersedian
tenaga kerja dalam keluarga menjadi pertimbangan untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu kegiatan atau tambahan kegiatan penyelenggaraan usahatani. Hal
itu lebih pada pertimbangan tidak perlunya pengeluaran tunai untuk kegiatan
pertanian. Jumlah tanggungan keluarga yang berjumlah 4-6 orang atau >7, yang
pada umumnya terdiri dari dua atau tiga orang anak, juga memberikan informasi
mengenai masih adanya anak-anak yang menempuh pendidikan sekolah dasar
hingga sekolah menengah. Hal ini mengakibatkan pendapatan usahatani yang
diperoleh petani responden pada setiap musim panen sebagian besar dialokasikan
untuk keperluan pendidikan dan sekolah bagi anak-anaknya. Sebaran responden
berdasarkan tanggungan keluarga dapat dilihat dalam Tabel 9.

Tabel 9 Komposisi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga


No. Jumlah tanggungan (orang) Jumlah (orang) Persentase (%)
1. ≤3 27 36.48
2. 4–6 44 59.45
3. ≥7 3 4.05
Total 74.00 100.00

Pekerjaan Utama

Petani responden di wilayah penelitian sebagian besar menjadikan petani


sebagai profesi utamanya, baik itu bertani ubi kayu secara monokultur dan
terdapat juga beberapa petani yang juga mengusahakan beberapa komoditi lain
selain ubi kayu. Hal ini terlihat dari jumlah responden yang berprofesi sebagai
petani yaitu sebanyak 85.93 persen dan yang pekerjaan utamanya bukan sebagai
petani sebanyak 14.07 persen. Responden yang memiliki pekerjaan utama bukan
petani diantaranya berprofesi sebagai PNS, pegawai swasta, wiraswasta dan buruh.
Status usaha tani ubi kayu sebagai mata pencaharian utama atau
sampingan, akan mempengaruhi sikap petani dalam menentukan pekerjaan mana
yang akan menjadi prioritas, untuk dapat memberikan perhatian dan alokasi
sumberdaya yang relatif besar atau yang lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari sebagian besar responden mengaku menjadikan usaha
tani ubi kayu sebagai usahatani utama. Hal ini dikarenakan beberapa alasan
seperti tidak memiliki keahlian lain selain bertani ubi kayu, kondisi alam dan
lahan yang sesuai untuk berusahatani ubi kayu, cara budidaya ubi kayu yang
mudah, banyaknya pabrik ubi kayu yang membutuhkan ubi kayu dan karena
bercocok tanam ubi kayu dinilai lebih menguntungkan. Petani yang bermata
pencaharian utama usahatani ubi kayu akan memfokuskan pekerjaan atau
sumberdayanya terhadap usahatani ubi kayu, sehingga petani akan lebih
37

mengusahakan peningkatan produksi dan produktivitas ubi kayu. Sebaran


responden berdasarkan pekerjaan utama dapat dilihat dalam Tabel 10.

Tabel 10 Komposisi responden berdasarkan pekerjaan utama


No. Pekerjaan utama Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Petani 64 86.48
2. Bukan petani 10 13.51
Total 74 100.00

Luas Lahan

Petani responden memiliki lahan ubi kayu yang telah berproduksi rata-rata
sebesar 1.67 hektar, dengan rentang nilai 0.25 hektar hingga 15 hektar. Sebanyak
57 responden atau 77.02 persen memiliki lahan dengan luas antara 0.25 – 2.25 ha.
Sementara itu sebanyak 12 orang atau 16.21 persen responden memiliki lahan
dengan luas antara 2.26 – 4.25 ha, sebanyak 5 orang atau 6.75 persen responden
memiliki lahan dengan luas 4.26 – 6.25 ha dan terdapat satu orang responden yang
memiliki lahan dengan luas 15 ha. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
kepemilikan lahan ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah masih dalam skala
yang cukup luas. Luas lahan diduga akan memengaruhi keinginan petani untuk
meningkatkan pendapatan dengan peningkatan produksi dan produktivitas.
Semakin luas lahan yang diusahakan maka petani akan bertindak lebih komersial
dalam mengusahakan usahataninya. Sebaran responden berdasarkan luas lahan
dapat dilihat dalam Tabel 11.

Tabel 11 Komposisi responden berdasarkan luas lahan


No. Luas lahan (m2) Jumlah (orang) Persentase (%)
1. 0.25 – 2.25 57 77.02
2. 2.26 – 4.25 12 16.21
3. 4.26 – 6.25 5 6.75
4. 6.26 – 8.25 0 0.00
5. 8.26 – 10.25 0 0.00
6. 10.26 – 12.25 0 0.00
7. ≥12.26 1 1.35
Total 74.00 100.00

Status Kepemilikan Lahan

Sebagian besar petani responden, yaitu sebanyak 64 orang atau 86.48


persen mengusahakan usahatani ubi kayu diatas lahan yang dimilikinya sendiri.
Sementara itu sebanyak 9 orang atau 12.16 persen responden menyewa lahan
milik orang lain untuk dijadikan tempat berusahatani ubi kayu, namun penyewa
lahan ini menggunakan lahan sewaan sebagai lahan tambahan untuk berusahatani
ubi kayu. Sementara mereka sendiri sebenarnya telah memiliki lahan ubi kayu
dengan status milik sendiri. Umumnya penyewa lahan ini adalah petani dengan
kemampuan modal yang besar sehingga menambah lahan sewaan sebagai tempat
untuk berusahatani ubi kayu dan hanya satu responden saja yang benar-benar
menyewa lahan untuk berusahatani ubi kayu tanpa memiliki lahan ubi kayu
sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa petani responden ubi kayu sudah banyak
yang menjadikan ubi kayu sebagai suatu usahatani yang komersial sehingga
38

mereka sampai menyewa lahan guna melakukan budidaya ubi kayu. Sebaran
responden berdasarkan status kepemilikan lahan dapat dilihat dalam Tabel 12.

Tabel 12 Komposisi responden berdasarkan status kepemilikan lahan


No. Status Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Milik sendiri 64 86.48
2. Sewa 1 1.35
3. Milik sendiri&sewa 9 12.16
Total 74 100.00

6 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PILIHAN


SALURAN PEMASARAN UBI KAYU

Saluran Pemasaran dan Lembaga Pemasaran Ubi Kayu

Levens (2010) mendefinisikan saluran pemasaran sebagai jaringan semua


pihak yang terlibat dalam menggerakkan produk atau jasa dari produsen ke
konsumen atau pelanggan bisnis. Lembaga-lembaga yang terlibat baik perorangan
maupun organisasi dalam proses penyaluran barang dan jasa dari produsen hingga
ke konsumen disebut lembaga pemasaran atau perantara (Bovee dan Thill 1992).
Saluran pemasaran ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah memiliki kekhususan
dimana lembaga penyalur ubi kayu petani tidak hanya terdiri atas pedagang tetapi
juga agen. Levens (2010) menyebutkan bahwa lembaga pemasaran pedagang
adalah perusahaan atau perorangan yang memperoleh produk dan terlibat secara
langsung dalam penjualan produk atau jasa untuk konsumen, yang melakukan
beberapa fungsi pemasaran seperti sortasi, penyimpanan dan penjualan kembali.
Sementara agen adalah orang yang memfasilitasi pertukaran barang atau jasa
tetapi tidak memiliki barang yang yang mereka jual.
Pada lembaga pemasaran pedagang ubi kayu di Kabupaten Lampung
Tengah terdapat dua jenis pedagang yang menjadi saluran pemasaran petani ubi
kayu yaitu pemborong dan lapak, sedangkan agen yang menjadi saluran
pemasaran petani ubi kayu terdiri atas supir truk dan mitra. Pemborong adalah
pedagang pengumpul ubi kayu yang membeli langsung ubi kayu ke ladang petani
dengan cara tebasan. Lapak adalah pedagang pengumpul yang memiliki tempat
khusus berupa gudang atau hamparan untuk menampung ubi kayu yang dibelinya
dari petani. Sementara itu agen supir truk adalah orang yang memiliki usaha di
bidang jasa transportasi pengangkutan ubi kayu yang dijual petani ke pabrik
tapioka dan mitra adalah supir truk yang selain mempunyai jasa transportasi
pengangkutan ubi kayu juga memiliki kerjasama dengan petani dalam hal
memberikan pinjaman modal berupa uang, pupuk atau obat-obatan.
39

Gambar 7. Pedagang pengumpul ubi kayu, lapak (kiri) dan pemborong


(kanan)

Gambar 8. Agen ubi kayu, supir truk (kiri) dan mitra (kanan)

Untuk menambah perbedaan kelimanya, dalam hal keuntungan lembaga


pemasaran tersebut memiliki beberapa aktivitas berbeda yang dapat memberikan
keuntungan. Pabrik secara umum mendapatkan keuntungan dari aktivitas jual beli
ubi kayu dan kegiatan pengolahan ubi kayu. Lapak dan pemborong mendapatkan
keuntungan dari aktivitas jual beli ubi kayu. Agen yang berupa supir truk
mendapatkan keuntungan dari jasa transportasi pengangkutan ubi kayu yang
diperoleh dari petani dan fee yang diperoleh dari pabrik tempatnya menjalin
kerjasama. Sedangkan agen yang berupa mitra mendapatkan keuntungan dari
aktivitas jasa transportasi pengangkutan ubi kayu yang diperoleh dari petani, fee
yang diperoleh dari pabrik tempatnya bekerja sama dan margin harga input-input
budidaya ubi kayu yang diperolehnya dengan meminjamkan pada petani ubi kayu.
Sehingga petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah memiliki beberapa
alternatif pilihan saluran pemasaran untuk menyalurkan produknya, bisa memilih
untuk menjual ubi kayu ke pabrik secara langsung, atau melalui agen seperti supir
truk dan mitra, atau melalui pedagang pengumpul seperti pemborong dan lapak.
Gambar 7 dan Gambar 8 di atas menunjukkan lembaga pemasaran ubi kayu di
Kabupaten Lampung Tengah.
Melalui lembaga pemasaran yang telah dijelaskan sebelumnya petani ubi
kayu di Kabupaten Lampung Tengah memiliki lima saluran pemasaran dalam
memasarkan produknya. Pada Gambar 9 menunjukkan saluran pemasaran ubi
kayu di Kabupaten Lampung Tengah, dengan pola saluran pemasaran meliputi :
1. Saluran 1 : Petani ubi kayu – pabrik tapioka.
2. Saluran 2 : Petani ubi kayu – agen (supir truk) – pabrik tapioka.
40

3. Saluran 3 : Petani ubi kayu – pedagang pengumpul (pemborong) – pabrik


tapioka.
4. Saluran 4 : Petani ubi kayu – pedagang pengumpul (lapak) – pabrik
tapioka.
5. Saluran 5 : Petani ubi kayu – agen (mitra) – pabrik tapioka.
50.05%

16.22%
Agen (Supir truk) Pabrik Tapioka
12.16%
Petani ubi kayu Pedagang pengumpul
(Pemborong )
4.05%
Pedagang pengumpul
(Lapak)
13.51%
Agen (Mitra)

Gambar 9 Saluran Pemasaran Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah

Terdapat lima saluran pemasaran yang menjadi alternatif bagi petani


dalam menjual produknya. Masing-masing setiap lembaga pemasaran ubi kayu
pada saluran pemasaran tersebut yang berupa pabrik, pemborong, lapak, supir truk
dan mitra memiliki perbedaan dalam hal fungsi pemasaran yang dilakukannya.
Pada lembaga pemasaran pabrik fungsi pemasaran yang dilakukan berupa fungsi
pertukaran yaitu penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa penyimpanan dan
pemrosesan, serta fungsi fasilitas berupa sortasi, grading, risiko, keuangan dan
informasi pasar. Lembaga pemasaran supir truk fungsi pemasaran yang dilakukan
hanya berupa fungsi fisik pengangkutan serta fungsi fasilitas berupa informasi
pasar. Lembaga pemasaran lapak dan pemborong memiliki fungsi sama hanya
pada lapak ditambahkan fungsi fisik yaitu penyimpanan. Namun tidak banyak
lapak yang mau menyimpan stok ubi kayu mengingat sifat produk ubi kayu yang
mudah rusak dan akan semakin berkurang kadar acinya bila dilakukan
penyimpanan terlalu lama. Pada mitra memiliki fungsi yang sama dengan lembaga
supir truk tapi mitra memiliki fungsi tambahan berupa fungsi keuangan

Tabel 13 Fungsi-Fungsi Pemasaran Ubi Kayu Berdasarkan Lembaga


Pemasarannya.
Pertukaran Fisik Fasilitas
Lembaga
No Jual Beli Angkut Simpan Proses Sortasi, Risiko Keuang Informasi
Pemasaran
Grading an pasar
1 Pabrik √ √ − √ √ √ √ √ √
2 Supir truk − − √ − − − − − √
3 Pemborong √ √ √ − − √ √ √ √
4 Lapak √ √ √ √ √ √ √ √
5 Mitra − − √ − − − − √ √

Dalam melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan


saluran pemasaran, petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu petani ubi kayu yang memilih saluran
pemasaran pabrik dan selain pabrik. Di lapangan beberapa jenis lembaga
41

pemasaran dapat berperan merangkap sebagai lembaga pemasaran lain, misalnya


lapak merangkap juga sebagai agen supir truk, atau pemborong berperan juga
sebagai agen supir truk. Oleh karenanya dalam analisis hanya akan dibedakan
menjadi saluran pemasaran pabrik dan perantara. Disamping itu dibedakan
menjadi pabrik dan perantara, dikarenakan untuk melihat perbedaan antara saluran
yang lembaga perantaranya melakukan fungsi utamanya dalam hal fungsi
pertukaran (penjualan dan pembelian) yaitu pemborong, lapak, supir truk dan
mitra, dengan saluran pemasaran yang fungsi utamanya selain pertukaran
(penjualan dan pembelian), juga melakukan fungsi fisik (pengolahan ubi kayu)
yaitu pabrik. Perantara seperti pedagang dan agen mendapatkan keuntungan dari
kegiatan jual beli ubi kayu sedangkan pada pabrik mendapatkan keuntungan
selain dari jual beli ubi kayu juga dari hasil pengolahan ubi kayu.

Petani ubi kayu Pabrik tapioka

Perantara (pedagang
pengumpul dan agen)

Gambar 10 Saluran pemasaran yang digunakan dalam analisis

Dengan demikian pola saluran yang terbentuk:


1. Saluran 1 : Petani ubi kayu – pabrik tapioka.
2. Saluran 2 : Petani ubi kayu – perantara (pedagang pengumpul dan agen) –
pabrik tapioka.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran

Petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah dalam memilih saluran


pemasaran, diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti harga, jumlah hasil
panen, jarak, usia panen, tingkat pendidikan, rafaksi atau potongan berat sampai
adanya pinjaman modal yang diberikan oleh lembaga saluran pemasaran.
Hipotesis dalam penelitian ini mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi petani
dalam memilih saluran pemasaran ubi kayu adalah sebagai berikut:
1. Harga. Harga jual ubi kayu yang dapat dilihat dari harga ubi kayu per
kilogram. Harga jual diharapkan memiliki efek positif pada saluran
pemasaran yang dipilih oleh petani ubi kayu. Artinya semakin tinggi harga
jual ubi kayu per kilogram, maka petani akan memilih untuk menyalurkan
ubi kayunya ke pabrik dibandingkan dengan ke lembaga perantara.
2. Jumlah hasil panen. Jumlah hasil panen ubi kayu diharapkan memiliki
efek positif pada saluran pemasaran yang dipilih. Artinya semakin banyak
jumlah hasil panen yang dimiliki petani maka petani akan memilih saluran
pemasaran pabrik dibandingkan saluran pemasaran perantara.
3. Jarak. Jarak diharapkan memiliki efek yang positif pada saluran pemasaran
yang dipilih petani ubi kayu. Artinya semakin besar (jauh) jarak ladang
petani ubi kayu dengan pabrik maka kemungkinan petani untuk memilih
pabrik sebagai saluran pemasarannya semakin besar dan sebaliknya.
4. Usia panen. Usia panen diharapkan memiliki efek positif pada saluran
pemasaran yang dipilih oleh petani ubi kayu. Artinya semakin tinggi (tua)
42

usia panen ubi kayu maka kemungkinan petani untuk memilih pabrik
sebagai saluran pemasaran semakin besar dan sebaliknya
5. Lama pendidikan. Lama pendidikan diharapkan memiliki efek positif pada
saluran pemasaran yang dipilih oleh petani ubi kayu. Artinya semakin
lama (tinggi) pendidikan yang ditempuh oleh petani maka kemungkinan
petani ubi kayu untuk memilih saluran pemasaran pabrik semakin besar
dibandingkan dengan saluran pemasaran selain pabrik dan sebaliknya.
6. Rafaksi atau potongan berat. Rafaksi diharapkan memiliki efek positif
pada saluran pemasaran yang diplih oleh petani ubi kayu. Artinya semakin
besar (tinggi) rafaksi yang ditetapkan pada hasil panen ubi kayu petani,
maka kemungkinan petani untuk memilih saluran pemasaran pabrik
semakin besar dan begitu pula sebaliknya.
7. Adanya pinjaman modal. Pinjaman modal diharapkan memiliki efek
negatif pada saluran pemasaran yang dipilih petani. Adanya pinjaman
modal dari pihak mitra kepada petani menyebabkan peluang petani ubi
kayu untuk memilih saluran pemasaran pabrik semakin kecil dan
sebaliknya.

Alat analisis yang digunakan dalam menentukan faktor-faktor yang


mempengaruhi pilihan saluran pemasaran ubi kayu di Kabupaten Lampung
Tengah adalah analisis regresi logistik biner, karena variabel tak bebas yang
dihadapi berupa pilihan lembaga pemasaran oleh petani padi adalah kategorik dan
kategorinya berjumlah dua. Lembaga pemasaran yang menjadi variabel respon
acuan (Y = 1) adalah pabrik, karena petani ubi kayu di Kabupaten Lampung
Tengah paling banyak menjual hasil panennya ke pabrik dibanding lembaga
pemasaran lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran
dicari dengan menggunakan uji Wald (parsial). Sementara itu untuk mencari nilai
peluang dari faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran
digunakan uji odds ratio. Hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 14.

Tabel 14 Uji Wald (parsial) faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran


Pemasaran petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah
Variabel Koefisien B P value Exp (B) atau Odds
Ratio

Harga .012*** .010 1.012


Jumlah Panen .000** .040 1.000
Jarak .238 .119 1.268
Pendidikan .086 .584 1.089
Rafaksi 9.076* .089 8742.012
Usia -.031 .921 0.970
Pinjaman modal -22.670* .069 0.001
(1=ada 0=tidak ada)
Intersep -16.052 .010 0.000
Negalkerke R square 0.732
***berpengaruh nyata pada α = 1%, **berpengaruh nyata pada α = 5%,
*berpengaruh nyata pada α = 10%
43

Hasil pendugaan koefisien model regresi logistik faktor-faktor yang


mempengaruhi pilihan saluran pemasaran petani ubi kayu di Kabupaten Lampung
Tengah didapatkan bahwa harga, jumlah panen, jarak, pendidikan dan rafaksi
memiliki pengaruh positif pada pemilihan saluran pemasaran petani ubi kayu.
Sedangkan variabel usia panen dan adanya pinjaman modal memiliki pengaruh
negatif. Secara parsial variabel harga, jumlah panen, rafaksi dan adanya pinjaman
modal mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran secara signifikan pada taraf
nyata hingga 10 persen. Sedangkan lama jarak, pendidikan dan usia panen tidak
signifikan dalam mempengaruhi pilihan saluran pemasaran yang dilakukan oleh
petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah. Model yang dihasilkan memiliki
R-square sebesar 73.2 persen yang ditunjukkan oleh nilai Negalkerke R square,
yang tergolong cukup tinggi untuk data cross section. Angka ini berarti, sebesar
73.2 persen keragaman data tujuan pilihan saluran pemasaran ubi kayu dapat
dijelaskan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi petani ubi kayu, sedangkan
sisanya dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak dijelaskan oleh model.
Tabel 14 menunjukkan variabel harga memiliki nilai koefisien bertanda
positif dan odds ratio sebesar 1.012. Hasil statistik ini memiliki makna bahwa
setiap kenaikan atau perbedaan satu satuan harga jual ubi kayu maka peluang
petani untuk memilih tujuan penjualan ubi kayu ke pabrik adalah 1.012 kalinya
dari peluang untuk memilih tujuan penjualan ubi kayu ke lembaga selain pabrik.
Nilai ini memberikan makna perbedaan peluang antara ke pabrik dan selain pabrik
hanya berbeda 0.012 kalinya atau 1.2 persen. Semakin tinggi harga jual ubi kayu
yang ditetapkan oleh pabrik maka petani akan cenderung untuk memilih menjual
ubi kayu pada pabrik. Harga bagi sebagian petani merupakan sinyal utama untuk
memilih saluran pemasaran ubi kayunya. Dalam hal ini pabrik memberikan harga
yang lebih baik jika dibandingkan dengan lembaga pemasaran lain, yaitu rata-rata
Rp1 097/kg. Sementara itu untuk lapak harga yang diperoleh adalah rata-rata Rp1
018/kg dan pemborong rata-rata Rp900/kg.
Pabrik tidak jarang juga memberikan harga yang dinilai rendah oleh petani
terutama pada saat keadaan ubi kayu melimpah atau panen raya. Namun lembaga
pemasaran yang lain juga ternyata tidak mampu memberikan alternatif harga yang
lebih baik dari pabrik mengingat terkadang mereka juga merupakan bagian
perpanjangan tangan dari pabrik. Hal ini membuat petani merasa dirugikan.
Sebaliknya pada saat stok ubi kayu berkurang dan hanya sedikit petani yang
panen ubi kayu maka pabrik akan menaikkan harga ubi kayu. Bahkan bisa juga
diikuti dengan perang harga dan rafaksi antar pabrik ubi kayu, guna menarik
petani agar berminat untuk menjual ubi kayu ke pabriknya. Kemampuan pabrik
untuk mengontrol harga terjadi mengingat struktur pasar ubi kayu di Lampung
Tengah yang tidak efisien. Zakaria (2000) menyebutkan bahwa pasar ubi kayu di
tingkat pabrik dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung
oligopsoni dengan monopsony power yang lemah. Pasar terdiri dari banyak
penjual dan sedikit pembeli. Dalam menjual hasil produknya, petani sebagai
penjual memiliki posisi tawar yang lebih rendah dan tidak bisa mempengaruhi
harga, hal sebaliknya pada pabrik yang memiliki power of buyers lebih kuat
karena jumlahnya yang sedikit
Harga antara pabrik dan lapak tidak memiliki selisih yang cukup jauh,
namun pada kenyataanya lapak terkadang menetapkan rafaksi lebih besar
sehingga petani lebih memilih untuk menjual ke pabrik. Beberapa lapak ada yang
44

merupakan bagian perpanjangan tangan dari pabrik dan mendapatkan sebagian


atau seluruh modal usahanya dari pabrik, sehingga harga yang ditetapkan oleh
lapak sama dengan harga pabrik namun berbeda dalam penetapan rafaksi. Lapak
yang seperti ini memiliki keterikatan dengan pabrik sehingga diharuskan untuk
menyetor ubi kayunya ke pabrik dimana ia menjalin kerjasama. Lapak akan
mendapatkan keuntungan dari selisih harga ataupun selisih rafaksi yang
ditetapkannya lebih besar dari rafaksi pabrik, sehingga beda berat rafaksi antara
lapak dan pabrik menjadi keuntungan bagi lapak. Sementara untuk pedagang
pemborong peneliti belum menemukan yang memiliki keterikatan dan kerjasama
dengan pabrik.
Lembaga pemasaran yang berupa agen seperti supir truk dan mitra tidak
memberikan perbedaan dalam harga, artinya petani mendapatkan harga pada
kedua lembaga ini sama sesuai dengan harga pabrik dimana agen tersebut
menjualkan ubi kayu petani. Menjual melalui agen memiliki arti bahwa agen
tersebutlah yang memilihkan kemana ubi kayu tersebut akan dijual dan petani
mengikuti keputusan agen. Ini artinya keputusan mengenai harga yang diterima
ada di tangan agen. Pada kondisi ini terlihat posisi petani yang pasrah dalam
menghadapi lingkungan pemasaran ubi kayu. Meskipun demikian kepasrahan
tersebut masih dalam lingkup rasionalitas (yang terbatas), meminjam istilah
Hayami dan Kikuchi (1981) dalam Sisfahyuni et al. (2011), rasional ala petani.
Agen, yaitu supir truk dan mitra menjalin hubungan dengan petani,
merupakan suatu hubungan dimana petani sebagai pemilik produk memberikan
kewenangan kepada agen untuk menjualkan produk kepada pembeli. Kotler dan
Keller (2009) menyebutkan bahwa agen dapat mencari pembeli atau dapat
bernegosiasi atas nama produsen, tetapi tidak memiliki hak atas barang. Sebanyak
29.73 persen atau 22 responden petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah
terlibat dalam hubungan dengan agen ini. Namun suatu permasalahan muncul
ketika para agen justru mencari cara untuk memaksimalkan keuntungan mereka
sendiri dibandingkan keinginan petani sebagai pemilik produk (Malmir et al.
2014). Pada kenyataannya, agen supir truk atau mitra tidak jarang bertindak
opportunis dimana dia akan berusaha memaksimalkan keuntungan yang
diperolehnya dengan menyetorkan ubi kayu di pabrik tempatnya melakukan
kerjasama dan mengesampingkan kepentingan petani untuk memperoleh harga
yang paling baik, hal ini sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Zakaria (2000).
Dengan demikian antara supir truk atau mitra terjalin hubungan kerjasama yang
saling menguntungkan dengan lembaga diatas mereka, yaitu pabrik.
Seringkali petani sebagai penjual memiliki kelemahan dalam penguasaan
informasi dan kemampuan bernegosiasi. Oleh karena itu lembaga pemasaran
seperti agen kerap kali menjembatani petani ketika menjual produknya karena
memiliki kelebihan dalam hal tersebut. Adanya informasi asimetris dimana agen
truk memiliki informasi lebih baik mengenai pasar dan kepercayaan petani kepada
agen memberikan kewenangan kepada agen untuk memilihkan ke pabrik mana
ubi kayu petani akan dijual. Hal ini juga bisa terjadi karena petani telah mengenal
agen atau terdapat hubungan kekerabatan antara petani dan agen. Seperti
disebutkan Brown et al. (2001) bahwa ikatan dengan lembaga pemasaran bisa
juga terjadi karena alasan non ekonomi. Dalam teori ekonomi kelembagaan,
Coase menyebutkan bahwa dalam prakteknya manusia tidak hanya bekerja
45

berdasarkan insentif ekonomi dan rasionalitas, tapi juga ada faktor-faktor sosial,
ekonomi dan politik yang mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya.
Sisfahyuni et al. (2011) menyebutkan bahwa adanya keterbatasan
informasi menyebabkan rasionalitas petani menjadi terbatas (bounded rationality),
sehingga petani bertindak seolah-olah tidak rasional. Petani yang memiliki skala
usaha dan luas lahan relatif kecil cenderung memilih menjual melalui agen karena
keterbatasan informasi pasar dan kurangnya kemampuan bernegoisasi dengan
pembeli. Dengan menjual melalui agen petani biasanya mendapatkan bagi hasil
atas fee yang diberikan pabrik kepada agen sebesar Rp10/kg. Fee merupakan
bagian dari aturan main (kontrak) dalam hubungan antara petani dengan supir truk
atau mitra. Petani yang memiliki skala usaha dan luas lahan lebih besar lebih
banyak memilih sendiri mengenai keputusan kemana ubi kayunya akan dijual.
Pada petani yang seperti ini agen hanya melakukan fungsi utama sebagai supir
truk yang menyediakan jasa transportasi pengangkutan ubi kayu.
Sementara itu dalam rangka mendapatkan modal, petani juga terlibat
hubungan dengan agen yaitu mitra, yang memiliki keterikatan kontrak sangat kuat
meskipun tidak dilakukan perjanjian tertulis. Kesepakatan-kesepakatan yang
terjadi antara petani dan mitra hanya atas dasar kepercayaan. Petani yang
mendapatkan modal dari mitra maka secara otomatis saat panen harus menjual ubi
kayunya melalui mitra.
Variabel kedua yaitu jumlah hasil panen memiliki nilai koefisien bertanda
positif dan odds ratio sebesar 1.000. Nilai ini bermakna bahwa setiap kenaikan
atau perbedaan satu kilogram kuantitas hasil panen petani, maka peluang untuk
memilih tujuan penjualan hasil panen ke pabrik lebih besar 1.000 kalinya dari
peluang untuk memilih tujuan penjualan ubi kayu ke lembaga selain pabrik atau
bisa dikatakan peluang antara ke pabrik dengan ke selain parik adalah sama.
Beberapa responden mengaku kemudahan dalam menjual dirasakan ketika
menjual hasil panen dalam jumlah yang besar ke pabrik dibanding dalam jumlah
yang sedikit. Dalam jumlah besar, petani dapat melakukan tawar menawar
mengenai rafaksi yang akan dikenakan pada hasil panen ubi kayunya. Sementara
petani yang memiliki jumlah panen sedikit tidak bisa mempengaruhi rafaksi
dengan cara tawar menawar. Selain itu dalam jumlah sedikit petani terkadang
merasa enggan untuk menjual ke pabrik dan lebih cenderung untuk memilih
menjual ke pedagang pengumpul atau agen.
Keberadaan agen disini menjadi penjamin bagi pabrik untuk menerima
hasil panen petani meskipun hanya dalam jumlah yang kecil. Agen dianggap
dapat memastikan kualitas hasil panen petani meskipun hanya dalam jumlah
sedikit. Selain itu hal ini juga mempengaruhi keberlangsungan hubungan antara
agen dan pabrik untuk tetap terjaga dan agar agen dapat selalu menyuplai
kebutuhan ubi kayu pabrik sesuai dengan jumlah ubi kayu yang dibutuhkan pabrik.
Pabrik memilih untuk melakukan kerjasama dengan agen atau pedagang
pengumpul seperti lapak karena dengan melakukan kerjasama ini pabrik dapat
lebih efisien dalam hal biaya untuk memperoleh ubi kayu, dibandingkan dengan
membentuk unit sendiri dalam perusahaannya yang berperan untuk memperoleh
input (Baye 2010). Baye (2010) menyebutkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan
inputnya perusahaan dapat menggunakan spot markets, kontrak kerjasama seperti
antara pabrik tapioka dengan agen/pedagang pengumpul, atau melalui integrasi
46

vertikal yang kesemuanya dalam rangka untuk mendapatkan input yang


dibutuhkan dengan cara paling efisien.
Variabel jarak memiliki nilai koefisien bertanda positif dan odds ratio
sebesar 1.268 namun tidak signifikan. Nilai ini berarti semakin jauh jarak ladang
petani, maka peluang petani untuk menjual ubi kayu ke pabrik semakin besar. Hal
ini dikarenakan menjual ubi kayu ke pabrik dianggap lebih menguntungkan dan
memberikan kepastian bagi petani ketika jarak yang ditempuh juga semakin jauh,
dibandingkan dengan menjual ubi kayu ke lembaga pemasaran selain pabrik
seperti pedagang pengumpul atau agen. Sebaliknya semakin dekat jarak ladang
petani, maka peluang petani untuk menjual ubi kayu ke pabrik semakin kecil
karena pilihan untuk menjual ke lembaga selain pabrik dianggap sama-sama
menguntungkan ketika jarak ladang petani dengan lembaga selain pabrik atau
pabrik sama-sama dekat.
Jarak ladang petani ke pabrik atau lembaga pemasaran lain akan
menentukan biaya transportasi yang harus dibayarkan petani, yang berkisar antara
Rp60 sampai Rp70 per kilogram ubi kayu. Peneliti tidak menemukan range
tertentu pada jarak berapa sampai berapa biaya transportasi Rp60/kg dan pada
jarak berapa biaya transportasi Rp70/kg. Jika dikalkulasi dengan berat total panen
ubi kayu petani, biaya transportasi ini memiliki nilai yang cukup tinggi. Penelitian
Akiyama dan Nishio (1996) yang menyebutkan bahwa biaya transportasi ubi kayu
di Lampung mencapai 35 – 40 persen dari margin pemasaran. Jarak menjadi
pertimbangan penting bagi petani dalam memilih saluran pemasaran karena
menyangkut biaya transportasi. Hal ini juga menyebabkan pembeli lebih memiliki
power dalam menentukan harga maupun rafaksi karena untuk berpindah ke
penjual lain yang dianggap lebih menguntungkan, maka petani memiliki
konsekuensi untuk mengeluarkan biaya lagi untuk transportasi yang nilainya tidak
sedikit. Itulah sebabnya mengapa posisi tawar petani menjadi lemah. Pada
pemborong biaya transportasi tidak lagi menjadi tanggungan petani karena
pemborong membeli ubi kayu di lahan ubi kayu petani. Oleh karena itu beberapa
petani memiliki alasan untuk menjual ubi kayu ke pemborong karena kemudahan
dalam hal tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi.
Variabel keempat yaitu lama pendidikan memiliki nilai koefisien bertanda
positif dan odds ratio sebesar 1.089 namun tidak signifikan. Petani yang
berpendidikan lebih tinggi diharapkan lebih mampu untuk mencari informasi
pasar, menguasai teknologi budidaya dan memperkirakan perubahan pendapatan
melalui saluran pemasaran yang dipilih dibandingkan dengan petani yang
berpendidikan rendah. Petani berpendidikan lebih tinggi juga diharapkan lebih
mampu meningkatkan kualitas ubi kayu yang dijual sehingga pendapatan ubi kayu
meningkat karena rafaksi kuantitas yang diperoleh lebih kecil. Seperti dijelaskan
pada gambaran umum bahwa rata-rata pendidikan petani responden di lokasi
penelitian adalah berpendidikan tingkat sekolah dasar dan sangat sedikit yang
mengenyam pendidikan hingga level pendidikan tingkat atas atau strata satu.
Variabel rafaksi memiliki nilai koefisien bertanda positif dan odds ratio
sebesar 8 742.012. Nilai ini bermakna bahwa setiap kenaikan atau perbedaan satu
persen rafaksi, maka peluang petani untuk memilih tujuan penjualan ke pabrik
lebih besar 8 742.012 kalinya dari peluang untuk memilih tujuan penjualan ubi
kayu ke lembaga selain pabrik. Peluang ini sangat besar bila dibandingkan dengan
peluang pada variabel lain, yang berarti rafaksi sangat berperan penting dalam
47

mempengaruhi pilihan saluran pemasaran petani. Nilai rafaksi yang semakin


tinggi akan membuat petani lebih memilih untuk menyalurkan produknya ke
pabrik dibandingkan dengan lembaga pemasaran selain pabrik. Kondisi ini diduga
karena lembaga lain selain pabrik (dalam hal ini lapak) tidak memberikan
alternatif rafaksi yang lebih baik dalam artian lebih rendah nilai rafaksinya.
Tingkat rafaksi yang tinggi di level pabrik justru akan diikuti dengan rafaksi yang
lebih tinggi lagi di level pedagang karena pedagang merupakan bagian
perpanjangan tangan dari pabrik. Oleh kerena itu menjual ubi kayu ke pabrik lebih
menguntungkan menurut petani dalam menghadapi ketidakpastian penentuan
rafaksi yang lebih baik. Mengingat pada level pedagang, akurasi pengukuran
rafaksi lebih meragukan dibandingkan dengan penentuan rafaksi oleh pabrik.
Rafaksi adalah sistem potongan berat atau penalti yang digunakan oleh
pabrik atau lembaga pemasaran lain untuk menilai kualitas ubi kayu petani.
Lembaga yang memiliki mekanisme rafaksi kuantitas dalam jual beli ubi kayu
adalah pabrik dan lapak, sementara pemborong tidak menetapkan rafaksi pada
saat melakukan pembelian ubi kayu pada petani. Hal ini dikarenakan pemborong
membeli ubi kayu secara tebasan di ladang ubi kayu petani. Dalam melakukan
tawar menawar agar tidak rugi, maka pemborong biasanya sudah memiliki ilmu
dalam jenis varietas, kesuburan tanah, umur tanam dan informasi harga. Tidak
jarang pemborong juga mengalami kerugian ketika membeli hasil panen ubi kayu
tidak sesuai dengan perolehannya ketika menjual ubi kayu petani ke pabrik.
Petani dalam memilih saluran pemasaran ubi kayu kerap kali
membandingkan rafaksi yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga, karena
harga yang tinggi belum tentu mencerminkan pendapatan yang diperoleh juga
akan tinggi jika rafaksi yang ditetapkan oleh pembeli juga tinggi. Bahkan
beberapa petani responden menyukai lembaga pemasaran yang menetapkan harga
tidak terlalu tinggi namun menetapkan rafaksi yang rendah. Hal ini menurut
petani lebih memberikan kepastian mengenai perkiraan pendapatan yang akan
diperolehnya dibandingkan dengan lembaga yang menetapkan harga ubi kayu
tinggi namun tidak terduga dalam menetapkan rafaksi. Tidak jarang harga ubi
kayu di tingkat pabrik dan lapak sama, namun rafaksi di tingkat lapak lebih besar
nilainya dibandingkan dengan di tingkat pabrik. Dengan begini lapak terkesan
akan mendatangkan pendapatan yang sama untuk petani bila dibandingkan dengan
pendapatan yang akan diperoleh ketika menjual ubi kayu ke pabrik, namun
adanya rafaksi yang lebih besar tentu saja akan membuat petani mendapatkan
pendapatan lebih kecil karena ubi kayu petani akan mendapat potongan berat yang
lebih besar.
Variabel usia panen memiliki nilai koefisien bertanda negatif dan odds
ratio sebesar 0.970 namun tidak signifikan. Nilai ini berarti bahwa usia panen
tidak memiliki pengaruh yang nyata bagi petani untuk memilih saluran pemasaran
ke pabrik ataupun ke lembaga selain pabrik. Beberapa pabrik menetapkan kriteria
ubi kayu yang dibeli dari petani berusia diatas 8 bulan, namun demikian tidak juga
membatasi bahwa ubi kayu yang berusia di bawah 8 bulan tidak diperkenankan
untuk masuk ke pabrik.
Selama ini terjadi anggapan bahwa petani yang memanen ubi kayunya
dengan usia lebih muda cenderung memilih untuk menyalurkan ubi kayunya
melalui lapak atau pemborong karena menjual ubi kayu muda ke pabrik akan
berisiko mendapatkan rafaksi tinggi, namun ternyata hasil uji statistik tidak
48

menunjukkan hal ini signifikan. Pabrik tetap bersedia menerima ubi kayu yang
masih muda ketika ubi kayu tersebut dijual melalui agen, lapak atau pemborong.
Seperti alasan yang telah disebutkan sebelumnya bahwa disini pabrik telah
memiliki kepercayaan dan hubungan kerjasama dengan pedagang pengumpul atau
agen sehingga bersedia menerima ubi kayu meskipun usianya masih muda. Hal ini
untuk menjaga keberlangsungan hubungan pabrik dengan pedagang pengumpul
atau agen agar tetap bersedia menyuplai kebutuhan ubi kayu ke pabrik. Tidak
jarang lapak juga berlaku curang kepada pabrik seperti mengoplos ubi kayu yang
muda dengan yang tua sehingga ubi kayu yang dijual oleh lapak secara
keseluruhan tampak berusia tua.
Variabel yang terakhir yaitu pinjaman modal memiliki nilai koefisien
bertanda negatif dan odds ratio sebesar 0.001. Nilai ini bermakna bahwa peluang
petani yang ada pinjaman modal untuk memilih menjual hasil panen ke pabrik
adalah 0.0001 lebih kecil dari peluang petani yang tidak ada pinjaman modal.
Ketika petani menginginkan pinjaman modal, maka ia harus memilih untuk
menjual ubi kayu melalui lembaga pemasaran selain pabrik, yaitu mitra. Mitra
disini adalah sebutan bagi supir truk yang tidak hanya memberikan jasa
pengangkutan ubi kayu tapi juga memberikan bantuan modal kepada petani
seperti uang, bibit, pupuk dan obat-obatan. Tujuan supir truk memberikan bantuan
modal adalah agar petani memiliki keterikatan dengannya sehingga petani
menjual hasil panen ubi kayunya melalui supir truk mitra tersebut. Beberapa lapak
juga disinyalir ada yang melakukan hal demikian. Keadaan ini merupakan bagian
dari strategi pedagang pengumpul dan agen dalam memperebutkan produk supaya
mengalir melalui lembaga pemasaran tersebut. Karena pasar di tingkat pedagang
pengumpul dan agen juga terdiri dari beberapa pelaku dan terdapat persaingan
sehingga mereka berupaya untuk menarik petani untuk menjual hasil panen
kepadanya.
Petani yang bekerjasama melalui kemitraan dengan supir mitra tidak hanya
mendapatkan manfaat berupa bantuan modal, namun juga memberikan kerugian
dengan adanya perbedaan harga yang ditetapkan oleh mitra atas modal yang
dipinjam petani. Misalkan pupuk urea yang dijual di pasaran dengan harga Rp95
000/sak, petani yang meminjam pupuk kepada mitra maka pada saat panen
dikemudian hari diharuskan membayarkan Rp115 000/sak. Rata-rata margin yang
ditetapkan oleh mitra adalah sebesar Rp20 000/sak dari harga umum di pasaran.
Sedangkan keuntungan yang diperoleh petani selain memperoleh bantuan modal
adalah berupa bagi hasil fee yang diberikan pabrik kepada supir mitra. Rata-rata
setiap agen yaitu supir truk dan mitra akan memperoleh fee dari pabrik sebesar
Rp20/kg. Fee ini oleh agen akan dibagi dua dengan petani sehingga masing-
masing memperoleh Rp10/kg.
Permasalahan modal masih cukup banyak dialami oleh petani ubi kayu
terutama petani dalam skala luas lahan yang kecil. Kurangnya peran pemerintah
dan kelembagaan seperti kelompok tani dalam menyelesaikan hal ini membuat
lembaga pemasaran seperti supir truk memanfaatkan hal ini. Selain itu pemerintah
juga kurang berperan dalam memberikan kebijakan yang dapat memberikan
perlindungan harga bagi petani ubi kayu. Padahal ubi kayu sendiri sangat berperan
dalam membangun perekonomian desa. Sedangkan untuk pabrik selama ini sangat
jarang menjalin kerjasama berupa kemitraan dengan petani. Jika diantara pabrik
dan petani terjalin suatu hubungan kemitraan tentu saja dapat menjadi salah satu
49

alternatif penyelesaian persoalan modal yang dihadapi petani. Selain itu adanya
kemitraan antara pabrik dan petani juga akan memberikan beberapa solusi seperti
menjamin kepastian pemasaran dan menghindari anjloknya harga yang sering
terjadi saat panen raya. Hal ini misalnya dengan pengaturan jadwal tanam dan
waktu supply (panen), pengaturan tonase supply, penjagaan kualitas sehingga
petani terhindar dari rafaksi yang tinggi serta pembinaan budidaya teknik ubi kayu.

7 MEKANISME PENENTUAN RAFAKSI UBI KAYU


Rafaksi Ubi Kayu

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia rafaksi berarti pemotongan


(pengurangan) terhadap harga barang yang diserahkan karena mutunya lebih
rendah daripada contohnya atau karena mengalami kerusakan dalam
pengirimannya. Pada beberapa komoditas pertanian, istilah rafaksi sering
digunakan untuk menilai kualitas beras, jagung, tebu dan ubi kayu. Namun
penilaian kualitas yang telah memiliki acuan standarisasi dengan baik untuk
rafaksi hanya terdapat pada komoditas beras yang tertuang dalam tabel rafaksi
harga pembelian gabah dan beras yang dikeluarkan oleh Kemeterian Pertanian.
Sementara untuk komoditas yang lainnya belum ada aturan standar yang tepat
untuk pengukuran kualitas komoditas-komoditas tersebut, termasuk ubi kayu.
Tabel di bawah ini memberikan contoh tabel rafaksi yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk menilai kualitas beras yang diperjual belikan.

Tabel 15 Contoh Tabel Rafaksi Harga Pembelian Beras di Luar Kualitas


Inpres Nomor 1 Tahun 2008
Kadar air Derajat sosoh Butir patah Kadar menir Harga
(Rp/Kg)
2 4 300
14 95 20
5 4 275
Sumber : Peraturan Menteri Pertanian 2008

Di Lampung, petani ubi kayu sudah sangat mengenal istilah rafaksi.


Rafaksi ubi kayu adalah potongan (pengurangan) berat atau penalti kuantitas
untuk menilai kualitas ubi kayu petani yang dinilai rendah. Jadi rafaksi yang
disebutkan dalam kegiatan jual-beli ubi kayu di Lampung bukanlah rafaksi yang
merupakan pemotongan (pengurangan) terhadap harga karena kualitas ubi kayu
yang rendah seperti pada komoditas beras, melainkan pemotongan (pengurangan)
terhadap berat ubi kayu petani yang dijual kepada pembeli. Bisa jadi harga ubi
kayu yang dijanjikan oleh pembeli seperti pabrik atau lapak terlihat tinggi dan
menguntungkan, namun jika rafaksi yang diterima pun tinggi maka petani tidak
mendapatkan pendapatan sesuai dengan yang diperkirakannya. Adanya rafaksi
membuat petani merasa dirugikan karena harga hanya menjadi “kamuflase” untuk
menutupi nilai rafaksi yang juga ditetapkan oleh pembeli ubi kayu petani.
Misalkan petani menjual hasil panen sebanyak 7 260 kg (Gambar 10), lalu pabrik
menetapkan rafaksi sebesar 14 persen, sehingga berat yang dibayarkan oleh pabrik
hanya sebanyak 6 240 kg ubi kayu dan sisanya sebanyak 1 020 kg dianggap
50

sebagai rafraksi. Sementara pada level pedagang seperti lapak nilai rafaksi yang
ditetapkan bisa lebih tinggi lagi dari rafaksi yang ditetapkan oleh pabrik.

Gambar 11 Nota hasil timbangan ubi kayu petani

Selain nilai rafaksi yang dinilai tinggi, cara penentuan rafaksi bagi petani
menjadi sesuatu yang tidak bisa diprediksikan dan terkesan dirahasiakan oleh
pembeli. Petani ubi kayu tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai
bagaimana penentuan rafaksi oleh pabrik atau pedagang. Rafaksi sangat subyektif
ketika petani tidak dapat menduga nilai rafaksi. Penentuan rafaksi seharusnya
menjadi kesepakatan kedua belah pihak, dan kedua belah pihak memiliki
pengatahuan yang sama tentang cara penentuannya. Rafaksi menjadi salah satu
bentuk standardisasi produk, yaitu persetujuan dari partisipan (pembeli, penjual,
pabrik) terhadap produk untuk dimensi ukuran dan kualitas produk termasuk
atribut produk seperti tingkat kematangan, warna, volume per unit, tingkat
keseragaman dan lain-lain dimana partisipan sepakat mengelompokkan dalam
kelas-kelas tertentu (Asmarantaka 2013).

Mekanisme Penentuan Rafaksi Ubi Kayu

Beberapa hal yang dinyatakan sebagai kriteria penentuan kualitas ubi kayu
di Kabupaten Lampung Tengah menurut Sagala (2011) adalah dari kadar aci ubi
kayu, jenis varietas ubi kayu, usia panen dan banyaknya kotoran atau materi lain
yang terbawa pada saat panen ubi kayu. Kenyatanya seringkali kriteria kualitas
yang dinginkan oleh pabrik atau lapak juga tidak cukup terstandardisasi, seperti
kadar aci dan banyaknya kotoran. Sehingga beberapa kriteria yang menjadi nilai
kualitas terkadang tidak bisa dijelaskan secara terukur oleh pabrik atau pedagang,
maupun petani.
Perbedaan persepsi terhadap kualitas ubi kayu dalam proses jual beli ubi
kayu menyebabkan sulitnya pendataan mengenai kualitas ubi kayu yang
ditransaksikan. Perlu transparansi oleh pembeli dalam penentuan rafaksi tehadap
ubi kayu petani agar potongan berat sesuai dengan kondisi obyektif ubi kayu.
Selain usia panen dan varietas ubi kayu yang dapat ditentukan secara pasti,
kriteria lain seperti kotoran pada ubi kayu tidak dapat ditentukan secara pasti dan
terukur. Petani umumnya tidak menggunakan alat ukur untuk memastikan kualitas
51

tersebut saat transaksi. Kualitas ubi kayu ditentukan hanya menggunkan


pengamatan dengan menggunakan penglihatan (secara visual). Dalam penelitian
ini, penilaian kualitas ubi kayu didapat melalui persepsi petani dan tidak
menggunakan persepsi pedagang atau pabrik. Hal ini dikarenakan kesulitan untuk
memperoleh akses informasi dari kedua lembaga tersebut. Hasil kajian
menunjukkan kriteria visual yang digunakan untuk menentukan kualitas ubi kayu
berdasarkan persepsi petani adalah sebagai berikut :

Tabel 16. Kriteria Penentuan Kualitas Ubi kayu secara Visual Berdasarkan
Persepsi petani
No Kriteria Derajat Kualitas
1 Usia panen >8 bulan
2 Varietas Casesart
3 Bonggol atau batang Terpotong rapi
4 Tanah atau kotoran Sedikit

Pada level pedagang seperti lapak, penentuan kualitas oleh pedagang


pengumpul juga tidak menggunakan alat ukur atau sejenisnya, tetapi hanya
menggunakan pengamatan visual berdasarkan penglihatan dan pengalaman
pedagang, serta informasi yang diberikan petani mengenai keadaan ubi kayunya
seperti berapa usia panen dan varietas. Dengan demikian bisa terjadi perbedaan
persepsi kualitas, yaitu persepsi petani dan persepsi pedagang. Terutama
mengenai kriteria kotoran dan bonggol.
Sementara itu pada pabrik terdapat kriteria kualitas lain yang ditambahkan
pada ubi kayu petani yaitu kadar aci, beberapa sumber menyebutkan ada juga
penilaian diameter ubi kayu dan kadar kelayuan atau kebusukan. Dalam mengukur
kadar aci, pabrik diklaim memiliki sebuah alat yang digunakan secara khusus
untuk melihat kadar aci ubi kayu. Kepada petanipun, pabrik tidak terbuka
mengenai standar kualitas seperti apa yang mereka tetapkan dan bagaimana cara
mereka dalam mengetes ubi kayu untuk menentukan kadar acinya. Petani ubi
kayu menambahkan bahwa pengukuran kadar aci tidak dilakukan merata pada
setiap truk ubi kayu yang membawa hasil panen, melainkan hanya mengambil
sampel dari beberapa truk petani yang datang lebih awal di pagi hari untuk
menentukan standar rafaksi yang diberlakukan pabrik pada ubi kayu petani yang
dijual hari tersebut secara keseluruhan. Selebihnya untuk kriteria penilaian
kualitas ubi kayu yang lain dilakukan secara visual.
52

Gambar 12 Ubi kayu varietas casesart, usia panen 7 bulan, terdapat sedikit
bonggol dan kotoran tanah dan dipanen saat penelitian (musim
kemarau). Rafaksi 14 persen.

Adanya perbedaan kualitas dan kriterianya berdasarkan persepsi petani,


pedagang maupun pabrik, menunjukkan adanya informasi yang asimetris antara
ketiganya dan cenderung merugikan petani dalam bertransaksi. Keterbatasan
informasi yang dimiliki petani mengenai penentuan rafaksi menyebabkan
rasionalitas petani menjadi terbatas (bounded rationality) dan pasrah menghadapi
lingkungan pemasaran ubi kayu yang demikian. Satu-satunya “bahasa” kualitas
yang memiliki persamaan dalam pengukuran hanyalah mengenai usia panen dan
varietas ubi kayu. Baik petani, pedagang dan pabrik memiliki kesamaan dalam
pengukuran usia panen yaitu ubi kayu berusia diatas 8 bulan. Begitu juga dengan
varietas ubi kayu. Petani, pedagang dan pabrik memiliki persamaan pengetahuan
bahwa varietas casesart dinilai memiliki kadar aci yang lebih tinggi dibandingkan
ubi kayu varietas lain seperti BW atau Adira. Sementara untuk kotoran dan
bonggol, baik petani, pedagang dan pabrik memiliki persepsi yang berbeda-beda
dalam menafsirkan kriteria “banyak”, “sedang” ataupun “sedikit” nya. Bahkan
bila panen ubi kayu dilakukan di musim kemarau nilai rafaksi bisa turun karena
kotoran pada ubi kayu dianggap lebih sedikit, dan sebaliknya pada musim hujan
rafaksi bisa naik karena dianggap kotoran pada ubi kayu lebih banyak.
Tabel di bawah ini menunjukkan hasil pengujian secara statistik mengenai
hubungan antara usia panen dan rafaksi. Diperoleh nilai r (korelasi) sebesar 0.186
dan tanda pada nilai r menunjukkan negatif. Koefisien korelasi bertanda negatif (-
) yang berarti terdapat hubungan negatif antara usia panen dan rafaksi, yaitu
semakin tinggi usia maka rafaksi akan semakin kecil dan sebaliknya. Hal ini
sesuai dengan hipotesis, namun nilai peluang pada hasil pengujian ini sebesar
0.138 yang berarti tidak signifikan. Ini menegaskan bahwa hubungan antara usia
panen dan rafaksi tidak diperoleh hasil secara nyata. Nilai yang dihasilkan juga
berarti bahwa hubungan antara usia panen dan rafaksi sangat lemah karena nilai r
kurang dari 0.200. Untuk pengujian korelasi antara varietas ubi kayu dengan
rafaksi ditunjukkan pada tabel di bawah.

Tabel 17 Korelasi antara rafaksi dengan usia panen dan rafaksi dengan varietas
Usia Varietas
Rafaksi Pearson correlation -0.186 -0.073
P value 0.138 0.565
53

Hasil pengujian secara statistik mengenai hubungan antara varietas ubi


kayu dan rafaksi (Tabel 18) diperoleh nilai r (korelasi) sebesar 0.073 dan tanda
pada nilai r menunjukkan negatif, serta hasil pengujian yang tidak signifikan.
Koefisien korelasi bertanda negatif (-) sesuai dengan hipotesis, yang berarti
terdapat hubungan negatif antara varietas ubi kayu dan rafaksi, yaitu rafaksi akan
semakin kecil apabila varietas ubi kayu yang dijual petani adalah jenis casesart
dan semakin besar bila varietas ubi kayu yang dijual petani bukan casesart.
Varietas ubi kayu dinyatakan dengan dummy, dimana dummy =1 adalah varietas
ubi kayu casesart, dan dummy = 0 adalah varietas ubi kayu selain casesart. Nilai r
pada hasil pengujian juga berarti bahwa hubungan antara varietas dan rafaksi
adalah sangat lemah, karena nilai r kurang dari 0.200. Hasil ini menegaskan
bahwa hubungan antara varietas dan rafaksi tidak diperoleh hasil secara nyata.
Petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah umumnya lebih banyak
menanam ubi kayu varietas casesart karena rafaksi yang diperoleh untuk jenis ubi
kayu varietas ini lebih kecil dibandingkan varietas lainnya. Dalam kegiatan
budidaya, varietas ubi kayu BW lebih unggul dalam hal ukuran dibandingkan
dengan varietas casesart. Untuk membudidayakan varietas BW dibutuhkan waktu
lebih singkat karena ukurannya lebih cepat besar dibandingkan varietas casesart.
Namun demikian kandungan airnya juga lebih tinggi, sehingga meskipun
ukurannya lebih unggul dibandingkan varietas casesart namun pembeli akan
menetapkan rafaksi lebih tinggi karena lebih banyak mengandung air daripada aci.
Demikian juga untuk varietas lain seperti Adira yang diklaim oleh pabrik lebih
kecil kadar acinya bila dibandingkan dengan varietas casesart.
Dalam kegiatan jual beli ubi kayu, proses penimbangan berat ubi kayu
yang dijual oleh petani juga tidak dilakukan secara transparan. Ada pembeli yang
memperbolehkan petani untuk melihat hasil penimbangan dan ada juga yang tidak.
Pada tingkat pabrik, petani lebih sulit untuk dapat ikut menyaksikan proses
penimbangan karena jenis timbangan yang digunakan adalah timbangan mobil
dengan sistem komputerisasi. Sementara itu pada level pedagang seperti lapak,
proses penimbangan ubi kayu ada yang mengguakan timbangan mobil dan ada
juga yang menggunakan timbangan kecil (Gambar 12). Dalam melakukan proses
penimbangan lapak lebih terbuka dan penimbangan dapat disaksikan oleh petani
walaupun timbangan yang digunakan juga jenis timbangan mobil dengan sistem
komputerisasi. Sehingga dalam kegiatan ini pedagang pengumpul memiliki
keterbukaan dan akses bernegosiasi yang lebih baik dibandingkan dengan pabrik.
Ketidak konsistenan penentuan rafaksi juga terjadi manakala yang menjual
ubi kayu adalah petani yang memiliki luas lahan dan hasil panen yang besar.
Petani yang memiliki lahan dan hasil panen besar mengakui bahwa ketika akan
melakukan penjualan ubi kayu ke pabrik, mereka bisa melakukan tawar menawar
terlebih dahulu dengan pabrik tanpa mencabut hasil panen ubi kayunya, mengenai
nilai rafaksi yang akan dikenakan pada ubi kayu petani tersebut. Dengan terlebih
dahulu melihat usia panen, varietas dan luas lahan tanam, maka pabrik bersedia
menurunkan nilai rafaksi kepada petani yang memiliki hasil panen besar. Petani
dengan hasil panen yang besar ketika tidak mendapat nilai rafaksi yang
menurutnya menguntungkan, maka tidak akan bersedia untuk mencabut dan
menjual hasil panennya pada pabrik. Sehingga petani dengan luas lahan besar
memiliki dapat mencari pembeli lain yang dianggap lebih menguntungka baginya.
Dengan demikian pemberlakuan rafaksi lebih ketat diberikan pada petani yang
54

memiliki jumlah panen sedang atau sedikit dibandingkan dengan petani skala
besar. Petani dengan skala usaha lebih besar memiliki bargain position lebih
tinggi dibanding dengan petani yang skala usahanya kecil untuk dapat melakukan
tawar menawar rafaksi.

Gambar 13 Timbangan mobil (kiri) dan timbangan kecil (kanan) yang digunakan
dalam penimbangan jual-beli ubi kayu

Secara umum rafaksi seharusnya memiliki hubungan dengan kadar aci,


varietas, usia panen, jumlah kotoran tanah atau bonggol. Kenyataannya hasil
penelitian ini tidak dapat membuktikan hal tersebut. Hal ini juga menunjukkan
bahwa petani ubi kayu berada pada posisi tawar yang begitu lemah. Ubi kayu
dengan kualitas yang lebih baik seharusnya mampu memberikan efek lebih
sedikitnya rafaksi yang diterima oleh petani dan begitu pula sebaliknya. Sejalan
dengan apa yang diungkapkan oleh Hudson (2007) yaitu kualitas produk akan
mempengaruhi harga. Dimana konsumen akan bersedia membayar dengan harga
yang berbeda ketika kualitas produk juga berbeda karena akan memberika
kepuasan yang berbeda pula. Selain itu perbedaan dalam kualitas seharusnya
merupakan hal yang observable, dimana kriteria perbedaan itu harus mampu
diamati dan dirasakan.
Oleh karena itu pengukuran rafaksi yang berdasarkan kriteria yang sudah
ditentukan oleh pabrik seharusnya dapat dibuktikan dengan pengukuran yang
akurat untuk mengetesnya. Seringkali kualitas ubi kayu yang sama yang dijual
oleh beberapa petani mendapatkan jumlah rafaksi yang tidak berbeda atau
sebaliknya kualitas ubi kayu yang berbeda namun diberi jumlah rafaksi yang sama.
Sehingga adanya rafaksi tidak membuat petani terangsang untuk meningkatkan
kualitas ubi kayu karena menganggap seperti apapun kualias ubi kayu yang
dihasilkan tidak akan mempengaruhi jumlah rafaksi yang didapat. Penentuan
rafaksi yang demikian tentu akan menjadi permasalahan sangat serius jika terus
menerus tidak terdapat penyelesaian bagi petani karena menyangkut masa depan
ubi kayu di Lampung. Ketika petani tidak lagi merasa memperoleh pendapatan
yang baik dari usahatani ubi kayu maka lambat laun produksi dan luas panen ubi
kayu di Lampung akan semakin menurun serta angka impor diprediksi akan
semakin meningkat.
55

8 PENGARUH SALURAN PEMASARAN TERHADAP


PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU

Pendapatan Usahatani Ubi Kayu

Usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah telah dilakukan oleh


petani sejak berpuluh tahun yang lalu. Ubi kayu semula ditanam sebagai sumber
bahan makanan selain beras, yang diolah menjadi makanan utama maupun
makanan ringan. Namun seiring dengan munculnya berbagai industri yang
mengolah ubi kayu menjadi tapioka, pellet, dan berbagai industri lainnya yang
memiliki kebutuhan tinggi terhadap ubi kayu maka pengusahaan ubi kayu menjadi
meningkat dan semakin komersial. Bercocok tanam ubi kayu menjadi pekerjaan
utama sebagian masyarakat di Lampung Tengah dan penggerak ekonomi
pedesaan.
Analisis usahatani ubi kayu dilakukan untuk melihat seberapa besar nilai
pendapatan yang dihasilkan oleh petani, pada tiap-tiap saluran pemasaran dalam
rata-rata satu hektar lahan yang diusahakan petani. Dengan demikian dapat dilihat
perbandingan pendapatan yang diperoleh petani melalui masing-masing saluran
pemasaran tersebut. Pada Tabel 19 menunjukkan pendapatan usahatani pada
saluran pemasaran pabrik, lapak, pemborong, mitra dan supir truk di Kabupaten
Lampung Tengah.
Tabel 19 menyajikan analisis usahatani ubi kayu untuk masing-masing
kelompok responden, yaitu responden yang menggunakan saluran pemasaran
pabrik, pemborong, lapak, mitra dan supir truk. Pada saluran pemasaran pabrik
rata-rata luas lahan aktual dari petani responden adalah sebesar 1.62 ha, untuk
saluran pemasaran lapak adalah sebesar 0.5 ha, saluran pemasaran pemborong
0.94 ha, saluran pemasaran mitra 0.58 ha dan saluran pemasaran supir truk sebesar
0.63 ha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa petani yang menggunakan
saluran pemasaran pabrik umumnya adalah petani dengan skala usaha yang besar
karena diperoleh rata-rata luas lahan responden diatas 1 ha. Sementara untuk
petani responden yang menggunakan saluran pemasaran lain relatif petani dengan
skala usaha sedang atau kecil dengan luas lahan kurang dari 1 ha.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa penerimaan yang diperoleh petani
ubi kayu yang menggunakan saluran pemasaran pabrik paling besar, kemudian
diikuti oleh petani yang menggunakan saluran pemasaran lapak, mitra, supir truk
dan pemborong. Rata-rata produktivitas ubi kayu aktual petani yang
menggunakan saluran pemasaran pabrik adalah sebesar 23 612.74 kg/ha,
sementara untuk petani yang menggunakan saluran pemasaran lapak diperoleh
rata-rata produktivitas sebesar 19 533.33 kg/ha, saluran pemasaran mitra sebesar
19 671.11 kg/ha dan saluran pemasaran supir truk sebesar 16 928.57 kg/ha. Pada
petani responden yang menggunakan saluran pemasaran pemborong tidak
diketahui berapa nilai tonase yang diperoleh pada setiap hasil panen ubi kayu per
hektarnya. Hal ini dikarenakan cara penjualan ubi kayu ke pemborong tidak
melalui proses penimbangan. Pemborong membeli ubi kayu petani dengan sistem
tebasan. Begitu juga dengan harga per kilogram ubi kayu yang dijual tidak
ditetapkan dalam penjualan melalui pemborong. Menurut informasi dari petani,
pemborong menetapkan harga per kilo ubi kayu petani pada kisaran Rp800 – 900
per kilogram ubi kayu. Harga ini sudah harga bersih, tanpa adanya lagi proses
56

potongan berat atau rafaksi. Sementara itu harga rata-rata ubi kayu per kilogram
pada saluran pemasaran pabrik adalah sebesar Rp1 096.88, saluran pemasaran
lapak adalah sebesar Rp1 018.33, saluran pemasaran mitra sebesar Rp975.73 dan
saluran pemasaran supir truk adalah sebesar Rp1 008,18. Dengan demikian harga
paling tinggi diperoleh oleh petani yang menjual ubi kayu melalui saluran pabrik.

Tabel 18 Analisis Usahatani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah Tahun


2015
Uraian Pabrik Perantara (selain pabrik)
Lapak Pemborong Mitra Supir truk
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata
(Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha)
A. Penerimaan 26 281 268.34 20 210 333.33 13 638 235.29 18 503 636.36 18 103 636.36
Tambahan Fee 122 944.44 98 750.00
B. Biaya
B.1 Biaya Tunai
Bibit 793 514.51 453 333.33 477 059.82 738 182.82 631 169.83
Pupuk 2 830 689.48 1 686 661.13 1 880 704.47 3 891 271.13 1 990 911.65
Obat-obatan 427 641.93 387 333.33 422 000.00 625 164.64 448 442.56
TK Luar Keluarga 1 879 138.78 1 678 095.24 1 778 152.94 1 552 389.61 1 379 320.96
Sewa Lahan 551 158.30 0.00 588 235.29 242 424.24 181 818.18
Biaya Panen 2 878 162.16 2 344 000.00 0.00 2 389 568.00 2 174 805.19

Rafaksi 3 506 608.82 3 413 696.67 0.00 2 495 390.55 2 596 410.39
B.2 Biaya
Diperhitungkan
Bibit 195 367.80 233 333.33 301 176.47 145 455.55 384 156.84
TK Dalam 75 124.10 64 285.71 82 773.11 186 597.40 289 068.65
Keluarga
Sewa Lahan 2 518 018.02 3 055 556.56 2 056 372.55 2 506 060.61 2 285 714.29
Penyusutan Alat 33 280.57 53 361.11 32 125.00 53 975.76 51 903.68
Total Biaya Tunai 12 866 913.98 9 963 119.70 5 146 152.52 11 934 390.99 9 402 878.76
Total Biaya 2 821 790.49 3 406 536.71 2 472 447.13 2 892 089.32 3 010 843.46
Diperhitungkan
Total Biaya 15 688 704.47 13 369 656.41 7 618 599.65 14 826 480.31 12 413 722.22
Pendapatan atas 13 414 354.36 10 247 213.63 8 492 082.77 6 692 189.81 8 799 507.60
Biaya Tunai
Pendapatan atas 10 592 563.87 6 840 676.92 6 019 635.64 3 800 100.49 5 788 664.14
Biaya Total
R/C atas Biaya 2.04 2.03 2.65 1.56 1.94
Tunai
R/C atas Biaya 1.68 1.51 1.79 1.26 1.47
Total

Jika dilihat dari struktur biaya, komponen biaya terbesar pada usahatani
ubi kayu terdapat pada pupuk (19,21 persen), rafaksi (18,79 persen) dan biaya
panen (15,31 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pada usahatani ubi kayu
kebutuhan akan pupuk untuk mengembalikan kesuburan tanah menjadi hal yang
sangat mendasar mengingat ubi kayu adalah tanaman yang rakus akan hara.
Sebagian besar petani di lokasi penelitian sudah mulai mengaplikasikan
penggunaan pupuk organik untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
Pada saluran pemasaran mitra komponen biaya pupuk dan obat-obatan
paling besar jika dibandingkan dengan kelompok responden pada saluran
57

pemasaran lain. Hal ini dikarenakan harga yang dikenakan pada input-input
tersebut oleh mitra yang meminjamkan pada petani, lebih tinggi dibandingkan
dengan harga dipasaran, bukan karena jumlah atau kuantitas pupuk beserta obat-
obatan yang digunakan petani mitra adalah paling tinggi diantara kelompok
responden lainnya. Masing-masing setiap satu sak pupuk atau botol obat-obatan
memiliki selisih harga kurang lebih Rp20 000 dari harga normal. Meskipun
demikian kelompok responden petani ubi kayu yang menjual ubi kayu ke mitra
tidak memiliki alternatif solusi lain atas kendala modal yang dihadapinya selain
berhutang input produksi kepada mitra. Selama ini tidak ada lembaga pembiayaan
lain yang memberikan pinjaman modal kepada mereka. Hal ini yang dimanfaatkan
oleh mitra untuk mengikat petani agar menjual ubi kayu melaluinya dengan
meminjamkan modal. Oleh karena itu keberadaan mitra tidak hanya berperan
dalam menyalurkan ubi kayu hasil panen petani, tapi lebih penting lagi karena
bersedia menyediakan modal.
Kelompok petani responden yang menggunakan saluran pemasaran pabrik
secara aktual lah yang menggunakan jumlah pupuk dan obat paling tinggi,
sehingga menghasilkan komponen biaya yang juga lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok petani responden pada saluran lain. Secara umum kelompok
responden petani yang menjual ubi kayu ke pabrik memiliki karakter luas areal
yang diusahakan dan produktivitas ubi kayu per hektar lebih tinggi dibandingkan
dengan yang lain. Hal ini menunjukkan pada kelompok petani responden yang
menggunakan saluran pemasaran pabrik adalah petani yang mengusahakan
usahataninya secara intensif. Berbeda dengan petani pada saluran pemasaran lain
yang relatif lebih tidak intensif dalam menggunakan input-input dalam budidaya
ubi kayu karena luas lahan yang diusahakan juga relatif lebih kecil dan lebih
efisien dalam penggunaan input.
Rafaksi menjadi komponen biaya terbesar selanjutnya, walaupun rafaksi
disini bukan termasuk sebagai bentuk pengeluaran, namun dalam perhitungan
pendapatan usahatani ubi kayu, rafaksi menjadi loss atau kerugian yang
mengurangi pendapatan petani. Struktur pasar ubi kayu yang cenderung
oligopsoni dengan monopsony power yang lemah, dimana pasar terdiri dari
banyak penjual (petani) serta pembeli (pabrik dan pedagang) yang tergolong
sedikit, membuat pabrik memiliki kekuatan sebagai price control dan penentu
nilai rafaksi. Sehingga dalam melakukan penjualan produk, petani sebagai
penerima harga (price taker) dan terpaksa menerima rafaksi yang nilainya cukup
besar.
Biaya panen yang terdiri atas kuli cabut dan biaya transportasi menjadi
komponen biaya terbesar ketiga yang nilainya juga relatif besar. Bagi petani yang
menjual ubi kayu melalui pemborong maka pengeluaran untuk biaya panen tidak
ada, karena biaya panen menjadi tanggungan penebas atau pemborong. Hal ini
juga yang menjadikan sebagian alasan bagi petani responden yang menjual ubi
kayu melalui pemborong, bahwa sebagaian besar dari mereka enggan untuk
mengeluarkan biaya panen yang relatif tinggi. Oleh sebab itu pilihan menjual
melalui pemborong menjadi alternatif bagi petani yang menginginkan menjual
dengan proses yang oleh mereka dinilai “tidak ribet” tersebut.
Beberapa jenis biaya lain seperti biaya bibit dan biaya sewa lahan menjadi
biaya tunai oleh sebagian petani dan menjadi biaya diperhitungkan bagi sebagian
petani yang lain. Hal ini dikarenakan biaya bibit tidak selalu menjadi pengeluaran
58

tunai oleh setiap petani. Beberapa petani ubi kayu menggunakan bibit dari hasil
panennya sendiri sehingga tidak perlu lagi membeli bibit baru. Sementara
sebagian yang lain ada yang melakukan pembelian bibit secara tunai. Begitu juga
dengan sewa lahan. Beberapa petani ubi kayu ada yang menyewa lahan guna
melakukan kegiatan usahatani ubi kayu, dengan rata-rata biaya sewa Rp4 000 000
– 5 000 000 per hektar lahan. Namun beberapa petani lain menggunakan lahannya
sendiri sehingga komponen biaya sewa masuk kedalam biaya yang diperhitungkan.
Berdasarkan hasil analisis usahatani, pendapatan rata-rata per hektar yang
diperoleh petani dari usahatani ubi kayu adalah sebesar Rp6 608 328.21 dengan
R/C rasio sebesar 1.54. Secara umum kondisi usahatani ubi kayu di Kabupaten
Lampung Tengah masih menguntungkan untuk diusahakan melihat nilai
pendapatan dan R/C rasio yang dihasilkan dari perhitungan analisis usahatani.
Namun yang perlu diperhatikan bahwasannya usahatani ubi kayu membutuhkan
waktu yang relatif lama, yaitu antara 7-9 bulan untuk sekali panen. Dengan
demikian penghasilan rata-rata yang diperoleh petani setiap bulan hanya berkisar
antara Rp734 258 - Rp944 046 dalam satu hektar luas panen. Nilai ini bisa
menjadi perhatian karena mungkin saja petani lebih untung ketika mengusahakan
tanaman lain yang memiliki usia panen lebih pendek seperti jagung contohnya.
Jika dilihat dari kelompok responden, diperoleh pendapatan rata-rata
perhektar petani ubi kayu yang menggunakan saluran pemasaran pabrik adalah
sebesar Rp10 592 563.87, petani yang menggunakan saluran pemasaran lapak
adalah sebesar Rp6 840 676.92, saluran pemasaran pemborong sebesar Rp6 019
635.64, saluran pemasaran mitra sebesar Rp3 800 100.49 dan saluran pemasaran
supir truk sebesar Rp5 788 664.14. Nilai pendapatan rata-rata petani yang
menggunakan saluran pemasaran pabrik paling besar dibandingkan dengan yang
lain. Hal ini diduga dikarenakan petani yang menjual ke pabrik memperoleh harga
yang paling baik dibandingkan dengan petani yang menggunakan saluran
pemasaran lain, seperti data harga pada masing-masing saluran pemasaran yang
telah disebutkan sebelumnya. Selain itu hal ini dikarenakan petani yang
menggunakan saluran pemasaran pabrik adalah petani yang mengusahakan
usahataninya dengan intensif dibandingkan dengan kelompok petani pada saluran
pemasaran yang lain sehingga menghasilkan pendapatan yang lebih baik.
Sementara itu petani yang menggunakan saluran pemasaran mitra memperoleh
nilai pendapatan yang paling rendah bila dibandingkan dengan saluran pemasaran
yang lain. Hal ini diduga karena adanya biaya tambahan yang harus ditanggung
petani berupa margin harga atas input-input produksi yang dipinjamnya melalui
mitra.
Tingkat pendapatan yang diperoleh petani berbanding lurus dengan biaya
yang dikeluarkan. Dari Tabel 19 menunjukkan bahwa biaya usahatani yang
dikeluarkan oleh kelompok responden yang menggunakan saluran pemasaran
pabrik lebih besar dibandingkan dengan semua kelompok responden lain, namun
demikian penerimaanya juga lebih besar dibandingkan dengan kelompok
responden yang lain. Oleh karena itu mengakibatkan pendapatan yang diterima
oleh kelompok responden ini juga relatif besar. Akan tetapi nilai rasio penerimaan
(R/C) dengan biaya tunai maupun biaya total menunjukkan bahwa kelompok
petani responden yang menggunakan saluran pemasaran pemborong lebih besar
dibandingkan dengan yang menggunakan saluran pemasaran pabrik. Meskipun
petani yang menggunakan saluran pemasaran pemborong memiliki pendapatan
59

yang lebih kecil dibandingkan dengan petani yang menggunakan saluran


pemasaran pabrik.
Hal ini terkait dengan keputusan petani dalam mengalokasikan biaya
dalam kegiatan usahatani ubi kayu. Sebagai contoh, salah satu variabel yang
memiliki perbedaan besar dalam mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani ubi
kayu dari kelima kelompok responden adalah biaya panen dan rafaksi. Pada Tabel
21 menunjukkan bahwa biaya panen dan rafaksi dari kelompok petani yang
menggunakan saluran pemasaran pabrik lebih besar jika dibandingkan dengan
kelima kelompok responden lainnya. Berbanding terbalik dengan kelompok petani
yang menggunakan saluran pemasaran pemborong dimana biaya panen dan
rafaksi yang dikeluarkan paling kecil, yaitu sebesar nol rupiah. Artinya disini
biaya panen dan loss berupa rafaksi sangat berperan dalam mempengaruhi
pendapatan petani. Semakin cermat petani dalam menentukan kombinasi input
yang digunakan, dengan memperhatikan biaya dari input tersebut, maka peluang
petani untuk menekan biaya semakin besar. Dengan demikian petani yang
menggunakan saluran pemasaran pemborong jika dilihat dari nilai R/C rasio maka
lebih efisien dibandingkan dengan keempat kelompok responden yang lain.
Namun secara pendapatan, petani yang menggunakan saluran pemasaran pabrik
memberikan pendapatan absolut yang lebih besar.
Menjual ubi kayu melalui pemborong sebenarnya membuat petani dan
pemborong berada pada kondisi uncertainty, karena metode penjualan tebasan ini
tanpa disertai infromasi berapa nilai tonase yang dihasilkan pada proses jual beli.
Pemborong dalam melakukan tawar menawar hanya mengandalkan ilmu dalam
jenis varietas, kesuburan tanah, umur tanam, informasi harga dan spekulasi.
Namun demikian kondisi ini tidak jarang justru menguntungkan bagi petani dan
merugikan pemborong karena jumlah tonase yang didapat ketika sudah menjual
ubi kayu ke pabrik lebih kecil dari jumlah uang yang dibayarkan kepada petani.
Pun sebaliknya, kondisi ini juga bisa merugikan petani karena bisa saja harga
yang dibayarkan pemborong atas panen ubi kayu petani lebih rendah dari tonase
yang dihasilkan. Oleh karena itu Seperich (1994) mengungkapkan bahwa sistem
pemasaran yang berjalan baik tidak hanya efisien tapi juga fair.
Petani dapat memilih pabrik sebagai saluran yang paling menguntungkan
baginya namun kenyataanya menjual ubi kayu ke pabrik tidak dapat dilakukan
oleh semua petani. Petani dengan jumlah hasil panen yang relatif sedikit
cenderung lebih memilih untuk menjual hasil panen ke lembaga selain pabrik. Hal
ini dikarenakan akses untuk menjual ubi kayu dalam jumlah sedikit diberikan
pabrik kepada agennya. Sehingga petani dengan jumlah hasil panen yang sedikit
dapat menjual hasil panen ke pabrik melalui agen pabrik tersebut. Keberadaan
agen disini menjadi penjamin bahwa ubi kayu yang dijualnya telah memenuhi
standar kualitas yang diinginkan oleh pabrik. Dengan demikian meskipun dapat
memberikan pendapatan yang lebih baik bagi petani namun pada kenyataannya
tidak semua petani dapat secara bebas untuk menjual ubi kayu ke pabrik.
Pabrik secara umum memberikan pendapatan yang paling baik, tetapi bagi
petani sendiri terdapat benefit-benefit lain yang diperoleh ketika memilih alternatif
saluran pemasaran selain pabrik. Kemudahan dalam bernegosiasi, birokrasi dan
pertukaran informasi lebih mudah didapatkan petani ketika menjual ubi kayu
melalui lembaga pemasaran selain pabrik. Selain itu dari aspek ekonomi seperti
adanya pinjaman modal, pembagian fee dan biaya transportasi yang lebih murah
60

karena jarak lebih dekat juga menjadi pertimbangan petani untuk memilih saluran
pemasaran ke selain pabrik.

Pengaruh Saluran Pemasaran terhadap Pendapatan Usahatani Ubi Kayu

Alat analisis yang digunakan dalam menentukan pengaruh saluran


pemasaran pada pendapatan usahatani ubi kayu adalah di Kabupaten Lampung
Tengah adalah analisis regresi linier berganda. Pengaruh pilihan saluran
pemasaran pada pendapatan usahatani ubi kayu dilihat dengan cara memasukkan
nilai probabilitas (predicted) pada perhitungan faktor-faktor yang mempengaruhi
pilihan saluran pemasaran pada tujuan pertama, ke dalam persamaan regresi
faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani ubi kayu. Dengan
demikian faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran seperti
harga, jumlah hasil panen, jarak, usia panen, lama pendidikan, rafaksi dan adanya
pinjaman modal dihitung nilai probabilitasnya dari masing-masing setiap petani
berdasarkan persamaan logit yang telah ditemukan pada tujuan pertama. Nilai
probabilitas ini yang kemudian dianggap sebagai nilai pilihan saluran pemasaran
( ̂) dan dijadikan salah satu faktor independen pada proses regresi faktor-faktor
yang mempengaruhi pendapatan usahatani ubi kayu. Dalam analisis ini faktor-
faktor yang diduga mempengaruhi pendapatan usahatani ubi kayu adalah (1) luas
lahan, (2) harga bibit, (3) harga pupuk, (4) harga obat-obatan, (5) biaya panen (6)
tenaga kerja dan (7) nilai pilihan saluran pemasaran ( ̂) atau yang disebut jg
probabilitas saluran pemasaran.
Setelah dilakukan proses analisis, maka diperoleh hasil yang sudah
terkoreksi dari penyimpangan klasik seperti multicollinearity (VIF < 10),
autokorelasi dan heteroskedastis (Tabel 20). Hasil pendugaan model diperoleh
nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.886, yang artinya 88 persen variabel
yang digunakan dalam model tersebut mampu menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.
Sedangkan 12 persen lainnya dijelaskan oleh variabel diluar model tersebut. Hasil
uji F menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan kedalam model
memiliki pengaruh yang nyata secara serentak.
Hasil uji t menunjukkan bahwa harga bibit, harga pupuk dan harga obat
berpengaruh nyata hingga pada taraf nyata 10 persen, bahkan variabel luas lahan
dan biaya panen berpengaruh secara nyata hingga taraf 1 persen (Tabel 20).
Sedangkan faktor yang lainnya seperti tenaga kerja dan saluran pemasaran tidak
berpengaruh nyata. Nilai koefisien B dari variabel biaya untuk bibit, pupuk, dan
obat-obatan masing-masing sebesar -2.285, -0.617 dan -6.009. Artinya, jika terjadi
peningkatan biaya bibit, pupuk dan obat-obatan sebesar 10 rupiah dengan asumsi
variabel lain dianggap tetap, akan menurunkan pendapatan ubi kayu masing-
masing sebesar 22.85, 6.17, dan 60.09 rupiah. Sebaliknya, jika terjadi peningkatan
luas lahan sebesar 1 ha, maka akan menaikkan pendapatan sebesar 6 070 052.89
rupiah, dan bila terjadi peningkatan biaya panen sebesar 1 rupiah maka akan
menaikkan pendapatan sebesar 4 175 rupiah.
61

Tabel 19 Hasil Pendugaan Faktor yang Berpengaruh pada Pendapatan


Usahatani Ubi Kayu
Variabel Koefisien B Standar Error P value VIF
Intersep -1 276 306.92 1 255 346.72 0.313
Luas lahan 6 070 052.89*** 1 271 245.62 0.000 4.015
Harga bibit -2.285** 1.131 0.047 5.125
Harga pupuk -0.617* 0.322 0.059 3.404
Harga obat -6.009** 2.503 0.019 3.445
TK -0.254 0.838 0.763 9.639
Biaya panen 4.175*** 0.494 0.000 7.395
Saluran pemasaran 2 898 816.27 2 384 041.30 0.228 1.510
F hitung 0.000
R-square 0.886
***berpengaruh nyata pada α = 1%, **berpengaruh nyata pada α = 5%,
*berpengaruh nyata pada α = 10%

Pada hasil analisis ini variabel biaya panen dan saluran pemasaran tidak
sesuai harapan. Variabel biaya panen bertanda positif, mengindikasikan bahwa
penambahan biaya panen justru akan meningkatkan pendapatan yang tentu saja
hal ini bertentangan dengan dugaan awal bahwa seharusnya peningkatan biaya
panen akan mengurangi pendapatan. Menurut pengamatan di lapangan adanya
ketidaksesuaian tanda hasil perhitungan mungkin terjadi karena ada beberapa
responden yang tidak mengeluarkan biaya panen (nol rupiah) yaitu kelompok
responden yang menjual panen melalui pemborong tetapi memiliki nilai
pendapatan yang relatif tinggi.
Selain itu variabel saluran pemasaran juga tidak memiliki pengaruh nyata
terhadap variabel dependen pendapatan. Namun nilai parameter dugaan saluran
pemasaran memiliki angka yang cukup besar, yaitu Rp2 898 816.27. Hal ini berarti
apabila petani memilih saluran pemasaran pabrik, maka akan menaikkan
pendapatan sebesar 2 898 816.27 rupiah. Seperti diketahui pada perhitungan
pendapatan usahatani ubi kayu pada tabel 21, bahwa kelompok responden yang
menjual melalui saluran pabrik mendapat pendapatan paling tinggi dibandingkan
dengan kelompok responden lainnya yaitu sebesar 10 592 563.87 rupiah. Dari
nilai pendapatan ini, sebesar Rp2 898 816.27 disumbangkan oleh karena adanya
pemilihan saluran pemasaran yang dilakukan oleh petani, yaitu melalui saluran
pemasaran pabrik. Nilai ini tentu juga lebih besar bila dibandingkan dengan nilai
parameter dugaan untuk variabel lain, seperti biaya bibit, pupuk dan obat-obatan.
Namun demikian penelitian ini belum mampu memberikan hasil yang signifikan
untuk variabel saluran pemasaran.
Selain itu saluran pemasaran yang tidak berpengaruh nyata mungkin
terjadi karena banyaknya outlier pada pendeteksian probabilitas saluran
pemasaran. Nurrunnabi dan Mohammed (2009) menyatakan bahwa outlier
merupakan pendeteksian terhadap keberadaan satu atau sekelompok pengamatan
yang tidak mengikuti pola pada umumnya. Pada Regresi Logistik Biner,
pengamatan dengan respon “pabrik” tetapi probabilitasnya ditaksir rendah dan
pengamatan dengan respon “selain pabrik” tetapi probabilitasnya ditaksir tinggi.
Dalam penelitian ini yaitu jika nilai probabilitas saluran pemasaran kurang dari
0.5 namun kenyataan responden petani ubi kayu melakukan penjualan ubi kayu ke
pabrik, atau sebaliknya jika nilai probabilitas saluran pemasaran lebih dari 0.5
62

namun kenyataanya responden petani ubi kayu melakukan penjualan ke selain


pabrik. Maka sampel tersebut keluar dari nilai prediksi.

9 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran petani ubi
kayu di Kabupaten Lampung Tengah adalah harga ubi kayu, jumlah hasil
panen ubi kayu petani, rafaksi ubi kayu dan adanya pinjaman modal.
Rafaksi memiliki nilai peluang paling tinggi yang mempengaruhi pilihan
saluran pemasaran dibandingkan dengan variabel-variabel nyata lainnya.
2. Mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu kayu ditentukan melalui beberapa
kriteria seperti usia panen, varietas, kadar aci dan banyaknya kotoran
namun tidak diperoleh alat ukur untuk memastikan kriteria tersebut saat
transaksi. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara usia panen dan
varietas ubi kayu dengan rafaksi ubi kayu yang diterima petani.
3. Pendapatan usahatani ubi kayu paling besar diperoleh petani yang
menggunakan saluran pemasaran pabrik, namun petani yang menggunakan
saluran pemasaran selain pabrik, yaitu pedagang pengumpul (pemborong)
memiliki R/C rasio yang lebih tinggi.
4. Saluran pemasaran tidak memiliki pengaruh nyata pada pendapatan
usahatani ubi kayu namun koefisien saluran pemasaran memiliki angka
yang cukup besar. Faktor lain seperti luas lahan, harga bibit, pupuk, obat
dan biaya panen memiliki pengaruh nyata pada keuntungan usahatani ubi
kayu.

Saran

Saran yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hasil penelitian adalah


sebagai berikut:
1. Rafaksi diharapkan lebih transparan dalam penentuannya, sehingga
potongan berat sesuai dengan kondisi obyektif ubi kayu. Perlu dibenahi
sistem pengukuran yang hanya berdasarkan pengamatan secara visual agar
menggunakan alat yang lebih terukur dalam memastikannya.
2. Pemerintah perlu membuka akses permodalan dengan bunga yang rendah
bagi petani ubi kayu yang terkendala oleh modal sehingga petani tidak
perlu meminjam input-input usahatani dari lembaga pemasaran yang
menyalurkan ubi kayu petani. Dengan demikian diharapkan pendapatan
petani ubi kayu dapat lebih dimaksimalkan.
3. Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan bagaimana cara
pengukuran kualitas dan rafaksi ubi kayu yang lebih akurat serta
mencakup informasi berdasarkan persepsi pedagang dan pabrik.
63

DAFTAR PUSTAKA

Akiyama T, Nishio A. 1996. Indonesia’s Cocoa Boom Hands-off Policy


Encourages Smallholder Dynamism. Policy Research Working Paper. The
World Bank : International Economics Department Commodity Policy and
Analysis Unit and Country Department II.
Alma B. 2011. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung (ID):
Alfabeta.
Anteneh RM, Ruben R. 2011.. Factors Affecting Coffee Farmers Market Outlet
Choice. The Case of Sidama Zone, Ethiopia. Paper for the EMNet in Cyprus.
Asmarantaka RW. 2013. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor (ID) :
IPB Press.
Asmarantaka RW, Atmakusuma J, Tinaprila N. 2014. Kajian Pemasaran
Agribisnis (Agrimarketing). Laporan Akhir Penelitian Hibah Kompetensi.
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Asogwa BC, Ezihe JAC, Ater PI. 2013. Socio-economic Analysis of Cassava
Marketing in Benue State, Nigeria. International Journal of Innovation and
Applied Studies. 2 (4) : 384-391.
Ayatillah FM. 2013. Analisis Komparasi Saluran Pasar Tradisional dan Modern
pada Komoditas Sayuran di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung
[tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Badri S. 2011. Solusi Konflik Kolaborasi Inti-Plasma dengan Pendekatan Sistem
pada Kelembagaan Perkebunan Kelapa Sawit. Seminar Nasional Ilmu
Ekonomi Terapan. Fakultas Ekonomi UNIMUS.
Bantacut T. 2009. Penelitian dan Pengembangan untuk Industri Berbasis Cassava.
Jurnal Teknik Industri Pertanian. 19(3): 191-202.
Baye MR. 2010. Managerial Economics and Business Strategy. New York (US):
Mc McGraw-Hill, Inc.
Bovee CL, Thill JV. 1992. Marketing. New York (US): McGraw-Hill, Inc.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Luas panen, produksi, dan produktivitas ubi
kayu di Indonesia tahun 2009-2015. [internet]. [diunduh 2016 Jan 1]. Tersedia
pada : http://www.bps.go.id/linktTableDinamis/view/id/880
Brown JR, Lusch RF, Nicholson CY. 2001. Power and Relationship Commitment:
heir Impact on Marketing Channel Member Performance. Journal of Retailing.
71(4): 363-392.
Chirwa EW. 2009. Determinants of Marketing Channels among Smallholder
Maize Farmers in Malawi. Working Paper. No 2009/03. Malawi : University of
Malawi.
Coughlan, AT, E Anderson, LW Stern, AI El-Ansary. 2006. Marketing Channel,
7th Edition. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall.
Cramer GL and Jensen CW. 1988. Agricultural Economics and Agribusiness.
New York (US) : John Wiley & Sons.
Daniel M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID) : Bumi Aksara.
Darwis V, Muslim C dan Askin A. 2007. Usahatani dan Pemasaran Ubi Kayu
serta Teknologi Pengolahan Tapioka di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah.
Prosiding Seminar. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.
64

Dewi N. 2012. Analisis Peluang Pilihan Kelembagaan Pemasaran Kakao di


Provinsi Sulawesi Tengah. Indonesian Journal of Agricultural Economics
(IJAE). 3 (1) : 1 – 12.
Dilana IA, Nurmalina R, Rifin A. 2013. Pemasaran dan Nilai Tambah Biji Kakao
di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Prosiding Simposium Nasional Ekonomi
Kakao hal 204 – 213.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian tahun. 2012. Road
Map Peningkatan Produksi Ubi Kayu tahun 2010-2014. Jakarta : Kementerian
Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. 2012. Road Map
Peningkatan Produksi Ubi Kayu. Jakarta : Ditjen Tanaman Pangan.
[FAO] Food and Agriculture Organization. Harvested area, production and
productivity of cassava. [internet]. [diunduh 2016 Jan 1]. Tersedia pada :
http://faostat3.fao.org/download/Q/QC/E
Fefa J, Obute CO. 2014. A Logistic Regression Analysis of Poverty Status
Among Cassava Processors and Marketers in Benue State, Nigeria. American
Academic & Scholarly Research Journal. 6 (5) : 17 – 36.
Ghebreslassie BM, Githiri SM, Mehari T, Kasili RW. 2014. Potato Seed Supply,
Marketing and Production Constraints in Eritrea. American. Journal of Plant
Sciences. 1 (5) : 3684-3693.
Hinson RA, Turner SC. 1994. Choice of Nursery-Appropriate Marketing
Channels in the Landscape Plant Industry. Journal Environment and
Horticulture. 12 (2) :76-79.
Hosmer DW, Lemeshow S. 2000. Applied Logistic Regression. New Jersey (US):
John Wiley & Sons, Inc.
Hudson D. 2007. Agricultural Markets and Prices. Oxford (UK): Blackwell
Publishing.
Jari B. 2009. Institutional and Technical Factor Influencing Agricultural
Marketing Channel Choices Amongst Smallholder and Emerging Farmers in
The Kat River Valley [Thesis]. Alice : University of Fort Hare.
Kementerian Pertanian. Ekspor Impor Komoditi Pertanian Per Sub Sektor tahun
2009 s.d 2015. [internet]. [diunduh 2016 Jan 1]. Tersedia pada :
http://aplikasi.deptan.go.id/eksim2012/imporSubsek.asp
Kohls RL. 1967. Marketing of Agricultural Products Third Edition. New York
(US) : The Macmillan Company.
Kohls RL, Uhl JN. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth Edition. New
Jersey (US) : Prentice Hall.
Kotler P. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi,
dan Pengendalian. Edisi ketujuh. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi UI.
Kotler P. 2005. Manajemen Pemasaran. Edisi Kesebelas. Jakarta (ID): Indeks.
Kotler P, Keller KL. 2009. Manajemen Pemasaran Edisi ke 13. Jakarta (ID :
Erlangga.
Levens M. 2010. Marketing: Defined, Explained, Applied. New Jersey (US):
Pearson Education, Inc.
Lipczynski J, Wilson J, Goddard J. 2005. Industrial Organization ; Competition,
Strategy, Policy. Harlow (UK): Pearson Education.
65

Malini H, Aryani D. 2010. Model Kelembagaan Petani Plasma Bersertifikat


RSPO dan Non RSPO dalam Pengelolaan Perkebunan Sawit di Kabupaten
Banyuasin. Palembang : Universitas Sriwijaya.
Malmir A, Shirvani A, Rashidpour A, Soltani I. 2014. Citizen Relationship
Management and Principal/Agent Theory. International Journal of Managing
Value and Supply Chains (IJMVSC). 5 (3) : 83 – 90.
Mc Carthy EJ, Perreault WDJ. 1991. Essentials of Maketing. Boston (US): Irwin.
Mvodo ESM, Liang D. 2012. Cassava Sector Development in Cameroon:
Production and Marketing Factors Affecting Price. Agricultural Sciences. 3 (5)
651-657.
Mzyece A. 2010. Factor Influencing Cowpea Producers’ Choice of Marketing
Channels in Zambia. University of Zambia.
Nurrunnabi A.A.M, Nasser M. Outlier Diagnostics in Logistic Regression : A
Supervised Learning Technique. IPCSIT. 3 (1) : 90-95.
Ogunleye KY, Oladeji JO. 2007. Choice of Cocoa Market Channels Among
Cocoa Farmers in ILA Local Government Area of Osun State, Nigeria.
Middle-East Journal of Scientific Research. 2 (1): 14-20.
Oh SL. 1983. Development of Agricultural Marketing-The Case of Thailand.
Seoul: Seoul National University. Diunduh pada 16 Maret 2015 pada halaman
s-space.snu.ac.kr.
Otukpe F. 2010. Issues and Challenges in Cassava Production for Small Farmers
in Nigeria : Trends and Postharvest Management Practices [Thesis]. US :
Tennessee State University.
Pindyck RS, Rubinfeld DL. 2001. Microeconomics. New Jersey (US) : Prentice
Hall.
Prakash A. _____ . Cassava: International Market Profile. Paper for the
Competitive Commercial Agriculture in Sub–Saharan Africa (CCAA) Study.
Food and Agriculture Organisation of the United Nations.
Pratisto A. 2009. Statistik Menjadi Mudah dengan SPSS 17. Jakarta (ID) :PT Elex
Media Komputindo.
Purba RP. 2002. Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah pada Industri Kecil
Tapioka. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Purwaningsih N. 2006. Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di
Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Qhoirunisa AS. 2014. Rantai Pasok Padi di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat
[tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Rahmiwati 2004. Respon Petani dan Analisis Fungsi Keuntungan Kapas
Transgenik di Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor : Institut Pertanian
Bogor.
Sagala E. 2011. Manajemen Panen dan Pascapanen Ubi Kayu (Manihot esculenta
Crantz) di PT Pematang Agri Lestari untuk Bahan Baku Industi Tapioka PT
Sinar Pematang Mulia I [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Saliem HP, Nuryanti S. 2011. Perspektif Ekonomi Global Kedelai dan Ubi Kayu
Mendukung Swasembada. Analisis Kebijakan Pertanian. Jakarta : Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Salvatore D. 2007. Mikroekonomi. Jakarta (ID): Erlangga.
Seperich GJ, Woolvertoon MW, Beierlein JG. 1994. Introduction to Agribusiness
Marketing. New Jersey (US) : A Paramount Communications Company.
66

Sugino T, Mayrowani H. 2009. The Determinants of Cassava Productivity and


Price Under The Farmers’ Collaboration with The Emerging Cassava
Processors: A Case Study in East Lampung, Indonesia. Journal of
Development and Agricultural Economics. 1(5) : 114-120.
Sisfahyuni, Saleh MS, Yantu MR. 2011. Kelembagaan Pemasaran Kakao Biji di
Tingkat Petani Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal
Agro Ekonomi. 29 (2) : 191 – 216.
Sitepu RKK, Sinaga BM. 2002. Aplikasi Model Ekonometrik. Bogor (ID) :
Institut Pertanian Bogor.
Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta (ID) : UI Press.
Sujarwo RM, Kopp T, Nurmalina R, Asmarantaka RW, Brummer B. 2014.
Choice of Marketing Channels by Rubber Small Traders in the Jambi
Province, Indonesia. Conference on International Research on Food Security,
Natural Resource Management and Rural Development. Prague : Czech
University of Life Sciences Prague.
Tian G. 2013. Microeconomics Theory. Texas (US) : Texas A&M University.
United Nations Conference on Trade and Development. 2010. Infocomm
Commodity Profile Cassava. Diunduh dari
http://www.unctad.info/en/Infocomm/AACP-Products/COMMODIRY-
PROFILE---Cassava/ pada 21 Januari 2015.
Urquieta NR, Amaya. 2009. Effects of Access to Information on Farmer’s Market
Channel Choice: The Case of Potato in Tiraque Sub-watershed (Cochabamba -
Bolivia) [thesis]. Virginia : Virginia Polytechnic Institute and State University.
Williamson, OE. 1996. The Mechanisms of Governance. New York (US) : Oxford
University Press.
Wiyanto, N Kusnadi. 2013. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet
Perkebunan Rakyat. Jurnal Agribisnis Indonesia. 1 (1) : 39-58.
Xaba BG, Masuku MB. 2013. Factors Affecting the Choice of Marketing Channel
by Vegetable Farmers in Swaziland. Sustainable Agriculture Research. 2 (1) :
112 – 123.
Yoko B. 2015. Analisis Akses Petani pada Pembiayaan Pertanian Mikro Syariah
dan Pengaruhnya terhadap Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten Lampung
Tengah [tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Yonekura H. 1996. Farmers and Traders in a Changing Maize Market in East Java.
The Developing Economies. 35 (2) : 199-205.
Zakaria WA. 2000. Analisis Penawaran dan Permintaan produk Ubi Kayu
Lampung serta Kaitannya dengan Pasar Domestik dan Dunia [disertasi].
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
67

LAMPIRAN
68

Lampiran 1. Hasil Estimasi Fungsi Regresi Logistik Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran Petani Ubi Kayu di
Kabupaten Lampung Tengah

Bias Std. Sig. Exp (B) 95% Confidence


Error Interval

Lower Upper

Harga .012 .034 .154 .010 1.012 .005 .663

Panen .000 .000 .002 .040 1.000 .000 .006

Jarak .238 .317 1.958 .119 1.268 -.584 5.158

Step Pendidikan .086 .828 3.798 .584 1.089 -.354 18.904


1 Pinjaman -22.670 -5.095 17.784 .069 0.001 -90.607 -19.919

Rafaksi 9.076 8.602 52.613 .089 8742.012 -17.927 240.757

Usia -.031 -1.005 7.754 .921 0.970 -13.614 1.412

Constant -16.052 -41.286 172.180 .010 0.000 -745.351 -8.575

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 8.535 8 .383

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 43.330 .548 .732

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 58.768 7 .000

Step 1 Block 58.768 7 .000

Model 58.768 7 .000


69

Lampiran 2. Hasil Estimasi Fungsi Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Keuntungan Usahatani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah

a
Coefficients
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig. Collinearity Statistics
Coefficients
B Std. Error Beta Tolerance VIF
(Constant) -1276306.924 1255346.729 -1.017 .313
bibit -2.285 1.131 -.190 -2.020 .047 .195 5.125
pupuk -.617 .322 -.147 -1.919 .059 .294 3.404
1 obat -6.009 2.503 -.185 -2.401 .019 .290 3.445
TK -.254 .838 -.039 -.303 .763 .104 9.639
Panen 4.175 .494 .954 8.454 .000 .135 7.395
saluran 2898816.275 2384041.306 .062 1.216 .228 .662 1.510
luaslahan 6070052.894 1271245.623 .397 4.775 .000 .249 4.015
a. Dependent Variable: keutungan

a
ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1510325674939 2157608107055 b
Regression 7 73.448 .000
1710.000 958.800

1938807670025 2937587378826
1 Residual 66
417.200 3.900

1704206441941
Total 73
7128.000

a. Dependent Variable: keutungan


b. Predictors: (Constant), luaslahan, saluran, pupuk, obat, bibit, Panen, TK

b
Model Summary

Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Durbin-Watson


Square Estimate
a
1 .941 .886 .874 5419951.45626 1.719

a. Predictors: (Constant), luaslahan, saluran, pupuk, obat, bibit, Panen, TK


b. Dependent Variable: keutungan
70

Lampiran 3. Hasil Estimasi Korelasi antara Rafaksi Ubi Kayu dengan Usia Panen
dan Rafaksi Ubi Kayu dengan Varietas Ubi Kayu di Kabupaten
Lampung Tengah

Correlations

rafaksi usia

Pearson Correlation 1 -.186

rafaksi Sig. (2-tailed) .138

N 65 65
Pearson Correlation -.186 1

usia Sig. (2-tailed) .138

N 65 65

Correlations

rafaksi varietas

Pearson Correlation 1 .073

rafaksi Sig. (2-tailed) .565

N 65 65
Pearson Correlation .073 1

varietas Sig. (2-tailed) .565

N 65 65
71

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro, Lampung pada tanggal 7 Juli 1989 dari ayah
Karisun (alm) dan ibu Sumirah. Penulis merupakan anak terakhir dari tujuh
bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Metro pada tahun 2007 dan
melanjutkan studi sarjana di Universitas Lampung melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada program studi Sosial Ekonomi
Pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Selama mengikuti pendidikan S1 di Universitas Lampung, penulis
menerima beasiswa SPMB, beasiswa Supersemar dan beasiswa Peningkatan
Prestasi Akademik (PPA) secara bergantian mulai tahun pertama sampai tahun
keempat. Penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di Universitas
Lampung diantaranya organisasi mahasiswa muslim Forum Studi Islam (FOSI)
FP Unila tahun 2008–2010 dan Birohmah Unila tahun 2008-2010. Sejak tahun
2009-2011 penulis bekerja sebagai asisten praktikum beberapa mata kuliah di
antaranya adalah Pengantar Ilmu Ekonomi dan Dasar-Dasar Akuntansi. Penulis
juga berkesempatan bekerja sebagai surveyor di BI Bandar Lampung,
berpartisipasi sebagai enumerator dalam berbagai penelitian Kementerian
Perdagangan dan BAPPENAS, serta bekerja selama dua tahun yaitu dari tahun
2011-2013 sebagai dosen bantu di STIPER Dharma Wacana Metro. Penulis
menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 2011 dan pada tahun 2013 melanjutkan
studi ke jenjang S2 pada program studi Magister Sains Agribisnis Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor yang disponsori oleh BPPDN
(Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana Dalam Negeri) Dikti.

Anda mungkin juga menyukai